alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Rabu, 11 Februari 2015

KEL;AUTAN INDONESIA : SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK MASA DEP

KELAUTAN INDONESIA: SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN

Posted on September 15, 2009 by FJM
 sea!!
Undang Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (“UU Wilayah Negara”) pasal 1 ayat 1 mengatakan “wilayah negara…merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang udara diatasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya”, sementara Undang Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”) pasal 2 ayat 2 mengatakan “segala perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau atau bagian pulau pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia…merupakan bagian integral dari wilayah daratan
sehingga…berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.
Nyatalah sudah betapa pentingnya arti kelautan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Tonggak penting rezim hukum laut bagi Indonesia itu sendiri sesungguhnya terdiri 2 (dua) hal utama, yaitu: Deklarasi Juanda tertanggal 13 Desember 1957 yang melahirkan konsepsi wawasan nusantara dan lahirnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai rezim internasional hukum laut.
Indonesia merupakan Negara Kepulauan berdasarkan Deklarasi Juanda dan pasal 2 ayat 1 UU Perairan Indonesia, yang berbatasan secara darat maupun maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste, dimana ketidakjelasan batas darat dan maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga tersebut dapat mengakibatkan konflik yang sepatutnya bisa kita hindari. Artikel inipun dibuat secara sederhana untuk sedikitnya memahami 2 (dua) isu utama dalam konteks maritim yang sering menjadi wacana dalam kehidupan kita dengan negara tetangga yaitu isu Kedaulatan – Hak Berdaulat dan Isu Landas Kontinen.

Kedaulatan vs. Hak Berdaulat
Kedaulatan (Sovereignty) merupakan suatu wewenang tertinggi yang
dapat dilakukan suatu negara untuk melaksanakan kekuasaanya terhadap suatu wilayah dan/atau masyarakatnya. Dalam hal pelaksanaan kedaulatan, suatu negara tidak perlu meminta ‘izin’ terhadap negara lain untuk menjalankan kekuasaannya. Kedaulatan ini jika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia meliputi daratan, perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), dan laut territorial (territorial sea).
Sedangkan Hak berdaulat merupakan kewenangan suatu negara terhadap suatu wilayah tertentu dimana pelaksanaannya haruslah tunduk pada aturan hukum yang berlaku bagi masyarakat internasional. Yang artinya adalah, hak berdaulat suatu negara haruslah merupakan konsensus dan mendapat persetujuan dari negara lain. Hak berdaulat umumnya mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam dan/atau laut pada kawasan tertentu yang tidak tercakup dalam wilayah Kedaulatan negara sebagaimana tersebut diatas. Untuk dapat lebih memahami perbedaan diantara keduanya, perlu kiranya untuk mencermati beberapa contoh berikut:

a. Sengketa Pulau Pasir (Ashmore Reef) merupakan isu Kedaulatan yang diperdebatkan sebagai pulau Indonesia dengan alasan pulau tersebut berada lebih dekat dengan Indonesia. Kecil kemungkinan pulau ini sebagai pulau Indonesia dengan alasan ‘kedekatan’ tersebut, hal ini dipatahkan pihak Australia dengan alasan batas maritim dan historis dimana Australia memiliki bukti bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau kepemilikan Inggris yang diserahkan kepada Australia ketika merdeka. Namun berkembang wacana lain bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau jajahan Belanda dimana Belanda memberlakukan peraturan mengenai pengumpulan teripang di atas pulau ini. Hal ini merupakan suatu kajian menarik yang ‘bisa’ diperdebatkan Indonesia terhadap klaim kedaulatan Australia atas pulau ini.

b. Kewenangan untuk mengelola dan menguasai kekayaan alam dan/atau laut yang terdapat dalam Pulau Miangas dan perairan Indonesia di sekitarnya (laut territorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman – lihat pasal 1 ayat 4 UU Perairan Indonesia) merupakan isu kedaulatan. Hal ini dikarenakan karena klaim kedaulatan atas pulau Miangas secara hukum internasional adalah mutlak milik Indonesia yang bersumber pada putusan Mahkamah Arbitrase pada tanggal 14 April 1928 oleh hakim Max Huber dalam sengketa antara United States dan Belanda (sebagai predecessor state dari Indonesia dan Filipina) yang memutuskan Pulau Miangas berada dalam jurisdiksi pemerintah kolonial Belanda. Indonesia dalam hal ini dapat menggunakan asas Uti Possideti Juris bahwa wilayah kolonial menjadi wilayah berdaulat Negara tersebut ketika Negara tersebut merdeka dari Negara kolonial/penjajahnya.

c.Namun, untuk kekayaan alam dan/atau laut di selatan Pulau Jawa yang terletak lebih dari 12 mil laut dari garis pangkal merupakan hak berdaulat bagi Indonesia. Untuk memanfaatkannya, Indonesia tidak dapat
melaksanakan hukum nasional dan hak kedaulatannya disini tanpa mematuhi dan bekerja sama dengan negara lain sesuai dengan rezim
UNCLOS yang berlaku.
Jadi, jika terjadi perebutan kepemilikan atas pulau dan /atau klaim penguasaan sumber daya alam dan/atau laut dalam wilayah 12 mil laut dari garis pangkal, maka ini adalah konflik kedaulatan dan apabila terjadi konflik atas pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan/atau laut di luar 12 mil laut dari garis pangkal, maka hal itu merupakan konflik hak berdaulat antar negara.

Untuk kasus sipadan ligitan (dimana pendekatan historis dan rantai hak (chain of title) dipatahkan dengan asas penguasaan effective) merupakan isu kedaulatan yang berujung kepada hak berdaulat. Apa maksudnya? Indonesia sempat menggunakan kedua pulau ini sebagai titik pangkal dalam penarikan garis pangkalnya, dimana ketika Mahkamah Internasional menjatuhkan kepemilikan pulau ini kepada Malaysia maka berubahlah penetapan titik pangkal dan garis pangkal wilayah Indonesia (‘isu Kedaulatan’) yang tentunya berakibat pula pada berubahnya batas maritim kedua negara tersebut atas Laut Sulawesi. Penentuan batas maritim ini hingga sekarang masih dalam proses negosiasi antara Indonesia dan Malaysia.

Nah, belum selesainya penentuan batas maritim inilah yang mempunyai implikasi langsung terhadap sengketa Blok Ambalat yang merupakan kawasan dasar laut (sea bed) yang kaya akan sumber daya alam dan/atau laut yang berada diluar wilayah 12 mil laut dari masing masing garis pangkal Indonesia dan Malaysia (‘ isu Hak Berdaulat’ dimana Ambalat terletak ± 60 mil laut kearah timur dari garis pangkal pulau Kalimantan). Jadi secara singkat, isu Sipadan Ligitan yang merupakan isu Kedaulatan bersinggungan dengan isu Ambalat yang merupakan isu Hak Berdaulat, sehingga, kuranglah tepat apabila kita mengkampanyekan ‘Perang’ terhadap Malaysia karena isu Ambalat BUKANLAH KEDAULATAN Indonesia.
Isu Kedaulatan dan Hak Berdaulat lain yang patut menjadi perhatian kita adalah isu penentuan batas darat Indonesia-Timor Leste yang belum selesai dan isu Celah Timor antara Timor Leste- Australia dimana untuk isu yang terakhir (Celah Timor), adalah baik kiranya untuk kita beri sedikit perhatian ekstra


Landas Kontinen
Pasal 1 ayat 9 UU Wilayah Negara kurang lebih mengatakan landas kontinen adalah wilayah dasar laut dan tanah dibawahnya dengan jarak 200 mil laut dari garis pangkal atau paling jauh 350 mil laut dari garis pangkal.
Perlu dicermati lebih lanjut, di dalam Pasal 76 UNCLOS *) ditegaskan bahwa landas kontinen adalah ‘hanya’ berjarak 200 mil laut dari garis pangkal, sedangkan 350 mil laut dari garis pangkal adalah batas terluar landas kontinen (Extended Continental Shelf atau “ECS”). Mengapa ini menarik? Hal ini menarik karena 350 mil laut merupakan hak yang dapat di klaim oleh negara atas landas kontinennya sepanjang memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria tersebut terbagi atas criteria yang membolehkan (formulae) dan criteria yang membatasi (constrainst). Kriteria yang membolehkan adalah:
batas terluar ECS adalah titik terluar landas kontinen dengan ketebalan batu sedimen 1% dari ketebalan sedimen kaki lereng kontinen yang merupakan titik kelanjutan garis landas kontinen 200 mil laut dari garis pangkal.Garis ini biasa disebut dengan Gardiner Line.
a. Batas terluar ECS dapat ditentukan dengan menarik garis berjarak 60
b.mil laut dari kaki lereng kontinen (hedberg line) ke laut lepas (high sea),
sedangkan criteria yang membatasi adalah:
a. Batas terluar ECS tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal.
b. Batas terluar ECS tidak melebihi
100 mil laut dari kedalaman 2500
meter isobaths.
Kemudian, untuk mengajukan hak atas ECS ini dapat dilakukan dengan mengajukan klaim yang telah memenuhi criteria tersebut diatas kepada Commission on the Limits of Continental Shelf (“CLCS”) malalui Sekretaris Jenderal PBB dengan deadline untuk claim submission tersebut adalah paling lambat 13 Mei 2009.
Masalah ECS ini menjadi menarik karena Indonesia memiliki 3 (tiga) potensi landas kontinen yang bisa kita ajukan batas terluarnya dari 200 mil laut menjadi 350 mil laut dari garis pangkal, yaitu di sebelah barat sumatera, di sebelah selatan pulau jawa, dan di sebelah utara Papua. Dalam hal ini, Indonesia sudah mengajukan claim ECS tersebut pada tahun 2008 dan kini tengah menunggu review CLCS. Catatan kaki yang juga menjadi perhatian kita adalah, selain Indonesia, ada beberapa negara lain yang turut mengajukan ECS yaitu: Rusia, Perancis, Brazilia, Australia, Irlandia, Selandia Baru, Norwegia

Kisah Klasik Untuk Masa Depan?

Isu isu tersebut diatas adalah sebenarnya merupakan kisah klasik perjuangan diplomasi Indonesia yang harus terus menerus menjadi perhatian kita. Terdapat 2 (dua) kesimpulan sederhana atas hal tersebut yaitu:
a. Negara kepulauan, maritim, maupun negara pantai dengan interaksi hubungan internasional dan politik luar negerinya dengan negara lain sangatlah penting untuk memiliki batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas dan baik. Hal ini akan membantu dalam memudahkan isu isu sensitive seperti isu keamanan, akses dan pengelolaan sumber daya laut, keseimbangan antara hak dan kewajiban antar negara yang bersangkutan.
b. Delimitasi/kejelasan batas maritim dapat menghilangkan potensi konflik antar negara negara bertetangga, sehingga, dalam hal ini, Indonesia sebagai motor penggerak dalam pembentukan ASEAN Community harus memberi perhatian lebih untuk menciptaan kejelasan batas maritim dengan negara tetangga sebagai suatu ‘situasi prakondisi’ demi terwujudnya ASEAN Community yang damai, sejahtera, bersatu, dan saling menghormati kedaulatan, hak berdaulat, dan batas “maksimal” landas kontinen antar negara anggotanya sebagai suatu kesatuan komunitas yang selaras dan harmoni. Sungguh, kelautan Indonesia adalah kisah klasik untuk masa depan…yang lebih baik…
PS: Kritik dan masukan dibuka untuk pemahaman Hukum Laut yang lebih baik…..untuk Indonesia!!
-FJM-

*) UNCLOS 1982 ( Penulis Melengkapi dasar hukum yang disebutkan dalam artikel di atas agar lebih jelas sbb) :

CONTINENTAL SHELF
Article76
Definition of the continental shelf
1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance.
2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits provided for in paragraphs 4 to 6.
3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges or the subsoil thereof.
4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by either:
(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to the outermost fixed points at each of which the thickness of sedimentary rocks is at least 1 per cent of the shortest distance from such point to the foot of the continental slope; or
(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to fixed points not more than 60 nautical miles from the foot of the continental slope.
(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental slope shall be determined as the point of maximum change in the gradient at its base.
5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres.
6. Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the outer limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured. This paragraph does not apply to submarine elevations that are natural components of the continental margin, such as its plateaux, rises, caps, banks and spurs.
7. The coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf, where that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not exceeding 60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by coordinates of latitude and longitude.
8. Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured shall be submitted by the coastal State to the Commission on the Limits of the Continental Shelf set up under Annex II on the basis of equitable geographical representation. The Commission shall make recommendations to coastal States on matters related to the establishment of the outer limits of their continental shelf. The limits of the shelf established by a coastal State on the basis of these recommendations shall be final and binding.
9. The coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United Nations charts and relevant information, including geodetic data, permanently describing the outer limits of its continental shelf. The Secretary-General shall give due publicity thereto.
10. The provisions of this article are without prejudice to the question of delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent coasts. (Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.