Mengenal Jenis-jenis Perkawinan Pada Umumnya
Dalam
kehidupan manusia selalu terjadi regenerasi, dari generasi tua kepada generasi
baru secara terus-menerus hingga sekarang, dan ini bisa terjadi lewat
suatu proses perkawinan seorang
laki-laki dengan seorang perempuan. Namun proses ini tidak selalu sama pada
setiap kasus perkawinan, oleh karena pengaruh berbagai kondisi dan situasi,
adat istiadat, kebiasaan, hukum, atau karena masalah pribadi yang dihadapi
masing-masing pihak yang bersangkutan atau oleh komunitasnya yang terkait.
Oleh karena itu perlu
kita mengenal berbagai istilah perkawinan, baik yang belaku untuk suatu
lingkungan adat tertentu maupun perkawinan pada umumnya, sebagai berikut :
Ø Perkawinan/marriage adalah suatu hubungan antara pria dan wanita
yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat, atau agama dengan
maksud bahwa mereka saling memelihara
hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang ralatif lama.
Ø Dalam Hukum Keluarga, Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ø Bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Kita perlu juga mengenal berbagai jenis/istilah/arti perkawinan yang berlaku, baik kepada suatu
masyarakat tertentu tetapi juga adat perkawinan pada umumnya sebagai berikut :
1. “Perkawinan adat/customary
wedding”, adalah perkawian yang menurut
adat.
2. “Perkawinan bigami/” bigamous
marriage, Suatu perkawinan antara seorang pria dan wanita yang
terlarang menurut hukum perkawinan yang berdasarkan monogami karena pihak pria
masih mempunyai istri lain yang sah, atau seorang pria yang beristri dua.
3. “Perkawinan campur/intermarriage;
mixd marriage”;
Perkawinan antara pria dan wanita yang masing-masing berasal dari dua golongan
sosial yang berbeda.
4. “Perkawinan culik/olepement” : adalah perkawinan antara pria dan wanita, dalam hal
mana si wanita terlebih dahulu dibawa lari oleh pria dari lingkungan wanita.
5. “Perkawinan diam-diam atau
perkawinan sirri” : Suatu peristiwa perkawinan sederhana yang disaksikan oleh beberapa orang
saja sekedar memenuhi syarat syahnya nikah, biasanya tanpa diadakan pesta atau
upacara-upacara menurut adat, hal demikian terjadi karena kedua belah pihak
keluarga mempelai dalam keadaan kurang mampu, atau salah satu atau kedua
mempelai masih dalam rangka menyelesaikan belajar atau lainnya, sehingga
setelah dikawinkan mempelai pria dan wanita terpisah, tetapi hak dan
kewajibannya berlaku sebagaimana hukum perkawinan. Dalam pengertian lain kawin
sirih, berlangsung secara diam-diam antara pria yang sudah beristri
dengan seorang wanita lainnya (diluar pengetahuan istri sahnya) dihadapan
seorang alim ulama, disaksikan oleh hanya beberapa orang saja, tanpa suatu
upacara atau pesta seperti layaknya. Perkawinan diam-diam ini dimaksudkan agar
merasa aman dari prasangka yang tidak-tidak
dari lingkungan masyarakat setempat, karena untuk menghindari kesan sebagai kumpul kebo).
6. “Perkawinan eksogami/exogamy
marriage” : Suatu perkawinan yang mengharuskan seseorang untuk mencari jodohnya di
luar lingkungannya sendiri, yaitu di luar kerabat sendiri, lingkungan sendiri,
atau di luar golongan sosial lainnya.
7. “Perkawinan ganda/group
marriage” : Perkawinan antara beberapa orang pria dengan beberapa wanita.
8. “Perkawinan diatur /arranged
marriage” : Perkawinan yang pemilihan dan penentuan jodohnya tidak diusahakan sendiri
oleh pria atau wanita yang bersangkutan, tetapi oleh para kerabat mereka.
9. “Perkawinan endogami/endogamy
mattiage” : Suatu perkawinan yang mengharuskan seseorang untuk mencari jodohnya di
dalam lingkungan sendiri, yaitu di dalam lingkungan kerabat sendiri, lingkungan
pemukiman sendiri, klen sendiri, atau di dalam golongan sosial sendiri lainnya.
10. “Perkawinan gantung” : Perkawinan yang telah disahkan oleh adat atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat, walaupun karena suatu sebab tertentu kedua mempelai belum dapat
hidup bersama.
11. “Perkawinan kanak-kanak / child
marriage” : Perkawinan antara pria dan wanita, yang satu diantaranya atau
kedua-duanya belum cukup umur yang dilakukan berdasarkan adat atau hukum yang
berlaku.
12. “Perkawinan lari” : Suatu perkawinan akibat adanya kejadian antara kedua pemuda-pemudi dan
keluarganya, meninggalkan rumahnya, atau pemudi lari ke rumah pemuda, akhirnya
mereka dikawinkan.
13. “Perkawinan levirat/levirate
marriage” : Suatu perkawinan seorang janda
dengan saudara sekandung bekas mendiang suaminya yang telah meninggal dunia
yang didasarkan atas keharusan menurut adat-istiadat yang berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
14. “Perkawinan monogami/monogamy
marriage” : Suatu sistem perkawinan yang berdasarkan adat-istiadat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat, dimana mengharuskan seorang pria mengawini seorang
wanita saja.
15. “Perkawinan poliandri/poliandry
marriage” : Suatu sistem perkawinan yang memperbolehkan seorang wanita mempunyai
lebih dari seorang suami berdasarkan adat-istiadat atau hukum yang berlaku
dalam masyarakat primitif suku Indian.
16. “Perkawinan poligamy/polygamy” : Suatu sistem
perkawinan yang memperbolehkan masing-masing jenis baik pria atau wanita
mempunyai lebih dari seorang istri atau suami berdarkan adat-istiadat atau hukum
yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
17. “Perkawinan paksa” : Suatu perkawinan yang terjadi karena pilihan dari orang tua baik pria
atau wanita, sehingga kedua mempelai merasa dipaksa untuk kawin walaupun
keduanya belum saling mengenal atau tidak setuju.
18. “Perkawinan poligini/polyginy”,:Suatu sistem
perkawinan yang
memperbolehkan seorang pria mempunyai lebih dari seorang istri yang berlaku
dalam suatu masyarakat berdasarkan adat-istiadat atau hukum perkawinan yang
bersangkutan.
19. “Perkawinan rusuk” (di pulau Mentawai) :
Suatu perkawinan yang sifatnya belum sakral, artinya belum menjalani upacara
suci menurut adat.
20. “Perkawinan Saudara sepupu silang/cross-cousin
marriage” : Sistem perkawinan antara pria dan wanita dengan anak saudara wanita ayah
atau anak saudara pria ibu.
21. “Perkawinan saudara sepupu silang
asimetris/ cross marriage” asymentrical: Sistem perkawinan yang diatur oleh adat yang menentukan
bahwa seorang pria dapat kawin dengan anak saudara wanita ayah, dan sebaliknya
bahwa seorang wanita bisa kawin dengan saudara pria ibu.
22. “Perkawinan saudara sepupu silang
simentris/symentrycal cross cross marriage” : Sistem perkawinan yang sama dengan perkawinan saudara
sepupu silang.
23. “Perkawinan sororat/sororate
marriage” : Suatu perkawinan antara seorang duda dengan saudara sekandung atau anak
saudara sekandung isrtinya yang telah meninggal dunia.
24. “Perkawinan sumbang/incest” : Perkawinan sumbang
yang terlarang menurut adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat
seperti perkawinan antara ayah dengan anak kandung sendiri, ibu dengan anak
kandung sendiri, perkawinan antara saudara sekandung, perkawinan antara
kerabat-kerabat tertentu lainnya, dan perkawinan yang melanggar adat eksogami.
25.
“Perkawinan sumando atau marsonduk” (Tapanuli-Batak) :
Suatu adat perkawinan di mana calon suami masuk dalam keluarga istrinya dan
berdiam selama-selamanya di rumah istrinya; mengikuti hukum kekeluargaan dari
istrinya; hukum waris pun diatur menurut hukum istrinya.
26. “Perkawinan tukar gadis/bride
exhange” : Adat perkawinan dalam hal mana seorang pria yang melamar seorang wanita,
menyediakan seorang saudara wanita dari kerabatnya sendiri untuk dikawinkan
dengan seorang pria dari kerabat calon suaminya.
27. “Perkawinan Campuran” : ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang bertalian, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaan Indonesia. Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan
yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara
yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia
yang berlaku (Pasal 58). Perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang
Perkawinan Pasal 59. Pasal 61 mengatur hukuman kepada Pegawai Pencatatan
Perkawinan yang mencatat perkawinan, sedang mengetahui bahwa keterangan atau
keputusan pengganti keterangan dari Pengadilan tidak ada. Sedang Pasal 62 UUP
mengatur kedudukan anak dalam perkawinan campuran, juga pada Pasal 59 ayat 1. (Drs.C.S.T.Kansil, SH, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka,l980, hal.225,227).
28. “Kawin pendok (keris)”-Sunda : Biasanya
terjadi antara seorang pria tokoh ternama, pejabat, orang kaya dan sebagainya
yang sudah beristri. Kawin bermadu dengan wanita kebanyakan dan tidak setahu
istrinya. Untuk melangsungkan perkawinannya ia tidak datang sendiri ke tempat
kawin dan bersanding dengan mempelai wanita, melainkan mengutus orang lain
sebagai wakilnya sambil membawa sebuah “pendok”
(kris) kepunyaan mempelai pria. Maka yang berhadapan dengan wali serta petugas
Kantor Agama, adalah wakilnya itu sambil memegang “pendok” (kris) sebagai tanda menjadi wakil untuk kawin. Dalam
prakteknya wakil itulah yang dikawinkan, membawa nama penyuruhnya.
Dilangsungkannya kawin seperti ini biasanya karena dua alasan. Pertama, karena
mempelai pria menjaga martabatnya (gengsi), sebab kawin dengan wanita
kebanyakan. Tidak setarap dengan dia. Kedua; menjaga jangan sampai diketahui
oleh istrinya atau keluarga lainnya.
29. “Kawin sembunyi” (Sunda); Kawin semacam ini dilangsungkan oleh orang yang sudah beristri. Jadi ia
dimadu, tetapi dengan cara gelap-gelapan. Hanya sama seperti yang melangsungkan
kawin “pendok”. Perbedaannya, pria yang melangsungkan kawin sembunyi ini datang
sendiri ke tempat kawin, bersanding dengan mempelai wanitanya. Dikawinkan
seperti biasanya oleh wali wanita.
30. “Kawin dengan pria pendatang”, (Sunda) : Orang Sunda umumnya kurang
berkenan di hatinya untuk mengawinkan anak perempuannya dengan pria pendatang,
tamu atau perantau lain daerah, lebih-lebih lagi orang asing. Yang menjadi
alasan baginya, takut kalau-kalau si anaknya nanti dibawa pulang ke daerah
mantunya, atau ditinggalkan pulang ke daerah asalnya begitu saja. Atau dibawa berkelana ke mana-mana karena mantunya itu telah terbiasa
berkelana. Lebih-lebih kalau mereka sudah beranak, lebih enggan lagi hati si
kakek dan nenek untuk melepaskannya. Lebih dari itu, orang tua si perempuan
tidak mengetahui apakah bakal mantunya itu orang baik, dan turunan orang
baik-baik. Dan menimbulkan ketidak puasan pula di hatinya, karena dapat bergaul
akrab dengan besannya yang merupakan bagian dalam keluarganya. Berhubung dengan
itu maka perkawinan biasanya tidak dibesar-besarkan hanya sekedarnya,
dingin-dingin saja.
31. “Ditarik kawin I” : Di
masyarakat Sunda dianggap tidak baik berkenalan antara seorang wanita dengan
seorang pria terlalu lama. Lebih-lebih bagi seorang gadis dengan seorang
bujangan atau duda. Sampai-sampai ada teguran yang berbunyi : “Janganlah
perempuan dan laki-laki tenang-tenang bergaul, pantangan jangan-jangan nanti
bercampur darah! Lebih baik kawin
segera! Bercampur darah antara seorang laki-laki dengan seorang wanita tentunya
berarti “melanggar kesusilaan”.Berhubung dengan itu, kalau diketahui antara
perempuan dan laki-laki dipandang sudah terlalu lama, maka biasanya fihak orang
tua perempuan mendesak keduanya untuk segera melangsungkan perkawinan. Terutama
fihak laki-lakinya diminta segera mengawininya. Kalau terjadi hal yang
sedemikian, biasanya si orang tua perempuan bersedia menanggung segala
resikonya asal si laki-laki itu “ditarik
untuk kawin”, atau “ditarik kawin” Dalam pelaksanaannya serba terburu-buru hingga seperti
sembunyi-sembunyi, tidak banyak diketahui orang.
32. “Ditarik kawin II” :
Kadang-kadang terjadi juga, sebelum dilakukan “penarikan kawin” seperti di atas (karena sudah lama bergaul si
perempuan terburu mengandung,
terburu “bercampur darah”. Setelah nyata terjadi hal
yang demikian, maka biasanya segera orang tua perempuan minta
pertanggunngjawaban, kepada si laki-laki yang menggaulinya. Satu-satunya
permintaan untuk mempertanggung jawabkan ulahnya, si laki-laki itu harus mau
segera mengawininya. Kalau kebetulan di laki-laki itu rela “ditarik kawin”, maka dilangsungkan
perkawinan secara biasa, hanya tanpa ramai-ramai karena malu.
33. “Kawin kias” (kawin berandai-andai -
simbolis)
: Tentang kawin macam ini adalah apabila adik lebih dahulu kawin dari
pada kakaknya. Dipergunakan “kawin kias” karena kawinnya itu
merupakan kias agar tidak kawin mendahului kakak. Sudah menjadi pantangan turun
temurun (Sunda), bahwa seorang
adik jangan kawin mendahului kakaknya. Tetapi kalau terpaksa, tidak bisa
dihindarkan karena suatu hal, maka pada waktu dilangsungkan perkawinan adiknya
itu diadakan pula kias untuk menghindarkan sesuatu
akibat yang tidak diharapkan.
34. “Kawin penyela” : Seorang
janda yang telah dijatuhi talak 3(cerai) oleh suaminya, bilamana bekas lakinya
menghendaki kawin lagi untuk keempat kalinya berturut-turut, dilarang oleh
agama. Ia boleh mengawininya untuk keempat kalinya dengan syarat si jandanya
tadi harus dikawini dahulu oleh laki-laki lain, dan telah diceraikan oleh
laki-laki tersebut. Selagi jadi istri laki-laki yang kedua itu, telah pula digauli
seperti wajarnya orang berlaki-istri. Untuk mememuhi peraturan agama tersebut,
seorang yang ingin menikahi bekas istrinya yang masih janda maka ia menyuruh
orang lain menikahi bekas istrinya yang masih janda tadi dengan pesan, setelah kawin segera diceraikan
lagi. Segala biaya perkawinan, silaki-laki yang
menyuruh mengawini di upah pula.
Setelah kawin ditunggu saatnya dicerai dan setelah dicerai ditunggu pula habis
idahnya, baru boleh dikawini untuk keempat kalinya. Perkawinan antara janda
tadi dengan laki-laki suruhan itu, disebut “kawin
menyela”. Menyela supaya
bisa sah dikawinkan lagi oleh bekas suaminya dulu itu. (Ini menurut hukum Agama
Islam).
35. “Kawin tua sama tua” : Sudah
menjadi kebiasaan, kalu orang kaya kawin, pasti ramai meriah. Tetapi hal ini
terjadi bilamana yang kawinnya orang-orang muda, gadis dan bujang. Kalau hanya
sekedar duda tua lawan janda tua, agaknya malu untuk dibesar-besarkan,
dipestakan. Cukup dengan akad nikah serta selamatan seperlunya. Dihadiri oleh
keluarga dekat saja, walaupun umpamnya hidangan mewah-mewah, karena dia orang
berada.
36. “Nyalindung ka gelung” : Bahwa
tujuan perkawinan menurut adat dan istilah Sunda ini dalam bahasa Indonesianya “berlindung di bawah sanggul/konde” ialah seorang
laki-laki kawin dengan wanita kaya.
Wanita yang kemampuannya lebih dari pada laki-lakinya. Istilahnya ialah
laki-laki hanya numpang hidup dari istrinya. Contoh kejadian seperti ini antara
lain, misalnya seorang wanita karier/pengusaha sukses sudah berumur, namun belum memperoleh jodoh
karena banyak lelaki enggan melamarnya. Wanita terlambat kawin tersebut dalam
keadaan panik, karena takut tidak bersuami seumur hidupnya, maka ia nekat
mencari suami juga. Pada saat yang begini terkadang dia tidak mensyaratkan
harus lelaki yang sederajat/kaya atau terpandang.. Hanya dengan sedikit ada
gejala dari seorang lelaki yang menaruh simpatik kepadanya, biasanya ia
langsung meng-iakan-nya. Entah ia seorang karyawan biasa, atau rendahan atau
laki-laki kebanyakan tidak menjadi masalah bagi wanitanya. Karena yang
terpenting disini baginya adalah kehadiran seorang lelaki dalam hidupnya..
37. “Kawin unggah karanjang ditujukan terhadap orang yang kawin dengan kakak bekas istrinya atau kakak
bekas suaminya. Biasanya disebutkan orang “turun
keranjang” atau “naik keranjang”
setelah ditinggal mati oleh suaminya atau istrinya. Apa sebabnya disebutkan
orang “turun keranjang” atau “naik keranjang” belumlah jelas. Hanya
mungkin oleh karena umumnya masyarakat Sunda kurang menghargai atas perkawinan
yang seperti ini, sehingga yang berperan dalam perkawinan ini mendapat predikat
“keranjang” (bakul), atau mungkin ibarat sebagai seorang pemulung dengan sebuah keranjang (bakul) untuk
menampung apa saja berupa barang bekas yang dipungutnya? Dapat juga diartikan,
bahwa yang meninggal itu, telah mengahiri/turun
statusnya sebagai suami/istri, lalu saudaranya yang masih hidup menggantikannya naik tingkat menjadi status
suami/istri yang baru. Atau ada yang hilang tetapi ada penggantinya.
Demikianlah
berbagai pengertian dari berbagai jenis perkawinan secara umum, untuk diketahui
seperlunya, bahwa masing-masing jenis perkawinan itu memiliki konsekwensi tersendiri bagi yang
menjalaninya. Baik buruknya berbagai jenis perkawinan ini, harus diakui
keberadaannya didalam masyarakat adat dan budaya dimana saja, dan oleh siapa
saja baik pada masyarakat tradisional maupun di masyarakat modern sekali pun.
Jenis-jenis
Perkawinan
Di Nusa Tenggara
Timur
Setelah kita bahas jenis-jenis perkawinan pada umumnya, berikut ini
juga kami akan kemukakan jenis-jenis perkawinan adat suku-suku bangsa di Nusa
Tenggara Timur pada umumnya, apakah terdapat perbedaan atau persamaannya dengan
jenis-jenis perkawinan tersebut diatas. Perkawinan yang ideal Di NTT adalah
antara anak Paman dan anak Bibi Pada dasarnya upacara perkawinan tradisional
di Nusa Tenggara Timur hampir sama saja dengan daerah lain di Indonesia.
Meskipun
demikian ada juga hal-hal yang berbeda. Pada
umumnya di Nusa Tenggara Timur perkawinan ideal sangat
erat dengan tujuan perkawinan Adat ke-timuran, seperti Sumba dan
Lamaholot, suku Dawan (Timor) maupun didaerah lainnya di Nusa Tenggara Timur.
adalah perkawinan dalam lingkungan
famili saja, yaitu perkawinan antara anak
paman dan anak bibi.
Perkawinan cara ini juga
dikenal di Rote tetapi tidak umum dan dalam istilah bahasa Rote disebut “Tuti
Tali Ke”, yang artinya “Menyambung
kembali Tali Ikat Pinggang Keluarga”
(kawin keluarga). Pada orang Rote terutama dimasa-masa lampau,
sudah menjadi kelaziman, orang-orang tua yang mempunyai anak yang sudah dewasa,
baik ia gadis maupun bujang, pertama-tama orang tua mencarikan jodoh untuk
anaknya itu diusahakan di kalangan kerabat sendiri, ialah saudara sepupu atau
misanan dari si anak. Perjodohan semacam ini di kenal luas oleh masyarakat adat
suku Rote dinamakan dengan sebuatan “Tuti Tali Ke” = “menyambung
kemabal tali ikat pinggang keluarga” yang telah terputus selama ini.
Artinya mempersatukan kembali
kedua keluarga dan kekayaan kedua saudara sepupu dan mempertemukan kekeluargaan
agar lebih rapat, karena setelah kawin akan merupakan suami-istri yang sifatnya
lebih rapat daripada hanya saudara sepupu semata. Kalau umpamanya
lingkungan kerabat sendiri tidak
dijumpai calon jodohnya, baru dicari di luar kalangan kerabat sendiri. Tetapi
masih tetap dibatasi demi kepentingan keluarga. Dicari dahulu calon-calon di
lingkungan yang sederajat untuk sekurang-kurangnya seimbang kekayaan atau
kemampuannya. Kalau yang menjadi suami adalah dari orang berada atau
terpandang, sedang yang menjadi istri dari golongan yang tidak mampu atau orang
yang biasa saja, pada umumnya orang menganggap wajar, atau biasa-biasa saja.
Akan tetapi apabila
seorang laki-laki tidak mampu, yang beristrikan wanita yang lebih mampu dalam
segala sesuatu dari padanya, umpamanya seorang laki-laki yang tidak
berpengalaman, beristrikan pegawai yang bergaji cukup. Tentu laki-laki itu dianggap, hidupnya
tergantung kepada si istri. Biasanya terdapat kata-kata yang merupakan sindiran
kepada laki-laki yang tujuan kawinnya untuk menumpang hidup.
Bagi
suku Dawan/Timor dinamakan “fe lanan maeu lanan”. Anak saudara
laki-laki, baik pria maupun wanita bisa
mengambil istri / suami dari saudara
perempuan. Di daerah Lamaholot (Flores) disebut “Nope”, dan di
daerah Sumba disebut “Mapaana pulangi anga mapaana laleba amangu”. Bisa juga “libisu (lalodghu)”,
perkawinan yang ada sangkut pautnya dengan asal nenek.
Beberapa bentuk perkawin di Nusa Tenggara Timur
yang kita kenal sebagai berikut :
- Perkawinan biasa (meminang) : Perkawinan
biasa, artinya proses perkawinan yang dilakukan adalah melalui urutan yang
berlaku, di antaranya melalui proses peminangan. Di kalangan suku Sumba di
daerah Sumba Barat, perkawinan ini disebut “dekemawine / mindera”,
yakni perkawinan biasa tetapi kedua mempelai belum pernah kawin disebut
dengan istilah “pauma”. Sedangkan di wilayah
Sumba Timur perkawinan biasa
disebut “Piti kaweni / lafei”. Di kalangan orang
Lamaholot (Flores) perkawinan biasa dalam arti melalui proses peminangan
dikenal dengan istilah “kawen gete” atau “kaweng mureng”. Dikalangan suku Dawan (Timor)
bentuk perkawinan biasa melalui cara peminangan disebut “sae toi masanu
seet”, artinya naik dan
turun melalui pintu pagar bertangga.Yang dimaksud dengan kiasan itu adalah
mengikuti aturan yang diakui sah oleh masyarakat. Proses perkawinan yang
biasa, dengan cara meminang, berlaku umum dikalangan suku-suku bangsa di
Nusa Tenggara Timur. Hanya saja antara satu suku bangsa dengan suku bangsa
yang lain terdapat perbedaan istilah. Dalam proses perkawinan biasa ini
selalu melalui tahap tertentu. Adapun tahap-tahap dalam proses perkawinan
biasa sebagai berikut: Menentukan calon, mengumpulkan hewan dan
benda-benda sebagai “belis” (istilah Rote) atau “emas kawin” (Jawa), meminang disertai pembayaran “belis”. Di kalangan suku bangsa
Dawan peminangan dilakukan melalui
perantara yang disebut “nete
tali” atau “nete lanan”.
Belis (istilah bahasa Rote) sebagai tanda ikatan di kalangan suku bangsa
Dawan/Timor disebut “bunuk kau
nu”. Apabila pada waktu peminangan belum lunas belisnya, maka ada
masa untuk melunasinya. Apabila
kewajiban belis telah lunas, baru melakukan pengesahan secara adat. Di
daerah Dawan dikenal istilah “terang kampung” (makos). Bagi yang
beragama Kristen kemudian dikukuhkan dengan perkawinan di catatan sipil
dan pemberkatan di gereja.
2.
“Perkawinan Lari”
: Dalam kenyataan tidak seluruh anggota masyarakat yang melakukan perkawinan
melalui proses perkawinan biasa. Ada kalanya mereka menempuh suatu bentuk
perkawinan lari. Kawin lari di Sumba Barat dikenal dengan dua macam cara, yakni
ke satu, “kandona mawinie”
dimana mempelai laki-laki melarikan sang gadis. Sedang yang ke-dua adalah “dikuna kabani”, yang terjadi bila sang gadis yang
melarikan diri ikut calon suami.
Didaerah Sumba Timur kawin lari dikenal dengan istilah “palaingandi”.
Adapun tahap-tahapnya dalam kawin lari dikalangan suku Sumba adalah sabagai
barikut : melarikan diri atau dilarikan. Kemudian pihak keluarga laki-laki
mengirim utusan kepada keluarga wanita dan memberi berita serta membawa benda-benda hantaran berupa hewan, pisau
besar, kepada keluarga wanita. Pihak keluarga wanita mengantarkan pakaian si wanita yang terbagus.
Kemudian pihak kaluarga wanita minta belis. Selanjutnya proses berikutnya sama
dengan perkawinan biasa. Di kalangan suku bangsa Dawan, kawin lari dikenal di
berbagai daerah bekas swapraja dulu. Kawin lari disebut dengan istilah “na aenab” di samping itu
pada waktu melarikan diri biasanya si wanita meninggalkan tanda adalah uang
perak satu ringgit, sarung lama sehelai, daun sirih satu ikat dan pinang satu
ikat (kira-kira l0
buah). Kalau si wanita lari dengan orang
lain, artinya bukan calon yang ditentukan, biasanya dia meninggalkan
tanda-tanda. Kawin-lari semacam itu
tidak boleh lebih dari tiga hari. Artinya sesudah tiga hari mereka harus
keluar dari persembunyiannya dan melaporkan kepada orang tua si gadis, agar
diselesaikan secara adat. Akibat dari kawin lari ini mereka akan dikenakan denda adat. Adapun denda
tersebut disebut “nakol ume ek ume
konu nua tenu”
(menutup lubang dua tiga). Denda ini berupa dua sampai lima ekor ternak sapi
sebagai “penutup lobang”.Di samping itu juga seekor kuda
sebagai “pencabut duri”. “Kos kis nan kasumat”, artinya (mencabut
duri waktu melakukan pencarian). Karena sewaktu mencari dianggap oleh pihak keluarga
wanita kedinginan, maka dikenakan denda upah kedinginan yang disebut “lab man arum atau aeb nan tanus”. Apabila denda
telah diselesaikan, barulah dilakukan tata cara perkawinan-biasa. Di kalangan
orang Lamaholot kawin lari dikenal dengan istilah “pasigeri” apabila wanita
melarikan diri mengikuti laki-laki. Sedangkan apabila lari bersama-sama antara kedua calon mempelai disebut “reli pasi” atau “kaweng lelaoneng”. Kalau terjadi
perkawinan demikian, maka untuk beberapa waktu kedua calon mempelai harus lari
keluar desa. Setelah itu pihak keluarga laki-laki akan memberitahu hal tersebut
kepada pihak keluarga wanita. Kemudian baru diurus melalui tata cara adat yang
biasa.
- “Kawin gantung” :
Bentuk perkawinan gantung dikenal dengan berbagai istilah. Di Sumba Barat perkawinan semacam ini disebut “maga / paghera” dan di
Sumba Timur disebut “payera”.
Anak-anak sudah “diikat” sejak kecil dengan penyerahan belis kepada pihak orang
tua wanita oleh pihak orang tua laki-laki. Setelah dewasa barulah diadakan
upacara perkawinan. Pihak keluarga laki-laki dalam perkawinan ini
menghadap dan meminta kepada pihak orang tua wanita agar anaknya “angu” (pahera).
Penyelesaian belis dan
pemindahan wanita tergantung kepada musyawarah kedua belah pihak.
Perkawinan gantung dikenal juga dikalangan suku Lamaholot di daerah
Adonara, Flores dengan istilah perkawinan “lakang”.Istilah ini biasanya diberikan
bagi anak laki-laki yang akan mengembara atau merantau jauh. Supaya ada
ikatan antara kedua orang tuanya mengadakan perjanjian untuk mengawinkan
anak-anak walaupun belum dewasa. Nanti kalau sudah
dewasa dan kembali dari pengembaraannya baru disatukan membentuk rumah
tangga sendiri. Persyaratan adat dalam pembayaran belis seperti biasa
menurut adat.
- “Kawin Mengabdi,” Di kalangan suku
bangsa Dawan/Timor pada beberapa daerah dikenal adanya bentuk perkawinan
mengabdi. Dalam bentuk perkawinan ini pihak pria setelah menikah tinggal
di rumah orang tua wanita dan bekerja bagi kepentingan keluarga
wanita. Perkawinan ini terjadi
karena pihak laki-laki tidak mampu membayar belis. Oleh karena itu
sebagai gantinya ia harus mengabdi pada keluarga wanita. Apabila ia telah
dapat melunasi tuntutan adat yang disebut “Oemaputu ai mahala”
barulah si wanita boleh dibawa ke tempat laki-laki. Dalam istilah Dawan disebut “hel
mau tuak ma taf man lene” yang artinya iris tuak dan tofa kebun
(membersihkan kebun di tempat keluarga wanita). Di Sumba perkawinan semacam ini disebut “mamaka
jasa” karena pihak laki-laki tidak mampu membayar belis. Jadi
selama belis belum terbayar atau selama waktu tertentu yang telah diputuskan bersama, si suami
harus mengabdi pada keluarga pihak si istri. Adapun
penyelesaian selanjutnya seperti perkawinan biasa.
5.
“Kawin ganti tikar” : Perkawinan ini terjadi jika suami atau istri
yang ditinggal mati istri atau suaminya, kemudian mengawini kakak atau adik
dari suami atau istri yang meninggal. Di kalangan suku bangsa berbahasa
Lamaholot di daerah Adonara, Flores terdapat perkawinan levirat. Seseorang yang ditinggalkan mati atau karena suami pergi merantau dan telah lama tidak pulang serta tidak ada kabar beritanya, maka si
istri dikawinkan lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya. Perkawinan ini
disebut kawin “brikang”. Dalam
perkawinan ini disebut “si-fik kuna kloef manake kloef,
artinya menyulam tikar dan bakul yang sobek. Dalam perkawinan ini tidak perlu
upacara adat. Di Sumba kawin ganti tikar
disebut “pamagho” atau “painawo”, tetapi
dilakukan dengan upacara adat. Maksudnya dengan upacara ini dianggap sebagai “Pemberitahuan” kepada suami atau istri yang telah meninggal bahwa suami atau istri yang ditinggalkan
telah mempunyai suami atau istri baru yang menggantikannya. Di samping itu dikenal juga
bentuk perkawinan menggantikan “levirat” yang disebut “kunya pahapa”. Dalam
perkawinan ini tidak ada paksaan, kedua belah pihak harus saling setuju.
6. “Kawin Masuk” : Di Sumba dikenal suatu pola perkawinan yang disebut kawin masuk
atau “lalai tama”. Perkawinan ini terjadi karena pihak laki-laki tidak
dapat membayar belis, sehingga ia kawin
tanpa adat dan hidup menjadi keluarga pihak istri. Demikian juga anak-anak yang
lahir masuk keluarga pihak wanita. Biasanya perkawinan ini terjadi pada lapisan
bawah (ata).
- “Perkawinan Bluwo” : Perkawinan ini dikenal di
suku bangsa Lamaholot di daerah
Adonara (Flores). Dalam perkawinan ini seorang laki-laki sudah beristri
atau belum, dikawinkan dengan seorang wanita yang sedang hamil. Perkawinan
ini terpaksa dilakukan karena si gadis telah mengandung terlebih dahulu
dan tidak diketahui siapa sebenarnya yang bertanggung jawab/berandil. Untuk mencari siapa ayah bayi yang
sedang dikandungnya, kepala adat mengantar si gadis ke rumah mana si gadis
tersebut masuk. Maka laki-laki yang menempati rumah tersebut secara adat
harus mengawini gadis itu. Kalau ternyata silaki-laki menerimanya, maka
perkawinan dilakukan secara adat biasa dari pihak laki-laki harus membayar
belis dan dendanya.
“Kawin ambil dalam pertemuan” : Kawin jenis ini dikenal di Sumba dengan
sebutan “pati marangganggu”.
Perkawinan ini terjadi di rumah keluarga laki-laki. Pihak bakal pengantin
perempuan sama sekali tidak mengetahui niat pihak keluarga laki-laki.
Keluarga laki-laki memakai orang lain sebagi perantara. Biasanya salah
seorang keluarga pihak perempuan. Dengan petunjuknya, keluarga laki-laki
dapat mengambil perempuan itu ditempat yang ditentukan. Keluarga pihak perempuan kemudian akan menyusul
mereka. Bila kedapatan maka pihak laki-laki berusaha memberi mas dan kuda
yang layak. Bila ternyata ada kemauan baik dari pihak keluarga wanita,
atau dapat menerimanya maka pemberian tersebut dibawa pulang sebagai bukti
pemulaan perundingan. Walaupun perundingan belum selesai kedua calon boleh dikawinkan. Baru
kemudian urusan belis diselesaikan.
- “Kawin Masuk Paksa” : Bentuk perkawinan
ini dikenal di Sumba dengan istilah “tama rumbaku”. Perkawinan
ini dilakukan di rumah keluarga wanita. Walaupun kedua belah pihak
mengetahuinya, tetapi secara adat belum dianggap resmi, sehingga bakal
penganten wanita belum mengetahui hal itu. Setelah laki-laki calon suami
masuk kamarnya barulah ia mengetahui hal itu. Sering perkawinan ini batal karena
wanita menolak, tetapi dapat diteruskan asal orang tuanya mampu memenuhi
tuntutannya, berupa kain sarung, mas-perak, muti salak dan sebagainya.
Perkawinan jenis ini hanya dilakukan oleh orang yang mampu / kaya.
- “Kawin ambil rampas” : Jenis perkawinan
ini terdapat di kalangan orang Sumba, disebut dengan istilah “peti
rambanga”. Perkawinan ini terjadi di rumah keluarga laki-laki dan
terjadi bila ada dari pihak keluarga laki-laki yang menghendaki juga
perempuan yang sama. Sehingga untuk
mendahulukan dilakukan perkawinan ini. Si wanita dapat dilepaskan oleh
keluarganya asal pihak laki-laki dapat memberi mas dan hewan ternak yang
layak. Sesudah kawin barulah diselesaikan acara seperti perkawinan biasa.
- “Kawin beneng” : Jenis perkawinan
ini dikenal dikalangan suku Lamaholot di Adonara (Flores). Dalam
perkawinan ini pihak keluarga wanita memperkenalkan anak gadisnya ke
tempat jauh di luar desa, dengan maksud mendapatkan jodoh dan
mandapat belis. Belis ini
diperlukan karena ada salah seorang saudara laki-lakinya yang akan
kawin.
Demikianlah
perkawinan adat dalam kehidupan tradisional kita. Tampak betapa penting nilai
perkawinan yang akan melangsungkan kehidupan keluarga dan masyarakat, sehingga
perlu dilaksanakan menurut kaidah-kaidah agama masyarakat dan hukum yang
berlaku. (Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II, Dep.Dik Bud,
Jakarta, l992 Hal.l9l-l95);
Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa-Barat, Dep.Dikbud, Pusat penelitian
Sejarah dan Budaya,Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Jakarta,
l978/l979-hal.68-74).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.