Pengalaman Infiltrasi : Diselamatkan oleh Cerutu

(Catatan : Kisah ini pernah saya publish di blog saya yang lain dan pernah dimuat di sebuah majalah lokal di Kalimantan Barat.  Mengingat konteks pengalaman yang ada mempunyai hubungan dengan kegiatan intelijen terutama infiltrasi atau bagaimana masuk ke wilayah oposisi, maka tulisan ini saya publish kembali di blog https://kajianintelijen.wordpress.com)
Sore hari, di awal musim hujan, menuju suasana pedalaman Kalimantan Timur yang jauh sekali dari hiruk pikuk kota. Perjalanan darat aspal sekitar 2 jam yang saya tempuh dari Bandara Kalimarau Tanjung Redeb Kab. Berau Kalimantan Timur menuju arah Kecamatan Gunung Tabur, tepatnya di desa Sambakungan dan disambung dengan jalan tanah  sepanjang 10 km, saya akhirnya sampai di pemukiman Dayak Punan KM-10.

Kedatangan saya disambut suara aneka satwa seperti babi hutan yang sudah jinak, burung dan ayam hutan dalam suatu harmoni musikal alam. Jumlah bangunan yang ada, 12 rumah, satu balai pertemuan dan 1 gereja. Rumah-rumah dan balai pertemuan yang dibangun oleh perusahaan batubara dan gereja yang dibangun oleh dinas sosial tersebut menjadi bangunan-bangunan megah bagi masyarakat yang sebelumnya  hidup di pondok-pondok di dalam hutan. Saya sudah mendapat informasi bahwa sejak berdiri sampai sekarang sekitar 1 tahun lamanya gereja tersebut tidak pernah sekalipun dipakai untuk beribadat.

Sebelumnya penghuni pemukiman ini adalah orang-orang yang hidup berpindah-pindah dari hutan satu ke hutan lain. Dayak Punan terkenal dengan ketrampilan pemburu dan peramu, ahli menerapkan kearifan lokal mereka untuk memperoleh binatang buruan dan ahli meramu tumbuh-tumbuhan dan bagian tertentu dari binatang untuk dijadikan obat.
Pengembaraan mereka hingga menetap di daerah Berau Kalimantan Timur adalah suatu perjalanan panjang yang dijalani dari Kabupatan Bulungan asal mereka karena kebutuhan akan hidup yang menuntut untuk mencari hewan buruan sebagai makanan. Selain itu mereka juga mencari madu dan gaharu sebagai bahan barter untuk memperoleh bahan-bahan sebagai penunjang hidup seperti garam, gula, kopi dan rokok.

Rumah Pak Kasung adalah rumah yang pertama saya tuju, mengingat letaknya sangat strategis tepat rumah pertama dari gerbang perkampungan. Selain itu dari informasi yang ada Pak Kasung adalah orang paling tua dan berpengaruh. Masuk rumah Pak Kasung akan membuat dada sedikit sesak, jendela yang ada tidak dibuka, sementara dari perapian mengepulkan asal tebal. Perapian tersebut memang membantu menghangatkan suasana. Saya diterima oleh Mak Kasung sementara Pak Kasung tetap dengan kesibukannya di rumah bagian tengah.

Pak Kasung, orang yang paling tua dalam pemukiman ini adalah seorang dayak punan berwajah tegas, sorot mata yang tajam, dan badan kekar berotot walau tidak terlalu tinggi. Di perkampungan ini Pak Kasung sangat terkenal ahli dalam menggunakan sumpit, senjata berburu khas suku dayak. Dengan sumpit Pak Kasung bisa membunuh hewan buruannya dalam jarak 50-80 meter.

Sumpit yang Pak Kasung gunakan sepanjang 2,5 meter terbuat dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) hitam mengkilat. Sementara anak sumpitnya terbuat dari lidi enau sekitar 25 cm dengan ujung dari kaleng bekas produk ikan olahan yang telah diberi racun atau bisa disebut upas/ipo yang diambil dari getah kayu ipo (Antiaris toxicaria). Hewan buruan yang sudah terkena sumpit beracun ini pasti akan mati.

Walau saya sudah mencoba menemui Pak Kasung, tetapi Pak Kasung tetap tidak mau berbicara, berbeda dengan Mak Kasung, istrinya yang sangat ramah dan sudah menyuguhkan kepada saya 3 gelas kopi. Saya langsung mencoba menganalisa diam seribu bahasanya Pak Kasung, karena memang menolak keberadaan saya sebagai orang asing atau kerena memang tidak bisa berbahasa Indonesia. Informasi awal yang saya dapatkan dari 7 keluarga yang tinggal di sini hanya 2 orang yang bisa berbahasa Indonesia, dan keduanya belum bisa saya temui karena sedang berburu.

Mak Kasung terus berbicara dengan bahasa dayak punan yang sama sekali tidak saya pahami, tetapi dengan gerakan-gerakan tubuh saya mengerti maksudnya. Saya memilih duduk di lantai dekat pintu, hal ini saya lakukan agar saya bisa menghirup udara segar dari luar mengingat asap mengepul memenuhi rumah Pak Kasung yang sedang memanggang daging babi sisa buruan kemarin.

Beberapa waktu lamanya saya hanya keluar masuk dan menunggu Mak Kasung dan Pak Kasung yang sekarang sedang asik membuat anak sumpit. Sesekali dari ruang tengah yang berjarak 4 meter dari tempat saya duduk bersila, Pak Kasung mencoba memasukkan anak sumpit tersebut ke dalam buluh sumpit dan mengarahkan ke kamera SLR yang saya bawa. Ini sudah suatu tanda bahwa kamera yang saya bawa ternyata tidak disukai Pak Kasung. Saya memasukan kamera tersebut ke dalam ransel untuk menghindari suasana lebih panas.

Mati gaya sudah saya alami didiamkan Pak Kasung seperti ini, titik stress sudah mulai saya alami dan akhirnya saya memutuskan untuk merokok. Saya keluarkan rokok cerutu produk lokal dari Jogjakarta, saya nyalakan, saya hisap dan saya hembuskan asap perlahan ke arah bawah. Asap cerutu mulai menyebar di dalam rumah Pak Kasung yang bercampur jadi satu dengan asap dari perapian yang sedang memanggang daging babi hutan. Asap cerutu yang sangat khas membuat Pak Kasung mulai menoleh dan menajamkan mata ke arah wajah saya yang sedang menghisap cerutu.
Lama Pak Kasung memandang dan kelihatan ada rasa tertarik, akhirnya saya sodori satu batang. Pak Kasung masih diam dalam keraguan untuk mencoba cerutu yang saya sodorkan. Akhirnya saya paksa dan saya nyalakan pematik api zippo untuk menyulut cerutu yang sudah ditangan Pak Kasung. Cerutu mulai dihisap dan dinikmati dalam-dalam dan akhirnya Pak Kasung menebarkan senyum. Perasaan saya langsung terasa ringan, apalagi ketika Pak Kasung menyodorkan cerutu tersebut kepada istrinya untuk mempersilakan menikmatinya. Mereka berdua tertawa, dan akhirnya suasana cair.

Pelan-pelan Pak Kasung beranjak mengambil pisang di kamar, pisang besar mirip pisang ambon, didapat masak dari pohon di hutan sebelah. Pisang tersebut disodorkan kepada saya, dan tentu saja saya makan dengan gembira. Pak Kasung ternyata memang pendiam, beberapa lama saya bersama keluarga ini hanya senyuman yang diberikan setelah saya memberikan cerutu untuk dinikmati bersama. Saya tidak mau terlalu lama dan merusak suasana yang sudah baik, jika salah langkah bisa jadi suasana menjadi kaku.

Saya pamit kepada Pak Kasung dan Mak Kasung, saya tinggalkan sisa cerutu dalam kotak yang masih 4 batang. Pak Kasung menerima dengan tertawa lebar dan membagi dengan istrinya, setelah itu dia membuka tas kecil dalam pinggang dan menyerahkan ke saya 2 taring macan dahan. Saya terima dengan senang hati. Pintu untuk berkomunikasi dengan Pak Kasung telah terbuka, pemburu sejati ini sudah menghadiahi saya 2 taring macan kumbang, taring yang hanya boleh dipakai oleh suku dayak kelas bangsawan. Pak Kasung juga sudah melupakan kamera yang saya bawa, yang ternyata dianggap sebagai ancaman buat Pak Kasung.

Komunikasi dengan masyarakat pedalaman ternyata tidak semudah dalam buku tentang teori komunikasi dan psikologi, perlu kesabaran dan sikap rendah hati. Masyarakat Suku Dayak Punan, pemburu dan peramu yang baik hati telah berhasil saya temui.
 https://kajianintelijen.wordpress.com/category/teknik-intelijen/

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob