alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Jumat, 02 Januari 2015

MENGENAL JENIS-JENIS PERKAWINAN PADA UMUMNYA & JENIS PERKAWINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR

Mengenal Jenis-jenis Perkawinan  Pada Umumnya

Dalam kehidupan manusia selalu terjadi regenerasi, dari generasi tua kepada generasi baru secara terus-menerus hingga sekarang, dan ini bisa terjadi lewat suatu  proses perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Namun proses ini tidak selalu sama pada setiap kasus perkawinan, oleh karena pengaruh berbagai kondisi dan situasi, adat istiadat, kebiasaan, hukum, atau karena masalah pribadi yang dihadapi masing-masing pihak yang bersangkutan atau oleh komunitasnya yang terkait. 

Oleh karena itu perlu kita mengenal berbagai istilah perkawinan, baik yang belaku untuk suatu lingkungan adat tertentu maupun perkawinan pada umumnya, sebagai berikut : 
Ø  Perkawinan/marriage  adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat, atau agama dengan maksud  bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang ralatif lama.
Ø  Dalam Hukum Keluarga, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ø  Bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Kita perlu juga mengenal berbagai jenis/istilah/arti  perkawinan yang berlaku, baik kepada suatu masyarakat tertentu tetapi juga adat perkawinan pada umumnya sebagai berikut :
1.    Perkawinan adat/customary wedding,  adalah perkawian yang menurut adat.
2.    “Perkawinan bigami/ bigamous marriage, Suatu perkawinan antara seorang pria dan wanita yang terlarang menurut hukum perkawinan yang berdasarkan monogami karena pihak pria masih mempunyai istri lain yang sah, atau seorang pria yang beristri dua.
3.    Perkawinan campur/intermarriage; mixd marriage”; Perkawinan antara pria dan wanita yang masing-masing berasal dari dua golongan sosial yang berbeda.
4.    “Perkawinan culik/olepement : adalah perkawinan antara pria dan wanita, dalam hal mana si wanita terlebih dahulu dibawa lari oleh pria dari lingkungan wanita.
5.    “Perkawinan diam-diam atau perkawinan sirri” : Suatu peristiwa perkawinan sederhana yang disaksikan oleh beberapa orang saja sekedar memenuhi syarat syahnya nikah, biasanya tanpa diadakan pesta atau upacara-upacara menurut adat, hal demikian terjadi karena kedua belah pihak keluarga mempelai dalam keadaan kurang mampu, atau salah satu atau kedua mempelai masih dalam rangka menyelesaikan belajar atau lainnya, sehingga setelah dikawinkan mempelai pria dan wanita terpisah, tetapi hak dan kewajibannya berlaku sebagaimana hukum perkawinan. Dalam pengertian lain kawin sirih, berlangsung secara diam-diam antara pria yang sudah beristri dengan seorang wanita lainnya (diluar pengetahuan istri sahnya) dihadapan seorang alim ulama, disaksikan oleh hanya beberapa orang saja, tanpa suatu upacara atau pesta seperti layaknya. Perkawinan diam-diam ini dimaksudkan agar merasa aman dari prasangka yang tidak-tidak  dari lingkungan masyarakat setempat, karena untuk  menghindari kesan sebagai kumpul kebo).
6.    “Perkawinan eksogami/exogamy marriage : Suatu perkawinan yang mengharuskan seseorang untuk mencari jodohnya di luar lingkungannya sendiri, yaitu di luar kerabat sendiri, lingkungan sendiri, atau di luar golongan sosial lainnya.
7.    “Perkawinan ganda/group marriage : Perkawinan antara beberapa orang pria dengan beberapa wanita.
8.    “Perkawinan diatur /arranged marriage : Perkawinan yang pemilihan dan penentuan jodohnya tidak diusahakan sendiri oleh pria atau wanita yang bersangkutan, tetapi oleh para kerabat mereka.
9.    “Perkawinan endogami/endogamy mattiage : Suatu perkawinan yang mengharuskan seseorang untuk mencari jodohnya di dalam lingkungan sendiri, yaitu di dalam lingkungan kerabat sendiri, lingkungan pemukiman sendiri, klen sendiri, atau di dalam golongan sosial sendiri lainnya.
10.   “Perkawinan gantung” : Perkawinan yang telah disahkan oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, walaupun karena suatu sebab tertentu kedua mempelai belum dapat hidup bersama.
11.  “Perkawinan kanak-kanak / child marriage : Perkawinan antara pria dan wanita, yang satu diantaranya atau kedua-duanya belum cukup umur yang dilakukan berdasarkan adat atau hukum yang berlaku.
12.  “Perkawinan lari” : Suatu perkawinan akibat adanya kejadian antara kedua pemuda-pemudi dan keluarganya, meninggalkan rumahnya, atau pemudi lari ke rumah pemuda, akhirnya mereka dikawinkan.
13.  “Perkawinan levirat/levirate marriage :  Suatu perkawinan seorang janda dengan saudara sekandung bekas mendiang suaminya yang telah meninggal dunia yang didasarkan atas keharusan menurut adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
14.  “Perkawinan monogami/monogamy marriage : Suatu sistem perkawinan yang berdasarkan adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, dimana mengharuskan seorang pria mengawini seorang wanita saja.
15.  “Perkawinan poliandri/poliandry marriage : Suatu sistem perkawinan yang memperbolehkan seorang wanita mempunyai lebih dari seorang suami berdasarkan adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat primitif suku Indian.
16.  “Perkawinan poligamy/polygamy : Suatu sistem perkawinan yang memperbolehkan masing-masing jenis baik pria atau wanita mempunyai lebih dari seorang istri atau suami berdarkan adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
17.  “Perkawinan paksa” : Suatu perkawinan yang terjadi karena pilihan dari orang tua baik pria atau wanita, sehingga kedua mempelai merasa dipaksa untuk kawin walaupun keduanya belum saling mengenal atau tidak setuju.
18.  “Perkawinan poligini/polyginy,:Suatu sistem perkawinan yang
memperbolehkan seorang pria mempunyai lebih dari seorang istri yang berlaku dalam suatu masyarakat berdasarkan adat-istiadat atau hukum perkawinan yang bersangkutan.
19.  “Perkawinan rusuk” (di pulau Mentawai) : Suatu perkawinan yang sifatnya belum sakral, artinya belum menjalani upacara suci menurut adat.
20.  “Perkawinan Saudara sepupu silang/cross-cousin marriage : Sistem perkawinan antara pria dan wanita dengan anak saudara wanita ayah atau anak saudara pria ibu.
21.  “Perkawinan saudara sepupu silang asimetris/ cross marriage” asymentrical: Sistem perkawinan yang diatur oleh adat yang menentukan bahwa seorang pria dapat kawin dengan anak saudara wanita ayah, dan sebaliknya bahwa seorang wanita bisa kawin dengan saudara pria ibu.
22.  “Perkawinan saudara sepupu silang simentris/symentrycal  cross cross marriage” : Sistem perkawinan yang sama dengan perkawinan saudara sepupu silang.
23.  “Perkawinan sororat/sororate marriage : Suatu perkawinan antara seorang duda dengan saudara sekandung atau anak saudara sekandung isrtinya yang telah meninggal dunia.
24.  “Perkawinan sumbang/incest : Perkawinan sumbang yang terlarang menurut adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat seperti perkawinan antara ayah dengan anak kandung sendiri, ibu dengan anak kandung sendiri, perkawinan antara saudara sekandung, perkawinan antara kerabat-kerabat tertentu lainnya, dan perkawinan yang melanggar adat eksogami.
25.  Perkawinan sumando atau marsonduk” (Tapanuli-Batak) : Suatu adat perkawinan di mana calon suami masuk dalam keluarga istrinya dan berdiam selama-selamanya di rumah istrinya; mengikuti hukum kekeluargaan dari istrinya; hukum waris pun diatur menurut hukum istrinya.
26.  “Perkawinan tukar gadis/bride exhange : Adat perkawinan dalam hal mana seorang pria yang melamar seorang wanita, menyediakan seorang saudara wanita dari kerabatnya sendiri untuk dikawinkan dengan seorang pria dari kerabat calon suaminya.
27.  “Perkawinan Campuran” : ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang bertalian, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaan Indonesia. Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan Pasal 59. Pasal 61 mengatur hukuman kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan yang mencatat perkawinan, sedang mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan dari Pengadilan tidak ada. Sedang Pasal 62 UUP mengatur kedudukan anak dalam perkawinan campuran, juga pada Pasal 59 ayat 1. (Drs.C.S.T.Kansil, SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka,l980, hal.225,227).
28.  Kawin pendok (keris)”-Sunda : Biasanya terjadi antara seorang pria tokoh ternama, pejabat, orang kaya dan sebagainya yang sudah beristri. Kawin bermadu dengan wanita kebanyakan dan tidak setahu istrinya. Untuk melangsungkan perkawinannya ia tidak datang sendiri ke tempat kawin dan bersanding dengan mempelai wanita, melainkan mengutus orang lain sebagai wakilnya sambil membawa sebuah “pendok” (kris) kepunyaan mempelai pria. Maka yang berhadapan dengan wali serta petugas Kantor Agama, adalah wakilnya itu sambil memegang “pendok” (kris) sebagai tanda menjadi wakil untuk kawin. Dalam prakteknya wakil itulah yang dikawinkan, membawa nama penyuruhnya. Dilangsungkannya kawin seperti ini biasanya karena dua alasan. Pertama, karena mempelai pria menjaga martabatnya (gengsi), sebab kawin dengan wanita kebanyakan. Tidak setarap dengan dia. Kedua; menjaga jangan sampai diketahui oleh istrinya atau keluarga lainnya.
29.  “Kawin sembunyi” (Sunda); Kawin semacam ini dilangsungkan oleh orang yang sudah beristri. Jadi ia dimadu, tetapi dengan cara gelap-gelapan. Hanya sama seperti yang melangsungkan kawin “pendok”. Perbedaannya, pria yang melangsungkan kawin sembunyi ini datang sendiri ke tempat kawin, bersanding dengan mempelai wanitanya. Dikawinkan seperti biasanya oleh wali wanita.

30.  Kawin dengan pria pendatang”, (Sunda) : Orang Sunda umumnya kurang berkenan di hatinya untuk mengawinkan anak perempuannya dengan pria pendatang, tamu atau perantau lain daerah, lebih-lebih lagi orang asing. Yang menjadi alasan baginya, takut kalau-kalau si anaknya nanti dibawa pulang ke daerah mantunya, atau ditinggalkan pulang ke daerah asalnya begitu saja. Atau dibawa berkelana ke mana-mana karena mantunya itu telah terbiasa berkelana. Lebih-lebih kalau mereka sudah beranak, lebih enggan lagi hati si kakek dan nenek untuk melepaskannya. Lebih dari itu, orang tua si perempuan tidak mengetahui apakah bakal mantunya itu orang baik, dan turunan orang baik-baik. Dan menimbulkan ketidak puasan pula di hatinya, karena dapat bergaul akrab dengan besannya yang merupakan bagian dalam keluarganya. Berhubung dengan itu maka perkawinan biasanya tidak dibesar-besarkan hanya sekedarnya, dingin-dingin saja.
31.  Ditarik kawin I” : Di masyarakat Sunda dianggap tidak baik berkenalan antara seorang wanita dengan seorang pria terlalu lama. Lebih-lebih bagi seorang gadis dengan seorang bujangan atau duda. Sampai-sampai ada teguran yang berbunyi : “Janganlah perempuan dan laki-laki tenang-tenang bergaul, pantangan jangan-jangan nanti bercampur darah!  Lebih baik kawin segera! Bercampur darah antara seorang laki-laki dengan seorang wanita tentunya berarti “melanggar kesusilaan”.Berhubung dengan itu, kalau diketahui antara perempuan dan laki-laki dipandang sudah terlalu lama, maka biasanya fihak orang tua perempuan mendesak keduanya untuk segera melangsungkan perkawinan. Terutama fihak laki-lakinya diminta segera mengawininya. Kalau terjadi hal yang sedemikian, biasanya si orang tua perempuan bersedia menanggung segala resikonya asal si laki-laki itu “ditarik untuk kawin”, atau “ditarik kawin” Dalam pelaksanaannya serba terburu-buru hingga seperti sembunyi-sembunyi, tidak banyak diketahui orang.
32.  Ditarik kawin II” : Kadang-kadang terjadi juga, sebelum dilakukan “penarikan kawin” seperti di atas (karena sudah lama bergaul si perempuan terburu mengandung, terburu “bercampur darah”. Setelah nyata terjadi hal yang demikian, maka biasanya segera orang tua perempuan minta pertanggunngjawaban, kepada si laki-laki yang menggaulinya. Satu-satunya permintaan untuk mempertanggung jawabkan ulahnya, si laki-laki itu harus mau segera mengawininya. Kalau kebetulan di laki-laki itu rela “ditarik kawin”, maka dilangsungkan perkawinan secara biasa, hanya tanpa ramai-ramai karena malu.
33.  Kawin kias” (kawin berandai-andai - simbolis) : Tentang kawin macam ini adalah apabila adik lebih dahulu kawin dari pada kakaknya. Dipergunakan  “kawin kias” karena kawinnya itu merupakan kias agar tidak kawin mendahului kakak. Sudah menjadi pantangan turun temurun (Sunda), bahwa seorang adik jangan kawin mendahului kakaknya. Tetapi kalau terpaksa, tidak bisa dihindarkan karena suatu hal, maka pada waktu dilangsungkan perkawinan adiknya itu diadakan pula kias untuk menghindarkan sesuatu akibat yang tidak diharapkan.
34.  “Kawin penyela” : Seorang janda yang telah dijatuhi talak 3(cerai) oleh suaminya, bilamana bekas lakinya menghendaki kawin lagi untuk keempat kalinya berturut-turut, dilarang oleh agama. Ia boleh mengawininya untuk keempat kalinya dengan syarat si jandanya tadi harus dikawini dahulu oleh laki-laki lain, dan telah diceraikan oleh laki-laki tersebut. Selagi jadi istri laki-laki yang kedua itu, telah pula digauli seperti wajarnya orang berlaki-istri. Untuk mememuhi peraturan agama tersebut, seorang yang ingin menikahi bekas istrinya yang masih janda maka ia menyuruh orang lain menikahi bekas istrinya yang masih janda  tadi dengan pesan, setelah kawin segera diceraikan lagi. Segala biaya perkawinan, silaki-laki yang  menyuruh mengawini  di upah pula. Setelah kawin ditunggu saatnya dicerai dan setelah dicerai ditunggu pula habis idahnya, baru boleh dikawini untuk keempat kalinya. Perkawinan antara janda tadi dengan laki-laki suruhan itu, disebut “kawin menyela”. Menyela supaya bisa sah dikawinkan lagi oleh bekas suaminya dulu itu. (Ini menurut hukum Agama Islam).
35.  Kawin tua sama tua” : Sudah menjadi kebiasaan, kalu orang kaya kawin, pasti ramai meriah. Tetapi hal ini terjadi bilamana yang kawinnya orang-orang muda, gadis dan bujang. Kalau hanya sekedar duda tua lawan janda tua, agaknya malu untuk dibesar-besarkan, dipestakan. Cukup dengan akad nikah serta selamatan seperlunya. Dihadiri oleh keluarga dekat saja, walaupun umpamnya hidangan mewah-mewah, karena dia orang berada.
36.  Nyalindung ka gelung” : Bahwa tujuan perkawinan menurut adat dan istilah Sunda ini dalam bahasa Indonesianya berlindung di bawah sanggul/konde” ialah seorang laki-laki kawin dengan wanita kaya. Wanita yang kemampuannya lebih dari pada laki-lakinya. Istilahnya ialah laki-laki hanya numpang hidup dari istrinya. Contoh kejadian seperti ini antara lain, misalnya seorang wanita karier/pengusaha sukses  sudah berumur, namun belum memperoleh jodoh karena banyak lelaki enggan melamarnya. Wanita terlambat kawin tersebut dalam keadaan panik, karena takut tidak bersuami seumur hidupnya, maka ia nekat mencari suami juga. Pada saat yang begini terkadang dia tidak mensyaratkan harus lelaki yang sederajat/kaya atau terpandang.. Hanya dengan sedikit ada gejala dari seorang lelaki yang menaruh simpatik kepadanya, biasanya ia langsung meng-iakan-nya. Entah ia seorang karyawan biasa, atau rendahan atau laki-laki kebanyakan tidak menjadi masalah bagi wanitanya. Karena yang terpenting disini baginya adalah kehadiran seorang lelaki dalam hidupnya..
37.  “Kawin unggah karanjang ditujukan terhadap orang yang kawin dengan kakak bekas istrinya atau kakak bekas suaminya. Biasanya disebutkan orang “turun keranjang” atau “naik keranjang” setelah ditinggal mati oleh suaminya atau istrinya. Apa sebabnya disebutkan orang “turun keranjang” atau “naik keranjang” belumlah jelas. Hanya mungkin oleh karena umumnya masyarakat Sunda kurang menghargai atas perkawinan yang seperti ini, sehingga yang berperan dalam perkawinan ini mendapat predikat “keranjang” (bakul), atau mungkin ibarat sebagai seorang pemulung  dengan sebuah keranjang (bakul) untuk menampung apa saja berupa barang bekas yang dipungutnya? Dapat juga diartikan, bahwa yang meninggal itu, telah mengahiri/turun  statusnya sebagai suami/istri, lalu saudaranya yang masih hidup  menggantikannya naik tingkat menjadi status suami/istri yang baru. Atau ada yang hilang tetapi ada penggantinya.
Demikianlah berbagai pengertian dari berbagai jenis perkawinan secara umum, untuk diketahui seperlunya, bahwa masing-masing jenis perkawinan itu memiliki  konsekwensi tersendiri bagi yang menjalaninya. Baik buruknya berbagai jenis perkawinan ini, harus diakui keberadaannya didalam masyarakat adat dan budaya dimana saja, dan oleh siapa saja baik pada masyarakat tradisional maupun di masyarakat modern sekali pun.

Jenis-jenis Perkawinan
Di Nusa Tenggara Timur

Setelah kita bahas jenis-jenis perkawinan pada umumnya, berikut ini juga kami akan kemukakan jenis-jenis perkawinan adat suku-suku bangsa di Nusa Tenggara Timur pada umumnya, apakah terdapat perbedaan atau persamaannya dengan jenis-jenis perkawinan tersebut diatas. Perkawinan yang ideal Di NTT adalah antara anak Paman dan anak Bibi Pada dasarnya upacara perkawinan tradisional di Nusa Tenggara Timur hampir sama saja dengan daerah lain di Indonesia.
Meskipun demikian ada juga hal-hal yang berbeda. Pada  umumnya di Nusa Tenggara Timur perkawinan ideal  sangat  erat dengan tujuan perkawinan Adat ke-timuran, seperti Sumba dan Lamaholot, suku Dawan (Timor) maupun didaerah lainnya di Nusa Tenggara Timur. adalah perkawinan dalam  lingkungan famili saja, yaitu perkawinan antara anak paman dan anak bibi.
Perkawinan cara ini juga dikenal di Rote tetapi tidak umum dan dalam istilah bahasa Rote disebut “Tuti Tali Ke”, yang artinya “Menyambung kembali  Tali Ikat Pinggang Keluarga” (kawin keluarga). Pada orang Rote terutama dimasa-masa lampau, sudah menjadi kelaziman, orang-orang tua yang mempunyai anak yang sudah dewasa, baik ia gadis maupun bujang, pertama-tama orang tua mencarikan jodoh untuk anaknya itu diusahakan di kalangan kerabat sendiri, ialah saudara sepupu atau misanan dari si anak. Perjodohan semacam ini di kenal luas oleh masyarakat adat suku Rote dinamakan dengan sebuatan “Tuti Tali Ke” = “menyambung kemabal tali ikat pinggang keluarga” yang telah terputus selama ini.

Artinya mempersatukan kembali kedua keluarga dan kekayaan kedua saudara sepupu dan mempertemukan kekeluargaan agar lebih rapat, karena setelah kawin akan merupakan suami-istri yang sifatnya lebih rapat daripada hanya saudara sepupu semata. Kalau umpamanya lingkungan kerabat  sendiri tidak dijumpai calon jodohnya, baru dicari di luar kalangan kerabat sendiri. Tetapi masih tetap dibatasi demi kepentingan keluarga. Dicari dahulu calon-calon di lingkungan yang sederajat untuk sekurang-kurangnya seimbang kekayaan atau kemampuannya. Kalau yang menjadi suami adalah dari orang berada atau terpandang, sedang yang menjadi istri dari golongan yang tidak mampu atau orang yang biasa saja, pada umumnya orang menganggap wajar, atau biasa-biasa saja.

Akan tetapi apabila seorang laki-laki tidak mampu, yang beristrikan wanita yang lebih mampu dalam segala sesuatu dari padanya, umpamanya seorang laki-laki yang tidak berpengalaman, beristrikan pegawai yang bergaji cukup.  Tentu laki-laki itu dianggap, hidupnya tergantung kepada si istri. Biasanya terdapat kata-kata yang merupakan sindiran kepada laki-laki yang tujuan kawinnya untuk menumpang hidup.
Bagi suku Dawan/Timor dinamakan “fe lanan maeu lanan”.  Anak saudara laki-laki, baik pria maupun wanita  bisa mengambil istri / suami  dari saudara perempuan. Di daerah Lamaholot (Flores) disebut “Nope”, dan di daerah Sumba disebut “Mapaana pulangi anga mapaana laleba amangu”. Bisa juga “libisu (lalodghu)”, perkawinan yang ada sangkut pautnya dengan asal nenek.

Beberapa bentuk perkawin di Nusa Tenggara Timur

yang kita kenal  sebagai berikut :


  1. Perkawinan biasa (meminang) : Perkawinan biasa, artinya proses perkawinan yang dilakukan adalah melalui urutan yang berlaku, di antaranya melalui proses peminangan. Di kalangan suku Sumba di daerah Sumba Barat, perkawinan ini disebut “dekemawine / mindera”, yakni perkawinan biasa tetapi kedua mempelai belum pernah kawin disebut dengan istilah “pauma”. Sedangkan di wilayah Sumba Timur perkawinan biasa  disebut “Piti kaweni / lafei”.  Di kalangan orang Lamaholot (Flores) perkawinan biasa dalam arti melalui proses peminangan dikenal dengan istilah “kawen gete” atau “kaweng mureng”. Dikalangan suku Dawan (Timor) bentuk perkawinan biasa melalui cara peminangan disebut “sae toi masanu seet”, artinya naik dan turun melalui pintu pagar bertangga.Yang dimaksud dengan kiasan itu adalah mengikuti aturan yang diakui sah oleh masyarakat. Proses perkawinan yang biasa, dengan cara meminang, berlaku umum dikalangan suku-suku bangsa di Nusa Tenggara Timur. Hanya saja antara satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lain terdapat perbedaan istilah. Dalam proses perkawinan biasa ini selalu melalui tahap tertentu. Adapun tahap-tahap dalam proses perkawinan biasa sebagai berikut: Menentukan calon, mengumpulkan hewan dan benda-benda sebagai “belis” (istilah Rote) atau “emas kawin” (Jawa), meminang disertai pembayaran “belis”. Di kalangan suku bangsa Dawan  peminangan dilakukan melalui perantara yang disebut “nete tali” atau “nete lanan”. Belis (istilah bahasa Rote) sebagai tanda ikatan di kalangan suku bangsa Dawan/Timor disebut “bunuk kau nu”. Apabila pada waktu peminangan belum lunas belisnya, maka ada masa untuk melunasinya.  Apabila kewajiban belis telah lunas, baru melakukan pengesahan secara adat. Di daerah Dawan dikenal istilah “terang kampung” (makos). Bagi yang beragama Kristen kemudian dikukuhkan dengan perkawinan di catatan sipil dan pemberkatan di gereja.

2.    “Perkawinan Lari” : Dalam kenyataan tidak seluruh anggota masyarakat yang melakukan perkawinan melalui proses perkawinan biasa. Ada kalanya mereka menempuh suatu bentuk perkawinan lari. Kawin lari di Sumba Barat dikenal dengan dua macam cara, yakni ke satu, “kandona mawinie” dimana mempelai laki-laki melarikan sang gadis. Sedang yang ke-dua  adalah “dikuna kabani”, yang terjadi bila sang gadis yang melarikan  diri ikut calon suami. Didaerah Sumba Timur kawin lari dikenal dengan istilah palaingandi”. Adapun tahap-tahapnya dalam kawin lari dikalangan suku Sumba adalah sabagai barikut : melarikan diri atau dilarikan. Kemudian pihak keluarga laki-laki mengirim utusan kepada keluarga  wanita  dan memberi berita serta membawa  benda-benda hantaran berupa hewan, pisau besar, kepada keluarga wanita. Pihak keluarga wanita  mengantarkan pakaian si wanita yang terbagus. Kemudian pihak kaluarga wanita minta belis. Selanjutnya proses berikutnya sama dengan perkawinan biasa. Di kalangan suku bangsa Dawan, kawin lari dikenal di berbagai daerah bekas swapraja dulu. Kawin lari disebut dengan istilah “na aenab” di samping itu pada waktu melarikan diri biasanya si wanita meninggalkan tanda adalah uang perak satu ringgit, sarung lama sehelai, daun sirih satu ikat dan pinang satu ikat (kira-kira l0 buah). Kalau si wanita lari  dengan orang lain, artinya bukan calon yang ditentukan, biasanya dia meninggalkan tanda-tanda. Kawin-lari semacam itu  tidak boleh lebih dari tiga hari. Artinya sesudah tiga hari mereka harus keluar dari persembunyiannya dan melaporkan kepada orang tua si gadis, agar diselesaikan secara adat. Akibat dari kawin lari ini mereka akan dikenakan  denda adat. Adapun denda tersebut disebut “nakol ume ek ume konu nua tenu” (menutup lubang dua tiga). Denda ini berupa dua sampai lima ekor ternak sapi sebagai “penutup lobang”.Di samping itu juga seekor kuda sebagai “pencabut duri”. Kos kis nan kasumat”, artinya (mencabut duri waktu melakukan pencarian). Karena sewaktu mencari dianggap oleh pihak keluarga wanita kedinginan, maka  dikenakan  denda upah kedinginan yang disebut “lab man arum atau aeb nan tanus”. Apabila denda telah diselesaikan, barulah dilakukan tata cara perkawinan-biasa. Di kalangan orang Lamaholot kawin lari dikenal dengan istilah “pasigeri” apabila wanita melarikan diri mengikuti laki-laki. Sedangkan apabila lari bersama-sama  antara kedua calon mempelai disebut reli pasi” atau “kaweng lelaoneng”. Kalau terjadi perkawinan demikian, maka untuk beberapa waktu kedua calon mempelai harus lari keluar desa. Setelah itu pihak keluarga laki-laki akan memberitahu hal tersebut kepada pihak keluarga wanita. Kemudian baru diurus melalui tata cara adat yang biasa.


  1. “Kawin gantung” : Bentuk perkawinan gantung dikenal dengan berbagai istilah. Di Sumba Barat perkawinan semacam ini disebut “maga / paghera” dan di Sumba Timur disebut “payera”. Anak-anak sudah “diikat” sejak kecil dengan penyerahan belis kepada pihak orang tua wanita oleh pihak orang tua laki-laki. Setelah dewasa barulah diadakan upacara perkawinan. Pihak keluarga laki-laki dalam perkawinan ini menghadap dan meminta kepada pihak orang tua wanita agar anaknya “angu(pahera). Penyelesaian belis dan pemindahan wanita tergantung kepada musyawarah kedua belah pihak. Perkawinan gantung dikenal juga dikalangan suku Lamaholot di daerah Adonara, Flores dengan istilah perkawinan “lakang”.Istilah ini biasanya diberikan bagi anak laki-laki yang akan mengembara atau merantau jauh. Supaya ada ikatan antara kedua orang tuanya mengadakan perjanjian untuk mengawinkan anak-anak walaupun belum dewasa. Nanti kalau sudah dewasa dan kembali dari pengembaraannya baru disatukan membentuk rumah tangga sendiri. Persyaratan adat dalam pembayaran belis seperti biasa menurut adat.

  1. “Kawin Mengabdi,” Di kalangan suku bangsa Dawan/Timor pada beberapa daerah dikenal adanya bentuk perkawinan mengabdi. Dalam bentuk perkawinan ini pihak pria setelah menikah tinggal di rumah orang tua wanita dan bekerja bagi kepentingan keluarga wanita.  Perkawinan ini terjadi karena pihak laki-laki tidak mampu membayar belis.  Oleh karena itu sebagai gantinya ia harus mengabdi pada keluarga wanita. Apabila ia telah dapat melunasi tuntutan adat yang disebut “Oemaputu ai mahala” barulah si wanita boleh dibawa ke tempat laki-laki.  Dalam istilah Dawan disebut “hel mau tuak ma taf man lene” yang artinya iris tuak dan tofa kebun (membersihkan kebun di tempat keluarga wanita).  Di Sumba perkawinan semacam ini disebut “mamaka jasa” karena pihak laki-laki tidak mampu membayar belis. Jadi selama belis belum terbayar atau selama waktu tertentu  yang telah diputuskan bersama, si suami harus mengabdi pada keluarga pihak si istri. Adapun penyelesaian selanjutnya seperti perkawinan biasa.

5.     “Kawin ganti tikar” : Perkawinan ini terjadi jika suami atau istri yang ditinggal mati istri atau suaminya, kemudian mengawini kakak atau adik dari suami atau istri yang meninggal. Di kalangan suku bangsa berbahasa Lamaholot di daerah Adonara, Flores terdapat perkawinan levirat. Seseorang yang ditinggalkan mati atau karena  suami pergi merantau  dan telah lama tidak pulang  serta tidak ada kabar beritanya, maka si istri dikawinkan lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya. Perkawinan ini disebut kawin “brikang. Dalam perkawinan ini disebut “si-fik kuna kloef manake kloef, artinya menyulam tikar dan bakul yang sobek. Dalam perkawinan ini tidak perlu upacara adat. Di Sumba kawin ganti tikar disebut “pamagho atau “painawo”, tetapi dilakukan dengan upacara adat. Maksudnya dengan upacara ini dianggap  sebagai “Pemberitahuan” kepada suami atau istri yang telah meninggal  bahwa suami atau istri yang ditinggalkan telah mempunyai suami atau istri baru yang menggantikannya. Di samping itu  dikenal juga  bentuk perkawinan menggantikan  “levirat” yang disebut “kunya pahapa”. Dalam perkawinan ini tidak ada paksaan, kedua belah pihak harus saling setuju.

6.    Kawin Masuk” : Di Sumba dikenal suatu pola perkawinan yang disebut kawin masuk atau “lalai tama”. Perkawinan ini terjadi karena pihak laki-laki tidak dapat  membayar belis, sehingga ia kawin tanpa adat dan hidup menjadi keluarga pihak istri. Demikian juga anak-anak yang lahir masuk keluarga pihak wanita. Biasanya perkawinan ini terjadi pada lapisan bawah (ata).

  1. “Perkawinan Bluwo” : Perkawinan ini dikenal di suku bangsa Lamaholot di  daerah Adonara (Flores). Dalam perkawinan ini seorang laki-laki sudah beristri atau belum, dikawinkan dengan seorang wanita yang sedang hamil. Perkawinan ini terpaksa dilakukan karena si gadis telah mengandung terlebih dahulu dan tidak diketahui siapa sebenarnya yang bertanggung jawab/berandil.  Untuk mencari siapa ayah bayi yang sedang dikandungnya, kepala adat mengantar si gadis ke rumah mana si gadis tersebut masuk. Maka laki-laki yang menempati rumah tersebut secara adat harus mengawini gadis itu. Kalau ternyata silaki-laki menerimanya, maka perkawinan dilakukan secara adat biasa dari pihak laki-laki harus membayar belis dan dendanya.
 “Kawin ambil dalam pertemuan” : Kawin  jenis ini dikenal di Sumba dengan sebutan “pati marangganggu”. Perkawinan ini terjadi di rumah keluarga laki-laki. Pihak bakal pengantin perempuan sama sekali tidak mengetahui niat pihak keluarga laki-laki. Keluarga laki-laki memakai orang lain sebagi perantara. Biasanya salah seorang keluarga pihak perempuan. Dengan petunjuknya, keluarga laki-laki dapat mengambil perempuan itu ditempat yang ditentukan. Keluarga  pihak perempuan kemudian akan menyusul mereka. Bila kedapatan maka pihak laki-laki berusaha memberi mas dan kuda yang layak. Bila ternyata ada kemauan baik dari pihak keluarga wanita, atau dapat menerimanya maka pemberian tersebut dibawa pulang sebagai bukti pemulaan perundingan. Walaupun perundingan belum selesai  kedua calon boleh dikawinkan. Baru kemudian urusan belis diselesaikan.
  1. “Kawin Masuk Paksa” : Bentuk perkawinan ini dikenal di Sumba dengan istilah “tama rumbaku”. Perkawinan ini dilakukan di rumah keluarga wanita. Walaupun kedua belah pihak mengetahuinya, tetapi secara adat belum dianggap resmi, sehingga bakal penganten wanita belum mengetahui hal itu. Setelah laki-laki calon suami masuk kamarnya barulah ia mengetahui hal itu.  Sering perkawinan ini batal karena wanita menolak, tetapi dapat diteruskan asal orang tuanya mampu memenuhi tuntutannya, berupa kain sarung, mas-perak, muti salak dan sebagainya. Perkawinan jenis ini hanya dilakukan oleh orang yang mampu / kaya.
  2. “Kawin ambil rampas” : Jenis perkawinan ini terdapat di kalangan orang Sumba, disebut dengan istilah “peti rambanga”. Perkawinan ini terjadi di rumah keluarga laki-laki dan terjadi bila ada dari pihak keluarga laki-laki yang menghendaki juga perempuan  yang sama. Sehingga untuk mendahulukan dilakukan perkawinan ini. Si wanita dapat dilepaskan oleh keluarganya asal pihak laki-laki dapat memberi mas dan hewan ternak yang layak. Sesudah kawin barulah diselesaikan acara seperti perkawinan biasa.
  3. “Kawin beneng” : Jenis perkawinan ini dikenal dikalangan suku Lamaholot di Adonara (Flores). Dalam perkawinan ini pihak keluarga wanita memperkenalkan anak gadisnya ke tempat jauh di luar desa, dengan maksud mendapatkan jodoh dan mandapat  belis. Belis ini diperlukan karena ada salah seorang saudara laki-lakinya yang akan kawin. 

Demikianlah perkawinan adat dalam kehidupan tradisional kita. Tampak betapa penting nilai perkawinan yang akan melangsungkan kehidupan keluarga dan masyarakat, sehingga perlu dilaksanakan menurut kaidah-kaidah agama masyarakat dan hukum yang berlaku. (Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II, Dep.Dik Bud, Jakarta, l992 Hal.l9l-l95); Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa-Barat, Dep.Dikbud, Pusat penelitian Sejarah dan Budaya,Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Jakarta, l978/l979-hal.68-74).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.