alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Rabu, 28 Januari 2015

EKOLOGI DAN KEMISKINSN

Ekologi & Kemiskinan
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Menurut seorang zoolog, E Haeckel, ekologi berarti “hubungan timbal balik semua organisme”, jadi ekonomi (rumah tangga) alam.  Pengertian modern ekologi adalah invasi ke-alam dan “kerusakan ekologi” yang  disebabkan oleh manusia. Hal ini dapat didefinisikan sebagai “pengrusakan rumah tangga alam akibat perubahan psikalis, kimia dan biologi dari air, tanah dan udara. (G.Harikopf). Ekologi politik adalah struktur interaksi antara masyarakat dan lingkungan, meliputi input maupun output proses kerja dan proses ekonomi (B.Glaesner).

Ekologi merupakan tema yang menyangkut pembangunan nasional dan regional, serta mempunyai dimensi global. Di Konferensi Lingkungan Sedunia pertama (1972) negara berkembang, masih mengambil jarak terhadap perspektif ekologi dan lebih menyukai pembangunan nasional tanpa memperhatikan kemungkinan akibat negative untuk manusia dan alam.
Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan (Laporan Brunditland) di tahun 80’an

mendefinisikan bahwa :
·         lingkungan dan pembangunan, serta
·         kemiskinan,
·         ketidaksamaan, dan
·         kerusakan lingkungan, saling berhubungan.
Generasi masa datang dalam kehidupannya terancam oleh kerusakan lingkungan di negara industri maupun kehancuran lingkungan di negara berkembang. Oleh itu, harus dicari jalan keluar bersama untuk mengatasi masalah ekologi, energi, dan iklim global.

Pembahasan situasi krisis lingkungan di negara berkembang, mencakup 3 bidang :
  1. Pertanian,
  2. Produksi industri, dan
  3. Daerah-daerah padat di perkotaan.
Apa yang menyangkut pertanian, terutama sekali erosi tanah, pembabatan hutan, dan pembakaran hutan-hutan tropis, serta kemusnahan berbagai jenis kehidupan, sangat mengkhawatirkan. Berangkat dari konsep heterogenitas struktur dapat disebutkan bahwa penyebabnya adalah factor-faktor situasi endogen dan eksogen.

Pembangunan sector modern yang kapitalis, seperti penebangan hutan untuk industri dan pengubahan bekas hutan menjadi ladang dan perkebunan kelapa sawit dll, untuk ternak di satu pihak, bersamaan dengan pemanfaatan alami yang mengacu pada ekonomi subsistensi yang tradisional di lain pihak, mengakibatkan perusakan alam secara besar-besaran. Saat ini musnah antara 200.000 – 250 km2 hutan tropis setiap tahun. Pohon-pohon baru yang ada, tidak ada artinya dibandingkan kerusakan hutan yang pesat. Menurut Bank Dunia tahun 1985, telah musnah 40% dari keseluruhan hutan tropis.

Penyebab utama adalah perluasan lahan pertanian dan perkebunan.

Pertumbuhan penduduk, ketidakstabilan pembagian tanah (reformasi pertanian), dan perluasan ekspor pertanian (cash crops) juga memaksa kelanjutan pembabatan hutan untuk pengadaan pangan. Dengan demikian pertanian berpindah (lahan yang telah digarap ditinggal beberapa tahun untuk menciptakan kembali kesuburan tanah melalui penumbuhan hutan), menjadi makin hilang. Menurut FAO, kemusnahan hutan di Afrika sebanyak 70%, di Asia 50%, dan kawasan Amerika 35%.

Selanjutnya, berkurangnya hutan-hutan tropis disebabkan ekspor kayu ke negara industri (hasil penjualan keseluruhan yang diterima negara berkembang saat ini berjumlah 8 miliar US$/tahun, serta makin kurangnya bahan bakar akbibat pertumbuhan penduduk (sekitar 80% penebangan untuk mendapatkan energi (kayu bakar).

Dalam buku “Living in the Environment”, G.Tyler Miller Jr. (l979 : 189) melaporkan bahwa rata-rata masyarakat pedesaan membakar 909 kg (sekitar l Ton) kayu api per-kapita / tahun. Sepertiga penduduk dunia dan 90 persen penduduk di negara-negara berkembang menggunakan kayu sebagai pembangkit energi  (kayu api) yang terutama. Menurut penyeledikan tersebut 80 persen dari semua kayu yang ditebang dan di potong di negara-negara sedang berkembang digunakan untuk kayu api karena mereka tidak dapat dan tidak mampu membayar harga bahan bakar minyak (BBM) untuk keperluan itu. Menurut World Watch Institute (WIR) tahun 1988/1989, ¾ (tiga per empat) penduduk Dunia Ketiga memerlukan kayu untuk memasak dan pemanasan karena tidak ada sumber energi lain (BBM), atau kalau ada terlalu mahal.

Pengrusakan hutan hujan tropis berakibat menurunnya permukaan air tanah di daerah-daerah tersebut, pengeringan, banjir, desertifikasi, dan penurunan hasil pertanian. Akibat desertifikasi dirasakan terutama oleh negara-negara Afrika, 742 juta hektar tanah, lebih dari ¼ (seperempat) Afrika, sedang berada dalam tahap lanjut menjadi gurun pasir. Di daerah-daerah yang terkena, terutama sebagian besar 19 negara Zona Sahel, situasinya  makin kritis dengan perluasan lapisan pasir, memburuknya situasi padang rumput, semakin rusaknya system pengairan, dan masalah ladang kering (P.Harison).

Selain krisis bahan bakar, kemiskinan, dan keterbelakangan, salah satu akibatnya adalah peningkatan jumlah pengungsi karena kerusakan lingkungan.
Berkaitan erat dengan kerusakan hutan tropis, berlangsung juga proses pemiskinan genetika-biologi dengan kemusnahan habitat. Sekitar 25.000 jenis tanaman dan 1.000 jenis hewan terancam punah. Selain  itu, banyak jenis yang belum ditemukan sehingga belum dikenal fungsi dan kemungkinan manfaatnya. Di antara ribuan jenis tersebut, 40% berada di hutan tropis; tetapi habitat ini sering berjumlah sedikit sekali dan ruang yang kecil sehingga sangat terancam punah.

Dengan penurunan jumlah habitat, di antaranya juga turun cadangan genetika untuk pembibitan tanaman baru dan keinginan bioteknologi di masa depan (teknologi gen). Produk farmasi negara industri sebagian besar memakai bahan dasar tanaman yang didapat dari negara-negara Dunia Ketiga. Revolusi Hijau juga merupakan salah satu penyebab krisis ekologi. Pemakaian secara deras bibit yang resisten dan pupuk buatan (pastesida, herbisida, fungisida), mendesak ekonomi subsisten yang berkembang secara histories. Dengan demikian monokultur dan dalam kaitannya dengan ketergantungan pada pasar dunia, menimbulkan krisis produksi pertanian.

Akibatnya adalah kerusakan ekologi, seperti pemupukan berlebihan, hilangnya habitat, beban atas air tanah, bahan makanan, tercemar bahan yang merusak sehingga menimbulkan resiko kesehatan pada penduduk.Selain itu, pengejaran industrialisasi, yaitu penyesuaian pesat pada teknologi yang ada dan, penggunaan sumber daya yang melampaui batas, merupakan beban lingkungan di negara berkembang. Hal yang  sangat negative adalah pencemaran udara dan pencemaran air, apalagi instalasi penyaringan dan pembuangan yang tidak memadai atau tidak ada, serta tidak memadainya penerapan aturan limbah gas (kalaupun ada). Situasi sulit ini dipertajam oleh perkembangan kota, di beberapa negara berkembang berlangsung dalam kecepatan luar biasa. Penduduk kota padat seperti, Mexico City, Kalkuta, Bombay, Jakarta, New Delhi, Manila, Taheran, Karaci, dan Bogota, menurut studi Global 2000 akan bertambah 2 kali lipat tahun 1980 – 2000, mungkin malah akan 3 kali lipat yang mengambil lahan pertanian pangan yang potensial, menjadi lokasi perkotaan.

Dengan meluasnya daerah kumuh (tempat tinggal),
  1. masalah penyediaan air minum,
  2. pembuangan limbah/sampah,
  3. pencemaran udara,
  4. penghabisan alam akan makin potensial, serta
  5. akibat negative untuk kehidupan dan kesehatan penduduk.
 Perlu juga diperhatikan bahwa di tahun 80-an ekspor limbah mengandung racun dan radioaktif dari negara industri ke negara berkembang makin legal dan makin dikenal. AS membuang limbahnya ke daerah Karabia, Brasilia, dan Mexico; Negara-negara Eropa bisa mendapatkan izin dari negara-negara di Afrika, seperti Maroko, Benin, Senegal, Kongo, Guinea, dan Negeria untuk mengekspor limbah industri beracun kesana; Jepang juga memakai kesempatan ini dalam hubungannya dengan negara-negara Asia Tenggara yang miskin. Indonesia juga pernah menerima buangan kondom bekas dalam kontener kiriman dari Jerman beberapa tahun yang lalu.

Keuntungan jangka pendek ini (terutama penerimaan devisa) :

Berakibat negative untuk kesehatan dan lingkungan. Ongkos untuk penyimpanan atau mengatasi kerugian akibat tumpukan limbah ini sangat mahal artinya bagi negara berkembang. Negara industri dalam hal ekspor limbah beracun ini memakai kesempatan karena kurangnya kesadaran mengenai lingkungan dalam diri pejabat-pejabat di negara berkembang, korupsi yang meluas dan  tidak adanya aturan masalah perlimbahan. Sama saja halnya dengan pemindahan indusrti yang mencemari lingkungan atau proses produksi yang berbahaya di negara-negara Dunia Ketiga. Akibat kerusakan lingkungan di negara berkembang mengena langsung terutama manusia yang hidup di sana.

Manusia di negara industri juga merasakan bahan beracun ini melalui rangkaian bahan makanan yang sebelumnya diekspor ke negara berkembang (terutama bahan untuk bertanam). Masalah sulit adalah masalah global, misalnya C02 yang keluar dari api yang dibakar manusia di hutan tropis memanaskan atmotsfir melalui “efek rumah kaca” (sementara di negara industri pembakaran energi yang berasal dari fosil paling banyak menimbulkan emisi).Jika trend demikian terus berlangsung, mencairnya massa es dan kutub-kutub akan menyebabkan kenaikan  permukaan air laut.

Jika tidak ingin terjadi bencana lingkungan (banjir, badai, gelombang laut), perlu melindungi pulau atau daerah pantai melalui pembangunan bendungan-bendungan berongkos mahal. Untuk pertanian dan konsekuensi-konsekuensi; turunnya panen, pemindahan besar-besaran daerah penanaman, terlalu banyak atau terlalu sedikit hujan, perubahan sama sekali system pengairan, dan makin banyak badai.

Selanjutnya, kerusakan produksi pertanian di seluruh dunia akibat dari, kerusakan lapisan ozon, penipisannya disebabkan oleh gas yang keluar dari industri, dan dari metan yang berasal dari peternakan, yang membuat sinar violet merah makin kuat masuki ke bumi. Akhirnya, masih perlu diteliti, sejauh mana organisasi internasional atau LSM bisa menangani masalah kerusakan lingkungan ini.

Di antara para pakar dan politikus sekarang ini terjadi sebuah konsesus bahwa masalah lingkungan di dunia hanya dapat diatasi melalui “politik dunia” yang ekologis, dilakukan oleh rezim-rezim yang mampu berfungsi (international governance). UNDPO, FAO, WHO, sesuai dengan mandat yang mereka terima,  berusaha mengembangkan kegiatan-kegiatan kearah sana. Tahun 1985 diresmikan World Resources Institute dari FAO dan UNDP, serta Tropical Forest Action Plan dan Bank Dunia, dalam waktu 5 tahun menelan investasi 8 miliar US$ untuk usaha penanaman kembali dan memerangi deforestrasi.

Dibawah pimpinan UNDP tahun 1985 berlangsung Konferensi Wina. Di sana dan dalam konfernsi  kelanjutannya di Montreal (1987), 24 negara dan MEE merundingkan penandatanganan perjanjian untuk melindungi lapisan ozon.  Direncanakan, pengurangan pemakaian H2FC10 dan halogen  sebanyak 50% sampai tahun 1995 dibandingkan tahun 1986. Untuk negara berkembang, batas pengurangannya lebih kecil supaya tidak membebani pembangunan.

Namun, Perjanjian Montreal dianggap usang oleh para pakar karena nilai batasnya terlalu rendah dan sulit mencapai sasaran di masa depan.  Dengan dasar ini, Maret 1989 sebanyak 24 kepala negara dan pemerintahan dalam “Deklarasi Haager”—tentu saja dengan menghormati kedaulatan masing-masing—menuntut PBB untuk mengolah ambang batas tertinggi emisi bahan berbahaya dan di masa depan mengawasi tidak dilanggarnya batas ini.

Untuk itu Mahkamah Internasional mendapat peran baru sebagai wasit pada konflik-konflik lingkungan internasional.
Perjanjian lingkungan internasional terbesar kedua (setelah perjanjian mengenai perlindungan lapisan ozon) adalah mengenai penyimpangan dan transportasi limbah beracun. Pada perundingan perjanjian yang diputuskan Maret 1989 ini, timbul konflik antara sejumlah negara berkembang dan negara industri, terutama negara-negara Afrika ingin melarang sama sekali ekspor limbah beracun dari negara industri Barat, sedangkan beberapa negara industri seperti AS dan Jerman ingin supaya pintu tetap terbuka untuk transportasi limbah dari utara ke Selatan.

Pada Konferensi Baster yang diikuti 117 negara dan diorganisir oleh 
UNDP, di antaranya tercantum :

Larangan transportasi limbah ke-40 negara yang secara prinsipil tidak menginginkan adanya limbah beracun dari luar negeri; Lalu lintas limbah beracun keluar dari batas-batas negara hanya diizinkan jika negara pengekspor tidak memiliki teknologi pengolahan limbah memadai; sedangkan negara pengimpor mimilikinya; Pembentukan secretariat yang menerima pengaduan, mengawasi transportasi, dan melakukan penukaran informasi; Wajib impor untuk transportasi limbah berbahaya, baik kepada secretariat maupun kepada negara-negara yang disinggahi dan harus mendapat persetujuan mereka terlebih dahulu. Kritikus Konverensi Basler memperlihatkan klausul yang mengambang tersebut, yang memungkinkan pelanggaran perjanjian, misalnya perjanjian bilateral mengenai perdagangan limbah antarnegara, serta kurangnya personel secretariat dan prosedur ratifikasi konvensi yang rumit.

Apakah tujuan yang diinginkan, yaitu :

Mengurangi produksi limbah beracun dan, merngurangi secara drastis bisnis legal dan illegal dengan limbah berbahaya, jelas bergantung pada politik perlindungan lingkungan di negara indusrti sendiri. Tahun 1988 forum “Iklim dan Pembangunan” terlembaga sebagai konferensi NGO di Hemburg. Rencana yang diajukan sebagai usaha untuk menghadapi bencana lingkungan tidak mendapat suara mayoritas.

Kritik juga ditujukan terhadap politik “Bank Dunia dan “IMF” oleh karena,
Mereka menunjang penebangan kayu di daerah Amazona, Membiayai proyek-proyek bendungan raksasa yang menyebabkan kerusakan lingkungan besar-besaran dan krisis utang, Dunia Ketiga (utang), semuanya menyebabkan kerusakan linkungan, yaitu melalui ekspor tropis.

Tawaran IMF dan Bank Dunia untuk suatu pengujian ketahanan lingkungan dan penyediaan uang untuk program forestrasi, dianggap sebagai ganti rugi yang tidak seimbang terhadap kerusakan sekarang ini yang dianggap sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Politik pembangunan yang adil terhadap  lingkungan tidak boleh hanya tertopang pada organisasi internasional. Hal yang juga penting adalah sebuah pengujian  ketahanan di negara berkembang sendiri, dengan persyaratan yang sesuai dengan lingkungan;


Produksi yang berorientasi ekologi, dan tehnologi tepat guna yang memperhatikan terjaganya sumber daya alam. Di samping menolak impor kayu tropis, ekspor perstisida dsb. Perlu lebih memperhatikan saran-saran FAO dan OECD. Mereka menganjurkan bahwa untuk ekspor produksi dalam bidang kimia harus memperhatikan undang-undang nasional (uji resmi, kode, petunjuk pemakaian dalam berbagai bahasa, kartu tanda dari usaha perlindungan) (Dieter Nohlen (ed), 1994 : hal.159-164).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.