H U T A N
ULAYAT S U K U
REALITAS MASYARAKAT
SUKU ROTE, TIMOR. BELU
SERTA PERILAKUNYA TERHADAP HUTAN
Perilaku
Ekonomi Tradisional
Masyarakat
Suku
Sistem Pertanian Masyarakat Suku Timor Dan Rote
Oleh:Drs.SimonArnoldJulianJACOB
Prof.Dr.James Fox dalam bukunya tentang “Kehidupan Orang Rote” berjudul “Harvest of the Palm”(l975), mengangkat sebuah matriks yang memperlihatkan adanya korelasi perilaku masyarakat Rote dengan jenis lingkungan hidup yang mereka hadapi.
Pendeta
Drs.Max Jacob, MTH, (kakak kandung penulis), dalam laporan (Sorvey Permasalahan Hutan Lindung di Nusa
Tenggara Timur, Kerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi NTT dan Universitas
Kristen Arha Wacana Kupang, l991 tentang Realitas Masyarakat Suku serta
Prilakunya terhadap Hutan, hal.35), merupakan
sisi lain dari Budaya yang perlu dipahami berbagai pihak tentang : “Proses Kerusakan
Hutan dan Lingkungan hidup di NTT oleh masyarakat adatnya”, dan memikirkan
upaya cara-cara mengatasinya, yang
dikutib sebagai berikut :
Adalah sukar untuk
mengatakan tentang adanya satu pola tunggal prilaku Suku Rote, Timor dan Belu
(sekurang-kurangnya sebagai mewakil kelompok suku-suku tradisional lainnya di
NTT). Sekurang-kurangnya ada 4 unsur
pokok yang membedakan prilaku ekonomi mereka, yaitu :
1.
Unsur manusianya, yang berhubungan dengan adat istiadat
dan berbagai kebiasaan yang diwarisi oleh setiap kelompok masyarakat tradisional
sejak zaman nenek moyang, yang masih tetap dipegang dan dipelihara;
2.
Unsur sistem pengetahuan dan tehnologi yang dikembangkan
oleh masing-masing kelompok masyarakat sebagai cara untuk menyadap
sumber-sumber daya alam yang tersedia;
3.
Unsur lingkungan hidup, yaitu apa-apa saja yang tersedia
sebagai sumber daya alam yang dapat digunakan guna menunjang keberadaan dan
kelangsungan hidup kelompok-kelompok tersebut; dan
4.
Intensitas interaksi dengan berbagai kebudayaan dari luar yang berakibat pada
kulturasi kebudayaan.
Walaupun secara teoritis
keempat unsur yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat suku itu dapat
dipilah-pilah, dalam kenyataannya unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi satu
sama lainnya.
Dikalangan masyarakat
Rote, biasa terdengar pernyataan yang cenderung angkuh, yang mengatakan, “bahwa
orang Rote tidak pernah kelaparan”. Yang
mereka maksudkan ialah karena mereka, “memiliki cadangan gula air atau gula cair atau gula lontar, dalam guci-guci gerabah
(tanah liat) yang tersimpan di loteng-loteng rumahnya, disamping lumbung padi yang tidak pernah kosong”. Dengan
mengkonsumsi nira lontar sebanyak satu sampai dua liter dengan, sepiring sayur
marungga (kelor) rebus, dan beberapa
potong ikan kering bakar serta, sayur laut rebusan dengan cuka-rote pada pagi
hari, orang Rote sudah mengkonsumsi
cukup energi dan vitamin yang membuatnya
kenyang sepanjang pagi, sampai kelak ia makan nasi sesekali pada siang
hari, lalu melakukan pekerjaan rutinnya dengan cukup bertenaga.
Oleh karena mereka sudah
terbiasa dan berpengalaman, maka mereka telah menghapal benar dan pasti, berapa
blik / blek bibit padi yang akan dipergunakan untuk menanami sebidang sawah
tersebut.
Pekerjaan ini adalah pekerjaan wanita, mulai dari,
Ø pesemayam bibit,
Ø penanaman,
Ø membersihkan rerumputan serta,
Ø penunaian hingga sampai pada,
Ø penyimpanan dilumbung, yang terletak di loteng rumah tinggalnya.
Ketika teknik
gogo-rencah itu diperkenalkan, orang Rote dengan cepat mengadopsi teknologi mudah tersebut. Mereka
mencangkul sawahnya pada akhir musim kemarau, lalu menanaminya sebagai padi
ladang, sambil menanti hujan merubahnya menjadi sawah. Diskripsi sederhana
tentang pola prilaku orang Rote yang digambarkan di atas, tidak terdapat
diantara masyarakat tradisional Timor
maupun Belu. Hal ini disebabkan karena adat kebiasaannya berbeda,
teknologi yang digunakan berbeda dengan pulau Rote.
Pulau Timor memiliki
lingkungan alam yang agak berbeda dengan pulau Rote. Keadaan tanahnya yang
berbukit-bukit, dengan tingkat kemiringan yang besar memberi sedikit sekali
peluang untuk bertani sawah, kecuali di beberapa bagian tertentu seperti
bentaran tepian sungai, dataran rendah, namun bagian-bagian ini, umumnya
menjadi milik orang Rote. Sebagian besar
telah diolah dan dikerjakan menjadi sawah oleh orang-orang asal pulau Rote yang
telah bermukim sejak tahun l812
saat diangkut oleh Belanda untuk memerangi Raja-raja Timor dan Portugis.
Baru dalam abat
terakhir ini orang-orang Timor belajar bersawah dari orang Rote.
Alat-alat
pertanian orang Timor yang paling dikenal adalah “parang dan kapak / kampak,”
ternyata ikut membentuk perilaku pertanian yang bertumpu pada perladangan. Di
daerah-daerah pegunungan dengan ketinggian 1000
meter ke atas yang lebih lembab serta berpadang rumput, petani membongkar tanah
dengan linggis / besi gali, untuk dijadikan kebun tanaman pangan, terutama
ubi-ubian dan jagung. Berhubung
hasil-hasil tanaman bahan pangan ditempat-tempat yang tinggi tidak memuaskan,
petani beralih ke tanaman perdagangan seperti kuenter dan bawang putih.
Masyarakat petani
Belu mengenal pula perladangan.
Prof.Dr.James
Fox dalam bukunya tentang Kehidupan Orang
Rote berjudul “Harvest of the Palm”(l975), mengangkat sebuah matriks
yang memperlihatkan adanya korelasi perilaku masyarakat Rote dengan jenis lingkungan hidup yang mereka hadapi.
Ada tiga korelasi penting yang ditunjukkan FOX.
1. Ada korelasi yang
amat tinggi di antara daerah berpadang rumput dengan peternakan kambing-domba.
- Ada korelasi yang amat tinggi antara daerah yang
kaya pohon lontar dengan tingkat penyadapan lontar dengan pemeliharaan
babi kampung.
- Ada korelasi yang amat tinggi dengan daerah-daerah
yang bersumber air yang memungkinkan adanya pertanian sawah dengan
peternakan kerbau / sapi.
Dengan model matriks
yang dikemukakan FOX tentang Rote itu, kita dapat pula
membangun
matriks-matriks serupa guna mengukur tingkat korelasi antara jenis
kegiatan masyarakat
tradisional dengan kondisi alam lingkungan yang
dihadapinya di pulau
Timor.
- Ada korelasi yang tinggi antara daerah-daerah
berpadang rumput, baik didataran-dataran rendah (Bena sampai Kolbano),
maupun di daerah-daerah yang tinggi seperti sebagian besar Amfoang, Molo,
Amanubang dan Amanatun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, seluruh daerah
berpadang rumput di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Belu dengan peternakan
sapi Bali yang sifatnya masih extensif. Di situ terdapat pula
pemeliharaan kuda, kerbau, tetapi jumlahnya sudah semakin berkurang /
menurun.
- Ada korelasi yang tinggi antara pola pertanian “tebas-bakar” dan “berpindah-pindah”
di daerah-daerah berlereng-lereng dan berhutan belukar. Tanaman bahan
pangan utama di ladang-ladang yang demikian terutama, jagung, turis, labu,
ubi kayu serta berbagai jenis tanaman pangan lainnya yang tidak
menghendaki adanya genangan air. Bertani tebas-bakar tersebut punya korelasi pula dengan peralatan pertanian yang digunakan..
Sepanjang alat-alat pertanian yang dimiliki para petaninya adalah “parang
dan kapak” maka pola pertanian masyarakatnya sudah
dapat ditentukan dengan pasti, yaitu tebas-bakar dan berpindah-pindah lahan.
3.
Ada korelasi yang tinggi antara pola pertanian “menugal” dengan lingkungan yang berpadang rumput. Di
hampir semua daerah padang rumput di Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara
dan Belu yang jarang pepohonannya,
masyarakatnya bertani dengan jalan membongkar padang-padang rumput dengan
menggunakan “tugal”(kayu/bambu
berujung runcing), besi gali dan lainnya.
Pola
pertanian menugal di padang rumput tersebut mempunyai korelasi dengan
jenis-jenis tanaman yang ditanami petani.Daerah-daerah pegunungan dengan tigkat
kelembaban yang tinggi terdapat jenis tanaman pangan ubi-ubian seperti ubi
jalar, atau kentang. Daerah-daerah seperti itu amat cocok pula dengan tanaman
perdagangan seperti kuenter atau bawang putih. Sedangkan pola pertanian “menugal”
di daerah rendah terutama ditujukan untuk penanaman jagung karena iklimnya yang
sesuai.
Di lahan-lahan seperti
di Landu, kecamatan Rote Timur
terdapat tanaman botok (milet, jawawood), yang tidak
dibutuhkan terlalu banyak tanah untuk tumbuh dan berproduksi. Sudah tentu
korelasi-korelasi antara jenis peralatan pertanian dengan, kondisi tanah, jinis
tanaman yang disebutkan diatas bukanlah suatu patokan yang baku. Di sana-sini
terdapat berbagai variasi lain, walaupun korelasinya rendah. Akan tetapi dengan
korelasi seperti itu akan memudahkan untuk menentukan adanya berbagai jenis kecenderungan prilaku ekonomi
dari berbagai kelompok masyarakat tradisional yang hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda. Kecenderungan-kecenderungan perilaku ekonomi
masyarakat tradisional yang dikemukakan di atas mengandung nalar yang cukup
tinggi dan masuk akal tentang bagaimana dan seberapa jauh mereka bereaksi dan berespons dalam konteks iklim, topografi, keadaan tanah, dan
kondisi-kondisi lingkungan yang berbeda-beda, dalam rangka pemenuhan kebutuhan
hidupnya secara berkecukupan, yang self
sufficient dengan menerapkan teknologi
tepat guna.
Cadangan gula air yang berlimpah-limpah di kalangan orang
Rote sebagai penyedia energi di
samping padi, mengandung nalar bahwa orang Rote telah sejak lama menemukan kunci persediaan makanan
yang membuatnya tidak khawatir tentang keadaan hari esok yang dapat berubah-ubah.
Hal itu berarti bahwa bila tiba musimnya untuk bekerja di salah satu sektor
kegiatannya, entah,
Ø
menyadap pohon lontar (palm)
dan,
Ø memasak
gula atau,
Ø mengerjakan sawah untuk mengisi lumbung
padinya,
maka
ia akan mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya agar berhasil
usahanya. Kegiatan-kegiatan
pertanian lainnya, seperti bertanam palawija, seperti bawang, kacang hijau,
sayur-mayur dan lainnya, merupakan alternatif yang membuatnya lebih sejahtera,
tetapi yang bukan penentu mati hidupnya. Bagi masyarakat
tradisional Timor, yang kondisi lingkungannya lebih sukar
karena iklimnya yang tak menentu, buminya berlereng-lereng, jenis tanahnya yang
tak begitu subur, maka pola bertani “tebas bakar” dan menanaminya dengan jenis tanaman bahan
pangan yang sesuai dengan kondisi tersebut “mengandung kebenaran” Tujuannya ialah untuk memenuhi
kebutuhan pangannya secara subsisten untuk
setahun. Dalam ladangnya yang relatif sempit, setiap jengkal tanahnya diisi
dengan jenis tanaman bahan pangan pilihan yang sesuai dengan kondisi tersebut.
Setiap dua tiga lubang tanaman jagung,
ia juga memasukkan juga dua tiga benih
kacang turis, mengandung nalar tentang diet yang seimbang antara karbohidrat
dan protein nabati yang dikonsumsinya. Lahan sempit itu tidak dibiarkannya
kosong pada setiap celah yang masih dapat diisinya dengan berbagai jenis
tanaman bahan pangan lainnya, sehingga secara nalar dapatlah dikatakan bahwa orang Timor menerapkan pola pertanian lahan kering dan sempit tetapi “padat
tanaman”. Gunung-gunung batu dengan hutan lebat
dilereng-lereng yang terjal di komplek hutan lindung Mandeu-Lakaan tidak
mungkin diladangi. Tetapi pada tanah-tanah miring yang berbelukar, ditebas
menjadi ladang. Lingkungan seperti itu mendorong pertanian tanah padang rumput
dengan jalan ‘menugal’, suatu
tradisi masyarakat Belu yang telah lama dipelajarinya.
Pola Kebutuhan Masyarakat SukuAkan
Kayu
Ormeling Dr.F.J
dalam bukunya “The Timor-Problem (l955:54) mengawali bagian tentang Natural
Vetation dengan pernyataan bahwa
di dalam suatu ekonomi yang sederhana seperti Timor, manusia hidup amat dekat
dengan dunia tetumbuhan. Pernyataan ini tentu bukan hanya berlaku bagi
masyarakat tradisional Timor saja, melainkan juga berlaku bagi masyarakat Belu
dan Rote, dan masyarakat tradisional lainnya di NTT. Andai kata tanaman bahan
pangan gagal karena kekeringan atau kebanyakan hujan, maka mereka dengan mudah
akan kembali ke hutan untuk
mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di situ, yang dikenalnya dalam
kebudayaannya. Bagi orang Rote akan
mempertahankan hidupnya dengan menyadap
pohon lontarnya lebih intensif.Orang Timor akan ke hutan
mengumpulkan berbagai jenis umbi-umbi hutan, kacang-kacangan hutan (koto)
buah-buahan dari berbagai pohon tertentu, atau putak (sagu) dari batang pohon
gewang/gebang (corrypha eleta) dan sebagainya untuk dapat
bertahan hidup.
Sama pula halnya dengan
masyarakat tradisional lainnya, masyarakat Belu akan mengarahkan pandangannya
pada hutan gewang/gebang yang ada dan mengolah batangnya menjadi sagu yang halus untuk
dimakan.Suku-suku tradisional yang hidup di dalam, dengan alam lingkungannya
itu telah sejak lama mengenal berbagai sifat tetumbuhan di sekitarnya,
memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Mereka
juga mengenal berbagai biji-bijian yang mengandung protein atau karbohidrat
tetapi yang bersenyawa dengan jenis racun yang mematikan, seperti “koto fui” (arbila hutan) (Latinnya: datura factucia) yang mengandung
bahan sianida.
Untuk
menguraikan sianida yang
mematikan itu, mereka merebusnya sampai berganti airnya l0 kali atau lebih sebelum menjadi makanan yang enak. Schulte Nordhold, (l971) ketika menjabat sebagi
Controleur di Kefamenanu (Timor Tengah Utara) sesudah Perang Dunia ke II, mengadakan suatu kompetisi guna mengidentifikasi flora di antara murid-murid
sekolah Dasar tahun l947.
Dilaporkan bahwa murid-murid sekolah dapat mengidentifikasi sekitar 670
jenis pohon dan perdu, diantaranya seorang gadis dengan bantuan keluarganya
mampu mengidentifikasi 311 jenis dan memenangkan kompetisi itu.
Daftar nama tetumbuhan itu disusun kembali lalu dikirimkan
ke Balai Penyelidikan Kehutanan, Bogor guna diberi nama ilmiah (Latin), dan
dikerjakan oleh Dr.Ir.E.Meijer
Dress di bawah judul “Daftar
Nama-Nama Pohon-Pohon dan
Perdu-Perdu, Pulau Timor”, dan diterbitkan oleh Jawatan Kehutanan, Kementerian
Pertanian, Bogor, l950.
Perlu ditegaskan di sini bahwa kemampuan mengidentifikasi
alam adalah awal kebudayaan. Dikisahkan dalam ALKITAB orang
Kristen pada, Kitab Kejadian 2, bahwa Adam memulai kegiatan kebudayaannya di
Taman Eden dengan mengidentifikasi dan memberi nama-nama kepada
binatang-binatang dan sudah tentu pula dunia tumbuh-tumbuhan.
Dengan melakukan,
Ø identifikasi dan,
Ø mengklasifikasi alam,
Ø manusia mengenali sifat-sifat serta hukum-hukum yang berlaku dalam alam,
Ø kemudian manusia memanipulasinya dengan teknologi, guna menyadap hasilnya
bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidupnya.
Demikianlah yang terjadi pada suku-suku tradisional di
Timor yang disurvei ini.
Berbagai jenis tanaman penghasil,
Ø karbohidrat dan,
Ø protein untuk makanan,
Ø berbagai jenis dedaunan untuk suplai vitamin dan ramuan obat-obatan,
Ø berbagai jenis tanaman berserat yang dapat dipintal untuk dijadikan
pakaian, tali, dan berbagai artifak,
Ø berbagai jenis kayu-kayuan untuk bangunan, perabotan, senjata, pertahanan
dan keamanan usaha, berupa pagar dan,
Ø untuk energi (kayu api).
Pokok yang ingin diketengahkan di sini ialah tentang
beberapa perilaku masyarakat suku tentang hutan dan kayu-kayuan pada umumnya.
Kebutuhan Kayu Sebagai Penghasil
Bahan
Bangunan
Di antara ketiga suku yang disurvey, Rote, Timor dan
Belu, orang Rote-lah yang paling beruntung karena buminya limpah ditumbuhi
dengan poho lontar (Borassus
flabeliffer). Bagian terbesar dari pohon lontar tersebut telah mampu
dimanfaatkan oleh orang Rote, sehingga FOX (l975) menyebutnya sebagai “Fokus Kebudayaan Orang Rote”.
Orang Rote menyebut dirinya sebagai,
Ø Lahir di atas pohon lontar (tikarnya)
dan,
Ø Mati di dalam batangnya (peti
matinya).
Ø Kulit batangnya yang tebal dan
berserat keras dan liat dibelah-belah dan dijadikan balok-balok untuk bangunan
rumah yang tahan lama.
Ø Batangnya yang lurus memungkinkan untuk membuat balok sepanjang yang dapat
diinginkan menurut ukuran rumah yang mau dibangun, tanpa perlu
menyambung-nyambungnya.
Ø Balok lontar ini disebut “mopuk”.
Ø Mopuk digunakan untuk balok rumah, usuk, ring, dinding, dek induk rumah dan
loteng.
Ø Daun pohon lontar yang tua, dijadikan bahan atap rumah. Daunnya yang masih
muda digunakan untuk membuat ember daun lontar, yaitu “Haik”.
Ø Kulit pelepah daunnya diraut menjadi tali yang amat kuat dan tahan lama,
disebut “fepak”
Ø .Pelepahnya disebut “bebak”, digunakan untuk pagar.
Sebagian besar bahan bangunan yang digunakan untuk
membangun sebuah rumah adat Rote diambil dari pohon lontar.
Kayu hanya dibutuhkan
untuk tiang rumah, berupa kayu pilihan yang amat lama tahannya, yaitu kayu
merah. Dengan semakin tertariknya masyarakat Rote akan type rumah modern yang
membutuhkan kusen pintu, jendela, orang Rote belajar menggergaji balok-balok
dari kayu. Pada umumnya mereka menggunakan kayu soga (kayu laru) yang banyak
terdapat / tersedia dalam lingkungannya.
Lingkungan alam Timor menyediakan, kayu putih (eucalyptus alba) untuk tiang rumah dari kebanyakan rumah
orang Timor maupun Belu. Di samping itu dimanfaatkan pula kasuari (casuarima junghuhniana) dan bambu
hutan (bambu spinosa) untuk
bahan bangunan rumah mereka. Sering
kali kayu bangunan yang mereka gunakan bukanlah kayu pilihan yang tahan lama.
Oleh sebab itu rumah-rumah tradisional
Timor dan Belu lebih banyak menggunakan bahan kayu yang diambil dari
hutan, jika dibandingkan dengan suku Rote yang lebih hemat dibanding dengan
masyarakat tradisional suku Timor dan Belu. Ditinjau dari sudut
frekwensi penggunaan kayu untuk bahan bangunan, haruslah dikatakan bahwa
masyarakat tradisional Rote lebih
hemat dibanding masyarakat tradisional Timor dan Belu. Ditinjau dari sudut
pemanfaatan kayu yang berasal dari hutan, maka orang Rote jauh lebih sedikit
mengambil kayu yang berasal hutan jika dibandingkan dengan suku tradisional
Timor dan Belu. Dari sudut penghematan
dalam penggunaan kayu pun, orang Rote lebih efesien, karena sisa batang lontar
yang tidak digunakan hanya sedikit, jika
dibanding dengan penggunaan kayu hutan. Sebatang pohon lontar dapat
menghasilkan 8 belahan pada
batangnya untuk balok. Jika balok yang diinginkan ukuran panjangnya 6 meter, maka sebatang pohon lontar tua
yang tinggi, mampu memberikan l6
balok. Sisa pada ujung batang adalah terlalu muda untuk dimanfaatkan.
Namun pelepah dan
daunnya masih dapat digunakan untuk tali, bahan untuk pagar dan atap. Sisa yang
terbuang sedikit. Pada orang Timor dan Belu, hanya batang kayu yang lurus
diambil menjadi bahan bangunan, sedangkan sisa batang, cabang, ranting betapa
pun besar kayunya akan dibiarkan dan tidak terpakai. Mereka mencari pohon
berikutnya / lainnya lagi yang dapat memberikan batang yang lurus.
Dengan
demikian, dari sebatang pohon yang ditebang, mungkin hanya diperoleh satu
potong kayu glondongan saja. Prilaku
semacam ini lebih banyak merusak hutan.
Perlu ditambahkan
disini, bahwa setiap keluarga Rote
memiliki hutan lontarnya masing-masing yang tumbuh di atas tanahnya sendiri
dan dijadikan
sebagai barang / harta warisan untuk anak-anaknya dikemudian hari.
Bagi
orang Rote dan Timor, kayu ditebang dari hutan yang tidak pernah diusahakan/
dibudidayakan dengan sengaja. Dari
survey ini diperoleh data bahwa ada sejumlah keluarga tertentu yang menanami
batas-batas kebunnya dengan tanaman jati.
Ada di antara mereka yang telah memanfaatkan kayunya. Akan tetapi sebagian
besar di antara terjadi ketidak seimbangan antara pertambahan penduduk dengan
tumbuhnya hutan penghasil kayu. Karena itu hutan penghasil kayu di Timor
menjadi kritis.
Pohon Sebagai
Penghasil Energi
Bahan
kayu untuk bangunan perumahan akan semakin bertambah apabila dalam satu
generasi, anak-anak tumbuh menjadi dewasa dan harus memeliki rumah sendiri. Hal
ini berarti bahwa apabila terjadi pertambahan penduduk di desa, maka kebutuhan
akan kayu menjadi meningkat pula. Selama hidupnya, sebuah keluarga dalam
masyarakat suku, jika tidak terjadi musibah seperti kebakaran rumah, mungkin
hanya memiliki sebuah rumah saja. Walaupun
dibutuhkan kayu-kayu bangunan, namun jumlahnya sedikit saja, yaitu untuk
memperluasnya, atau memperbaiki bagian-bagian rumah yang rusak. Tetapi rumah-rumah dengan bahan bangunan
berkualitas rendah seperti di Timor, berarti lebih sering keluarga bersangkutan
memerlukan kayu bangunan dari waktu ke waktu, tetapi kebutuhan itu relatif
kecil jika dihitung umur rumah yang panjang.
Salah satu kegiatan
masyarakat tradisional yang paling banyak mengkonsumsi kayu ialah masak-memasak serta lain kegiatan kerumahtanggaan yang memerlukan kayu api. Masyarakat
tradisional sangat menggantungkan diri sepenuhnya pada kayu api sebagai sumber /
penghasil utama energi. Hal ini berarti ia menggantungkan diri sepenuhnya
kepada pohon dan hutan sekitarnya sebagai penghasil kayu untuk energi (kayu api
untuk memasak). Dalam hal ini perilaku kelompok-kelompok masyarakat Rote, Timor
dan Belu, berbeda-beda terhadap pepohonan.
Belum
ada orang yang menghitung kebutuhan kayu api di antara suku-suku yang
diperbincangkan di sini. Tetapi dalam buku “Living
in the Environment”, G.Tyler Miller Jr. (l979 : 189) melaporkan bahwa
rata-rata masyarakat pedesaan membakar 909
kg (sekitar l Ton) kayu api per-kapita / tahun. Sepertiga penduduk dunia dan 90
persen penduduk di negara-negara berkembang menggunakan kayu sebagai
pembangkit enegi yang terutama. Menurut penyeledikan tersebut 80 persen dari semua kayu yang ditebang
dan di potong di negara-negara sedang berkembang digunakan untuk kayu api karena mereka tidak dapat dan
tidak mampu membayar harga bahan bakar minyak (BBM) untuk
keperluan itu. Apalagi mulai terhitung 1 Oktober 2005 dan 23 Mei 2008 Pemerintah mengumumkan
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) lebih
tidak memungkinkan rakyat membeli BBM sebagai bahan bakar memasak. Dengan penjelasan diatas dapatlah
dirumuskan postulat sebagai berikut :
Ø Penggunaan kayu api perkapita dalam masyarakat tradisional adalah tetap (l ton/per-kapita/tahun).
Ø Penggunaan kayu api per-kapita akumulatif meningkat sesuai dengan
pertambahan penduduk;
Ø Jika hutan penghasil
kayu api tidak mengalami peningkatan baik dalam mutu maupun volume, maka
semakin bertambahnya jumlah penduduk, semakin merosot pula mutu maupun
kapasitas hutan.
Sebagai akibatnya,
hutan yang ada, akan kehilangan kanopi atau mahkota daun penutup
tanah, yang membawa berbagai dampak
negatif, yaitu :
Ø Merosotnya mutu tanah;
Ø Menurunnya daya serap air pada tanah;
Ø Semakin meluasnya
padang rumput.
Telah disebutkan diatas
bahwa perilaku masyarakat suku tradisional memiliki kekhasan yang berbeda-beda.
Ketiga kelompok masyarakat suku yang
disebutkan diatas setuju, kayu kosambi (Schleihera
oleosa) adalah kayu penghasil energi terbaik di antara semua pepohonan
yang ada di Rote dan Timor. Nyala api kosambi amat konstan, suhu yang
dihasilkannya tinggi, proses membakarannya lamban dan menghasilkan arang kayu terbaik.
Kosambi sebagai penyedia energi terutama orang Rote, untuk merobah/memasak nira
lontar menjadi gula cair / gula-rote. Minimum diperlukan nyala api yang konstan
selama sekitar 4 jam untuk
menguapkan kira-kira 85 % air yang
terkandung dalam nira, sebelum
diperoleh gula yang baik mutunya. Orang
Timor dan Belu mengunakan kosambi
untuk merebus jagang biji yang kering dan keras sebelum dapat di makan. Proses merebus jagung
memerlukan panas yang konstan minimum 2
jam.
Perbedaan konstruksi
tungku mempengaruhi pola penggunaan kayu api. Untuk memasak gula, orang Rote
membangun tungku tertutup, dua jajar periuk tiga-tigaan, yang dikonstruksi dari
bahan tanah liat bercampur merang dan sekam. Masing-masing periuk mampu
menampung 8–l0 liter nira. Dengan
menggunakan jumlah kayu api yang sama untuk mendidihkan nira dalam 6 (enam) periuk sekaligus
memperlihatkan prilaku hemat energi yang luar biasa. Pada orang Timor dan Belu,
tungkunya terbuka dengan menggunakan tiga batu untuk alas periuk. Dengan
menggunakan l (satu) periuk untuk
setiap tungku terbuka, energi terbuang menjadi amat besar, sehingga konsumsi
kayu api pun menjadi lebih besar / banyak. Prilaku terhadap
pohon kosambi maupun pohon penghasil kayu lainnya pun berbeda di antara ketiga
kelompok suku itu. Orang Rote memandang
pohon kosambi sebagai produsen energi terbaik. Pada setiap akhir musim kemarau,
ranting-ranting pohon yang telah mencapai garis tengah di atas 5 cm dipangkas. Kayunya ditimbun di
pinggir rumah sebagai cadangan energi (kayu api) selama musim penghujan dan
untuk digunakan di dapur. Batang dan cabangnya dibiarkan bertunas kembali untuk
cadangan energi berikutnya.
Walaupun pohon kosambi
tidak ditanam orang, setiap keluarga Rote menyatakan haknya atas hutan kosambi
tertentu sebagai milik keluarga. Kosambi yang tumbuh dihalaman rumah akan
dibiarkan hidup, baik untuk naungannya yang bagus, maupun untuk energi yang
dihasilkannya. Di kalangan orang Timor dan Belu, pemangkasan terhadap
pohon ditujukan kepada cabang-cabangnya yang besar, karena diperlukan untuk “se’i pena” yaitu mengasapi jagung yang
digantung di loteng dapur sebagai ganti penjemuran di panas matahari.
Pengasapan
jagung seperti ini berlangsung sepanjang tahun, baik siang maupun malam. Karena
itu diperlukan batang kayu yang besar dengan proses pembakaran yang
lamban/lama.Hal itu berarti pohonnya
harus ditebang untuk dibawa pulang bagi maksud tersebut. Dengan tungku hemat energi yang dikemukakan
oleh orang Rote, penggunaan kayu api
berenergi tinggi, disamping dapat
dihematkan, kedalam tungku itu dapat dimasukkan kayu-kayu jenis lain, seperti
pangkal pelepah lontar yang kering, ranting-ranting kering lainnya sebagai
penambah energi.
Jika dibandingkan
lingkungan hutan-hutan ulayat suku-suku tersebut, maka hutan ulayat suku Rote jauh lebih
lestari dari pada yang di pulau Timor pada umumnya. Di Timor sebelum tahun l985, pemerintah menggalakkan
penghijauan dengan tanaman pohon lamtorogung, antara lain untuk mengembalikan
kelestarian lingkungan savana dan memperkaya unsur “N” dalam tanah, dimaksudkan pula sebagai cara untuk mengatasi
krisis kayu api karena pola konsumsi
kayu api yang tinggi. Dengan musnanya
lamtorogung karena bencana kutu-loncat, maka perlu dicarikanlah alternatif lain guna memenuhi kebutuhan rakyat akan
kayu api ini.
Satu aspek lain dari
kebutuhan kayu api adalah perdagangan kayu api untuk konsumsi energi masyarakat
kota dan kota-kota kecil di pedalaman. Bertumbuhnya kota-kota Kabupaten dan
Kecamatan serta perwakilan-perwakilan kecamatan berarti pertambahan penduduk non-suku
asli setempat. Mereka tidak memiliki hutan ulayat untuk dapat diambil kayunya
bagi kebutuhan energi bagi kepentingan masak-memasak. Sukarnya distribusi bahan bakar minyak (BBM) ke daerah pedalaman,
maka warga masyarakat kota menggantungkan kebutuhan akan kayu api dari masyarakat suku-suku
disekitarnya. Kayu api perlu dimasukkan
ke-kota-kota. Para petani yang ingin
mendapatkan sedikit uang tunai pembeli kebutuhan-kebutuhan kecilnya,
berbondong-bondong pergi ke kota
berbekalkan parang dan seutas tali.
Di jalan, mereka singgah
ke hutan untuk mengumpulkan kayu api lalu membawanya ke kota. Dicatat bahwa
kayu api paling banyak mengalir ke kota lewat bahu murid-murid sekolah. Sebagian diantaranya telah mempunyai langganan
tetap. Tetapi
warga masyarakat kota pun memerlukan kayu penghasil energi yang baik
kualitasnya. Mereka (orang kota) memberi tekanan dengan syarat kepada
langganannya untuk membawa kayu api berkualitas prima, atau kayu apinya tidak
akan dibeli. Tekanan seperti itu memaksa anak-anak sekolah membabat pohon-pohon
penghasil energi yang baik mutunya. Bergantung pada besar-kecilnya jumlah rumah
tangga masyarakat kota, begitu banyak pula kebutuhan akan kayu api harus
dipenuhi. Ada anggota masyarakat yang berkeinginan menimbun cadangan kayu api di
rumahnya. Mereka melakukan pemesanan kayu api berkualitas baik kepada anggota
masyarakat suku yang berdiam di desa-desa sekitarnya. Penimbunan kayu api di
desa, dapat berarti sekedar mengumpulkan kayu-kayu kering di hutan sekitar.
Cara ini membuat radius kerja penebangan pohon, menjadi
berlipat ganda
luasnya
dan jaraknya; lagi kayu kering yang ditemukan belum tentu bermutu baik sesuai
permintaan kota. Tinggal dua pilihan, yaitu menebang cabang-cabang pohon
kemudian ditimbun sambil mengering perlahan-lahan oleh sinar matahari, atau
membongkar pagar bekas ladang untuk kemudian diganti dengan bahan pagar baru
yang diambil dari hutan sekitarnya. Mana pun di antara kedua alternatif
tersebut yang dipilih, beban akhirnya
akan jatuh kepada hutan yang ada. Tidak ada data tentang jumlah kayu api
yang di pasok dari desa-desa ke kota-kota yang ada di Rote maupun di Timor,
baik lewat usaha perseorangan maupun dengan pengangkutan yang menggunakan
truk-truk itu.
Jika
perhitungan konsumsi kayu api yang diajukan oleh Tyler Miller Jr yang telah dikutip diatas digunakan, maka jumlah
kayu api yang dikonsumsi masyarakat kota adalah equivalen dengan akumulasi
penduduk kota per-kapita / ton/tahun. Jika
dewasa ini kita mengunjungi Pulau Timor, maka hampir nyaris, pulau tanpa pohon yang berarti lingkungan menjadi terancam.
Pola Kebutuhan Kayu Pagar
Dalam Shifting Cultivation
Diatas telah dikemukakan
3 beban kebutuhan masyarakat
tradisionmal akan kayu yang harus dipikul oleh lingkungan hidup, terutama hutan
bagi kehidupannya secara fungsional dan demi kelangsungan hidupnya, yaitu
:kebutuhan akan lahan pertanian, kayu bangunan dan kayu api.
Perlu ditambahkan pula
disini sebuah kebutuhan lain yang harus dipikul lagi oleh hutan, yaitu
kebutuhan akan bahan pagar. Mengapa masyarakat tradisional memerlukan pagar dan
apa-apa saja yang perlu diberi pagar? Masyarakat
yang tinggal didaerah savana memerlukan tanah pertanian untuk menyediakan bahan
pangan, tetapi memelihara ternak guna memanfaatkan potensi padang rumput yang
besar itu. Kebiasaan memelihara
ternak secara ekstensif mengandung konsukuensi bahwa semua tanah yang dijadikan
daerah pertanian harus dipagari guna mencegah pengrusakan lahan oleh ternak. Daerah-daerah yang harus
diberi pagar ialah : halaman rumah, kebun tanaman umur panjang, mamar (kebun
kolektif atau hutan produksi tetap), ladang-ladang dan sawah (kalau ada).
Maka jenis lahan yang diberi pagar sbb:
Ø Ada pagar individual, artinya
setiap keluarga mengamankan daerah-daerah pertaniannya dengan mengusahakan
pagar atas usaha sendiri.
Ø Ada pagar kolektif, artinya setiap petani
mempunyai kewajiban menegakkan dan membangun pagar menurut ukuran panjang
tertentu dalam satu areal atau lokasi luas, guna menutup dan mengamankan daerah
pertanian bersama-sama (kebun kolektif
adat “mamar”).
Ø Pagar Desa : Dibanyak desa baik di Rote maupun di Timor
terdapat apa yang disebut “pagar
desa”. Seluruh desa diberi pagar yang kuat guna memisahkan hewan dari daerah pertanian kolektif
tersebut.
Ø Pagar Kota Kecamatan : Dengan bertumbuhnya kota-kota
Kecamatan, maka daerah ibu kota Kecamatan dinyatakan sebagai daerah “bebas ternak” dan oleh karena itu
diberi pagar keliling.
Para
petani sebagai rakyatlah yang wajib mendirikan pagar tersebut secara gotong
royong. Jika pada setiap wilayah Kecamatan, terdapat keharusan membuat
bermacam-macam pagar yang disebutkan diatas maka kebutuhan akan kayu pagar
tidak kurang dari 1.000 – 5.000 M3/kecamatan (rata-rata setiap 5 tahun (daya lapuknya),
menjadi beben hutan. Jumlah kebutuhan akan kayu tersebut diatas belum termasuk
kebutuhan untuk kayu bakar, bahan bagunan dan peralatan rumah tangga dan
lain-lainnya.
Kebutuhan akan kayu
semuanya diambil dari hutan dan tidak pernah dibudidayakan secara sengaja oleh
masyarakat suku. Hal demikian tidak mengherankan apabila kita menyaksikan
padang savana yang luas dan nyaris tanpa pohon di mana-mana sepanjang mata
memandang.
Sebagai
akibatnya, kawasan yang ditutup dan diberi pagar adalah jauh lebih luas
dari daerah yang ditanami. Oleh karena itu, pagar yang dibangun bersifat
ekstensif.
Suku-suku tradisional di
Rote dan Timor, Belu, mempunyai prilaku membuat pagar yang berbeda-beda.
Diantara masyarakat Rote, kayu hanya dibutuhkan untuk tiang pagar saja, sedang
dinding pagar digunakan pelepah lontar yang disebut (bebak), lihat gambar pagar
orang Rote di atas. (lihat gambar di atas). Dalam hal ini bebak (pelepah pohon
lontar) bukanlah bahan pagar yang diambil dari hutan, melainkan yang dihasilkan
(produk) dari pohon lontar. Berhubung beban penggunaan kayu untuk pagar adalah
rendah, maka hutan di Rote lebih lestari dari pada di antara masyarakat suku
Timor dan Belu. Masyarakat Timor dan Rote menggunakan kayu yang ditebang di
ladang sebagai bahan utama pagarnya, baik untuk tiang pagar, maupun untuk
dinding pagarnya. Sebagai daerah pemelihara ternak yang bersifat ekstensif,
maka diberlakukan peraturan tentang tinggi pagar minimum l,60 meter.
Tinggi pagar seperti itu
ditetapkan agar dapat menghindari lompatan sapi ke dalam lahan pertanian Lantai
dinding pagar pun harus dibuat kokoh dan tidak dapat dilalui babi. Dasar pagar
seperti itu memerlukan batang-batang kayu yang besar. Oleh sebab itu orang Timor dan Belu menebang
habis pohon-pohon di dalam lahan yang dibukanya. Kebutuhan
akan pagar yang kokoh itu memberi beban
yang amat besar pada hutan sehingga
lahan-lahan mereka nyaris / hampir “bebas pohon”.
Prilaku seperti ini sudah tentu mengakibatkan krisis
hutan.
Apalagi jika bahan untuk
pagar tidak dapat dipenuhi dari lahan yang di tebas, maka harus memangkas kayu
dalam jumlah yang besar dari hutan diluar lahan. Pelepah (bebak) adalah produk pohon lontar yang secara alami
akan di tanggalkan oleh pohon, baik di manfaatkan atau tidak, merupakan
keuntungan yang tidak kecil artinya dari sudut pengembangan hutan di Rote,
sedangkan dalam masyarakat Timor dan Belu, seluruh batang pohon harus
ditumbangkan agar dapat mengamankan daerah
pertaniannya.
Pengembangan hutan
buatan di Timor, jika berhasil sekalipun akan tidak pernah seimbang dengan
tingkat kerusakan hutan yang terjadi akibat kebiasaan “tebas-bakar” dan
“pemagaran, energi, untuk memasak (se’i pena)” yang memerlukan begitu banyak
kayu. Akan diperlukan suatu usaha
penghijauan besar-besaran yang diakselerasikan jika kita ingin memacu pemulihan
hutan untuk mencapai 30 %
hutan cadangan yang disyaratkan secara formal.
Sapi Bali di Timor Keuntungan Ekonomis
Dan Kerawanan Hutan
Savana dan peternakan ekstensif amat berkorelasi.
Hal seperti ini telah lama disadari oleh
pemerintah Belanda sejak abat ini. Guna memperkuat ekonomi Timor dengan jalan
memanfaatkan semaksimal mungkin kapasitas savana, pemerintah Belanda mengimpor
bibit ternak sapi Bali (Bos sundaicus)
pada tahun l9l2 (Ormeling, l955 : l55). Impor
pertama kemudian disusul pula dengan usaha yang sama beberapa tahun berikutnya. Agar
supaya ada jaminan keselamatan ternak impor tersebut sehingga dapat mencapai
tujuan ekonomisnya secara maksimal, maka pola distribusinya diatur menurut “koppel”, 1 (satu) pejantan dengan l0
sampai l2 betina. Sistem koppel tersebut diatur dalam sebuah dokumen yang
disebut “Sumba Contract.
Dalam kontrak tersebut
ditentukan tenggang waktu pemeliharaan selama 5 tahun.
Setelah tenggang waktu
tersebut, peternak akan mengembalikan kepada Jawatan Pertanian sebanyak jumlah
sapi yang diterimanya dahulu beserta bunganya. Sapi-sapi tersebut diserahkan
lagi kepada penerima kontrak berikutnya. Sesungguhnya masuknya sapi Bali tersebut amat
mempengaruhi ekonomi Nusa Tenggara Timur sebagai akibat perdagangan sapi,
domistik, nasional maupun internasional. Jika sapi Bali
dimasukkan ke Timor untuk memanfaatkan padang-padang savananya, maka ke Rote (sama dengan Sumba) dimasukkan sapi Brahman (Ongole).
Kedua jenis sapi
tersebut segera beradeptasi dengan kondisi lingkungan savananya, dan berkembang
biak dengan subur. Berhubung pola pengembang-biakannya yang cepat, jumlah sapi
Bali meningkat pula dengan cepat. Gejala ini membantu usaha penyebarluasan sapi
Bali ke berbagai pusat pemerintahan, baik pada aras kerajaan, kefetoran maupun
ketemukungan.
Sesuai
pola distribusi yang telah disebutkan dimuka, sapi Bali terutama dibagi-bagi
kepada keluarga bangsawan. Namun dalam pemeliharaannya, para bangsawan tersebut
menggunakan rakyat sebagai gembalanya dengan upah sapi pula. Biasanya dalam
setiap l0 ekor anak sapi yang lahir,
gembala menerima seekor sebagai upahnya.
Dengan cara ini sapi
milik para bangsawan bertambah amat
cepat, sedangkan sapi milik gembala hanya bertambah 1 (satu) dalam setiap l0 anak sapi yang dilahirkan. Padang-padang
pengembalaan di savana-savana yang luas di Timor dipenuhi ternak, tetapi
pemilikan sapi hanya terkonsentrasi pada kaum elite masyarakat saja. Pertambahan
jumlah sapi Bali yang cepat itu merangsang perdagangan sapi. Para pedagang Cina melakukan
pembelian sapi dari para bangsawan dan dari petani-petani gembala.
Dengan mengunakan
kaki-tangan dagang, para pedagang Cina mampu menghimpun sapi dalam jumlah yang
besar di bawah kontrol mereka. Tidak
semua sapi yang dibeli itu
diperdagangkan, karena pembelian bukan hanya ditujukan pada sapi jantan
bernilai ekspor, melainkan juga sapi-sapi betina dan sapi-sapi muda (anak-anak
sapi).
Mereka membayar pula
petani-petani sekitarnya sebagai gembala untuk memelihara dan menternakan
sapi-sapinya lebih lanjut. Pemilikan
sapi oleh pedagang-pedagang peternak
Cina tersebut, biasanya diberi label “Jalur
Kuring”. Ada satu keadaan luar biasa dalam peternakan sapi Bali di Timor,
yaitu pola peternakan sapi ekstensif di atas padang-padang savana yang adalah tanah-tanah ulayat milik suku-suku
tradisional.
Suku-suku tradisional
itu tidak sedikitpun memperoleh keuntungan dari sapi-sapi milik pedagang Cina
atau pedagang ternak pribumi lainnya, yang begitu banyak merumput diatas
tanah-tanah ulayat mereka. Untuk kepentingan ini perlu ada pengaturan dalam
adat oleh kelompok-kelompok suku dilokasi penggembalaan agar peternak yang
bukan anak suku, agar setiap tahunnya,
wajib membayar sejumlah uang adat atau penggantian berupa pemberian sejumlah
anak sapi kepada suku-suku pemilik tanah ulayat tersebut sebagai ganti rugi
atau sebagai imbalan jasa timbal balik (bukan pajak) karena telah memanfaatkan
tanah hak ulayat mereka.
Hal ini terutama
ditujukan kepada pedagang-pedagang Cina peternak sapi atau pedagang-pedagang
peternak lainnya. Tidak ada satu usaha apa pun yang dilakukan
orang untuk memelihara sapi-sapi itu secara intensif dalam rangka meningkatkan
nilai tambahnya secara cepat dan dalam waktu singkat. Dengan kata lain, jumlah
hewan bertambah, tetapi management di
bidang peternakan tidak tumbuh (Ormeling
: l955 :l63). Belum ada pengukuran tentang tingkat kerusakan lingkungan
savana karena pola pemeliharaan ternak secara ekstensif demikian, namun di
banyak daerah tampak adanya kerusakan tanah yang hebat karena kuku-kuku sapi
yang banyak itu. Di musim kemarau, ketika rumput-rumput
menjadi kering, sapi-sapi memakan, sambil mencabut rumput-rumput pendek
tersebut dengan akar-akarnya. Akibatnya, tanah menjadi
terbuka dan mudah lumat menjadi debu halus karena terinjak kuku-kuku sapi yang banyak itu, lalu diterbangkan angin.
Ketika hujan datang, debu halus itu tersapu banjir dan meninggalkan padang
rumput,.sehingga kurus tanahnya. Berhubung pohon-pohon di kawasan hutan lindung
jarang tumbuhnya dan mahkota daunnya tidak selamanya rimbun sehingga lantai
hutan, ikut pula disinari matahari maka disitu tumbuh pula rerumputan makanan
ternak. Sapi-sapi yang dipelihara secara ekstensif itu mencari pula
makanannya di dalam kawasan hutan tersebut, serta bernaung atau bersembunyi di
bawah naungan hutan dan semak belukarnya. Sudah tentu terdapat pula kerusakan
hutan karenanya, walaupun tingkat kerusakan karena ternak seperti itu belum
pernah diukur dan diteliti.
Musnahnya tanaman
lamtorogung sebagai penyedia pakan ternak oleh kutu loncat pada tahun l985 amat menekan persediaan rumput,
baik di padang-padang rumput maupun rerumputan yang terdapat di dalam
kawasan-kawasan hutan lindung. Karena
banyaknya sapi yang juga mencari makan di lingkungan hutan, juga membawa akibat
serius terhadap musnanya tanaman-tanaman pohon muda karena injakan kuku-kuku
sapi yang sekian banyak, akibatnya pertumbuhan hutan menjadi terhambat pula.
Perilaku Masyarakat Suku
Terhadap Tanah Pertanian Ladang
Shifting
cultivation atau pertanian lahan berpindah-pindah
amat erat hubungannya dengan sistem pertanian subsisten yang dipraktekan oleh
masyarakat tradisional. Pertanian subsisten menurut Hall, Cannel
dan Lowton (l979:200)
adalah usaha pertanian yang menyediakan bagi sesorang, suatu keluarga atau
sejumlah keluarga dengan bahan makanan serta komoditi-komoditi lainnya yang
dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Dalam sistem ini jarang ada petani yang
mampu menghimpun makanan dan komoditi-komoditi dalam jumlah yang mencukupi
kebutuhan-kebutuhan subsistennya. Perladangan (Shifting cultivation), adalah cara
pertanian primitif yang diulang periodik.
Banyak
dipraktekkan di daerah di tropis;
Ø peladang
menebang semua atau sebagian pohon hutan,
Ø membakarnya,
Ø kemudian
menanaminya dengan tanaman pertanian (padi dan palawija),
selama satu tahun atau lebih,
sebelum berpindah ke tempat lain untuk mengulang proses serupa. Istilah yang
sama di beberapa negara ialah : chena
(Sri Langka), kaingin (Filipina), kumri (India), ladang (Malaysia-Indonesia),
parcelero (Puerto Rico), shamba (Kenya), dan taungya
(Burma). Menjadi salah satu penyebab
kerusakan sumber daya hutan di Indonesia. Ditanggulangi antara lain dengan
proyek resettlement (pemukiman kembali). Ada beberapa sebab mengapa kelompok-kelompok
masyarakat tradisional mempraktekan shifting cultivation.
Pertama adalah tidak adanya inovasi teknologi dan tidak dikembangkannya
peralatan-peralatan teknik yang memungkinkannya merubah pola pertanianya.
Alat-alat pertanian yang dikenal adalah alat-alat pertanian yang diperkenalkan
dari luar pada zaman barter perdagangan di masa lalu. Kampak dan parang
diperkenalkan oleh para pedagang agar penduduk asli dapat menebang pohon-pohon
cendana yang akan mereka beli.
Sejak mengenal alat-alat
logam seperti parang dan kapak, linggis dan sebagainya, terjadilah suatu revolusi
dalam pola kehidupan masyarakat tradisional karena dengan demikian mereka dapat
keluar dari zaman atau kebudayaan pengumpul makanan (foodgatherer) dan memasuki zaman pertanian. Bibit-bibit baru ikut diperkenalkan dari luar
seperti jagung, surghum, millet, padi, labu, pisang, kacang-kacangan dan
tanaman-tanaman keras. Dengan alat pertanian sederhana seperti disebutkan di atas maka dapatlah
mereka membuka hutan, membersihkan sebidang tanah dengan bantuan api dan
jadilah sebuah ladang yang kemudian mereka tanami dengan bermacam-macam bibit
tanaman pangan.
Kedua mengapa
masyarakat tradisional mempraktekkan shifting cultivation adalah suatu
respons terhadap kondisi iklim
yang tidak bersahabat dalam membantunya melakukan usaha pertanian bahan pangan
sepanjang tahun. Musim penghujan yang pendek harus dimanfaatkan se-efesien
mungkin, karena musim kemarau yang panjang sesudahnya, tidak dapat dimanfaatkan
untuk mengembangkan usaha pertanian.
Akhir musim kemarau
adalah musim menyediakan lahan untuk ladang.
Api adalah suatu penemuan yang penting dalam shifting
cultivation karena kemampuannya membersihkan lahan dalam waktu
singkat, untuk siap ditanami.
Akan tetapi bantuan api
untuk membersihkan lahan, menyebabkan terurainya unsur nitrogen ke dalam udara.
Itulah sebabnya tanah pertanian segera menjadi tidak subur untuk penenaman
berikutnya. Pilihan satu-satunya yang tinggal adalah berpindah lahan.
Masyarakat suku yang
banyak itu telah mengkapling kawasan-kawasan tertentu sebagai tanah ulayatnya, berbatasan dengan tanah-tanah
ulayat dari suku-suku lain.
Guna
menghindari konflik dengan masyarakat suku lainnya itu, maka masyarakat suku
harus tetap melekat di atas tanah ulayatnya sendiri dan memanfaatkan hutan
belukarnya dengan cara yang berhasil guna. Hal ini berarti, kembali menebas
bekas-bekas ladang yang telah pulih hutan belukarnya setelah ditinggalkan 5 – 7 tahun lamanya. Daur lahan pulih
yang berlangsung terus menerus membuat mutu lahan menjadi merosot dan merusak tanah-tanah ulayatnya.
Ketiga
adalah mengapa shifting cultivation masih terus berlangsung ialah adanya
inovasi teknologi yang baru atau tidak
diperkembangkannya alat-alat pertanian baru yang memungkinkan
masyarakat tradisional keluar dari kebudayaan pertanian subsisten dan
berevolusi lagi untuk memasuki suatu zaman pertanian yang baru. Dalam kurun waktu lebih tiga dekade
terakhir ini pemerintah berusaha memperkenalkan pola pertanian menetap dengan Paca
Usaha Tani.
Telah
dijelaskan di atas bahwa evolusi
dalam masyarakat pengumpul makanan, tiba-tiba saja keluar
meninggalkan zaman itu dan memasuki
zaman pertanian subsisten karena diperkenalkannya alat-alat pertanian
dan teknologi pertanian yang baru.
Pertanyaan yang sekarang
timbul ialah teknologi dan alat-alat pertanian baru manakah, yang ikut
diperkenalkan berbarengan dengan diperkenalkannya teknologi Panca Usaha Tani itu?
Sebagaimana diketahui teknologi pertanian Panca Usaha Tani itu memberi 5
butir acuan minimal/minimum, yaitu
- Pengelolaan tanah yang baik;
- Penggunaan bibit unggul;
- Penyiangan yang baik dan teratur;
- Penggunaan pupuk yang seimbang dan tepat waktu;
- Pengairan yang teratur dan
seimbang.
Teknologi
pertanian dengan 5 butir acuan
minimum tersebut merupakan syarat bagi keberhasilan usaha pertanian yang
memampukan petani menghimpun jumlah makanan yang dapat menutupi kebutuhannya
yang subsisten. Akan tertapi permasalahannya ialah teknologi Panca Usaha Tani itu tidak dapat diimplimentasikan
seluruhnya dalam iklim savana dan kondisi
semi arid yang kikir hujan seperti di Timor dan
Rote. Pengolahan tanah yang baik
hanya dimungkinkan jika petani telah memilih sebidang tanah yang akan
dikerjakannya sebagai tanah pertanian
menetap. Selama pola pertaniannya masih didominasi oleh kebiasaan berpindah-pindah, ia tidak dapat memusatkan seluruh usahanya guna menaklukan
tanah itu. Agar dapat merobah pola pertanian berpindah-pindah menjadi
perladangan menetap, perlu :
Ø Adanya penemuan
baru alat pertanian, pengganti
parang dan kapak yang dapat digunakan secara manual namun berdaya guna yang
tinggi seperti misalnya (linggis, pacul, dandang, alat penyisir tanah, bajak,
skop, arit, dll).
Ø Perlu dikembangkan penelitian tanaman pangan untuk menemukan jenis-jenis
bibit unggul untuk lahan kering yang tahan kering dan produksinya lebih tinggi;
Ø Perlu penyuluhan
intensif dan terus menerus guna memperkenalkan pembuatan kompos dari limbah
pertanian untuk dikembalikan pada tanah guna meningkatkan unsur Nitrogen dan
zat-zat berguna lainnya untuk
mempersubur tanah;
Ø Perlu menanamkan disiplin kerja berjadwal sehingga ladang secara tetap
dikerjakan setiap hari guna meningkatkan produktivitasnya.
Tampaknya managemen air di kawasan savana seperti Timor
dan Rote merupkan hal yang teramat mahal, dan tidak mampu ditanggulangi sendiri oleh
masyarakat tradisional.
Managemen
air memerlukan modal serta rekayasa teknik yang sama sekali tidak dimiliki di
desa. Banyak sumber air yang mengalir airnya secara mubazir karena belum dapat
dialihkan bagi penggunaan yang lebih berdaya guna, untuk lahan pertanian.
Selain mengandalkan air
dari sumber-sumber mata air yang ada, perlu dibuatkan waduk-waduk buatan diberbagai lokasi pertanian yang sekiranya saat
turun hujan dapat menampung air hujan sebanyak mungkin dan dimanfaatkan selama
mungkin, di sepanjang musim kemarau.
Karena
itu lokasi-lokasi yang letaknya disekitar kaki gunung/bukit maupun didataran
tertentu dalam suatu wilayah perlu diplot, baik oleh masyarakat setempat maupun
oleh Pemerintah Daerah yang nantinya
dapat dikerjakan dengan alat-alat berat maupun dengan cara swadaya
masyarakat sehingga menjadikannya sebagai danau-danau/waduk buatan untuk
mengairi lahan pertaniannya sepanjang musin kemarau.
Diusahakan pembuatan
waduk-waduk atau danau-danau buatan ini segera dikerjakan pada musim-musim
kemarau dengan sistem swadaya masyarakat maupun dengan sistem Proyek Padat
Karya membantu masyarakat miskin di pedesaan (penciptaan lapangan kerja di
pedesaan). Provinsi Nusa Tenggara Timurku mendapat
Gelar sebagai Provinsi GERSANG tetapi Rakyatnya juga GERSANG Kantongnya alias
Provinsi Termiskin di Indonesia. Hal ini karena pemerintah masih kurang menaruh perhatian yang serius
pada bidang pertanian dan peternakan. (Prihatin
sekali).
Penulis :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Alamat :
Jln.Jambon 1/414J – Kricak – Jogjakarta
Telp.0274.588160
– HP.082135680644.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.