alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Rabu, 08 April 2015

PELANGGARAN AUSTRALIA TERHADAP PERAIRAN INDONESIA: APAKAH INDONESIA SUDAH CUKUP PEDULI?

PELANGGARAN AUSTRALIA TERHADAP PERAIRAN INDONESIA: APAKAH INDONESIA SUDAH CUKUP PEDULI?

PELANGGARAN AUSTRALIA TERHADAP PERAIRAN INDONESIA: APAKAH INDONESIA SUDAH CUKUP PEDULI?
Oleh : Amelia Rahmawaty, S. H. Int.
Pendahuluan
Di dunia ini, tidak ada negara bertetangga yang memiliki perbedaan yang begitu berlainan seperti Indonesia dan Australia. Dari segi bahasa, budaya, sejarah, suku, dan keyakinan, keduanya begitu berbeda. Pun dengan klasifikasi negara. Meskipun Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih baik sejak negara ini merdeka, akan tetapi, Indonesia masih tergolong negara berkembang, sedangkan Australia sudah terklasifikasi sebagai negara maju (United Nations, 2014: 145-146). Keadaan ini ikut memengaruhi interpretasi masing-masing negara mengenai ancaman keamanan nasional. Jika Indonesia tidak melihat isu imigran ilegal sebagai suatu ancaman nasional yang darurat, Australia sebaliknya. Sebagai negara yang memiliki kesejahteraan dan kualitas hidup yang tinggi, Australia banyak dilirik pencari suaka sebagai tempat tujuan mereka. Sehingga pada perkembangannya, Australia menghadapi masalah yang ‘lazimnya’ dihadapi oleh negara-negara maju, imigran ilegal. Di kawasan Asia Pasifik, Australia merupakan salah satu negara tujuan utama bagi para imigran ilegal yang datang dengan menggunakan perahu reyot untuk mencari suaka.[1]
Australia sendiri sudah memiliki catatan tentang kedatangan manusia perahu sejak tahun 1970an. Manusia perahu pertama yang tiba di pantai utara Australia berasal dari Vietnam. Hingga lima tahun selanjutnya, jumlah kedatangan manusia perahu dari Vietnam terus meningkat (Phillips & Spinks, 2013: 6). Ketika gelombang kedua (1989-1998) pencari suaka tiba di Australia, topik ini menjadi isu hangat yang diperbincangkan publik dikarenakan manusia perahu ini secara rutin dipertahankan di rumah detensi dalam waktu yang cukup lama. Tapi, lama kelamaan isu ini dilupakan. Tahun 1999, isu ini kembali menjadi berita dengan meningkatnya jumlah kedatangan pencari suaka secara drastis (ibid., hal: 7).
Ketika jabatan Perdana Menteri dipegang oleh John Howard, isu manusia perahu ditangani secara serius. Demi mencegah masuknya kapal-kapal tidak sah ke wilayah perairan Australia dan mencegah pencari suaka (serta penyelundup) yang berupaya masuk ke Australia, pada tahun 2001, Howard membuat kebijakan yang disebut Operasi Relex. Operasi Relex ini sendiri ialah strategi perlindungan perbatasan Australia di laut lepas dengan melakukan pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-orang yang hendak masuk ke Australia tanpa visa (Mcadam & Purcell,  2008: 97).
Ketika kepemimpinan Howard beralih pada Kevin Rudd, beberapa kebijakan Howard dihentikan oleh Rudd, meskipun beberapa diantaranya tetap dipertahankan. Pemerintahan Rudd yang diawali pada tahun 2007 tersebut berfokus pada tindak pengamanan perbatasan yang dirancang untuk mengganggu kerja penyelundup manusia (Phillips & Spinks, 2013: 1). Sejak kepemimpinan Rudd (2007-2010), angka kedatangan pencari suaka terus naik. Terutama pada tahun 2009 dan 2010 dimana terjadi peningkatan angka yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jumlah kedatangan manusia perahu tersebut, berturut-turut sejak 2007, adalah  148, 161, 2726, dan 6555 (ibid., hal: 22-23).
Meski demikian, sesungguhnya gelombang kedatangan pencari suaka di Australia terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara maju lainnya. Hanya 2% pencari suaka di dunia yang mencari perlindungan di Australia (Tuckfield, 2014). Selama lima tahun terakhir, Amerika Serikat menjadi negara yang menerima permohonan suaka terbanyak, yaitu sejumlah 311.700. Jerman yang menduduki peringkat kedua selama rentang waktu lima tahun (2009-2013) menerima 288.800. Diikuti oleh Perancis, Swedia, dan Inggris secara berturut-turut, yaitu 257.500, 183.800, dan 136.400. Australia sendiri menduduki peringkat ke-8 dengan jumlah permohonan sebanyak 71.680. Namun, pada dua tahun terakhir, Australia mengalami peningkatan permohonan suaka yang cukup tajam, yaitu sebesar 37% pada periode waktu 2011-2012 dan 54% pada 2012-2013 (UNHCR, 2012; 2013).
Akibat menangani pencari suaka ini, Australia menghabiskan dana yang cukup besar. Antara tahun 2007-2008 dan 2013-2014, anggaran untuk mengelola kedatangan perahu ilegal meledak hingga $10,3 miliar. Partai koalisi (Tony Abbott dan koalisi) melihat hal ini sebagai sesuatu yang serius. Karena dana tersebut akan lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk pendidikan atau infrastruktur dibandingkan dengan mengurusi imigran ilegal (Liberal Party of Australia & The Nationals, 2013: 14). Pada pemilihan Perdana Menteri baru Australia yang berlangsung tahun lalu, isu pencari suaka menjadi topik hangat dan menjadi perdebatan diantara kedua kandidat; Kevin Rudd dan Tony Abbott.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Tony Abbott (Partai Liberal/Liberal Party of Australia) beserta koalisi mencanangkan kebijakan yang berbeda dari rencana partai oposisi. Jika Kevin Rudd – pemimpin sekaligus kandidat dari Partai Buruh (Australian Labor Party) – memutuskan untuk mengirim para pencari suaka yang tiba di Australia tanpa visa ke Papua Nugini, Tony Abbott berencana me­nem­pat­kan militer dan Men­teri Imig­ra­si sebagai pe­nanggung jawab per­lindungan perbatasan (Radio Australia 2013).
Gambar 1: Peta Rute Perahu Ilegal ke Australia (Liberal Party of Australia & The Nationals, 2013: 17)
 Untitled
Pada saat Tony Abbott berhasil meraih kemenangan atas kursi Perdana Men­te­ri ke-28, kebijakan ter­sebut langsung dijalankan. Kebijakan yang dikenal dengan Operation Sovereign Borders (OSB)tersebut adalah operasi penjagaan keamanan perbatasan yang dipimpin oleh militer, serta didukung dan dibantu oleh berbagai lembaga pemerintah federal. Tujuan dari operasi ini sendiri adalah untuk menghentikan kedatangan manusia perahu di pantai utara-barat Australia (ibid.). Implementasi kebijakan OSB di lapangan diantaranya adalah dengan mencegat atau memulangkan kembali kapal-kapal yang membawa pencari suaka ke negara embarkasi.
Sesungguhnya, kebijakan pemulangan kapal ini sudah pernah diterapkan oleh (mantan) Perdana Menteri Howard. Pada masa kepemimpinan Howard, operasi ini, sebagaimana telah disebutkan diatas, dinamakan Operasi Relex. Tujuan Operasi Relex sama dengan OSB milik Tony Abbott, yaitu menghalangi manusia perahu tiba di Australia dengan cara meniadakan akses mereka ke Australia. Dibawah Operasi Relex, Royal Australian Navy (RAN/Angkatan Laut Australia) diperintahkan untuk mencegat dan menaiki Suspected Illegal Entry Vessels (SIEVs)[2] ketika mereka memasuki zona tambahan Australia (24 mil laut dari pantai Australia). Kemudian RAN diperintahkan untuk mengembalikan mereka ke bibir wilayah perairan Indonesia  (Senate Select Committee 2002).
Dengan mengimplementasikan kebijakan yang sama, pemulangan perahu, berarti Indonesia kembali menjadi negara penerima “lemparan” perahu pencari suaka dari Australia. Pada peta berikut terlihat bahwa perahu-perahu ilegal tersebut terlebih dahulu transit di Indonesia. hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai titik transit utama bagi para pengungsi sebelum me­nu­ju negara tu­juan suaka, Australia.
Maka, sebagai upaya untuk menghalau kedatangan pencari suaka yang berangkat (bukan berasal) dari Indonesia, semua kapal berawak, ber­bendera, dan berangkat da­ri Indonesia yang hendak berlayar ke Australia tanpa alasan yang sah akan dikembalikan lagi ke Indonesia. Keseriusan praktek pemulangan kapal ini terlihat dari kapal-kapal penyelamat yang telah dibeli Australia dengan dana yang tidak sedikit. Sebanyak 2,5 juta dolar dihabiskan Pemerintah Abbott untuk membeli 12 buah kapal penyelamat. Kapal-kapal tersebut digunakan hanya sekali dan berfungsi untuk menggiring kembali pencari suaka ke negara embarkasi. Hingga Februari 2013, terhitung sebanyak tiga buah kapal penyelamat telah digunakan untuk mendorong kembali pencari suaka ke perairan Indonesia (Wroe, 2014). Dan sejak awal implementasi kebijakan hingga Desember 2013, kedatangan manusia perahu tersebut memang berkurang. Pada laporan 100 hari kepemimpinan Abott, tertulis bahwa angka kedatangan pencari suaka menurun hingga 80% (Australian Government, 2013).
Bagaimana reaksi Indonesia sebagai negara embarkasi? Terhadap kebijakan ini, Indonesia sebetulnya sudah menunjukkan respon ketidaksenangannya, bahkan sebelum kebijakan ini diimplementasikan. Baik Duta Besar Indonesia untuk Australia (Nadjib Riphat Kesoema), politisi (Tantowi Yahya), Menteri Luar Negeri (Marty Natalegawa), dan bahkan Wakil Presiden RI (Boediono) telah beberapa kali menyatakan keberatannya (penolakan) terhadap kebijakan pemulangan perahu pencari suaka ke Indonesia.[3] Akan tetapi, operasi tersebut terus dijalankan. Sebelum Abbott terpilih, juru bicara pemerintah koalisi, Scott Morrisson, mengatakan bahwa operasi ini tidak akan melanggar integritas teritorial perairan Indonesia (Roberts, 2014). Empat bulan operasi ini berjalan, kenyataan nampaknya bertentangan dengan pernyataan Morrisson tersebut. Pertengahan Januari 2014, terungkap bahwa kapal-kapal Australia secara tidak sengaja telah melanggar kedaulatan Republik Indonesia pada beberapa kesempatan dalam operasi perlindungan perbatasannya.
Jika ditarik lagi ke belakang, tidak sampai dua bulan sebelum pelanggaran tersebut terungkap ke publik (dan Indonesia), Pemerintahan Abbott juga telah melukai kedaulatan Indonesia. Melalui bocoran mantan kontraktor rekanan National Security Agency (NSA) Amerika Serikat, Edward Snowden, yang dipublikasikan melalui surat kabar New York Times, diketahui bahwa Australia telah menyadap jaringan seluler sejumlah pejabat Indonesia, termasuk orang nomor satu Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Maka dapat dikatakan, sejak Tony Abbott memegang jabatan Perdana Menteri, terhitung dua kali terungkap pelanggaran kedaulatan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia.
Ketika berita pelanggaran kedaulatan di perairan Indonesia yang dipublikasikan oleh Fairfax Media tersebut terungkap, Australia menanggapinya dengan bertindak cepat. Dua orang petinggi yang bertanggung jawab atas OSB, Scott Morrison selaku Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia dan Letnan Jenderal Angus Campbell selaku Komandan Operasi Kedaulatan Perbatasan, menggelar konferensi pers. Pada kesempatan itu, mereka mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran perbatasan wilayah Indonesia pada saat operasi penghalauan perahu pencari suaka diselenggarakan. Morrison menyatakan bahwa pelanggaran ini tidak sengaja dilakukan. Peristiwa ini terjadi karena adanya kesalahan perhitungan batas maritim Indonesia oleh kru Australia. Hal serupa dinyatakan oleh Letjen Campbell. Ia menambahkan bahwa, operasi ini tidak bermaksud untuk memasuki wilayah kedaulatan negara lain. Selama operasi berlangsung, orang-orangnya mengira mereka selalu berada di luar perairan Indonesia (Roberts, 2014).
Bersamaan dengan pengakuan itu pula, atas nama Pemerintah Australia, Morrison meminta maaf  tanpa syarat kepada Pemerintah Indonesia dan berjanji tidak akan mengulangi kejadian serupa kedepannya. Tetapi, sekaligus pula menegaskan bahwa Australia tidak akan menghentikan operasi ini dan tetap akan melanjutkan kebijakan pemulangan kapal.[4] Terus menerus menuntut permohonan maaf bukanlah suatu hal yang bijak dilakukan Indonesia dalam menanggapi kejadian ini. Seperti yang dikatakan Menteri Luar Negeri Australia, “We respect Indonesia’s sovereign boundaries, we respect their territorial boundaries and when there is a mistake, we acknowledge it, we apologize profusely and we move on” (Bourke, 2014). Indonesia memang harus move on. Tapi kejadian ini, tidak boleh dilupakan begitu saja dan patut untuk ditelaah lebih lanjut. Terkait dengan hal tersebut, penulis tertarik mengangkat isu pelanggaran Australia di perairan Indonesia. Sehingga pada artikel ini, penulis menganalisa hal-hal apa saja yang dapat dipahami dari pelanggaran kedaulatan Indonesia oleh Australia.

Keamanan Nasional Australia Versus Kedaulatan Indonesia
Pelanggaran kapal angkatan laut Australia di perairan Indonesia terkait dengan pelaksanaan kebijakan OSB. Pelanggaran terjadi berulang kali sepanjang periode 1 Desember 2013 hingga 20 Januari 2014. Australia menganggap pelanggaran yang terjadi sebanyak 6 kali tersebut diakibatkan kesalahan perhitungan batas maritim Indonesia oleh kru Australia, dan bukan karena kesengajaan atau kesalahan navigasi. Dianggap tidak sengaja karena Pemerintah Australia telah membuat instruksi yang jelas terhadap operasi ini, dimana; (1) tindakan hanya dapat dilakukan jika dianggap aman oleh komandan patroli kapal, (2) tindakan hanya dapat dilakukan diluar 12 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia (ACBS & ADF 2014: 2).
OSB merupakan kebijakan yang cukup kontroversial dan sensitif karena konsekuensinya dapat meningkatkan tensi hubungan antar negara, terlebih respon Indonesia yang tidak kooperatif terhadap kebijakan pemulangan kapal ini. Sehingga, pemerintah Australia dan pelaksana seharusnya sangat berhati-hati dan memperingatkan tim terkait agar tidak melakukan tindakan yang dapat memperkeruh situasi. Diantara beberapa hal yang perlu diantisipasi adalah penghormatan terhadap kedaulatan Indonesia. Sebagaimana diketahui, kedaulatan merupakan elemen paling penting bagi kepentingan nasional setiap negara. Operasi pemulangan kapal ini sangat rentan dengan pelanggaran perbatasan karena perahu imigran ilegal ditarik oleh kapal angkatan laut Australia ke ujung laut teritorial Indonesia, maka jika tidak berhati-hati dan paham mengenai batas-batas yang diizinkan, pelanggaran dapat terjadi. Dengan demikian idealnya, para pelaksana di lapangan seharusnya sudah mengantisipasi hal ini dengan memberikan pelatihan dan pemahaman terkait batas-batas maritim Indonesia agar pelanggaran kedaulatan tidak perlu terjadi.
Selain itu, terlepas dari kurangnya pemahaman pelaksana operasi perbatasan Australia di dekat wilayah kedaulatan Indonesia, ada hal lain yang sulit untuk dipahami; bagaimana bisa negara sebesar Australia melanggar perbatasan Indonesia, sedangkan kapal mereka dilengkapi (Differential) Global Positioning System (GPS/DGPS). DGPS adalah sistem navigasi radio berbasis satelit yang merupakan peningkatandari GPS. DGPS memiliki tingkat akurasi lebih tinggi dengan kemampuan mengirimkan koreksi kesalahan yang dikirimkan oleh sinyal GPS. Diketahui dari World DGPS Database, Australia merupakan salah satu pengguna DGPS, terutama untuk navigasi laut (Gale 2014). Jika DGPS tersebut aktif, maka memungkinkan petugas yang berada diatas kapal untuk memantau lokasi, saat itu juga. Ditambah dengan telah adanya instruksi dari pemerintah pusat Australia, bahwa mereka harus beroperasi diluar laut teritorial Indonesia, maka, apabila kapal angkatan laut Australia telah melewati batas operasi yang telah ditentukan, seharusnya mereka menyadarinya. Kenyataan demikian menimbulkan indikasi baru, bahwa pelanggaran terjadi karena kesengajaan.
Meskipun ada niat baik pemerintah Australia untuk mengakui pelanggaran, meminta maaf, dan mengeluarkan Joint Review yang sayangnya tidak menginformasikan secara jelas dimana persisnya pelanggaran terjadi, hal tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa Australia telah melanggar kedaulatan Indonesia demi mencapai keamanan nasional negaranya. Setelah memelajari persoalan, berikut pemahaman penulis dalam menanggapi insiden pelanggaran ini.

1. Australia melanggar hukum laut internasional
Pada laporan yang dibuat, Australia memang tidak mau mengungkapkan dimana persisnya terjadi pelanggaran; apakah di perairan pedalaman Indonesia atau di laut teritorial Indonesia. Akan tetapi, baik itu di perairan pedalaman maupun teritorial, jika Australia melakukan operasi tanpa sepengetahuan atau persetujuan Indonesia, maka Australia telah melanggar hukum laut internasional. Australia sebetulnya dapat memasuki laut teritorial Indonesia hanya jika;
a. Australia memiliki izin atau persetujuan Indonesia
Pada kenyataannya, Australia tidak mengirimkan notifikasi untuk melaksanakan operasi pemulangan kapal atau memiliki persetujuan dari Indonesia yang mengizinkan mereka untuk melakukan kegiatan lain diluar hal-hal yang berkaitan dengan lintas damai sebagaimana diatur dalam UNCLOS. Indonesia, melalui statement yang dikemukakan pejabat-pejabat terkait, menolak kebijakan pemulangan kapal yang dilakukan Australia, sekalipun hal tersebut dilakukan di luar laut teritorial Indonesia (kebijakan pemulangan kapal milik Tony Abbott dilaksanakan di zona tambahan Indonesia/diluar 12 mil garis pangkal). Indonesia juga tidak pernah mengirimkan nota diplomatik yang mengindikasikan atau menyetujui pelaksanaan kebijakan pemulangan kapal pencari suaka.

b. Australia melakukan lintas damai
Di laut territorial dan perairan pedalaman (lihat pasal 8 dan pasal 18 UNCLOS), berlaku apa yang disebut lintas damai. Lintas damai adalah navigasi yang dilakukan secara cepat dan terus menerus tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di pangkalan laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman. Namun, aksi Australia yang menggiring perahu penyelamat yang berisi pencari suaka tidak dapat digolongkan kedalam kegiatan lintas damai. Lintas Australia menjadi tidak damai karena apa yang dilakukan Australia tidak berhubungan langsung dengan lintas. Ketika suatu kapal melakukan kegiatan lain selain melintas saat ia melewati laut territorial, apalagi kegiatan tersebut merupakan operasi kebijakan negara benderanya yang belum disetujui negara pantai yang dilintasi, maka jelas lintas tersebut menjadi tidak damai. Australia melakukan kegiatan diluar navigasi lazim di laut teritorial Indonesia, yaitu secara sengaja “memasukkan” orang-orang yang tidak memiliki dokumen sah ke wilayah kedaulatan Indonesia. Dari sudut pandang peraturan perundangan Indonesia, tindakan ini juga bertentangan dengan ketertiban dan keamanan Indonesia. Pada UU No 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi, dikatakan bahwa, siapapun yang memasuki wilayah Indonesia tanpa dokumen resmi akan dianggap sebagai imigran ilegal. Dan sebagaimana hukum yang berlaku tersebut, maka tindakan Australia yang menggiring masuk orang-orang tak berdokumen resmi ke Indonesia adalah melanggar hukum.
Di samping itu, kapal penyelamat (orange lifeboat) yang digunakan Australia sebagai alat transportasi untuk mengembalikan pencari suaka ke wilayah Indonesia tidak memiliki identitas apapun. Sedangkan untuk melakukan navigasi internasional, kapal harus memiliki identitas yang jelas (berbendera, teregistrasi). Dengan demikian, tindakan Australia melanggar kedaulatan Indonesia karena memasukkan kapal yang tak teregistrasi masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal.
Selain itu, Australia juga telah melanggar pasal 31 UNCLOS. Bahwa negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian yang diderita negara pantai sebagai akibat tidak ditaatinya oleh suatu kapal perang atau kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial peraturan perundangan Negara Pantai mengenai lintas melalui laut teritorial atau ketentuan UNCLOS atau peraturan hukum internasional lainnya. Dengan menggiring kapal tanpa memberikan identitasnya, berarti Australia melepas tanggung jawabnya terhadap kerugian-kerugian yang mungkin saja (akan) dirasakan Indonesia akibat bagian dari operasi kebijakan perlindungan perbatasan Australia. Perlu diingat bahwa Indonesia bukanlah negara penandatangan Konvensi 1951 dan Protokol 1967 (tentang status pengungsi). Sehingga, Indonesia tidak diamanatkan untuk menampung mereka. Alasan Indonesia belum mau menandatangani konvensi terkait pengungsi tersebut diantaranya karena masalah kesanggupan secara finansial dan keamanan. Indonesia sendiri masih mengalami kesulitan untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Jika pendapatan negara harus dialokasikan untuk menghidupi atau memfasilitasi pengungsi, Indonesia belum sanggup.
Begitu pula dengan masalah keamanan. Sebagian dari pencari suaka ada yang menggunakan sindikat penyelundup atau perdagangan manusia. Orang-orang yang datang dengan cara seperti ini berpotensi menimbulkan ancaman bagi Indonesia. Di negara terdahulunya mungkin ada yang memiliki latar belakang ikut dalam kelompok teroris. Sehingga, jika pintu suaka dibuka lebar oleh Indonesia, berarti Indonesia harus bekerja lebih keras memperketat keamanannya agar menutup peluang berkembangnya ancaman yang dapat membahayakan keamanan nasional, seperti teroris, perdagangan manusia, penyelundupan obat terlarang, atau penyelundupan senjata ilegal.
Dengan menggiring kembali pencari suaka ini ke Indonesia, secara tidak langsung Australia memaksa Indonesia untuk mengikuti kemauan dan kepentingan Australia. Bagi Australia, mengurusi pengungsi membutuhkan banyak biaya yang mana biaya tersebut seharusnya dapat dialokasikan untuk kesejahteraan, pendidikan, dan infrastruktur negaranya. Begitu pun Indonesia. Australia yang tergolong negara maju saja masih membutuhkan banyak biaya untuk meningkatkan pendidikan dan aspek lainnya, terlebih lagi Indonesia. Australia tidak dapat memaksakan keinginannya untuk mencapai kepentingan nasionalnya dengan merugikan negara lain. Sebagaimana Australia ingin dihargai kedaulatannya oleh Indonesia, begitu pula Indonesia. Apalagi sebagai negara bertetangga, Australia hendaknya memikirkan secara cermat hal tersebut.
Kebijakan pemulangan/penggiringan kapal kembali ke negara embarkasi ini sesungguhnya juga dilakukan oleh negara lainnya yang cukup direpotkan oleh masalah imigrasi, contohnya Amerika Serikat dan Italia. Namun, apa yang berbeda adalah Amerika Serikat telah memiliki perjanjian dengan negara embarkasi, yaitu Haiti. Begitu pula dengan Italia yang telah memiliki kesepakatan dengan Libia terkait operasi kebijakan ini. Sedangkan keadaan yang terjadi saat ini, Indonesia belum bersepakat dalam menanggapi kebijakan pemulangan kapal oleh Australia ini.
Dari sisi hukum, Indonesia berhak mengajukan permasalahan ini ke The International Tribunal for The Law of The Sea. Meskipun nampaknya Indonesia tidak akan mengambil langkah sejauh itu karena pelanggaran perbatasan ini masih termasuk minor incursion. Akan tetapi, bukan berarti Indonesia tidak dapat bertindak tegas. Indonesia berhak untuk mengirimkan protes keras atas pelanggaran kedaulatan yang dilakukan Australia dan atas pelanggaran Australia terhadap UNCLOS di perairan Indonesia. Terlepas permintaan maaf Pemerintah Australia, Indonesia seharusnya tidak bersikap setenang ini ketika kedaulatannya dilanggar karena akan memberikan dampak negatif terhadap citra Indonesia.

2. Ada masalah dengan pertahanan Indonesia
Terdapat beberapa informasi yang dibutuhkan negara lain untuk mengukur pertahanan suatu negara. Melalui pelanggaran ini, Australia secara tidak langsung telah dapat mengukur pertahanan Indonesia. Pelanggaran ini telah memberi gambaran kepada Australia (dan pihak internasional lainnya) mengenai kekuatan pertahanan maritim Indonesia, setidaknya di wilayah perairan selatannya. Pelanggaran ini juga menggambarkan kapabilitas Indonesia dalam menjaga keamanan maritimnya, dan sikap Indonesia ketika kepentingan nasional mutlaknya dilanggar.
Pelanggaran kedaulatan oleh Australia terhadap Indonesia ini tidak hanya berlangsung satu kali, tetapi berkali-kali. Hingga ketika Fairfax Media menaikkan berita ini ke publik, barulah pelanggaran ini berhenti. Kenyataan bahwa pelanggaran terjadi sebanyak enam kali dari Desember hingga Januari, menimbulkan pertanyaan; apakah tidak ada instansi yang berwenang berjaga di sekitar lokasi? Apakah tidak ada radar? Seandainya media Australia tidak memberitakan dan Pemerintah Australia tidak mengakui, apakah Indonesia akan terus tidak mengetahui bahwa telah terjadi pelanggaran di perairan Indonesia? Dan sampai kapan pelanggaran ini akan terus terjadi?
Gambar 2: Ilustrasi: Errick Lobbecke, Sumber: News Limited (dalam The Australian)
 aussie
Kenyataan ini sesungguhnya sangat menohok. Bukan hanya karena kedaulatan Indonesia dilanggar dengan demikian mudahnya, tetapi juga karena pelanggaran ini justru ditemukan oleh media luar dan diakui oleh pelaku itu sendiri. Indonesia memiliki perairan yang begitu luas. Untuk mengamankan semuanya memang bukan perkara gampang. Tetapi, itu tidak bisa dijadikan alasan karena konsekuensi dari pelanggaran ini tidak kecil. Insiden ini mungkin akan segera dilupakan karena toh Australia sudah meminta maaf dan ini hanya berkaitan dengan masalah imigran ilegal yang mana memang bukan menjadi masalah prioritas bagi Indonesia. Akan tetapi, gambaran dunia mengenai pertahanan maritim Indonesia dan reaksi Indonesia ketika kedaulatannya dilanggar menimbulkan suatu interpretasi negatif.
Dari pelanggaran ini terdapat beberapa interpretasi yang dapat kita pahami; (1) Indonesia tidak memiliki kemampuan penginderaan yang baik karena tidak mampu mendeteksi atau mengetahui kapan dan dimana jelasnya pelanggaran terjadi, (2) tidak ada kapal perang atau kapal institusi terkait yang berpatroli di sekitar perairan selatan Indonesia (Jawa Barat hingga Nusa Tenggara Barat), (3) pertahanan Indonesia lemah karena dengan demikian mudahnya mampu diterobos berkali-kali oleh Angkatan Laut Australia, (4) Indonesia tidak bereaksi keras ketika kepentingan Mutlaknya dilanggar.
Berkaitan dengan poin keempat, dapat kita lihat dari sikap Indonesia yang tidak mengirimkan protes keras untuk meminta pertanggungjawaban Australia terhadap pelanggaran ini. Sebagai perbandingan, mari kita tengok sikap Timor Leste ketika mengetahui kedaulatannya dilanggar Australia. Desember 2013 lalu, Timor Leste mengajukan gugatan ke International Court of Justice di Den Haag karena menduga Australia telah melakukan spionase selama proses kesepakatan Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS). Australia diduga menyusup pada proyek bantuan renovasi kantor kabinet Timor Leste dan memasang alat penyadap di dinding-dinding kantor kabinet pada tahun 2004 dengan tujuan menguping pembahasan perjanjain tersebut. Bagaimanapun hasilnya, Timor Leste dengan sangat berani telah melakukan langkah besar dengan membawa negara tetangga sekelas Australia ke ICJ ketika kedaulatan dan kepentingan nasionalnya terganggu.
Timor Leste saja berani melakukan sikap keras, tapi Indonesia? Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan memiliki peran besar dalam ASEAN, hanya menunggu konfirmasi dan kedatangan para pejabat Australia terkait ke Indonesia untuk menjelaskan permasalahan dan meminta maaf secara langsung, tetapi tidak menuntut pertanggungjawaban apapun dari pemerintah Australia. Tingkat pelanggaran memang berbeda. Apa yang terjadi terhadap Indonesia memang termasuk minor incursion. Tapi, permasalahannya adalah Australia membeberkan kelemahan Indonesia secara terbuka di dunia. Sepatutnya, Indonesia tidak bersikap sekalem ini menanggapi insiden ini. Pemerintah Australia pun dengan tenangnya tetap melanjutkan operasi pemulangan kapal tersebut sambil berjanji tidak akan mengulangi kesalahan lagi. Tapi, apa yang dapat menjamin janji verbal ini? Trust.
Kepercayaan dalam Hubungan Internasional adalah ekspektasi positif terkait motif dan niat aktor lainnya; kesediaan yang didasarkan oleh kepercayaan bahwa aktor tersebut dengan kebijaksanaan mereka akan menghindari hal-hal yang dapat merugikan kepentingan negara yang memberi kepercayaan (Wheeler 2012; Kydd 2005). Pada pelanggaran kedaulatan pertama, yaitu insiden penyadapan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono “menghukum” Australia dengan memberikan code of conduct untuk memulihkan hubungan baik antar kedua negara dan memastikan agar insiden demikian tidak terjadi lagi.
Abbott juga mengutus Menteri Luar Negerinya, Julie Bishop, untuk menemui Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa pada 5 Desember 2013. Pada kunjungan tersebut Bishop melalui jumpa pers menyampaikan penyesalan Pemerintah Australia atas tindakan mereka yang telah melukai Presiden dan rakyat Indonesia. Melalui Bishop, Pemerintah Abbott menegaskan tidak akan melakukan apapun dengan menggunakan aset-aset dan sumber-sumber daya di pemerintahan dengan berbagai cara untuk menyakiti Indonesia (DFAT 2013). Komitmen ini terdengar sangat menjanjikan. Tapi, selang satu bulan  janji verbal ini dinyatakan, Australia melanggar janjinya dan kembali melukai kedaulatan Indonesia.
Dampak dari citra bahwa Indonesia tidak cukup mampu menjaga pertahanan keamanan maritimnya berpotensi mengundang campur tangan negara lain terhadap urusan pertahanan keamanan Indonesia. Terkait dengan operasi pemulangan kapal ini, sesungguhnya Australia dapat melakukannya dengan aman. Selain beroperasi diluar laut teritorial Indonesia, cara paling aman mengembalikan perahu adalah menyerahkan kontrol pencegatan perahu kepada Angkatan Laut Indonesia di ujung laut teritorial Indonesia. Tetapi, jika Australia menilai Indonesia tidak mampu melakukannya, Australia, dengan persetujuan Indonesia, dapat membawa perahu-perahu tersebut langsung ke tepi laut Indonesia (Stewart 2012). Mengingat etika bertetangga yang baik tidak dipenuhi oleh Australia, maka jika kebijakan pengantaran langsung ke pantai Indonesia disepakati, kita tidak tahu apa yang Australia mungkin lakukan sepanjang melakukan “pengantaran” kembali perahu-perahu pencari suaka ke pantai Indonesia tersebut.

3. Publikasi kebijakan OSB lebih luas
Bagi Australia sendiri, meskipun pelanggaran ini mengancam ketegangan hubungan dengan Indonesia, namun penyiaran pelanggaran ini sedikit banyak memberi keuntungan bagi Australia. Sejauh ini, media memiliki kekuatan besar dalam memengaruhi banyak hal; membentuk interpretasi dan opini masyarakat terhadap suatu fenomena, kontrol agenda kebijakan pemerintah, membentuk citra calon pemimpin atau partai politik, atau menyebarkan informasi. Meski terdengar sederhana, namun nyatanya dampak media sebagai penyebar informasi tidak sesederhana itu. Banyak konflik dan bencana menjadi sorotan di dunia ini, sedangkan yang lain tidak. Ketika terjadi bencana alam tsunami di Asia 2004 lalu, Indonesia beruntung mendapat humanitarian aid dari masyarakat internasional berkat penyiaran berita yang cukup intens oleh CNN. Pada tahun yang sama, Darfur sedang mengalami konflik. Namun, media tidak banyak memberitakan mengenai detail konflik yang terjadi di negara Sudan tersebut. Sehingga, perhatian masyarakat internasional pun tidak begitu terarah pada Konflik Darfur.
Begitu besar peran media massa sehingga frekuensi penyiarannya mampu mengalihkan perhatian publik dari suatu isu ke isu yang lainnya. Pada saat terjadi pelanggaran, media Australia secara intens terus memberitakan mengenai pelanggaran perbatasan Indonesia dan kebijakan OSB. Meskipun tidak mendeskripsikan apa yang dilakukan tim pelaksana selama operasi tersebut karena pemerintah Australia tidak mau secara terbuka menjelaskan hal tersebut, namun, rekaman dan hasil wawancara dengan pencari suaka yang berhasil didapat media Australia cukup jelas mendeskripsikan nasib seperti apa yang akan pencari suaka hadapi jika mereka tetap memilih untuk menempuh cara ilegal untuk masuk ke teritori Australia.
Target kebijakan pemulangan kapal adalah; (1) pencari suaka yang datang dengan menggunakan perahu dan tidak memiliki dokumen atau alasan sah untuk memasuki teritori Australia, (2) penyelundup manusia atau orang-orang yang membantu menyediakan akses ilegal kepada para pencari suaka. Tanpa adanya pelanggaran, sesungguhnya kebijakan ini sendiri sudah ramai dibicarakan dikarenakan bertentangan dengan hukum nasional Australia dan hukum internasional yang ditandatangani Australia. Dengan timbulnya pelanggaran dalam pelaksanaan, operasi kebijakan ini menjadi kian populer. Insiden ini bagaikan pepatah; sekali mendayung dua-tiga pulau terlewati. Resiko pelanggaran ini memang besar, memperburuknya hubungan kedua negara yang sebelumnya sudah buruk. Akan tetapi, terdapat manfaat pula yang didapatkan Australia dari kejadian ini.
Australia telah memberitahukan paling tidak kepada target kebijakan pemulangan kapal, bahwa mereka serius menjalankan kebijakan ini dan apapun yang menyangkut ancaman terhadap perbatasan mereka akan disikapi dan ditindak dengan tegas, dalam hal ini kedatangan imigran ilegal melalui laut. Serius disini dapat kita lihat dari sikap Australia yang tetap konsisten melanjutkan operasi pemulangan kapal, meskipun telah melakukan pelanggaran kedaulatan negara tetangga. Ini menggambarkan sikap Australia yang akan terus maju pantang mundur demi mencapai tujuannya untuk menghentikan kedatangan manusia perahu ke Australia. Pemberitaan ini sekaligus pula menjadi peringatan bagi calon pengungsi agar tidak menggunakan jalur ilegal untuk mendapatkan suaka.
Pelanggaran ini terjadi pada saat yang tepat.Para penyelundup manusia biasanya beraksi pada akhir bulan Musim Monsun. Musim ini berlangsung dari Oktober hingga April. Dengan adanya pemberitaan operasi pemulangan perahu beberapa bulan sebelum Monsun berakhir, sekaligus pula menjadi peringatan bagi pencari suaka dan menciutkan niat mereka untuk menggunakan “jasa” penyelundup manusia berlayar ke Pulau Christmas secara ilegal. Bukan hanya karena mereka mengetahui bahwa peluang untuk masuk ke wilayah Australia sangat sulit dan ketat, tetapi juga karena para pencari suaka ini tahu apa yang akan terjadi pada mereka jika tetap nekat berlayar.
Dalam program berita ABC 7:30, disiarkan bagaimana kapal penyelamat sangat menyiksa bagi siapapun yang berada di dalamnya. Dengan fasilitas minim, kapal penyelamat yang sempit, bau, dan panas seperti sauna tersebut dikatakan menimbulkan rasa traumatis bagi para pencari suaka dan jera untuk melakukan upaya mencari suaka dengan jalur demikian, meskipun para penyelundup manusia terus mendorong mereka (ABC 7.30 2014). Jika para pencari suaka telah enggan untuk mencoba perjalanan ilegal melalui laut, penggunaan jasa sindikat penyelundup manusia juga akan berkurang.
Maka, meskipun mendapat banyak protes dari pihak oposisi, aktivis HAM, dan resiko memburuknya hubungan bilateral dengan Indonesia, namun pemberitaan pelanggaran ini nampaknya dapat menguntungkan Australia dalam mencapai kepentingannya. Namun, penyelesaian bagi Australia, bukan berarti penyelesaian bagi semua karena ini berarti, Republik ini harus menghadapi tugas baru, yaitu lebih memperketat pengamanan di perbatasan perairan Indonesia.

Kesimpulan
Dari pelanggaran ini, terdapat kekurangan Indonesia; lemahnya pertahanan maritim dan ketidaktegasan sikap Indonesia dalam menanggapi kasus pelanggaran kedaulatan. Sikap Indonesia yang lemah dalam merespon insiden ini mempertaruhkan citra Indonesia di mata internasional. Terlepas dari niat baik Australia, pengakuan Australia bahwa kapal mereka telah melanggar kedaulatan Indonesia sebanyak enam kali kepada dunia pada saat melakukan kebijakan perlindungan perbatasan mereka telah mempermalukan Indonesia. Untuk itu, sebagaimana negara yang dipermalukan di taraf internasional, Indonesia seharusnya juga memberikan respon yang keras (bukan berarti offensive) dalam rangka menuntut pertanggungjawaban Australia.
Pelajaran lain yang perlu dipahami, bahwa Indonesia sudah harus mulai mengubah pandangan mengenai negara tetangganya ini; apakah sahabat, teman, atau musuh. Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, Indonesia tidak pernah melihat adanya ancaman dari selatan (baca: Australia). Indonesia selalu mewaspadai ancaman-ancaman yang datang dari utara. Perselisihan perbatasan, pelanggaran-pelanggaran di perbatasan, dan masalah perompak memang banyak terjadi di perairan utara Indonesia. Terlebih dengan perkembangan konflik Laut Cina Selatan dan dipublikasikannya paspor baru Cina yang memasukkan perairan Natuna dalam peta paspor mereka ikut serta menyedot perhatian Indonesia keadaan dan isu di utara, sehingga tidak begitu peka dengan tetangga di sebelah selatan.
Dengan terjadinya dua pelanggaran dan tetap diteruskannya operasi pemulangan kapal, Indonesia harus meninjau kembali sikap dan strategi pertahanannya dalam mewaspadai tindak tanduk yang dilakukan Australia. Tidak ada yang dapat menjamin kekonsistenan janji verbal kecuali dibuktikan dengan niat dan tindakan nyata untuk bersikap baik dan lebih menghargai Indonesia. Sepanjang belum ada bukti dari tindakan tersebut, maka sepanjang itulah pula Indonesia harus cermat menyikapi tindak-tanduk perlakukan Australia terhadap negara kita.

Daftar Pustaka:
ABC 7.30 (2014) ABC News, Maret 17, 07h30.
ACBPS & ADF (2014), Joint Review of Positioning of Vessels Engaged in Operation Sovereign Borders, tersedia di: http://newsroom.customs.gov.au/releases/joint-review-of-positioning-of-vessels-engaged-in-operation-sovereign-borders-is-completed [diakses pada 8 April 2014].
Australian Department of Foreign Affairs and Trade (2013) Media Conference with Indonesian Foreign Minister Natalegawa [press release], Desember 5, tersedia di: http://www. foreignminister.gov.au/transcripts/Pages/2013/jb_tr_131205.aspx?ministerid=4 [diakses pada 19 April 2014].
Bourke, L. (2014), ‘Navy Breached Indonesian Waters Six Times Under Operation Sovereign Borders, Review Finds’, ABC News, Februari 20, tersedia di: http://www.abc.net.au/news/ 2014-02-19/navy-breached-indonesian-waters-six-times-review-finds/5270478 [diakses pada 1 April 2014].
Gale, A. (2014), World  DGPS Database for Dxers, April 28, tersedia di: http://www. ndblist.info/datamodes/worldDGPSdatabase.pdf [diakses 1 Mei 2014].
Kydd, A. (2005), Trust and Mistrust in International Relations, Princeton: Princeton University Press.
Liberal Party of Australia & The Nationals (2013) The Coalision’s Operation Sovereign Borders Policy, tersedia di: http://lpaweb-static.s3.amazonaws.com/Policies/Operation SovereignBorders_Policy.pdf [diakses pada 4 April 2014]
Lobbecke, E. (2014) ‘Boats Policy a boon for Jakarta as well, opinion’, The Australian, Januari 20, tersedia di: http://www.theaustralian.com.au/opinion/boats-policy-a-boon-for-jakarta-as-well/ story-e6frg6zo-1226805373095# [diakses pada 10 April 2014]
Phillips, J. & Spinks, H. (2011), Boat Arrivals in Australia Since 1976, Januari 5, tersedia di: http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/BN/2011-2012/BoatArrivals [diakses pada 15 April 2014].
Radio Australia (2013), ‘A Coalition government for Australia – What Does this Mean for You?’, ABC Radio Australia, September 2013, tersedia di: http://www.radioaustralia.net.au /international/2013-09-07/a-coalition-government-for-australia-what-does-this-mean-for-you/ 1187371 [diakses pada 2 April 2014].
Roberts, G. (2013) ‘Indonesia Rejects the Coalition’s Asylum Seeker Policy’, ABC News, Juni 14, tersedia di: http://www.abc.net.au/news/2013-06-14/indonesia-rejects-opposition-asylum-seeker-policy/4753128 [diakses pada 15 April 2014].
Stewart, C. (2012), ‘Law of the Sea Versus the Dictates of Canberra’, The Australian, Maret 10, tersedia di: http://www.theaustralian.com.au/national-affairs/immigration/law-of-the-sea-versus-the-dictates-ofcanberra/story-fn9hm1gu-1226295248652 [diakses pada 18 April 2014].
Tuckfield, H. (2014), ‘Australia’s Troubling Asylum Seeker Policy’, The Diplomat, Februari 18, tersedia di: http://thediplomat.com/2014/02/australias-troubling-asylum-seeker-policy/ [diakses pada 8 April 2014].
UNHCR (2012) UNHCR Asylum Trends 2012: Levels and Trends in Industrialized Countries, Geneva: UNHCR.
________(2014) UNHCR Asylum Trends 2014: Levels and Trends in Industrialized Countries, Geneva: UNHCR
United Nations (2014) World Economic Situation and Prospect, New York: United Nations.
Wheeler, N. (2012), ‘Trust Building in International Relations’, South Asian Journal of Peacebuilding, Vol. 4 (No. 2), tersedia di: http://www.wiscomp.org/pp-v4-n2/nick%20 wheeler.pdf [diakses pada 20 April 2014].
Wroe, D. (2014), ‘Abbott Government Spends $2.5m on Lifeboats to Return Asylum Seekers to Indonesia’, The Sydney Morning Herald, Februari 25, tersedia di http://www.smh.com.au/ federal-politics/political-news/abbott-government-spends-25m-on-lifeboats-to-return-asylum-seekers-to-indonesia-20140225-33f0n.html [diakses pada 11 April 2014].




[1]     Di Australia, kedatangan perahu yang tidak sah (unauthorized boat atau irregular maritime arrivals) umumnya disebut juga manusia perahu (boat people). Sebutan ini pertama kali digunakan di Australia sejak kedatangan perahu yang membawa pencari suaka sebagai akibat Perang Vietnam tahun 1976 (Phillips and Spinks, 2013).
[2]     SIEVs adalah kapal-kapal yang dicurigai membawa orang-orang yang ingin masuk ke Australia tanpa visa.
[3]     Untuk berita-berita terkait sikap Indonesia terhadap kebijakan pemulangan kapal tersebut dapat dilihat di http://www.smh.com.au/execute_search.html?text=Indonesia+boat+policy&ss=National+Times
[4]     Dikutip dari pernyataan yang diungkapkan oleh Scott Morrisson pada Konferensi pers, Jumat, 17 Januari 2014; “… We deeply regret the events, however, the Australian Government remains committed to continuing to implement our policies to stop the boats” (video )

Posted in Kajian 2014.
   http://www.fkpmaritim.org/pelanggaran-australia-terhadap-perairan-indonesia-apakah-indonesia-sudah-cukup-peduli

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.