Analisis Intelijen Gerakan ISIS di Indonesia

Pendahuluan
Dunia dikejutkan gerakan Islam garis keras beberapa tahun terakhir ini. Kelompok yang menamakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ini bergerak dengan kekejian luar biasa. ISIS berhasil merekrut warga dari banyak negara untuk berjihad di Suriah. Banyak anak muda yang bergabung dengan ISIS, tidak hanya dari negara Asia, tetapi juga dari Australia dan Eropa yang basis masyarakatnya bukan muslim.
Indonesia dengan penduduk muslim yang besar patut waspada dan siaga dengan fenomena ISIS. Rangkaian teror yang dilakukan Islam garis keras selama ini seharusnya sudah cukup menjadi catatan buruk bagi masyarakat Indonesia. Kekerasan yang dilakukan oleh ISIS terhadap oposisi di Suriah menunjukkan bagaimana ISIS mencapai tujuannya secara keji dan tidak manusiawi. Model seperti ini jangan sampai terjadi di Indonesia dan di belahan bumi manapun juga walaupun mengatasnamakan jihad.

Dari beberapa video yang dirilis oleh ISIS, beberapa warga negara Indonesia sudah terdeteksi bergabung dengan ISIS. Tren relawan yang akan bergabung ke ISIS dengan modus umroh terdeteksi oleh pemerintah. Turki menjadi negara transit para relawan sebelum menyeberang ke Suriah. Penggalangan ISIS tentu sangat mengkhawatirkan. Hal ini berbahaya, terutama jika para relawan ini kembali ke Indonesia. Arus balik relawan ISIS yang berasal dari Indonesia wajib untuk diwaspadai agar tidak menjadi pendadakan strategis bagi negara.

Teknik Analisis Kontraterorisme
Dalam melakukan kajian kontraterorisme diperlukan suatu metode kajian tertentu sehingga dapat diketahui langkah-langkah antisipasi gerakan terorisme tersebut. Teknik analisis kontraterorisme juga berguna untuk membaca sinyal pendadakan strategis.
Prunckun dalam bukunya yang berjudul Handbook of Scientific Methods of Inquiry fo Intelligence Analysis (2010) menyebutkan bahwa ada beberapa rangkaian teknik yang dapat digunakan dalam analisis kontraterorisme sebagai berikut :

  1. Treath Analysis
Ancaman (treath) adalah tekad/kemauan seseorang atau organisasi untuk menimbulkan bahaya bagi pihak lain. Ancaman dapat dilakukan terhadap sebagian besar entitas orang, organisasi, dan negara.
Potensi bahaya bisa dalam berbagai bentuk dan dapat menyebabkan penderitaan secara fisik atau emosional / mental. Dalam melakukan ancaman, pengancam (teroris) tidak perlu secara terbuka menyatakan tekad mereka. Namun kata-kata atau tindakan secara eksplisit memudahkan identifikasi dan analis untuk menilai ancaman tersebut.
Terjadinya ancaman tidak begitu saja, ada dua hal utama pendorong ancaman terjadi, yaitu niat/intensitas (intent) dan kapabilitas (capability) atau kemampuan. Sementara itu niat akan didorong oleh oleh faktot kemauan / hasrat (desire) dan harapan (expectation). Kapabilitas akan dipengaruhi oleh faktor pengetahuan (knowledge) dan sumber daya (resources).

  1. Vulnerability Analysis
Kerentanan (Vulnerability) adalah kelemahan dalam organisasi yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar. Kerentanan juga merupakan kemampuan organisasi untuk bertahan dari ancaman. Kerentanan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu daya tarik (attractiveness), kemudahan untuk diserang (ease of attack), dan dampak (impact).
Objek yang mempunyai daya tarik kuat akan mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi. Sebagai contoh di Indonesia, simbol-simbol negara barat seperti kedutaan, rumah makan cepat saji, hotel dengan tamu mayoritas orang asing akan lebih sering untuk dijadikan sasaran terorisme daripada objek lain.
Kemudahan suatu objek untuk diserang dan dampak serangan juga akan menjadi pertimbangan utama terorisme untuk menetapkan sasaran.

  1. Risk Analysis
Risiko (risk) merupakan fungsi dari kemungkinan dan konsekuensi. Teknik analisis risiko dapat digunakan untuk berbagai situasi dan organisasi.  Salah satu fungsi analisis risiko adalah untuk menilai suatu obyek pada situasi yang mungkin menjadi target para pelaku kriminal atau terorisme.
Analisis risiko akan menghasilkan sebuah rekomendasi kepada organisasi atau pengambil keputusan untuk menerima risiko yang akan terjadi atau memperlakukan/ mengendalikan risiko (menghindari, mengurangi, atau menunda).

  1. Prevention, Preparation, Response, and Recovery (PPRR) Planning
PPRR Planning terdiri dari empat bagian yaitu pencegahan (prevention), persiapan (preparation), respon/tanggapan (response), dan pemulihan (recovery). Pencegahan adalah suatu langkah untuk menghentikan risiko yang akan terjadi. Persiapan adalah bagaimana organisasi mempersiapkan diri jika risiko terjadi. Respon / tanggapan tindakan apa yang akan dilakukan jika risiko terjadi. Terakhir adalah fase pemulihan, yaitu langkah-langkah yang akan dilakukan setelah risiko terjadi.

Kajian tentang estimasi intelijen gerakan ISIS di indonesia dengan menggunakan teknik analisis kontraterorisme sangat tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini didasarkan atas pengalaman Indonesia yang sering kali mengalami serangan dari teroris yang memakan korban jiwa tidak sedikit. Faktor ancaman global dari teroris terutama ISIS yang sekarang menjadi perhatian dunia tidak bisa dianggap remeh. Indonesia sebagai negara Islam yang besar diharapkan berperan aktif dalam program kontra terorisme terutama menyangkut gerakan ISIS di dunia.
Analisis kontraterorisme diharapkan menghasilkan rekomendasi bagi pengambil keputusan untuk mengambil tindakan bagi pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia.

Aplikasi Teknik Analisis Kontraterorisme Gerakan ISIS di Indonesia 
Terorisme dapat didefinisikan sebagai sebuah aksi kekerasan terencana dengan motivasi politik. Kekerasan dalam terorisme bisa terjadi terhadap negara atau terhadap kelompok tertentu. Aksi terorisme bertujuan untuk intimidasi atau memaksakan kepentingan tertentu karena dianggap cara lain sudah tidak mungkin dilakukan.
Selain itu hal tersebut, teroris mempunyai keyakinan bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang diperkuat dengan tafsir dogma secara parsial. Definisi tersebut linear dengan arti terorisme yang merujuk pada KBBI Pusat Bahasa edisi IV yaitu penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).

Sebelum memahami potensi-potensi teror di Indonesia, maka perlu ada pembagian latar belakang terorisme yang terjadi di Indonesia. Pertama adalah terorisme yang dilatarbelakangi oleh motifasi politik. Gerakan seperatisme di berbagai daerah yang terjadi selama ini adalah salah satu terorisme politis. Mereka melakukan aksi teror dan perlawanan kepada pemerintah dengan tujuan memperoleh kemerdekaan dan lepas dari NKRI. Teror-teror politis dalam skala lebih kecil terjadi ketika Pemilu, kampanya secara tidak sehat sebenarnya adalah bagian dari terorisme politis.

Kedua adalah terorisme dengan latar belakang ideologis. Teror ini dilakukan secara terbatas oleh kaum dengan padangan ideologis tertentu. Cara-cara radikal mereka dengan bom bunuh diri yang menimbulkan korban baik jiwa maupun materi yang sangat besar adalah bentuk terorisme dengan tujuan untuk memaksakan ideologi yang mereka anut. Gerakan ISIS di Timur Tengah merupakan terorisme ideologis walaupun kemungkinan ada motif-motif turunan seperti ekonomi.

Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan perlu langkah antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang kadang tidak dipahami oleh orang tertentu cukup dijadikan alasan untuk melakukan teror. Berikut ini adalah potensi-potensi terorisme tersebut :
  • Terorisme yang dilakukan oleh negara lain di daerah perbatasan Indonesia. Beberapa kali negara lain melakukan pelanggaran masuk ke wilayah Indonesia dengan menggunakan alat-alat perang sebenarnya adalah bentuk terorisme. Lebih berbahaya lagi seandainya negara di tetangga sebelah melakukan terorisme dengan memanfaatkan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan dan kurang diperhatikan oleh negera. Nasionalisme yang kurang dan tuntutan kebutuhan ekonomi bisa dengan mudah orang diatur untuk melakukan teror.
  • Terorisme yang dilakukan oleh warga negara yang tidak puas atas kebijakan negara. Misalnya bentuk-bentuk teror di Papua yang dilakukan oleh OPM. Tuntutan merdeka mereka ditarbelakangi keinginan untuk mengelola wilayah sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Perhatian pemerintah yang dianggap kurang menjadi alasan bahwa kemerdekaan harus mereka capai demi kesejahteraan masyarakat. Terorisme jenis ini juga berbahaya, dan secara khusus teror dilakukan kepada aparat keamanan.
  • Terorisme yang dilakukan oleh organisasi dengan dogma dan ideologi tertentu. Pemikiran sempit dan pendek bahwa ideologi dan dogma yang berbeda perlu ditumpas menjadi latar belakang terorisme. Bom bunuh diri, atau aksi kekerasan yang terjadi di Jakarta sudah membuktikan bahwa ideologi dapat dipertentangkan secara brutal. Pelaku terorisme ini biasanya menjadikan orang asing dan pemeluk agama lain sebagai sasaran.

Ratusan jiwa tewas dan lebih banyak lagi korban luka di Indonesia akibat aksi teroris. Tahun 2001 bom meledak di Bali, disusul serangan Bom di Hotel J.W Marriot pada tahun 2003. Kedutaan Australia di Jakarta tak luput dari serangan bom teroris pada tahun 2004. Tahun 2005 Bali mengalami serangan bom dari teroris untuk kedua kalinya. Hotel J.W Marriot dan Ritz-Carlton pada tahun 2009 juga menjadi sasaran bom dari teroris.

Peristiwa terorisme international di Timur Tengah yang dilakukan oleh ISIS lebih mengerikan lagi. Berbagai berita mengabarkan bagaimana aksi ISIS yang penuh kebrutalan dan kekejaman terhadap kelompok dengan ideologi berbeda dan kaum minoritas. Aksi ISIS patut diwasapadai oleh Pemerintah Indonesia mengingat ada beberapa warga negara Indonesia turut hijrah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Para simpatisan ISIS ini jika kembali lagi ke Indonesia tentu akan sangat berbahaya.

Aksi-aksi simultan serangan bom dari teroris di Indonesia dan aksi teroris di negara lain menujukkan betapa kejamnya teroris dalam mencapai tujuan. Pemerintah Indonesia perlu suatu strategi yang komprehensif untuk menangani terorisme. Salah satu strategi adalah dengan menggunakan pendekatan intelijen. Ancaman terorisme di Indonesia tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga luar negeri. Sebagian besar pelaku terorisme di Indonesia adalah warga negara Indonesia yang sudah hijrah ke luar negeri untuk mendapatkan pengalaman dan membangun jaringan secara global.

Dalam konteks aksi terorisme di Indonesia maka kelompok radikal kanan menjadi pelaku dominan dengan tujuan utama meneruskan perjuangan berdirinya Negara Islam Indonesia [1].  Negara Islam Indonesia sebagai sebuah gerakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di Garut Jawa Barat. Cara-cara kekerasan termasuk penggunaan senjata dilakukan oleh kelompok ini untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia.

Kasus-kasus pada era orde baru yang dapat dimasukkan dalam kategori terorisme seperti Komando Jihad (1980), Cicendo (1981), Woyla (1981) dan Borobudur (1985) merupakan bukti kaum teroris ingin menunjukkan eksistensinya. Dari beberapa kasus di atas maka aksi terorisme yang sangat terkenal adalah aksi pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla pada 28 Maret 1981.

Aksi pembajakan pesawat tersebut berhasil ditumpas oleh RPKAD dengan pimpinan Benny Moerdani dan komandan lapangan Sintong Panjaitan. Aksi pasukan RPKAD tersebut berhasil menewaskan semua teroris/pembajak pesawat (Machrizal, Zukfikar, Wendy Mohammad Zein, Abu Sofyan dan Imronsyah) dan berhasil menyelamatkan semua penumpang, walaupun Pilot dan seorang anggota RPKAD gugur tertembak. Pembajakan pesawat Woyla ini menujukkan bahwa keinginan mendirikan Negara Islam Indonesia sangat kuat dan menggunakan cara-cara kekerasan dengan senjata [2].
Sebagai negara besar yang pernah mengalami aksi terorisme, Indonesia menjadi salah satu daerah operasi bagi  gerakan radikal Islam. ISIS sebagai seuatu kelompok radikal Islam yang sedang membesar di Timur Tengah sudah mulai menggurita di Indonesia.
Kelompok yang melakukan teror secara keji ini bahkan memamerkan kebiadabannya ke media sosial. Aksi pemenggalan kepala manusia yang dianggap musuh terus dilakukan, bahkan dalam beberapa kasus melibatkan anak-anak.

Kelompok radikal ISIS cukup ampuh untuk menarik minat para pemuda dan pemudi dari berbagai negara untuk ikut berjuang / jihad di Suriah. ISIS, kelompok Islam garis keras yang dipimpin oleh Abu Bakr al-Baghdadi sukses merekrut relawan dari banyak negara termasuk dari Indonesia. Kelompok terorisme Islam garis keras di Indonesia yang sebelumnya terdiri dari banyak kelompok sekarang seolah-olah melebur jadi satu menumpang ISIS yang sedang naik daun.

Seperti diketahui bahawa sebelum ISIS muncul menjadi fenomena gerakan radikal Islam, gerakan terorisme Islam radikal di Indonesia terdiri dari tiga kelompk besar. Kelompok pertama adalah kelompok NII (Negara Islam Indonesia), Jemaah Islamiyah, dan Jamaah Ansharut Tauhid. Pada mulanya kelompok-kelompok tersebut mempunyai tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Namun, dengan aktifnya kepolisian melakukan pemberantasan terorisme dan bersamaan pula ISIS melancarkan aksinya di Suriah, maka kelompok-kelompk Islam radikal di Indonesia terlihat melebur bersimpatisan kepada ISIS. Selain itu kelompok radikal Islam di Indonesia mempunyai tujuan yang sama untuk mewujudkan khilafah Islamiyah.

Analisis ancaman dari gerakan ISIS di Indonesia adalah sebagai berikut : kelompok garis keras adalah kelompok yang mempunyai hasrat yang sangat tinggi. Mereka akan melakukan apapun dan mengorbankan apapun demi tercapainya hasrat yang dimiliki. Bahkan kelompok garis keras ISIS cenderung bangga dalam melakukan kekerasan dengan dibuktikan munculnya video di sosial media tentang kekerasan yang dilakukan ISIS.

Harapan yang dimiliki oleh ISIS adalah terbentuknya khilafah islamiyah. Ideologi yang tertanam sangat kuat. Walaupun beberapa fakta menunjukkan bahwa simpatisan ISIS dari daerah Jawa Timur yang tertangkap di Malaysia saat akan mencoba hijrah ke Suriah mempunyai motif ekonomi selain motif ideologi. Namun harapan tersebut dapat dinilai tinggi mengingat para simpatisan rela menjual harta bendanya di kampung halaman sebagai modal keberangkatan ke Suriah.

Kemauan dan harapan para simpatisan ISIS di Indonesia yang terwujud dalam suatu niat untuk hijrah dan bergabung dengan gerakan ISIS di Suriah tidak dapat dianggap kecil. Bahkan dapat dikatakan sangat tinggi. Simpatisan mempunyai kemauan untuk menuju khilafah islamiyah dan tentu saja harapan untuk hidup lebih sejahteran dibandingkan sebelumnya.
Proses rekrutmen ISIS yang dilakukan secara rapi mampu menamkan kemauan dan harapan bagi para simpatisan dengan sangat kuat. Tentu saja perekrut mempunyai pengalaman dan kepentingan yang besar terhadap suksesnya perekrutan ini.

Pengetahuan para simpatisan ISIS pada saat berangkat ke Suriah mungkin biasa-biasa saja. Bahkan bisa disebutkan bahwa mereka tidak mempunyai pengetahuan untuk perang atau melakukan teror. Tetapi keyakinan bahwa mereka akan dilatih untuk berperang mewujudkan khilafah islamiyah tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika benar-benar para simpatisan tersebut dilatih di Suriah, tentu akan menjadi sangat berbahaya jika suatu saat mereka kembali ke Indonesia dan melakukan gerakan menegakkan khilafah islamiyah dengan segala cara.

Ledakan bom di sebuah mall yang berlokasi di Depok Jawa Barat pada 23 Februari 2015 menunjukkan bahwa pelaku menggunakan gas klorin, jenis bom ini khas digunakan oleh kelompok ISIS. Tentu menjadi wajar jika banyak pihak menduga bahwa pelaku dari peledakan ini adalah orang yang pernah ke Suriah atau Irak. Hal ini dapat menjadi suatu barometer bagaimana berbahayanya pengetahuan simpatisan ISIS yang pernah ke Suriah. Dugaan-dugaan bahwa para simpatisan mendapatkan pelatihan tertentu masih didalami. Jika hal ini terjadi maka akan ada bekal pengetahuan bagi para simpatisan untuk melakukan aksi lanjutan di daerah lain.

Indonesia dipilih sebagai salah satu daerah sumber rekrutan untuk relawan ISIS di Suriah karena Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim yang besar dan mayoritas. Selain itu gerakan garis keras Islam beberapa kali mampu melakukan pendadakan strategis di Indonesia hingga mempunyai dampak secara internasional. Perekrutan kader simpatisan dari Indonesia untuk membantu perjuangan di Suriah tentu menjadi suatu pengalaman yang cukup bagi simpatisan tersebut jika suatu saat harus kembali ke Indonesia dan melakukan aksi yang sama.

Kapabilitas simpatisan ISIS dari Indonesia yang terdiri dari dua faktor, pengetahuan dan sumber daya manusia cukup untuk menjadi ancaman di Indonesia.
Dari analisis ancaman tersebut di atas maka dapat dikelompokkan dan dihitung tingkat ancamannya seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 1 : Analisis Ancaman
Componen Scale Tally
Desire / kemauan Acute 5
Kemauan untuk mencapai tujuan sangat tinggi, bahkan kelompok garis keras cenderung melakukan hal-hal yang sadis bahkan mengorbankan nyawa demi terpenuhi kemauannya
Expectation / harapan High 4
Kelompok ISIS mempunyai harapan terbentuknya khilafah islamiyah di dunia. Kuatnya harapan itu membuat para simpatisan siap mengorbankan segalanya. Pemahaman yang masih dangkal dan sepotong-potong membuat harapan menjadi kuat tanpa melihat realita. Walaupun diketahui harapan para simpatisan tidak murni ideologi tetapi ada juga yang berlatar belakang ekonomi.
Intent / Niat 9
Knowledge / Pengetahuan Medium 3
Pengetahuan para simpatisan ISIS cukup untuk melakukan teror yang mematikan. Meskipun tidak setinggi para veteran Afganistan yang melakukan teror di Indonesia seperti Bom Bali. Beberapa simpatisan yang berangkat ke Suriah dan dapat dicegah oleh pemerintah Indonesia berlatar belakang tanpa pengalaman teror.
Resources / Sumberdaya High 4
Dilihat dari jumlahnya, maka Indonesia potensial menjadi sumber rekrutan untuk ISIS. Masyarakat Indonesia terkenal militan, ini terbukti dengan veteran-veteran Afganistan yang cukup mempunyai nama di gerakan Islam garis keras.
Capability / kapabilitas 7
Threat Coefisient   16
(negligible=1, minimum=2, medium=3, high=4, acute=5)

Tabel 2 : Koefisien Ancaman
Threat Coefisient
 Negligible 4-6
Minimum 7-10
Medium 11-15
High 16-18
Acute 19-20
Dari distribusi ancaman ke dalam tabel analisis di atas dapat disimpulkan bahwa ancaman gerakan kelompok ISIS di Indonesia mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan nilai ini maka pemerintah wajib memberikan perhatian khusus agar ancaman-ancaman tersebut tidak menjadi kenyataan yang berakhir pada timnbulnya korban jiwa atau bahkan hancurnya sebuah negara.

Untuk mengimbangi analisis ancaman, maka perlu dilakukan analisis kerentanan (vulnerability analysis). Kerentanan sebuah badan atau organisasi dipengaruhi oleh tiga hal yaitu daya tarik, kemudahan untuk diserang, dan dampak yang akan terjadi. Dalam konteks gerakan ISIS di Indonesia maka analisis kerentanan dapat dijelaskan dalam penjabaran di bawah ini.

Indonesia mempunyai daya tarik yang sangat besar bagi gerakan Islam. Dengan jumlah penduduk yang besar dan mayoritas beragama Islam, maka Indonesia mempunyai magnet yang kuat bagi aktivis-aktivis gerakan Islam untuk menanamkan pengaruhnya.
Daya tarik Indonesia bagi gerakan garis keras Islam secara tidak langsung justru dipermudah oleh peraturan perundangan yang lemah. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Dalam Undang-Undang itu menyebutkan bahwa seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan jika secara sukarela masuk ke dinas negara asing. Permasalahannya adalah ISIS bukan suatu negara. 

Celah ini tentu bisa dimanfaatkan oleh ISIS dan simpatisan dari Indonesia untuk melakukan hijrah ke Suriah dan kembali lagi ke Indonesia dengan risiko yang relatih kecil jika sanksinya menyangkut kewarganegaraan.
Salain sebagai basis masyarakat pemeluk agama Islam, Indonesia juga mempunyai budaya masyarakat timur yang permisif dan membuka diri bagi orang asing, apalagi jika orang asing tersebut mempunyai persamaan ideologi. Keramahan dan keterbukaan masyarakat Indonesia ini dimanfaatkan oleh ISIS untuk menebarkan ideologi dan rayuannya sehingga masyarakat Indonesia tertarik untuk bergabung.

Pintu untuk masuk ke Indonesia terbuka lebar mengingat Indonesia mempunyai area perbatasan yang cukup luas dengan pengawasan yang lemah. Orang asing yang akan masuk ke Indonesia bisa melalui jalur darat dan laut dari Malaysia dan Filipina. Orang asing bisa dengan mudah transit terlebih dahulu untuk menyesuaikan diri di perbatasan-perbatasan Indonesia yang lemah dalam pengawasan aparat.
Tipikal masyarakat yang terbuka dan permisif, serta geografis yang luas dengan wilayah perbatasan yang cukup luas dan kurang pengawasan membuat Indonesia termasuk sebagai negara yang mudah disusupi oleh orang asing.

Beberapa kali aksi terorisme di Indonesia oleh kelompok garis keras bisa dilakukan dan menimbulkan korban jiwa tidak sedikit, hal ini juga merupakan indikasi bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang mudah diserang atau belum siap jika terjadi pendadakan strategis dari pihak oposisi.
Beberapa kali terjadi aksi pendadakan strategis seperti bom bunuh diri di Bali dan beberapa aksi bom di Jakarta menunjukkan dampak yang cukup besar. Aksi-aksi tersebut berhasil mempengaruhi situasi negara Indonesia dan menjadi pemberitaan dunia. Dampak dari aksi teroris di Indonesia yang cukup besar ini tentu harus diwaspadai karena kemungkinan terjadi kejadian yang sama dengan pelaku simpatisan ISIS sangat mungkin terjadi.
Dari analisis kerentanan tersebut dapat didistribusikan dalam sebuah tabel untuk menghitung koefisien kerentanan sebagai berikut :

Tabel 3 : Tabel Analisis Kerentanan Indonesia Terhadap Gerakan ISIS
Factor Situation Scale Tally
Attractiveness daya tarik besar sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar medium 3
Ease of Attack penduduk yang permisif, terbuka, dan daerah perbatasan yang kurang pengawasan aparat high 4
Impact pengalaman beberapa kali terjadi aksi teroris bom bunuh diri high 4
Vulnerability Coefficient 11
(negligible=1, minimum=2, medium=3, high=4, acute=5)

Tabel 4 : Koefisien Kerentanan
Vulnerablity Coefficient
Negligible 1-3
Minimum 4-6
Medium 7-9
High 10-12
Acute 13-15

Dari analisis kerentanan di atas dapat disimpulkam bahwa tingkat kerentanan Indonesia terhadap gerakan ISIS adalah tinggi. Faktor yang dominan adalah wilayah geografis yang cukup luas dengan pengawasan yang terbatas dan beberapa kali aksi bom bunuh diri oleh gerakan Islam garis keras terjadi di Indonesia memakan korban jiwa dan membawa dampak cukup signifikan.

Potensi pendadakan strategis gerakan ISIS di Indonesia bisa dianalisi dengan menggunakan analisis risiko. Prinsip utama dari risiko adalah fungsi dari kemungkinan/ kekerapan dengan konsekuensi/dampak. Jika dilihat dari tren terorisme yang terjadi di Indonesia maka kemungkinan terjadinya terorisme di Indonesia termasuk kecil (unlikely) dengan catatan kejadian ini bisa terjadi dalam beberapa waktu.

Dampak atau konsekuensi akibat aksi terorisme dapat digolongkan dalam kategori utama (major) karena aksi terorisme di Indonesia terbukti menyebabkan dampak yang nyata termasuk adanya korban jiwa. Selain kerugian maksimal berupa korban jiwa, gerakan ISIS dapat diperkirakan membawa pola yang sama dengan gerakan garis keras Islam yang pernah terjadi di Indonesia, mengingat sebagian pelakunya adalah sama.

Dalam melakukan aksinya, pelaku terorisme garis keras Islam biasanya didahului dengan pencarian/penggalangan dana. Dana gerakaa  terorisme berasal dari berbagai sumber seperti perampokan, bantuan dari jaringan luar negeri, atau hasil iuran sumbangan dari internal kelompok tersebut.
Jika mengikuti tabel Risk Rating Matrix maka dengan tingkat kemungkinan kecil (unlikely)  dan konsekuensi utama (major) akan diperoleh risk rating = high (tinggi).

Tabel 5 : Risk Rating Matrix
CONSEQUENCES
LIKELIHOOD Insignificant Minor Moderate Major Catastrophic
Almost Certain Moderate High Extreme Extreme Extreme
Likely Moderate High High Extreme Extreme
Possible Low Moderate High Extreme Extreme
Unlikely Low Low Moderate High Extreme
Rare Low Low Moderate High High

Dari tiga analisis yang telah dilakukan yaitu analisis ancaman (treath analysis), analisis kerentanan (vulnerability analysys) dan analisis risiko (risk analysis) ternyata mempunyai nilai yang sama yaitu : tinggi (high).
Setelah diketahui bahwa terorisme di Indonesia mempunyai tingkat ancaman, kerentanan dan risiko yang tinggi maka perlu ditetapkan suatu langkah-langkah sebagai solusi atas potensi pendadakan strategis dari terorisme gerakan ISIS di Indonesia.
Dari analisis di atas dapat diperkirakan / estimasi gerakan ISIS di Indonesia, jika dunia international gencar melakukan perlawanan terhadap ISIS di Suriah maka ISIS akan kalah dan tercerai berai. Simpatisan ISIS akan kembali ke negara asal. Namun jika dunia international tidak melakukan perlawanan terhadap ISIS maka ISIS akan membesar dan aksi ISIS akan lebih strategis dengan melakukan perlawanan terhadap negara-negara sasaran.

Apapun yang terjadi simpatisan ISIS, jika masih hidup,  diperkirakan akan kembali ke negara asal. Arus balik simpatisan ini yang harus diwaspadai. Pemerintah Indonesia wajib melakukan penguatan-penguatan di masyarakat agar tidak mudah menjadi sasaran gerakan radikal. Masyarakat perlu diberi dibiasakan untuk membaca sinyal-sinyal dari gerakan radikal dan melakukan aksi bersama untuk mencegahnya. Negara tidak mampu bergerak sendiri untuk melakukan kontraterorisme karena gerakan terorisme mengakar di masyakarakat.

Solusi Intelijen untuk Mencegah Pendadakan Strategis Gerakan ISIS di Indonesia
Untuk mencegah pendadakan strategis gerakan ISIS di Indonesia diperlukan suatu metode atau sistem yang berbasiskan teknik analisis kontraintelijen. Dalam hal ini dipilih suatu metode PPRR Planning. PPRR Planning terdiri dari empat bagian yaitu pencegahan (prevention), persiapan (preparation), respon/tanggapan (response), dan pemulihan (recovery).

Pencegahan
Salah satu usaha efektif untuk mencegah terorisme adalah dengan deradikalisasi. Secara sederhana deradikalisasi dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk membuat orang tidak radikal. Sasaran dari program deradikalisasi adalah teroris yang sudah tertangkap, bekas teroris, kelompok potensial yang bisa direkrut teroris maupun masyarakat umum.
Deradikalisasi dilakukan sebagai upaya pendamping penanggulangan teroris dengan cara hard approach yang telah berhasil dilakukan oleh Densus 88/AT. Program deradikalisasi di Indonesia dijalankan oleh BNPT[3]. Untuk menjalankan program ini BNPT bekerja sama dengan banyak pihak seperti ulama, lembaga pendidikan, Ormas, instansi pemerintah, dan masyarakat umum.

Peran intelijen dalam proses deradikalisasi sangat penting. Metode intelijen seperti penggalangan sangat tepat dilakukan untuk mengubah opini kelompok dari radikal menjadi tidak radikal. Penggalangan sangat tepat dilakukan karena tidak mengandung unsur kekerasan yang bisa dianggap melanggar HAM.
Deradikalisasi akan menitik beratkan pada akar masalah pelaku terorisme. Pendekatan persuasif dengan mengedepankan tokoh agama, pendidik, budayawan, tokoh politik, tokoh masyarakat, dan lembaga lain yang ada diharapkan dapat mengubah persepsi dan konsep aksi radikal menjadi tidak radikal. Tokoh agama menjadi kunci program deradikalisasi mengingat terorisme dan kekerasan terjadi karena sempitnya pemahaman tentang jihad[4]. Aksi kekerasan oleh teroris dianggap benar mengatasnamakan jihad.

Petugas intelijen yang sudah tersebar di seluruh Indonesia dapat diberi tugas untuk mendeteksi potensi-potensi kelompok yang radikal. Dengan kemampuan penggalangan maka petugas intelijen dapat dimanfaatkan untuk menjalankan deradikalisasi terhadap sasaran sehingga potensi kelompok radikal tidak berkembang menjadi aksi terorisme.

Persiapan
Persiapan dalam menghadapi pendadakan strategis gerakan terorisme ISIS maka pemerintah perlu membuat perangkat hukum sebagai landasan untuk melakukan tindakan. Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI sangat diperlukan. UU yang saat ini menyebutkan bahwa seseorang bisa kehilangan kewarganegaraan jika secara sukarela masuk ke dinas negara asing harus diperluas termasuk jika beperang melawan negara sahabat.

Kewenangan Intelijen Negara yang tertulis dalam UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 5 disebutkan bahwa: Tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional.

Untuk mewujudkan tujuan ini tentu diperlukan suatu kemampuan dan perangkat yang memadai sehingga Intelijen Negara dapat mendeteksi sinyal pendadakan strategis yang akan terjadi. Persiapan yang mutlak dilakukan oleh negara adalah menyiapkan sumber daya intelijen yang mampu mendeteksi dan menganalisis sinyal pendadakan strategis.
Persiapan untuk tim penindakan dan penanggulangan harus dilakukan secara beriringan. Densus-88/AT Polri yang dibentuk untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia harus ditingkatkan kemampuannya mengingat teroris juga melakukan perkembangan model dalam melakukan aksinya.
Tugas Densus 88/AT adalah menangani segala bentuk ancaman teroris termasuk diantaranya ancaman bom dan penyanderaan. Dalam menangani ancaman dan aksi teroris, Densus 88/AT memerlukan laporan intelijen sebagai informasi awal untuk melakukan tindakan[5].

Intelijen menjadi salah satu kunci pemberantasan tindak pidana terorisme. Bukti awal dari laporan intelijen memberikan kewenangan Densus 88/AT untuk melakukan penangkapan. Fungsi intelijen dalam struktur organisasi dari Densus 88/AT sangat strategis. Densus 88/AT dalam organisasinya memiliki empat pilar pendukung operasional setingkat sub-detasemen (Subden), yakni: Subden Intelijen, Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan.

Di bawah Subden terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional Densus 88/AT, seperti pada Subden Intelijen terdapat Unit Analisa, Deteksi, Unit Kontra Intelijen, pada Subden Penindakan terdapat Unit Negoisasi, Pendahulu, Unit Penetrasi, dan Unit Jihandak. Sedangkan pada Subden Investigasi membawahi Unit Olah TKP, Unit Riksa, dan Unit Bantuan Teknis, terakhir pada Subden Bantuan terdapat Unit Bantuan Operasional dan Unit Bantuan Administrasi.

Personel Densus 99/AT sudah dilengkapi kemampuan intelijen pengamanan. Kemampuan tersebut sangat penting untuk diaplikasikan dalam menangani terorisme. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat negara dalam menangani terorisme sering kali membuat berbagai pihak cenderung resisten. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan analisis-analisis dan metode intelijen sehingga menjadi bahan acuan dalam melakukan operasi penanaganan terorisme yang lebih tepat sasaran dan humanis dengan tetap mengedepankan keselamatan rakyat di atas segalanya.

Respon / Tanggapan
Dari berbagai pengalaman kejadian teror di Indonesia, pemerintah Indonesia cukup baik dalam melakukan respon. Pengolahan tempat kejadian perkara, penanganan korban, penyelidikan, penangkapan, dan pengungkapan jaringan terorisme berhasil dilakukan.
Prestasi aparat penegak hukum di Indonesia dapat dibanggakan. Namun hal itu tentu saja tidak boleh mengurangi porsi untuk terus berlatih dan berkembang dalam menghadapi aksi-aksi berikutnya.

Pemulihan
Jika terjadi pendadakan strategis oleh aksi radikal ISIS maka pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk pemulihan. Subjek yang perlu mendapat pemulihan adalah sebagai berikut :
  1. Korban aksi radikal terorisme, dalam beberapa kasus korban aksi terorisme meninggal dunia, tidak sedikit pula yang mengalami cacat dan trauma psikis. Perlu adanya lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani dan menjamin kehidupan bagi korban-korban terorisme di Indonesia.
  2. Pelaku terorisme dan keluarganya / kelompoknya. Pemulihan juga bisa dilakukan kepada pelaku terorisme yang telah dikenai tindakan hukum termasuk keluarga dan kelompoknya. Program deradikalisasi harus dilaksanakan agar tindakan hukum yang dilakukan oleh negara tidak menimbulkan kebencian baru yang akan mengakar secara turun temurun.
  3. Aparat penegak hukum yang melakukan penindakan dan penanggulangan kelompok teroris kemungkinan bisa mengalami trauma. Jika hal ini terjadi maka perlu disiapkan strategis khusus agar trauma tersebut tidak berakibat negatif bagi karir dan kehidupan selanjutnya.
  4. Jika sasaran teror adalah kelompok atau organisasi maka pemulihan juga perlu dilakukan. Sebagai contoh jika ISIS melakukan serangan kepada kelompok Syiah di Indonesia, maka jika hal ini terjadi kemungkinan korban akan cukup banyak, tidak hanya perorangan tetapi juga kelompok. Pendampingan dari pemerintah dan lembaga keagamaan perlu dilakukan untuk pemulihan korban kelompok.

Fase pemulihan harus disiapkan oleh pemerintah walaupun pada proses pencegahan sudah dilakukan secara maksimal, Gerakan radikal ISIS juga akan berkembang dan mempelajari strategi yang dilakukan oleh organisasi yang dianggap sebagai musuh. Pemerintah harus tetap menyiapkan kondisi dalam skenario terburuk.

Penutup
            Gerakan Islam radikal yang tergabung dalam kelompok ISIS mengejutkan dunia internasional. Bergabungnya simpatisan dari banyak negara termasuk dari negara dengan basis non muslim menjadi catatan tersendiri. ISIS menjadi ancaman yang sangat nyata dan mempunyai tingkat ancaman, kerentanan dan risiko yang tinggi. Gerakan ISIS di Suriah tidak bias dipandang remeh, karena sinyal-sinyal keberadaan ISIS di Indonesia sudah terdeteksi.

Analisis atas gerakan islam radikal ISIS diharapkan mampu menyumbangkan saran-saran dan strategi bagi negara untuk melakukan kewaspadaan, pencegahan, penindakan, penanggulangan, sekaligus menyiapkan diri untuk melakukan pemulihan jika kemungkinan terburuk terjadi. Negara harus menjadi garda terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap aksi terorisme.
Intelijen diharapkan sebagai garda terdepan mampu memberikan sinyal-sinyal atas pendadakan strategis ini sehingga negara mampu melakukan antisipasi untuk menjamin keamanan dan keselamatan seluruh warga negara.

[1] H. Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, hal 12 : Ide gerakan inilah yang diadopsi oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir dengan mendirikan Jama’ah Islamiyah di Asia Tenggara untuk meneruskan perjuangan mendirikan Negara Islam Indonesia yang telah ada sejak 1950-an, dengan menerapkan syariat Islam.
[2] Julios Pour, Benny Tragedi Seorang Loyalis, hal 228: Diungkapkan juga olek Pangkopkamtib, surat dari Imran Muhammad Zein, pimpinan pembajak Wolyla, kepada Ayatollah Khomeini, surat minta bantuan dengan menggunakan nama Dewan Revolusi Islam Indonesia. Mereka mengaku sebuah gerakan bawah tanah yang ingin menggulingkan rezim Soeharto dan menjadikan Indonesia Negara Islam.
[3] http://www.damailahindonesiaku.com/suara-cegah-terorisme/139-deradikalisasi-terorisme.html, untuk meng atasi masalah radikalisme dan terorisme, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melakukan deradikalisasi dengan melibatkan banyak pihak mulai dari kementerian dan lembaga, Polri, TNI, perguruan tinggi, hingga masyarakat sipil seperti ormas dan LSM. Desai Deradikalisasi memiliki empat komponen yaitu reedukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi.
[4] H. Ansyaad Mbai dalam Buku Dinamika Baru dalam Jejaring Teror di Indonesia hal 169: Sebagaimana diketahui bahwa aksi-aksi radikal terorisme terjadi tidak lepas dari sempitnya pemahaman tentang jihad dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadis. Pemaknaan-pemaknaan yang tekstual dan tanpa dibarengi kajian tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Quran) dan asbab al-wurud (sebab-sebab turunnya hadis) serta makna kontekstual dari ayat-ayat Al Quran dan Hadis, turut menyumbang kemunculan aksi-aksi radikal-teror yang mengatasnamakan jihad.
[5] Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28).
https://kajianintelijen.wordpress.com/2015/05/13/analisis-intelijen-gerakan-isis-di-indonesia/

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob