alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 04 Januari 2015

HUTAN ULAYAT SUKU DI TIMOR DAN ROTE & KERAWANANLINGKUNGANHIDUP


H U T A N   ULAYAT  S U K U
REALITAS MASYARAKAT SUKU ROTE, TIMOR. BELU

SERTA PERILAKUNYA TERHADAP HUTAN


Perilaku Ekonomi Tradisional
Masyarakat Suku

Sistem Pertanian Masyarakat Suku Timor Dan Rote
Oleh:Drs.SimonArnoldJulianJACOB

Prof.Dr.James Fox dalam bukunya tentang “Kehidupan Orang Rote” berjudul “Harvest of the Palm”(l975), mengangkat sebuah matriks yang memperlihatkan adanya korelasi perilaku masyarakat Rote dengan jenis lingkungan hidup yang mereka hadapi.

Pendeta Drs.Max Jacob, MTH, (kakak kandung penulis), dalam laporan (Sorvey Permasalahan Hutan Lindung di Nusa Tenggara Timur, Kerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi NTT dan Universitas Kristen Arha Wacana Kupang, l991 tentang Realitas Masyarakat Suku serta Prilakunya terhadap Hutan,  hal.35), merupakan sisi lain dari Budaya yang perlu dipahami berbagai pihak tentang : “Proses Kerusakan Hutan dan Lingkungan hidup di NTT oleh masyarakat adatnya”, dan memikirkan upaya  cara-cara mengatasinya, yang dikutib sebagai berikut :

Adalah sukar untuk mengatakan tentang adanya satu pola tunggal prilaku Suku Rote, Timor dan Belu (sekurang-kurangnya sebagai mewakil kelompok suku-suku tradisional lainnya di NTT). Sekurang-kurangnya ada 4 unsur pokok yang membedakan prilaku ekonomi mereka, yaitu :
  
1.      Unsur manusianya, yang berhubungan dengan adat istiadat dan berbagai kebiasaan yang diwarisi oleh setiap kelompok masyarakat tradisional sejak zaman nenek moyang, yang masih tetap dipegang dan dipelihara;
2.      Unsur sistem pengetahuan dan tehnologi yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok masyarakat sebagai cara untuk menyadap sumber-sumber daya alam yang tersedia;
3.      Unsur lingkungan hidup, yaitu apa-apa saja yang tersedia sebagai sumber daya alam yang dapat digunakan guna menunjang keberadaan dan kelangsungan hidup kelompok-kelompok tersebut; dan
4.      Intensitas interaksi dengan berbagai  kebudayaan dari luar yang berakibat pada kulturasi kebudayaan.
Walaupun secara teoritis keempat unsur yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat suku itu dapat dipilah-pilah, dalam kenyataannya unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Dikalangan masyarakat Rote, biasa terdengar pernyataan yang cenderung angkuh, yang mengatakan,  “bahwa orang Rote tidak pernah kelaparan”.  Yang mereka maksudkan ialah karena mereka, “memiliki cadangan gula air atau gula cair atau gula lontar, dalam guci-guci gerabah (tanah liat) yang tersimpan di loteng-loteng rumahnya, disamping lumbung padi yang tidak pernah kosong”. Dengan mengkonsumsi nira lontar sebanyak satu sampai dua liter dengan, sepiring sayur marungga (kelor) rebus, dan  beberapa potong ikan kering bakar serta, sayur laut rebusan dengan cuka-rote pada pagi hari, orang Rote sudah mengkonsumsi cukup energi dan vitamin yang membuatnya  kenyang sepanjang pagi, sampai kelak ia makan nasi sesekali pada siang hari, lalu melakukan pekerjaan rutinnya dengan cukup bertenaga.   

Setiap keluarga memiliki kawanan/rumpun hutan lontarnya secara pribadi.
Seluruh anggota keluarga terlibat dalam proses produksi gula dalam musim penyedapan pohon lontar. Untuk itu mereka mengembangkan teknologi tradisional untuk menyadap sumber daya lontar dan sampai batas tertinggi kemampuan setiap anggota keluarga mengerjakannya dan mengolah nira menjadi gula. Seorang laki-laki Rote yang kuat, setiap hari mampu menyadap maksimum 60 batang / pohon lontar  yang tinggi pohonnya rata-rata 15 meter mampu naik turun  120 kali, pagi dan petang, maka sama dengan telah memanjat  pohon lontar sepanjang 120 X 15 meter = 1.800 meter (sehari)  atau telah melakukan suatu olah raga yang tidak disengaja. Maka umumnya tubuh laki-laki orang Rote, kekar dan kuat.  Istri dan anak-anak perempuan bertugas memasak gula dan mencari kayu api untuk maksud itu.  Kelebihan nira yang tidak dimasak, diberikan kepada binatang peliharaannya terutama babi.  Separuh dari gula yang dihasilkan, dipasarkan dan uangnya dibelikan ikan kering dalam jumlah yang  cukup banyak, yang akan dikonsumsi oleh para pekerja keras itu, sebagai persediaan protein yang memadai dalam tubuh mereka.

Separuh dari hasil produksi gula, disimpan sebagai makanan cadangan. Kelebihannya dijual untuk memperoleh uang tunai bagi keperluan-keperluan keluarga. Sebagai suatu masyarakat pemakan nasi, orang Rote mengembangkan pertanian sawah, baik sawah basah, maupun sawah tadah hujan. Sejak permulaan tahun l980-an, kepada masyarakat yang telah terbiasa bertanam padi sawah itu, diperkenalkan sistem bertanam padi “gogo-rancah” (gora).  Teknologi bertanam padi gora itu ternyata membawa hasil yang cukup memuaskan sehingga sistem tersebut sedang memasyarakat.  Di Rote Barat Laut dan Rote Barat Daya, masyarakatnya mulai mengarahkan pandangnya ke padang-padang rumput yang luas, yang selama ini hanya dimanfaatkan sebagai padang penggembalaan, dan merobahnya menjadi sawah gogo-rancah. Orang Rote/Roti  telah lama mengenal pacul untuk mencangkul di sawah.  Untuk dapat menampung banyak air di sawah tadah hujan dalam daerah yang iklimnya “kikir-hujan” Mereka membangun bedeng sawahnya sampai setebal 50 cm dan tingginya mencapai sekitar 40 cm. Setelah tergenang oleh air hujan, sawah itu direncah dengan mempergunakan belasan sampai puluhan ekor sapi atau kerbau yang dihalau kian-kemari menginjak-injak tanah yang berair itu, hingga akhirnya tanah  menjadi lumat / hancur berlumpur oleh injakan kaki-kaki sapi yang dihalau  mengitari bidang sawah yang dikerjakan, secara  berulang kali itu, sampai mencapai suatu kedalaman yang memadai, sehingga hasil injakan sapi/kerbau tersebut menyerupai hasil seperti jika memakai bajak / luku. Pekerjaan membajak sawah dengan sistem kakaki sapi/kerbau  ini disebut “luruk” Tanah yang sudah hancur direncah itu kemudian dipacul / dicangkuli, lalu ditanami padi. Bibit padi yang mau ditanam dalam sebidang sawah biasanya dihitung dengan mempergunakan ukuran “blik minyak tanah. ”
Oleh karena mereka sudah terbiasa dan berpengalaman, maka mereka telah menghapal benar dan pasti, berapa blik / blek bibit padi yang akan dipergunakan untuk menanami sebidang sawah tersebut.
Pekerjaan ini adalah pekerjaan wanita, mulai dari,
Ø  pesemayam bibit,
Ø  penanaman,
Ø  membersihkan rerumputan serta,
Ø  penunaian hingga sampai pada,
Ø  penyimpanan dilumbung, yang terletak di loteng rumah tinggalnya.
Ketika teknik gogo-rencah itu diperkenalkan, orang Rote dengan cepat  mengadopsi teknologi mudah tersebut. Mereka mencangkul sawahnya pada akhir musim kemarau, lalu menanaminya sebagai padi ladang, sambil menanti hujan merubahnya menjadi sawah. Diskripsi sederhana tentang pola prilaku orang Rote yang digambarkan di atas, tidak terdapat diantara masyarakat tradisional Timor  maupun Belu. Hal ini disebabkan karena adat kebiasaannya berbeda, teknologi yang digunakan berbeda dengan pulau Rote.
Pulau Timor memiliki lingkungan alam yang agak berbeda dengan pulau Rote. Keadaan tanahnya yang berbukit-bukit, dengan tingkat kemiringan yang besar memberi sedikit sekali peluang untuk bertani sawah, kecuali di beberapa bagian tertentu seperti bentaran tepian sungai, dataran rendah, namun bagian-bagian ini, umumnya menjadi milik orang Rote.  Sebagian besar telah diolah dan dikerjakan menjadi sawah oleh orang-orang asal pulau Rote yang telah bermukim sejak tahun l812 saat diangkut oleh Belanda untuk memerangi Raja-raja Timor dan Portugis. 

Baru dalam abat terakhir ini orang-orang Timor belajar bersawah dari orang Rote.
Alat-alat pertanian orang Timor yang paling dikenal adalah “parang dan kapak / kampak,” ternyata ikut membentuk perilaku pertanian yang bertumpu pada perladangan. Di daerah-daerah pegunungan dengan ketinggian 1000 meter ke atas yang lebih lembab serta berpadang rumput, petani membongkar tanah dengan linggis / besi gali, untuk dijadikan kebun tanaman pangan, terutama ubi-ubian dan  jagung. Berhubung hasil-hasil tanaman bahan pangan ditempat-tempat yang tinggi tidak memuaskan, petani beralih ke tanaman perdagangan seperti kuenter dan bawang putih.  

Masyarakat petani Belu mengenal pula perladangan.
Tetapi teknik pertanian yang diadatkan ialah menugal (tongkat kayu berujung runcing/tanjam sebagai alat membalikkan tanah) guna menugal padang rumput secara gotong-royong. Di kawasan-kawasan yang ber-belukar, perladangan dilakukan  dengan sistem “tebas-bakar, ” seperti pada orang Timor. Pada prilaku perladangan, baik dengan cara tebas-bakar maupun dengan cara menugal, amat me-miskinkan tanah. Kandungan nitrogen (N) yang tersimpan di permukaan tanah oleh dedaunan, habis mengurai, karena pembakaran oleh api, dan tingkat erosi pun amat tinggi.  Dari diskripsi perilaku petani di kalangan masyarakat Rote, dan Timor itu dapatlah terlihat dengan jelas bagaimana besarnya unsur-unsur pembentuk prilaku ekonomi mereka.

Prof.Dr.James Fox dalam bukunya tentang Kehidupan Orang Rote berjudul “Harvest of the Palm”(l975), mengangkat sebuah matriks yang memperlihatkan adanya korelasi perilaku masyarakat Rote dengan jenis lingkungan hidup yang mereka hadapi.

Ada tiga korelasi penting  yang ditunjukkan FOX.

1.      Ada korelasi yang amat tinggi di antara daerah berpadang rumput dengan peternakan kambing-domba.
  1. Ada korelasi yang amat tinggi antara daerah yang kaya pohon lontar dengan tingkat penyadapan lontar dengan pemeliharaan babi kampung.
  2. Ada korelasi yang amat tinggi dengan daerah-daerah yang bersumber air yang memungkinkan adanya pertanian sawah dengan peternakan kerbau / sapi.
 Dengan model matriks yang dikemukakan FOX tentang Rote itu, kita dapat pula
membangun matriks-matriks serupa guna mengukur tingkat korelasi antara jenis
kegiatan masyarakat tradisional dengan kondisi alam lingkungan yang
dihadapinya di pulau Timor.
  1. Ada korelasi yang tinggi antara daerah-daerah berpadang rumput, baik didataran-dataran rendah (Bena sampai Kolbano), maupun di daerah-daerah yang tinggi seperti sebagian besar Amfoang, Molo, Amanubang dan Amanatun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, seluruh daerah berpadang rumput di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Belu dengan peternakan sapi Bali yang sifatnya masih extensif. Di situ terdapat pula pemeliharaan kuda, kerbau, tetapi jumlahnya sudah semakin berkurang / menurun.
  2. Ada korelasi yang tinggi antara pola pertanian “tebas-bakar” dan “berpindah-pindah” di daerah-daerah berlereng-lereng dan berhutan belukar. Tanaman bahan pangan utama di ladang-ladang yang demikian terutama, jagung, turis, labu, ubi kayu serta berbagai jenis tanaman pangan lainnya yang tidak menghendaki  adanya genangan air. Bertani tebas-bakar tersebut punya korelasi pula dengan peralatan pertanian yang digunakan.. Sepanjang alat-alat pertanian yang dimiliki para petaninya adalah “parang dan kapak” maka pola pertanian masyarakatnya sudah dapat ditentukan dengan pasti, yaitu tebas-bakar dan berpindah-pindah lahan.
3.      Ada korelasi yang tinggi antara pola pertanian “menugal”  dengan lingkungan yang berpadang rumput. Di hampir semua daerah padang rumput di Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu yang jarang pepohonannya, masyarakatnya bertani dengan jalan membongkar padang-padang rumput dengan menggunakan “tugal”(kayu/bambu berujung runcing),  besi gali dan lainnya.
Pola pertanian menugal di padang rumput tersebut mempunyai korelasi dengan jenis-jenis tanaman yang ditanami petani.Daerah-daerah pegunungan dengan tigkat kelembaban yang tinggi terdapat jenis tanaman pangan ubi-ubian seperti ubi jalar, atau kentang. Daerah-daerah seperti itu amat cocok pula dengan tanaman perdagangan seperti kuenter atau bawang putih. Sedangkan pola pertanian “menugal” di daerah rendah terutama ditujukan untuk penanaman jagung karena iklimnya yang sesuai.
Di lahan-lahan seperti di Landu, kecamatan Rote Timur terdapat tanaman botok (milet, jawawood), yang tidak dibutuhkan terlalu banyak tanah untuk tumbuh dan berproduksi. Sudah tentu korelasi-korelasi antara jenis peralatan pertanian dengan, kondisi tanah, jinis tanaman yang disebutkan diatas bukanlah suatu patokan yang baku. Di sana-sini terdapat berbagai variasi lain, walaupun korelasinya rendah. Akan tetapi dengan korelasi seperti itu akan memudahkan untuk menentukan adanya berbagai jenis kecenderungan prilaku ekonomi dari berbagai kelompok masyarakat tradisional yang hidup dalam kondisi lingkungan yang berbeda.  Kecenderungan-kecenderungan perilaku ekonomi masyarakat tradisional yang dikemukakan di atas mengandung nalar yang cukup tinggi dan masuk akal tentang bagaimana dan seberapa jauh mereka bereaksi dan berespons dalam konteks iklim, topografi, keadaan tanah, dan kondisi-kondisi lingkungan yang berbeda-beda, dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya secara berkecukupan, yang  self sufficient dengan menerapkan teknologi tepat guna.

Cadangan gula air yang berlimpah-limpah di kalangan orang Rote sebagai penyedia energi di samping padi, mengandung nalar bahwa orang Rote telah sejak lama menemukan kunci persediaan makanan yang membuatnya tidak khawatir tentang keadaan hari esok yang dapat berubah-ubah. Hal itu berarti bahwa bila tiba musimnya untuk bekerja di salah satu sektor kegiatannya, entah,
Ø  menyadap pohon lontar (palm) dan,
Ø  memasak gula atau,
Ø   mengerjakan sawah untuk mengisi lumbung padinya,
maka ia akan mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya agar berhasil usahanya. Kegiatan-kegiatan pertanian lainnya, seperti bertanam palawija, seperti bawang, kacang hijau, sayur-mayur dan lainnya, merupakan alternatif yang membuatnya lebih sejahtera, tetapi yang bukan penentu mati hidupnya. Bagi masyarakat tradisional Timor, yang kondisi lingkungannya lebih sukar karena iklimnya yang tak menentu, buminya berlereng-lereng, jenis tanahnya yang tak begitu subur,  maka pola bertani “tebas bakar” dan menanaminya dengan jenis tanaman bahan pangan yang sesuai dengan kondisi tersebut “mengandung kebenaran Tujuannya ialah untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara subsisten untuk setahun. Dalam ladangnya yang relatif sempit, setiap jengkal tanahnya diisi dengan jenis tanaman bahan pangan pilihan yang sesuai dengan kondisi tersebut.

Setiap dua tiga lubang tanaman jagung, ia  juga memasukkan juga dua tiga benih kacang turis, mengandung nalar tentang diet yang seimbang antara karbohidrat dan protein nabati yang dikonsumsinya. Lahan sempit itu tidak dibiarkannya kosong pada setiap celah yang masih dapat diisinya dengan berbagai jenis tanaman bahan pangan lainnya, sehingga secara nalar dapatlah dikatakan bahwa orang Timor menerapkan pola pertanian lahan kering dan sempit tetapi “padat tanaman”. Gunung-gunung batu dengan hutan lebat dilereng-lereng yang terjal di komplek hutan lindung Mandeu-Lakaan tidak mungkin diladangi. Tetapi pada tanah-tanah miring yang berbelukar, ditebas menjadi ladang. Lingkungan seperti itu mendorong pertanian tanah padang rumput dengan jalan ‘menugal’, suatu tradisi masyarakat Belu yang telah lama dipelajarinya.


Pola Kebutuhan Masyarakat SukuAkan Kayu

Ormeling Dr.F.J  dalam bukunya “The Timor-Problem (l955:54) mengawali bagian tentang Natural Vetation  dengan pernyataan bahwa di dalam suatu ekonomi yang sederhana seperti Timor, manusia hidup amat dekat dengan dunia tetumbuhan. Pernyataan ini tentu bukan hanya berlaku bagi masyarakat tradisional Timor saja, melainkan juga berlaku bagi masyarakat Belu dan Rote, dan masyarakat tradisional lainnya di NTT. Andai kata tanaman bahan pangan gagal karena kekeringan atau kebanyakan hujan, maka mereka dengan mudah akan kembali ke hutan untuk mengumpulkan bahan makanan yang tersedia di situ, yang dikenalnya dalam kebudayaannya. Bagi orang Rote akan mempertahankan hidupnya dengan menyadap pohon lontarnya lebih intensif.Orang Timor akan ke hutan mengumpulkan berbagai jenis umbi-umbi hutan, kacang-kacangan hutan (koto) buah-buahan dari berbagai pohon tertentu, atau putak (sagu) dari batang pohon gewang/gebang (corrypha eleta) dan sebagainya untuk dapat bertahan hidup.

Sama pula halnya dengan masyarakat tradisional lainnya, masyarakat Belu akan mengarahkan pandangannya pada hutan gewang/gebang yang ada dan mengolah batangnya menjadi sagu yang halus untuk dimakan.Suku-suku tradisional yang hidup di dalam, dengan alam lingkungannya itu telah sejak lama mengenal berbagai sifat tetumbuhan di sekitarnya, memanfaatkannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Mereka juga mengenal berbagai biji-bijian yang mengandung protein atau karbohidrat tetapi yang bersenyawa dengan jenis racun yang mematikan, seperti “koto fui” (arbila hutan) (Latinnya: datura factucia) yang mengandung bahan sianida.

Untuk menguraikan sianida yang mematikan itu, mereka merebusnya sampai berganti airnya l0 kali atau lebih sebelum menjadi makanan yang enak. Schulte Nordhold, (l971) ketika menjabat sebagi Controleur di Kefamenanu (Timor Tengah Utara) sesudah Perang Dunia ke II,  mengadakan suatu kompetisi guna mengidentifikasi  flora di antara murid-murid sekolah  Dasar tahun l947. Dilaporkan bahwa murid-murid sekolah dapat mengidentifikasi sekitar 670 jenis pohon dan perdu, diantaranya seorang gadis dengan bantuan keluarganya mampu mengidentifikasi 311 jenis dan memenangkan kompetisi itu.

Daftar nama tetumbuhan itu disusun kembali lalu dikirimkan ke Balai Penyelidikan Kehutanan, Bogor guna diberi nama ilmiah (Latin), dan dikerjakan oleh Dr.Ir.E.Meijer Dress di bawah judul “Daftar Nama-Nama Pohon-Pohon dan Perdu-Perdu, Pulau Timor”, dan diterbitkan oleh Jawatan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Bogor, l950.

Perlu ditegaskan di sini bahwa kemampuan mengidentifikasi alam adalah awal kebudayaan. Dikisahkan dalam ALKITAB orang Kristen  pada, Kitab  Kejadian 2, bahwa Adam memulai kegiatan kebudayaannya di Taman Eden dengan mengidentifikasi dan memberi nama-nama kepada binatang-binatang dan sudah tentu pula dunia tumbuh-tumbuhan.
Dengan melakukan,
Ø  identifikasi dan,
Ø  mengklasifikasi alam,
Ø  manusia mengenali sifat-sifat serta hukum-hukum yang berlaku dalam alam,
Ø  kemudian manusia memanipulasinya dengan teknologi, guna menyadap hasilnya bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan dan kelangsungan hidupnya.
Demikianlah yang terjadi pada suku-suku tradisional di Timor yang disurvei ini.
Berbagai jenis tanaman penghasil,
Ø  karbohidrat dan,
Ø  protein untuk makanan,
Ø  berbagai jenis dedaunan untuk suplai vitamin dan ramuan obat-obatan,
Ø  berbagai jenis tanaman berserat yang dapat dipintal untuk dijadikan pakaian, tali, dan berbagai artifak,
Ø  berbagai jenis kayu-kayuan untuk bangunan, perabotan, senjata, pertahanan dan keamanan usaha, berupa pagar dan,
Ø   untuk energi (kayu api).
Pokok yang ingin diketengahkan di sini ialah tentang beberapa perilaku masyarakat suku tentang hutan dan kayu-kayuan pada umumnya.

Kebutuhan Kayu Sebagai Penghasil
Bahan Bangunan


Di antara ketiga suku yang disurvey, Rote, Timor dan Belu, orang Rote-lah yang paling beruntung karena buminya limpah ditumbuhi dengan poho lontar (Borassus flabeliffer). Bagian terbesar dari pohon lontar tersebut telah mampu dimanfaatkan oleh orang Rote, sehingga FOX (l975) menyebutnya  sebagai “Fokus Kebudayaan Orang Rote”.

Orang Rote menyebut dirinya sebagai,
Ø  Lahir di atas pohon lontar (tikarnya) dan,
Ø  Mati di dalam batangnya (peti matinya).
Ø  Kulit batangnya  yang tebal dan berserat keras dan liat dibelah-belah dan dijadikan balok-balok untuk bangunan rumah yang tahan lama.
Ø  Batangnya yang lurus memungkinkan untuk membuat balok sepanjang yang dapat diinginkan menurut ukuran rumah yang mau dibangun, tanpa perlu menyambung-nyambungnya.
Ø  Balok lontar ini disebut “mopuk”.
Ø  Mopuk digunakan untuk balok rumah, usuk, ring, dinding, dek induk rumah dan loteng.
Ø  Daun pohon lontar yang tua, dijadikan bahan atap rumah. Daunnya yang masih muda digunakan untuk membuat ember daun lontar, yaitu “Haik”.
Ø  Kulit pelepah daunnya diraut menjadi tali yang amat kuat dan tahan lama, disebut “fepak”
Ø  .Pelepahnya disebut “bebak”, digunakan untuk pagar.
Sebagian besar bahan bangunan yang digunakan untuk membangun sebuah rumah adat Rote diambil dari pohon lontar.
Kayu hanya dibutuhkan untuk tiang rumah, berupa kayu pilihan yang amat lama tahannya, yaitu kayu merah. Dengan semakin tertariknya masyarakat Rote akan type rumah modern yang membutuhkan kusen pintu, jendela, orang Rote belajar menggergaji balok-balok dari kayu. Pada umumnya mereka menggunakan kayu soga (kayu laru) yang banyak terdapat / tersedia dalam lingkungannya.
Lingkungan alam Timor menyediakan, kayu putih (eucalyptus alba) untuk tiang rumah dari kebanyakan rumah orang Timor maupun Belu.  Di samping itu dimanfaatkan pula kasuari (casuarima junghuhniana) dan bambu hutan (bambu spinosa) untuk bahan bangunan rumah mereka.  Sering kali kayu bangunan yang mereka gunakan bukanlah kayu pilihan yang tahan lama. Oleh sebab itu rumah-rumah tradisional  Timor dan Belu lebih banyak menggunakan bahan kayu yang diambil dari hutan, jika dibandingkan dengan suku Rote yang lebih hemat dibanding dengan masyarakat tradisional suku Timor dan Belu. Ditinjau dari sudut frekwensi penggunaan kayu untuk bahan bangunan, haruslah dikatakan bahwa masyarakat tradisional Rote lebih hemat dibanding masyarakat tradisional Timor dan Belu. Ditinjau dari sudut pemanfaatan kayu yang berasal dari hutan, maka orang Rote jauh lebih sedikit mengambil kayu yang berasal hutan jika dibandingkan dengan suku tradisional Timor dan Belu. Dari sudut penghematan dalam penggunaan kayu pun, orang Rote lebih efesien, karena sisa batang lontar yang tidak  digunakan hanya sedikit, jika dibanding dengan penggunaan kayu hutan. Sebatang pohon lontar dapat menghasilkan 8 belahan pada batangnya untuk balok. Jika balok yang diinginkan ukuran panjangnya 6 meter, maka sebatang pohon lontar tua yang tinggi, mampu memberikan l6 balok. Sisa pada ujung batang adalah terlalu muda untuk dimanfaatkan.

Namun pelepah dan daunnya masih dapat digunakan untuk tali, bahan untuk pagar dan atap. Sisa yang terbuang sedikit. Pada orang Timor dan Belu, hanya batang kayu yang lurus diambil menjadi bahan bangunan, sedangkan sisa batang, cabang, ranting betapa pun besar kayunya akan dibiarkan dan tidak terpakai. Mereka mencari pohon berikutnya / lainnya lagi yang dapat memberikan batang yang lurus.
Dengan demikian, dari sebatang pohon yang ditebang, mungkin hanya diperoleh satu potong kayu glondongan saja.   Prilaku semacam ini lebih banyak merusak hutan.
Perlu ditambahkan disini, bahwa setiap keluarga Rote memiliki hutan lontarnya masing-masing yang tumbuh di atas tanahnya sendiri dan  dijadikan sebagai barang / harta warisan untuk anak-anaknya dikemudian hari.
Bagi orang Rote dan Timor, kayu ditebang dari hutan yang tidak pernah diusahakan/ dibudidayakan  dengan sengaja. Dari survey ini diperoleh data bahwa ada sejumlah keluarga tertentu yang menanami batas-batas kebunnya dengan tanaman jati. Ada di antara mereka yang telah memanfaatkan kayunya. Akan tetapi sebagian besar di antara terjadi ketidak seimbangan antara pertambahan penduduk dengan tumbuhnya hutan penghasil kayu.  Karena itu hutan penghasil kayu di Timor menjadi kritis.

 Pohon Sebagai
Penghasil Energi

Bahan kayu untuk bangunan perumahan akan semakin bertambah apabila dalam satu generasi, anak-anak tumbuh menjadi dewasa dan harus memeliki rumah sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi pertambahan penduduk di desa, maka kebutuhan akan kayu menjadi meningkat pula. Selama hidupnya, sebuah keluarga dalam masyarakat suku, jika tidak terjadi musibah seperti kebakaran rumah, mungkin hanya memiliki sebuah rumah saja.  Walaupun dibutuhkan kayu-kayu bangunan, namun jumlahnya sedikit saja, yaitu untuk memperluasnya, atau memperbaiki bagian-bagian rumah yang rusak.  Tetapi rumah-rumah dengan bahan bangunan berkualitas rendah seperti di Timor, berarti lebih sering keluarga bersangkutan memerlukan kayu bangunan dari waktu ke waktu, tetapi kebutuhan itu relatif kecil jika dihitung umur rumah yang panjang.
Salah satu kegiatan masyarakat tradisional yang paling banyak mengkonsumsi kayu ialah masak-memasak serta lain kegiatan kerumahtanggaan yang memerlukan kayu api. Masyarakat tradisional sangat menggantungkan diri sepenuhnya pada kayu api sebagai sumber  / penghasil utama energi. Hal ini berarti ia menggantungkan diri sepenuhnya kepada pohon dan hutan sekitarnya sebagai penghasil kayu untuk energi (kayu api untuk memasak). Dalam hal ini perilaku kelompok-kelompok masyarakat Rote, Timor dan Belu,  berbeda-beda terhadap pepohonan.
Belum ada orang yang menghitung kebutuhan kayu api di antara suku-suku yang diperbincangkan di sini. Tetapi dalam buku “Living in the Environment”, G.Tyler Miller Jr. (l979 : 189) melaporkan bahwa rata-rata masyarakat pedesaan membakar 909 kg (sekitar l Ton) kayu api per-kapita / tahun. Sepertiga penduduk dunia dan 90 persen penduduk di negara-negara berkembang menggunakan kayu sebagai pembangkit enegi yang terutama. Menurut penyeledikan tersebut 80 persen dari semua kayu yang ditebang dan di potong di negara-negara sedang berkembang digunakan untuk kayu api karena mereka tidak dapat dan tidak mampu membayar harga bahan bakar minyak (BBM) untuk keperluan itu. Apalagi mulai terhitung 1 Oktober 2005  dan 23 Mei 2008 Pemerintah mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) lebih tidak memungkinkan rakyat membeli BBM sebagai bahan bakar memasak. Dengan penjelasan diatas dapatlah dirumuskan postulat sebagai berikut :
Ø  Penggunaan kayu api perkapita dalam masyarakat tradisional adalah tetap (l ton/per-kapita/tahun).
Ø  Penggunaan kayu api per-kapita akumulatif meningkat sesuai dengan pertambahan  penduduk;
Ø  Jika hutan penghasil kayu api tidak mengalami peningkatan baik dalam mutu maupun volume, maka semakin bertambahnya jumlah penduduk, semakin merosot pula mutu maupun kapasitas hutan.
Sebagai akibatnya,  hutan yang ada, akan kehilangan kanopi atau mahkota daun penutup tanah,  yang membawa berbagai dampak negatif, yaitu :
Ø  Merosotnya mutu tanah;
Ø  Menurunnya daya serap air pada tanah;
Ø  Semakin meluasnya padang rumput.
Telah disebutkan diatas bahwa perilaku masyarakat suku tradisional memiliki kekhasan yang berbeda-beda.  Ketiga kelompok masyarakat suku yang disebutkan diatas setuju, kayu kosambi (Schleihera oleosa) adalah kayu penghasil energi terbaik di antara semua pepohonan yang ada di Rote dan Timor. Nyala api kosambi amat konstan, suhu yang dihasilkannya tinggi, proses membakarannya lamban dan menghasilkan arang kayu terbaik. Kosambi sebagai penyedia energi terutama orang Rote, untuk merobah/memasak nira lontar menjadi gula cair / gula-rote. Minimum diperlukan nyala api yang konstan selama sekitar 4 jam untuk menguapkan kira-kira 85 % air yang terkandung dalam nira, sebelum diperoleh gula yang baik mutunya.  Orang Timor dan Belu mengunakan kosambi untuk merebus jagang biji yang kering dan keras sebelum dapat di makan.  Proses merebus jagung memerlukan panas yang konstan minimum 2 jam.

Perbedaan konstruksi tungku mempengaruhi pola penggunaan kayu api. Untuk memasak gula, orang Rote membangun tungku tertutup, dua jajar periuk tiga-tigaan, yang dikonstruksi dari bahan tanah liat bercampur merang dan sekam. Masing-masing periuk mampu menampung 8–l0 liter nira. Dengan menggunakan jumlah kayu api yang sama untuk mendidihkan nira dalam 6 (enam) periuk sekaligus memperlihatkan prilaku hemat energi yang luar biasa. Pada orang Timor dan Belu, tungkunya terbuka dengan menggunakan tiga batu untuk alas periuk. Dengan menggunakan l (satu) periuk untuk setiap tungku terbuka, energi terbuang menjadi amat besar, sehingga konsumsi kayu api pun menjadi lebih besar / banyak. Prilaku terhadap pohon kosambi maupun pohon penghasil kayu lainnya pun berbeda di antara ketiga kelompok suku itu. Orang Rote memandang pohon kosambi sebagai produsen energi terbaik. Pada setiap akhir musim kemarau, ranting-ranting pohon yang telah mencapai garis tengah di atas 5 cm dipangkas. Kayunya ditimbun di pinggir rumah sebagai cadangan energi (kayu api) selama musim penghujan dan untuk digunakan di dapur. Batang dan cabangnya dibiarkan bertunas kembali untuk cadangan energi berikutnya.
Walaupun pohon kosambi tidak ditanam orang, setiap keluarga Rote menyatakan haknya atas hutan kosambi tertentu sebagai milik keluarga. Kosambi yang tumbuh dihalaman rumah akan dibiarkan hidup, baik untuk naungannya yang bagus, maupun untuk energi yang dihasilkannya. Di kalangan orang Timor dan Belu, pemangkasan terhadap pohon ditujukan kepada cabang-cabangnya yang besar, karena diperlukan untuk “se’i pena” yaitu mengasapi jagung yang digantung di loteng dapur sebagai ganti penjemuran di panas matahari.

Pengasapan jagung seperti ini berlangsung sepanjang tahun, baik siang maupun malam. Karena itu diperlukan batang kayu yang besar dengan proses pembakaran yang lamban/lama.Hal itu berarti pohonnya  harus ditebang untuk dibawa pulang bagi maksud tersebut.  Dengan tungku hemat energi yang dikemukakan oleh orang Rote, penggunaan kayu api berenergi tinggi,  disamping dapat dihematkan, kedalam tungku itu dapat dimasukkan kayu-kayu jenis lain, seperti pangkal pelepah lontar yang kering, ranting-ranting kering lainnya sebagai penambah energi.
Jika dibandingkan lingkungan hutan-hutan ulayat suku-suku tersebut, maka hutan  ulayat suku Rote jauh lebih lestari dari pada yang di pulau Timor pada umumnya. Di Timor sebelum tahun l985, pemerintah menggalakkan penghijauan dengan tanaman pohon lamtorogung, antara lain untuk mengembalikan kelestarian lingkungan savana dan memperkaya unsur “N” dalam tanah, dimaksudkan pula sebagai cara untuk mengatasi krisis  kayu api karena pola konsumsi kayu api yang tinggi.  Dengan musnanya lamtorogung karena bencana kutu-loncat, maka perlu dicarikanlah alternatif lain guna memenuhi kebutuhan rakyat akan kayu api ini.

Satu aspek lain dari kebutuhan kayu api adalah perdagangan kayu api untuk konsumsi energi masyarakat kota dan kota-kota kecil di pedalaman. Bertumbuhnya kota-kota Kabupaten dan Kecamatan serta perwakilan-perwakilan kecamatan berarti pertambahan penduduk non-suku asli setempat. Mereka tidak memiliki hutan ulayat untuk dapat diambil kayunya bagi kebutuhan energi bagi kepentingan masak-memasak. Sukarnya distribusi bahan bakar minyak (BBM) ke daerah pedalaman, maka warga masyarakat kota menggantungkan kebutuhan akan  kayu api dari masyarakat suku-suku disekitarnya.  Kayu api perlu dimasukkan ke-kota-kota.  Para petani yang ingin mendapatkan sedikit uang tunai pembeli kebutuhan-kebutuhan kecilnya, berbondong-bondong pergi ke kota  berbekalkan parang dan seutas tali.

Di jalan, mereka singgah ke hutan untuk mengumpulkan kayu api lalu membawanya ke kota. Dicatat bahwa kayu api paling banyak mengalir ke kota lewat bahu murid-murid sekolah.  Sebagian diantaranya telah mempunyai langganan tetap. Tetapi warga masyarakat kota pun memerlukan kayu penghasil energi yang baik kualitasnya. Mereka (orang kota) memberi tekanan dengan syarat kepada langganannya untuk membawa kayu api berkualitas prima, atau kayu apinya tidak akan dibeli. Tekanan seperti itu memaksa anak-anak sekolah membabat pohon-pohon penghasil energi yang baik mutunya. Bergantung pada besar-kecilnya jumlah rumah tangga masyarakat kota, begitu banyak pula kebutuhan akan kayu api harus dipenuhi. Ada anggota masyarakat yang berkeinginan menimbun cadangan kayu api di rumahnya. Mereka melakukan pemesanan kayu api berkualitas baik kepada anggota masyarakat suku yang berdiam di desa-desa sekitarnya. Penimbunan kayu api di desa, dapat berarti sekedar mengumpulkan kayu-kayu kering di hutan sekitar.

Cara ini membuat radius kerja penebangan pohon, menjadi berlipat ganda
luasnya dan jaraknya; lagi kayu kering yang ditemukan belum tentu bermutu baik sesuai permintaan kota. Tinggal dua pilihan, yaitu menebang cabang-cabang pohon kemudian ditimbun sambil mengering perlahan-lahan oleh sinar matahari, atau membongkar pagar bekas ladang untuk kemudian diganti dengan bahan pagar baru yang diambil dari hutan sekitarnya. Mana pun di antara kedua alternatif tersebut yang dipilih, beban akhirnya akan jatuh kepada hutan yang ada. Tidak ada data tentang jumlah kayu api yang di pasok dari desa-desa ke kota-kota yang ada di Rote maupun di Timor, baik lewat usaha perseorangan maupun dengan pengangkutan yang menggunakan truk-truk itu.
Jika perhitungan konsumsi kayu api yang diajukan oleh Tyler Miller Jr yang telah dikutip diatas digunakan, maka jumlah kayu api yang dikonsumsi masyarakat kota adalah equivalen dengan akumulasi penduduk kota per-kapita / ton/tahun.  Jika dewasa ini kita mengunjungi Pulau Timor, maka hampir nyaris,  pulau tanpa pohon yang berarti  lingkungan menjadi terancam.

 Pola Kebutuhan Kayu Pagar
Dalam Shifting Cultivation

Diatas telah dikemukakan 3 beban  kebutuhan masyarakat tradisionmal akan kayu yang harus dipikul oleh lingkungan hidup, terutama hutan bagi kehidupannya secara fungsional dan demi kelangsungan hidupnya, yaitu :kebutuhan akan lahan pertanian, kayu bangunan dan kayu api.  
Perlu ditambahkan pula disini sebuah kebutuhan lain yang harus dipikul lagi oleh hutan, yaitu kebutuhan akan bahan pagar. Mengapa masyarakat tradisional memerlukan pagar dan apa-apa saja yang perlu diberi pagar?  Masyarakat yang tinggal didaerah savana memerlukan tanah pertanian untuk menyediakan bahan pangan, tetapi memelihara ternak guna memanfaatkan potensi padang rumput yang besar itu.  Kebiasaan memelihara ternak secara ekstensif mengandung konsukuensi bahwa semua tanah yang dijadikan daerah pertanian harus dipagari guna mencegah pengrusakan lahan oleh ternak.  Daerah-daerah yang harus diberi pagar ialah : halaman rumah, kebun tanaman umur panjang, mamar (kebun kolektif atau hutan produksi tetap), ladang-ladang dan sawah (kalau ada).

Maka jenis lahan yang diberi pagar sbb:
Ø  Ada pagar individual, artinya setiap keluarga mengamankan daerah-daerah pertaniannya dengan mengusahakan pagar atas usaha sendiri.
Ø  Ada pagar kolektif, artinya setiap petani mempunyai kewajiban menegakkan dan membangun pagar menurut ukuran panjang tertentu dalam satu areal atau lokasi luas, guna menutup dan mengamankan daerah pertanian bersama-sama (kebun kolektif adat “mamar”).
Ø  Pagar Desa : Dibanyak desa baik di Rote maupun di Timor  terdapat apa yang disebut “pagar desa”. Seluruh desa diberi pagar yang kuat guna memisahkan  hewan dari daerah pertanian kolektif tersebut.
Ø  Pagar Kota Kecamatan : Dengan bertumbuhnya kota-kota Kecamatan, maka daerah ibu kota Kecamatan dinyatakan sebagai daerah “bebas ternak” dan oleh karena itu diberi pagar keliling.

Para petani sebagai rakyatlah yang wajib mendirikan pagar tersebut secara gotong royong. Jika pada setiap wilayah Kecamatan, terdapat keharusan membuat bermacam-macam pagar yang disebutkan diatas maka kebutuhan akan kayu pagar tidak kurang dari 1.000 – 5.000 M3/kecamatan  (rata-rata setiap 5 tahun (daya lapuknya), menjadi beben hutan. Jumlah kebutuhan akan kayu tersebut diatas belum termasuk kebutuhan untuk kayu bakar, bahan bagunan dan peralatan rumah tangga dan lain-lainnya.
Kebutuhan akan kayu semuanya diambil dari hutan dan tidak pernah dibudidayakan secara sengaja oleh masyarakat suku. Hal demikian tidak mengherankan apabila kita menyaksikan padang savana yang luas dan nyaris tanpa pohon di mana-mana sepanjang mata memandang.

Sebagai akibatnya, kawasan yang ditutup dan diberi pagar adalah jauh lebih luas dari daerah yang ditanami. Oleh karena itu, pagar yang dibangun bersifat ekstensif.
Suku-suku tradisional di Rote dan Timor, Belu, mempunyai prilaku membuat pagar yang berbeda-beda. Diantara masyarakat Rote, kayu hanya dibutuhkan untuk tiang pagar saja, sedang dinding pagar digunakan pelepah lontar yang disebut (bebak), lihat gambar pagar orang Rote di atas. (lihat gambar di atas). Dalam hal ini bebak (pelepah pohon lontar) bukanlah bahan pagar yang diambil dari hutan, melainkan yang dihasilkan (produk) dari pohon lontar. Berhubung beban penggunaan kayu untuk pagar adalah rendah, maka hutan di Rote lebih lestari dari pada di antara masyarakat suku Timor dan Belu. Masyarakat Timor dan Rote menggunakan kayu yang ditebang di ladang sebagai bahan utama pagarnya, baik untuk tiang pagar, maupun untuk dinding pagarnya. Sebagai daerah pemelihara ternak yang bersifat ekstensif, maka diberlakukan peraturan tentang tinggi pagar minimum l,60 meter.

Tinggi pagar seperti itu ditetapkan agar dapat menghindari lompatan sapi ke dalam lahan pertanian Lantai dinding pagar pun harus dibuat kokoh dan tidak dapat dilalui babi. Dasar pagar seperti itu memerlukan batang-batang kayu yang besar.  Oleh sebab itu orang Timor dan Belu menebang habis pohon-pohon di dalam lahan yang dibukanya. Kebutuhan akan pagar yang kokoh itu memberi  beban yang amat besar pada hutan  sehingga lahan-lahan mereka nyaris / hampir “bebas pohon”.

Prilaku seperti ini sudah tentu mengakibatkan krisis hutan.
Apalagi jika bahan untuk pagar tidak dapat dipenuhi dari lahan yang di tebas, maka harus memangkas kayu dalam jumlah yang  besar dari  hutan diluar lahan. Pelepah (bebak)  adalah produk pohon lontar yang secara alami akan di tanggalkan oleh pohon, baik di manfaatkan atau tidak, merupakan keuntungan yang tidak kecil artinya dari sudut pengembangan hutan di Rote, sedangkan dalam masyarakat Timor dan Belu, seluruh batang pohon harus ditumbangkan agar dapat mengamankan daerah
pertaniannya.
Pengembangan hutan buatan di Timor, jika berhasil sekalipun akan tidak pernah seimbang dengan tingkat kerusakan hutan yang terjadi akibat kebiasaan “tebas-bakar” dan “pemagaran, energi, untuk memasak (se’i pena)” yang memerlukan begitu banyak kayu.  Akan diperlukan suatu usaha penghijauan besar-besaran yang diakselerasikan jika kita ingin memacu pemulihan hutan untuk mencapai 30 % hutan cadangan yang disyaratkan secara formal.

Sapi Bali di Timor   Keuntungan Ekonomis
Dan Kerawanan Hutan

Savana dan peternakan ekstensif amat berkorelasi.
Hal  seperti ini telah lama disadari oleh pemerintah Belanda sejak abat ini. Guna memperkuat ekonomi Timor dengan jalan memanfaatkan semaksimal mungkin kapasitas savana, pemerintah Belanda mengimpor bibit ternak sapi Bali (Bos sundaicus) pada tahun l9l2 (Ormeling, l955 : l55). Impor pertama kemudian disusul pula dengan usaha yang sama beberapa tahun berikutnya. Agar supaya ada jaminan keselamatan ternak impor tersebut sehingga dapat mencapai tujuan ekonomisnya secara maksimal, maka pola distribusinya diatur menurut “koppel”, 1 (satu) pejantan dengan l0 sampai l2 betina. Sistem koppel tersebut diatur dalam sebuah dokumen yang disebut “Sumba Contract.
Dalam kontrak tersebut ditentukan tenggang waktu pemeliharaan selama 5 tahun.
Setelah tenggang waktu tersebut, peternak akan mengembalikan kepada Jawatan Pertanian sebanyak jumlah sapi yang diterimanya dahulu beserta bunganya. Sapi-sapi tersebut diserahkan lagi kepada penerima kontrak berikutnya.  Sesungguhnya masuknya sapi Bali tersebut amat mempengaruhi ekonomi Nusa Tenggara Timur sebagai akibat perdagangan sapi, domistik, nasional maupun internasional. Jika sapi Bali dimasukkan ke Timor untuk memanfaatkan padang-padang savananya, maka ke Rote (sama dengan Sumba)  dimasukkan sapi Brahman (Ongole).
Kedua jenis sapi tersebut segera beradeptasi dengan kondisi lingkungan savananya, dan berkembang biak dengan subur. Berhubung pola pengembang-biakannya yang cepat, jumlah sapi Bali meningkat pula dengan cepat. Gejala ini membantu usaha penyebarluasan sapi Bali ke berbagai pusat pemerintahan, baik pada aras kerajaan, kefetoran maupun ketemukungan.
Sesuai pola distribusi yang telah disebutkan dimuka, sapi Bali terutama dibagi-bagi kepada keluarga bangsawan. Namun dalam pemeliharaannya, para bangsawan tersebut menggunakan rakyat sebagai gembalanya dengan upah sapi pula. Biasanya dalam setiap l0 ekor anak sapi yang lahir, gembala menerima seekor sebagai upahnya.
Dengan cara ini sapi milik para bangsawan  bertambah amat cepat, sedangkan sapi milik gembala hanya bertambah 1 (satu) dalam setiap l0 anak sapi yang dilahirkan. Padang-padang pengembalaan di savana-savana yang luas di Timor dipenuhi ternak, tetapi pemilikan sapi hanya terkonsentrasi pada kaum elite masyarakat saja. Pertambahan jumlah sapi Bali yang cepat itu merangsang perdagangan sapi. Para pedagang Cina melakukan pembelian sapi dari para bangsawan dan dari petani-petani gembala.

Dengan mengunakan kaki-tangan dagang, para pedagang Cina mampu menghimpun sapi dalam jumlah yang besar di bawah kontrol mereka.  Tidak semua sapi yang dibeli itu  diperdagangkan, karena pembelian bukan hanya ditujukan pada sapi jantan bernilai ekspor, melainkan juga sapi-sapi betina dan sapi-sapi muda (anak-anak sapi).
Mereka membayar pula petani-petani sekitarnya sebagai gembala untuk memelihara dan menternakan sapi-sapinya lebih lanjut.  Pemilikan sapi oleh pedagang-pedagang peternak Cina tersebut, biasanya diberi label “Jalur Kuring”. Ada satu keadaan luar biasa dalam peternakan sapi Bali di Timor, yaitu pola peternakan sapi ekstensif di atas padang-padang savana yang adalah tanah-tanah ulayat milik suku-suku tradisional.
Suku-suku tradisional itu tidak sedikitpun memperoleh keuntungan dari sapi-sapi milik pedagang Cina atau pedagang ternak pribumi lainnya, yang begitu banyak merumput diatas tanah-tanah ulayat mereka. Untuk kepentingan ini perlu ada pengaturan dalam adat oleh kelompok-kelompok suku dilokasi penggembalaan agar peternak yang bukan anak suku,  agar setiap tahunnya, wajib membayar sejumlah uang adat atau penggantian berupa pemberian sejumlah anak sapi kepada suku-suku pemilik tanah ulayat tersebut sebagai ganti rugi atau sebagai imbalan jasa timbal balik (bukan pajak) karena telah memanfaatkan tanah hak ulayat mereka.  

Hal ini terutama ditujukan kepada pedagang-pedagang Cina peternak sapi atau pedagang-pedagang peternak lainnya.     Tidak ada satu usaha apa pun yang dilakukan orang untuk memelihara sapi-sapi itu secara intensif dalam rangka meningkatkan nilai tambahnya secara cepat dan dalam waktu singkat. Dengan kata lain, jumlah hewan bertambah, tetapi management di bidang peternakan tidak tumbuh (Ormeling : l955 :l63). Belum ada pengukuran tentang tingkat kerusakan lingkungan savana karena pola pemeliharaan ternak secara ekstensif demikian, namun di banyak daerah tampak adanya kerusakan tanah yang hebat karena kuku-kuku sapi yang banyak itu.  Di musim kemarau, ketika rumput-rumput menjadi kering, sapi-sapi memakan, sambil mencabut rumput-rumput pendek tersebut dengan akar-akarnya.  Akibatnya, tanah menjadi terbuka dan mudah lumat menjadi debu halus karena terinjak kuku-kuku  sapi yang banyak itu, lalu diterbangkan angin. Ketika hujan datang, debu halus itu tersapu banjir dan meninggalkan padang rumput,.sehingga kurus tanahnya. Berhubung pohon-pohon di kawasan hutan lindung jarang tumbuhnya dan mahkota daunnya tidak selamanya rimbun sehingga lantai hutan, ikut pula disinari matahari maka disitu tumbuh pula rerumputan makanan ternak.  Sapi-sapi yang  dipelihara secara ekstensif itu mencari pula makanannya di dalam kawasan hutan tersebut, serta bernaung atau bersembunyi di bawah naungan hutan dan semak belukarnya. Sudah tentu terdapat pula kerusakan hutan karenanya, walaupun tingkat kerusakan karena ternak seperti itu belum pernah diukur dan diteliti.
Musnahnya tanaman lamtorogung sebagai penyedia pakan ternak oleh kutu loncat pada tahun l985 amat menekan persediaan rumput, baik di padang-padang rumput maupun rerumputan yang terdapat di dalam kawasan-kawasan hutan lindung.  Karena banyaknya sapi yang juga mencari makan di lingkungan hutan, juga membawa akibat serius terhadap musnanya tanaman-tanaman pohon muda karena injakan kuku-kuku sapi yang sekian banyak, akibatnya pertumbuhan hutan menjadi terhambat pula.

Perilaku Masyarakat Suku
Terhadap Tanah Pertanian Ladang

Shifting cultivation atau pertanian lahan berpindah-pindah amat erat hubungannya dengan sistem pertanian subsisten yang dipraktekan oleh masyarakat tradisional. Pertanian subsisten menurut Hall, Cannel dan Lowton (l979:200) adalah usaha pertanian yang menyediakan bagi sesorang, suatu keluarga atau sejumlah keluarga dengan bahan makanan serta komoditi-komoditi lainnya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Dalam sistem ini jarang ada petani yang mampu menghimpun makanan dan komoditi-komoditi dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan subsistennya. Perladangan (Shifting cultivation), adalah cara pertanian primitif yang diulang periodik.
Banyak dipraktekkan di daerah di  tropis;
Ø  peladang menebang semua atau sebagian pohon hutan,
Ø  membakarnya,
Ø  kemudian menanaminya dengan tanaman pertanian (padi dan palawija),
selama satu tahun atau lebih, sebelum berpindah ke tempat lain untuk mengulang proses serupa. Istilah yang sama di beberapa negara ialah : chena (Sri Langka), kaingin (Filipina), kumri (India), ladang (Malaysia-Indonesia), parcelero (Puerto Rico), shamba (Kenya), dan taungya (Burma).  Menjadi salah satu penyebab kerusakan sumber daya hutan di Indonesia. Ditanggulangi antara lain dengan proyek resettlement (pemukiman kembali). Ada beberapa sebab mengapa kelompok-kelompok masyarakat tradisional mempraktekan shifting cultivation.
 
Pertama adalah tidak adanya inovasi teknologi dan tidak dikembangkannya peralatan-peralatan teknik yang memungkinkannya merubah pola pertanianya. Alat-alat pertanian yang dikenal adalah alat-alat pertanian yang diperkenalkan dari luar pada zaman barter perdagangan di masa lalu. Kampak dan parang diperkenalkan oleh para pedagang agar penduduk asli dapat menebang pohon-pohon cendana yang akan mereka beli.
Sejak mengenal alat-alat logam seperti parang dan kapak, linggis dan sebagainya, terjadilah suatu revolusi dalam pola kehidupan masyarakat tradisional karena dengan demikian mereka dapat keluar dari zaman atau kebudayaan pengumpul makanan (foodgatherer) dan memasuki zaman pertanian.  Bibit-bibit baru ikut diperkenalkan dari luar seperti jagung, surghum, millet, padi, labu, pisang, kacang-kacangan dan tanaman-tanaman keras. Dengan alat pertanian sederhana seperti disebutkan di atas maka dapatlah mereka membuka hutan, membersihkan sebidang tanah dengan bantuan api dan jadilah sebuah ladang yang kemudian mereka tanami dengan bermacam-macam bibit tanaman pangan.

Kedua mengapa masyarakat tradisional mempraktekkan shifting cultivation adalah suatu respons terhadap kondisi iklim yang tidak bersahabat dalam membantunya melakukan usaha pertanian bahan pangan sepanjang tahun. Musim penghujan yang pendek harus dimanfaatkan se-efesien mungkin, karena musim kemarau yang panjang sesudahnya, tidak dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha pertanian.
Akhir musim kemarau adalah musim menyediakan lahan untuk ladang.
Api adalah suatu penemuan yang penting dalam shifting cultivation karena kemampuannya membersihkan lahan dalam waktu singkat, untuk siap ditanami.
Akan tetapi bantuan api untuk membersihkan lahan, menyebabkan terurainya unsur nitrogen ke dalam udara. Itulah sebabnya tanah pertanian segera menjadi tidak subur untuk penenaman berikutnya. Pilihan satu-satunya yang tinggal adalah berpindah lahan.
Masyarakat suku yang banyak itu telah mengkapling kawasan-kawasan tertentu sebagai tanah ulayatnya, berbatasan dengan tanah-tanah ulayat dari suku-suku lain.
Guna menghindari konflik dengan masyarakat suku lainnya itu, maka masyarakat suku harus tetap melekat di atas tanah ulayatnya sendiri dan memanfaatkan hutan belukarnya dengan cara yang berhasil guna. Hal ini berarti, kembali menebas bekas-bekas ladang yang telah pulih hutan belukarnya setelah ditinggalkan 5 – 7 tahun lamanya. Daur lahan pulih yang berlangsung terus menerus membuat mutu lahan menjadi merosot dan merusak tanah-tanah ulayatnya.
Ketiga adalah mengapa shifting cultivation masih terus berlangsung ialah adanya inovasi teknologi yang baru atau tidak diperkembangkannya alat-alat pertanian baru yang memungkinkan masyarakat tradisional keluar dari kebudayaan pertanian subsisten dan berevolusi lagi untuk memasuki suatu zaman pertanian  yang baru. Dalam kurun waktu lebih tiga dekade terakhir ini pemerintah berusaha memperkenalkan pola pertanian menetap dengan Paca Usaha Tani.
Telah dijelaskan di atas bahwa evolusi dalam masyarakat pengumpul makanan, tiba-tiba saja keluar meninggalkan zaman itu dan memasuki zaman pertanian subsisten karena diperkenalkannya alat-alat pertanian dan teknologi pertanian yang baru.
Pertanyaan yang sekarang timbul ialah teknologi dan alat-alat pertanian baru manakah, yang ikut diperkenalkan berbarengan dengan diperkenalkannya teknologi Panca Usaha Tani itu?
Sebagaimana diketahui teknologi  pertanian Panca Usaha Tani itu memberi 5 butir acuan minimal/minimum, yaitu
  1. Pengelolaan tanah yang baik;
  2. Penggunaan bibit unggul;
  3. Penyiangan yang baik dan teratur;
  4. Penggunaan pupuk yang seimbang dan tepat waktu;
  5. Pengairan yang teratur dan seimbang.
Teknologi pertanian dengan 5 butir acuan minimum tersebut merupakan syarat bagi keberhasilan usaha pertanian yang memampukan petani menghimpun jumlah makanan yang dapat menutupi kebutuhannya yang subsisten. Akan tertapi permasalahannya ialah teknologi Panca Usaha Tani itu tidak dapat diimplimentasikan seluruhnya dalam iklim savana dan kondisi semi arid yang kikir hujan seperti di Timor dan Rote.  Pengolahan tanah yang baik hanya dimungkinkan jika petani telah memilih sebidang tanah yang akan dikerjakannya sebagai tanah pertanian menetap. Selama pola pertaniannya masih didominasi oleh kebiasaan berpindah-pindah, ia tidak dapat memusatkan seluruh usahanya guna menaklukan tanah itu. Agar dapat merobah pola pertanian berpindah-pindah menjadi perladangan menetap, perlu :
Ø  Adanya penemuan baru alat pertanian, pengganti parang dan kapak yang dapat digunakan secara manual namun berdaya guna yang tinggi seperti misalnya (linggis, pacul, dandang, alat penyisir tanah, bajak, skop, arit, dll).
Ø  Perlu dikembangkan penelitian tanaman pangan untuk menemukan jenis-jenis bibit unggul untuk lahan kering yang tahan kering dan produksinya lebih tinggi;
Ø  Perlu penyuluhan intensif dan terus menerus guna memperkenalkan pembuatan kompos dari limbah pertanian untuk dikembalikan pada tanah guna meningkatkan unsur Nitrogen dan zat-zat berguna lainnya  untuk mempersubur tanah;
Ø  Perlu menanamkan disiplin kerja berjadwal sehingga ladang secara tetap dikerjakan setiap hari guna meningkatkan produktivitasnya.

Tampaknya managemen air di kawasan savana seperti Timor dan Rote merupkan hal yang teramat mahal, dan tidak mampu ditanggulangi sendiri oleh masyarakat tradisional.
Managemen air memerlukan modal serta rekayasa teknik yang sama sekali tidak dimiliki di desa. Banyak sumber air yang mengalir airnya secara mubazir karena belum dapat dialihkan bagi penggunaan yang lebih berdaya guna, untuk lahan pertanian.
Selain mengandalkan air dari sumber-sumber mata air yang ada, perlu dibuatkan waduk-waduk buatan diberbagai lokasi pertanian yang sekiranya saat turun hujan dapat menampung air hujan sebanyak mungkin dan dimanfaatkan selama mungkin, di sepanjang musim kemarau.
Karena itu lokasi-lokasi yang letaknya disekitar kaki gunung/bukit maupun didataran tertentu dalam suatu wilayah perlu diplot, baik oleh masyarakat setempat maupun oleh Pemerintah Daerah yang nantinya  dapat dikerjakan dengan alat-alat berat maupun dengan cara swadaya masyarakat sehingga menjadikannya sebagai danau-danau/waduk buatan untuk mengairi lahan pertaniannya sepanjang musin kemarau.  

Diusahakan pembuatan waduk-waduk atau danau-danau buatan ini segera dikerjakan pada musim-musim kemarau dengan sistem swadaya masyarakat maupun dengan sistem Proyek Padat Karya membantu masyarakat miskin di pedesaan (penciptaan lapangan kerja di pedesaan). Provinsi Nusa Tenggara Timurku mendapat Gelar sebagai Provinsi GERSANG tetapi Rakyatnya juga GERSANG Kantongnya alias Provinsi Termiskin di Indonesia. Hal ini karena pemerintah  masih kurang menaruh perhatian yang serius pada bidang pertanian dan peternakan. (Prihatin sekali).

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Alamat : Jln.Jambon 1/414J – Kricak – Jogjakarta
Telp.0274.588160 – HP.082135680644.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.