Ekologi
& Kemiskinan
Oleh :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Menurut
seorang zoolog, E Haeckel, ekologi berarti “hubungan timbal balik semua
organisme”, jadi ekonomi (rumah tangga) alam.
Pengertian modern ekologi adalah invasi ke-alam dan “kerusakan ekologi”
yang disebabkan oleh manusia. Hal ini
dapat didefinisikan sebagai “pengrusakan rumah tangga alam akibat perubahan
psikalis, kimia dan biologi dari air, tanah dan udara. (G.Harikopf). Ekologi
politik adalah struktur interaksi antara masyarakat dan lingkungan, meliputi
input maupun output proses kerja dan proses ekonomi (B.Glaesner).
Ekologi
merupakan tema yang menyangkut pembangunan nasional dan regional, serta
mempunyai dimensi global. Di Konferensi Lingkungan Sedunia pertama (1972) negara
berkembang, masih mengambil jarak terhadap perspektif ekologi dan lebih
menyukai pembangunan nasional tanpa memperhatikan kemungkinan akibat negative
untuk manusia dan alam.
Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan (Laporan
Brunditland) di tahun 80’an
mendefinisikan bahwa :
·
lingkungan dan
pembangunan, serta
·
kemiskinan,
·
ketidaksamaan,
dan
·
kerusakan
lingkungan, saling berhubungan.
Generasi
masa datang dalam kehidupannya terancam oleh kerusakan lingkungan di negara
industri maupun kehancuran lingkungan di negara berkembang. Oleh itu, harus dicari jalan keluar bersama
untuk mengatasi masalah ekologi, energi, dan iklim global.
Pembahasan situasi krisis lingkungan di negara berkembang,
mencakup 3 bidang :
- Pertanian,
- Produksi industri, dan
- Daerah-daerah
padat di perkotaan.
Apa yang menyangkut pertanian, terutama sekali erosi
tanah, pembabatan hutan, dan pembakaran hutan-hutan tropis, serta kemusnahan
berbagai jenis kehidupan, sangat mengkhawatirkan. Berangkat dari konsep
heterogenitas struktur dapat disebutkan bahwa penyebabnya adalah factor-faktor
situasi endogen dan eksogen.
Pembangunan sector modern yang kapitalis, seperti
penebangan hutan untuk industri dan pengubahan bekas hutan menjadi ladang dan
perkebunan kelapa sawit dll, untuk ternak di satu pihak, bersamaan dengan
pemanfaatan alami yang mengacu pada ekonomi subsistensi yang tradisional di
lain pihak, mengakibatkan perusakan alam secara besar-besaran. Saat ini musnah
antara 200.000 – 250 km2 hutan tropis setiap tahun. Pohon-pohon baru yang ada,
tidak ada artinya dibandingkan kerusakan hutan yang pesat. Menurut Bank Dunia tahun 1985, telah musnah 40% dari
keseluruhan hutan tropis.
Penyebab utama adalah perluasan lahan pertanian dan perkebunan.
Pertumbuhan
penduduk, ketidakstabilan pembagian tanah (reformasi pertanian), dan perluasan
ekspor pertanian (cash crops) juga memaksa kelanjutan pembabatan hutan untuk
pengadaan pangan. Dengan demikian pertanian berpindah (lahan yang telah digarap
ditinggal beberapa tahun untuk menciptakan kembali kesuburan tanah melalui
penumbuhan hutan), menjadi makin hilang. Menurut FAO, kemusnahan hutan di
Afrika sebanyak 70%, di Asia 50%, dan kawasan Amerika 35%.
Selanjutnya,
berkurangnya hutan-hutan tropis disebabkan ekspor kayu ke negara industri
(hasil penjualan keseluruhan yang diterima negara berkembang saat ini berjumlah
8 miliar US$/tahun, serta makin kurangnya bahan bakar akbibat pertumbuhan penduduk
(sekitar 80% penebangan untuk mendapatkan energi (kayu bakar).
Dalam buku “Living in the Environment”, G.Tyler Miller Jr. (l979 : 189)
melaporkan bahwa rata-rata masyarakat pedesaan membakar 909 kg (sekitar l Ton)
kayu api per-kapita / tahun. Sepertiga penduduk dunia dan 90 persen penduduk di
negara-negara berkembang menggunakan kayu sebagai pembangkit energi (kayu api) yang terutama. Menurut
penyeledikan tersebut 80 persen dari semua kayu yang ditebang dan di potong di
negara-negara sedang berkembang digunakan untuk kayu api karena mereka tidak
dapat dan tidak mampu membayar harga bahan bakar minyak (BBM) untuk
keperluan itu. Menurut World Watch Institute (WIR) tahun 1988/1989, ¾ (tiga per
empat) penduduk Dunia Ketiga memerlukan kayu untuk memasak dan pemanasan karena
tidak ada sumber energi lain (BBM), atau kalau ada terlalu mahal.
Pengrusakan hutan hujan tropis berakibat menurunnya permukaan air tanah di
daerah-daerah tersebut, pengeringan, banjir, desertifikasi, dan penurunan hasil
pertanian. Akibat desertifikasi dirasakan terutama oleh negara-negara Afrika, 742
juta hektar tanah, lebih dari ¼ (seperempat) Afrika, sedang berada dalam tahap
lanjut menjadi gurun pasir. Di daerah-daerah yang terkena, terutama sebagian
besar 19 negara Zona Sahel, situasinya
makin kritis dengan perluasan lapisan pasir, memburuknya situasi padang
rumput, semakin rusaknya system pengairan, dan masalah ladang kering
(P.Harison).
Selain krisis bahan bakar, kemiskinan, dan keterbelakangan, salah satu akibatnya
adalah peningkatan jumlah pengungsi karena kerusakan lingkungan.
Berkaitan erat dengan kerusakan hutan tropis, berlangsung juga proses
pemiskinan genetika-biologi dengan kemusnahan habitat. Sekitar 25.000 jenis tanaman dan 1.000 jenis
hewan terancam punah. Selain itu, banyak
jenis yang belum ditemukan sehingga belum dikenal fungsi dan kemungkinan
manfaatnya. Di antara ribuan jenis tersebut, 40% berada di hutan tropis; tetapi
habitat ini sering berjumlah sedikit sekali dan ruang yang kecil sehingga
sangat terancam punah.
Dengan penurunan jumlah habitat, di antaranya juga turun cadangan
genetika untuk pembibitan tanaman baru dan keinginan bioteknologi di masa depan
(teknologi gen). Produk farmasi negara industri sebagian besar memakai bahan dasar
tanaman yang didapat dari negara-negara Dunia Ketiga. Revolusi Hijau juga
merupakan salah satu penyebab krisis ekologi. Pemakaian secara deras bibit yang
resisten dan pupuk buatan (pastesida, herbisida, fungisida), mendesak ekonomi
subsisten yang berkembang secara histories. Dengan demikian monokultur dan
dalam kaitannya dengan ketergantungan pada pasar dunia, menimbulkan krisis
produksi pertanian.
Akibatnya adalah kerusakan ekologi, seperti pemupukan
berlebihan, hilangnya habitat, beban atas air tanah, bahan makanan, tercemar
bahan yang merusak sehingga menimbulkan resiko kesehatan pada penduduk.Selain
itu, pengejaran industrialisasi, yaitu penyesuaian pesat pada teknologi yang
ada dan, penggunaan sumber daya yang melampaui batas, merupakan beban
lingkungan di negara berkembang. Hal yang sangat negative adalah pencemaran udara dan
pencemaran air, apalagi instalasi penyaringan dan pembuangan yang tidak memadai
atau tidak ada, serta tidak memadainya penerapan aturan limbah gas (kalaupun
ada). Situasi sulit ini dipertajam oleh perkembangan kota, di beberapa negara
berkembang berlangsung dalam kecepatan luar biasa. Penduduk kota padat seperti,
Mexico City, Kalkuta, Bombay, Jakarta, New Delhi, Manila, Taheran, Karaci, dan
Bogota, menurut studi Global 2000 akan bertambah 2 kali lipat tahun 1980 – 2000,
mungkin malah akan 3 kali lipat yang mengambil lahan pertanian pangan yang
potensial, menjadi lokasi perkotaan.
Dengan meluasnya daerah kumuh (tempat tinggal),
- masalah penyediaan air
minum,
- pembuangan
limbah/sampah,
- pencemaran udara,
- penghabisan alam akan
makin potensial, serta
- akibat negative untuk
kehidupan dan kesehatan penduduk.
Perlu juga diperhatikan bahwa di tahun 80-an ekspor limbah
mengandung racun dan radioaktif dari negara industri ke negara berkembang makin
legal dan makin dikenal. AS
membuang limbahnya ke daerah Karabia, Brasilia, dan Mexico; Negara-negara Eropa
bisa mendapatkan izin dari negara-negara di Afrika, seperti Maroko, Benin,
Senegal, Kongo, Guinea, dan Negeria untuk mengekspor limbah industri beracun
kesana; Jepang juga memakai kesempatan ini dalam hubungannya dengan negara-negara
Asia Tenggara yang miskin. Indonesia juga pernah menerima buangan kondom bekas
dalam kontener kiriman dari Jerman beberapa tahun yang lalu.
Keuntungan
jangka
pendek ini (terutama penerimaan devisa) :
Berakibat negative untuk kesehatan dan
lingkungan. Ongkos untuk penyimpanan atau mengatasi kerugian akibat tumpukan
limbah ini sangat mahal artinya bagi negara berkembang. Negara industri dalam
hal ekspor limbah beracun ini memakai kesempatan karena kurangnya kesadaran
mengenai lingkungan dalam diri pejabat-pejabat di negara berkembang, korupsi
yang meluas dan tidak adanya aturan
masalah perlimbahan. Sama saja halnya dengan pemindahan indusrti yang mencemari
lingkungan atau proses produksi yang berbahaya di negara-negara Dunia Ketiga. Akibat
kerusakan lingkungan di negara berkembang mengena langsung terutama manusia
yang hidup di sana.
Manusia di negara industri juga merasakan
bahan beracun ini melalui rangkaian bahan makanan yang sebelumnya diekspor ke negara
berkembang (terutama bahan untuk bertanam). Masalah sulit adalah masalah global,
misalnya C02 yang keluar dari api yang dibakar manusia di hutan tropis
memanaskan atmotsfir melalui “efek rumah kaca” (sementara di negara industri
pembakaran energi yang berasal dari fosil paling banyak menimbulkan emisi).Jika
trend demikian terus berlangsung, mencairnya massa es dan kutub-kutub akan
menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
Jika tidak ingin terjadi bencana lingkungan
(banjir, badai, gelombang laut), perlu melindungi pulau atau daerah pantai
melalui pembangunan bendungan-bendungan berongkos mahal. Untuk pertanian dan
konsekuensi-konsekuensi; turunnya panen, pemindahan besar-besaran daerah
penanaman, terlalu banyak atau terlalu sedikit hujan, perubahan sama sekali
system pengairan, dan makin banyak badai.
Selanjutnya, kerusakan produksi pertanian di
seluruh dunia akibat dari, kerusakan lapisan ozon, penipisannya disebabkan oleh
gas yang keluar dari industri, dan dari metan yang berasal dari peternakan,
yang membuat sinar violet merah makin kuat masuki ke bumi. Akhirnya, masih
perlu diteliti, sejauh mana organisasi internasional atau LSM bisa menangani
masalah kerusakan lingkungan ini.
Di antara para pakar dan politikus sekarang
ini terjadi sebuah konsesus bahwa masalah lingkungan di dunia hanya dapat
diatasi melalui “politik dunia” yang ekologis, dilakukan oleh rezim-rezim yang
mampu berfungsi (international governance). UNDPO, FAO, WHO, sesuai dengan mandat
yang mereka terima, berusaha
mengembangkan kegiatan-kegiatan kearah sana. Tahun 1985 diresmikan World
Resources Institute dari FAO dan UNDP, serta Tropical Forest Action Plan dan
Bank Dunia, dalam waktu 5 tahun menelan investasi 8 miliar US$ untuk usaha
penanaman kembali dan memerangi deforestrasi.
Dibawah pimpinan UNDP tahun 1985 berlangsung
Konferensi Wina. Di sana dan dalam konfernsi
kelanjutannya di Montreal (1987), 24 negara dan MEE merundingkan
penandatanganan perjanjian untuk melindungi lapisan ozon. Direncanakan, pengurangan pemakaian H2FC10 dan
halogen sebanyak 50% sampai tahun 1995
dibandingkan tahun 1986. Untuk negara berkembang, batas pengurangannya lebih
kecil supaya tidak membebani pembangunan.
Namun, Perjanjian Montreal dianggap usang
oleh para pakar karena nilai batasnya terlalu rendah dan sulit mencapai sasaran
di masa depan. Dengan dasar ini, Maret
1989 sebanyak 24 kepala negara dan pemerintahan dalam “Deklarasi Haager”—tentu
saja dengan menghormati kedaulatan masing-masing—menuntut PBB untuk mengolah
ambang batas tertinggi emisi bahan berbahaya dan di masa depan mengawasi tidak
dilanggarnya batas ini.
Untuk itu Mahkamah Internasional mendapat peran baru
sebagai wasit pada konflik-konflik lingkungan internasional.
Perjanjian lingkungan internasional terbesar kedua
(setelah perjanjian mengenai perlindungan lapisan ozon) adalah mengenai
penyimpangan dan transportasi limbah beracun. Pada perundingan perjanjian yang
diputuskan Maret 1989 ini, timbul konflik antara sejumlah negara berkembang dan
negara industri, terutama negara-negara Afrika ingin melarang sama sekali ekspor
limbah beracun dari negara industri Barat, sedangkan beberapa negara industri
seperti AS dan Jerman ingin supaya pintu tetap terbuka untuk transportasi
limbah dari utara ke Selatan.
Pada Konferensi Baster yang diikuti 117 negara
dan diorganisir oleh
UNDP, di antaranya tercantum :
Larangan transportasi limbah ke-40 negara yang secara
prinsipil tidak menginginkan adanya limbah beracun dari luar negeri; Lalu
lintas limbah beracun keluar dari batas-batas negara hanya diizinkan jika negara
pengekspor tidak memiliki teknologi pengolahan limbah memadai; sedangkan negara
pengimpor mimilikinya; Pembentukan secretariat yang menerima pengaduan,
mengawasi transportasi, dan melakukan penukaran informasi; Wajib impor untuk
transportasi limbah berbahaya, baik kepada secretariat maupun kepada negara-negara
yang disinggahi dan harus mendapat persetujuan mereka terlebih dahulu. Kritikus
Konverensi Basler memperlihatkan klausul yang mengambang tersebut, yang
memungkinkan pelanggaran perjanjian, misalnya perjanjian bilateral mengenai
perdagangan limbah antarnegara, serta kurangnya personel secretariat dan
prosedur ratifikasi konvensi yang rumit.
Apakah tujuan yang diinginkan, yaitu :
Mengurangi produksi limbah beracun dan, merngurangi
secara drastis bisnis legal dan illegal dengan limbah berbahaya, jelas
bergantung pada politik perlindungan lingkungan di negara indusrti sendiri. Tahun
1988 forum “Iklim dan Pembangunan” terlembaga sebagai konferensi NGO di
Hemburg. Rencana yang diajukan
sebagai usaha untuk menghadapi bencana lingkungan tidak mendapat suara
mayoritas.
Kritik juga ditujukan terhadap politik “Bank Dunia dan
“IMF” oleh karena,
Mereka menunjang penebangan kayu di daerah Amazona, Membiayai
proyek-proyek bendungan raksasa yang menyebabkan kerusakan lingkungan besar-besaran
dan krisis utang, Dunia Ketiga (utang), semuanya menyebabkan kerusakan
linkungan, yaitu melalui ekspor tropis.
Tawaran IMF dan Bank Dunia untuk suatu pengujian
ketahanan lingkungan dan penyediaan uang untuk program forestrasi, dianggap
sebagai ganti rugi yang tidak seimbang terhadap kerusakan sekarang ini yang
dianggap sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Politik pembangunan yang adil terhadap lingkungan tidak boleh hanya tertopang pada
organisasi internasional. Hal yang juga penting adalah sebuah pengujian ketahanan di negara berkembang sendiri,
dengan persyaratan yang sesuai dengan lingkungan;
Produksi yang berorientasi ekologi, dan tehnologi tepat
guna yang memperhatikan terjaganya sumber daya alam. Di samping menolak impor
kayu tropis, ekspor perstisida dsb. Perlu lebih memperhatikan saran-saran FAO
dan OECD. Mereka menganjurkan bahwa untuk ekspor produksi dalam bidang kimia
harus memperhatikan undang-undang nasional (uji resmi, kode, petunjuk pemakaian
dalam berbagai bahasa, kartu tanda dari usaha perlindungan) (Dieter Nohlen (ed), 1994 : hal.159-164).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.