Peran Intelijen dalam Pengambilan Keputusan Pemerintah

Studi Kasus :  Penyelesaian Konfrontasi Indonesia – Malaysia 1963-1966
Abstrak
Pada tahun 1963-1966 Indonesia dan Malaysia mengalami konfrontasi. Hal ini diakibatkan perbedaan ideologi yang dipengaruhi dari dampak perang dingin. Sebelum mengawali konflik pada tahun 1963, Indonesia dan Malaysia adalah negara yang bersahabat. Pada tanggal 31 Agustus 1953 Malaysia merdek, setelah memperoleh kemerdekaan, Malaysia dibawah pimpinan Tunku Abdul Rahman menjalankan ideologi politik demokrasi pro-Barat. Hal ini bersebrangan dengan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Indonesia merupakan negara yang berideologi nasionalis-sosialis dan cenderung kiri. Akhirnya terjadilah konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.

Usaha perdamaian Indonesia–Malaysia mulai berjalan pada awal tahun 1965. Setelah peristiwa G 30 S/PKI yang dilanjutkan dengan peristiwa Supersemar maka upaya perdamaian dengan Malaysia kembali dilanjutkan secara intensif. Pada proses penyelesaian konfrontasi Indonesia-Malaysia tersebut terdapat beberapa keputusan yang diambil pemerintah Indonesia dan Malaysia. Keputusan-keputusan tersebut tentu saja didahului dengan operasi intelijen yang menghasilkan informasi pendukung. Peran intelijen dalam pengambilan keputusan pemerintah Indonesia dalam penyelesaian konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966 terbukti efektif.

Dinamika Hubungan Indonesia-Malaysia 1953-1963
Hubungan antar negara yang bertetangga tidak selamanya mulus. Konflik-konflik negara yang berbatasan langsung dapat terjadi dengan mudah dengan berbagai isu pemicu. Hal ini terjadi pula dengan Indonesia dan Malaysia yang sering didengungkan sebagai dua negara yang serumpun.
Sebelum terjadi konflik pada tahun 1963, Indonesia dan Malaysia adalah negara yang bersahabat. Pada tanggal 31 Agustus 1953 Malaysia merdeka dan disambut baik oleh Indonesia yang terlebih dulu telah merdeka. Subandrio sebagai Mentri Luar Negeri datang ke Kuala Lumpur untuk merayakan kemerdekaan Malaya (Malaysia). Tanggal 17 April 1959 Indonesia dan Malaysia menandatangani perjanjian persahabatan. Indonesia dianggap sebagai saudara tua karena lebih dulu merdeka. Indonesia juga memberikan dukungan kepada Malaysia untuk menjadi anggota PBB.

Setelah memperoleh kemerdekaan, Malaysia dibawah pimpinan Tunku Abdul Rahman menjalankan ideologi politik demokrasi pro-Barat. Hal ini bersebrangan dengan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Indonesia merupakan negara yang berideologi nasionalis-sosialis dan cenderung kiri.
Puncak ketengangan Malaysia dan Indonesia adalah pembentukan Federasi Malaysia pada tanggal 16 September 1963. Indonesia menganggap pembentukan Malaysia adalah agenda dari Barat untuk mengepung Indonesia. Titik tersebut yang memgakibatkan militer Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi dengan Malaysia. Presiden Soekarno akhirnya mengumumkan gerakan ganyang Malaysia

Kepentingan Negara Lain
Konflik Indonesia-Malaysis tersebut di atas tidak lepas dari kepentingan negara lain terutama Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan Cina. Amerika Serikat mempunyai kepentingan untuk membendung laju komunisme namun tetap menginginkan stabilita politik di kawasan Asia. Uni Soviet, pada saat Indonesia-Malaysia melakukan konfrontasi, mendukung Indonesia namun tidak sekuat dukungan Soviet kepada Indonesia pada kasus Irian Barat.

Cina mempunyai kepentingan mendukung PKI di Indonesia termasuk dengan membentuk poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Inggris sebagai negara barat mempunyai kepentingan untuk membendung komunisme dengan lebih frontal terhadap Indonesia. Sikap frontal Inggris antara lain menentang bantuan militer dan ekonomi AS terhadap Indonesia dan menghadapi Indonesia dengan kekuatan militer terutama di perbatasan Kalimantan.
Dengan adanya kepentingan negara lain terhadap konflik Indonesia-Malaysia maka akan semakin sulit konflik tersebut diselesaikan dengan cara-cara terbuka tanpa melibatkan intelijen.

Upaya Perdamaian
Ketika terjadi konfrontasi maka sangat sulit bagi pihak yang terlibat konfrontasi untuk melakukan upaya damai secara terbuka. Semua pihak pasti akan mempertahankan kepentingan dan eksistensinya. Namun bukan berarti bahwa upaya damai pihak yang berkonfrontasi tidak bisa dilakukan.
Awal dari misi perdamaian antar pihak dalam sebuah konfrontasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
  1. Melalui pihak ketiga, jika kedua pihak saling mempertahankan kebenarannya masing-masing maka diperlukan pihak lain sebagai penengah dan mediator. Hal ini sangat lazim dilakukan karena dianggap lebih netral dan menghargai kepentingan semua pihak. Dalam menggunakan mediator maka fase paling penting adalah memilih mediator yang bisa diterima semua pihak. Mediator yang dipilih harus mempunyai kemampuan untuk melakukan resolusi konflik yang adil dan berimbang.
  2. Menggunakan operasi intelijen untuk pendekatan ke pihak oposisi. Intelijen adalah organisasi yang paling fleksibel dan mampu menembus berbagai batas yang mustahil dalam hubungan normal. Dengan kelebihan tersebut maka intelijen dapat dimanfaatkan untuk melakukan pendekatan dan penggalangan pada pihak oposisi untuk membuka jalan perdamaian. Operasi intelijen yang dilakukan Indonesia dan Malaysia yang paling penting adalah dalam menggalang dukungan dan mengajak tokoh kunci Malaysia untuk melakukan perundingan damai dengan Indonesia.
Dalam contoh kasus Indonesia – Malaysia ternyata perdamaian diupayakan dengan berbagai cara. Pendekatan melalui  bantuan pihak ketiga dan melalui operasi intelijen. Inggris adalah salah satu pihak yang membantu upaya perdamaian Indonesia-Malayasia. Sementara Indonesia juga menjalankan operasi intelijen untuk mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Strategi Intelijen  
            Konfrontasi antar negara sangat mustahil diselesaikan secara terbuka. Untuk memulai diplomasi/perundingan diperlukan suatu penjajakan dan perundingan di balik layar, dan hal itu paling efektif jika dilakukan dengan pendekatan operasi intelijen. Pada peristiwa konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1963-1966 intelijen mempunyai peran yang sangat penting dan dominan untuk memuluskan perdamaian Indonesia-Malaysia.

Kegiatan / operasi intelijen dalam upaya perdamaian Indonesia-Malaysia tahun 1963-1966 antara lain adalah sebagai berikut komunikasi antara Achmad Yani dengan Ghazali Sahfie, Kepala Intelijen Malaysia. Dari komunikasi ini Achmad Yani mengetahui bahwa ada beberapa kalangan di Malaysia yang menginginkan perdamaian dengan Indonesia. Achmad Yani menyampaikan upaya perdamaian ini kepada Mayor Jendral Soeharto, kemudian Soeharto menugaskan Letnan Kolonel Ali Moertopo untuk mengelola operasi perdamaian dibantu oleh beberapa perwira muda Mayor LB Moerdani, Letkol Ramli, dan Letkol Sugeng Djarot (pertangahan tahun 1964).

Selain upaya di atas, Achmad Yani juga melakukan diplomasi melalui Departemen Pertahanan Inggris, Indonesia diwakili oleh Asisten Intelijen Panglima TNI-AD, Brigadir Jendral S Parman.
Sepanjang usaha perdamaian melalui gerakan diplomasi tertutup tersebut ternyata juga berlangsung pertempuran di Kalimantan Utara. Pihak ABRI terus melakukan infiltrasi ke daerah musuh. Sengitnya pertempuran di Kalimantan Utara ini membuat jalur diplomasi kurang efektif.

Upaya perdamaian mulai berjalan pada awal tahun 1965. Setelah peristiwa G 30 S/PKI yang dilanjutkan dengan peristiwa Supersemar maka upaya perdamaian dengan Malaysia kembali dilanjutkan secara intensif.
Pertengahan Desember 1965 tim Opsus Indonesia yang terdiri dari Ali Moertopo, Daan Mogot, dan Willy Persik datang ke Kuala Lumpur. Benny Moerdani sudah berada di Kuala Lumpur untuk tetap menjaga komunikasi antara Indonesia – Malaysia. Komunikasi pihak Opsus Indonesia berjalan baik dengan pihak Malaysia yang diwakili oleh Menteri Pertahanan Tun Abdul Rasak, walaupun beberapa pejabat imigrasi Malaysia tersinggung dengan kegiatan ini.

Kegiatan untuk menjalin komunikasi dengan Abdul Razak dilakukan tertutup, pihak Malaysia yang lain tidak ada yang tahu termasuk Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman. Sementara Presiden Soekarno juga hanya bisa menerka-nerka tetapi tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi.
Akhirnya Benny Moerdani selaku Chief Liaison Officer Indonesia di Kuala Lumpur merasa perlu mengirimkan delegasi resmi ABRI ke Malaysia. Operasi intelijen untuk mengawali komunikasi yang sudah terjalin dengan baik dianggap cukup dan perlu dilanjutkan dengan kegiatan menuju perdamaian secara terbuka.

Tanggal 25 Mei 1966 sebuah penerbangan rahasia pesawat militer Indonesia diawaki oleh Komodor Susanto membawa sejumlah perwira ABRI datang ke Kuala Lumpur. Rombongan Indonesia terdiri Laksamana Muda OB Syaaf, Letkol Ali Moertopo, Kolonel Yoga Sugomo, Brigjen Kemal Idris, Letkol Sofyar, Kolonel Tjonopranolo. Pihak Indonesia yang sudah di Kuala Lumpur menyambut rombongan adalah Benny Moerdani dan Atase Militer Indonesia di Bangkok Kolonel Sugeng Djarot. Pihak Malaysia diwakili Ghazali Shafie. Kemudian terjadi perundingan antara delegasi Indonesia dengan Malaysia.
Tanggal 27 Mei 1966 misi perdamaian Indonesia kembali ke Jakarta. Dua hari kemudian Adam Malik dan Abdul Razak bertemu di Bangkok.
            Dari catatan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia dan Malaysia sebelum peristiwa G 30 S / PKI, melakukan pertemuan rahasia/misi intelijen sebanyak empat tahap yaitu :
  1. Pertemuan antara Ahmad Yani dengan Ghazali Syafei yang dilakukan di Hongkong pada bulan Agustus 1964.
  2. Misi mengirim Des Alwi kepada Tun Razak yang dilakukan oleh Ali Moertopo.
  3. Pertemuan antara Benny Moerdani dengan Tun Razak yang dilakukan di Bangkok pada bulan April 1965.
  4. Pertemuan antara Ali Moertopo dan Benny Moerdani dengan Tun Razak yang dilakukan di Bangkok pada bulan Juni 1965.
Setelah peristiwa G 30 S /PKI terjadi lagi pertemuan-pertemuan rahasia/misi intelijen antara Indonesia dengan Malaysia yaitu :
  1. Pertemuan antara Ali Moertopo dengan Gazali Shafie yang dilakukan di Bangkok pada tanggal 23-24 April 1966.
  2. Pertemuan antara Adam Malik dengan Ghazali Shafie pada tanggal 30 April 1966 di Bangkok.
Untuk mendukung proses diplomasi tertutup antara Indonesia dengan Malaysia, sebelumnya sudah dilakukan pendekatan kepada Inggris yang dilakukan sebanyak tiga kali oleh Mayjen S Parman, Soegih Arto, dan Chaerul Saleh.
Setelah pertemuan-pertemuan rahasia tersebut maka dilanjutkan dengan pertemuan resmi misi muhibah delegasi militer Indonesia ke Kuala Lumpur. Pada tanggal 17 Mei 1966 Indonesia mengirim satu delegasi militer ke Kuala Lumpur yang dipimpin oleh Laksamana Muda Omar Basri Sjaaf. Di Kuala Lumpur sudah menunggu tim dari Indonesia yang lain yaitu Benny Moerdani, AR Ramly dan Soegeng Djarot (Atase Militer di KBRI Bangkok).
Misi tersebut akhirnya membawa kesepakatan diadakan perundingan Bangkok yang akan diikuti oleh Menteri Luar Negeri dari kedua negara pada tanggal 30 Mei 1966 – 1 Juni 1966.
Perundingan ini menghasilkan beberapa keputusan 
penting yaitu :
  1. Kedua Negara setuju untuk mengakhiri permusuhan.
  2. Hubungan diplomatik akan dipulihkan setelah perjanjian pemulihan hubungan ditandatangani.
  3. Tinjuan terhadap pendangan penduduk Sabah dan Serawak akan dilakukan secepat mungkin.
Selain misi intelijen untuk mewujudkan perdamaian Indonesia-Malayasia, ada faktor yang mendorong diakhiri konfrontasi tersebut. Keluarnya Singapura ikut melemahkan Malaysia. Selain itu Inggris sedang mengalami krisis fiskal sehingga menarik pasukan militernya dari Singapura. Hal ini kemudian mendorong pemimpin Malaysia untuk mengakhiri konfrontasi dengan Indonesia secara damai.
Dari dalam negeri, peristiwa G 30 S / PKI tahun 1965 ikut melemahkan kekuatan Soekarno yang sebelumnya agresif melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Soeharto yang muncul setelah peristiwa G 30 S / PKI didukung oleh Amerika untuk menghancurkan PKI. Hal ini kemudian memacu untuk melakukan perdamaian dengan Malaysia.

Intelijen Sebagai Dasar Pengambilan Keputusan
Operasi Intelijen yang dilakukan untuk mewujudkan perdamaian Indonesia-Malaysia 1963-1966 mempunyai peran penting sebagai dasar pengambilan keputusan. Hampir tidak ada informasi lain sebagai dasar pertimbangan selain informasi yang diperoleh dari operasi intelijen yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia.
Pertemuan-pertemuan rahasia Indonesia-Malaysia, yang dilakukan sebelum pertemuan resmi 17 Mei 1966 di Kuala Lumpur, adalah pertemuan yang dilakukan dalam konteks operasi intelijen. Dari pertemuan-pertemuan tersebut dihasilkan informasi-informasi yang secara linear sebagai bahan pengambilan keputusan untuk menentukan langkah berikutnya.

Informasi yang dihasilkan oleh operasi intelijen mempunyai tingkat akurasi dan kepentingan yang tinggi karena biasanya dihasilkan dari tokoh kunci yang mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.
Seandainya pada saat itu tidak ada operasi intelijen yang dilakukan oleh tokoh intelijen Indonesaia dan Malaysia, dapat dipastikan bahwa konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia bisa lebih panjang lagi.

Keputusan Penting
Selama proses pengakhiran konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1963-1966 terdapat langkah-langkah strategis atau keputusan penting yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Keputusan tersebut tertu tidak diambil begitu saja oleh Pemerintah Indonesia. Situasi pada tahun 1963-1966 adalah situasi yang sulit dan dinamis bagi bangsa Indonesia, karena terjadi perubahan rezim akibat pengaruh perang dingin. Situasi seperti ini akan menyulitkan komunikasi dan diplomasi secara terbuka, dan akhirnya intelijen yang mempunyai peranan cukup besar dalam situasi sulit bagi sebuah negara.
Keputusan penting formal yang terjadi dalam upaya perdamaian Indonesia – Malaysia pada tahun 1963-1966 adalah :
  1. Mengadakan pertemuan resmi misi muhibah delegasi militer Indonesia ke Kuala Lumpur tanggal 17 Mei 1966. Indonesia mengirim satu delegasi dipimpin oleh Laksamana Muda Omar Basri Sjaaf.
  2. Dari kegiatan di atas dihasilkan keputusan lanjutan berupa kesepakatan untuk melakukan perundingan lanjutan di Bangkok yang akan diikuti oleh Menteri Luar Negeri dari kedua negara pada tanggal 30 Mei 1966 – 1 Juni 1966. Perundingan ini menghasilkan beberapa keputusan penting yaitu :
    1. Kedua Negara setuju untuk mengakhiri permusuhan.
    2. Hubungan diplomatik akan dipulihkan setelah perjanjian pemulihan hubungan ditandatangani.
    3. Tinjuan terhadap pendangan penduduk Sabah dan Serawak akan dilakukan secepat mungkin.
  3. Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1966 tentang Persetujuan-Persetujuan untuk Menormalisasi Hubungan Antara Republik Indonesia dan Malaysia.
Dengan adanya UU No 5 Tahun 1966 tersebut maka puncak upaya perdamaian Indonesia dengan Malaysia terwujud dengan cara yang relatif bermartabat.
Kesimpulan
            Banyak pihak memandang bahwa intelijen adalah suatu kegiatan “hitam” dan berujung adanya korban atau kerugian dari oposis atau pihak lawan. Secara umum dilupakan   bahwa intelijen dapat dimanfaatkan sebagai suatu cara yang efektif untuk mendukung pengambilan keputusan secara bermartabat dan kerugian seminimal mungkin. Indonesia sudah membuktikan bahwa operasi intelijen sangat efektif dilakukan sebagai langkah-langkah strategis  untuk mencari, mengolah, dan menghasilkan informasi sebagai pendukung pengambilan keputusan negara dalam upaya perdamaian.

Intelijen tidak hanya terbukti sebagai cara efektif untuk menghancurkan musuh dalam sebuah peperangan, tetapi intelijen juga efektif untuk mewujudkan perdamaian.
https://kajianintelijen.wordpress.com/category/hubungan-internasional/

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob Jacob