alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Sabtu, 31 Januari 2015

IPK, PENGANGGURAN, DAN KESEMPATAN KERJA

IPK, Pengangguran, dan Kesempatan Kerja

Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob


Kata rekan saya, seorang self-made entrepreneur, ”Jaman sekarang, susah sekali nyari karyawan yang jujur, capable, berdedikasi tinggi, dan bisa diandalkan untuk kemajuan perusahaan.” Kata teman saya, lulus sarjana beberapa tahun lalu tetapi belum mendapatkan pekerjaan yang settle, ”Perusahaan sekarang suka rewel, buka lowongan semau gue dengan spesifikasi yang aneh-aneh dan sulit dipenuhi.

Pekerjaan jadi susah dicari.”
Ketika mewisuda lulusannya, salah seorang dekan business school terkemuka di Amerika selalu berpidato, “Kita harus memberikan respek kepada mereka yang mempunyai nilai A, karena mereka akan kembali ke almamater menjadi dosen dan melupakan duniawi. Namun kita harus lebih membungkukkan kepala kepada mereka yang mendapat nilai B dan C, karena mereka akan kembali lagi ke kampus dengan menyumbang laboratorium, auditorium, serta menjadi penyandang dana.” Menurut Suara Merdeka, ”Sampai akhir 2005, tingkat pengangguran merangkak naik mencapai tidak kurang dari 9,9%,

Pada awal 2006, tingkat pengangguran tersebut diperkirakan masih akan meningkat menjadi lebih dari 11%.”Sementara Kompas edisi Sabtu, 20 Mei 2006 menulis, ”Per Februari 2005, dari 155,5 juta angkatan kerja, 10,85 juta adalah pengangguran terbuka. Padahal, per Agustus 2000, dari 95,70  angkatan kerja, “hanya” 5,87 juta yang merupakan pengangguran terbuka.”Dari ilustrasi, data, dan fakta di atas, kita bisa lihat betapa ”besarnya” kontribusi pendidikan terhadap terbukanya lapangan pekerjaan.

Negeri ini mungkin punya ribuan sarjana multi-jurusan yang diyakini bisa berpikir analitis, mampu menciptakan perubahan dalam masyarakat, tetapi toh ternyata mereka belum mampu membantu diri mereka sendiri. Ini belum termasuk opportunity cost yang keluar ketika melanjutkan kuliah setamat SMU.
Mengapa tidak menggunakan waktu dan biaya untuk berwiraswasta saja?

 Seharusnya..

Idealnya, kampus seharusnya bisa membangun linkage yang ideal antara lulusan sekolah menengah dengan lapangan pekerjaan di dunia nyata. Bagi top-tier business school di dunia, ini bukan masalah. Mayoritas lulusan kerja mereka sukses dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji 2-3 kali dari jumlah yang mereka investasikan untuk kuliah di business school tersebut.

Bagaimana di Indonesia?

Sayangnya, di Indonesia, gap tersebut terasa begitu kentara. Ijazah sarjana tidak lagi sakral saat ini. Hal ini juga didukung fakta bahwa banyak perguruan tinggi negeri yang membuka kelas diploma, program ekstensi/swadaya, kelas malam, fast-track program, dan seterusnya. Perguruan tinggi swasta juga bermunculan tak kalah banyaknya. Akibatnya, ijazah sarjana semakin mudah (walau belum tentu murah) diperoleh.

Kondisi ini masih diperparah dengan perguruan tinggi “biasa-biasa saja” yang mengobral nilai, sementara perguruan tinggi top justru dipenuhi dosen killer yang sulit memberi nilai A. Selain dituntut menjadi linkage yang kokoh, kampus juga selayaknya bisa menjadi inkubator bisnis yang kuat.

Tidak banyak orang yang tahu bahwa Sun Microsystems adalah kepanjangan dari Stanford University Network, karena memang perusahaan ini memulai bisnisnya dari lingkungan kampus. Dan satu lagi, Google dan Yahoo!, juga sama-sama lahir dari kegiatan intelektual di universitas. Malah, Google adalah hasil dari proyek disertasi kedua pendirinya. Baik Google, Yahoo!, atau Sun Microsystems, masing-masing telah bertumbuh menjadi perusahaan besar dengan tingkat profitabilitas yang luar biasa. Inilah salah satu bukti bahwa kampus, selain menjadi linkage bagi lapangan pekerjaan di dunia nyata, juga bisa menjadi inkubator yang hebat. Tanpa membunuh spirit dan mengekang kebebasan berpikir siswa didiknya.  Sayangnya, lagi-lagi di Indonesia belum memiliki perguruan tinggi yang cukup mumpuni untuk menjadi inkubator bisnis yang handal.

 Menurut Saya..

Dari situlah saya coba menyusun beberapa intisari berikut. Tujuannya jelas. Agar kita mencapai kesuksesan sesuai dengan kapasitas kita. Baik itu sebagai seorang pengusaha, businessman, karyawan, atau seorang siswa/mahasiswa. Antara lain sebagai berikut. Sekolah itu (tetap) penting. Coba Anda lihat di sekeliling kita.

Ada berapa banyak macam pekerjaan? Ratusan. Ribuan bahkan.
Seharusnya, secara logika harus terdapat puluhan ribu macam 
sekolah/kampus/jurusan. Tentu saja ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, sekolah memang tidak bisa menjadikan lulusannya benar-benar 100% siap kerja kecuali sekolah/kursus setir mobil. Saya bukan bermaksud menyatakan bahwa sekolah tidak penting.

Sekolah dan ijazah, bagaimanapun juga, membuat entry barrier untuk mencari kerja lebih baik dibanding jika kita tidak sekolah dan tidak berijazah. Sekolah juga merupakan tempat terbaik untuk akses pengetahuan terkini, plus akses bagi orang-orang top di lingkungan akademis. Belajar, lifelong education, juga penting. Menyambung poin di atas, sekolah memang hanya bisa mengajarkan prinsip-prinsip umum dan rerangka berpikir yang logis, analitis, dan sistematis. Jangan berharap sekolah akan menjamin pekerjaan kita kelak. Sebaliknya, sebagai siswa kita dituntut untuk bisa berpikir dan mengembangkan terus cara berpikir kita.

Biarlah sekolah berkonsentrasi pada penciptaan perangkat berpikir. Jadi, jadilah proaktif. Hidup adalah belajar.  Jangan menyalahkan sekolah karena keterbatasan sekolah dalam mengajarkan materi teknis atau memberi jaminan bagi pekerjaan pasca kelulusan. Jangan pula terpaku bahwa konsep belajar hanya bisa dilakukan di sekolah. Sabda nabi, ”Tuntutlah ilmu sejak di tiang ayunan hinga di liang lahat.”

Dalam statement yang lain, nabi juga bersabda,”Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina.” Tapi memberi kontribusi adalah yang terpenting. Lifelong education will make live easy.  Belajar dan berpikir adalah mulia, tetapi akan menjadi sia-sia bila tidak diaplikasikan dalam dunia nyata. Ilmu dan pengetahuan juga akan menjadi useless ketika pemiliknya tidak bisa menularkan wisdom tersebut kepada orang lain

Jika sebagian dari kita ada yang sukses di bidangnya, kemudian menularkannya pada orang lain, multiplier effect yang muncul untuk penciptaan dunia yang lebih baik adalah luar biasa besarnya. Dan semakin tinggi pengaruh seseorang, semakin tinggi pula eksistensi yang dimilikinya, karena pengaruh tersebut bisa melintasi ruang, waktu, dan bahkan, melampaui ajal. Sungguh. Begitu banyak orang-orang pintar memenuhi penjuru dunia, tetapi sering lamban dalam mengambil keputusan-keputusan bisnis karena harus menyesuaikan dengan text-book. Kalau saya tanyakan bagaimana mengubah Rp 50 juta menjadi Rp 1 milyar dalam 12 bulan, mungkin bisa dijawab dalam sekian menit.

Tapi melakukannya dalam tindakan yang konkrit? I doubt it.
Sekolah nyambi kerja/organisasi itu perlu.

IPK tinggi memang penting. Akan tetapi, perusahaan kini juga memperhatikan aktivitas ekstrakurikuler seseorang ketika akan melakukan rekrutmen. Tujuannya jelas. Mereka ingin meng-hire a ”well-rounded” person, bukan semata-mata nerd. Sekolah mengajarkan kita tentang kepemimpinan -tapi hanya dengan pengalaman berorganisasilah kita benar-benar bisa menguasai manajemen konflik dan kepentingan. Kuliah memaparkan kita tentang prinsip-prinsip budgeting –namun hanya dengan magang di sektor ritel kita bisa benar-benar memahami tentang stock opname dan expense budget.

Berinvestasilah pada human capital dan social network.

Pengusaha sukses jelas tidak melakukan segalanya seorang diri. Ia menyewa orang untuk membantu dirinya dalam berbisnis. Kalau orang tersebut menghasilkan output lebih besar dari input, berarti ia memberi kemakmuran bagi perusahaan. Orang-orang tersebut mungkin telah menghabiskan waktu untuk bersekolah dan menimba pengalaman. Tanpa mereka, mustahil seorang pengusaha meraih kesuksesan.

Bisnis hanya bisa dicapai melalui jejaring sosial yang kuat dan luas. Untuk membangunnya, jelas diperlukan pengorbanan waktu dan tenaga yang luar biasa. Inilah satu-satunya aset yang paling berharga sehingga menimbulkan barrier to entry yang tinggi dan menjadikannya sulit direplikasi dengan mudah. Dengan demikian, Anda akan berada pada bisnis dengan tingkat kompetisi yang rendah; dan keuntungan jauh di atas normal memang mudah untuk diperoleh.

Going Global. Kompas edisi Sabtu, 20 Mei 2006 juga menulis,

”Bangsa ini juga menagalami brain drain untuk sumber daya manusianya. Tenaga terdidik dan profesional yang seharusnya bisa ikut membangun negara ini dibajak atau memilih hengkang ke negara lain.” Going global ataupun knowledge transfer adalah perlu –tapi jangan lupakan nasionalisme. Baik Anda sebagai seorang pengusaha, atau seorang pekerja, sudah selayaknya Anda memiliki persepsi dan paradigma untuk bersaing dalam tataran bisnis di dunia global. Ada teknologi. Ada internet. Kalau Anda butuh pekerjaan di dunia global, bisa coba Jobs/Monster, Rent-a-Coder, atau eLance. Kalau Anda ingin merintis bisnis perdagangan internasional, bisa dimulai dari eBay Stores, atau Alibaba. Yang jelas, siapkan diri Anda untuk bersaing dengan mereka-mereka di luar sana.

Dan jangan abaikan nasionalisme.
Jangan mudah terpikat pada “Cara Cepat Jadi Kaya”.

Setelah era Kiyosaki, kian banyak pakar/pembicara/motivator yang kemudian menggampangkan cara menjadi kaya, apalagi dengan penekanan pada aspek non teoretis. Kalau sebuah bisnis bisa berjalan tanpa perlu teori, logikanya entry barrier bisnis tersebut sangat rendah dan orang yang tidak tahu teori (plus semua yang tahu teori) bisa terjun dalam bisnis itu.

Dalam lingkungan yang overcrowded tersebut, profitabilitas pada tingkat yang normal saja menjadi sulit karena dipenuhi banyak pesaing. Inilah konsekuensi dari Red Ocean. Andaikata buku/training/seminar tersebut memaparkan tentang entry barrier, jualan mereka menjadi kurang laku. Sejujurnya, yang mereka jual adalah ”mimpi indah”. Semakin sesuatu kelihatan gampang dikerjakan (tanpa perlu sekolah, tanpa perlu teori, dan seterusnya), semakin ”mimpi” itu terasa gampang dicapai, dan semakin laku pula para penjual mimpi tersebut. Best seller!

Jadilah unik.

Silakan Anda membantah, tapi Tuhan sudah menentukan tiap manusia dengan bakat, talenta, lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Beethoven, adalah jenius dalam bermusik walau menderita bisu dan tuli – tapi jangan suruh dia menghitung kalkulus. Goethe adalah piawai dalam sastra dan bahasa – tapi jangan paksa ia menulis simfoni. Newton adalah pakar dalam fisika dan mekanika – tapi jangan bayangkan ia menyair atau menulis puisi.

Beckham mungkin piawai dalam mengumpan bola dan melakukan tendangan bebas - tapi jangan suruh ia memprogram komputer. Jadi, temukan keunikan dalam diri Anda. Kembangkan keunikan tersebut agar menjadi keunggulan kompetitif yang sulit disaingi orang lain. Keunggulan tersebut akan membedakan Anda dari orang lain dan pada akhirnya menaikkan nilai jual Anda. Work hard, play hard. Dalam Qur’an 13:11 tertulis,

”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Jadi jelas, kalau kita menginginkan kesuksesan, maka berencanalah dengan matang, berdoalah secara khusyuk, berusahalah dengan sekuat tenaga, dan serahkan hasilnya pada Tuhan. Percayalah, rejeki bukan di tangan Tuhan – tapi ada di tangan (usaha) kita sendiri.  Oh iya, self-made entrepreneur yang saya sebut di paragraf awal tadi tidak pernah membaca buku-buku ”Get Rich Quick” atau mengikuti seminar  ”Cara Cepat Jadi Kaya”.

Beliau menikmati pekerjaannya sembari menikmati hasil dari apa yang beliau usahakan. Sementara orang lain sibuk memikirkan (memimpikan) passive income, beliau malah menikmati real income yang menumpuk di tangannya. Respect the others. Last but by no means least, IPK tinggi atau rendah, sarjana atau bukan, valid atau tidak valid – itu urusan masing-masing.

Menjadi pengusaha, businessman, atau pekerja (karyawan) yang biasa-biasa saja –itu adalah soal pilihan hidup. Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan mengandung risiko masing-masing. Manusia memang tercipta dengan berbagai perbedaan yang tak mungkin disatukan. Jadi, jangan memaksakan orang lain untuk berpikir dan bertindak sesuai cara kita. Begitu pula, jangan merendahkan dan menghina mereka yang ada di bawah level kita ataupun iri dan berburuk sangka terhadap mereka yang berada di atas kita.

 Penutup

Anyway, sudah pernah dengar anekdotnya Larry Ellison, founder of Oracle?

Kata beliau kuliah itu cuma dapat BS (bull shit), kemudian MS (more shit), dan setelah itu PhD (pile high and deep).-Internet May 21st, 2006 | Education

USULAN : MENGGANTIKAN ISTILAH/KATA 'KORUPSI' MENJADI ISTILAH/KATA "MENCURI" DAN iSTILAH LEMBAGA PEMASYARAKATAN DIGANTI DENGAN ISTILA/KATA "PENJARA"

USULAN PENULIS :
Mnggantikan  Istilah/Kata “KORUPSI” menjadi  istilah/Kata  “MENCURI” Dan
Istilah “LEMBAGA PEMASYARAKATAN” diganti menjdi  “PENJARA
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Istilah kata “KORUPSI”  perlu diberi penamaan baru atau diganti dengan kata Indonesia asli yaitu :  “PENCURI”.
Kata KORUPSI  berasal dari kata asing, yang oleh sementara orang secara psikologis dianggap pengertian yang bermakna biasa-biasa saja dan sepertinya orang yang melakukan perbuatan korupsi itu tidak merasa bersalah atau  terlalu terhina sekali. Kalau korupsi itu suatu kesalahan, atau perbuatan kriminil, maka bagi yang bersangkutan merasa  kesalahan itu tidak terlalu memberatkan mentalnya.

Sedangkan jika kata KORUPSI  itu  diganti dengan kata PENCURI, adalah lebih tepat, karena termasuk perbuatan atau  tindakan mengambil uang negara tanpa hak dan melawan hukum, dalam bentuk dan dengan cara apapun   di sebut PENCURI atau MALING UANG NEGARA untuk memperkaya diri sendiri maupun dengan pihak-pihak lain, sehingga merugikan keuangan Negara dan Rakyat Indonesia. Siapa saja orangnya (Rakyat Kecil atau Pejabat Negara) mencuri ayam, mencuri sandal jepit, hingga mengambil uang negara adalah MENCURI dan disebut PENCURI.

Siapa saja, mulai dari misalnya ia seorang anak kecil maupun seorang berpangkat atau terpelajar, bila dipanggil dengan sebutan PENCURI, karena mencuri sesuatu,  maka ia akan merasa sangat terhina  dan memalukan sekali, dan perasaan tersebut bukan hanya diderita oleh yang bersangkutan saja, tetapi juga berdampak buruk bagi  nama keluarganya, dan kerabat-kerabatnya. Oleh karena itu Kata KORUPSI  perlu dihapus dari perbendaharaan kata Indonesia diganti dengan PENCURI atau MALING. Misalnya  Si ANU korupsi dana proyek sebesar Rp.10 miliyar, maka sekarang diganti dengan Si ANU MENCURI dana proyek Rp.10 miliar. Inilah sebutan yang paling benar dan tepat.

Demikian pula Istilah Kata “LEMBAGA PEMASYARAKAN” supaya diganti dengan Istilah “PENJARA” saja, oleh karena merupakan tempat mengisolasi orang-orang TERHUKUM. Kalau  Istilah  LEMBAGA dipakai,  seolah-olah disamakan dengan Istilah  KANTOR/INSTANSI/DINAS/ORGANISASI, yang memiliki karyawan/pegawai, padahal mereka adalah orang-orang terpidana yang dipenjara. Suatu Penamaan yang salah kaprah dan menyesatkan publik.  Kata “Lembaga Kemasyarakatan” suatu istilah yang mengaburkan pengertian antara manusia-manusia  yang beraklak baik dan manusia-manusia yang jahat.

Juga mengandung suatu pengertian psikologis bagi yang bersalah seperti  biasa-biasa saja. Tetapi PENJARA, adalah suatu TEMPAT yang dianggap oleh masyarakat umum, sebagai suatu tempat yang perlu ditakuti /dihindari sehingga setiap orang berusaha agar menghindarkan diri dari perbuatan melawan  hukum. Untuk Membina Orang-orang Penjara ini menjadi baik, maka dibuat program untuk Memasyarakatkan mereka menjadi orang baik dan Nama Program itu adalah “Pemasyarakatan, yaitu program yang mendidik/melatih mental atau fisik untuk menjadi orang yang taat hukum dll.”  Jadi istilah Pemasyarakatan adalah nama programnya, tetapi  bukan nama untuk Lembaganya. Jadi tidak memakai label Lembaga tetapi Gedung/Rumah PENJARA, sebagai tempat untuk membuat orang jera. Janganlah memakai istilah-istilah yang bernuasa lemah-lembut, kasih sayang, tersamar, dan mengaburkan  keadaan sebenarnya.

Di zaman Belanda di sebut BUI adalah istilah yang paling tepat, sama dengan kata “PENJARA”.  Misalnya, “LEMBAGA  PEMASYARAKATAN  CIPINANG” diganti dengan sebutan “PENJARA CIPINANG”  Contoh Si ANU  masuk Penjara Cipinang karena MENCURI  dana Proyek sebesar Rp.10 miliyar dan bukan kata  KORUPSI Jadi sebutan-sebutan/Istilah  yang tepat adalah :RUMAH PENJARA menggantikan LEMBAGA PEMASYARAKATAN, Kata MENCURI/PENCURI menggantikan Kata KORUPSI.

Oleh karena itu mulai sekarang, siapapun orangnya mulai dari Presiden hingga rakyat kecil,  jika mencuri ayam atau sepasang sandal jepit atau lain-lainnya,  termasuk para pejabat yang  mengambil/mencuri  uang negara disebut MENCURI/PENCURI dan inilah istilah kriminal dalam Hukum Pidana di Indonesia yang harus dibakukan. “SEMOGA”
(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-
Alamat : Jln.Jambon I/414J-Rt.10 – Rw.03 – Kricak – Jogjakarta,
Telp.0274.588160 – HP.082135680644.
Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id








SEKILAS TENTANG PEMBANGUNAN DAN TEORI-TEORI PEMBANGUNAN

Sekilas Tentang Pembangunan & Teori-Teori Pembangunan 
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Pengertian Pembangunan

Pengertian pembangunan tidak dapat didefenisikan secara umum, tidak bebas dari nilai, dan tidak ditentukan sebelumnya, tetapi bergantung pada ruang dan waktu, terutama norma-norma yang dimiliki individu atau kolektif.
Selanjutnya pembangunan adalah pengertian normative, termasuk gagasan mengenai arah perubahan masyarakat yang dikehendaki, teori mengenai penyebab keterbelakangan, pernyataan mengenai kelompok penunjang social dan model transformasi social-ekonomi, keputusan-keputusan mengenai instrument untuk melaksanakan dan mempertahankannya dll.

Selain keinginan-keinginan politik ( misalnya pembangunan yang bersifat kapitalistis atau sosialistis), juga adanya perspektif masing-masing disiplin ilmu pengetahuan menimbulkan perbedaan pandangan mengenai masalah pembangunan. Selain itu, pengertian pembangunan tunduk pada  perubahan histories dan memasukkan pengalaman yang berasal dari proses pembangunan di negara berkembang, terutama sejak keluar pernyataan bahwa pembangunan Dunia Ketiga merupakan tugas internasional.

Sejak itu pendekatan-pendekatan kuantitatif tertentu yang diformulasikan secara internasional (dasawarsa pembangunan) dalam kritik terhadap strategi pembangunan yang dipilih, dijadikan ukuran kesesuaian pengertian pembangunan yang mendasarinya. Kegagalan politik pembangunan turut mendorong perkembagan lanjut pengertian pembangunan. Teori-teori pembangunan lama, a.l. berasal dari ilmu ekonomi, pertumbuhan ekonomi menjadi titik berat pengertian pembangunan dan seluruh pertimbangan strategi pembangunan.

“Pembangunan = Pertumbuhan” (teori dan strategi pembangunan) yang dimasukkan dalam politik pembangunan, terdapat dalam laporan PBB tahun 1951. Menyamakan pertumbuhan dengan pembangunan, dengan memakai satu-satunya indikator, yaitu pendapatan per kapita sebagai ukuran kemajuan pembangunan, berasal dari gagasan teori pertumbuhan ekonomi cukup besar, menurut teori ini, otomatis masalah social politik dapat terselesaikan. Perubahan struktur menurutnya adalah kelanjutan dari pertumbuhan ekonomi. Kecilnya pertumbuhan yang dicapai dan tidak munculnya kemajuan pembangunan social yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi pada awal tahun ’60-an, menyebabkan makin diperluasnya  pengertian pembangunan.

Komponen-komponen perubahan social dimasukkan dalam pengertian 
pembangunan; Defenisi pembangunan lalu berbunyi :
Pertumbuhan menyangkut perubahan di dalam sistem nilai dan prilaku masyarakat (perubahan kultur), modernisasi lembaga politik kearah sistem politik dan administrasi yang lebih berprestasi (teori modernisasi), serta investasi di bidang-bidang sosial (pangan, kesehatan, pendidikan, dsb.), dan distribusi yang adil (reformasi pertanian, distribusi pendapatan).

Selama tahun  ’60-an pengertian pembangunan dan teori pembangunan diperluas dengan menempatkan keterbelakangan dalam hubungan antara negara industri dan negara berkembang yang diciptakan melalui pasar dunia dan model pembagian kerja internasional (teori dependecia).  
Teori dependencia mempertanyakan pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan di periferi dapat dimungkinkan meskipun ada ketergantungan pada metropol, dan menyelediki bentuk-bentuk pembangunan “tergantung”, yang berlangsung di setiap negara.

Teori ini juga menekankan bahwa keterbelakanagan bukan merupakan suatu stadium yang harus dilalui oleh negara berkembang, melainkan lebih merupakan deformasi struktur dan ekonomi negara berkembang, tidak dapat di bebaskan dari jalan buntu ‘keterbelakangan yang makin berkembang”  tanpa mendapatkan kebebasan, kemandirian nasional dalam masalah produksi, diversifikasi, distribusi, dan konsumsi (A.G. Frank).

 Perubahan, dan kemerdekaan merupakan elemen-elemen definisi pembangunan yang mencoba mengaitkan teori pembangunan modernisasi dan teori dependencia.  Suatu pendekatan definisi pembangunan yang ada pada tahun ’70-an berangkat dari kebutuhan dasar” manusia dengan gagasan pokok aktualisasi diri manusia.

Persyaratan psikis dan fisik yang diperlukan untuk itu menjadi inti dari pengertian pembangunan yang multidimensi dan berorientasi pada nilai-nilai sosial dan hasil kualitatif. Sebagai persyaratan structural dan material yang diperlukan untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam diri manusia.

D.Seers, mengusulkan  pangan, pekerjaan, dan keadilan social.

Pembangunan selanjutnya berarti perbaikan kehidupan massa penduduk, perbaikan bahan pangan, kesehatan, kesempatan kerja, tempat tinggal, dsb. Untuk mengukur pembangunan diperlukan banyak indicator. Pertumbuhan ekonomi juga termasuk dalam elemen inti pengertian pembangunan.

D.Nohlen/Nuscheler dalam Handbuch der Dritten Welt, mengangkat aspek aspek komplementer dan tujuan pembangunan menjadi pengertian
 pembangunan segi lima  yaitu :
1.pekerjaan/kesempatan  kerja,
2.pertumbuhan ekonomi,
3.keadilan social/perubahan struktur partisipasi,
4.serta kemerdekaan politik dan
5.partisipasi ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi dikaitkan dengan tujuan pembangunan yang menginginkan partisipasi masyarakat dalam keputusan politik dan  turut memiliki hasil-hasil dari kemajuan yang dicapai. Hal ini juga menyangkut pertumbuhan yang secara kualitatif lain.  Sebaliknya, pembangunan tanpa pertumbuhan adalah tidak masuk akal.
Laporan Brandt pertama tahun 1980 menekankan, “Jika kualitas pertumbuhan social diabaikan, kita tidak dapat berbicara mengenai pembangunan”.Selanjutnya, Pembangunan tidak hanya mengandung gagasan kemakmuran materi, melainkan juga,
---martabat manusia,
---keamanan,
---keadilan
---dan  kesamaan”.
Dari Deklarasi Cocoyoc muncul  dorongan-dorongan penting untuk pemikiran pembangunan alternatif yang berorientasi pada konsep-konsep “self-reliance, collective self-reliance, dan berusaha menjalankannya dengan memakai kembali nilai-nilai kultur dan tradisi negara berkembang. Tahun-tahun terakhir masalah lingkungan (ekologi) makin ditempatkan dalam kaitan masalah dan definisi pembangunan. 

Dengan demikian, perlindungan basis hidup alami sebagai tujuan pembangunan meluaskan definisi pembangunan  yang dibuat oleh Nohlen/Nuscheler (1982) :Perkembangan mandiri tenaga produktif untuk menjamin masyarakat keseluruhan akan pengadaan barang-barang material yang penting untuk hidup, serta barang kultur dan jasa dalam kerangka sebuah tata social dan politik, yang, memeberikan anggota-anggota masyarakat persamaan peluang, mengikutsertakan mereka pada keputusan politik, dan membiarkannya ikut menikmati kemakmuran yang dicapai. (Dieter Nohlen (ed), 1994 : 554-557).






PEMBANGUNAN OTOSENTRIS DAN PEMBANGUNAN YANG TERGANTUNG DARI LUAR

Pembangunan otosentris & Pembangunan yang
“Tergantung” dari Luar.
Oleh :Drs.Simon Arnold Julian Jacob

A. Pembangunan yang mandiri, konsep strategi pembangunan yang
 semula berasal dari kubu “teori dependencia”.

Bertolak dari asumsi bahwa ekonomi negara berkembang adalah, ekonomi yang sudah cacat dan tidak mengenal daur ekonomi yang tertutup; strategi pembangunan otosentris menganjurkan pembangunan sebuah ekonomi yang mampu hidup, ditopang oleh sumber daya local dan ditandai oleh pengaitan dan penjalinan ekonomi yang menciptakan bentuk terintegrasi.

Untuk itu diusulkan langkah-langkah politik ekonomi yang dapat dilakukan sekaligus :
·     Pembangunan sebuah sektor industri sendiri untuk produksi barang-barang produksi dan barang-barang setengah jadi; pembangunan teknologi, terutama teknologi tepat guna serta pengembangan lanjut dan penyesuaian teknologi-teknologi yang sudah ada;
·   Peningkatan produktivitas dalam pertanian; produksi industri untuk barang konsumsi massa yang sesuai untuk pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
· Pembangunan otosentris di mengerti berorientasi dalam negeri dan mempropagandakan “disosiasi” dari pasar dunia jika cara lain tidak dapat membangkitkan reorganisasi structural sebuah ekonomi negara berkembang.

Sejak pengalaman dengan NIB terutama di Asia Tenggara, di tinggalkan semua asumsi yang mengatakan bahwa pasar dunia dengan ongkos lebih murah di dalam struktur asimetris hubungan pertukaran antara negara industri dan negara berkembang, akan memperdalam kerusakan struktur ekonomi yang kurang produktif. Sejak itu dianggap pembangunan otosentris dapat dicapai melalui berbagai strategi. Dengan demikian hilang kaitan yang dulu erat antara definisi ini dengan teori dependencia. Perubahan definisi ini dapat dilihat dalam tulisan-tulisan (D.Senghaas).

B.Pembangunan yang  “Tergantung” dari Luar :

Dalam teori pembangunan dimengerti sebagai bentuk khusus pembangunan yang gaya pertumbuhannya ditujukan terutama ke luar atau orientasi ekspor.
Ciri-ciri pembangunan yang “tergantung” adalah :
  1. Struktur produksi : bukan memproduksi barang-barang kebutuhan penduduk, melainkan memproduksi barang-barang keperluan pasar dunia dan disesuaikan dengan kebutuhan negara industri; model integrasi sector-sektor pertumbuhan : bukan memperkuat diri ke dalam, melainkan terintergasi ke dalam sistem produksi internasional dalam bentuk vertical (hasil-hasil pertanian, bahan mentah, mineral, hasil barang  industri setengah jadi);
  2. Asalnya modal dan teknologi :  bukan dari dalam, melainkan dari luar, merupakan “dinamika dan stagnasi yang diinduksikan dari luar” (Sanghaas);
  3. Pembagian keuntungan : keuntungan dalam jumlah yang sangat sedikit disisakan di negara berkembang, sementara sebagian besar keuntungan dialihkan ke negara industri oleh perusahaan transnasional; yang tersisa di negara berkembang didistribusikan tidak merata.
  4. Pembangunan yang “tergantung” merupakan hasil dari hubungan dengan model “pembagian kerja internasional”.
  5. Pengertian pembangunan yang “tergantung” dalam teori pembangunan memperlihatkan bahwa pertumbuhan (teori dan strategi pertumbuhan) ekonomi tidak sama dengan pembangunan.
 C. Pembangunan Pedesaan :

Sejak pertengahan tahun ’70-an muncul strategi pembangunan yang ingin kembali ke pertanian (bukan konsentrasi meluas ke industrialisasi) dan berkaitan erat dengan pengolahan konsep “kebutuhan dasar”. Pembangunan pedesaan diharapkan dapat berdampak pemanfaatan ekonomis faktor produksi tenaga kerja yang berlebih di negara berkembang. Di pedesaan negara berkembang hidup 80% penduduk yang menganggur dan kerja sambilan, dengan  rendahnya tingkat urbanisasi di negara berkembang yang berpenduduk banyak; di India 22%, Indonesia 19%, dan di Bangladesh 19%.

Pembangunan pedesaan bertujuan :
---meningkatkan produksi,
---mengikutsertakan usaha kecil dan terkecil (sektor subsisten) dalam daur ulang ekonomi,
---menciptakan pendapatan (pembagian lebih merata) dan

---daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar.

INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 14A TAHUN 1981 TENTANG MEKANISME PENGENDALIAN PELAKSANAAN PROGRAM MASUK DESA

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14A Tahun l981 Tentang
“Mekanisme Pengendalian Pelaksanaan  Program  Masuk Desa
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Bahwa dalam rangka makin memeratakan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia perlu dilanjutkan pelaksanaan Pembangunan Desa dengan cara yang lebih terpadu baik dalam :
1.      perencanaan,
2.      pelaksanaan,
3.      pengendalian maupun
4.      evaluasi pembangunan wilayah yang menyeluruh, seperti yang telah
5.      digariskan dalam Repelita Ketiga.
Bahwa untuk dapat menjamin terselenggaranya perpaduan yang sebaik-
baiknya dari semua Program/Proyek dalam rangka Pembangunan Desa,
diperlukan pedoman tentang :
1.      Mekanisme Pengendalian Pelaksanaan dari pada semua
2.       Program/Proyek yang Masuk ke Desa, baik yang berasal dari
3.       Pemerintah (APBN dan APBD Propinsi serta APBD Kabupaten)
4.       Maupun yang berasal dari prakarsa dan swadaya masyarakat.
Untuk kepentingan pelaksanaan tersebut terdapat Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun l981 tertanggal 13 Pebruari l981 yang ditujukan kepada :
  1. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Seluruh Indonesia;
  2. Bupati/Walikotamadya, Kepala Daerah Tingkat II Seluruh Indonesia.
Untuk  meningkatkan koordinasi perencanaan dan pengendalian pelaksanaan daripada semua program sektoral yang masuk ke Desa seperti yang telah digariskan dalam Repelita Ketiga, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Pertama :
Meningkatkan koordinasi perencanaan dan pengendalian pelaksanaan daripada semua program sektoral yang masuk ke Desa seperti yang telah digariskan dalam Repelita ke III.
Dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut “
1.    Melaksanakan sistem perencanaan dari “bawah” (bottom-upplanning) dalam menyusun/mengajukan rencana/usulan/Program/Proyek Pembangunan Desa baik dalam rangka APBN maupun dalam rangka APBD dengan mekanisme kerja sebagai berikut :
2.    Rencana Proyek dalam rangka pembangunan di tingkat Desa/Kelurahan disusun oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dengan bimbingan dari Camat dengan dibantu oleh Kepala Urusan Pembangunan Desa Kecamatan. Rencana/usulan Proyek tersebut disiapkan dan diolah dari bahan-bahan usulan perencanaan yang diajukan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), yang bersangkutan, diajukan oleh Kepala Desa/Kepala Kelurahan kepada Camat yakni :

1.Semua rencana/usulan Proyek dari Desa/Kelurahan yang telah diterima oleh Camat, kemudian dibahas bersama-sama dengan Instansi-instansi yang ada di tingkat Kecamatan melalui Diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) dan Temu Karya LKMD tingkat Kecamatan, dan dapat dilengkapi  pembahasannya dalam forum koordinasi lainnya dengan bimbingan Ketua Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Tk.II dan Kepala Kantor Pembangunan Desa Kabupaten/Kotamadya. Hasil Pembahasan tersebut kemudian dituangkan dalam satu rencana/usulan proyek dari Kecamatan, yang kemudian diajukan oleh Camat kepada Bupati/Walikotamadya, Kepala Daerah bersangkutan.

2.Rencana/usulan Proyek yang telah diterima dari tingkat Kecamatan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah, oleh Ketua BAPPEDA Tk.II dan Kepala Kantor Pembangunan Desa Kabupaten/Kotamadya diolah dan kemudian dibahas bersama dengan semua Instansi yang ada di Kabupaten/Kotamadya bersangkutan dalam Rapat Koordinasi Daerah Pembangunan Desa Tingkat II (RAKORDA BANGDES Tk.II). Hasil pembahasan tersebut dengan berpedoman kepada REPELITA Daerah Tingkat II, dituangkan dalam satu rencana/usulan Proyek dari Kabupaten/Kotamadya untuk kemudian diajukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.

3.Rencana/usulan Proyek yang telah diterima dari tingkat
Kabupaten/Kotamadya oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan dibantu oleh Ketua BAPPEDA Tingkat I dan Kepala Direktorat Pembangunan Desa Propinsi diolah dan kemudian dibahas bersama dengan semua Instansi yang ada di Propinsi bersangkutan dalam Rapat Koordinasi Daerah Pembangunan Desa Tingkat I (RAKORDA BANGDES Tk.I). Hasil pengolahan dan pembahasan  tersebut dengan berpedoman pada REPELITA Daerah Tingkat I, dituangkan dalam satu rencana/usulan Proyek dari Propinsi Dati I untuk kemudian diadakan penyempurnaan dan penyesuaian dengan pengembangan wilayah dalam forum Konsultasi BAPPEDA, untuk selanjutnya diajukan kepada BAPPENAS, dan Departemen Dalam Negeri cq Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Direktorat Pembangunan Daerah.

4.Melakukan pengendalian pelaksanaan daripada semua Program/Proyek Masuk Desa/Kelurahan baik yang berasal dari APBN maupun APBD serta yang berasal dari prakarsa dan swadaya masyarakat dengan mekanisme kerja sebagai berikut :

a.Di tingkat Propinsi Daerah Tingkat I :

Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan dibantu oleh Ketua BAPPEDA Tingkat I dan Kepala Direktorat Pembangunan Desa, Propinsi  mengadakan pengolahan dan penyusunan Data Anggaran daripada semua program/proyek Sektoral yang masuk ke Desa/Kelurahan untuk tiap-tiap Kabupaten/Kotamadya, berdasarkan satuan-satuan anggaran baik yang berasal dari APBN maupun yang bersumber dari  APBD Tk.I, dengan menggunakan kriteria antara lain,
a.              Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, persiapan pelaksanaan dan pelaksanaan program/proyek dimaksud.
b.              Impak dan kemanfaatan program/proyek dalam jangka waktu yang relatif singkat terhadap masyarakat secara langsung.
c.              Keterpaduan dari berbagai program/proyek dalam pelaksanaannya terutama bagi program/proyek sejenis.
 Hasil pengelolaan dan penyusunan data tersebut kemudian disajikan dalam RAKORDA BANGDES Tk.I bersama-sama Instansi-instansi Sektoral dan Dinas-Dinas Otonom, guna memperoleh pengarahan dan petunjuk-petunjuk koordinasi pelaksanaan bagi tingkat Kabupaten/Kotamadya.

b.Di tingkat Kabupaten/Kotamadya :

l. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah dengan dibantu oleh Ketua BAPPEDA Tk.II dan Kepala Kantor Pembangunan Desa Kabupaten/Kotamadya, memerinci Anggaran program/proyek sektoral untuk tiap-tiap Kecamatan, berdasarkan hasil pengolahan dan penyusunan Data Anggaran Sektoral di tingkat Propinsi. Hasil perincian tersebut kemudian disajikan dalam RAKORDA BANGDES Tk.II dan dipadukan dengan anggaran program/proyek sektoral yang bersumber dari APBN, APBD Tk.I dan APBD Tk.II.
2.Hasil perincian dan perpaduan anggaran program/proyek sektoral tersebut pada b.1 diatas, digunakan sebagai bahan pengarahan dan koordinasi pelaksanaan bagi masing-masing Kecamatan bersangkutan.

c.Di Tingkat Kecamatan.

1.    Berdasarkan perincian anggaran program/proyek sektoral yang telah disusun di Tingkat Kabupaten/Kotamadya, Camat dengan dibantu oleh Kepala Urusan Pembangunan Desa Kecamatan mengadakan perincian anggaran program/proyek sektoral untuk tiap-tiap Desa/Kelurahan diwilayahnya yang dipadukan dengan rencana dan kegiatan pembangunan berasal dari prakarsa swadaya gotong-royong masyarakat; kemudian disajikan dalam Temu Karya LKMD Kecamatan dan Diskusi UDKP serta forum-forom koordinasi lainnya, guna meningkatkan koordinasi pelaksanaan program/proyek di tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan yang bersangkutan.
2.    Hasil perincian tersebut pada c.1, diatas digunakan sebagai rencana kerja tahunan bagi masing-masing Desa/Kelurahan, setelah dpadukan dengan kegiatan-kegiatan pembangunan atas dasar prakarsa dan swadaya masyarakat desa bersangkutan.

d.Di Tingkat Desa :

1.    Setelah menerima daftar perincian anggaran sektoral yang masuk ke Desa/Kelurahan, Kepala Desa/Kelurahan mengadakan Rapat LKMD dengan Lembaga Masyarakat Desa, guna mengambil langkah-langkah di dalam pelaksanaan dengan bimbingan dan petunjuk-petunjuk dari Camat/Kepala Urusan Pembangunan Desa Kecamatan.
2.    Dalam pelaksanaan program/proyek di tingkat Desa LKMD berperan sebagai penggerak dan pelaksanaan sesuai dengan fungsi LKMD bersangkutan.

Kedua :
Menyelenggarakan Rapat Koordinasi Daerah Pembangunan Desa (RAKORDA BANGDES) dimaksudkan Diktum Pertama di tingkat Propinsi Daerah Tk.I dan di tingkat Kabupaten/Kotamadya Daerah Tk.II dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.    RAKORDA BANGDES diselenggarakan sedikitnya 2 kali setahun, yaitu 1 kali dalam rangka penyusunan/pengajuan rencana/usulan proyek (koordinasi perencanaan), dan l kali dalam rangka pengendalian pelaksanaannya (koordinasi pelaksanaan).
  1. Jadwal/waktu penyelenggaraan supaya disesuaikan dengan jadwal waktu penyusunan RAPBN/RAPBD dan pelaksanaan APBN/APBD setiap tahunnya.
  2. Pimpinan RAKORDA BANGDES
    1. Di tingkat Propinsi Daerah Tingkat I dipimpin oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dibantu oleh Ketua BAPPEDA Tk.I dan Kepala Direktorat Pembangunan Desa Propinsi dan dihadiri oleh semua Kepala Instansi Sektoral, Dinas-dinas dan Lembaga-lembaga yang mempunyai kegiatan pembangunan
    2.  Desa/Kelurahan.
    3. Di tingkat Kabupaten/Kotamadya dipimpin oleh
    4.  Bupati/Walikoramadya Kepala Daerah Tk.II dengan dibantu oleh Ketua BAPPEDA Tk.II dan Kepala Kantor Pembangunan Desa 
    5. Kabupaten/Kotamadya dan dihadiri oleh semua Kepala Instansi Sektoral dan Instansi Otonom serta Lembaga-lembaga yang mempunyai kegiatan di Desa/Kelurahan
Ketiga :
Memberikan bimbingan, pembinaan dan petunjuk-petunjuk kepada Camat dan Kepala Desa/Kelurahan dalam rangka penyiapan dan penyusunan rencana, pengendalian pelaksanaan dan penyesuaian dan pemantapan jadwal waktu penyelengaraan Diskusi/Temu Karya UDKP dan LKMD serta forum-forum sejenis di tingkat Kecamatan dan Desa/Kelurahan.

Keempat.
Menyediakan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Instruksi ini pada APBD Tk.I dan APBD Tk.II yang bersumber dari dari Dana Bantuan Pembangunan Daerah Tk.I (INPRES DATI I).  Biaya dimaksud antara lain untuk keperluan persiapan perncanaan, kelengkapan dokumen perencanaan, pembinaan, monitoring dan evaluasi dan keperluan kesektariatan.

Kelima :
Melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri dan Kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan dengan bidang Pembangunan Desa mengenai perkembangan pelaksanaan Instruksi ini selanjutnya Direktur Jenderal Pembangunan Desa berkonsultasi dan bekerjasama seerat-eratnya dengan Direktur Jenderal Pembanguan Daerah memberikan petunjuuk selanjutnya tentang pelaksanaan Instruksi ini,

Ditetapkan di Jakarta,
Pada tanggal l2 Pebruari l981
Menteri Dalam Negeri;

Ttd. Amir Mahmud