PELANGGARAN AUSTRALIA TERHADAP PERAIRAN INDONESIA: APAKAH INDONESIA SUDAH CUKUP PEDULI?
PELANGGARAN AUSTRALIA TERHADAP PERAIRAN INDONESIA: APAKAH INDONESIA SUDAH CUKUP PEDULI?
Oleh : Amelia Rahmawaty, S. H. Int.
Pendahuluan
Di dunia ini, tidak ada negara bertetangga yang memiliki perbedaan
yang begitu berlainan seperti Indonesia dan Australia. Dari segi bahasa,
budaya, sejarah, suku, dan keyakinan, keduanya begitu berbeda. Pun
dengan klasifikasi negara. Meskipun Indonesia mengalami pertumbuhan
ekonomi yang lebih baik sejak negara ini merdeka, akan tetapi, Indonesia
masih tergolong negara berkembang, sedangkan Australia sudah
terklasifikasi sebagai negara maju (United Nations, 2014: 145-146).
Keadaan ini ikut memengaruhi interpretasi masing-masing negara mengenai
ancaman keamanan nasional. Jika Indonesia tidak melihat isu imigran
ilegal sebagai suatu ancaman nasional yang darurat, Australia
sebaliknya. Sebagai negara yang memiliki kesejahteraan dan kualitas
hidup yang tinggi, Australia banyak dilirik pencari suaka sebagai tempat
tujuan mereka. Sehingga pada perkembangannya, Australia menghadapi
masalah yang ‘lazimnya’ dihadapi oleh negara-negara maju, imigran
ilegal. Di kawasan Asia Pasifik, Australia merupakan salah satu negara
tujuan utama bagi para imigran ilegal yang datang dengan menggunakan
perahu reyot untuk mencari suaka.[1]
Australia sendiri sudah memiliki catatan tentang kedatangan manusia
perahu sejak tahun 1970an. Manusia perahu pertama yang tiba di pantai
utara Australia berasal dari Vietnam. Hingga lima tahun selanjutnya,
jumlah kedatangan manusia perahu dari Vietnam terus meningkat (Phillips
& Spinks, 2013: 6). Ketika gelombang kedua (1989-1998) pencari suaka
tiba di Australia, topik ini menjadi isu hangat yang diperbincangkan
publik dikarenakan manusia perahu ini secara rutin dipertahankan di
rumah detensi dalam waktu yang cukup lama. Tapi, lama kelamaan isu ini
dilupakan. Tahun 1999, isu ini kembali menjadi berita dengan
meningkatnya jumlah kedatangan pencari suaka secara drastis (ibid., hal: 7).
Ketika jabatan Perdana Menteri dipegang oleh John Howard, isu manusia
perahu ditangani secara serius. Demi mencegah masuknya kapal-kapal
tidak sah ke wilayah perairan Australia dan mencegah pencari suaka
(serta penyelundup) yang berupaya masuk ke Australia, pada tahun 2001,
Howard membuat kebijakan yang disebut Operasi Relex. Operasi Relex ini
sendiri ialah strategi perlindungan perbatasan Australia di laut lepas
dengan melakukan pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang
membawa orang-orang yang hendak masuk ke Australia tanpa visa (Mcadam
& Purcell, 2008: 97).
Ketika kepemimpinan Howard beralih pada Kevin Rudd, beberapa
kebijakan Howard dihentikan oleh Rudd, meskipun beberapa diantaranya
tetap dipertahankan. Pemerintahan Rudd yang diawali pada tahun 2007
tersebut berfokus pada tindak pengamanan perbatasan yang dirancang untuk
mengganggu kerja penyelundup manusia (Phillips & Spinks, 2013: 1).
Sejak kepemimpinan Rudd (2007-2010), angka kedatangan pencari suaka
terus naik. Terutama pada tahun 2009 dan 2010 dimana terjadi peningkatan
angka yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jumlah
kedatangan manusia perahu tersebut, berturut-turut sejak 2007, adalah
148, 161, 2726, dan 6555 (ibid., hal: 22-23).
Meski demikian, sesungguhnya gelombang kedatangan pencari suaka di
Australia terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Hanya 2% pencari suaka di dunia yang mencari perlindungan di Australia
(Tuckfield, 2014). Selama lima tahun terakhir, Amerika Serikat menjadi
negara yang menerima permohonan suaka terbanyak, yaitu sejumlah 311.700.
Jerman yang menduduki peringkat kedua selama rentang waktu lima tahun
(2009-2013) menerima 288.800. Diikuti oleh Perancis, Swedia, dan Inggris
secara berturut-turut, yaitu 257.500, 183.800, dan 136.400. Australia
sendiri menduduki peringkat ke-8 dengan jumlah permohonan sebanyak
71.680. Namun, pada dua tahun terakhir, Australia mengalami peningkatan
permohonan suaka yang cukup tajam, yaitu sebesar 37% pada periode waktu
2011-2012 dan 54% pada 2012-2013 (UNHCR, 2012; 2013).
Akibat menangani pencari suaka ini, Australia menghabiskan dana yang
cukup besar. Antara tahun 2007-2008 dan 2013-2014, anggaran untuk
mengelola kedatangan perahu ilegal meledak hingga $10,3 miliar. Partai
koalisi (Tony Abbott dan koalisi) melihat hal ini sebagai sesuatu yang
serius. Karena dana tersebut akan lebih bermanfaat jika dialokasikan
untuk pendidikan atau infrastruktur dibandingkan dengan mengurusi
imigran ilegal (Liberal Party of Australia & The Nationals, 2013:
14). Pada pemilihan Perdana Menteri baru Australia yang berlangsung
tahun lalu, isu pencari suaka menjadi topik hangat dan menjadi
perdebatan diantara kedua kandidat; Kevin Rudd dan Tony Abbott.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Tony Abbott (Partai Liberal/Liberal Party of Australia) beserta
koalisi mencanangkan kebijakan yang berbeda dari rencana partai
oposisi. Jika Kevin Rudd – pemimpin sekaligus kandidat dari Partai Buruh
(Australian Labor Party) – memutuskan untuk mengirim para
pencari suaka yang tiba di Australia tanpa visa ke Papua Nugini, Tony
Abbott berencana menempatkan militer dan Menteri Imigrasi sebagai
penanggung jawab perlindungan perbatasan (Radio Australia 2013).
Gambar 1: Peta Rute Perahu Ilegal ke Australia (Liberal Party of Australia & The Nationals, 2013: 17)
Pada saat Tony Abbott berhasil meraih kemenangan atas kursi Perdana
Menteri ke-28, kebijakan tersebut langsung dijalankan. Kebijakan yang
dikenal dengan Operation Sovereign Borders (OSB)tersebut adalah
operasi penjagaan keamanan perbatasan yang dipimpin oleh militer, serta
didukung dan dibantu oleh berbagai lembaga pemerintah federal. Tujuan
dari operasi ini sendiri adalah untuk menghentikan kedatangan manusia
perahu di pantai utara-barat Australia (ibid.). Implementasi
kebijakan OSB di lapangan diantaranya adalah dengan mencegat atau
memulangkan kembali kapal-kapal yang membawa pencari suaka ke negara
embarkasi.
Sesungguhnya, kebijakan pemulangan kapal ini sudah pernah diterapkan
oleh (mantan) Perdana Menteri Howard. Pada masa kepemimpinan Howard,
operasi ini, sebagaimana telah disebutkan diatas, dinamakan Operasi
Relex. Tujuan Operasi Relex sama dengan OSB milik Tony Abbott, yaitu
menghalangi manusia perahu tiba di Australia dengan cara meniadakan
akses mereka ke Australia. Dibawah Operasi Relex, Royal Australian Navy (RAN/Angkatan Laut Australia) diperintahkan untuk mencegat dan menaiki Suspected Illegal Entry Vessels (SIEVs)[2]
ketika mereka memasuki zona tambahan Australia (24 mil laut dari pantai
Australia). Kemudian RAN diperintahkan untuk mengembalikan mereka ke
bibir wilayah perairan Indonesia (Senate Select Committee 2002).
Dengan mengimplementasikan kebijakan yang sama, pemulangan perahu,
berarti Indonesia kembali menjadi negara penerima “lemparan” perahu
pencari suaka dari Australia. Pada peta berikut terlihat bahwa
perahu-perahu ilegal tersebut terlebih dahulu transit di Indonesia. hal
tersebut menjadikan Indonesia sebagai titik transit utama bagi para
pengungsi sebelum menuju negara tujuan suaka, Australia.
Maka, sebagai upaya untuk menghalau kedatangan pencari suaka yang
berangkat (bukan berasal) dari Indonesia, semua kapal berawak,
berbendera, dan berangkat dari Indonesia yang hendak berlayar ke
Australia tanpa alasan yang sah akan dikembalikan lagi ke Indonesia.
Keseriusan praktek pemulangan kapal ini terlihat dari kapal-kapal
penyelamat yang telah dibeli Australia dengan dana yang tidak sedikit.
Sebanyak 2,5 juta dolar dihabiskan Pemerintah Abbott untuk membeli 12
buah kapal penyelamat. Kapal-kapal tersebut digunakan hanya sekali dan
berfungsi untuk menggiring kembali pencari suaka ke negara embarkasi.
Hingga Februari 2013, terhitung sebanyak tiga buah kapal penyelamat
telah digunakan untuk mendorong kembali pencari suaka ke perairan
Indonesia (Wroe, 2014). Dan sejak awal implementasi kebijakan hingga
Desember 2013, kedatangan manusia perahu tersebut memang berkurang. Pada
laporan 100 hari kepemimpinan Abott, tertulis bahwa angka kedatangan
pencari suaka menurun hingga 80% (Australian Government, 2013).
Bagaimana reaksi Indonesia sebagai negara embarkasi? Terhadap
kebijakan ini, Indonesia sebetulnya sudah menunjukkan respon
ketidaksenangannya, bahkan sebelum kebijakan ini diimplementasikan. Baik
Duta Besar Indonesia untuk Australia (Nadjib Riphat Kesoema), politisi
(Tantowi Yahya), Menteri Luar Negeri (Marty Natalegawa), dan bahkan
Wakil Presiden RI (Boediono) telah beberapa kali menyatakan keberatannya
(penolakan) terhadap kebijakan pemulangan perahu pencari suaka ke
Indonesia.[3]
Akan tetapi, operasi tersebut terus dijalankan. Sebelum Abbott
terpilih, juru bicara pemerintah koalisi, Scott Morrisson, mengatakan
bahwa operasi ini tidak akan melanggar integritas teritorial perairan
Indonesia (Roberts, 2014). Empat bulan operasi ini berjalan, kenyataan
nampaknya bertentangan dengan pernyataan Morrisson tersebut. Pertengahan
Januari 2014, terungkap bahwa kapal-kapal Australia secara tidak
sengaja telah melanggar kedaulatan Republik Indonesia pada beberapa
kesempatan dalam operasi perlindungan perbatasannya.
Jika ditarik lagi ke belakang, tidak sampai dua bulan sebelum
pelanggaran tersebut terungkap ke publik (dan Indonesia), Pemerintahan
Abbott juga telah melukai kedaulatan Indonesia. Melalui bocoran mantan
kontraktor rekanan National Security Agency (NSA) Amerika Serikat, Edward Snowden, yang dipublikasikan melalui surat kabar New York Times,
diketahui bahwa Australia telah menyadap jaringan seluler sejumlah
pejabat Indonesia, termasuk orang nomor satu Indonesia, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Maka dapat dikatakan, sejak Tony Abbott memegang
jabatan Perdana Menteri, terhitung dua kali terungkap pelanggaran
kedaulatan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia.
Ketika berita pelanggaran kedaulatan di perairan Indonesia yang dipublikasikan oleh Fairfax Media tersebut
terungkap, Australia menanggapinya dengan bertindak cepat. Dua orang
petinggi yang bertanggung jawab atas OSB, Scott Morrison selaku Menteri
Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia dan Letnan Jenderal Angus
Campbell selaku Komandan Operasi Kedaulatan Perbatasan, menggelar
konferensi pers. Pada kesempatan itu, mereka mengakui bahwa telah
terjadi pelanggaran perbatasan wilayah Indonesia pada saat operasi
penghalauan perahu pencari suaka diselenggarakan. Morrison menyatakan
bahwa pelanggaran ini tidak sengaja dilakukan. Peristiwa ini terjadi
karena adanya kesalahan perhitungan batas maritim Indonesia oleh kru
Australia. Hal serupa dinyatakan oleh Letjen Campbell. Ia menambahkan
bahwa, operasi ini tidak bermaksud untuk memasuki wilayah kedaulatan
negara lain. Selama operasi berlangsung, orang-orangnya mengira mereka
selalu berada di luar perairan Indonesia (Roberts, 2014).
Bersamaan dengan pengakuan itu pula, atas nama Pemerintah Australia,
Morrison meminta maaf tanpa syarat kepada Pemerintah Indonesia dan
berjanji tidak akan mengulangi kejadian serupa kedepannya. Tetapi,
sekaligus pula menegaskan bahwa Australia tidak akan menghentikan
operasi ini dan tetap akan melanjutkan kebijakan pemulangan kapal.[4]
Terus menerus menuntut permohonan maaf bukanlah suatu hal yang bijak
dilakukan Indonesia dalam menanggapi kejadian ini. Seperti yang
dikatakan Menteri Luar Negeri Australia, “We respect Indonesia’s
sovereign boundaries, we respect their territorial boundaries and when
there is a mistake, we acknowledge it, we apologize profusely and we
move on” (Bourke, 2014). Indonesia memang harus move on. Tapi
kejadian ini, tidak boleh dilupakan begitu saja dan patut untuk
ditelaah lebih lanjut. Terkait dengan hal tersebut, penulis tertarik
mengangkat isu pelanggaran Australia di perairan Indonesia. Sehingga
pada artikel ini, penulis menganalisa hal-hal apa saja yang dapat
dipahami dari pelanggaran kedaulatan Indonesia oleh Australia.
Keamanan Nasional Australia Versus Kedaulatan Indonesia
Pelanggaran kapal angkatan laut Australia di perairan Indonesia
terkait dengan pelaksanaan kebijakan OSB. Pelanggaran terjadi berulang
kali sepanjang periode 1 Desember 2013 hingga 20 Januari 2014. Australia
menganggap pelanggaran yang terjadi sebanyak 6 kali tersebut
diakibatkan kesalahan perhitungan batas maritim Indonesia oleh kru
Australia, dan bukan karena kesengajaan atau kesalahan navigasi.
Dianggap tidak sengaja karena Pemerintah Australia telah membuat
instruksi yang jelas terhadap operasi ini, dimana; (1) tindakan hanya
dapat dilakukan jika dianggap aman oleh komandan patroli kapal, (2)
tindakan hanya dapat dilakukan diluar 12 mil laut dari garis pangkal
kepulauan Indonesia (ACBS & ADF 2014: 2).
OSB merupakan kebijakan yang cukup kontroversial dan sensitif karena
konsekuensinya dapat meningkatkan tensi hubungan antar negara, terlebih
respon Indonesia yang tidak kooperatif terhadap kebijakan pemulangan
kapal ini. Sehingga, pemerintah Australia dan pelaksana seharusnya
sangat berhati-hati dan memperingatkan tim terkait agar tidak melakukan
tindakan yang dapat memperkeruh situasi. Diantara beberapa hal yang
perlu diantisipasi adalah penghormatan terhadap kedaulatan Indonesia.
Sebagaimana diketahui, kedaulatan merupakan elemen paling penting bagi
kepentingan nasional setiap negara. Operasi pemulangan kapal ini sangat
rentan dengan pelanggaran perbatasan karena perahu imigran ilegal
ditarik oleh kapal angkatan laut Australia ke ujung laut teritorial
Indonesia, maka jika tidak berhati-hati dan paham mengenai batas-batas
yang diizinkan, pelanggaran dapat terjadi. Dengan demikian idealnya,
para pelaksana di lapangan seharusnya sudah mengantisipasi hal ini
dengan memberikan pelatihan dan pemahaman terkait batas-batas maritim
Indonesia agar pelanggaran kedaulatan tidak perlu terjadi.
Selain itu, terlepas dari kurangnya pemahaman pelaksana operasi
perbatasan Australia di dekat wilayah kedaulatan Indonesia, ada hal lain
yang sulit untuk dipahami; bagaimana bisa negara sebesar Australia
melanggar perbatasan Indonesia, sedangkan kapal mereka dilengkapi (Differential) Global Positioning System (GPS/DGPS).
DGPS adalah sistem navigasi radio berbasis satelit yang merupakan
peningkatandari GPS. DGPS memiliki tingkat akurasi lebih tinggi dengan
kemampuan mengirimkan koreksi kesalahan yang dikirimkan oleh sinyal GPS.
Diketahui dari World DGPS Database, Australia merupakan salah
satu pengguna DGPS, terutama untuk navigasi laut (Gale 2014). Jika DGPS
tersebut aktif, maka memungkinkan petugas yang berada diatas kapal untuk
memantau lokasi, saat itu juga. Ditambah dengan telah adanya instruksi
dari pemerintah pusat Australia, bahwa mereka harus beroperasi diluar
laut teritorial Indonesia, maka, apabila kapal angkatan laut Australia
telah melewati batas operasi yang telah ditentukan, seharusnya mereka
menyadarinya. Kenyataan demikian menimbulkan indikasi baru, bahwa
pelanggaran terjadi karena kesengajaan.
Meskipun ada niat baik pemerintah Australia untuk mengakui pelanggaran, meminta maaf, dan mengeluarkan Joint Review yang
sayangnya tidak menginformasikan secara jelas dimana persisnya
pelanggaran terjadi, hal tersebut tidak mengubah kenyataan bahwa
Australia telah melanggar kedaulatan Indonesia demi mencapai keamanan
nasional negaranya. Setelah memelajari persoalan, berikut pemahaman
penulis dalam menanggapi insiden pelanggaran ini.
1. Australia melanggar hukum laut internasional
Pada laporan yang dibuat, Australia memang tidak mau mengungkapkan
dimana persisnya terjadi pelanggaran; apakah di perairan pedalaman
Indonesia atau di laut teritorial Indonesia. Akan tetapi, baik itu di
perairan pedalaman maupun teritorial, jika Australia melakukan operasi
tanpa sepengetahuan atau persetujuan Indonesia, maka Australia telah
melanggar hukum laut internasional. Australia sebetulnya dapat memasuki
laut teritorial Indonesia hanya jika;
a. Australia memiliki izin atau persetujuan Indonesia
Pada kenyataannya, Australia tidak mengirimkan notifikasi untuk
melaksanakan operasi pemulangan kapal atau memiliki persetujuan dari
Indonesia yang mengizinkan mereka untuk melakukan kegiatan lain diluar
hal-hal yang berkaitan dengan lintas damai sebagaimana diatur dalam
UNCLOS. Indonesia, melalui statement yang dikemukakan
pejabat-pejabat terkait, menolak kebijakan pemulangan kapal yang
dilakukan Australia, sekalipun hal tersebut dilakukan di luar laut
teritorial Indonesia (kebijakan pemulangan kapal milik Tony Abbott
dilaksanakan di zona tambahan Indonesia/diluar 12 mil garis pangkal).
Indonesia juga tidak pernah mengirimkan nota diplomatik yang
mengindikasikan atau menyetujui pelaksanaan kebijakan pemulangan kapal
pencari suaka.
b. Australia melakukan lintas damai
Di laut territorial dan perairan pedalaman (lihat pasal 8 dan pasal
18 UNCLOS), berlaku apa yang disebut lintas damai. Lintas damai adalah
navigasi yang dilakukan secara cepat dan terus menerus tanpa memasuki
perairan pedalaman atau singgah di pangkalan laut atau fasilitas
pelabuhan di luar perairan pedalaman. Namun, aksi Australia yang
menggiring perahu penyelamat yang berisi pencari suaka tidak dapat
digolongkan kedalam kegiatan lintas damai. Lintas Australia menjadi
tidak damai karena apa yang dilakukan Australia tidak berhubungan
langsung dengan lintas. Ketika suatu kapal melakukan kegiatan lain
selain melintas saat ia melewati laut territorial, apalagi kegiatan
tersebut merupakan operasi kebijakan negara benderanya yang belum
disetujui negara pantai yang dilintasi, maka jelas lintas tersebut
menjadi tidak damai. Australia melakukan kegiatan diluar navigasi lazim
di laut teritorial Indonesia, yaitu secara sengaja “memasukkan”
orang-orang yang tidak memiliki dokumen sah ke wilayah kedaulatan
Indonesia. Dari sudut pandang peraturan perundangan Indonesia, tindakan
ini juga bertentangan dengan ketertiban dan keamanan Indonesia. Pada UU
No 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi, dikatakan bahwa, siapapun yang
memasuki wilayah Indonesia tanpa dokumen resmi akan dianggap sebagai
imigran ilegal. Dan sebagaimana hukum yang berlaku tersebut, maka
tindakan Australia yang menggiring masuk orang-orang tak berdokumen
resmi ke Indonesia adalah melanggar hukum.
Di samping itu, kapal penyelamat (orange lifeboat) yang
digunakan Australia sebagai alat transportasi untuk mengembalikan
pencari suaka ke wilayah Indonesia tidak memiliki identitas apapun.
Sedangkan untuk melakukan navigasi internasional, kapal harus memiliki
identitas yang jelas (berbendera, teregistrasi). Dengan demikian,
tindakan Australia melanggar kedaulatan Indonesia karena memasukkan
kapal yang tak teregistrasi masuk ke wilayah Indonesia secara ilegal.
Selain itu, Australia juga telah melanggar pasal 31 UNCLOS. Bahwa
negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap
kerugian yang diderita negara pantai sebagai akibat tidak ditaatinya
oleh suatu kapal perang atau kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan
untuk tujuan non-komersial peraturan perundangan Negara Pantai mengenai
lintas melalui laut teritorial atau ketentuan UNCLOS atau peraturan
hukum internasional lainnya. Dengan menggiring kapal tanpa memberikan
identitasnya, berarti Australia melepas tanggung jawabnya terhadap
kerugian-kerugian yang mungkin saja (akan) dirasakan Indonesia akibat
bagian dari operasi kebijakan perlindungan perbatasan Australia. Perlu
diingat bahwa Indonesia bukanlah negara penandatangan Konvensi 1951 dan
Protokol 1967 (tentang status pengungsi). Sehingga, Indonesia tidak
diamanatkan untuk menampung mereka. Alasan Indonesia belum mau
menandatangani konvensi terkait pengungsi tersebut diantaranya karena
masalah kesanggupan secara finansial dan keamanan. Indonesia sendiri
masih mengalami kesulitan untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Jika
pendapatan negara harus dialokasikan untuk menghidupi atau memfasilitasi
pengungsi, Indonesia belum sanggup.
Begitu pula dengan masalah keamanan. Sebagian dari pencari suaka ada
yang menggunakan sindikat penyelundup atau perdagangan manusia.
Orang-orang yang datang dengan cara seperti ini berpotensi menimbulkan
ancaman bagi Indonesia. Di negara terdahulunya mungkin ada yang memiliki
latar belakang ikut dalam kelompok teroris. Sehingga, jika pintu suaka
dibuka lebar oleh Indonesia, berarti Indonesia harus bekerja lebih keras
memperketat keamanannya agar menutup peluang berkembangnya ancaman yang
dapat membahayakan keamanan nasional, seperti teroris, perdagangan
manusia, penyelundupan obat terlarang, atau penyelundupan senjata
ilegal.
Dengan menggiring kembali pencari suaka ini ke Indonesia, secara
tidak langsung Australia memaksa Indonesia untuk mengikuti kemauan dan
kepentingan Australia. Bagi Australia, mengurusi pengungsi membutuhkan
banyak biaya yang mana biaya tersebut seharusnya dapat dialokasikan
untuk kesejahteraan, pendidikan, dan infrastruktur negaranya. Begitu pun
Indonesia. Australia yang tergolong negara maju saja masih membutuhkan
banyak biaya untuk meningkatkan pendidikan dan aspek lainnya, terlebih
lagi Indonesia. Australia tidak dapat memaksakan keinginannya untuk
mencapai kepentingan nasionalnya dengan merugikan negara lain.
Sebagaimana Australia ingin dihargai kedaulatannya oleh Indonesia,
begitu pula Indonesia. Apalagi sebagai negara bertetangga, Australia
hendaknya memikirkan secara cermat hal tersebut.
Kebijakan pemulangan/penggiringan kapal kembali ke negara embarkasi
ini sesungguhnya juga dilakukan oleh negara lainnya yang cukup
direpotkan oleh masalah imigrasi, contohnya Amerika Serikat dan Italia.
Namun, apa yang berbeda adalah Amerika Serikat telah memiliki perjanjian
dengan negara embarkasi, yaitu Haiti. Begitu pula dengan Italia yang
telah memiliki kesepakatan dengan Libia terkait operasi kebijakan ini.
Sedangkan keadaan yang terjadi saat ini, Indonesia belum bersepakat
dalam menanggapi kebijakan pemulangan kapal oleh Australia ini.
Dari sisi hukum, Indonesia berhak mengajukan permasalahan ini ke The International Tribunal for The Law of The Sea. Meskipun nampaknya Indonesia tidak akan mengambil langkah sejauh itu karena pelanggaran perbatasan ini masih termasuk minor incursion.
Akan tetapi, bukan berarti Indonesia tidak dapat bertindak tegas.
Indonesia berhak untuk mengirimkan protes keras atas pelanggaran
kedaulatan yang dilakukan Australia dan atas pelanggaran Australia
terhadap UNCLOS di perairan Indonesia. Terlepas permintaan maaf
Pemerintah Australia, Indonesia seharusnya tidak bersikap setenang ini
ketika kedaulatannya dilanggar karena akan memberikan dampak negatif
terhadap citra Indonesia.
2. Ada masalah dengan pertahanan Indonesia
Terdapat beberapa informasi yang dibutuhkan negara lain untuk
mengukur pertahanan suatu negara. Melalui pelanggaran ini, Australia
secara tidak langsung telah dapat mengukur pertahanan Indonesia.
Pelanggaran ini telah memberi gambaran kepada Australia (dan pihak
internasional lainnya) mengenai kekuatan pertahanan maritim Indonesia,
setidaknya di wilayah perairan selatannya. Pelanggaran ini juga
menggambarkan kapabilitas Indonesia dalam menjaga keamanan maritimnya,
dan sikap Indonesia ketika kepentingan nasional mutlaknya dilanggar.
Pelanggaran kedaulatan oleh Australia terhadap Indonesia ini tidak
hanya berlangsung satu kali, tetapi berkali-kali. Hingga ketika Fairfax
Media menaikkan berita ini ke publik, barulah pelanggaran ini berhenti.
Kenyataan bahwa pelanggaran terjadi sebanyak enam kali dari Desember
hingga Januari, menimbulkan pertanyaan; apakah tidak ada instansi yang
berwenang berjaga di sekitar lokasi? Apakah tidak ada radar? Seandainya
media Australia tidak memberitakan dan Pemerintah Australia tidak
mengakui, apakah Indonesia akan terus tidak mengetahui bahwa telah
terjadi pelanggaran di perairan Indonesia? Dan sampai kapan pelanggaran
ini akan terus terjadi?
Gambar 2: Ilustrasi: Errick Lobbecke, Sumber: News Limited (dalam The Australian)
Kenyataan ini sesungguhnya sangat menohok. Bukan hanya karena
kedaulatan Indonesia dilanggar dengan demikian mudahnya, tetapi juga
karena pelanggaran ini justru ditemukan oleh media luar dan diakui oleh
pelaku itu sendiri. Indonesia memiliki perairan yang begitu luas. Untuk
mengamankan semuanya memang bukan perkara gampang. Tetapi, itu tidak
bisa dijadikan alasan karena konsekuensi dari pelanggaran ini tidak
kecil. Insiden ini mungkin akan segera dilupakan karena toh Australia
sudah meminta maaf dan ini hanya berkaitan dengan masalah imigran
ilegal yang mana memang bukan menjadi masalah prioritas bagi Indonesia.
Akan tetapi, gambaran dunia mengenai pertahanan maritim Indonesia dan
reaksi Indonesia ketika kedaulatannya dilanggar menimbulkan suatu
interpretasi negatif.
Dari pelanggaran ini terdapat beberapa interpretasi yang dapat kita
pahami; (1) Indonesia tidak memiliki kemampuan penginderaan yang baik
karena tidak mampu mendeteksi atau mengetahui kapan dan dimana jelasnya
pelanggaran terjadi, (2) tidak ada kapal perang atau kapal institusi
terkait yang berpatroli di sekitar perairan selatan Indonesia (Jawa
Barat hingga Nusa Tenggara Barat), (3) pertahanan Indonesia lemah karena
dengan demikian mudahnya mampu diterobos berkali-kali oleh Angkatan
Laut Australia, (4) Indonesia tidak bereaksi keras ketika kepentingan
Mutlaknya dilanggar.
Berkaitan dengan poin keempat, dapat kita lihat dari sikap Indonesia
yang tidak mengirimkan protes keras untuk meminta pertanggungjawaban
Australia terhadap pelanggaran ini. Sebagai perbandingan, mari kita
tengok sikap Timor Leste ketika mengetahui kedaulatannya dilanggar
Australia. Desember 2013 lalu, Timor Leste mengajukan gugatan ke International Court of Justice di Den Haag karena menduga Australia telah melakukan spionase selama proses kesepakatan Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS).
Australia diduga menyusup pada proyek bantuan renovasi kantor kabinet
Timor Leste dan memasang alat penyadap di dinding-dinding kantor kabinet
pada tahun 2004 dengan tujuan menguping pembahasan perjanjain tersebut.
Bagaimanapun hasilnya, Timor Leste dengan sangat berani telah melakukan
langkah besar dengan membawa negara tetangga sekelas Australia ke ICJ
ketika kedaulatan dan kepentingan nasionalnya terganggu.
Timor Leste saja berani melakukan sikap keras, tapi Indonesia?
Indonesia, sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan memiliki peran
besar dalam ASEAN, hanya menunggu konfirmasi dan kedatangan para pejabat
Australia terkait ke Indonesia untuk menjelaskan permasalahan dan
meminta maaf secara langsung, tetapi tidak menuntut pertanggungjawaban
apapun dari pemerintah Australia. Tingkat pelanggaran memang berbeda.
Apa yang terjadi terhadap Indonesia memang termasuk minor incursion. Tapi,
permasalahannya adalah Australia membeberkan kelemahan Indonesia secara
terbuka di dunia. Sepatutnya, Indonesia tidak bersikap sekalem ini
menanggapi insiden ini. Pemerintah Australia pun dengan tenangnya tetap
melanjutkan operasi pemulangan kapal tersebut sambil berjanji tidak akan
mengulangi kesalahan lagi. Tapi, apa yang dapat menjamin janji verbal ini? Trust.
Kepercayaan dalam Hubungan Internasional adalah ekspektasi positif
terkait motif dan niat aktor lainnya; kesediaan yang didasarkan oleh
kepercayaan bahwa aktor tersebut dengan kebijaksanaan mereka akan
menghindari hal-hal yang dapat merugikan kepentingan negara yang memberi
kepercayaan (Wheeler 2012; Kydd 2005). Pada pelanggaran kedaulatan
pertama, yaitu insiden penyadapan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
“menghukum” Australia dengan memberikan code of conduct untuk memulihkan hubungan baik antar kedua negara dan memastikan agar insiden demikian tidak terjadi lagi.
Abbott juga mengutus Menteri Luar Negerinya, Julie Bishop, untuk
menemui Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa pada 5 Desember
2013. Pada kunjungan tersebut Bishop melalui jumpa pers menyampaikan
penyesalan Pemerintah Australia atas tindakan mereka yang telah melukai
Presiden dan rakyat Indonesia. Melalui Bishop, Pemerintah Abbott
menegaskan tidak akan melakukan apapun dengan menggunakan aset-aset dan
sumber-sumber daya di pemerintahan dengan berbagai cara untuk menyakiti
Indonesia (DFAT 2013). Komitmen ini terdengar sangat menjanjikan. Tapi,
selang satu bulan janji verbal ini dinyatakan, Australia melanggar janjinya dan kembali melukai kedaulatan Indonesia.
Dampak dari citra bahwa Indonesia tidak cukup mampu menjaga
pertahanan keamanan maritimnya berpotensi mengundang campur tangan
negara lain terhadap urusan pertahanan keamanan Indonesia. Terkait
dengan operasi pemulangan kapal ini, sesungguhnya Australia dapat
melakukannya dengan aman. Selain beroperasi diluar laut teritorial
Indonesia, cara paling aman mengembalikan perahu adalah menyerahkan
kontrol pencegatan perahu kepada Angkatan Laut Indonesia di ujung laut
teritorial Indonesia. Tetapi, jika Australia menilai Indonesia tidak
mampu melakukannya, Australia, dengan persetujuan Indonesia, dapat
membawa perahu-perahu tersebut langsung ke tepi laut Indonesia (Stewart
2012). Mengingat etika bertetangga yang baik tidak dipenuhi oleh
Australia, maka jika kebijakan pengantaran langsung ke pantai Indonesia
disepakati, kita tidak tahu apa yang Australia mungkin lakukan sepanjang
melakukan “pengantaran” kembali perahu-perahu pencari suaka ke pantai
Indonesia tersebut.
3. Publikasi kebijakan OSB lebih luas
Bagi Australia sendiri, meskipun pelanggaran ini mengancam ketegangan
hubungan dengan Indonesia, namun penyiaran pelanggaran ini sedikit
banyak memberi keuntungan bagi Australia. Sejauh ini, media memiliki
kekuatan besar dalam memengaruhi banyak hal; membentuk interpretasi dan
opini masyarakat terhadap suatu fenomena, kontrol agenda kebijakan
pemerintah, membentuk citra calon pemimpin atau partai politik, atau
menyebarkan informasi. Meski terdengar sederhana, namun nyatanya dampak
media sebagai penyebar informasi tidak sesederhana itu. Banyak konflik
dan bencana menjadi sorotan di dunia ini, sedangkan yang lain tidak.
Ketika terjadi bencana alam tsunami di Asia 2004 lalu, Indonesia
beruntung mendapat humanitarian aid dari masyarakat internasional
berkat penyiaran berita yang cukup intens oleh CNN. Pada tahun yang
sama, Darfur sedang mengalami konflik. Namun, media tidak banyak
memberitakan mengenai detail konflik yang terjadi di negara Sudan
tersebut. Sehingga, perhatian masyarakat internasional pun tidak begitu
terarah pada Konflik Darfur.
Begitu besar peran media massa sehingga frekuensi penyiarannya mampu
mengalihkan perhatian publik dari suatu isu ke isu yang lainnya. Pada
saat terjadi pelanggaran, media Australia secara intens terus
memberitakan mengenai pelanggaran perbatasan Indonesia dan kebijakan
OSB. Meskipun tidak mendeskripsikan apa yang dilakukan tim pelaksana
selama operasi tersebut karena pemerintah Australia tidak mau secara
terbuka menjelaskan hal tersebut, namun, rekaman dan hasil wawancara
dengan pencari suaka yang berhasil didapat media Australia cukup jelas
mendeskripsikan nasib seperti apa yang akan pencari suaka hadapi jika
mereka tetap memilih untuk menempuh cara ilegal untuk masuk ke teritori
Australia.
Target kebijakan pemulangan kapal adalah; (1) pencari suaka yang
datang dengan menggunakan perahu dan tidak memiliki dokumen atau alasan
sah untuk memasuki teritori Australia, (2) penyelundup manusia atau
orang-orang yang membantu menyediakan akses ilegal kepada para pencari
suaka. Tanpa adanya pelanggaran, sesungguhnya kebijakan ini sendiri
sudah ramai dibicarakan dikarenakan bertentangan dengan hukum nasional
Australia dan hukum internasional yang ditandatangani Australia. Dengan
timbulnya pelanggaran dalam pelaksanaan, operasi kebijakan ini menjadi
kian populer. Insiden ini bagaikan pepatah; sekali mendayung dua-tiga
pulau terlewati. Resiko pelanggaran ini memang besar, memperburuknya
hubungan kedua negara yang sebelumnya sudah buruk. Akan tetapi, terdapat
manfaat pula yang didapatkan Australia dari kejadian ini.
Australia telah memberitahukan paling tidak kepada target kebijakan
pemulangan kapal, bahwa mereka serius menjalankan kebijakan ini dan
apapun yang menyangkut ancaman terhadap perbatasan mereka akan disikapi
dan ditindak dengan tegas, dalam hal ini kedatangan imigran ilegal
melalui laut. Serius disini dapat kita lihat dari sikap Australia yang
tetap konsisten melanjutkan operasi pemulangan kapal, meskipun telah
melakukan pelanggaran kedaulatan negara tetangga. Ini menggambarkan
sikap Australia yang akan terus maju pantang mundur demi mencapai
tujuannya untuk menghentikan kedatangan manusia perahu ke Australia.
Pemberitaan ini sekaligus pula menjadi peringatan bagi calon pengungsi
agar tidak menggunakan jalur ilegal untuk mendapatkan suaka.
Pelanggaran ini terjadi pada saat yang tepat.Para penyelundup manusia
biasanya beraksi pada akhir bulan Musim Monsun. Musim ini berlangsung
dari Oktober hingga April. Dengan adanya pemberitaan operasi pemulangan
perahu beberapa bulan sebelum Monsun berakhir, sekaligus pula menjadi
peringatan bagi pencari suaka dan menciutkan niat mereka untuk
menggunakan “jasa” penyelundup manusia berlayar ke Pulau Christmas
secara ilegal. Bukan hanya karena mereka mengetahui bahwa peluang untuk
masuk ke wilayah Australia sangat sulit dan ketat, tetapi juga karena
para pencari suaka ini tahu apa yang akan terjadi pada mereka jika tetap
nekat berlayar.
Dalam program berita ABC 7:30, disiarkan bagaimana kapal penyelamat
sangat menyiksa bagi siapapun yang berada di dalamnya. Dengan fasilitas
minim, kapal penyelamat yang sempit, bau, dan panas seperti sauna
tersebut dikatakan menimbulkan rasa traumatis bagi para pencari suaka
dan jera untuk melakukan upaya mencari suaka dengan jalur demikian,
meskipun para penyelundup manusia terus mendorong mereka (ABC 7.30
2014). Jika para pencari suaka telah enggan untuk mencoba perjalanan
ilegal melalui laut, penggunaan jasa sindikat penyelundup manusia juga
akan berkurang.
Maka, meskipun mendapat banyak protes dari pihak oposisi, aktivis
HAM, dan resiko memburuknya hubungan bilateral dengan Indonesia, namun
pemberitaan pelanggaran ini nampaknya dapat menguntungkan Australia
dalam mencapai kepentingannya. Namun, penyelesaian bagi Australia, bukan
berarti penyelesaian bagi semua karena ini berarti, Republik ini harus
menghadapi tugas baru, yaitu lebih memperketat pengamanan di perbatasan
perairan Indonesia.
Kesimpulan
Dari pelanggaran ini, terdapat kekurangan Indonesia; lemahnya
pertahanan maritim dan ketidaktegasan sikap Indonesia dalam menanggapi
kasus pelanggaran kedaulatan. Sikap Indonesia yang lemah dalam merespon
insiden ini mempertaruhkan citra Indonesia di mata internasional.
Terlepas dari niat baik Australia, pengakuan Australia bahwa kapal
mereka telah melanggar kedaulatan Indonesia sebanyak enam kali kepada
dunia pada saat melakukan kebijakan perlindungan perbatasan mereka telah
mempermalukan Indonesia. Untuk itu, sebagaimana negara yang
dipermalukan di taraf internasional, Indonesia seharusnya juga
memberikan respon yang keras (bukan berarti offensive) dalam rangka menuntut pertanggungjawaban Australia.
Pelajaran lain yang perlu dipahami, bahwa Indonesia sudah harus mulai
mengubah pandangan mengenai negara tetangganya ini; apakah sahabat,
teman, atau musuh. Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, Indonesia
tidak pernah melihat adanya ancaman dari selatan (baca: Australia).
Indonesia selalu mewaspadai ancaman-ancaman yang datang dari utara.
Perselisihan perbatasan, pelanggaran-pelanggaran di perbatasan, dan
masalah perompak memang banyak terjadi di perairan utara Indonesia.
Terlebih dengan perkembangan konflik Laut Cina Selatan dan
dipublikasikannya paspor baru Cina yang memasukkan perairan Natuna dalam
peta paspor mereka ikut serta menyedot perhatian Indonesia keadaan dan
isu di utara, sehingga tidak begitu peka dengan tetangga di sebelah
selatan.
Dengan terjadinya dua pelanggaran dan tetap diteruskannya operasi
pemulangan kapal, Indonesia harus meninjau kembali sikap dan strategi
pertahanannya dalam mewaspadai tindak tanduk yang dilakukan Australia.
Tidak ada yang dapat menjamin kekonsistenan janji verbal kecuali
dibuktikan dengan niat dan tindakan nyata untuk bersikap baik dan lebih
menghargai Indonesia. Sepanjang belum ada bukti dari tindakan tersebut,
maka sepanjang itulah pula Indonesia harus cermat menyikapi
tindak-tanduk perlakukan Australia terhadap negara kita.
Daftar Pustaka:
ABC 7.30 (2014) ABC News, Maret 17, 07h30.
ACBPS & ADF (2014), Joint Review of Positioning of Vessels Engaged in Operation Sovereign Borders,
tersedia di:
http://newsroom.customs.gov.au/releases/joint-review-of-positioning-of-vessels-engaged-in-operation-sovereign-borders-is-completed
[diakses pada 8 April 2014].
Australian Department of Foreign Affairs and Trade (2013) Media Conference with Indonesian Foreign Minister Natalegawa [press release], Desember
5, tersedia di: http://www.
foreignminister.gov.au/transcripts/Pages/2013/jb_tr_131205.aspx?ministerid=4
[diakses pada 19 April 2014].
Bourke, L. (2014), ‘Navy Breached Indonesian Waters Six Times Under Operation Sovereign Borders, Review Finds’, ABC News, Februari
20, tersedia di: http://www.abc.net.au/news/
2014-02-19/navy-breached-indonesian-waters-six-times-review-finds/5270478
[diakses pada 1 April 2014].
Gale, A. (2014), World DGPS Database for Dxers, April 28, tersedia di: http://www. ndblist.info/datamodes/worldDGPSdatabase.pdf [diakses 1 Mei 2014].
Kydd, A. (2005), Trust and Mistrust in International Relations, Princeton: Princeton University Press.
Liberal Party of Australia & The Nationals (2013) The Coalision’s Operation Sovereign Borders Policy, tersedia di: http://lpaweb-static.s3.amazonaws.com/Policies/Operation SovereignBorders_Policy.pdf [diakses pada 4 April 2014]
Lobbecke, E. (2014) ‘Boats Policy a boon for Jakarta as well, opinion’, The Australian, Januari
20, tersedia di:
http://www.theaustralian.com.au/opinion/boats-policy-a-boon-for-jakarta-as-well/
story-e6frg6zo-1226805373095# [diakses pada 10 April 2014]
Phillips, J. & Spinks, H. (2011), Boat Arrivals in Australia Since 1976, Januari
5, tersedia di:
http://www.aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/pubs/BN/2011-2012/BoatArrivals
[diakses pada 15 April 2014].
Radio Australia (2013), ‘A Coalition government for Australia – What Does this Mean for You?’, ABC Radio Australia, September
2013, tersedia di: http://www.radioaustralia.net.au
/international/2013-09-07/a-coalition-government-for-australia-what-does-this-mean-for-you/
1187371 [diakses pada 2 April 2014].
Roberts, G. (2013) ‘Indonesia Rejects the Coalition’s Asylum Seeker Policy’, ABC News, Juni
14, tersedia di:
http://www.abc.net.au/news/2013-06-14/indonesia-rejects-opposition-asylum-seeker-policy/4753128
[diakses pada 15 April 2014].
Stewart, C. (2012), ‘Law of the Sea Versus the Dictates of Canberra’, The Australian,
Maret 10, tersedia di:
http://www.theaustralian.com.au/national-affairs/immigration/law-of-the-sea-versus-the-dictates-ofcanberra/story-fn9hm1gu-1226295248652
[diakses pada 18 April 2014].
Tuckfield, H. (2014), ‘Australia’s Troubling Asylum Seeker Policy’, The Diplomat, Februari 18, tersedia di: http://thediplomat.com/2014/02/australias-troubling-asylum-seeker-policy/ [diakses pada 8 April 2014].
UNHCR (2012) UNHCR Asylum Trends 2012: Levels and Trends in Industrialized Countries, Geneva: UNHCR.
________(2014) UNHCR Asylum Trends 2014: Levels and Trends in Industrialized Countries, Geneva: UNHCR
United Nations (2014) World Economic Situation and Prospect, New York: United Nations.
Wheeler, N. (2012), ‘Trust Building in International Relations’, South Asian Journal of Peacebuilding, Vol. 4 (No. 2), tersedia di: http://www.wiscomp.org/pp-v4-n2/nick%20 wheeler.pdf [diakses pada 20 April 2014].
Wroe, D. (2014), ‘Abbott Government Spends $2.5m on Lifeboats to Return Asylum Seekers to Indonesia’, The Sydney Morning Herald, Februari
25, tersedia di http://www.smh.com.au/
federal-politics/political-news/abbott-government-spends-25m-on-lifeboats-to-return-asylum-seekers-to-indonesia-20140225-33f0n.html
[diakses pada 11 April 2014].
[1] Di Australia, kedatangan perahu yang tidak sah (unauthorized boat atau irregular maritime arrivals) umumnya disebut juga manusia perahu (boat people).
Sebutan ini pertama kali digunakan di Australia sejak kedatangan perahu
yang membawa pencari suaka sebagai akibat Perang Vietnam tahun 1976
(Phillips and Spinks, 2013).
[2] SIEVs adalah kapal-kapal yang dicurigai membawa orang-orang yang ingin masuk ke Australia tanpa visa.
[3]
Untuk berita-berita terkait sikap Indonesia terhadap kebijakan
pemulangan kapal tersebut dapat dilihat di
http://www.smh.com.au/execute_search.html?text=Indonesia+boat+policy&ss=National+Times
[4] Dikutip dari pernyataan yang diungkapkan oleh Scott Morrisson pada Konferensi pers, Jumat, 17 Januari 2014; “…
We deeply regret the events, however, the Australian Government remains
committed to continuing to implement our policies to stop the boats” (video )
Posted in Kajian 2014.
http://www.fkpmaritim.org/pelanggaran-australia-terhadap-perairan-indonesia-apakah-indonesia-sudah-cukup-peduli
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.