alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 09 Agustus 2015

HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982)


Menjaga Pulau Terluar, Perlu Pemahaman Hukum Laut Internasional yang Kuat  Sebagai negara maritim dengan wilayah perairan laut yang sangat besar, pemahaman atas hukum laut internasional akan sangat penting untuk menjaga dan mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apalagi terkait dengan banyaknya isu mengenai ancaman lepasnya pulau-pulau dari wilayah NKRI. Hassan Wirajuda (berdiri di podium) memberikan pemaparan tentang pentingnya pemahaman hukum laut internasional (Foto: Eka Bahtera) “Pada saat kita merdeka, segala persyaratan untuk menjadi sebuah negara sudah terpenuhi, wilayah, penduduk, pemerintahan, serta statusquo dari negara lain sudah ada. Namun kenapa pada saat itu kapal laut Belanda, Kareel Doorman, masih bisa lenggak-lenggok di wilayah perairan kita. Itu karena kita belum punya perbatasan hukum laut yang disetujui melalui hukum laut internasional,” tutur anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Dr. N. Hassan Wirajuda. Dalam acara Pelatihan Hukum Laut yang digelar di Hotel Sensa, Jln Cihampelas Bandung, Selasa (27/07) atas kerjasama Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dengan Fakultas Hukum (FH) Unpad ini, Hassan mengatakan bahwa batas teritorial wilayah perairan laut Indonesia sudah diperjuangkan sejak Indonesia merdeka. Perkembangan konsep wilayah Indonesia sudah dilewati dengan berbagai perjuangan diplomasi, seperti dengan negara tetangga, serangkaian konferensi internasional yang kemudian menghasilkan berbagai deklarasi,” ujarnya. Terkait dengan berbagai sengketa mengenai kepemilikan pulau-pulau antara Indonesia dengan negara-negara lain, itu karena banyaknya ketidakpahaman yang mendalam mengenai hukum-hukum laut internasional. “Semua sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan negara lain, dan apabila pulau tersebut kemudian diklaim oleh negara lain itu bukan karena kegagalan diplomasi kita, melainkan memang berdasarkan ketentuan hukum laut internasional,” jelas Hassan. Lebih lanjut Hassan mengatakan, pulau Sipadan-Ligitan yang pernah menjadi sengketa antara Indonesia dengan Malaysia, lalu kemudian menjadi milik Malaysia itu bukan karena kegagalan diplomasi. Akan tetapi berdasarkan garis pangkal terluar kita serta sejarah kepemilikan antara Ingris dan Belanda, pulau itu tidak pernah masuk ke dalam wilayah NKRI. Sengketa perbatasan serta kepemilikan pulau merupakan masalah yang sensitif terhadap suatu negara. Oleh karena itu, Hassan menghimbau supaya jangan ikut terbawa isu mengenai ketakutan lepasnya pulau dari NKRI. “Ini merupakan tantangan kita, sebuah pekerjaan rumah juga untuk mengamankan wilayah kita. Pemahaman yang mendalam tentang hukum laut serta pengamanan akan sangat diperlukan untuk memepertahankan NKRI,” himbau mantan Menteri Luar Negeri RI itu. Hassan juga menambahkan bahwa ancaman hilangnya pulau-pulau dari wilayah NKRI bukan hanya dari luar saja, akan tetapi ancaman tersebut bisa datang yang disebabkan oleh warga negara Indonesia sendiri. “Diplomasi serta keamanan untuk mengamankan wilayah kita yang telah menjadi NKRI sangat dibutuhkan. Selain itu, masalah pengelolaan perbatasan yang optimal dari masyarakat kita juga tidak kalah penting. Salah satunya adalah penghentian politisasi persoalan perbatasan, pulau-pulau terluar kita dapat hilang apabila dilakukan penggalian pasir yang terus-menerus, serta terjadinya abrasi,” ungkap Hassan. (eh)* Laporan oleh: Eka Bahtera-[Unpad.ac.id, 27/07] Bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kepulauan yang dikelilingi laut, maka sangat penting bagi berbagai pihak untuk mengetahui secara mendalam tentang Pengetahuan Hasil Konvensi Internasional tentang Perairan dan Kelautan serta Peraturan lainnya yang akan dipakai sebagai Pedoman pelaksanaan dilapangan, apakah sudah sesuai dengan berbagai syarat-syarat hasil konvensi Internasional tersebut atau tidak. dan Bahasa Indonesia, masing-masing sebagai berikut :
 

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) TERJEMAHAN DALAM BAHASA INDONESIA OLEH WIKISOURCE PEMBUKAAN 

Negara-negara Peserta pada Konvensi ini, Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan, dalam semangat saling pengertian dan kerjasama, semua masalah yang bertalian dengan hukum laut dan menyadari makna historis Konvensi ini sebagai suatu sumbangan penting terhadap pemeliharaan perdamaian, keadilan dan kemajuan bagi segenap rakyat dunia, Mencatat bahwa perkembangan yang telah terjadi sejak Konverensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadakan di Jenewa tahun 1958 dan 1960 telah menekankan perlu adanya suatu Konvensi tentang hukum laut yang baru dan yang dapat diterima secara umum, Menyadari bahwa masalah-masalah ruang samudera adalah berkaitan erat satu sama lain dan perlu dianggap sebagai suatu kebulatan, Mengakui keinginan untuk membentuk, melalui Konvensi ini, dengan mengindahkan secara layak kedaulatan semua Negara, suatu tertib hukum untuk laut dan samudera yang dapat memudahkan komunikasi internasional dan memajukan penggunaan laut dan samudera secara damai, pendayagunaan sumber kekayaan alamnya secara adil dan efisien, konservasi sumber kekayaan hayati dan pengkajian, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dan konservasi kekayaan alam hayatinya, Memperhatikan bahwa pencapaian tujuan ini akan merupakan sumbangan bagi perwujudan suatu orde ekonomi internasional yang adil dan merata yang memperhatikan kepentingan dan kebutuhan umat manusia sebagai suatu keseluruhan dan, terutama, kepentingan dan kebutuhan khusus negara-negara berkembang, baik berpantai maupun tidak berpantai, Berkeinginan dengan Konvensi ini untuk mengembangkan prinsip-prinsip yang termuat dalam resolusi 2749 (XXV) 17 Desember 1970 dimana Majelis Umum dengan khidmat menyatakan inter alia bahwa baik kawasan dasar laut dan dasar samudera dan tanah dibawahnya, di luar batas yurisdiksi nasional, maupun sumber kekayaannya, adalah warisan bersama umat manusia, yang eksplorasi dan eksploitasinya harus dilaksanakan bagi kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, tanpa memandang lokasi geografis negara-negara, Berkeyakinan bahwa pengkodifikasian dan pengembangan secara progresif hukum laut yang dicapai dalam Konvensi ini akan merupakan sumbangan untuk memperkokoh perdamaian, keamanan, kerjasama dan hubungan bersahabat antara semua bangsa sesuai dengan asas keadilan dan persamaan hak dan akan memajukan peningkatan ekonomi dan sosial segenap rakyat dunia, sesuai dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana ditetapkan. Menegaskan masalah-masalah yang tidak diatur dalam Konvensi ini tetap tunduk pada ketentuan dan asas hukum internasional umum.Telah menyetujui sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 Penggunaan istilah dan ruang lingkup 1. Untuk maksud Konvensi ini : (1) “Kawasan” berarti dasar laut dan dasar samudera serta tanah dibawahnya di luar batas-batas yurisdiksi nasional; (2) “Otorita” berarti Otorita Dasar Laut Internasional; (3) Kegitan-kegiatan di Kawasan berarti segala kegiatan eksplorasi untuk dan eksploitasi kekayaan Kawasan; (4) “Pencemaran lingkungan laut” berarti dimasukannya oleh manusia, secara langsung atau tidak langsung, bahan atau energi ke dalam lingkungan laut, termasuk kuala, yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hayati laut dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan-kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kwalitas kegunaan air laut dan pengurangan kenyamanan. (5)--(a) “dumping” berarti : (i) setiap pembuangan dengan sengaja limbah atau benda lainnya dari kendaraan air, pesawat udara, peralatan (platform) atau bangunan buatan lainnya di laut; (ii) setiap pembuangan dengan sengaja kendaraan air, pesawat udara, pelataran (platform), atau bangunan buatan lainnya di laut. (b) tidak termasuk “dumping” : (i) pembuangan limbah atau benda lainnya yang berkaitan dengan atau berasal dari pengoperasian wajar kendaraan air, pesawat udara, pelataran (platform) atau bangunan buatan lainnya di laut serta peralatannya, selain dari limbah atau benda lainnya yang diangkut oleh atau ke kendaraan air, pesawat udara, pelataran (platform) atau bangunan buatan lainnya di laut, yang bertujuan untuk pembuangan benda tersebut atau yang berasal dari pengolahan limbah atau benda lain itu di atas kendaraan air, pesawat udara, pelataran (platform) atau bangunan tersebut. (ii) penempatan benda untuk suatu keperluan tertentu, tetapi bukan semata-mata untuk pembuangan benda tersebut, asalkan penempatan itu tidak bertentangan dengan tujuan Konvensi ini. 2.---(1) “Negara-negara Peserta” berarti negara-negara yang telah menyetujui untuk terikat oleh Konvensi ini dan untuk mana konvensi ini berlaku. (2) Konvensi ini berlaku mutatis mutandis untuk satuan-satuan tersebut pada pasal 305, ayat 1 (b), (c), (d), (e), dan (f), yang menjadi Peserta Konvensi menurut syarat-syarat yang berlaku untuk masing-masing dan sejauh hal tersebut “Negara Peserta” mencakup satuan-satuan-tersebut. BAB II LAUT TERITORIAL DAN ZONA TAMBAHAN BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM Pasal 2 Status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial dan dasar laut serta tanah di bawahnya. 1. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu Negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut teritorial. 2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. 3. Kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya. BAGIAN 2. BATAS LAUT TERITORIAL Pasal 3 Lebar Laut Teritorial Setiap Negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini. Pasal 4 Batas luar laut teritorial Batas luar laut teritorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial. Pasal 5 Garis pangkal biasa Kecuali jika ditentukan lain dalam Konvensi ini, garis pangkal biasa untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besarnya yang diakui resmi oleh Negara pantai tersebut. Pasal 6 K a r a n g Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh Negara pantai yang bersangkutan. Pasal 7 Garis pangkal lurus 1. Di tempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. 2. Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku sampai dirobah oleh Negara pantai sesuai dengan Konvensi ini. 3. Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai dan bagian-bagian laut yang terletak di dalam garis pangkal demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rejim perairan pedalaman. 4. Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut kecuali jika di atasnya didirikan mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen ada di atas permukaan laut atau kecuali dalam hal penarikan garis pangkal lurus ke dan dari elevasi demikian telah memperoleh pengakuan umum internasional. 5. Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat diterapkan berdasarkan ayat 1, maka di dalam menetapkan garis pangkal tertentu, dapat ikut diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus bagi daerah yang bersangkutan, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah berlangsung lama. 6. Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Pasal 8 Perairan pedalaman 1. Kecuali sebagaimana diatur dalam bab IV, perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan pedalaman Negara tersebut. 2. Dalam hal penetapan garis pangkal lurus sesuai dengan cara yang ditetapkan dalam pasal 7 berakibat tertutupnya sebagai perairan pedalaman daerah-daerah yang sebelumnya tidak dianggap demikian, maka di dalam perairan demikian akan berlaku suatu hak lintas damai sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini. Pasal 9 Mulut Sungai Apabila suatu sungai mengalir langsung ke laut, garis pangkal adalah suatu garis lurus melintasi mulut sungai antara titiktitik pada garis air rendah kedua tepi sungai. Pasal 10 T e l u k 1. Pasal ini hanya menyangkut teluk pada pantai milik satu Negara. 2. Untuk maksud Konvensi ini, suatu teluk adalah suatu lekukan yang jelas yang lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih dari pada sekedar suatu lingkungan pantai semata-mata. Tetapi suatu lekukan tidak akan dianggap sebagai suatu teluk kecuali apabila luas teluk adalah seluas atau lebih luas dari pada luas setengah lingkaran yang garis tengahnya adalah suatu garis yang ditarik melintasi mulut lekukan tersebut. 3. Untuk maksud pengukuran, daerah suatu lekukan adalah daerah yang terletak antara garis air rendah sepanjang pantai lekukan itu dan suatu garis yang menghubungkan titik-titik garis air rendah pada pintu masuknya yang alamiah. Apabila karena adanya pulau-pulau, lekukan mempunyai lebih dari satu mulut, maka setengah lingkaran dibuat pada suatu garis yang panjangnya sama dengan jumlah keseluruhan panjang garis yang melintasi berbagai mulut tersebut. Pulau-pulau yang terletak di dalam lekukan harus dianggap seolah-olah sebagai bagian daerah perairan lekukan tersebut. 4. Jika jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk tidak melebihi 24 mil laut, maka garis penutup dapat ditarik antara ke dua garis air rendah tersebut dan perairan yang tertutup karenanya dianggap sebagai perairan pedalaman. 5. Apabila jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk melebihi 24 mil laut, maka suatu garis pangkal lurus yang panjangnya 24 mil laut ditarik dalam teluk tersebut sedemikian rupa, sehingga menurut suatu daerah perairan yang maksimum yang mungkin dicapai oleh garis sepanjang itu. 6. Ketentuan di atas tidak diterapkan pada apa yang disebut teluk “sejarah”, atau dalam setiap hal dimana sistem garis pangkal lurus menurut pasal 7 diterapkan. rasi dan penggunaan : (a) pulau buatan; (b) instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 dan tujuan ekonomi lainnya; (c) instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan hak-hak Negara pantai dalam zona tersebut. 2. Negara pantai mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian, termasuk yurisdiksi yang bertalian dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. 3. Pemberitahuan sebagaimana mestinya harus diberikan mengenai pembangunan pulau buatan, instalasi atau bangunan demikian dan sarana tetap guna pemberitahuan adanya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara. Setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau tidak terpakai harus dibongkar untuk menjamin keselamatan pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar internasional yang diterima secara umum yang ditetapkan dalam hal ini oleh organisasi internasional yang berwenang. Pembongkaran demikian harus memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut, dan hak-hak serta kewajiban Negara lain. Pengumuman yang tepat harus diberikan mengenai kedalaman, posisi dan dimensi setiap instalasi atau bangunan yang tidak dibongkar secara keseluruhan. 4. Negara pantai, apabila diperlukan, dapat menetapkan zona keselamatan yang pantas di sekeliling pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian dimana Negara pantai dapat mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin baik keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut. 5. Lebar zona keselamatan harus ditentukan oleh Negara pantai dengan memperhatikan standar-standar internasional yang berlaku. Zona keselamatan demikian harus dibangun untuk menjamin bahwa zona keselamatan tersebut sesuai dengan sifat dan fungsi pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut dan tidak boleh melebihi jarak 500 meter sekeliling bangunan tersebut, diukur dari setiap titik terluar, kecuali apabila diijinkan oleh standar internasional yang diterima secara umum atau di rekomendasikan oleh organisasi internasional yang berwenang. Pemberitahuan yang semestinya harus diberikan tentang luas zona keselamatan tersebut. 6. Semua kapal harus menghormati zona keselamatan ini dan harus memenuhi standar internasional yang diterima secara umum yang bertalian dengan pelayaran di sekitar pulau buatan, instalasi, bangunan dan zona keselamatan. 7. Pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan serta zona keselamatan di sekelilingnya tidak boleh diadakan sehingga dapat mengakibatkan gangguan terhadap penggunaan alur laut yang diakui yang penting bagi pelayaran internasional. 8. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai status pulau. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai laut teritorialnya sendiri, dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. Pasal 11 Pelabuhan Untuk maksud penetapan batas laut teritorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari pada pantai. Instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai instalasi pelabuhan yang permanen. Pasal 12 Tempat berlabuh di tengah laut Tempat berlabuh di tengah laut yang biasanya dipakai untuk memuat, membongkar dan menambat kapal, dan yang terletak seluruhnya atau sebagian di luar batas luar laut teritorial, termasuk dalam laut teritorial. Pasal 13 Elevasi Surut 1. Suatu elevasi adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi demikian dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut teritorial. 2. Apabila suatu elevasi surut berada seluruhnya pada suatu jarak yang lebih dari laut teritorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka elevasi demikian tidak mempunyai laut teritorial sendiri. Pasal 14 Kombinasi cara-cara penetapan garis pangkal Negara pantai dapat menetapkan garis pangkal secara bergantian dengan menggunakan cara penarikan manapun yang diatur dalam pasal-pasal di atas untuk menyesuaikan dengan keadaan yang berlainan. Pasal 15 Penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan Dalam hal pantai dua Negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun di antaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titiktitiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing Negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua Negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas. Pasal 16 Peta dan daftar koordinat geografis 1. Garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial sebagaimana ditetapkan sesuai dengan pasal 7, 9 dan 10, atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan pasal 12 dan 15, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya. Sebagai gantinya dapat diberikan suatu daftar titik-titik koordinat geografis, yang menjelaskan datum geodetik. 2. Negara pantai harus memberikan pengumuman sebagaimana mestinya mengenai peta atau daftar koordinat geografis tersebut dan mendepositkan satu copy/turunan setiap peta atau daftar tersebut kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. BAGIAN 3. LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL SUB BAGIAN A. PERATURAN YANG BERLAKU BAGI SEMUA KAPAL Pasal 17 Hak lintas damai Dengan tunduk pada ketentuan Konvensi ini, kapal semua Negara, baik Negara berpantai ataupun Negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial. Pasal 18 Pengertian lintas 1. Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan : (a) melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman; atau (b) berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut. 2. Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian, lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan. Pasal 19 Pengertian lintas damai 1. Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peratruan hukum internasional lainnya. 2. Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau Keamanan Negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut : (a) setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; (b) setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun; (c) setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai; (d) setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan Negara pantai; (e) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal; (f) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer; (g) bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara Pantai; (h) setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini; (i) setiap kegiatan perikanan; (j) kegiatan riset atau survey; (k) setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai; (l) setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas. Pasal 20 Kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya Di laut teritorial, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan benderanya. Pasal 21 Peraturan perundang-undangan Negara pantai bertalian dengan lintas damai 1. Negara pantai dapat membuat peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya yang bertalian dengan lintas damai melalui laut teritorial, mengenai semua atau setiap hal berikut : (a) keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim; (b) perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi lainnya; (c) perlindungan kabel dan pipa laut; (d) konservasi kekayaan hayati laut; (e) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai; (f) pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya; (g) penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi; (h) pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara Pantai. 2. Peraturan perundang-undangan demikian tidak berlaku bagi disain, konstruksi, pengawakan atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau standar internasional yang diterima secara umum. 3. Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan perundang-undangan tersebut sebagaimana mestinya. 4. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial harus mematuhi semua peraturan perundangundangan demikian dan semua peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum. Pasal 22 Alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial 1. Negara pantai dimana perlu dengan memperhatikan keselamatan navigasi, dapat mewajibkan kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorialnya untuk mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang dapat ditetapkan dan yang harus dikuti untuk Pengaturan lintas kapal. 2. Khususnya, kapal tanki, kapal bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau barang atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun dapat diharuskan untuk membatasi lintasnya pada alur laut demikian. 3. Dalam penetapan alur laut dan penentuan skema pemisah lalu lintas menurut pasal ini, Negara pantai harus memperhatikan : (a) rekomendasi organisasi internasional yang kompeten; (b) setiap alur yang biasanya digunakan untuk navigasi internasional; (c) sifat-sifat khusus kapal dan alur tertentu; dan (d) kepadatan lalu lintas. 4. Negara pantai harus mencantumkan secara jelas alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian pada peta yang harus diumumkan sebagaimana mestinya. Pasal 23 Kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun Kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun, apabila melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial, harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal-kapal demikian. Pasal 24 Kewajiban Negara pantai 1. Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorial kecuali sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. Dalam penerapan Konvensi ini atau setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat sesuai Konvensi ini, Negara pantai khususnya tidak akan : (a) menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak litas damai; atau (b) mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara manapun atau terhadap kapal yang mengangkut muatan ke, dari atau atas nama Negara manapun. 2. Negara pantai harus mengumumkan secara tepat bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya. Pasal 25 Hak perlindungan Negara Pantai 1. Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlukan dalam laut teritorialnya untuk mencegah lintas yang tidak damai. 2. Dalam hal kapal menuju perairan pedalaman atau singgah di suatu fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, Negara pantai juga mempunyai hak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal tersebut ke perairan pedalaman atau persinggahan demikian. 3. Negara pantai, tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal asing, dapat menangguhkan sementara dalam daerah tertentu laut teritorialnya lintas damai kapal asing apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk perlindungan keamanannya, termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan demikian berlaku hanya setelah diumumkan sebagaimana mestinya. Pasal 26 Pungutan yang dapat dibebankan pada kapal asing 1. Tidak ada pungutan yang dapat dibebankan pada kapal asing hanya karena melintasi laut teritorial. 2. Pungutan dapat dibebankan pada kapal asing yang melintasi laut teritorial hanya sebagai pembayaran bagi pelayanan khusus yang diberikan kepada kanal tersebut. Pungutan ini harus dibebankan tanpa diskriminasi. SUB BAGIAN B. PERATURAN YANG BERLAKU BAGI KAPAL DAGANG DAN KAPAL PEMERINTAH YANG DIOPERASIKAN UNTUK TUJUAN KOMERSIAL Pasal 27 Yurisdiksi kriminal di atas kapal asing 1. Yurisdiksi kriminal Negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan penyidikan yang bertalian dengan kejahatan apapun yang dilakukan di atas kapal selama lintas demikian, kecuali dalam hal yang berikut : (a) apabila akibat kejahatan itu dirasakan di Negara pantai; (b) apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian Negara tersebut atau ketertiban laut wilayah; (c) apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal oleh wakil diplomatik atau pejabat konsuler Negara bendera; atau (d) apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psychotropis. 2. Ketentuan di atas tidak mempengaruhi hak Negara pantai untuk mengambil langkah apapun berdasarkan undangundangnya untuk tujuan penangkapan atau penyidikan di atas kapal asing yang melintasi laut teritorialnya setelah meninggalkan perairan Pedalaman. 3. Dalam hal sebagaimana ditentukan dalam ayat 1 dan 2, Negara pantai, apabila nakhoda memintanya, harus memberitahu wakil diplomatik atau pejabat konsuler Negara bendera sebelum melakukan tindakan apapun dan harus membantu hubungan antara wakil atau pejabat demikian dengan awak kapal. Dalam keadaan darurat pemberitahuan ini dapat disampaikan sewaktu tindakan tersebut dilakukan. 4. Dalam mempertimbangkan apakah atau dengan cara bagaimanakah suatu penangkapan akan dilakukan, penguasa setempat harus memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan navigasi. 5. Kecuali dalam hal sebagaimana ditentukan dalam Bab XII atau yang bertalian dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan Bab V, Negara pantai tidak dibenarkan untuk mengambil langkah apapun di atas kapal asing yang melintasi laut teritorial untuk melakukan penangkapan seseorang atau melakukan penyidikan apapun yang bertalian dengan kejahatan apapun yang dilakukan sebelum kapal itu memasuki laut teritorial, apabila kapal tersebut dalam perjalanannya dari suatu pelabuhan asing, hanya melintasi laut teritorial tanpa memasuki perairan pedalaman. Pasal 28 Yurisdiksi perdata bertalian dengan kapal asing 1. Negara pantai seharusnya tidak menghentikan atau merobah haluan kapal asing yang melintasi laut teritorialnya untuk tujuan melaksanakan yurisdiksi perdata bertalian dengan seseorang yang berada di atas kapal itu. 2. Negara pantai tidak dapat melaksanakan eksekusi terhadap atau menahan kapal untuk keperluan proses perdata apapun, kecuali hanya apabila berkenaan dengan kewajiban atau tanggung jawab ganti rugi yang diterima atau yang dipikul oleh kapal itu sendiri dalam melakukan atau untuk maksud perjalannya melalui perairan Negara pantai. 3. Ayat 2 tidak mengurangi hak Negara pantai untuk melaksanakan eksekusi atau penangkapan sesuai dengan undangundangnya dengan tujuan atau guna keperluan proses perdata terhadap suatu kapal asing yang berada di laut teritorial atau melintasi laut teritorial setelah meninggalkan perairan pedalaman. SUB BAGIAN C. PERATURAN YANG BERLAKU BAGI KAPAL PERANG DAN KAPAL PEMERINTAH LAINNYA YANG DIOPERASIKAN UNTUK TUJUAN NON-KOMERSIAL Pasal 29 Batasan kapal perang Untuk maksud Konvensi ini “kapal perang” berarti suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh Pemerintah Negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer yang tepat atau daftar serupa, dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler. Pasal 30 Tidak ditaatinya peraturan perundang-undangan Negara pantai oleh kapal perang asing Apabila sesuatu kapal perang tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial dan tidak mengindahkan permintaan untuk mentaati peraturan perundang-undangan tersebut yang disampaikan kepadanya, maka Negara pantai dapat menuntut kapal perang itu segera meninggalkan laut teritorialnya. Pasal 31 Tanggung jawab Negara bendera untuk kerugian yang disebabkan oleh kapal perang atau kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial Negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita Negara pantai sebagai akibat tidak ditaatinya oleh suatu kapal perang kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial atau ketentuan Konvensi ini atau peraturan hukum internasional lainnya. Pasal 32 Kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial Dengan pengecualian sebagaimana tercantum dalam sub-bagian A dan dalam pasal 30 dan 31, tidak satupun ketentuan dalam Konvensi ini mengurangi kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial. BAGIAN 4. ZONA TAMBAHAN Pasal 33 Zona tambahan 1. Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, yang dinamakan zona tambahan, Negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk : (a) mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya; (b) menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya. 2. Zona tambahan tidak dapat melebihi lebih 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. BAB III SELAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PELAYARAN INTERNASIONAL BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM Pasal 34 Status hukum perairan yang merupakan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional 1. Rejim lintas melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang ditetapkan dalam Bab ini tidak boleh mempengaruhi dalam hal lain status hukum perairan yang merupakan selat demikian atau pelaksanaan kedaulatan atau yurisdiksi Negara yang berbatasan dengan selat tersebut atas perairan demikian dan ruang udara, dasar laut serta tanah di bawahnya. 2. Kedaulatan atau yurisdiksi Negara yang berbatasan dengan selat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab ini dan peraturan hokum internasional lainnya. Pasal 35 Ruang lingkup Bab ini Tidak ada suatu ketentuan apapun dalam Bab ini mempengaruhi : (a) bagian perairan pedalaman maupun yang terletak dalam suatu selat, kecuali dimana penetapan suatu garis pangkal lurus sesuai denganpasal 7 mengakibatkan tertutupnya sebagai perairan pedalaman bagian-bagian yang sebelumnya tidak dianggap demikian; (b) status hukum perairan di luar laut teritorial Negara yang berbatasan dengan selat sebagai zona ekonomi eksklusif atau laut lepas; atau (c) rejim hukum dalam selat dimana lintas diatur untuk keseluruhan atau untuk sebagian oleh konvensi-konvensi internasional yang telah berlaku sejak lama khusus bagi selat demikian. Pasal 36 Rute laut lepas atau rute melalui zona ekonomi eksklusif melalui selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional Bagian ini tidak berlaku bagi suatu selat yang digunakan untuk pelayaran internasional apabila melalui selat itu terdapat suatu rute laut lepas atau rute melalui suatu zona ekonomi eksklusif yang sama fungsinya berkenaan dengan sifat-sifat navigasi dan hidrografis; dalam rute demikian, Bab-bab lainnya yang relevan dalam Konvensi ini, termasuk ketentuan mengenai kebebasan pelayaran dan penerbangan di atasnya, berlaku. BAGIAN 2. LINTAS TRANSIT Pasal 37 Ruang lingkup bagian ini Bagian ini berlaku bagi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau suatu zona ekonomi eksklusif lainnya. Pasal 38 Hak lintas transit 1. Dalam selat termasuk pada pasal 37, semua kapal dan pesawat udara mempunyai hak lintas transit, yang tidak boleh dihalangi; kecuali bahwa, apabila selat ini berada antara suatu pulau dan daratan utama Negara yang berbatasan dengan selat, lintas transit tidak berlaku apabila pada sisi ke arah laut pulau itu terdapat suatu rute melalui laut lepas atau melalui suatu zona ekonomi eksklusif yang sama fungsinya bertalian dengan sifat-sifat navigasi dan hidrografis. 2. Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan Bab ini semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya. Namun demikian persyaratan transit secara terus menerus, langsung dan secepat mungkin tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalui selat untuk maksud memasuki, meninggalkan atau kembali dari suatu Negara yang berbatasan dengan selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat masuk Negara itu. 3. Setiap kegiatan yang bukan suatu pelaksanaan hak lintas transit melalui suatu selat tetap tunduk pada ketentuanketentuan lain Konvensi ini. Pasal 39 Kewajiban kapal dan pesawat udara sewaktu lintas transit 1. Kapal dan pesawat udara, sewaktu melaksanakan hak lintas transit, harus : (a) lewat dengan cepat melalui atau di atas selat; (b) menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. (c) menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena force majeure atau karena kesulitan. (d) memenuhi ketentuan lain Bab ini yang relevan. 2. Kapal dalam lintas transit harus : (a) memenuhi peraturan hukum internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang keselamatan di laut termasuk Peraturan Internasional tentang Pencegahan Tubrukan di Laut; (b) memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal. 3. Pesawat udara dalam lintas transit harus : (a) mentaati Peraturan Udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization) sepanjang berlaku bagi pesawat udara sipil; pesawat udara pemeritah biasanya memenuhi tindakan keselamatan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan mengindahkan keselamatan penerbangan sebagimana mestinya; (b) setiap waktu memonitor frekwensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau oleh frekwensi radio darurat internasional yang tepat; Pasal 40 Kegiatan riset dan survey Sewaktu melakukan lalu lintas transit, kapal asing termasuk kapal riset ilmiah kelautan dan kapal survey hidrografi tidak dapat melakukan riset atau survey apapun tanpa ijin sebelumnya dari Negara yang berbatasan dengan selat itu. Pasal 41 Alur laut dan skema pemisah lalu lintas dalam selat yang digunakan untuk pelayaran internasional 1. Sesuai dengan ketentuan Bab ini, Negara yang berbatasan dengan selat dapat menentukan alur laut dan dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk pelayaran di selat apabila diperlukan untuk meningkatkan lintasan yang aman bagi kapal. 2. Negara yang demikian, apabila keadaan menghendakinya, dan setelah untuk itu memberikan pengumuman sebagaimana mestinya, dapat menggantikan setiap alur-alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan sebelumnya dengan alur-alur laut skema pemisah lalu lintas yang lain. 3. Alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian harus sesuai dengan peraturan internasional yang telah diterima secara umum. 4. Sebelum menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, Negara yang berbatasan dengan selat harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang dengan maksud dapat menerimanya. Organisasi itu hanya dapat menerima alur laut dan skema pemisah lalu lintas yangtelah disepakati dengan Negara-negara yang berbatasan dengan selat, setelah mana Negara-negara itu dapat menentukan, menetapkan atau menggantinya. 5. Bertalian dengan suatu selat dimana sedang diusulkan alur laut atau skema pemisah lalu lintas melalui perairan dua atau lebih Negara yang berbatasan dengan selat, Negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama dalam merumuskan usul melalui konsultasi dengan organisasi internasional yang berwenang. 6. Negara yang berbatasan dengan selat harus secara jelas mencantumkan semua alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya pada peta yang diumumkan sebagaimana mestinya. 7. Kapal dalam lintas transit harus menghormati alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang berlaku dan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal ini. Pasal 42 Peraturan perundang-undangan Negara yang berbatasan dengan selat yang bertalian dengan lintas transit 1. Dengan tunduk pada ketentuan bagian ini, Negara yang berbatasan dengan selat dapat membuat peraturan perundangundangan yang bertalian dengan lintas transit melalui selat, mengenai semua atau setiap hal berikut : (a) keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu lintas di laut sebagaimana ditentukan dalam pasal 41; (b) pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan melaksanakan peraturan internasional yang berlaku, tentang pembuangan minyak, limbah berminyak dan bahan berancun lainnya di selat; (c) bertalian dengan kapal penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk cara penyimpanan alat penangkap ikan; (d) menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal setiap komoditi, mata uang atau orang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara yang berbatasan dengan selat. 2. Peraturan perundang-undangan demikian tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal asing atau di dalam pelaksanaannya yang membawa akibat praktis menolak, menghambat atau mengurangi hak lintas transit sebagaimana ditentukan dalam bagian ini. 3. Negara-negara yang berbatasan dengan selat harus mengumumkan sebagaimana mestinya semua peraturan perundangundangan tersebut. 4. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas transit harus memenuhi peraturan perundang-undangan demikian. 5. Negara bendera suatu kapal atau Negara dimana terdaftar suatu pesawat udara yang berhak atas kekebalan, yang bertindak secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tersebut atau ketentuan lain Bab ini, harus memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian atau kerusakan yang diderita oleh Negara yang berbatasan dengan selat. Pasal 43 Sarana bantu navigasi dan keselamatan serta pengembangan lainnya dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran Negara pemakai dan Negara yang berbatasan dengan selat hendaknya bekerjasama melalui persetujuan untuk : (a) pengadaan dan pemeliharaan di selat sarana bantu navigasi dan keselamatan yang diperlukan atau pengembangan sarana bantu pelayaran internasional; dan (b) untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dari kapal. Pasal 44 Kewajiban Negara yang berbatasan dengan selat Negara yang berbatasan dengan selat tidak boleh menghambat lintas transit dan harus mengumumkan dengan tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran atau penerbangan lintas di dalam atau di atas selat yang diketahuinya. Tidak boleh ada Penangguhan lintas transit. BAGIAN 3. LINTAS DAMAI Pasal 45 Lintas damai 1. Rejim lintas damai menurut ketentuan Bab II bagian 3, harus berlaku dalam selat yang digunakan untuk pelayaran internasional : (a) yang menurut ketentuan pasal 38 ayat 1, dikecualikan dari pelaksanaan rejim lintas transit; atau (b) antar bagian laut lepas atau suatu zona ekonomi eksklusif dan laut teritorial suatu Negara asing. 2. Tidak boleh ada penangguhan lintas damai melalui selat demikian. BAB IV NEGARA KEPULAUAN Pasal 46 Penggunaan istilah Untuk maksud Konvensi ini : (a) “Negara kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain; (b) “kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.( Penulis : Sesuai Deklarasi Djuanda). Pasal 47 Garis pangkal kepulauan 1. Suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulaupulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa didalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu. 2. Panjang garis pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut. 3. Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfirgurasi umum kepulauan tersebut. 4. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat. 5. Sistem garis pangkal demikian tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. 6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan terletak di antara dua bagian suatu Negara tetangga yang langsung berdampingan, hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentigan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh Negara tersebut terakhir di perairan demikian, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara Negara-negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dihormati. 7. Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan berdasarkan ketentuan ayat 1, daerah daratan dapat mencakup di dalamnya perairan yang terletak di dalam tebaran karang, pulau-pulau dan atol, termasuk bagian plateau oceanik yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering di atas permukaan laut yang terletak di sekeliling plateau tersebut. 8. Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik. 9. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 48 Pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen Lebar laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen harus diukur dari garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal 47. Pasal 49 Status hukum perairan kepulauan, ruang udara di atas perairan kepulauan dan dasar laut serta tanah di bawahnya 1. Kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. 2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. 3. Kedaulatan ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab ini. 4. Rejim lintas alur laut kepulauan yang ditetapkan dalam Bab ini bagaimanapun juga tidak boleh di bidang lain mempengaruhi status perairan kepulauan, termasuk alur laut, atau pelaksanaan kedaulatan oleh Negara kepulauan atas perairan demikian dan ruang udara, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Pasal 50 Penetapan batas perairan pedalaman Di dalam perairan kepulauannya, Negara kepulauan dapat menarik garis-garis penutup untuk keperluan penetapan batas perairan pedalaman, sesuai dengan ketentuan pasal 9, 10 dan 11. Pasal 51 Perjanjian yang berlaku, hak perikanan tradisional dan kabel laut yang ada 1. Tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 49, Negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan Negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah Negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak akan kegiatan demikian, berlaku, atas permintaan salah satu Negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan Negara ketiga atau warga negaranya. 2. Suatu Negara kepulauan harus menghormati kabel laut yang ada yang dipasang oleh Negara lain dan yang melalui perairannya tanpa melalui darat. Suatu Negara kepulauan harus mengijinkan pemeliharaan dan penggantian kabel demikian setelah diterimanya pemberitahuan yang semestinya mengenai letak dan maksud untuk memperbaiki atau menggantinya. Pasal 52 Hak lintas damai 1. Dengan tunduk pada ketentuan pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 50, kapal semua Negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai dengan ketentuan dalam Bab II, bagian 3. 2. Negara Kepulauan dapat, tanpa mengadakan diskriminasi formal maupun diskriminasi nyata diantara kapal asing, menangguhkan sementara lintas damai kapal asing di daerah tertentu perairan kepulauannya, apabila penangguhan demikian sangat perlu untuk melindungi keamanannya. Penangguhan demikian akan berlaku hanya setelah diumumkan sebagaimana mestinya. Pasal 53 Hak lintas alur laut kepulauan 1. Suatu Negara Kepulauan dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan dengannya. 2. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan demikian. 3. Lintas alur laut kepulauan berarti pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya. 4. Alur laut dan rute udara demikian harus melintasi perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan dan mencakup semua rute lintas normal yang digunakan sebagai rute atau alur untuk pelayaran internasional atau penerbangan melalui atau melintasi perairan kepulauan dan di dalam rute demikian, sepanjang mengenai kapal, semua alur navigasi normal dengan ketentuan bahwa duplikasi rute yang sama kemudahannya melalui tempat masuk dan keluar yang sama tidak perlu. 5. Alur laut dan rute penerbangan demikian harus ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute lintas hingga tempat ke luar. Kapal dan pesawat udara yang melakukan lintas melalui alur laut kepulauan tidak boleh menyimpang lebih dari pada 25 mil laut ke dua sisi garis sumbu demikian, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10% jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut. 6. Suatu Negara kepulauan yang menentukan alur laut menurut ketentuan pasal ini dapat juga menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui terusan sempit dalam alur laut demikian. 7. Suatu Negara kepulauan, apabila keadaan menghendaki, setelah untuk itu mengadakan pengumuman sebagaimana mestinya, dapat mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkannya sebelumnya dengan alur laut atau skema pemisah lalu lintas lain. 8. Alur laut dan skema pemisah lalu lintas demikian harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima secara umum. 9. Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, suatu Negara kepulauan harus mengajukan usul-usul kepada organisasi internasional berwenang dengan maksud untuk dapat diterima. Organisasi tersebut hanya dapat menerima alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang demikian sebagaimana disetujui bersama dengan Negara kepulauan, setelah mana Negara kepulauan dapat menentukan, menetapkan atau menggantinya. 10. Negara kepulauan harus dengan jelas menunjukkan sumbu-sumbu alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya pada peta-peta yang harus diumumkan sebagaimana mestinya. 11. Kapal yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus mematuhi alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang berlaku yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal ini. 12. Apabila suatu Negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional. Pasal 54 Kewajiban kapal dan pesawat udara selama melakukan lintas, kegiatan riset dan survey, Kewajiban Negara kepulauan dan peraturan perundang-undanganNegara kepulauan bertalian dengan lintas alur laut kepulauan Pasal-pasal 39, 40, 42 dan 44 berlaku mutatis mutandis bagi lintas alur laut kepulauan. BAB V ZONA EKONOMI EKSEKLUSIF Pasal 55 Rejim hukum khusus zona ekonomi eksklusif Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rejim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini. Pasal 56 Hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban Negara pantai dalam zona ekonomi eksklusif 1. Dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai mempunyai : (a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin; (b) Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan Konvensi ini berkenaan dengan : (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset ilmiah kelautan; (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; (c) Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini. 2. Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif, Negara Pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. 3. Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI. Pasal 57 Lebar zona ekonomi eksklusif Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. Pasal 58 Hak-hak dan kewajiban Negara lain di zona ekonomi eksklusif 1. Di zona ekonomi eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan Konvensi ini, kebebasan kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini. 2. Pasal 88 sampai 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan Bab ini. 3. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini di zona ekonomi eksklusif, Negaranegara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internsional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuanBab ini. Pasal 59 Dasar untuk penyelesaian sengketa mengenai pemberian hak-hak dan yurisdiksi di zona ekonomi eksklusif Dalam hal dimana Konvensi ini tidak memberikan hak-hak atau yurisdiksi kepada Negara pantai atau kepada Negara lain di zona ekonomi eksklusif, dan timbul sengketa antara kepentinganan-kepentingan Negara pantai dan Negara lain atau Negara-negara lain manapun, maka sengketa itu harus diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan pertimbangan segala keadaan yang relevan, dengan memperhatikan masing-masing keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Pasal 60 Pulau buatan, instalasi danbangunan-bangunan di zona ekonomi eksklusif 1. Di zona ekonomi eksklusif, Negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan untuk menguasakan dan mengatur pembangunan operasi dan penggunaan : (a) pulau buatan; (b) instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 dan tujuan ekonomi lainnya; (c) instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan hak-hak Negara pantai dalam zona tersebut. 2. Negara pantai mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian, termasuk yurisdiksi yang bertalian dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. 3. Pemberitahuan sebagaimana mestinya harus diberikan mengenai pembangunan pulau buatan, instalasi atau bangunan demikian dan sarana tetap guna pemberitahuan adanya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara. Setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau tidak terpakai harus dibongkar untuk menjamin keselamatan pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar internasional yang diterima secara umum yang ditetapkan dalam hal ini oleh organisasi internasional yang berwenang. Pembongkaran demikian harus memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut, dan hak-hak serta kewajiban Negara lain. Pengumuman yang tepat harus diberikan mengenai kedalaman, posisi dan dimensi setiap instalasi atau bangunan yang tidak dibongkar secara keseluruhan. 4. Negara pantai, apabila diperlukan, dapat menetapkan zona keselamatan yang pantas di sekeliling pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian dimana Negara pantai dapat mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin baik keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut. 5. Lebar zona keselamatan harus ditentukan oleh Negara pantai dengan memperhatikan standar-standar internasional yang berlaku. Zona keselamatan demikian harus dibangun untuk menjamin bahwa zona keselamatan tersebut sesuai dengan sifat dan fungsi pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut dan tidak boleh melebihi jarak 500 meter sekeliling bangunan tersebut, diukur dari setiap titik terluar, kecuali apabila diijinkan oleh standar internasional yang diterima secara umum atau di rekomendasikan oleh organisasi internasional yang berwenang. Pemberitahuan yang semestinya harus diberikan tentang luas zona keselamatan tersebut. 6. Semua kapal harus menghormati zona keselamatan ini dan harus memenuhi standar internasional yang diterima secara umum yang bertalian dengan pelayaran di sekitar pulau buatan, instalasi, bangunan dan zona keselamatan. 7. Pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan serta zona keselamatan di sekelilingnya tidak boleh diadakan sehingga dapat mengakibatkan gangguan terhadap penggunaan alur laut yang diakui yang penting bagi pelayaran internasional. 8. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai status pulau. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai laut teritorialnya sendiri, dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. Pasal 61 Konservasi sumber kekayaan hayati 1. Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam zona ekonomi eksklusifnya. 2. Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia baginya harus menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Di mana Negara pantai dan organisasi internasional berwenang, baik sub-regional, regional maupun global, harus bekerja sama untuk tujuan ini. 3. Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan persediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang diajukan secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global. 4. Dalam mengambil tindakan demikian, Negara pantai harus memperhatikan akibat terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau tergantung demikian di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam. 5. Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub-regional, regional maupun global di mana perlu dan dengan peran serta semua Negara yang berkepentingan, termasuk Negara yang warganegaranya diperbolehkan menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif. Pasal 62 Pemanfaatan sumber kekayaan hayati 1.Negara pantai harus menggalakkan tujuan pemanfatan yang optimal sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tanpa mengurangi arti ketentuan Pasal 61. 2. Negara pantai harus menetapkan kemampuannya untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif. Dalam hal Negara pantai tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang dapat dibolehkan, maka Negara pantai tersebut melalui perjanjian atau pengaturan lainnya dan sesuai dengan ketentuan, persyaratan dan peraturan perundang-undangan tersebut pada ayat 4, memberikan kesempatan pada Negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan yang dapat diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan pasal 69 dan 70, khususnya yang bertalian dengan Negara berkembang yang disebut di dalamnya. 3. Dalam memberikan kesempatan memanfaatkan kepada negara lain memasuki zona ekonomi eksklusifnya berdasarkan ketentuan Pasal ini, Negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang relevan, termasuk inter alia pentingnya sumber kekayaan hayati di daerah itu bagi perekonomian Negara pantai yang bersangkutan dan kepentingan nasionalnya yang lain, ketentuan pasal 69 dan 70, kebutuhan Negara berkembang di sub-region atau region itu dalam memanfaatkan sebagian dari surplus dan kebutuhan untuk mengurangi dislokasi ekonomi di negara yang warganegaranya sudah biasa menangkap ikan di zona tersebut atau telah sungguh-sungguh melakukan usaha riset dan identifikasi persediaan jenis ikan. 4. Warganegara Negara lain yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif harus mematuhi tindakan konservasi, ketentuan dan persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Negara pantai. Peraturan perundang-undangan ini harus sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan dapat meliputi, antara lain hal-hal berikut : (a) pemberian ijin kepada nelayan, kapal penangkap ikan dan peralatannya, termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal Negara pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan, peralatan dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan; (b) penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan menentukan kwota-kwota penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap oleh warganegara suatu Negara selama jangka waktu tertentu; (c) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan; (d) penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis lain yagn boleh ditangkap; (e) perincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal; (f) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan Negara pantai, dilakukannya program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan; (g) penempatan peninjau atau trainee diatas kapal tersebut oleh Negara pantai; (h) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan Negara pantai; (i) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan kerjasama lainnya; (j) persyaratan untuk latihan pesonil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan Negara pantai untuk melakukan riset perikanan; (k) prosedur penegakan. 5. Negara pantai harus mengadakan pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai peraturan konservasi dan pengelolaan. Pasal 63 Persediaan jenis ikan yang terdapat di zona ekonomi eksklusif dua Negara pantai atau lebih atau baik di dalam zona ekonomi eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengannya Dimana persediaan jenis ikan yang sama atau persediaan jenis ikan yang termasuk dalam jenis yang sama terdapat dalam zona ekonomi eksklusif dua Negara pantai atau lebih, maka Negara-negara ini harus secara langsung melalui organisasi sub-regional atau regional yang bersangkutan berusaha mencapai kesepakatan mengenai tindakan yang diperlukan untuk mengkoordinasikan dan menjamin konservasi dan pengembangan persediaan jenis ikan demikian tanpa mengurangi arti ketentuan lain Bab ini. Dimana persediaan ikan yang sama atau persediaan jenis ikan yang termasuk dalam jenis yang sama yang terdapat baik dalam zona ekonomi eksklusif maupun di luar daerah dan yang berbatasan dengan zona tersebut, maka Negara pantai dan Negara yang menangkap persediaan jenis ikan demikian di daerah yang berdekatan harus berusaha baik secara langsung atau melalui organisasi sub-regional atau regional yang bersangkutan untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan yang diperlukan untuk konservasi persediaan jenis ikan di daerah yang berdekatan tersebut. Pasal 64 Jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory sepcies) 1. Negara pantai dan Negara lain yang warganegaranya melakukan penangkapan ikan di kawasan untuk jenis ikan yang bermigrasi jauh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, harus bekerja sama secara langsung atau melalui organisasi internasional yang bersangkutan dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan yang demikian di seluruh kawasan, baik didalam maupun di luar zona ekonomi eksklusif. Di Kawasan dimana tidak terdapat organisasi internasional yang bersangkutan Negara pantai dan Negara lain yang warganegaranya memanfaatkan jenis ikan demikian di kawasan tersebut harus bekerjasama untuk membentuk organisasi demikian dan berperan serta dalam kegiatannya. 2. Ketentuan ayat 1 berlaku disamping ketentuan lain Bab ini. Pasal 65 Mamalia Laut Tidak ada satu ketentuan pun dalam Bab ini yang membatasi hak Negara pantai atau kewenangan suatu organisasi internasional, sebagaimana layaknya, untuk melarang, membatasi atau mengatur eksploitasi mamalia laut secara lebih ketat dari pada yang diatur dalam Bab ini. Negara-negara harus bekerja sama dengan tujuan untuk konservasi mamalia laut dan dalam hal cataceans harus bekerja khususnya melalui organisasi internasional yang bersangkutan untuk konservasi, pengelolaan dan penelitian. Pasal 66 Persediaan jenis ikan anadrom 1. Negara dimana sungainya merupakan tempat asal persediaan jenis ikan anadrom harus mempunyai kepentingan utama dan tanggung jawab atas persediaan jenis ikan demikian. 2. Negara asal persediaan jenis ikan anadrom harus menjamin konservasi jenis tersebut dengan mengadakan tindakantindakan pengaturan yang tepat bagi penangkapan ikan di semua perairan pada sisi darat batas luar zona ekonomi eksklusif dan bagi penangkapan ikan sebagaimana ditetapkan dalam ayat 3 (b). Negara asal setelah mengadakan konsultasi dengan negara lain yang disebut dalam ayat 3 dan 4 yang menangkap jenis ikan ini, dapat menetapkan jumlah tangkapan total yang diperbolehkan bagi persediaan jenis ikan yang berasal dari sungai-sungainya; 3.-- (a) Perikanan bagi persediaan jenis ikan anadrom hanya dapat dilakukan dalam perairan pada sisi darat batas luar zona ekonomi eksklusif kecuali dalam hal ketentuan ini akan mengakibatkan dislokasi ekonomi bagi suatu negara lain dari pada Negara asal. Berkenaan dengan penangkapan ikan demikian di sebelah luar batas luar zona ekonomi eksklusif, Negara-negara yang bersangkutan harus tetap mengadakan konsultasi dengan tujuan untuk mencapai kata sepakat tentang ketentuan dan persyaratan penangkapan ikan demikian dengan memperhatikan persyaratan konservasi dan kebutuhan Negara asal persediaan jenis ikan ini. (b) Negara asal harus bekerjasama untuk memperkecil dislokasi ekonomi di Negara yang menangkap persediaan jenis ikan ini, dengan memperhatikan jumlah tangkapan normal dan cara operasi Negara tersebut itu serta semua kawasan di mana penangkapan demikian telah dilakukan. (c) Negara yang disebut dalam sub-ayat (b), yang berperan serta melalui persetujuan dengan negara asal dalam tindakan untuk memperbaharui jumlah persediaan jenis ikan anadrom, khususnya dengan mengeluarkan biaya untuk maksud itu, harus diberi perhatian khusus oleh Negara asal dalam usaha pemanfaatan persediaan jenis ikan ini yang berasal dari sungainya. (d) Pelaksanaan peraturan mengenai penyediaan jenis ikan anadrom di luar zona ekonomi eksklusif harus dialukan berdasarkan persetujuan antara Negara asal dan Negara lainnya yang berkepentingan. 4. Dalam hal dimana persediaan jenis anadrom bermigrasi ke dalam atau melalui perairan di sisi darat batas luar zona ekonomi eksklusif Negara yang lain dari pada Negara asal, maka Negara demikian harus bekerjasama dengan Negara asal dengan tujuan untuk konservasi dan pengelolaan persediaan jenis ikan demikian. 5. Negara asal persediaan jenis ikan anadrom dan Negara lain yang melakukan penangkapan persediaan jenis ikan ini, harus membuat pengaturan untuk melaksanakan ketentuan pasal ini, dimana perlu, melalui organisasisasi regional. Pasal 67 Jenis ikan catadrom 1. Negara pantai yang dalam perairannya jenis ikan catadrom menggunakan sebagian besar siklus kehidupannya mempunyai tanggung jawab atas pengelolaan jenis-jenis ini dan harus menjamin masuk dan keluarnya jenis ikan yang bermigrasi. 2. Pemanfaatan jenis ikan catadrom harus dilakukan hanya dalam perairan pada sisi darat batas luar zona ekonomi eksklusif. Apabila dilakukan dalam zona ekonomi eksklusif pemanfaatan harus tunduk pada pasal ini dan ketentuan lain Konvensi ini mengenai penangkapan ikan dalam zona tersebut. 3. Dalam hal dimana ikan catadrom bermigrasi melalui zona ekonomi eksklusif Negara lain, sebagai ikan muda atau ikan mendekati dewasa, pengelolaan termasuk pemanfaatan ikan demikian harus diatur dengan perjanjian antara Negara yang disebut dalam ayat 1 dan Negara lain yang berkepentingan Perjanjian demkian harus menjamin pengelolaan rasional jenis tersebut dan memperhatikan tanggung jawab Negara yang disebutkan dalam ayat 1 atas pemeliharaan jenis ikan ini. Pasal 68 Jenis Sedenter Bagian ini tidak berlaku bagi ikan jenis sedenter sebagaimana diartikan dalam pasal 77 ayat 4. Pasal 69 Hak Negara-negara tak berpantai 1. Negara tak berpantai mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan, dalam eksploitasi bagian yang pantas dari kelebihan sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara-negara pantai dalam sub-region atau region yang sama, dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan geografi yang relevan semua Negara yang berpentingan dan sesuai dengan ketentuan pasal ini dan pasal-pasal 61 dan 62. 2. Persyaratan dan cara peran serta demikian akan ditetapkan oleh Negara-negara yang berkepentingan melalui perjanjian bilateral, sub-regional atau regional dengan memperhatikan, inter alia : (a) kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan atau industri penangkapan ikan Negara pantai; (b) sejauh mana Negara tak berpantai tersebut, sesuai dengan ketentuan pasal ini, berperan serta atau berhak untuk berperan serta berdasarkan perjanjian bilateral, sub-regional atau regional yang ada dalam mengeksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara-negara pantai lainnya; (c) sejauh mana Negara tak berpantai lainnya dan Negara yang secara geografis tak beruntung berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara pantai tersebut dan kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi suatu Negara pantai tertentu atau suatu bagian dari padanya; (d) kebutuhan gizi penduduk masing-masing Negara. 3. Bilamana kapasitas tangkap suatu Negara pantai mendekati suatu titik yang memungkinkan Negara itu untuk menangkap seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusifnya, maka Negara pantai dan Negara-negara lain yang berkepentingan harus bekerjasama dalam menetapkan pengaturan yang adil atas dasar bilateral, sub-regional atau regional untuk memperbolehkan peran serta Negara-negara berkembang tak berpantai di sub-region atau region yang sama dalam suatu eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif Negara-negara pantai di dalam sub-region atau region sebagaimana layaknya dengan memperhatikan kepada dan atas dasar persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak. Dalam pelaksanaan ketentuan ini faktor-faktor yang disebut dalam ayat 2 juga harus diperhatikan. 4. Negara maju tak berpantai, berdasarkan ketentuan pasal ini, berhak untuk berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati hanya dalam zona ekonomi eksklusif Negara pantai yang maju dalam sub-region atau region yang sama dengan memperhatikan sejauh mana Negara pantai, dalam memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusifnya, telah memperhatikan kebutuhan untuk memperkecil akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan dan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya telah bisa menangkap ikan dalam zona tersebut. 5. Ketentuan di atas adalah tanpa mengurangi arti pengaturan yang disepakati di sub-region atau region dimana Negara pantai dapat memberikan kepada Negara-negara tak berpantai dalam sub-region dan region yang sama hak-hak yang sama atau yang didahulukan untuk eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif. Pasal 70 Hak Negara yang secara geografis tak beruntung 1. Negara yang secara geografis tak beruntung mempunyai hak untuk berperan serta, atas dasar yang adil, dalam eksploitasi suatu bagian yang layak dan surplus sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara-negara pantai di subregion atau region yang sama, dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan geografis yang relevan dari semua Negara yang berkepentingan dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal ini dan pasal-pasal 61 dan 62. 2. Untuk tujuan Bab ini, “Negara yang secara geografis tak beruntung” berarti Negara pantai, termasuk Negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup, yang letak geografisnya membuatnya tergantung pada eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara lain di sub-region atau region untuk persediaan ikan yang memadai bagi keperluan gizi penduduknya atau bagian 3. Persyaratan dan cara peran serta demikian harus ditetapkan oleh Negara-negara yang bersangkutan melalui persetujuan bilateral, sub-region atau regional dengan memperhatikan, inter alia : (a) kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan atau industri Penangkapan ikan Negara Pantai; (b) sampai sejauh mana negara yang secara geografis tak beruntung, sesuai dengan ketentuan pasal ini, berperan serta atau berhak untuk berperan serta berdasarkan persetujuan bilateral, sub-regional atau regional yang ada dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif Negara pantai lain; (c) sampai sejauh mana Negara yang secara geografis tak beruntung lainnya dan Negara tak berpantai berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara pantai dan kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi suatu Negara pantai tertentu atau satu bagian dari padanya; (d) kebutuhan gizi penduduk masing-masing Negara. 4. Bilamana kapasitas tangkap suatu Negara pantai mendekati suatu titik yang memungkinkan Negara itu untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif, maka Negara pantai dan negara lain yang berkepentingan harus bekerjasama untuk menetapkan pengaturan yang adil, atas dasar bilateral, sub-regional atau regional untuk memperbolehkan peran serta Negara-negara berkembang yang secara geografis tak beruntung di sub-region atau region yang sama dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif Negara pantai di sub-region atau region sebagaimana layaknya sesuai dengan keadaan dan berdasarkan persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak. Dalam pelaksanaan ketentuan ini faktor-faktor yang disebut dalam ayat 3 juga harus diperhatikan. 5. Negara maju yang secara geografis tak beruntung, berdasarkan ketentuan pasal ini, berhak untuk berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati hanya di zona ekonomi eksklusif Negara pantai yang maju dalam subregion atau region yang sama dengan memperhatikan sampai sejauh mana Negara pantai, dalam memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusifnya, telah memperhatikan kebutuhan untuk memperkecil akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan dan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya telah biasa menangkap ikan dizona tersebut. 6. Ketentuan di atas adalah tanpa mengurangi arti pengaturan yang telah disepakati di sub-region atau region dimana Negara pantai dapat memberikan kepada Negara-negara yang secara geografis tak beruntung dalam sub-region atau region yang sama hak yang sama atau hak yang didahulukan untuk eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif. Pasal 71 Tidak berlakunya pasal-pasal 69 dan 70 Ketentuan pasal-pasal 69 dan 70 tidak berlaku dalam hal suatu Negara pantai yang ekonominya sangat bergantung pada eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusifnya. Pasal 72 Pembatasan pengalihan hak 1. Hak yang diberikan berdasarkan Pasal 69 dan 70 untuk mengekploitasi sumber kekayaan hayati tidak boleh dialihkan baik secara langsung atau tidak langsung kepada Negara ketiga atau warganegaranya dengan cara sewa atau perijinan, dengan mengadakan usaha patungan atau dengan cara lain apapun yang mempunyai akibat pengalihan demikian, kecuali disetujui secara lain oleh Negara-negara yang berkepentingan. 2. Ketentuan di atas tidak menutup kemungkinan bagi Negara yang berkepentingan untuk memperoleh bantuan teknis atau keuangan dari Negara ke tiga atau organisasi internasional untuk memudahkan pelaksanaan hak-hak sesuai dengan ketentuan pasal-pasal 69 dan 70, dengan ketentuan bahwa hal itu tidak mempunyai akibat yang disebutkan dalam ayat 1. Pasal 73 Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara pantai 1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. 2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. 3. Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya. 4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus segera memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan. Pasal 74 Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan 1. Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Status Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil. 2. Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, Negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. 3. Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1, Negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan. 4. Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan Penetapan batas zona ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu. Pasal 75 Peta dan daftar koordinat geografis 1. Dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan Bab ini, garis batas terluar zona ekonomi eksklusif dan garis penetapan batas yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal 74 harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menentukan posisinya. Dimana perlu, daftar titik-titik koordinat-koordinat geografis, yang memerinci datum geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar atau garis-garis penetapan Perbatasan yang demikian. 2. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu copy setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. BAB VI LANDAS KONTINEN Pasal 76 Batasan landas kontinen 1. Landas kontinen suatu Negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. 2. Landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas sebagaimana ditentukan dalam ayat 4 hingga 6. 3. Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada dibawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah dibawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak mencakup dasar samudera dalam dengan bukti-bukti samudera atau tanah di bawahnya. 4.-- (a) Untuk maksud konvensi ini, Negara pantai akan menetapkan pinggiran luar tepian kontinen dalam hal tepian kontinen tersebut lebih lebar dari 200 mil laut dari garis pangkal dan mana lebar laut teritorial diukur, atau dengan : (i) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik tetap terluar dimana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen; atau (ii) suatu garis yang ditarik sesuai dengan menunjuk pada titik-titik tetap yang tereltak tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen. (b) Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada kakinya. 5. Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada dasar laut, yang ditarik sesuai dengan ayat 4 (a)(i) dan (ii), atau tidak akan boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) 2.500 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman 2.500 meter. 6. Walaupun ada ketentuan ayat 5, pada bukti-bukti dasar laut, batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur. Ayat ini tidak berlaku bagi elevasi dasar laut yang merupakan bagian-bagian alamiah tepian kontinen, seperti pelataran (pateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar (banks) dan puncak gunung yang bulat (spurs) nya. 7. Negara pantai harus menetapkan batas terluar landas kontinennya di mana landas kontinen itu melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur dengan cara menarik garis-garis lurus yang tidak melebihi 60 mil laut panjangnya, dengan menghubungkan titik-titik tetap, yang ditetapkan dengan koordinat-koordinat lintang dan bujur. 8. Keterangan mengenai batas-batas landas kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur harus disampaikan oleh Negara pantai kepada Komisi Batas-batas Landas Kontinen (Commision on the Limits of the Continental Shelf) yang didirikan berdasarkan Lampiran IIatas dasar perwakilan geografis yang adil. Komisi ini harus membuat rekomendasi kepada Negara pantai mengenai masalah yang bertalian dengan penetapan batas luar landas kontinen mereka. Batas-batas landas kontinen yang ditetapkan oleh suatu Negara pantai berdasarkan rekomendasi-rekomendasi ini adalah tuntas dan mengikat. 9. Negara pantai harus mendepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa peta-peta dan keterangan yang relevan termasuk data geodesi, yang secara permanen menggambarkan batas luar landas kontinennya Sekretaris Jenderal harus mengumumkan peta-peta dan keterangan tersebut sebagaimana mestinya. 10. Ketentuan pasal ini tidak boleh mengurangi arti masalah penetapan batas landas kontinen antara Negara-negara yang berhadapan atau berdampingan. Pasal 77 Hak Negara pantai atas landas kontinen 1. Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan mengeksplorasinya dan mengekploitasi sumber kekayaan alamnya. 2. Hak yang tersebut dalam ayat 1 di atas adalah eksklusifnya dalam arti bahwa apabila Negara pantai tidak mengekplorasi landas kontinen atau mengekploitasi sumber kekayaan alamnya, tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas Negara pantai. 3. Hak suatu Negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung pada pendudukan (okupasi), baik efektif atau tidak tetap (notinal), atau pada proklamasi secara jelas apapun. 4. Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau di bawah dasar laut atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak pisik tetap dengan dasar laut atau tanah dibawahnya. Pasal 78 Status hukum perairan dan ruang udara diatas landas kontinen serta hak dan kebebasan Negara lain 1. Hak Negara pantai atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan di atasnya atau ruang udara di atas perairan tersebut. 2. Pelaksanaan hak Negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mengurangi, atau mengakibatkan gangguan apapun yang tak beralasan terhadap pelayaran dan hak serta kebebasan lain yang dimiliki Negara lain sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Konvensi ini. Pasal 79 Kabel dan pipa laut dilandas kontinen 1. Semua Negara berhak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut di atas landas kontinen sesuai dengan ketentuan pasal ini. 2. Dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang patut untuk mengeksplorasi landas kontinen, mengekploitasi sumber kekayaan alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari pipa, Negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa demikian. 3. Penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut demikian di atas landas kontinen harus mendapat persetujuan Negara pantai. 4. Tidak satupun ketentuan dalam Bab ini mempengaruhi hak Negara pantai untuk menetapkan persyaratan bagi kabel atau pipa yang memasuki wilayah atau laut teritorialnya, atau mempengaruhi yurisdiksi negara pantai atas kabel dan pipa yang dipasang atau dipakai bertalian dengan eksplorasi landas kontinennya atau eksploitasi sumber kekayaan alamnya atau operasi pulau buatan, instalasi dan bangunan yang ada di bawah yurisdiksinya. 5. Apabila memasang kabel atau pipa bawah laut, Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya kabel atau pipa yang sudah ada. Khususnya, kemungkinan untuk perbaikan kabel dan pipa yang sudah ada tidak boleh dirugikan. Pasal 80 Pulau buatan instalasi dan bangunan di atas landas kontinen Pasal 60 berlaku mutatis mutandis untuk pulau buatan, instalasi dan bangunan di atas landas kontinen. Pasal 81 Pemboran di landas kontinen Negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk mengijinkan dan mengatur pemboran di landas kontinen untuk segala keperluan. Pasal 82 Pembayaran dan sumbangan bertalian dengan eksploitasi landas kontinen diluar 200 mil laut 1. Negara pantai harus melakukan pembayaran atau sumbangan berupa barang bertalian dengan eksploitasi sumber kekayaan non hayati landas kontinen di luar 200 mil laut dihitung dari garis pangkal untuk mengukur luas lautteritorial. 2. Pembayaran dan sumbangan tersebut harus dibuat secara tahunan berkenaan dengan semua produksi pada suatu tempat setelah produksi 5 tahun pertama pada tempat itu. Untuk tahun ke enam, tarip pembayaran atau sumbangan adalah 1% dari nilai atau jumlah produksi tempat itu. Tarip tersebut harus naik dengan 1% untuk tiap tahun berikutnya hingga tahun ke duabelas dan akan tetap pada 7% setelah itu. Produksi tidak mencakup sumber yang digunakan bertalian dengan eksploitasi. 3. Suatu negara berkembang yang merupakan pengimpor netto suatu sumber mineral yang dihasilkan dari landas kontinennya dibebaskan dari keharusan melakukan pembayaran atau sumbangan yang bertalian dengan sumber mineral tersebut. 4. Pembayaran atau sumbangan itu harus dibuat melalui Otorita yang harus membagikannya kepada Negara Peserta pada Konvensi ini atas dasar ukuran pembagian yang adil, dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan Negara-negara berkembang, terutama yang paling terkebelakang dan yang tak berpantai diantaranya. Pasal 83 Penetapan garis batas landas kontinen antara Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan 1. Penetapan garis batas landas kontinen antara Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil. 2. Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, Negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV. 3. Sambil menunggu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1, Negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus membuat segala usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau mengganggu pencapaian persetujuan yang tuntas. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan penetapan garis batas yang tuntas. 4. Dalam hal ada suatu persetujuan yang berlaku antara Negara-negara yang bersangkutan, masalah yang bertalian dengan penetapan garis batas landas kontinen harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu. Pasal 84 Peta dan daftar koordinat geografis 1. Dengan tunduk pada ketentuan Bab ini, garis batas luar landas kontinen dan garis-garis penetapan batas yang ditarik sesuai dengan pasal 83 harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya. Dimana perlu daftar titik-titik koordinat geografis, yang memerinci datum geodetik, dapat menggantikan garis-garis batas laut atau garis-garis penetapan batas demikian. 2. Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta-peta atau daftar-daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu copy/salinan dari setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam hal peta dalam daftar yang mencantumkan garis-garis batas luar landas kontinen, pada Sekretaris Jenderal Otorita. Pasal 85 Penggalian terowongan Bab ini tidak mengurangi hak Negara pantai untuk eksploitasi tanah di bawah landas kontinen dengan melakukan penggalian terowongan, tanpa memandang kedalaman perairan di atas tanah di bawah landas kontinen tersebut. BAB VII LAUT LEPAS BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM Pasal 86 Penerapan ketentuan Bab ini Ketentuan Bab ini berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu Negara, atau dalam perairan kepulauan suatu Negara kepulauan. Pasal ini tidak mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua Negara di zona ekonomi eksklusif sesuai dengan pasal 58. Pasal 87 Kebebasan laut lepas 1. Laut lepas terbuka untuk semua Negara, baik Negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan laut lepas, dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam Konvensi ini dan ketentuan lain hukum internasional. Kebebasan laut lepas itu meliputi, inter alia, baik untuk Negara pantai atau Negara tidak berpantai : (a) kebebasan berlayar; (b) kebebasan penerbangan; (c) kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan tunduk pada Bab VI; (d) kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, dengan tunduk pada Bab VI; (e) kebebasan menangkap ikan, dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum dalam bagian 2; (f) kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada Bab VI dan XIII. 2. Kebebasan ini akan dilaksanakan oleh semua Negara, dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan Negara lain dalam melaksanakan kebebasan laut lepas itu, dan juga dengan memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dalam Konvensi ini yang bertalian dengan kegiatan di Kawasan. Pasal 88 Pencadangan laut lepas untuk maksud damai Laut lepas dicadangkan untuk maksud damai. Pasal 89 Tidak sahnya tuntutan kedaulatan laut lepas Tidak ada suatu Negara pun yang dapat secara sah menundukkan kegiatan manapun dari laut lepas pada kedaulatannya. Pasal 90 Hak berlayar Setiap Negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas. Pasal 91 Kebangsaan kapal 1. Setiap Negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal di dalam wilayah, dan untuk hak mengibarkan benderanya. Kapal memiliki kebangsaan Negara yang benderanya secara sah dapat dikibarkan olehnya. Harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh antara Negara dan kapal itu. 2. Setiap Negara harus memberikan kepada kapal yang olehnya diberikan hak untuk mengibarkan benderanya dokumen yang diperlukan untuk itu. Pasal 92 Status kapal 1. Kapal harus berlayar di bawah bendera suatu Negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam Konvensi ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif Negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran. 2. Sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua Negara atau lebih, dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu dari kebangsaan itu terhadap Negara lain manapun, dan dapat dianggap sebagi suatu kapal tanpa kebangsaan. Pasal 93 Kapal yang memakai bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan khususnya dan Badan Tenaga Atom Internasional Pasal-pasal yang terdahulu tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kapal-kapal yang digunakan dalam dinas resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan khususnya atau Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency), yang mengibarkan bendera organisasi tersebut. Pasal 94 Kewajiban Negara Bendera 1. Setiap Negara harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi dan pengawasannya dalam bidang administratif, teknis dan sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya. 2. Khususnya setiap Negara harus : (a) memelihara suatu daftar (register) kapal-kapal yang memuat nama dan keterangan-keterangan lainnya tentang kapal yang mengibarkan benderanya, kecuali kapal yang dikecualikan dari peraturan-peraturan internasional yang diterima secara umum karena ukurannya yang kecil, dan (b) menjalankan yurisdiksi di bawah perundang-undangan nasionalnya atas setiap kapal yang mengibarkan benderanya dan nakhoda, perwira serta awak kapalnya bertalian dengan masalah administratif, teknis dan sosial mengenai kapal itu. 3. Setiap Negara harus mengambil tindakan yang diperlukan bagi kapal yang memakai benderanya, untuk menjamin keselamatan di laut, berkenaan, inter alia, dengan : (a) konstruksi, peralatan dan kelayakan laut kapal; (b) pengawakan kapal, persyaratan perburuhan dan latihan awak kapal, dengan memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku; (c) pemakaian tanda-tanda, memelihara dan pencegahan tubrukan. 4. Tindakan demikian harus meliputi tindakan yang diperlukan untuk menjamin : (a) bahwa setiap kapal, sebelum pendaftaran dan sesudah pada jangka waktu tertentu, diperiksa oleh seorang surveyor kapal yang berwenang, dan bahwa di atas kapal tersedia peta, penerbitan pelayaran dan peralatan navigasi dan alat-alat lainnya yang diperlukan untuk navigasi yang aman kapal itu; (b) bahwa setiap kapal ada dalam pengendalian seorang nakhoda dan perwira-perwira yang memiliki persyaratan yang tepat, khususnya mengenai seamanship (kepelautan), navigasi, komunikasi dan permesinan kapal, dan bahwa awak kapal itu memenuhi syarat dalam kualifikasi dan jumlahnya untuk jenis, ukuran, mesin dan peralatan kapal itu; (c) bahwa nakhoda, perwira, dan sedapat mungkin awak kapal sepenuhnya mengenal dan diharuskan untuk mematuhi peraturan internasional yang berlaku tentang keselamatan jiwa di laut, pencegahan tubrukan dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran laut serta pemeliharaan komunikasi melalui radio. 5. Dalam mengambil tindakan yang diharuskan dalam ayat 3 dan 4 setiap Negara diharuskan untuk mengikuti peraturan-peraturan, prosedur dan praktek internasional yang umum diterima dan untuk mengambil setiap langkah yang mungkin diperlukan untuk pentaatannya. 6. Suatu Negara yang mempunyai alasan yang kuat untuk mengira bahwa yurisdiksi dan pengendalian yang layak bertalian dengan suatu kapal telah tidak terlaksana, dapat melaporkan fakta itu kepada Negara bendera. Setelah menerima laporan demikian, Negara bendera harus menyelidiki masalah itu dan, apabila diperlukan, harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan. 7. Setiap Negara harus mengadakan pemeriksaan yang dilakukan oleh atau dihadapan seorang atau orang-orang yang berwenang, atas setiap kecelakaan kapal atau insiden pelayaran di laut lepas yang menyangkut kapal yang mengibarkan benderanya dan yang mengakibatkan hilangnya nyawa atau luka berat pada warganegara dari Negara lain atau kerusakan berat pada kapal-kapal atau instalasi instalasi Negara lain atau pada lingkungan laut. Negara bendera dan Negara yang lain itu harus bekerjasama dalam penyelenggaraan suatu pemeriksaan yang diadakan oleh Negara yang lain itu terhadap setiap kecelakaan laut atau insiden pelayaran yang demikian itu. Pasal 95 Kekebalan kapal perang dilaut lepas Kapal perang di laut lepas memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi Negara manapun selain Negara bendera. Pasal 96 Kekebalan kapal yang hanya digunakan untuk dinas pemerintah non-komersial Kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu Negara dan digunakan hanya untuk dinas pemerintah non-komersial di laut lepas, memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi Negara lain manapun kecuali Negara bendera. Pasal 97 Yurisdiksi pidana dalam perkara tubrukan laut atau tiap insiden pelayaran lainnya 1. Dalam hal terjadinya suatu tubrukan atau insiden pelayaran lain apapun yang menyangkut suatu kapal laut lepas, berkaitan dengan tanggung jawab pidana atau disiplin nakhoda atau setiap orang lainnya dalam dinas kapal, tidak boleh diadakan penuntutan pidana atau disiplin terhadap orang-orang yang demikian kecuali di hadapan peradilan atau pejabat administratif dari atau Negara bendera atau Negara yang orang demikian itu menjadi warganegaranya. 2. Dalam perkara disiplin, hanya Negara yang telah mengeluarkan ijazah nakhoda atau sertifikat kemampuan atau ijin yang harus merupakan pihak yang berwenang, setelah dipenuhinya proses hukum sebagaimana mestinya, untuk menyatakan penarikan sertifikat demikian, sekalipun pemegangnya bukan warganegara dari Negara yang mengeluarkannya. 3. Tidak boleh penangkapan atau penahanan terhadap kapal, sekalipun sebagai suatu tindakan pemeriksaan, diperintahkan oleh pejabat manapun kecuali oleh pejabat pejabat dari Negara bendera. Pasal 98 Kewajiban untuk memberikan bantuan 1. Setiap Negara harus mewajibkan (meminta) nakhoda suatu kapal yang berlayar di bawah benderanya untuk, selama hal itu dapat dilakukannya tanpa bahaya yang besar bagi kapal, awak kapal atau penumpang : (a) untuk memberikan pertolongan kepada setiap orang yang ditemukan di laut dalam bahaya akan hilang; (b) untuk menuju secepatnya menolong orang yang dalam kesulitan, apabila mendapat pemberitahuan tentang kebutuhan mereka akan pertolongan, sepanjang tindakan demikian sepatutnya dapat diharapkan dari padanya; (c) setelah suatu tubrukan, untuk memberikan bantuan pada kapal lain itu, awak kapal dan penumpangnya dan dimana mungkin, untuk memberitahukan kepada kapal lain itu nama kapalnya sendiri, pelabuhan registrasinya dan pelabuhan terdekat yang akan didatanginya. 2. Setiap Negara pantai harus menggalakkan diadakannya, pengoperasian dan pemeliharaan dinas search and rescue (SAR) yang memadai dan efektif berkenaan dengan keselamatan di dalam dan di atas laut dan, dimana keadaan menghendakinya, bekerjasama dengan Negara tetangga untuk tujuan ini dengan cara pengaturan regional. Pasal 99 Larangan pengangkutan budak belian Setiap Negara harus mengambil tindakan efektif untuk mencegah dan menghukum pengangkutan budak belian dalam kapal yang diijinkan untuk mengibarkan benderanya dan untuk mencegah pemakaian tak sah benderanya untuk keperluan itu. Setiap budak belian yang melarikan diri keatas kapal manapun, apapun benderanya, akan ipso facto memperoleh kemerdekaannya. Pasal 100 Kewajiban untuk kerjasama dalam penindasan pembajakan di laut Semua Negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan di laut lepas di tempat lain manapun di luar yurisdiksi sesuatu Negara. Pasal 101 Batasan pembajakan di laut Pembajakan di laut terdiri dari salah satu di antara tindakan berikut : (a) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan : (i) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian; (ii) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi Negara manapun; (b) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak. (c) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat (a) atau (b). Pasal 102 Perompakan oleh suatu kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak kapalnya telah berontak Tindakan-tindakan perompakan sebagaimana ditentukan dalam pasal 101, yang dilakukan oleh suatu kapal perang, kapal atau pesawat udara pemerintah yang awak kapalnya telah berontak dan telah mengambil alih pengendalian atas kapal atau pesawat udara itu disamakan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu kapal atau pesawat udara perompak. Pasal 103 Batasan kapal atau pesawat udara perompak Suatu kapal atau pesawat udara dianggap suatu kapal atau pesawat udara perompak apabila ia dimaksudkan oleh orang yang mengendalikannya digunakan untuk tujuan melakukan salah satu tindakan yang dimaksud dalam pasal 101. Hal yang sama berlaku apabila kapal atau pesawat udara itu telah digunakan untuk melakukan setiap tindakan demikian, selama kapal atau pesawat udara itu berada di bawah pengendalian orang-orang yang bersalah melakukan tindakan itu. Pasal 104 Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan kapal atau pesawat udara perompak Suatu kapal atau pesawat udara dapat tetap memiliki kebangsaannya walaupun telah menjadi suatu kapal atau pesawat udara perompak. Tetap dimilikinya atau kehilangan kebangsaan ditentukan oleh undang-undang Negara yang telah memberikan kebangsaan itu. Pasal 105 Penyitaan suatu kapal atau pesawat udara perompak Di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara manapun setiap Negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada di bawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan Negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik. Pasal 106 Tanggung jawab atas penyitaan tanpa alasan yang cukup Apabila penyitaan suatu kapal pesawat udara yang dicurigai melakukan perompakan dilakukan tanpa alasan yang cukup, maka Negara yang telah melakukan penyitaan tersebut harus bertanggung jawab terhadap Negara yang kebangsaannya dimiliki oleh kapal atau pesawat udara tersebut untuk setiap kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh penyitaan tersebut. Pasal 107 Kapal atau pesawat udara yang berhak menyita karena perompakan Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat udara militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dalam dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal demikian. Pasal 108 Perdagangan gelap obat narkotik atau bahan-bahan psikotropis 1. Semua Negara harus bekerjasama dalam penumpasan perdagangan gelap obat narkotik dan bahan-bahan psikotropis yang dilakukan oleh kapal di laut lepas bertentangan dengan konvensi internasional. 2. Setiap Negara yang mempunyai alasan yang layak untuk mengira bahwa suatu kapal yang mengibarkan benderanya terlibat dalam perdagangan gelap obat narkotik atau bahan psikotropis dapat meminta kerjasama Negara lain untuk menumpas perdagangan demikian. Pasal 109 Penyiaran gelap dari laut lepas 1. Semua Negara harus bekerjasama dalam menumpas siaran gelap dari laut lepas. 2. Untuk maksud Konvensi ini, “penyiaran gelap” berarti transmisi dari pada suara radio atau siaran televisi dari kapal atau instalasi di laut lepas yang ditujukan untuk penerimaan oleh umum secara bertentangan dengan peraturan internasional tetapi tidak termasuk didalamnya transmisi permintaan pertolongan. 3. Setiap orang yang melakukan penyiaran gelap dapat dituntut dimuka pengadilan : (a) Negara bendera kapal; (b) Negara registrasi instalasi; (c) Negara dimana orang itu menjadi warganegara; (d) setiap Negara dimana transmisi itu dapat diterima; atau (e) setiap Negara dimana komunikasi radio yang sah mengalami gangguan. 4. Di laut lepas, suatu Negara yang mempunyai yurisdiksi sesuai dengan ayat 4, sesuai dengan Pasal 110, dapat menangkap setiap orang atau kapal yang melakukan siaran gelap dan menyita peralatan pemancaran tersebut. Pasal 110 Hak melakukan pemeriksaan 1. Kecuali apabila perbuatan mengganggu berasal dari wewenang yang berdasarkan perjanjian, suatu kapal perang yang menjumpai suatu kapal asing di laut lepas, selain kapal yang memiliki kekebalan penuh sesuai pasal-pasal 95 dan 96, tidak dibenarkan untuk menaikinya kecuali kalau ada alasan yang cukup untuk menduga bahwa : (a) kapal tersebut terlibat dalam perompakan; (b) kapal tersebut terlibat dalam perdagangan budak; (c) kapal tersebut terlibat dalam penyiaran gelap dan Negara bendera kapal perang tersebut mempunyai yurisdiksi berdasarkan pasal 109; (d) kapal tersebut tanpa kebangsaan; atau (e) walaupun mengibarkan suatu bendera asing atau menolak untuk memperlihatkan benderanya, kapal tersebut, dalam kenyataannya, memiliki kebangsaan yang sama dengan kapal perang tersebut. 2. Dalam hal-hal yang ditentukan dalam ayat 1, kapal perang tersebut dapat melaksanakan pemeriksaan atas hak kapal tersebut untuk mengibarkan benderanya. Untuk keperluan ini, kapal perang boleh mengirimkan sekoci, di bawah perintah seorang perwira ke kapal yang dicurigai. Apabila kecurigaan tetap ada setelah dokumen-dokumen di periksa, dapat diteruskan dengan pemeriksaan berikutnya di atas kapal, yang harus dilakukan dengan memperhatikan segala pertimbangan yang mungkin. 3. Apabila ternyata kecurigaan itu tidak beralasan dan apabila kapal yang diperiksa tidak melakukan suatu perbuatan yang membenarkan pemeriksaan itu, kapal tersebut akan menerima ganti kerugian untuk setiap kerugian atau kerusakan yang mungkin diderita. 4. Ketentuan-ketentuan ini berlaku mutatis mutandis bagi pesawat udara militer. 5. Ketentuan-ketentuan ini berlaku juga bagi setiap kapal atau pesawat udara lain yang berwenang dan mempunyai tanda-tanda jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah. Pasal 111 Hak Pengejaran seketika (hot pursuit) 1. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Adalah tidak perlu bahwa pada saat kapal asing yang berada dalam laut teritorial atau zona tambahan itu menerima perintah untuk berhenti, kapal yang memberi perintah itu juga berada dalam laut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal asing tersebut berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan dalam pasal 33, pengejaran hanya dapat dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak untuk perlindungan mana zona itu telah diadakan. 2. Hak pengejaran seketika harus berlaku, mutatis mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen, termasuk zona-zona keselamatan disekitar instalasi-instalasi di landas kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan Negara pantai yang berlaku sesuai dengan Konvensi ini bagi zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian. 3. Hak pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial Negaranya sendiri atau Negara ketiga. 4. Pengejaran seketika belum dianggap telah dimulai kecuali jika kapal yang mengejar telah meyakinkan diri dengan cara-cara praktis yang demikian yang mungkin tersedia, bahwa kapal yang dikejar atau salah satu sekocinya atau kapal lain yang bekerjasama sebagai suatu team dan menggunakan kapal yang dikejar sebagai kapal induk berada dalam batas-batas laut teritorial atau sesuai dengan keadaannya di dalam zona tambahan atau zona ekonomi eksklusif atau di atas landas kontinen. Pengejaran hanya dapat mulai setelah diberikan suatu tanda visual atau bunyi untuk berhenti pada suatu jarak yang memungkinkan tanda itu dilihat atau didengar oleh kapal asing itu. 5. Hak pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu. 6. Dalam hal pengejaran seketika dilakukan oleh suatu pesawat udara : (a) ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 4 harus berlaku mutatis mutandis; (b) pesawat udara yang memberikan perintah untuk berhenti harus melakukan pengejaran kapal itu secara aktif sampai kapal atau pesawat udara Negara pantai yang dipanggil oleh pesawat udara pengejar itu tiba untuk mengambil alih pengejaran itu, kecuali apabila pesawat udara itu sendiri dapat melakukan penangkapan kapal tersebut. Adalah tidak cukup untuk membenarkan suatu penangkapan di luar laut teritorial bahwa kapal itu hanya terlihat oleh pesawat udara sebagai suatu pelanggar atau pelanggar yang dicurigai, jika kapal itu tidak diperintahkan untuk berhenti dan dikejar oleh pesawat udara itu sendiri atau oleh pesawat udara atau kapal lain yang melanjutkan pengejaran itu tanpa terputus. 7. Pelepasan suatu kapal yang ditahan dalam yurisdiksi suatu Negara dan dikawal ke pelabuhan Negara itu untuk keperluan pemeriksaan di hadapan pejabat-pejabat yang berwenang tidak boleh dituntut semata-mata atas alasan bahwa kapal itu dalam melakukan perjalanannya, dikawal melalui sebagian dari zona ekonomi eksklusif atau laut lepas jika keadaan menghendakinya. 8. Dalam hal suatu kapal telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial dalam keadaan yang tidak membenarkan dilaksanakannya hak pengejaran seketika, maka kapal itu harus diberi ganti kerugian untuk setiap kerugian dan kerusakan yang telah diderita karenanya. Pasal 112 Hak untuk memasang kabel dan pipa bawah laut 1. Semua Negara mempunyai hak untuk memasang kabel dan pipa bawah laut di atas dasar laut lepas di luar landas kontinen. 2. Pasal 79 ayat 5, berlaku terhadap kabel dan pipa demikian. Pasal 113 Pemutusan atau kerusakan kabel atau pipa bawah laut Setiap Negara harus menetapkan peraturan perundang undangan yang diperlukan untuk mengatur bahwa pemutusan atau kerusakan pada kabel bawah laut di bawah laut lepas yang dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian yang sangat oleh sebuah kapal yang mengibarkan benderanya atau oleh seorang yang tunduk pada yurisdiksinya, sedemikian rupa sehingga besar kemungkinannya memutuskan atau menghalangi komunikasi telegrap atau telepon, demikian pula,pemutusan atau kerusakan pada pipa atau kabel listrik voltase tinggi di bawah laut merupakan suatu pelanggaran yang dapat dihukum. Ketentuan ini juga harus berlaku terhadap perbuatan yang diperhitungkan dapat atau kemungkinan besar berakibat pemutusan atau kerusakan demikian. Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi setiap pemutusan atau kerusakan yang disebabkan oleh orang-orang yang hanya bertindak dengan tujuan sah untuk menyelamatkan nyawa atau kapalnya, setelah mereka melakukan segala upaya pencegahan untuk menghindarkan terjadinya pemutusan atau kerusakan demikian. Pasal 114 Pemutusan atau kerusakan oleh pemilik kabel atau pipa bawah laut terhadap kabel atau pipa bawah laut lainnya Setiap Negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mengatur bahwa apabila orang-orang yang tunduk pada yurisdiksinya, yang merupakan pemilik kabel atau pipa bawah laut di bawah laut lepas, sewaktu melakukan pemasangan atau perbaikan kabel atau pipa itu, mengakibatkan terjadinya pemutusan atau kerusakan pada kabel atau pipa laut lain, mereka harus menanggung biaya perbaikannya. Pasal 115 Ganti rugi untuk kerugian yang diderita dalam usaha untuk mencegah kerusakan pada kabel atau pipa bawah laut Setiap Negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk menjamin bahwa pemilik kapal yang dapat membuktikan bahwa mereka telah mengorbankan sebuah jangkar, sebuah jaring atau peralatan penangkapan ikan lainnya dalam usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan pada kabel atau pipa bawah laut, harus diberi ganti kerugian oleh pemilik dari kabel atau pipa tersebut, dengan ketentuan bahwa pemilik kabel itu telah mengambil segala tindakan pencegahan yang wajar sebelumnya. BAGIAN 2. KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER KEKAYAAN HAYATI DI LAUT LEPAS Pasal 116 Hak untuk menangkap ikan di laut lepas Semua Negara mempunyai hak bagi warganegaranya untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas dengan tunduk pada : (a) kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional; (b) hak dan kewajiban maupun kepentingan Negara pantai, yang ditentukan, inter alia, dalam pasal 63, ayat 2, dan pasal-pasal 64 sampai 67; dan (c) ketentuan bagian ini. Pasal 117 Kewajiban Negara untuk mengadakan tindakan bertalian dengan warga negaranya untuk konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas Semua Negara mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan atau kerjasama dengan Negara lain dalam mengambil tindakan demikian bertalian dengan warga negara masing-masing yang dianggap perlu untuk konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas. Pasal 118 Kerjasama Negara-negara dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati Negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan lainnya dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di daerah laut lepas. Negara-negara yang warganegaranya melakukan eksploitasi sumber kekayaan hayati yang sama atau sumber kekayaan hayati yang berlainan di daerah yang sama, harus mengadakan perundingan dengan tujuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk konservasi sumber kekayaan hayati yang bersangkutan. Mereka harus, menuntut keperluan, bekerjasama untuk menetapkan organisasi perikanan sub-regional atau regional untuk keperluan ini. Pasal 119 Konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas 1. Dalam menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan menetapkan lain-lain tindakan konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas. Negara-negara harus : (a) mengambil tindakan yang direncanakan berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang tersedia pada Negara yang bersangkutan, memelihara atau memulihkan populasi jenis-jenis yang ditangkap pada taraf yang dapat memberikan hasil tangkap lestari maksimum, sebagaimana ditentukan oleh faktor lingkungan dan ekonomi yang relevan, termasuk kebutuhan khusus dari Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola-pola penangkapan ikan, saling ketergantungan antara persediaan jenis ikan dan setiap standar minimum internasional yang secara umum direkomendasikan pada taraf sub-regional, regional maupun global. (b) memperhatikan akibat terhadap jenis yang berhubungan dengan atau tergantung dari jenis yang ditangkap dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau tergantung demikian di atas taraf dimana reproduksinya menjadi sangat terancam. 2. Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik tentang penangkapan dan upaya penangkapan ikan dan lain-lain data yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub-regional, regional atau global, dimana perlu dan dengan serta semua Negara yang berkepentingan. 3. Negara yang berkepentingan harus menjamin bahwa tindakan konservasi dan pelaksanaannya tidak mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap nelayan dari Negara manapun juga. Pasal 120 Mamalia laut Pasal 65 juga berlaku bagi konservasi dan pengelolaan mamalia laut di laut lepas. BAB VIII REJIM PULAU Pasal 121 Rejim Pulau 1. Pulau adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada air pasang. 2. Kecuali dalam hal sebagaimana ditentukan dalam ayat 3, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen suatu pulau ditetapkan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini yang berlaku bagi wilayah darat lainnya. 3. Batu karang yang tidak dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri tidak mempunyai zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP Pasal 122 B a t a s a n Untuk maksud Konvensi ini. "laut tertutup atau setengah tertutup" berarti suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih Negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusifnya dua atau lebih Negara pantai. Pasal 123 Kerjasama antara Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup 1. Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lainnya dalam melaksanakan hak dan kewajibannya berdasarkan Konvensi ini. Untuk keperluan ini mereka harus berusaha secara langsung atau melalui organisasi regional yang tepat : (a) untuk mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan hayati laut; (b) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian dengan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut; (c) untuk mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah mereka dan untuk bersama-sama dimana perlu mengadakan program bersama riset ilmiah di kawasannya; (d) untuk mengundang, menurut keperluan, Negara lain yang berminat atau organisasi internasional untuk bekerjasama dengan mereka dalam pelaksanaan lebih lanjut ketentuan pasal ini. BAB X HAK NEGARA TAK BERPANTAI UNTUK AKSES KE DAN DARI LAUT SERTA KEBEBASAN TRANSIT Pasal 124 Pengguna istilah 1. Untuk maksud Konvensi ini : (a) “Negara tak berpantai” berarti suatu Negara yang tidak mempunyai pantai laut; (b) “Negara transit” berarti suatu Negara, dengan atau tanpa pantai laut, yang terletak antara suatu Negara tak berpantai dan laut, yang melalui wilayahnya dilakukan lalu lintas udara transit; (c) “lalu lintas dalam transit” berarti transit orang, bagasi, barang dan alat pengangkutan melintasi wilayah satu atau lebih Negara transit, dimana lintas melalui wilayah demikian, dengan atau tanpa alih kapal (transhipment), di gudangkan, dipecah-pecah (breaking bulk), atau perubahan dalam cara pengangkutan, hanya merupakan suatu bagian dari suatu perjalanan yang lengkap yang mulai atau berakhir di dalam wilayah Negara tak berpantai itu; (d) “alat pengangkutan” berarti : (i) kereta api, alat pengangkutan laut, danau dan sungai dan kendaraan darat; (ii) dimana keadaan lokal menghendakinya, orang dan binatang pengangkut barang. 2. Negara tak berpantai atau Negara transit, dengan mengadakan persetujuan antara mereka, dapat memasukkan sebagai alat pengangkutan pipa saluran dan pipa gas dan alat pengangkutan lain dari pada apa yang tercantum dalam ayat 1. Pasal 125 Hak akses ke dan dari laut dan kebebasan transit 1. Negara tak berpantai memiliki hak untuk akses ke dan dari laut untuk keperluan melaksanakan hak yang ditentukan dalam Konvensi ini termasuk hak yang bertalian dengan kebebasan laut lepas dan warisan bersama umat manusia. Untuk keperluan ini, Negara tak berpantai harus menikmati kebebasan transit melalui wilayah Negara transit dengan menggunakan semua alat pengangkutan. 2. Persyaratan dan cara untuk melaksanakan kebebasan transit harus disepakati antara Negara tak berpantai dan Negara transit yang bersangkutan melalui persetujuan bilateral, sub-regional atau regional. 3. Negara transit, dalam melaksanakan kedaulatan sepenuhnya atas wilayahnya, mempunyai hak untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa hak dan kemudahannya yang ditentukan dalam Bab ini untuk Negara tak berpantai bagaimanapun juga tidak akan mengurangi kepentingannya yang sah. Pasal 126 Tidak berlakunya klausula "most-favoured-nation" Ketentuan Konvensi ini, demikian pula persetujuan khusus yang berkenaan dengan pelaksanaan hak akses ke dan dari laut, yang menetapkan hak dan kemudahan yang disebabkan karena kedudukan geografis khusus Negara tak berpantai dikecualikan dari berlakunya klausula "most-favoured-nation". Pasal 127 Bea-cukai, pajak dan pungutan-pungutan lain 1. Lalu lintas dalam transit tidak dikenakan beacukai, pajak atau pungutan-pungutan lain apapun kecuali pungutan-pungutan yang dipungut untuk jasa khusus yang diberikan bertalian dengan lalu lintas demikian. 2. Alat pengangkutan dalam transit dan kemudahan lain yang disediakan dan digunakan oleh Negara tak berpantai tidak boleh dikenakan pajak atau pungutan yang lebih tinggi dari pada yang dipungut atas penggunaan alat pengangkutan Negara transit. Pasal 128 Zona bebas dan kemudahan bea-cukai lainnya Untuk memudahkan lalu lintas dalam transit, zona bebas atau kemudahan bea cukai lainnya dapat disediakan di pelabuhan masuk dan keluar di Negara transit, dengan persetujuan antara Negara itu dengan Negara tak berpantai. Pasal 129 Kerjasama dalam pembangunan dan perbaikan alat pengangkutan Dalam hal tidak terdapat alat pengangkutan dalam Negara transit untuk melaksanakan kebebasan transit atau dalam hal alat yang ada, termasuk instalasi pelabuhan dan peralatannya, bagaimanapun juga tidak mencukupi, Negara transit dan Negara tak berpantai yang bersangkutan dapat bekerjasama dalam membangun atau memperbaikinya. Pasal 130 Tindakan untuk mencegah atau meniadakan kelambatan atau kesulitan lain yang bersifat teknis dalam lalu lintas transit 1. Negara transit harus mengambil segala tindakan yang tepat untuk mencegah terjadinya kelambatan atau kesulitan lain yang bersifat teknis dalam lalu lintas transit. 2. Apabila kelambatan atau kesulitan demikian terjadi, pejabat yang berwenang dari Negara transit dan Negara tak berpantai yang bersangkutan harus bekerjasama untuk menghilangkan kelambatan atau kesulitan demikian secepatnya. Pasal 131 Perlakuan sama di pelabuhan-pelabuhan Kapal yang mengibarkan bendera Negara tak berpantai harus menikmati perlakuan yang sama dengan yang diberikan pada kapal asing lainnya di pelabuhan-pelabuhan laut. Pasal 132 Pemberian kemudahan transit yang lebih besar Konvensi ini bagaimanapun tidak mengakibatkan penarikan kemudahan transit yang lebih besar dari apa yang ditetapkan dalam konvensi ini dan yang disepakati antara Negara-negara Peserta Konvensi ini atau telah diberikan oleh satu Negara Peserta. Konvensi ini juga tidak menutup kemungkinan adanya pemberian kemudahan-kemudahan lebih besar dikemudian hari. BAB XI K A W A S A N BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM Pasal 133 Penggunaan istilah Dalam Bab ini yang dimakusd dengan : (a) “Kekayaan” berarti segala kekayaan mineral yang bersifat padat, cair atau gas in situ di Kawasan atau di bawah dasar laut, termasuk nodul-nodul polimetalik; (b) kekayaan yang dihasilkan dari Kawasan dinamakan "mineral-mineral" Pasal 134 Ruang lingkup Bab ini 1. Ketentuan-ketentuan dalam Bab ini berlaku bagi Kawasan. 2. Kegiatan-kegiatan di kawasan diatur oleh ketentuan-ketentuan Bab ini. 3. Syarat-syarat mengenai penyimpanan dan pengumuman peta-peta atau daftar koordinat-koordinat geografis yang menunjukkan batas-batas seperti dimaksud dalam pasal 1 ayat 1, tercantum dalam Bab VI. 4. Tidak satu ketentuanpun dalam pasal ini mempengaruhi penetapan garis batas terluar landas kontinen sesuai dengan Bab VI atau keabsahan dari perjanjian-perjanjian mengenai penetapan garis batas di antara Negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Pasal 135 Status hukum perairan dan ruang udara di atasnya Baik ketentuan Bab ini maupun hak apapun yang diperoleh atau dilaksanakan berdasarkan ketentuan Bab ini, tidak akan mempengaruhi status hukum perairan yang ada di atas Kawasan atau ruang udara di atasnya. BAGIAN 2. ASAS-ASAS YANG MENGATUR KAWASAN Pasal 136 Warisan bersama umat manusia Kawasan dan kekayaan-kekayaannya merupakan warisan bersama umat manusia. Pasal 137 Status hukum Kawasan dan kekayaan-kekayaannya 1. Tidak satu Negarapun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak-hak berdaulatnya atas bagian manapun dari Kawasan atau kekayaan-kekayaan-nya, demikian pula tidak satu Negara atau badan hukum atau peroranganpun boleh mengambil tindakan pemilikan terhadap bagian Kawasan manapun. Tidak satupun tuntutan atau penyelenggaraan kedaulatan atau hak-hak berdaulat ataupun tindakan pemilikan yang demikian akan diakui. 2. Segala hak terhadap kekayaan-kekayaan di Kawasan ada pada umat manusia sebagai suatu keseluruhan, yang atas nama siapa Otorita bertindak. Kekayaan-kekayaan ini tidak tunduk pada pengalihan hak. Namun demikian mineral-mineral yang dihasilkan dari Kawasan hanya dapat dialihkan sesuai dengan ketentuan Bab ini dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita. 3. Tidak satu Negara, badan hukum atau peroranganpun boleh menuntut, memperoleh atau melaksanakan hak-hak yang bertalian dengan mineral-mineral yang dihasilkan dari Kawasan, kecuali apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan Bab ini. Apabila tidak demikian, maka tidak satupun juga tuntutan, perolehan atau pelaksanaan hak-hak demikian akan diakui. Pasal 138 Perilaku umum Negara-negara berkenaan dengan Kawasan Perilaku umum Negara-negara berkenaan dengan Kawasan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bab ini, asas-asas yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya untuk kepentingan memelihara perdamaian dan keamanan serta memajukan kerjasama internasional dan saling Pengertian. Pasal 139 Tanggung jawab untuk menjamin pentaatan dan kewajiban membayar ganti rugi 1. Negara-negara Peserta harus bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan di Kawasan, baik dilakukan oleh Negara-negara Peserta atau perusahaan perusahaan negara atau badan hukum atau orang perorangan yang memiliki kebangsaan Negara-negara Peserta atau yang dikuasai secara efektif oleh mereka atau oleh warganegara-warganegara mereka, harus dilaksanakan sesuai dengan Bab ini. Tanggung jawab yang sama berlaku pula bagi organisasi-organisasi internasional untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tersebut di Kawasan. 2. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional dan pada Lampiran III pasal 22, kerugian yang disebabkan oleh kelalaian suatu Negara Peserta atau organisasi internasional untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan Bab ini akan mengakibatkan kewajiban untuk ganti rugi, Negara-negara Peserta atau organisasi-organisasi internasional yang bertindak bersama-sama harus memikul secara bersama dan secara tanggung renteng kewajiban untuk ganti rugi. Akan tetapi suatu Negara Peserta tidak berkewajiban menanggung kerugian yang disebabkan oleh suatu kelalaian yang dilakukan oleh seorang yang disponsorinya berdasarkan pasal 153 ayat 2 (b) apabila Negara Peserta tersebut telah mengambil segala tindakan yang perlu dan tepat untuk menjamin ditaatinya secara efektif menurut pasal 153 ayat 4, dan Lampiran III, pasal 4, ayat 4. 3. Negara-negara Peserta yang menjadi anggota-anggota organisasi-organisasi internasional harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat untuk menjamin pelaksanaan pasal ini yang bekenaan dengan organisasi-organisasi tersebut. Pasal 140 Kemanfaatan bagi umat manusia 1. Kegiatan-kegiatan di Kawasan sebagaimana diatur secara khusus dalam Bab ini, harus dilaksanakan untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, terlepas dari letak geografis Negara-negara, baik Negara pantai atau Negara tak berpantai dan dengan memperhatikan secara khusus kepentingan-kepentingan dan keperluankeperluan Negara-negara berkembang dan bangsa-bangsa yang belum mencapai kemerdekaan penuh atau berstatus berpemerintahan sendiri yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan Resolusi Majelis Umum No. 1514 (XV) dan Resolusi Majelis Umum lainnya yang relevan. 2. Otorita harus menetapkan pembagian yang adil dari keuntungan-keuntungan dan keuntungan-keuntungan ekonomi lainnya yang didapat dari kegiatan-kegiatan di Kawasan melalui mekanisme yang tepat atas dasar non-diskriminasi sesuai dengan pasal 160 ayat 2 (f) (i). Pasal 141 Penggunaan Kawasan semata-mata untuk maksud-maksud damai Kawasan terbuka untuk digunakan semata-mata untuk maksud maksud damai oleh semua Negara, baik Negara pantai maupun Negara tak berpantai tanpa diskriminasi dan tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan lain dari Bab ini. Pasal 142 Hak-hak dan kepentingan-kepentingan yang sah Negara-negara pantai 1. Kegiatan-kegiatan di Kawasan, berkenaan dengan endapan-endapan kekayaan di Kawasan yang letaknya melintasi garis-garis batas yurisdiksi nasional, dilakukan dengan memperhatikan seperlunya hak-hak dan kepentingankepentingan sah setiap Negara pantai yang yurisdiksinya dilintasi endapan-endapan tersebut. 2. Konsultasi-konsultasi, termasuk suatu cara pemberitahuan terlebih dahulu, harus dipelihara dengan Negara yang bersangkutan, dengan maksud untuk mencegah pelanggaran terhadap hak-hak dan kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam hal kegiatan-kegiatan di Kawasan dapat mengakibatkan eksploitasi kekayaan-kekayaan yang terletak di dalam yurisdiksi nasional, maka disyaratkan adanya persetujuan terlebih dahulu dari Negara pantai yang bersangkutan. 3. Baik Bab ini maupun hak-hak yang diberikan atau dilaksanakan sesuai dengan Bab ini, tidak mempengaruhi hak Negara pantai untuk mengambil tindakan-tindakan yang konsisten dengan ketentuan-ketentuan yang relevan dari Bab XII yang dianggap perlu untuk mencegah, mengurangi atau melenyapkan marabahaya yang mengancam garis pantainya atau kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan itu dari pencemaran atau ancaman pencemaran atau kejadian-kejadian berbahaya lainnya yang berasal dari atau yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan apapun di Kawasan. Pasal 143 Penelitian ilmiah kelautan 1. Penelitian ilmiah kelautan di Kawasan harus dilakukan semata-mata untuk maksud-maksud damai dan untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, sesuai dengan Bab XIII. 2. Otorita dapat melakukan penelitian ilmiah kelautan mengenai Kawasan dan kekayaan-kekayaannya, dan dapat mengadakan kontrak-kontrak untuk keperluan tersebut. Otorita harus mengembangkan dan mendorong diadakannya penelitian ilmiah kelautan di Kawasan dan mengkoordinasikan serta menyebarkan hasil-hasil penelitian dan analisa tersebut bila ada. 3. Negara-negara Peserta dapat mengadakan penelitian ilmiah kelautan di kawasan. Negara-negara Peserta harus menggalakkan kerjasama internasional dibidang penelitian ilmiah kelautan di Kawasan dengan jalan : (a) berperan serta dalam program-program internasional dan mendorong kerjasama dalam penelitian ilmiah kelautan oleh personil berbagai negara dan personil Otorita; (b) menjamin bahwa program-program itu dikembangkan melalui Otorita atau organisasi-organisasi internasional lainnya yang tepat untuk kemanfaatan Negara-negara berkembang dan Negara yang teknologinya kurang maju dengan tujuan : (i) memperkuat kemampuan penelitian mereka; (ii) melatih personil mereka dan personil Otorita di bidang teknik dan aplikasi penelitian; (iii) membina dipekerjakannya personil mereka yang cakap dalam penelitian di Kawasan. (c) menyebarkan secara efektif hasil-hasil penelitian dan anlisa apabila ada, melalui Otorita atau saluran-saluran internasional lainnya apabila dipandang perlu. Pasal 144 Alih teknologi 1. Otorita harus mengambil tindakan-tindakan sesuai dengan Konvensi ini: (a) untuk memperoleh teknologi dan pengetahuan ilmiah yang bertalian dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan; dan (b) untuk memajukan dan mendorong alih teknologi dan pengetahuan ilmiah tersebut kepada Negara-negara berkembang sehingga semua Negara Peserta mendapat manfaat dari padanya. 2. Untuk tujuan ini Otorita dan Negara-negara Peserta harus bekerjasama dalam menggalakkan alih teknologi dan pengetahuan ilmiah yang bertalian dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan sehingga Perusahaan dan semua Negara Peserta dapat memperoleh manfaat dari padanya. Khususnya mereka harus memprakarsai dan memajukan : (a) program-program untuk alih teknologi ke Perusahaan dan ke Negara-negara berkembang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan, termasuk, inter alia, memudahkan akses Perusahaan dan Negara-negara berkembang pada teknologi yang relevan, dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang wajar dan pantas. (b) tindakan-tindakan yang diarahkan untuk memajukan teknologi Perusahaan dan teknologi domestik Negaranegara berkembang, terutama dengan memberikan kesempatan-kesempatan kepada personil Perusahaan dan Negara-negara berkembang untuk mengikuti latihan dalam ilmu dan teknologi kelautan dan berperan serta secara penuh dalam kegiatan-kegiatan di Kawasan. Pasal 145 Perlindungan lingkungan laut Tindakan-tindakan yang perlu berkenaan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan harus diambil sesuai dengan Konvensi ini untuk menjamin perlindungan yang efektif terhadap lingkungan laut dari akibat-akibat yang merugikan yang mungkin timbul dari kegiatan-kegiatan tersebut. Untuk tujuan ini Otorita harus menetapkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang tepat untuk inter alia : (a) pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dan bahaya-bahaya lainnya terhadap lingkungan laut, termasuk garis pantai, dan gangguan terhadap keseimbangan ekologis lingkungan laut, dengan memberikan perhatian khusus pada kebutuhan akan perlindungan terhadap akibat-akibat buruk dari kegiatan-kegiatan seperti pemboran, pengerukan, penggalian, pembuangan limbah, pembangunan dan operasi atau pemeliharaan instalasiinstalasi, saluran-saluran pipa dan peralatan-peralatan lainnya yang bertalian dengan kegiatan-kegiatan itu. (b) perlindungan dan konservasi kekayaan-kekayaan alam Kawasan dan pencegahan kerusakan terhadap flora dan fauna lingkungan laut. Pasal 146 Perlindungan kehidupan manusia Berkenaan dengan kegiatan-kegiatan di kawasan, tindakan-tindakan yang perlu harus diambil untuk menjamin perlindungan yang efektif bagi kehidupan manusia. Untuk tujuan ini Otorita harus menetapkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang tepat untuk melengkapi hukum internasional yang ada sebagaimana terdapat dalam perjanjian-perjanjian yang relevan. Pasal 147 Akomodasi kegiatan-kegiatan di Kawasan dan dalam lingkungan laut 1. Kegiatan-kegiatan di Kawasan harus dilaksanakan dengan memperhatikan secara layak kegiatan-kegiatan lainnya dalam lingkungan laut. 2. Instalasi-instalasi yang digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan di Kawasan harus memenuhi syarat-syarat berikut : (a) instalasi-instalasi tersebut harus dibangun, ditempatkan dan dipindahkan semata-mata sesuai dengan Bab ini dan tunduk pada ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita. Harus ada pemberitahuan secukupnya mengenai pembangunan, penempatan dan pemindahan instalasi tersebut dan harus dipelihara cara yang tetap untuk memberi peringatan akan adanya instalasi-instalasi tersebut; (b) instalasi-instalasi tersebut tidak boleh dibangun di tempat yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penggunaan alur-alur laut yang diakui penting untuk pelayaran internasional atau di daerah-daerah dimana terdapat kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang padat. (c) zona-zona pengaman harus diadakan di sekitar instalasi-instalasi tersebut dengan tanda-tanda yang layak, untuk menjamin keselamatan baik pelayaran maupun instalasi-instalasi tersebut. Konfigurasi dan letak zona-zona pengaman tersebut tidak boleh sedemikian rupa sehingga membentuk suatu jalur yang menghalangi jalan masuk yang sah dari kapal-kapal ke zona maritim tertentu atau pelayaran melalui alur-alur laut internasional. (d) instalasi-instalasi demikian harus digunakan semata-mata untuk maksud-maksud damai. (e) instalasi-instalasi tersebut tidak memiliki status sebagai pulau. Instalasi-instalasi tersebut tidak memiliki laut teritorial sendiri, dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan garis batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. 3. Kegiatan-kegiatan lain dalam lingkungan laut harus dilakukan dengan memperhatikan selayaknya kegiatan-kegiatan di Kawasan. Pasal 148 Peran serta Negara-negara berkembang dalam kegiatan-kegiatan di Kawasan Peran serta Negara-negara berkembang yang efektif dalam kegiatan-kegiatan di Kawasan harus ditingkatkan sebagaimana diatur secara khusus dalam Bab ini, dengan memperhatikan seperlunya kepentingan-kepentingan dan Kebutuhan khusus Negara-negara tersebut, dan terutama kepentingan khusus Negara-negara tak berpantai dan geografis tak beruntung diantara mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan yang timbul karena letaknya yang tidak menguntungkan, termasuk letaknya yang jauh dari Kawasan dan kesukaran akses ke dan dari Kawasan. Pasal 149 Benda-benda purbakala dan bersejarah Semua benda-benda purbakala dan yang mempunyai nilai sejarah yang ditemukan di Kawasan harus dipelihara atau digunakan untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan secara khusus hak-hak yang didahulukan dari Negara asal, atau Negara asal-kebudayaan, atau Negara asal jarahan dan asal kepurbakalaan. BAGIAN 3. PENGEMBANGAN KEKAYAAN-KEKAYAAN DI KAWASAN Pasal 150 Kebijaksanaan-kebijaksanaan berkenaan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan Kegiatan-kegiatan di Kawasan sebagaimana diatur secara khusus dalam Bab ini, harus dilaksanakan sedemikian rupa hingga membantu pengembangan ekonomi dunia yang sehat dan pertumbuhan perdagangan internasional yang berimbang, dan untuk memajukan kerjasama internasional bagi perkembangan secara menyeluruh semua Negara, khususnya Negara-negara berkembang dengan maksud untuk menjamin : (a) pengembangan kekayaan di Kawasan; (b) pengelolaan kekayaan Kawasan secara tertib, aman dan rasional, termasuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan di Kawasan yang efektif dan pencegahan terjadinya limbah yang tidak perlu sesuai dengan asas-asas konservasi yang sehat; (c) perluasan kesempatan untuk berperan serta dalam kegiatan-kegiatan demikian konsisten dengan pasal 144 dan 148; (d) berperan serta dalam pendapatan-pendapatan Otorita dan alih teknologi kepada Perusahaan dan Negara-negara berkembang sebagaimana yang diatur dalam Konvensi ini; (e) menambah tersedianya mineral-mineral yang dihasilkan dari Kawasan sebagaimana diperlukan bersama-sama dengan mineral-mineral yang dihasilkan dari sumber-sumber lain, untuk menjamin persediaan mineral-mineral itu bagi konsumen; (f) pengembangan tingkat harga yang adil dan stabil yang memberi keuntungan bagi produsen dan layak bagi konsumen atas mineral-mineral yang dihasilkan baik dari Kawasan maupun dari sumber-sumber lain, dan pengembangan keseimbangan jangka panjang antara penawaran dan permintaan; (g) peningkatan kesempatan bagi semua Negara Peserta, dengan tidak memandang sistem sosial dan ekonominya atau letak geografinya, untuk berperan serta dalam pengembangan kekayaan-kekayaan Kawasan dan pencegahan monopoli kegiatan di Kawasan; (h) perlindungan bagi Negara-negara berkembang dari akibat-akibat yang merugikan terhadap ekonomi dan penerimaan-penerimaan ekspor mereka yang disebabkan oleh penurunan harga mineral yang terkena, atau dalam volume ekspor-ekspor mineral itu, sejauh pengurangan tersebut disebabkan oleh kegiatan di Kawasan sebagaimana diatur dalam pasal 151; (i) pengembangan warisan bersama untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruh; dan (j) syarat-syarat untuk masuknya ke pasar-pasar bagi impor-impor mineral-mineral yang dihasilkan dari kekayaankekayaan di Kawasan dan impor-impor komoditi-komoditi yang dihasilkan dari mineral-mineral tersebut tidak boleh lebih menguntungkan dari pada yang diberlakukan bagi impor-impor dari sumber-sumber lainnya. Pasal 151 Kebijaksanaan-kebijaksanaan Produksi 1.-- (a) Dengan tidak mengurangi sasaran-sasaran yang tercantum dalampasal 150 dan untuk melaksanakan ketentuan sub-ayat (h) pasal tersebut Otorita, bertindak melalui forum-forum yang ada atau pengaturan-pengaturan baru atau perjanjian-perjanjian yang tepat, dalam mana semua pihak yang berkepentingan berperan serta, termasuk baik produsen-produsen maupun konsumen-konsumen, harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk meningkatkan pertumbuhan, efisiensi dan stabilitas pasar-pasar komoditi yang dihasilkan oleh mineral-mineral yang berasal dari Kawasan, pada tingkat harga yang memberi keuntungan bagi para produsen dan layak bagi para konsumen. Semua Negara Peserta harus bekerja sama untuk mencapai tujuan ini. (b) Otorita mempunyai hak untuk berperan serta dalam setiap konperensi komoditi mengenai komoditi-komoditi tersebut dan dimana semua pihak-pihak yang berkepentingan termasuk para produsen dari konsumen, berperan serta. Otorita mempunyai hak untuk menjadi pihak dalam setiap pengaturan dan perjanjian yang dihasilkan konperensi tersebut. Peran serta Otorita dalam setiap badan yang dibentuk menurut pengaturan-pengaturan atau perjanjian-perjanjian demikian harus bertalian dengan produksi di Kawasan dan sesuai dengan ketentuanketentuan badan tersebut yang relevan. (c) Otorita harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya berdasarkan pengaturan atau perjanjian sebagaimana disebut dalam ayat ini dengan cara yang menjamin pelaksanaan yang seragam dan non-diskriminasi mengenai semua produksi mineral-mineral yang bersangkutan di Kawasan. Dalam melakukan hal itu, Otorita harus bertindak dengan cara konsisten dengan ketentuan-ketentuan kontrak-kontrak yang ada dan rencana kerja Perusahaan yang telah disetujui. 2.-- (a) Selama masa peralihan sebagaimana ditetapkan dalam ayat 3, produksi komersial tidak dilakukan menurut rencana kerja yang sudah disetujui sampai operator telah mengajukan permohonan untuk dan telah diberikan ijin produksi oleh Otorita. Ijin produksi tersebut tidak boleh diajukan atau dikeluarkan untuk masa lebih dari lima tahun sebelum produksi komersial pertama yang telah direncanakan berdasarkan rencana kerja dimulai, kecuali dengan memperhatikan sifat dan waktu perkembangan proyek, ketentuan-ketentuan, peraturanperaturan dan prosedur-prosedur Otorita menentukan jangka waktu yang lain. (b) Dalam permohonan ijin produksi, operator harus menyebutkan secara tegas jumlah nikel setiap tahun yang di harapkan akan didapatkan berdasarkan rencana kerja yang telah disetujui. Permohonan tersebut harus memuat rencana pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan operator, setelah ia menerima ijin yang diperhitungkan secara wajar untuk memungkinkannya memulai produksi komersial pada tanggal yang direncanakan. (c) untuk tujuan sub-ayat (a) dan (b), Otorita harus menetapkan syarat-syarat pelaksanaan yang tepat sesuai dengan Lampiran III pasal 17. (d) Otorita harus mengeluarkan ijin produksi untuk tingkat produksi yang diajukan, kecuali jika jumlah tingkat itu dan tingkat-tingkat yang sudah diijinkan melampaui pagu produksi nikel, sebagaimana yang diperhitungkan menurut ayat 4 dalam tahun dikeluarkannya ijin produksi, selama tiap tahun produksi, yang direncanakan itu masih berada dalam masa peralihan. (e) apabila dikeluarkan, ijin produksi dan permohonan yang disetujui itu akan menjadi bagian dari renana kerja yang disetujui (f) apabila permohonan operator untuk ijin produksi ditolak menurut sub-ayat (d), setiap waktu operator tersebut dapat mengajukan lagi permohonan kepada Otorita. 3. Masa peralihan akan mulai berlaku lima tahun sebelum tanggal 1 Januari dari tahun dalam mana produksi komersial pertama direncanakan dimulai berdasarkan rencana kerja yang disetujui. Apabila produksi komersial pertama ditangguhkan lebih lama dari tahun yang direncanakan semula, permulaan masa peralihan dan pagu produksi yang diperhitungkan semula akan disesuaikan dengan penangguhan tersebut. Masa peralihan akan berlangsung selama 25 tahun atau sampai akhir Konperensi Peninjauan Kembali sebagaimana disebut dalam pasal 155 atau sampai hari mulai berlakunya pengaturan-pengaturan atau perjanjian-perjanjian baru seperti tersebut dalam ayat 1, yang mana saja yang paling dahulu. Otorita akan mulai kembali memegang kekuasaan yang ditetapkan dalam pasal ini untuk sisa masa peralihan jika pengaturan-pengaturan atau perjanjian-perjanjian tersebut telah tidak berlaku lagi atau menjadi tidak efektif lagi karena sebab apapun. 4.-- (a) pagu produksi untuk setiap tahun dalam masa peralihan adalah jumlah dari : (i) perbedaan antara trend line values konsumsi nikel, yang dihitung menurut sub-ayat (b) untuk satu tahun sebelum tahun dimulainya produksi komersial pertama dan satu tahun sebelum dimulainya masa peralihan; dan (ii) enampuluh persen dari perbedaan antara trend line values untuk konsumsi nikel, yang dihitung menurut sub-ayat (b), untuk tahun ijin produksi yang diajukan dan satu tahun sebelum tahun produksi komersial yang pertama. (b) untuk tujuan sub-ayat (a) : (i) trend line values yang digunakan untuk menghitung pagu produksi nikel adalah nilai konsumsi nikel tahunan berdasarkan trend line yang dihitung selama tahun mana ijin produksi telah diberikan. Trend line akan didasarkan pada regresi linear dari logaritmus konsumsi nikel yang sebenarnya untuk masa 15 tahun terakhir untuk mana data tersebut masih tersedia, dengan faktor waktu sebagai variabel independen. Trend line ini akan disebut trend line yang asli. (ii) apabila tingkat pertambahan tahun trend line yang asli kurang dari 3 persen, maka trend line yang digunakan untuk menentukan jumlah yang disebut dalam sub-ayat (a) sebaliknya adalah satu tingkat pertumbuhan/garis yang melampaui trend line yang asli pada nilai untuk tahun pertama dari masa waktu 15 tahun yang relevan, dan bertambah sebesar 3 persen setahun; tetapi dengan ketentuan bahwa pagu produksi yang ditentukan untuk tiap tahun selama masa peralihan bagaimanapun tidak boleh melebihi selisih antara trend line values yang asli untuk tahun itu dan trend line values yang asli untuk satu tahun sebelum dimulainya masa peralihan. 5. Otorita harus mencadangkan untuk produksi pertama Perusahaan sejumlah 38.000 metrik ton nikel dari pagu produksi yang ada di hitung menurut ayat 4. 6.-- (a) seorang operator setiap tahunnya boleh memproduksi kurang dari atau sampai 8 persen lebih dari tingkat produksi tiap tahun mineral-mineral yang berasal dari nodul-nodul polimetalik sebagaimana ditentukan dalam ijin produksinya, dengan ketentuan bahwa jumlah produksi secara keseluruhan tidak boleh lebih dari apa yang ditentukan dalam ijin. Setiap kelebihan di atas 8 persen hingga 20 persen pada setiap tahun, atau setiap kelebihan dalam tahun pertama dan tahun-tahun berikutnya sesudah dua tahun berturut-turut dalam waktu mana telah terjadi kelebihan, harus dirundingkan dengan Otorita dimana operator diharuskan untuk mendapatkan ijin produksi tambahan untuk menutup kelebihan tadi. (b) permohonan-permohonan untuk ijin produksi tambahan tersebut harus dipertimbangkan oleh Otorita hanya sesudah semua permohonan yang belum diputuskan yang diajukan oleh operator-operator yang belum menerima ijin produksi telah ditangani dan setelah mempertimbangkan pula sepatutnya kemungkinan pemohonpemohon lainnya. Otorita harus berpegang pada asas tidak melebihi jumlah produksi total yang diijinkan menurut pagu produksi tiap tahun dalam masa peralihan. Otorita tidak akan mengijinkan produksi berdasarkan rencana kerja manapun untuk suatu jumlah lebih dari 46.500 metrik ton nikel tiap tahun. 7. Tingkat-tingkat produksi logam-logam lain seperti tembaga, cobalt dan mangan yang diperoleh dari nodul-nodul polimetalik yang diambil berdasarkan suatu ijin produksi, tidak boleh lebih tinggi dari tingkat yang akan diproduksi seandainya operator telah memproduksikan tingkat tertinggi nikel dari nodul-nodul tersebut menurut pasal ini. Otorita harus menetapkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur sesuai dengan Lampiran III pasal 17 untuk melaksanakan ketentuan ayat ini. 8. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan praktek-praktek ekonomi yang tidak adil berdasarkan perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral yang relevan, harus diterapkan dalam eksplorasi dan eksploitasi mineral-mineral yang berasal dari Kawasan. Dalam penyelesaian sengketa yang timbul berdasarkan ketentuan ini, Negara-negara Peserta yang merupakan Pihak-pihak pada perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral tersebut harus menggunakan Prosedur-prosedur Penyelesaian sengketa dalam Perjanjian-Perjanjian tersebut. 9. Otorita mempunyai kekuasaan untuk membatasi tingkat produksi mineral-mineral yang berasal dari kawasan, selain mineral-mineral yang berasal dari nodul-nodul polimetalik, berdasarkan syarat-syarat dan dengan menggunakan metode-metode yang dianggap memadai dengan menetapkan Peraturan-Peraturan yang sesuai dengan Pasal 161 ayat 8. 10. Atas rekomendasi Dewan berdasarkan nasehat dari Komisi Perencanaan Ekonomi. Majelis harus menetapkan sistem ganti rugi atau mengambil tindakan-tindakan lain berupa bantuan penyesuaian ekonomi termasuk kerjasama dengan badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional lain untuk membantu Negara-negara berkembang yang menderita akibat buruk yang berat terhadap penerimaan ekspor atau ekonomi mereka yang diakibatkan oleh penurunan harga mineral atau jumlah ekspor mineral itu, sejauh penurunan tersebut disebabkan oleh kegiatan-kegiatan di Kawasan. Otorita atas permintaan harus memprakarsai penelaahan mengenai masalahmasalah yang dihadapi oleh Negara-negara tersebut yang mungkin terkena pengaruh paling berat, dengan maksud untuk memperkecil kesulitan-kesulitan dan membantu mereka dalam penyesuaian ekonominya. Pasal 152 Pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan dan fungsi Otorita 1. Dalam melaksanakan kekuasaan dan fungsinya, Otorita harus menghindarkan diskriminasi termasuk dalam Pemberian kesempatan-kesempatan untuk kegiatan-kegiatan di Kawasan. 2. Namun sebagaimana ditentukan khususnya dalam Bab ini, dibenarkan untuk memberikan pertimbanganpertimbangan khusus kepada Negara-negara berkembang, termasuk terhadap Negara tak berpantai dan Negara yang secara geografis tidak beruntung diantara mereka. Pasal 153 Sistem eksplorasi dan eksploitasi 1. Kegiatan-kegiatan di Kawasan harus diorganisasikan, dilaksanakan dan dikendalikan oleh Otorita atas nama umat manusia sebagai suatu keseluruhan sesuai ketentuan pasal ini dan juga ketentuan-ketentuan lain dalam Bab ini yang relevan dan Lampiran-lampiran yang relevan serta ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita. 2. Kegiatan-kegiatan Kawasan harus dilaksanakan sebagaimana digambarkan pada ayat 3 : (a) oleh Perusahaan, dan (b) bersama-sama dengan Otorita oleh Negara-negara Peserta atau perusahaan Negara, atau badan hukum atau perorangan yang memiliki kebangsaan Negara-negara Peserta atau yang secara efektif dikendalikan oleh mereka atau warganegara mereka, jika disponsori oleh Negara-negara tersebut, atau oleh setiapkelompok yang disebut sebelumnya yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Bab ini dan dalam Lampiran III. 3. Kegiatan-kegiatan di Kawasan harus dilaksanakan berdasarkan rencana kerja tertulis yang resmi yang dibuat sesuai dengan Lampiran III dan disetujui oleh Dewan setelah ditelaah oleh Komisi Hukum dan Teknik. Dalam hal kegiatankegiatan di Kawasan dilaksanakan sebagaimana diijinkan oleh Otorita dan dilakukan oleh satuan-satuan yang disebut dalam ayat 2 (b), rencana kerja, sesuai dengan lampiran III pasal 3, harus dalam bentuk kontrak. Kontrakkontrak tersebut dapat menetapkan pengaturan-pengaturan bersama sesuai dengan Lampiran III Pasal 11. 4. Otorita harus mengadakan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan di Kawasan sebagaimana diperlukan untuk menjamin dipenuhinya ketentuan Bab ini yang relevan dan Lampiran-lampiran yang bersangkutan dengannya, dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prsedur-prosedur Otorita serta rencana kerja yang disetujui berdasarkan ayat 3. Negara-negara Peserta harus membantu Otorita dengan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan ketentuan tersebut sesuai denganpasal 139. 5. Otorita mempunyai hak untuk setiap waktu mengambil tindakan apapun yang ditentukan dalam Bab ini untuk menjamin dipenuhinya peraturan-peraturannya, dan pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan dan pengaturan yang diberikan kepadanya menurut ketentuan Bab ini atau berdasarkan kontrak apapun. Otorita mempunyai hak untuk memeriksa semua instalasi di Kawasan yang digunakan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan. 6. Kontrak berdasarkan ayat 3 harus memberikan kepastian kerja. Sesuai dengan itu kontrak tersebut tidak boleh ditinjau kembali, ditangguhkan atau dihentikan kecuali berdasarkan Lampiran III pasal 18 dan 19. Pasal 154 Peninjauan kembali secara berkala Setiap lima tahun terhitung sejak berlakunya Konvensi ini, Majelis harus mengadakan peninjauan kembali secara umum dan sistimatis cara bagaimana rejim internasional Kawasan yang didirikan dalam Konvensi ini beroperasi dalam praktek. Dalam rangka peninjauan ini, Majelis boleh mengambil, atau menyarankan agar badan-badan lain mengambil, tindakantindakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur-prosedur dalam Bab ini dan Lampiran-lampiran yang berhubungan dengannya yang akan menuju pada perbaikan pelaksanaan rejim. Pasal 155 Konperensi Peninjauan Kembali 1. Lima belas tahun sejak tanggal 1 Januari dari tahun produksi komersial yang pertama dimulai berdasarkan suatu rencana kerja yang disetujui, Majelis harus mengadakan suatu konperensi untuk meninjau kembali ketentuan-ketentuan dalam Bab ini dan Lampiran-lampiran yang relevan yang mengatur sistem eksplorasi dan eksploitasi kekayaan-kekayaan di Kawasan. Konperensi Peninjauan Kembali itu akan mempertimbangkan secara terperinci, dalam rangka pengalaman yang diperoleh selama masa itu : (a) apakah ketentuan-ketentuan Bab ini yang mengatur sistem eksplorasi dan eksploitasi kekayaan-kekayaan di Kawasan dalam segala hal telah mencapai tujuannya, termasuk apakah ketentuan tersebut telah memberi manfaat bagi umat manusia sebagai suatu keseluruhan; (b) apakah, selama masa limabelas tahun, daerah-daerah yang dicadangkan telah dieksploitasi dengan cara efektif dan berimbang dibandingkan dengan daerah yang tidak dicadangkan; (c) apakah pengembangan dan penggunaan Kawasan dan kekayaan-kekayaannya telah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga membantu pengembangan ekonomi dunia yang sehat dan pertumbuhan perdagangan internasional yang berimbang; (d) apakah pemonopolian kegiatan-kegiatan di Kawasan telah dicegah; (e) apakah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditentukan dalam pasal 150 dan 151 telah dipenuhi; dan (f) apakah sistem tersebut telah mengakibatkan pembagian yang adil dari keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan di Kawasan, dengan memperhatikan secara khusus kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan Negara-negara berkembang; 2. Konperensi Peninjauan Kembali harus menjamin terpeliharanya asas warisan bersama umat manusia sebagai suatu keseluruhan, rejim internasional yang dibentuk untuk menjamin eksploitasi yang adil dari kekayaan-kekayaan di Kawasan untuk kemanfaatan semua negara, khususnya Negara-negara berkembang, dan suatu Otorita untuk mengorganisir, melaksanakan dan mengawasi kegiatan-kegiatan di Kawasan. Koperensi itu juga harus menjamin dipertahankannya asas-asas yang ditetapkan dalam Bab ini berkenaan dengan peniadaan tuntutan atau pelaksanaan kedaulatan terhadap bagian manapun dari Kawasan, hak-hak dan perilaku umum Negara-negara yang berkenaan dengan kawasan, dan peran serta mereka dalam kegiatan-kegiatan di Kawasan sesuai dengan Konvensi ini, pencegahan pemonopolian kegiatan-kegiatan di Kawasan, penggunaan Kawasan semata-mata untuk maksudmaksud damai, aspek-aspek ekonomi kegiatan-kegiatan di Kawasan, penelitian ilmiah kelautan, alih teknologi, perlindungan lingkungan laut, perlindungan kehidupan manusia, hak-hak Negara-negara pantai, status hukum perairan di atas Kawasan dan ruang udara di atasnya dan akomodasi antara kegiatan-kegiatan di Kawasan dan kegiatan-kegiatan lain di lingkungan laut. 3. Prosedur pengambilan keputusan yang berlaku dalam Koperensi Peninjauan Kembali harus sama dengan yang berlaku pada Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut. Koperensi itu harus mengadakan setiap usaha untuk mencapai persetujuan atas setiap amandemen dengan cara konsensus dan tidak akan ada pemungutan suara mengenai masalah-masalah tersebut sampai semua usaha untuk mencapai konsensus telah dilakukan. 4. Jika lima tahun setelah dimulainya Konperensi Peninjauan Kembali tidak dicapai persetujuan mengenai sistem eksplorasi dan eksploitasi kekayaan-kekayaan Kawasan, maka dalam dua belas bulan berikutnya Konperensi boleh memutuskan, dengan mayoritas tiga perempat dari Negara-negara Peserta, untuk meratifikasi atau mengaksesi amandemen-amandemen yang mengganti atau merubah sistem yang dianggapnya perlu dan layak. Amandemen-amandemen tersebut akan berlaku bagi semua Negara Peserta dua belas bulan setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, oleh tiga perempat dari Negara-negara peserta. 5. Amandemen-amandemen yang diterima oleh Konperensi Peninjauan Kembali berdasarkan pasal ini tidak akan mempengaruhi hak-hak yang telah diperoleh berdasarkan kontrak-kontrak yang ada. BAGIAN 4. OTORITA SUB BAGIAN A. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM Pasal 156 Pembentukan Otorita 1. Dengan ini dibentuk Otorita Dasar Laut Internasional yang akan berfungsi sesuai dengan Bab ini. 2. Semua Negara Peserta secara ipso facto adalah anggota Otorita. 3. Para peninjau pada Konperensi Peserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut yang telah menandatangani Akta Akhir (Final Act) dan yang tidak disebutkan dalam pasal 305 ayat 1 (c), (d), (e), atau (f), mempunyai hak untuk berperan serta dalam Otorita sebagai peninjau, sesuai dengan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedurnya. 4. Otorita berkedudukan di Jamaica. 5. Otorita dapat membentuk pusat-pusat atau kantor-kantor regional yang dianggapnya perlu bagi pelaksanaan fungsi-fungsinya. Pasal 157 Sifat dan asas-asas dasar Otorita 1. Otorita adalah organisasi yang melaluinya Negara-negara Peserta harus, sesuai dengan Bab ini, mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan di Kawasan, terutama dengan tujuan untuk mengelola kekayaan-kekayaan di Kawasan. 2. Kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi Otorita adalah kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi yang secara tegas diberikan kepadanya berdasarkan Konvensi ini. Otorita mempunyai kekuasaan insidental, konsisten dengan Konvensi ini, sebagaimana yang tersirat dalam dan di perlukan untuk pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsinya berkenaan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan. 3. Otorita didasarkan atas asas persamaan kedaulatan semua anggotanya. 4. Semua anggota Otorita, harus memenuhi berdasarkan itikad baik kewajiban-kewajiban yang mereka pikul sesuai dengan Bab ini untuk menjamin bagi mereka semua hak-hak dan keuntungan-keuntungan yang timbul dari keanggotaannya. Pasal 158 Badan-badan Otorita 1. Dengan ini dibentuk sebagai badan-badan utama Otorita, satu Majelis, satu Dewan dan satu Sekretariat. 2. Dengan ini dibentuk Perusahaan, badan melalui mana Otorita akan melakukan fungsi-fungsi yang tersebut dalam pasal 170 ayat 1. 3. Badan-badan tambahan yang dianggap perlu berdasarkan Bab ini. 4. Setiap badan utama Otorita dan Perusahaan harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi yang diberikan kepadanya. Di dalam pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsinya tersebut, setiap badan harus mencegah pengambilan tindakan apapun yang dapat menyimpang dari atau menghalanghalangi pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi khusus yang diberikan kepada badan lainnya. SUBBAGIAN B. MAJELIS Pasal 159 Susunan, Prosedur dan pemungutan suara 1. Majelis terdiri dari semua anggota Otorita. Setiap anggota mempunyai seorang wakil di Majelis, yang dapat didampingi oleh pengganti-pengganti dan penasehat-penasehat. 2. Majelis akan bertemu dalam sidang tahunan yang tetap, dan di dalam sidang-sidang khusus yang diputuskan oleh Majelis atau diadakan oleh Sekretaris Jenderal atas permintanan Dewan atau atas permintaan mayoritas anggota Otorita. 3. Sidang-sidang akan diadakan di tempat kedudukan Otorita kecuali jika ditentukan lain oleh Majelis. 4. Majelis harus menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedurnya sendiri. Pada permulaan setiap sidang tetapnya. Majelis akan memilih Ketua I dan pejabat-pejabat lainnya yang dianggap perlu. Mereka akan bertugas hingga terpilihnya Ketua dan pejabat-pejabat baru lainnya pada sidang tetap berikutnya. 5. Mayoritas anggota Majelis akan merupakan suatu quorum. 6. Setiap anggota Majelis mempunyai satu suara. 7. Keputusan mengenai masalah prosedur, termasuk keputusan-keputusan untuk mengadakan sidang-sidang khusus Majelis, harus diambil berdasarkan mayoritas anggota yang hadir dan memberi suara. 8. Keputusan-keputusan mengenai masalah substansi akan diambil dengan mayoritas dua pertiga dari anggota yang hadir dan memberikan Suara, dengan ketentuan bahwa mayoritas tersebut mencakup mayoritas anggota yang ikut serta dalam sidang. Jika timbul persoalan apakah suatu masalah merupakan masalah substansi atau tidak, persoalan tersebut harus dianggap sebagai masalah substansi kecuali jika ditentukan sebaliknya oleh Majelis dengan mayoritas yang diperlukan untuk keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah substansi. 9. Jika masalah substansi muncul dalam pemungutan suara untuk pertama kali, maka Ketua, apabila diminta oleh paling sedikit seperlima anggota-anggota Majelis, dapat dan harus menangguhkan masalah pemungutan suara mengenai persoalan tersebut untuk satu jangka waktu yang tidak lebih dari lima hari kalender. Ketentuan ini hanya boleh diterapkan sekali untuk setiap masalah dan tidak boleh diterapkan sedemikian rupa sehingga menangguhkan pembahasan suatu masalah sampai melewati akhir masa sidang. 10. Berdasarkan permintaan tertulis kepada Ketua yang disponsori oleh tidak kurang dari seperempat jumlah anggota Otorita untuk memperoleh suatu pendapat nasehat mengenai apakah suatu usul yang diajukan kepada Majelis tentang masalah apapun sesuai dengan Konvensi ini, Majelis harus meminta Kamar Sengketa Dasar Laut dari Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut untuk memberikan pendapat nasehatnya mengenai hal tersebut, dan harus menangguhkan pemungutan suara mengenai usul itu sambil menunggu diterimanya pendapat nasehat dari Badan. Jika pendapat nasehat itu tidak diterima sebelum minggu terakhir dari sidang dimana pendapat nasehat itu dimintakan, Majelis harus memutuskan kapan mereka akan bertemu untuk mengadakan pemungutan suara mengenai usul yang ditangguhkan itu. Pasal 160 Kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi 1. Majelis sebagai satu-satunya, badan dari Otorita yang terdiri dari semua anggota, merupakan badan tertinggi. Otorita kepada siapa badan-badan utama lainnya bertanggung jawab sebagaimana secara khusus ditetapkan dalam Konvensi ini. Majelis memiliki kekuasaan menetapkan kebijaksanaan umum sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini yang relevan, mengenai setiap masalah atau hal dalam batas kewenangan Otorita. 2. Sebagai tambahan, kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi majelis adalah : (a) memilih anggota-anggota Dewan sesuai dengan pasal 161; (b) memilih Sekretaris Jenderal dari antara calon-calon yang diusulkan oleh Dewan; (c) memilih anggota Dewan Pimpinan dan Direktur Jenderal Perusahaan atas rekomendasi Dewan; (d) membentuk badan-badan tambahan yang dianggapnya perlu bagi pelaksanaan fungsi-fungsinya sesuai dengan Bab ini. Dalam menetapkan susunan badan tambahan ini harus dipertimbangkan seperlunya asas pembagian geografis yang adil dan kepentingan-kepentingan khusus serta kebutuhan akan anggota-anggota yang memenuhi syarat dan cakap dalam masalah teknis yang relevan yang dihadapi oleh badan-badan tersebut; (e) menaksir iuran-iuran anggoga-anggota kepada anggaran administratif Otorita sesuai dengan skala taksiran yang disepakati berdasarkan skala yang digunakan untuk anggaran tetap Perserikatan Bangsa-Bangas, sampai Otorita mempunyai penghasilan yang cukup dari sumber-sumber lain untuk memenuhi pengeluaranpengeluaran administratifnya; (f)-- (i) atas rekomendasi Dewan, mempertimbangkan dan menyetujui ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur mengenai pembagian yang adil dari keuntungan-keuntungan keuangan dan ekonomi lainnya yang berasal dari kegiatan-kegiatan di Kawasan, pembayaran-pembayaran dan iuraniuran sesuai dengan pasal 82, dengan mempertimbangkan secara khusus kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan Negara-negara berkembang dan rakyat yang belum memperoleh kemerdekaan secara penuh atau status berpemerintahan sendiri lainnya. Apabila Majelis tidak menyetujui rekomendasi Dewan, maka Majelis akan mengembalikannya kepada Dewan untuk dipertimbangkan kembali dengan mengingat pandangan yang telah dinyatakan oleh Majelis; (ii) mempertimbangkan dan menyetujui ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita dan setiap perubahan-perubahan terhadapnya yang untuk sementara telah diterima oleh Dewan sesuai dengan pasal 162 ayat 2 (0) (ii). Ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur ini haruslah berkaitan dengan prospekting, eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan, pengelolaan keuangan dan administrasi intern Otorita dan atas rekomendasi Dewan Pimpinan Perusahaan mengenai pengalihan dana dari Perusahaan kepada Otorita; (g) memutuskan tentang pembagian yang adil mengenai keuntungan-keuntungan keuangan dan ekonomi lainnya yang didapat dari kegiatan-kegiatan di Kawasan, sesuai dengan Konvensi ini dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita; (h) mempertimbangkan dan menyetujui rancangan anggaran tahunan dari Otorita yang diajukan oleh Dewan; (i) memeriksa laporan-laporan berkala Dewan dan Perusahaan dan laporan-laporan khusus yang dimintakan pada Dewan atau setiap badan Otorita lainnya; (j) memprakarsai diadakannya pengkajian dan mengajukan rekomendasi-rekomendasi yang bertujuan untuk memajukan kerjajsama internasional mengenai kegiatan-kegiatan di Kawasan dan mendorong perkembangan yang progresip dari hukum internasional yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan tersebut dan pengkodifikasiannya; (k) mempertimbangkan masalah-masalah, yang bersifat umum yang bertalian dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan, khususnya yang dihadapi oleh Negara-negara berkembang, demikian pula masalah-masalah yang dihadapi Negaranegara sehubungan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan karena letak geografis mereka, terutama Negara-negara tak berpantai dan Negara-negara yang secara geografis tidak beruntung; (l) atas rekomendasi Dewan, berdasarkan nasehat Komisi Perencanaan ekonomi, menetapkan suatu sistem ganti rugi atau tindakan-tindakan bantuan penyesuaian ekonomi lainnya sebagaimana ditentukan dalampasal 151 ayat 10; (m) menangguhkan pelaksanaan hak-hak dan hak-hak istimewa keanggotaan sesuai dengan pasal 185; (n) membahas setiap masalah atau hal yang termasuk wewenang Otorita dan menentukan badan Otorita mana yang harus menangani masalah atau hal demikian yang tidak secara khusus diserahkan kepada suatu badan tertentu, konsisten dengan pembagian kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi diantara badan-badan Otorita. SUBBAGIAN C. DEWAN Pasal 161 Komposisi, Prosedur dan pemungutan suara 1. Dewan terdiri dari 36 anggota Otorita yang dipilih oleh Majelis dengan urutan sebagai berimut (a) empat anggota diantara Negara-negara Peserta yang selama lima tahun terakhir, berdasarkan statistik yang ada telah memakai lebih 2 persen dari seluruh konsumsi dunia atau yang telah mempunyai impor bersih lebih 2 persen dari seluruh impor dunia komoditi yang dihasilkan dari kategori-ketegori mineral yang akan diperoleh dari Kawasan dan bagaimanapun juga, satu Negara dari Eropa Timur (Sosialis), demikian juga pemakai terbesar; (b) empat anggota diantara delapan Negara-negara Peserta yang mempunyai investasi terbesar dalam persiapan untuk dan penyelenggaraan kegiatan di Kawasan, baik secara langsung atau melalui warganegaranya termasuk paling sedikit satu Negara dari daerah Eropa Timur (Sosialis); (c) empat anggota diantara Negara-negara Peserta yang berdasarkan produksi di kawasan dalam yuridiksi mereka merupakan eksportir-eksportir bersih besar dari kategori-kategori mineral-mineral yang akan diambil dari Kawasan, termasuk paling sedikit dua Negara berkembang yang ekspor mineral tersebut mempunyai pengaruh besar bagi ekonominya; (d) enam anggota diantara Negara-negara Peserta berkembang yang mewakili kepentingan-kepentigan Khusus Kepentingan-kepentingan khusus yang diwakili harus mencakup kepentingan Negara yang jumlah penduduknya besar, Negara-negara tak berpantai atau yang secara geografis tidak beruntung,Negara-nengara yang merupakan importir besar dari kategori mineral-mineral yang akan diperoleh dari Kawasan dan bagaimanapun juga, satu Negara dari Eropa Timur (Sosialis), demikian juga pemakai terbesar; (b) empat anggota diantara delapan Negara-negara Peserta yang mempunyai investasi terbesar dalam persiapan untuk dan penyelenggaraan kegiatan di Kawasan, baik secara langsung atau melalui warganegaranya termasuk paling sedikit satu Negara dari daerah Eropa Timur (Sosialis); (c) empat anggota diantara Negara-negara Peserta yang berdasarkan produksi di kawasan dalam yuridiksi mereka merupakan eksportir-eksportir bersih besar dari kategori-kategori mineral-mineral yagn akan diambil dari Kawasan, termasuk paling sedikit dua Negara berkembang yang ekspor mineral tersebut mempunyai pengaruh besar bagi ekonominya; (d) enam anggota diantara Negara-negara Peserta berkembang yang mewakili kepentingan-kepentingan Khusus Kepentingan-kepentingan khusus yang diwakili harus mencakup kepentingan Negara yang jumlah penduduknya besar, Negara-negara tak berpantai atau yang secara geografis tidak beruntung, Negara-nengara yang merupakan importir besar dari kategori mineral-mineral yang akan diambil dari Kawasan, Negara-negara yang merupakan produsen yang potensial dari mineral-mineral tersebut, dan Negara-negara kurang berkembang; (e) delapan belas anggota dipilih sesuai dengan asas untuk menjamin pembagian kursi secara geografis yang adil dalam Dewan sebagai suatu keseluruhan, dengan ketentuan bahwa setiap daerah geografis harus mempunyai paling sedikit satu anggota yang dipilih berdasarkan sub-ayat ini. Untuk tujuan ini yang dimaksud dengan daerah-daerah geografis adalah Afrika, Asia, Eropa Timur (Sosialis), Amerika Latin dan Eropa Barat dan Lain-lain. 2. Dalam memilih anggota-anggota Dewan sesuai dengan ayat 1, Majelis harus menjamin bahwa : (a) Negara-negara tak berpantai dan Negara-negara yang secara geografis tidak beruntung diwakili hingga pada taraf yang cukup sebanding dengan perwakilan mereka dalam Majelis; (b) Negara-negara pantai, terutama Negara-negara berkembang yang tidak memenuhi persyaratan berdasarkan ayat 1 (a), (b), (c) dan (d) diwakili hingga pada taraf yang cukup sebanding dengan perwakilan mereka dalam Majelis; (c) setiap kelompok Negara-negara Peserta yang akan diwakili dalam Dewan, diwakili oleh anggota-anggota kelompok itu, jika ada, yang diusulkan oleh kelompok tersebut. 3. Pemilihan-pemilihan akan dilakukan dalam sidang-sidang tetap Majelis. Setiap anggota Dewan dipilih untuk masa kerja empat tahun. Akan tetapi, di dalam pemilihan pertama, masa jabatan dari setengah anggota-anggota setiap kelompok tersebut dalam ayat 1 haruslah dua tahun. 4. Anggota-anggota Dewan dapat dipilih kembali, akan tetapi harus diperhatikan keinginan untuk mengadakan pergiliran keanggotaan. 5. Dewan melaksanakan fungsinya di tempat kedudukan Otorita, dan bersidang sesering kepentingan Otorita menghendakinya tetap tidak kurang dari tiga kali setahun. 6. Mayoritas anggota Dewan akan merupakan suatu quorum. 7. Setiap anggota Dewan mempunyai satu suara. 8.-- (a) Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah prosedur diambil dengan mayoritas dari anggota yang hadir dan memberikan suara. (b) Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah substansi yang timbul berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut ini diambil dengan mayoritas duapertiga dari anggota-anggota yang hadir dan memberikan suara, dengan ketentuan bahwa mayoritas tersebut mencakup mayoritas anggota-anggota Dewan : pasal 162, ayat 2, sub-ayat (f); (g); (h); (i); (n); (p); (v); Pasal 191. (c) Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah substansi yang timbul menurut ketentuan-ketentuan berikut ini harus diambil dengan mayoritas tiga perempat dari anggota yang hadir dan memberikan suara, dengan ketentuan bahwa mayoritas tersebut mencakup mayoritas dari pada anggota Dewan : pasal 162 ayat 1; pasal 162 ayat 2 sub ayat (a); (b); (c); (d); (e); (l); (q); (r); (s); (t); (u) dalam hal-hal tidak dipenuhinya kewajiban oleh seorang kontraktor atau oleh sponsor; (w) dengan ketentuan bahwa perintah-perintah yang dikeluarkan berdasarkan sub-ayat ini dapat mengikat tidak lebih dari 30 hari kecuali jika dikuatkan oleh suatu keputusan yang diambil sesuai dengan sub-ayat (d); pasal 162, ayat 2, sub-ayat (x); (y); (z); pasal 162 ayat 2; pasal 174 ayat 3;Lampiran IV pasal 17. (d) Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah substansi yang timbul menurut ketentuan-ketentuan berikut ini harus diputuskan dengan mufakat : pasal 162 ayat 2 (m) dan (o); menyetujui amandemen-amandemen terhadap Bab XI. (e) Untuk tujuan sub-ayat (d); (f); dan (g), “mufakat” berarti tidak adanya suatu keberatan resmi apapun. Dalam jangka waktu 14 hari setelah diserahkannya usul kepada Dewan, Ketua Dewan menentukan apakah akan terdapat suatu keberatan resmi terhadap usul tersebut. Jika Ketua menetapkan bahwa akan ada keberatan demikian, Ketua dalam waktu tiga hari setelah penetapan tersebut, membentuk dan menyidangkan suatu Panitia konsiliasi yang beranggotakan tidak lebih dari sembilan anggota Dewan yang diketahuinya sendiri dengan tujuan untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat dan mengajukan usul yang dapat diterima secara konsensus. Panitia konsiliasi harus bekerja secepatnya dan melapor pada Dewan dalam waktu empat belas hari setelah pembentukannya. Apabila Panitia konsiliasi tidak mampu merekomendasikan suatu usul yang dapat diterima dengan konsensus, maka Panitia itu dalam laporannya harus memaparkan dasar Penolakan usul itu. (f) Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah yang tidak disebutkan di atas, yang merupakan wewenang Dewan berdasarkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita atau secara lain harus diputuskan sesuai dengan sub-ayat pasal ini sebagaimana ditentukan dalam ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur atau, apabila tidak ditentukan di dalamnya, maka sesuai dengan sub-ayat ini yang ditentukan Dewan sedapat mungkin sebelumnya dengan konsensus. (g) Apabila timbul persoalan apakah suatu masalah itu termasuk di bawah sub-ayat (a); (b); (c) atau (d), maka masalah tersebut harus diperlakukan sebagai termasuk dalam ketentuan sub-ayat yang memerlukan mayoritas yang lebih tinggi atau mayoritas tertinggi atau konsensus, sesuai dengan keadaannya, kecuali jika ditetapkan oleh Dewan berdasarkan mayoritas tersebut atau dengan konsensus. 9. Dewan harus menetapkan prosedur dengan mana satu anggota Otorita yang tidak diwakili dalam Dewan dapat mengirim seorang Wakil untuk menghadiri rapat Dewan apabila diminta oleh anggota tersebut, atau apabila suatu persoalan yang sangat membawa pengaruh padanya sedang dibahas. Wakil demikian berhak turut serta dalam pembahasan tetapi tidak mempunyai hak suara. Pasal 162 Kekuasaan-kekuasaan dan fungsi-fungsi 1. Dewan adalah badan eksekutif Otorita. Dewan mempunyai kekuasaan untuk menetapkan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Majelis kebijaksanaan-kebijaksanaan khusus yang harus dijalankan oleh Otorita mengenai setiap masalah dan hal yang menjadi wewenang Otorita. 2. Selain itu Dewan harus : (a) mengawasi dan mengkoordinasikan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Bab ini mengenai semua masalah dan hal dalam batas kewenangan Otorita dan meminta perhatian Majelis mengenai kasus-kasus yang tidak memenuhi ketentuan Bab ini; (b) mengusulkan kepada Majelis suatu daftar calon untuk pemilihan Sekretaris Jenderal; (c) merekomendasikan kepada Majelis calon-calon untuk dipilih sebagai anggota-anggota Dewan Pimpinan dan Direktur Jenderal Perusahaan; (d) dimana perlu dan dengan memperhatikan faktor ekonomis dan efisiensi membentuk badan tambahan yang mungkin diperlukan untuk pelaksanaan fungsi-fungsinya sesuai dengan Bab ini. Dalam komposisi badan tambahan tekanan harus diberikan pada kebutuhan akan anggota-anggota yagn cakap dan ahli dalam masalahmasalah teknis yagn relevan yang teramsuk urusan badan-badan tersebut dengan ketentuan bahwa harus diperhatikan asas pembagian geografis yang adil dan kepentingan-kepentingan khusus lainnya; (e) menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai prosedur termasuk metoda pemilihan Ketua Dewan; (f) atas nama Otorita dan dalam batas kewenangannya mengadakan perjanjian-perjanjian dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi-organisasi internasional lainnya dengan persetujuan Majelis; (g) mengkaji laporan-laporan Perusahaan dan meneruskannya kepada Majelis beserta rekomendasi-rekomendasinya; (h) menyampaikan kepada Majelis laproan-laporan tahunan dan laporan-laporan khusus lainnya yang dapat diminta oleh Majelis; (i) mengeluarkan petunjuk bagi Perusahaan sesuai dengan pasal 170; (j) menyetujui rencana-rencana kerja sesuai dengan lampiran III pasal 6. Dewan harus menentukan sikap dalam jangka waktu 60 dan setelah penyerahan oleh Komisi Hukum dan Teknik dalam satu sidang Dewan sesuai dengan prosedur-prosedur berikut : (i) apabila omisi merekomendasikan diterimanya suatu rencana kerja, maka rencana kerja itu dianggap telah diterima oleh Dewan apabila dalam jangka waktu 14 hari tidak ada anggota Dewan menyampaikan kepada Ketua suatu keberadaan tertulis yang menyatakan tidak terpenuhinya persyaratan dalam Lampiran III pasal 6. Dalam hal terdapat suatu keberatan, maka berlaku prosedur konsiliasi seperti tercantum dalam pasal 161, ayat (8 (e). Apakah pada akhir proses konsiliasi, keberatan itu tetap dipertahankan, maka rencana kerja itu dianggap telah disetujui oleh Dewan kecuali jika Dewan menolak dengan konsensus diantara anggotanya dengan mengecualikan setiap Negara atau Negara-negara pemohon atau sponsor pemohon; (ii) apabila Komisi merekomendasikan ditolaknya suatu rencana kerja atau sama sekali tidak mengajukan rekomendasinya, Dewan dapat memutuskan untuk menyetujui rencana kerja itu dengan mayoritas tiga perempat dari anggota yang hadir dan memberikan suara, dengan ketentuan bahwa mayoritas tersebut mencakup mayoritas dari anggota yang berperan serta dalam sidang itu; (k) menyetujui rencana-rencana kerja yang diserahkan oleh Perusahaan sesuai dengan Lampiran IV pasal 12, dengan menerapkan, mutatis mutandis, prosedur-prosedur yang ditetapkan dalam sub-ayat (j); (l) melakukan pengawasan atas kegiatan-kegiatan di Kawasan sesuai dengan pasal 153 ayat 4, dan ketentuan peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur Otorita; (m) berdasarkan rekomendasi dari Komisi Perencanaan Ekonomi mengambil tindakan yang perlu dan tepat sesuai dengan pasal 150 sub-ayat (h), untuk memberikan perlindungan terhadap akibat-akibat ekonomi yang merugikan, sebagaimana disebutkan di dalamnya; (n) menyampaikan rekomendasi kepada Majelis, berdasarkan saran dari Komisi Perencanaan Ekonomi, bagi suatu sistem ganti rugi atau tindakan-tindakan penyesuaian ekonomi lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 151 ayat 10; (o)-- (i) merekomendasikan pada Majelis ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur tentang pembagian keuntungan-keuntungan dan keuntungan ekonomi lainnya yang adil yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan di Kawasan dan pembayaran serta iuran yang diadakan menurut pasal 82, dengan memperhatikan secara khusus kepentingan dan kebutuhan Negara-negara berkembang dan bangsabangsa yang belum mencapai kemerdekaan penuh atau status berpemerintah sendiri; (ii) menetapkan dan melaksanakan untuk sementara, sambil menunggu persetujuan Majelis, ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita, dan setiap usul perubahan terhadapnya, dengan memperhatikan rekomendasi-rekomendasi dari Komisi Hukum dan Teknik atau badan kelengkapan subsider lainnya yang bersangkutan. Ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur ini harus berkaitan degnan prospekting, eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan, dan pengelolaan keuangan dan administrasi intern Otorita. Prioritas harus diberikan pada penetapan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur mengenai eksplorasi dan eksploitasi nodul-nodul polimetalik. Ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur mengenai eksplorasi dan eksploitasi kekayaan apapun selain nodul-nodul polimetalik harus ditetapkan dalam waktu tiga tahun sejak diajukannya permohonan kepada Otorita oleh anggota-anggota manapun untuk menetapkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang berkenaan dengan kekayaan tersebut. Semua ketentuan, peraturan dan prosedur harus tetap berlaku sementara hingga disetujui Majelis atau sampai dirubah oleh Dewan dalam rangka pendapat-pendapat yang dinyatakan oleh Majelis. (p) meninjau pemungutan semua pembayaran yang harus dilakukan oleh atau kepada Otorita sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan menurut Bab ini; (q) memilih diantara para pemohon yang mengajukan permohonan ijin produksi sesuai dengan Lampiran III pasal 7, dalam hal pemeliharaan tersebut diharuskan oleh ketentuan itu; (r) mengajukan rancangan anggaran tahunan Otorita keapda majelis untuk dimintakan persetujuannya; (s) mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Majelis berkenan dengan kebijaksanaan mengenai setiap masalah atau hal yang termasuk wewenang Otorita; (t) mengajukan rekomendasi kepada Majelis berkenaan dengan penangguhan pelaksanaan hak-hak dan hak-hak istimewa keanggotaan sesuai dengan pasal 185; (u) atas nama Otorita mengajukan perkara di hadapan Kamar Sengketa Dasar Laut dalam hal terjadinya kelalaian; (v) memberitahukan Majelis mengenai keputusan Kamar Sengketa Dasar Laut atas perkara yang diajukan sebagaimana termaksud dalam sub-ayat (u), menyampaikan rekomendasi yang dipandang perlu kepada Majelis berkenaan dengan dengan tindakan-tindakan yang harus diambil; (w) mengeluarkan perintah-perintah darurat yang dapat mencakup perintah untuk penangguhan atau penyesuaian operasi, untuk mencegah kerusakan yang berat bagi lingkungan laut yang terjadi karena kegiatan-kegiatan di Kawasan; (x) tidak menyetujui daerah-daerah untuk eieksploitasikan oleh kontraktor atau Perusahaan dalam hal terdapat bukti yang kuat yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kerusakan yang berat terhadap lingkungan laut; (y) membentuk suatu badan tambahan untuk menyusun secara terperinci rancangan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur keuangan berkenanan dengan : (i) pengelolaan keuangan sesuai dengan pasal 171 sampai dengan175; dan (ii) pengaturan-pengaturan keuangan sesuai dengan Lampiran III pasal 13 dan pasal 17 ayat (c); (z) menetapkan mekanisme yang tepat untuk mengendalikan dan mengawasi suatu staf inspektur-inspektur yang akan melakukan pengawasan kegiatan-kegiatan di Kawasan untuk menetapkan apakah Bab ini, ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita serta ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat tiap kontrak dengan Otorita telah dipenuhi. Pasal 163 Badan-badan kelengkapan Dewan 1. Dengan ini dibentuk badan-badan kelengkapan Dewan berikut : (a) Komisi Perencanaan Ekonomi; (b) Komisi Hukum Dan Teknis. 2. Tiap komisi terdiri dari 15 anggota yang dipilih oleh Dewan dari antara calon-calon yang diusulkan oleh Negara Peserta. Akan tetapi apabila perlu Dewan dapat memutuskan untuk menambah jumlah anggota tiap Komisi dengan memperhatikan penghematan dan efisiensi. 3. Anggota Komisi harus mempunyai kecakapan yang tepat dalam bidang kewenangan Komisi tersebut. Negara Peserta harus mengajukan calon-calon yang memiliki tingkat memampuan dan integritas yang tinggi dengan kecakapaan dalam bidang-bidang yang relevan untuk menjamin berfungsinya Komisi tersebut secara efektif. 4. Dalam pemilihan anggota Komisi, perlu diperhatikan kebutuhan akan adanya pembagian geografis yang adil dan diwakilinya kepentingan-kepentingan khusus. 5. Tidak satu Negara Pesertapun dapat mengajukan lebih dari seorang calon untuk Komisi yang sama. Tiada seorangpun dapat dipilih untuk duduk dalam lebih dari satu Komisi. 6. Anggota-anggota Komisi menduduki jabatan itu untuk masa jabatan lima tahun. Mereka dapat dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya. 7. Apabila seorang anggota Dewan meninggal dunia, tidak mampu atau mengundurkan diri sebelum hagis masa jabatannya, Dewan harus memilih seorang anggota dari kawasan geografis atau bidang kepentingan yang sama untuk sisa masa jabatan tersebut. 8. Anggota Komisi tidak boleh mempunyai kepentingan keuangan dalam kegiatan apapun yang bertalian dengan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan. Dengan tidak mengurangi tanggung jawabnya kepada Komisi dimana mereka menjabat, mereka tidak boleh membocorkan rahasia industri atau data pemilikan apapun yang sudah dialihkan kepada Otorita sesuai dengan Lampiran III pasal 14, sekalipun masa jabatan mereka telah berakhir, atau informasi lainnya yang bersifat rahasia yang mereka ketahui karena tugasnya untuk Otorita. 9. Tiap Komisi harus melaksanakan fungsinya sesuai dengan pedoman dan petunjuk yang dapat dibuat oleh Dewan. 10. Tiap Komisi harus merumuskan dan mengajukan kepada Dewan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi yang efisien untuk disetujui. 11. Prosedur-prosedur pengambilan keputusan Komisi akan ditetapkan dengan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita. Rekomendasi-rekomendasi kepada Dewan dimana perlu harus disertai suatu ringaksan tentang perbedaan pendapat dalam Komisi. 12. Tiap Komisi dalam keadaan biasa bertugas ditempat kedudukan Otorita dan mengadakan pertemuan sesering hal itu diperlukan untuk pelaksanaan fungsinya secara efesien. 13. Dalam melaksanakan fungsinya, tiap Komisi dimana layak dapat meminta pendapat Komisi lainnya, badan kelengkapan yang berwenang manapuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau badan-badan khususnya atau organisasi internasional manapun yang mempunyai wewenang dalam pokok persoalan yang dimintakan pendapatnya itu. Pasal 164 Komisi Perencanaan Ekonomi 1. Anggota-anggota Komisi Perencanaan Ekonomi harus mempunyai kecakapan tepat seperti misalnya kecakapaan yang relevan dengan bidang pertambangan, pengelolaan kegaitan-kegiatan kekayaan mineral, perdagangan atau perekonomian internasional. Dewan harus berusaha untuk menjamin bahwa keanggotaan Komisi mencerminkan semua kecakapan yang tepat. Komisi harus mencakup sekurang-kurangnya dua anggota dari Negara berkembang yang ekspor dari kategori mineralnya yang diambil dari Kawasan mempunyai pengaruh besar bagi perekonomiannya. 2. Komisi harus : (a) Atas permintaan Dewan, mengusulkan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk melaksanakan keputusan yang bertalian dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan sesuai dengan Konvensi ini; (b) meninjau kecenderungan-kecenderungan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan dan harga bahan-bahan yang dihasilkan dari Kawasan, dengan mengingat kepentingan baik Negara pengimpor maupun pengekspor, dan khususnya Negara berkembang diantara mereka; (c) memeriksa setiap keadaan yang mungkin menjurus pada akibat-akibat buruk yang dimaksudkan dalam pasal 150 sub-ayat (h), yang dikemukakan kepadanya oleh Negara Peserta atau Negara-negara Peserta yang bersangkutan, dan Komisi harus mengajukan rekomendasi-rekomendasi yang tepat kepada Dewan; (d) mengusulkan kepada Dewanuntuk diajukan kepada Majelis suatu sistem ganti rugi atau tindakan bantuan penyesuaian ekonomi lainnya bagi Negara-negara berekbmang yang menderita akibat-akibat yang merugikan yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan di Kawasan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 150 ayat 10. Komisi harus mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Dewan yang diperlukan untuk penerapan sistem ini atau tindakan-tindakan lain yang telah disetujui oleh Majelis dalm kasus-kasus tertentu. Pasal 165 Komisi Hukum dan Teknis 1. Anggota-anggota Komisi Hukum dan Teknis harus memilikiki kecakapan yang tepat seperti kecakapan yang berkaitan dengan eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan kekayaan mineral, oseanologi, perlindungan lingkungan laut atau masalah-masalah ekonomi atau hukum yang bertalian dengan penambangan samudera dan bidang-bidagn keahlian lain yang bersangkutan. Dewan harus berusaha untuk menjamin bahwa keanggotaan dalam Komisi mencerminkan semua kecakapan yang tepat. 2. Komisi harus : (a) atas permintaan Dewan membuat rekomendasi-rekomendasi mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi Otorita; (b) meninjau rencana-rencana kerja tertulis yang resmi mengenai kegiatan-kegiatan di Kawsan sesuai dengan pasal 153 ayat 3, dan mengajukan rekomendasi-rekomendasi yang tepat kepada Dewan. Komisi harus mendasarkan rekomendasi-rekomendasinya semata-mata atas landasan sebagai yang dinyatakan dalam Lampiran III dan harus melaporkan selengkapnya mengenai hal itu kepada Dewan; (c) atas permintaan Dewan, mengawasi kegiatan-kegiatan di Kawasan, dimana layak, dengan musyawarah dan bekerja sama dengan setiap satuan yang menjalankan kegiatan kegiatan tersebut atau Negara atau Negara-negara yang bersangkutan dan melaporkan kepada Dewan; (d) mempesiapkan perkiraan implikasi terhadap lingkungan dari kegiatan-kegiatan di Kawasan; (e) mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Dewan mengenai perlindungan lingkungan laut, dengan memperhitungkan pendapat para ahli yang diakui dalam bidang itu; (f) merumuskan dan menyampaikan kepada Dewan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur tersebut dalampasal 162 ayat 2 (0), dengan memperhitungkan segala faktor yang relevan termasuk perkiraan implikasi lingkungan dari kegiatan-kegiatan di Kawasan; (g) senantiasa mengadakan peninjauan atas ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur tersebut dan dimana perlu menyarankan kepada Dewan usul perubahan atas ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur itu yang dianggapnya perlu atau diinginkan; (h) mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Dewan mengenai pembentukan suatu program monitoring yang secara teratur mengamati, mengukur, menilai dan menganalisa menurut metoda ilmiah yang diakui ridiko dan akibat pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kegiatan-kegaitan di Kawasan, menjamin bahwa peraturan yang ada memadai dan ditaati serta emngkoordinasikan pelaksanaan program monitoring yang telah disetujui Dewan; (i) merekomendasikan kepada Dewan untuk mengajukan gugatan atas nama Otorita di hadapan Kamar Sengketa Dasar Laut, sesuai dengan Bab ini dan Lampiran-lampiran yang relevan dengan memperhatikan secara khusus pasal 187; (j) mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Dewan mengenai tindakan yang akan diambil terhadap keputusan Kamar Sengketa Dasar Laut dalam perkara yang diajukan sesuai dengan sub-ayat (i); (k) mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Dewan untuk mengeluarkan perintah-peritnah darurat yang dapat mencakup perintah-perintah untuk penangguhan atau penyesuaian kegaitan guna mencegah kerusakan lingkungan laut yang berat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan di Kawasan Rekomendasi-rekomendasi tersebut harus ditanggapi Dewan; berdasarkan perintah utama. (l) merekomendasikan kepada Dewan untuk tidak menyetujui Kawasan-kawasan untuk dieksploitasi oleh kontraktor atau Perusahaan, dalam hal terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa ada kemungkinan terjadi kerusakan terhadap lingkungan laut yang berat. (m) mengajukan rekomendasi-rekomendasi kepada Dewan mengenai petunjuk dan pengawasan bagi suatu staf inspektur yang harus memeriksa kegiatan-kegiatan di Kawasan untuk menentukan apakah ketentuan-ketentuan Bab ini, ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita, dan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat setiap kontrak dengna Otorita ditaati; (n) menghitung pagu produksi dan mengeluarkan ijin-ijin produksi atas nama Otorita berdasarkan pasal 151 ayat 2 sampai dengan 7 setelah diadakan pemilihan seperlunya di antara para pemohon ijin produksi oleh Dewan sesuai dengan Lampiran III pasal 7. 3. Atas permintaan setiap Negara Peseta atau piha lain yang berkepentingan, dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pemeriksaan, anggota Komisi harus disertai oleh seorang wakil dari Negara Peserta atau pihak lain yang berkepentingan. SUBBAGIAN D. SEKRETARIAT Pasal 166 Sekretariat 1. Sekretariat Otorita terdiri dari seorang Sekretaris Jenderal dan suatu Staf yang diperlukan Otorita. 2. Sekretaris Jenderal dipilih oleh Majelis untuk masa jabatan 4 tahun dari antara calon-calon yang diusulkan oleh Dewan dan dapat dipilih kembali. 3. Sekretaris Jenderal adalah kepala pejabat administrasi Otorita dan bertindak dalam kapasitas itu dalam semua pertemuan Majelis, Dewan dan badan tambahan manapun, dan melaksanakan fungsi-fungsi adinistratif lainnya yang diserahkan kepadanya oleh badan tersebut. 4. Sekretaris Jenderal harus membuat laporan tahunan kepada Majelis mengenai pekerjaan Otorita. Pasal 167 Staf Otorita 1. Staf otorita terdiri dari tenaga ilmiah dan teknis serta tenaga lain yang cakap yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi administratif Otorita. 2. Pertimbangan terpenting dalam penerimaan dan penempatan staf dan dalam menetapkan syarat-syarat kerja, adalah kebutuhan untuk menjamin tingkat efisiensi, kemampuan dan integritas yang setinggi-tingginya. Dengan tunduk pada pertimbngan di atas, haus pula diperhatikan pentingnya peneriaman staf atas dasar pembagian geografis seluas mungkin. 3. Staf ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal. Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat pengangkatan mereka, penggajian dan pemberhentian harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita. Pasal 168 Sifat internasional dari Sekretariat 1. Dalam melakukan kewajiban-kewajibannya, Sekretaris Jenderal dan stafnya tidak akan meminta atau menerima instruksiinstruksi dari pemerintah manapun atau dari pihak lain manapun selain Otorita. Mereka harus menghidarkan diri dari sikap apapun yang dapat mempengaruhi kedudukan mereka sebagai pejabat internasional Otorita yang bertanggung jawab hanya kepada Otorita. Setiap Negara Peserta wajib menghormati sifat internasional yang eksklusif dari kewajiban-kewajiban Sekretaris Jenderal dan Staf serta tidak akan berusaha untuk mempengaruhi mereka dalam pelaksanaan kewajiban mereka. Setiap pelanggaran tanggung jawab yang dilakukan oleh seorang anggota staf akan diserahkan kepada mahkamah administratif yang tepat sesuai dengan yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita. 2. Sekretaris Jenderal dan stafnya tidak boleh mempunyai kepentingan keuangan dalam kegiatan-kegiatan apapun yang bertalian dengan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan. Sesuai dengan tanggung jawabnya terhadap Otorita, mereka tidak boleh membuka rahasia industri atau data pemilikan Perusahaan yang sudah dialihkan pada Otorita menurut Lampiran III pasal 14 atau informasi lainnya yang bersifat rahasia yang dapat mereka ketahui karena jabatannya pada Otorita, sekalipun jabatan mereka telah berakhir. 3. Pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban seorang anggota staf Otorita sebagaimana tercantum dalam ayat 2, atas permintaan Negara Peserta yang dirugikan oleh pelanggaran demikian atau perorangan atau badan hukum yang disponsori oleh Negara Peserta sebagaimana ditentukan dalampasal 153 ayat 2 b dan, yang dirugikan oleh pelanggaran tersebut, harus diajukan oleh Otorita kepada suatu mahkamah sebagaimana ditentukan dalam ketentuan-ketentuan, peraturan dan prosedur-prosedur Otorita. Negara Peserta yang dirugikan berhak turut serta dalam penyelesaian perkara. Sekretaris Jenderal harus memberhentikan anggota staf yang bersangkutan, apabila direkomendasikan demikian oleh mahkamah. 4. Ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita harus memuat ketentuan yang perlu guna pelaksanaan pasal ini. Pasal 169 Konsultasi dan kerjasama dengan organisasi-organisasi internasional dan organisasi-organisasi non-pemerintah 1. Sekretaris Jenderal dengan persetujuan Dewan akan membuat pengaturan yang diperlukan mengenai hal-hal yang termasuk kewenangan Otorita, untuk mengadakan konsultasi dan kerjasama dengan organisasi-organisasi internasional dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang diakui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Setiap organisasi dengan mana Sekretariat Jenderal telah mengadakan suatu pengaturan berdasarkan ayat 1, dapat menunjuk wakil-wakil sebagai peninjau untuk menghadiri pertemuan badan-badan Otorita sesuai dengan ketentuan-ketentuan proseduril badan-badan tersebut. Prosedur-prosedur harus ditetapkan untuk memperoleh pandangan-pandangan organisasi-organisasi demikian dalam kasus-kasus yang bersangkutan. 3. Sekretaris Jenderal dapat membagikan kepada Negara-negara Peserta laporan-laporan tertulis yang diserahkan kepadanya oleh organisasi-organisasi non-pemerintah seperti tersebut dalam ayat 1 mengenai masalah-masalah yang menjadi wewenang khusus mereka dan yang berkaitan dengan pekerjaan Otorita. SUBBAGIAN E. PERUSAHAAN Pasal 170 Perusahaan 1. Perusahaan adalah badan Otorita yang harus melaksanakan kegiatan-kegiatan di Kawasan secara langsung, sesuai dengan pasal 153 ayat 2 (a), maupun pengangkutan, pengolahan dan pemasaran mineral-mineral yang dihasilkan dari Kawasan. 2. Perusahaan dalam rangka bertindak sebagai badan hukum internasional Otorita, mempunyai kewenangan hukum sebagaimana ditetapkan dalam Statuta seperti diatur dalam Lampiran IV. Perusahaan bertindak sesuai dengan Konvensi ini dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita maupun kebijakan-kebijakan umum yang ditetapkan oleh Majelis dan tunduk pada pengarahan dan pengawasan Dewan. 3. Kantor Pusat Perusahaan harus berada di tempat kedudukan Otorita. 4. Perusahaan, sesuai dengan pasal 173 ayat 2 dan Lampiran IV pasal 11, harus dilengkapi dengan dana seperlunya yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya dan harus menerima teknologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 144 dan ketentuan-ketentuan yang relevan lainnya dari Konvensi ini. SUBAGIAN F. PENGATURAN KEUANGAN OTORITA Pasal 171 Dana-dana Otorita Dana-dana Otorita meliputi : (a) iuran anggota Otorita yang ditaksir sesuai dengan pasal 160 ayat 2 (e); (b) dana-dana yang diterima Otorita sesuai dengan Lampiran III pasal 13yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan; (c) dana-dana yang dipindahkan dari Perusahaan sesuai denganLampiran IV pasal 10; (d) dana-dana yang berasal dari pinjaman sesuai desal dengan pasal 174; (e) sumbangan-sumbangan sukarela dari anggota dan satuan-satuan lainnya; dan (f) pembayaran-pembayaran keapda suatu dana ganti rugi sesuai denganpasal 151 ayat 10, yang sumber-sumbernya akan disarankan oleh Komisi Perencanaan Ekonomi. Pasal 172 Anggaran tahunan Otorita Sekretaris Jenderal menyusun rancangan anggaran tahunan Otorita yang diusulkan dan mengajukannya kepada Dewan. Dewan akan mempertimbangkan rancangan anggaran tahunan yang diusulkan tersebut dan mengajukannya kepada Majelis beserta rekomendasi-rekomendasinya. Majelis akan mempertimbangkan dan menyetujui rancangan anggaran tahunan ini sesuai dengan pasal 160, ayat 2 (h). Pasal 173 Pengeluaran Otorita 1. Iuran seperti dimaksud dalam pasal 171 sub-ayat (a), harus dibayarkan ke dalam suatu rekening khusus untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran administratif Otorita hingga Otorita memiliki dana yang cukup dari sumber-sumber lain untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran tersebut. 2. Dana Otorita merupakan andalan pertama bagi pengeluaran-pengeluaran administratif Otorita. Selain iuran yang ditaksir seperti tersebut dalam pasal 171 sub-ayat (a), dana yang tersisa setelah pembayaran pengeluaran-pengeluaran administratif boleh, inter alia : (a) dibagi sesuai dengan pasal 140 dan pasal 160 ayat 2 (g); (b) dipergunakan untuk menyediakan dana bagi Perusahaan sesuai dengan pasal 170 ayat 4; (c) digunakan untuk membayar ganti rugi kepada Negara-negara berkembang, sesuai dengan pasal 151 ayat 10, dan pasal 160 ayat 2 (1). Pasal 174 Wewenang Otorita untuk meminjam 1. Otorita mempunyai wewenang untuk meminjam dana. 2. Majelis menentukan batas-batas wewenang Otorita untuk meminjam dalam peraturan-peraturan keuangan yang ditetapkan sesuai dengan pasal 160 ayat 2 (f) 3. Dewan melaksanakan wewenang Otorita untuk meminjam. 4. Negara-negara Peserta tidak bertanggung jawab atas hutang-hutang Otorita. Pasal 175 Pemeriksaan keuangan tahunan Catatan, pembukuan dan rekening keuangan Otorita, termasuk laporan tahunan keuangan, diperiksa setiap tahun oleh suatu pemeriksa keuangan yang independen yang ditunjuk oleh Dewan. SUBBAGIAN G. STATUS HUKUM, HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN Pasal 176 Status hukum Otorita memiliki status badan hukum internasional dan kewenangan hukum yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya dan mencapai tujuannya. Pasal 177 Hak-hak istimewa dan kekebalan Untuk memungkinkan Otorita melaksanakan fungsi-fungsinya Otorita menikmati dalam wilayah tiap Negara Peserta, hak-hak istimewa dan kekebalan sebagaimana ditentukan dalam sub bagian ini. Hak-hak istimewa dan kekebalan berkenaan dengan Perusahaan adalah sebagaimana ditentukan dalam Lampiran VI pasal 13. Pasal 178 Kekebalan dan tuntutan hukum Otorita, milik dan kekayaannya, memiliki kekebalan dan tuntutan hukum kecuali dalam hal Otorita secara tegas melepaskan kekebalannya dalam suatu perkara tertentu. Pasal 179 Kekebalan dari penggeledahan dan setiap bentuk penyitaan Milik dan kekayaan Otorita, di manapun letaknya dan siapapun yang menguasainya, kebal terhadap penggeledahan, pengambilan, perampasan, pencabutan hak milik atau bentuk penyitaan lain apapun yang dilakukan berdasarkan tindakan eksekutif atau legislatif. Pasal 180 Pembebasan dari pembatasan-pembatasan, pengaturan-pengaturan, pengawasan-pengawasan dan moratoria Milik dan kekayaan Otorita harus bebas dari pembatasan-pembatasan pengaturan-pengaturan, pengawasan-pengawasan dan moratoria dalam bentuk apapun juga. Pasal 181 Arsip dan komunikasi resmi Otorita 1. Arsip Otorita dan di manapun berada tidak boleh diganggu gugat. 2. Data pemilikan, rahasia-rahasia industri atau informasi serupa dan catatan personalia tidak boleh ditempatkan dalam arsip yang terbuka bagi umum. 3. Bertalian dengan komunikasi resminya, setiap Negara Peserta harus memberikan perlakuan yang sama baiknya pada Otorita seperti yang diberikannya kepada organisasi internasional lainnya. Pasal 182 Hak-hak istimewa dan kekebalan orang-orang tertentu yang ada hubungannya dengan Otorita Wakil-wakil Negara-negara Peserta yang menghadiri sidang-sidang Majelis, Dewan, atau badan-badan kelengkapan dari Majelis atau Dewan dan Sekretaris Jenderal dan staf Otorita, dalam setiap wilayah Negara anggota menikmati : (a) kekebalan dari proses hukum berkenaan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan mereka dalam menjalankan fungsinya, kecuali dalam hal Negara yang mereka wakili atau Otorita, dimana perlu dengan tegas melepaskan kekebalan ini dalam perkara tertentu; (b) apabila mereka bukan warganegara Negara tersebut, kebebasan yang sama dari pembatasan-pembatasan imigrasi, syarat-syarat pendaftaran orang asing dan kewajiban-kewajiban dinas Negara, kemudahan yang sama berkenaan dengan pembatasan valuta asing dan perlakuan yang sama bertalian dengan kemudahan-kemudahan bepergian yang diberikan oleh negara tersebut kepada para wakil, pejabat dan pegawai-pegawai dengan pangkat yang sama dari Negara-negara Peserta lainnya. Pasal 183 Pembebasan dari pajak dan bea cukai 1. Dalam ruang lingkup kegiatan-kegiatannya yang resmi, Otorita, kekayaan milik penghasilan dan operasi serta transaksinya yang diijinkan oleh Konvensi ini, dibebaskan dari semua pajak langsung dan atas barang-barang yang impor atau diekspor untuk penggunaan yang resmi dibebaskan dari semua bea cukai Otorita tidak boleh menuntut pembebasan pajak yang hanya merupakan pungutan untuk jasa yang diberikan. 2. Apabila pembelian barang-barang atau jasa-jasa yang mempunyai nilai yang sangat penting untuk kegiatan-kegiatan resmi Otorita dilakukan oleh dan atas nama Otorita, dan apabila harga pembelian barang-barang atau jasa-jasa tersebut mencakup pajak atau cukainya, maka Negara-negara Peserta akan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan dalam batas-batas yang dimungkinkan guna memberikan pembebasan pajak atau cukai tersebut atau akan memberikan pengembaliannya. Barang-barang yang diimpor atau dibeli dengan suatu pembebasan pajak dan cukai sebagaimana ditetapkan dalam pasal ini tidak boleh dijual atau dipindah tangankan dalam wilayah Negara Peserta yang telah memberikan pembebasan itu kecuali dengan syarat yang telah disepakati bersama dengan Negara Peserta yang bersangkutan. 3. Tiada pajak akan dipungut oleh Negara-negara Peserta atas atau berkenaan dengan gaji dan pendapatan yang dibayarkan atau setiap bentuk pembayaran lainnya yang dilakukan oleh Otorita kepada Sekretaris Jenderal dan staf Otorita, maupun yang dibayarkan kepada para ahli yang melakukan tugas bagi Otorita, yang bukan warganegara mereka. SUBBAGIAN H. PEMBEKUAN PELAKSANAAN HAK-HAK DAN HAK-HAK ISTIMEWA ANGGOTA Pasal 184 Pembekuan pelaksanaan hak-hak suara Satu Negara Peserta yang menunggak pembayaran iuran keuangan kepada Otorita tidak mempunyai hak suara, apabila jumlah pembayaran yang tertunggak itu sama atau melebihi jumlah iuran yang harus dibayarkannya untuk dua tahun sebelumnya, namun demikian Majelis dapat mengijinkan anggota tersebut untuk turut serta dalam pemungutan suara apabila dapat diyakini bahwa tidak dilakukannya pembayaran itu disebabkan oleh keadaan yang berada di luar kekuasaan Negara anggota. Pasal 185 Pembekuan pelaksanaan hak-hak dan hak-hak istimewa keanggotaan 1. Suatu Negara Peserta yang telah secara terang-terangan dan terus menerus melanggar ketentuan-ketentuan Bab ini dapat dibekukan haknya untuk melaksanakan hak-hak dan hak-hak istimewa keanggotaannya oleh Majelis atas rekomendasi Dewan. 2. Tiada satu tindakanpun dapat diambil berdasarkan ayat 1 sebelum sengketa Dasar Laut menetapkan bahwa suatu Negara Peserta secara terang-terangan dan terus menerus telah melanggar ketentuan-ketentuan Bab ini. BAGIAN 5. PENYELESAIAN SENGKETA DAN PENDAPAT BERUPA NASEHAT Pasal 186 Kamar Sengketa Dasar Laut Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut Pembentukan Kamar Sengketa Dasar Laut dan cara bagaimana Kamar tersebut melaksanakan yurisdiksinya di atur oleh ketentuan-ketentuan bagian ini, Bab XV dan Lampiran IV. Pasal 187 Yurisdiksi Kamar Sengketa Dasar Laut Kamar Sengketa Dasar Laut mempunyai yurisdiksi berdasarkan Bab ini dan Lampiran-lampiran yang bertalian dengannya dalam sengketa yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan yang termasuk dalam kategori berikut : (a) sengketa-sengketa antara Negara-negara Peserta perihal interpretasi atau penerapan Bab ini dan Lampiran-lampiran yang bertalian dengannya; (b) sengketa-sengketa Negara Peserta dan Otorita perihal : (i) tindakan atau kelalaian Otorita atau suatu Negara Peserta yang dituduhkan merupakan pelanggaran terhadap Bab ini atau lampiran-lampiran yang bertalian dengannya atau ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita yang ditetapkan sesuai dengan Bab atau Lampiran-lampiran tersebut; (ii) tindakan Otorita yang dituduhkan merupakan hal yang melampaui yurisdiksi atau suatu penyalahgunaan kekuasaan; (c) sengketa antara para pihak dalam kontrak, yang merupakan Negara Peserta, Otorita atau Perusahaan-perusahaan, perusahaan negara dan badan hukum atau perorangan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 153 ayat 2 (b), perihal : (i) interpretasi atau penerapan suatu kontrak atau suatu rencana kerja yang relevan; atau (ii) tindakan atau kelalaian suatu pihak dalam kontrak bertalian dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan dan yang ditujukan kepada pihak lain atau yang secara langsung merugikan kepentingan yang sah; (d) sengketa antara Otorita dan seorang calon kontraktor yang disponsori oleh suatu Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 153, ayat 2 (b) dan telah memenuhi sebagaimana mestinya persyaratan yang dimaksudkan dalam Lampiran III pasal 4 ayat 6, dan pasal 13, ayat 2, perihal suatu kontrak atau suatu permasalahan hukum yang timbul dalam perundingan mengenai kontrak itu; (e) sengketa antara Otorita dan suatu Negara Peserta suatu perusahaan negara atau perorangan atau suatu badan hukum yang disponsori oleh suatu Negara Peserta sebagaimana ditentukan dalam pasal 153, ayat 2 (b), dalam hal dituduhkan bahwa Otorita berkewajiban memikul tanggung jawab sebagaimana ditentukan dalam Lampiran III pasal 22; (f) setiap sengketa lainnya yang dalam Konvensi ini secara khusus ditentukan termasuk yurisdiksi kamar. Pasal 188 Penyerahan sengketa kepada suatu kamar khusus Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut atau suatu kamar ad hoc Kamar Sengketa Dasar Laut atau pada arbitrasi komersial yang mengikat 1. Sengketa antara Negara-negara Peserta yang dimaksudkan dalam pasal 187, sub-ayat (a), dapat diserahkan : (a) atas permintaan para pihak dalam sengketa, kepada suatu kamar khusus Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut yang akan dibentuk sesuai dengan Lampiran VI pasal 15 dan 17; atau (b) atas permintaan salah satu pihak dalam sengketa, kepada suatu kamar ad hoc kamar Sengketa Dasar Laut yang akan dibentuk sesuai dengan Lampiran VI pasal 36; 2.-- (a) Sengketa perihal interpretasi atau penerapan suatu kontrak yang dimaksudkan dalam pasal 187, sub-ayat (c) (i) harus diserahkan, atas permintaan salah satu pihak dalam sengketa, pada arbitrasi komersial yang mengikat, kecuali jika para pihak bersepakat lain. Suatu mahkamah arbitrasi komersial yang kepadanya sengketa itu diserahkan tidak mempunyai yurisdiksi untuk mengambil keputusan atas setiap persoalan interpretasi Konvensi ini. Apabila sengketa itu juga menyangkut suatu persoalan interpretasi Bab XI, dan lampiran-lampiran yang bertalian dengannya, berkenaan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan, maka persoalan itu harus diteruskan kepada Kamar Sengketa Dasar Laut untuk mendapatkan keputusan. (b) Apabila, pada permulaan atau sewaktu arbitrasi demikian sedang berjalan, mahkamah arbitrasi menetapkan, baik atas permintaan salah satu pihak dalam sengketa maupun proprio motu, bahwa keputusannya tergantung pada suatu ketetapan Kamar Sengketa Dasar Laut, maka mahkamah arbitrasi itu harus meneruskan persoalan demikian kepada Kamar Sengketa Dasar Laut untuk diputuskan Mahkamah arbitrasi kemudian melanjutkan memberikan keputusannya sesuai dengan ketetapan Kamar Sengketa Dasar Laut. (c) Dalam hal tidak ada suatu ketentuan dalam kotak mengenai prosedur arbitrasi yang akan ditetapkan dalam sengketa tersebut, maka arbitrasi itu akan dilakukan sesuai dengan Peraturan Arbitrasi UNCITRAL atau peraturan arbitrasi lain yang serupa sebagai yang dapat ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita, kecuali para pihak dalam sengketa bersepakat lain. Pasal 189 Pembatasan terhadap yurisdiksi berkenaan dengan keputusan Otorita Kamar Sengketa Dasar Laut tidak mempunyai yurisdiksi berkenaan dengan pelaksanaan kekuasaan diskresi oleh Otorita sesuai dengan ketentuan Bab ini; bagaimanapun juga Kamar tidak boleh menempatkan diskresinya sebagai pengganti bagi diskresi Otorita. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 191, dalam melaksanakan yurisdiksinya menurut pasal 187, Kamar Sengketa Dasar Laut tidak boleh mengambil keputusan mengenai persoalan apakah sesuatu ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita sesuai dengan Konvensi ini, juga tidak boleh menyatakan sesuatu ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur demikian tidak sah. Yurisdiksi Kamar dalam hal ini terbatas pada pengambilan keputusan terhadap tuntutan bahwa penerapan sesuatu ketentuan-ketentuan, peraturanperaturan dan prosedur-prosedur Otorita terhadap perkara individual dapat bertentangan dengan kewajiban-kewajiban kontraktual para pihak dalam sengketa atau kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan Konvensi ini, tuntutan perihal ekses yurisdiksi atau penyalahguanaan kekuasaan, dan terhadap tuntutan untuk kerugian yang harus dibayarkan atau pengganti lain yang harus diberikan keapda pihak yang bersangkutan karena kegagalan pihak lain untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kontraktualnya atau kewajiban-kewajibannya berdasarkan Konvensi ini. Pasal 190 Peran serta dan kehadiran Negara-negara Peserta sponsor dalam sidang perkara 1. Apabila perorangan atau suatu badan hukum merupakan suatu pihak dalam sengketa yang dimaksudkan dalam pasal 187, maka Negara yang mensponsorinya harus diberitahu mengenai hal itu dan mempunyai hak untuk berperan serta dalam sidang perkara dengan menyerahkan pernyataan tertulis atau lisan. 2. Apabila diajukan suatu gugatan terhadap suatu Negara Peserta oleh perorangan atau suatu badan hukum, yang disponsori oleh Negara Peserta lain, dalam suatu sengketa yang dimaksudkan dalam pasal 187, sub-ayat (c), maka Negara tergugat dapat meminta kepada Negara yang mensponsori perorangan atau badan hukum itu untuk hadir dalam sidang perkara itu atas nama perorangan atau badan hukum tersebut. Dalam hal kehadiran Negara sponsor tidak dapat dilakukan Negara tergugat dapat mengatur untuk diwakili oleh suatu badan hukum yang memiliki kebangsaan Negara itu. Pasal 191 Pendapat berupa nasihat Kamar Sengketa Dasar Laut harus memberikan pendapat berupa nasehat atas permintaan Majelis atau Dewan mengenai persoalan hukum yang timbul dalam ruang lingkup kegiatan mereka. Pendapat demikian harus diberikan sebagai suatu hal yang mendesak. BAB XII PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM Pasal 192 Kewajiban-kewajiban umum Negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 Hak kedaulatan Negara untuk mengeksploitasikan kekayaan alamnya Negara-negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasikan kekayaan alam mereka serasi dengan kebijaksanaan lingkungan mereka serta sesuai pula dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 194 Tindakan-tindakan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut 1. Negara-negara harus mengambil segala tindakan yang perlu sesuai dengan Konvensi, baik secara individual maupun secara bersama-sama menurut keperluan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh setiap sumber dengan menggunakan untuk keperluan ini cara-cara yang paling praktis yang ada pada mereka dan sesuai dengan kemampuan mereka, selagi Negara-negara ini harus berusaha sungguhsungguh untuk menyerasikan kebijaksanaan mereka dalam hal ini. 2. Negara-negara harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada dibawah yurisdiksi atau pengawasan mereka dilakukan dengan cara sedemikian rupa supaya tindakan-tindakan tersebut tidak mengakibatkan kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran kepada Negara-negara lain dan lingkungannya, dan agar pencemaran yang timbul dari tindakan-tindakan dan kegiatan dibawah yurisdiksi atau pengawasan mereka tidak menyebar melampaui daerah-daerah yang ada di bawah pelaksanaan hak-hak kedaulatan mereka sesuai dengan Konvensi ini. 3. Tindakan-tindakan yang diambil berdasarkan Bab ini harus meliputi segala sumber pencemaran lingkungan laut. Tindakan-tindakan ini harus mencakup, inter alia, tindakan-tindakan yang direncanakan untuk mengurangi sejauh mungkin : (a) dilepaskannya bahan-bahan yang beracun, berbahaya atau mengganggu, khususnya bahan-bahan yang persisten, yang berasal dari sumber daratan, dari atau melalui udara, atau karena dumping; (b) pencemaran dari kendaraan air, terutama tindakan-tindakan untuk mencegah kecelakaan dan yang berkenaan dengan keadaan darurat, untuk menjamin keselamatan operasi di laut, untuk mencegah terjadinya pembuangan yang sengaja atau tidak serta mengatur disain, konstruksi, peralatan, operasi dan tata awak kendaraan air; (c) pencemaran dari instalasi-instalasi dan alat peralatan yang digunakan dalam eksplorasi atau eksploitasi kekayaan alam dasar laut dan tanah dibawahnya, khsususnya tindakan-tindakan untuk mencegah kecelakaan dan yang bertalian dengan keadaan darurat, untuk menjamin keselamatan operasi laut, serta yang mengatur disain, konstruksi, peralatan, operasi dan tata awak instalasi-instalasi atau peralatan termaksud; (d) pencemaran dari lain-lain instalasi dan peralatan yang dioperasikan dalam lingkungan laut, terutama tindakan-tindakan untuk mencegah kecelakaan dan yang berkenaan dengan keadaan darurat, untuk menjamin keselamatan opeasi di laut, serta mengatur disain, konstruksi, peralatan, operasi dan tata awak instalasiinstalasi atau peralatan termaksud. 4. Dalam mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah, mengurangi atau mengendalikan pencemaran lingkungan laut, Negara-negara harus menjauhkan diri dari campuran tangan yang tidak beralasan ke dalam kegiatan Negara lain dalam mereka melaksanakan hak-hak mereka dan melakukan kewajiban-kewajiban mereka sesuai dengan Konvensi ini. 5. Tindakan-tindakan yang diambil sesuai dengan Bab ini harus mencakup di dalamnya tindakan-tindakan yang perlu untuk melindungi dan melestarikan ekosistem yang langka atau yang rapuh maupun habitat bagi jenis-jenis yang telah langka, yang terancam oleh kelangkaan atau yang dalam proses menjadi langka serta lain-lain bentuk kehidupan laut. Pasal 195 Kewajiban untuk tidak memindahkan kerusakan atau bahaya atau untuk mengubah suatu jenis pencemaran ke dalam jenis pencemaran lain Dalam mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah, mengurangi atau mengendalikan pencemaran lingkungan laut, Negara-negara harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu daerah ke daerah lain, atau merobah suatu bentuk pencemaran ke dalam bentuk pencemaran lain. Pasal 196 Penggunaan teknologi-teknologi atau memasukkan jenis-jenis asing atau jenis baru 1. Negara-negara harus mengambil segala tindakan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut sebagai akbiat penggunaan teknologi-teknologi yang ada di bawah yurisdiksi atau pengawasan mereka, atau memasukkan dengan sengaja atau tidak, jenis-jenis asing atau jenis baru, kedalam bagian tertentu lingkungan laut, hingga dapat mengakibatkan perubahan-perubahan penting dan merugiakn kepada lingkungan laut. 2. Pasal ini tidak mempengaruhi pelaksanaan Konvensi ini berkenaan dengan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut. BAGIAN 2. KERJASAMA GLOBAL DAN REGIONAL Pasal 197 Kerjasama atas dasar global atau regional Negara-negara harus bekerjasama atas dasar global dan dimana perlu, atas dasar regional, secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan-ketentuan, standarstandar dan praktek-praktek yang disarankan secara internasional serta prosedur-prosedur yang konsisten dengan Konvensi ini untuk tujuan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dengan memperhatikan ciri-ciri regional yang khas. Pasal 198 Pemberitahuan tentang kerusakn yang nyata atau yang bakal terjadi Apabila suatu Negara menyadari adanya keadaan dimana lingkungan laut berada dalam ancaman bahaya mendesak akan kerusakan atau telah rusak akibat pencemaran, Negara termaksud harus segera memberitahu Negara-negara lain yang menurut perkiraannya sangat mungkin akan terancam oleh kerusakan tersebut, demikian pula kepada organisasi-organisasi internasional yang kompeten. Pasal 199 Pola Penanggulangan daurat terhadap pencemaran Dalam hal-hal yang disebut dalam pasal 198, Negara-negara dalam daerah yang terkena, sesuai dengan kemampuan mereka, beserta organisasi-organisasi internasional yang kompeten, harus bekerjasama semampu mungkin dalam menghilangkan akibat pencemaran dan mencegah atau mengurangi kerusakan yang timbul. Untuk tujuan itu Negara-negara harus bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan pola penanggulangan darurat untuk menjawab tantangan pencemaran dalam lingkungan laut. Pasal 200 Pengkajian, program-proram riset dan pertukaran informasi serta data Negara-negara harus bekerjasama, secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, dengan tujuan untuk menggalakan pengkajian-pengkajian, menyelenggarakan program-program riset ilmiah dan mendorong dilakukannya pertukaran informasi dan data yang diperoleh tentang pencemaran lingkungan laut. Mereka harus berusaha sungguh-sungguh turut serta aktif dalam program-program regional dan global untuk memperoleh pengetahuan guna memperkirakan sifat dan besarnya pencemaran, bahaya pencemaran tersebut, jejak, risiko dan cara mengatasinya. Pasal 201 Kriteria ilmiah bagi peraturan-peraturan Berdasarkan informasi dan data yang diperoleh sesuai dengan pasal 200, Negara-negara harus bekerjasama, secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, untuk menetapkan kriteria ilmiah yang sesuai guna merumuskan dan menjabarkan ketentuan-ketentuan, standar-standar, praktek-praktek yang disarankan dan prosedurprosedur guna pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut. BAGIAN 3. BANTUAN TEKNIK Pasal 202 Bantuan teknik dan ilmiah kepada Negara-negara berkembang Negara-negara harus secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten : (a) menggalakkan program-program ilmiah, pendidikan, teknik dan lain-lain bantuan kepada Negara-negara berkembang untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta guna mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran laut Bantuan termaksud harus mencakup, inter alia : (i) latihan tenaga tehnis dan ilmiah mereka; (ii) memudahkan keikut sertaan mereka dalam program-program internasional yang relevan; (iii) melengkapi mereka dengan peralatan dan kemudahan yang diperlukan; (iv) meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat peralatan termaksud; (v) memberikan saran dan mengembangkan kemudahan untuk riset, monitoring, pendidikan dan program-program lainnya; (b) memberikan bantuan yang serasi, terutama kepada Negara berkembang untuk mengurangi akibat kecelakaan-kecelakaan berat yang mungkin menyebabkan pencemaran gawat terhadap lingkungan laut; (c) memberikan bantuan yang sesuai, terutama kepada Negara berkembang, mengenai penilaian tentang penilaian lingkungan. Pasal 203 Perlakuan khusus bagi Negara-negara berkembang Negara-negara berkembang untuk keperluan pencegahan, pengurangan dana pengendalian pencemaran lingkungan atau untuk mengurangi akibat-akibatnya, harus diberikan perlakuan khusus oleh organisasi-organisasi internasional dalam hal : (a) alokasi dana yang sesuai dan bantuan teknik; serta (b) pemanfaatan jasa-jasa khusus organisasi tersebut. BAGIAN 4. MONITORING DAN ANALISA TENTANG PENILAIAN LINGKUNGAN Pasal 204 Monitoring risiko atau akibat pencemaran 1. Negara-negara harus berusaha sedapat mungkin konsisten dengan hak-hak Negara-negara lain, secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, untuk mengamati, mengatur, menilai dan menganalisa berdasarkan metoda ilmiah yang dibakukan mengenai risiko atau akibat pencemaran lingkungan laut. 2. Khususnya, Negara-negara harus tetap mengawasi pengaruh dari setiap kegiatan yang mereka ijinkan atau di dalam kegiatan termaksud mengandung kemungkinan mencemarkan lingkungan laut. Pasal 205 Publikasi laporan-laporan Negara-negara harus mengumumkan laporan-laporan tentang hasil yang diperoleh sesuai dengan pasal 204 atau menyampaikan laporan yang demikian itu pada waktu-waktu tertentu secara tepat kepada organisasi-organisasi internasional yang kompeten, yang harus menyediakannya bagi semua Negara. Pasal 206 Penilaian efek potensial dari kegiatan-kegiatan Manakala Negara-negara mempunyai dasar yang cukup kuat untuk menduga bahwa kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam yurisdiksi atau dibawah pengawasannya dapat menimbulkan pencemaran yang berarti atau perubahan yang menonjol dan merugikan terahdap lingkungan laut, mereka harus, sedapat mungkin menilai efek potensial dari kegiatan tersebut terhadap lingkungan laut, dan harus menyampaikan laporan tentang hasil penilaian termaksud menurut cara yang diatur dalam pasal 205. BAGIAN 5. PERATURAN-PERATURAN INTERNASIONAL DAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL UNTUK MENCEGAH, MENGURANGI DAN MENGENDALIKAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT Pasal 207 Pencemaran berasal dari sumber daratan 1. Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari sumber daratan termasuk di dalamnya sungai-sungai, kuala-kuala, pipa-pipa dan bangunan pembuangan, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang telah disetujui serta praktekpraktek dan prosedur-prosedur yang dianjurkan. 2. Negara-negara harus mengambil tindakan-tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan Pencemaran termaksud. 3. Negara-negara harus berusaha sungguh-sungguh untuk menyerasikan kebijaksanaan-kebijaksanaannya dalam hubungan ini pada tingkat regional yang memadai. 4. Negara-negara, dalam bertindak khususnya melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau melalui konperensi diplomatik, harus berusaha sungguh-sungguh untuk menetapkan peraturan-peraturan dan standar-standar global dan regional, dan praktek-praktek serta prosedur-prosedur yang dianjurkan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari sumber daratan dengan memperhatikan ciri-ciri regional yang khas, kemampuan ekonomi Negara-negara berkembang serta memperhatikan kebutuhannya akan perkembangan ekonomi. Ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek serta prosedur-prosedur yang dianjurkan tersebut harus ditinjau kembali dari waktu ke waktu sesuai dengan keperluan. 5. Undang-undang, peraturan-peraturan, tindakan-tindakan, ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek serta prosedur-prosedur yang dianjurkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 2 dan 4 harus mencakup hal-hal yang serupa yang diperuntukkan bagi pengurangan sejauh mungkin pelepasan bahan-bahan beracun yang merugikan dan membahayakan, terutama bahan-bahan persisten ke dalam lingkungan laut. Pasal 208 Pencemaran yang berasal dari kegiatan-kegiatan dan laut yang tunduk pada yurisdiksi nasional 1. Negara-negara pantai harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang timbul dari atau berkaitan dengan kegiatan-kegiatan dasar laut dibawah yurisdiksinya atau dari pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan dibawah yurisdiksinya sesuai dengan pasal 60 dan 80. 2. Negara-negara harus mengambil tindakan-tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran termaksud. 3 Undang-undang, peraturan-peraturan, dan tindakan-tindakan tersebut harus tidak kurang efektif dari ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional serta praktek-praktek dan prosedur-prosedur yang dianjurkan. 4 Negara-negara harus berusaha sungguh-sungguh untuk menyerasikan kebijaksanaan-kebijaksanaannya dalam hal ini pada tingkat regional yang memadai. 5. Negara-negara yang khususnya bertindak melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik harusmenetapkan ketentuan-ketentuan dan standar-standar global dan regional serta praktek-praktek dan prosedur-prosedur yang dianjurkan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Ketentuan-ketentuan, standar-standar serta praktek-praktek dan prosedur-prosedur yang dianjurkan itu harus ditinjau kembali dari waktu ke waktu sesuai keperluan. 2. Dengan tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang sesuai pada bagian ini, Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari kegiatan-kegiatan di Kawasan yang disebabkan oleh kendaraan air, instalasiinstalasi, bangunan-bangunan dan alat peralatan di bawah benderanya atau yang terdaftar padanya atau yang bergerak di bawah kekuasaannya, sebagaimana halnya menunjukkan ketentuan-ketentuan dari peraturan perundang-undangan termaksud harus tidak kurang effektif dari ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur internasional yang dianjurkan sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Article 209 Pollution from activities in the Area 1. International rules, regulations and procedures shall be established in accordance with Part XI to prevent, reduce and control pollution of the marine environment from activities in the Area. Such rules, regulations and procedures shall be re-examined from time to time as necessary. 2. Subject to the relevant provisions of this section, States shall adopt laws and regulations to prevent, reduce and control pollution of the marine environment from activities in the Area undertaken by vessels, installations, structures and other devices flying their flag or of their registry or operating under their authority, as the case may be. The requirements of such laws and regulations shall be no less effective than the international rules, regula ( Pasal ini belum diterjemahkan) Pasal 210 Pencemaran karena dumping 1. Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut karena dumping. 2. Negara-negara harus mengambil tindakan-tindakan lain sesuai dengan keperluan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan Pencemaran termaksud. 3. Undang-undang, peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan termaksud harus menjamin bahwa dumping tidak akan dilakukan tanpa ijin dari pejabat-pejabat Negara yang kompeten. 4. Negara-negara, yang khususnya bertindak melalui organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik, harus menetapkan ketentuan-ketentuan dan standar-standar global dan regional serta praktek-praktek dan prosedur-prosedur yang dianjurkan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran termaksud. Ketentuan-ketentuan, standarstandar serta praktek-praktek dan prosedur-prosedur yang dianjurkan itu harus ditinjau kembali dari waktu kewaktu sesuai keperluan. 5. Dumping dalam laut wilayah dan zona ekonomi eksklusif atau di atas landas kontinen tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan secara pasti terlebih dahulu dari Negara pantai, yang memiliki hak untuk mengijinkan, mengatur dan mengendalikan dumping termaksud setelah memberikan pertimbangan sepenuhnya tentang masalah itu dengan Negara-negara lain yang karena alasan kondisi geografisnya dapat memperoleh dampaknya yang sangat merugikan. 6. Undang-undang, peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan nasional, dalam mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran termaksud harus tidak kurang effektif dari ketentuan-ketentuan dan standar-standar global. Pasal 211 Pencemaran yang berasal dari kendaraan air 1. Negara-negara, yang bertindak melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik yang umum, harus menetapkan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut berasal dari kendaraan air dan menggalakkan route diterimanya dengan cara yang sama dimana perlu, dari pada pengaturan-pengaturan pelayanan yang dimaksudkan untuk memperkecil ancaman kecelakaan yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut, termasuk garis pantai dan kerusakan pencemaran terhadap kepentingan-kepentingan yang berkaitan dari Negara pantai. Ketentuan-ketentuan dan standar-standar termaksud harus ditinjau kembali dengan cara yang sama dari waktu ke waktu sesuai keperluan. 2. Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut oleh kendaraan air yang mengibarkan bendera atau terdaftar di negaranya. Peraturan perundang-undangan dimaksud harus sekurang-kurangnya mempunyai kekuatan yang sama dengan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang diterima secara umum dan yang dibentuk melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau melalui konperensi diplomatik yang umum. 3. Negara-negara yang membentuk persyaratan-persyaratan khusus untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagai satu syarat bagi kendaraan air asing untuk masuk ke dalam pelabuhan atau perairanperairan pedalaman mereka atau untuk singgah di terminal-terminal lepas pantai mereka harus mengumumkan persyaratan-persyaratan dimaksud dan harus menyampaikannya kepada organisasi internasional yang kompeten. Manakala persyaratan-persyaratan tersebut dibentuk oleh dua atau lebih negara pantai dengan bentuk yang identik dalam usahanya yang sungguh-sungguh untuk menyerasikan kebijaksanaan mereka, pemberitahuan tersebut harus menunjukkan Negaranegara mana yang ikut serta dalam pengaturan-pengaturan kerjasama dimaksud. Setiap Negara harus mensyaratkan kepada Nakhoda kendaraan air di bawah bendera atau yang terdaftar di negaranya, bilamana berlayar di laut teritorial suatu Negara yang turut serta dalam pengaturan bersama agar memberikan informasi jika diminta oleh Negara itu. Demikian pula dalam hal jika sedang menuju kawasan Negara yang turut serta dalam pengaturan bersama tersebut dan apabila demikian untuk menunjukkan apakah memenuhi persyaratan untuk memasuki pelabuhan Negara itu. Pasal ini tidak mengurangi hak kendaraan air untuk tetap menikmati hak lintas damainya atau pelaksanaan atas pasal 25 ayat 2. 4. Negara-negara pantai boleh, di dalam melaksanakan kedaulatannya di laut teritorialnya, menerapkan peraturan perundangundangan yang mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran laut dari kendaraan air asing, termasuk kendaraan air yang melaksanakan hak lintas damai. Peraturan perundang-undangan dimaksud sesuai dengan Bab II, bagian 3 tidak boleh menghalang-halangi hak lintas damai kendaraan air asing. 5. Negara-negara pantai untuk maksud pemaksaan pentaatan sebagaimana ditentukan dalam bagian 6, diperbolehkan dalam zona ekonomi eksklusifnya mengadakan peraturan perundang-undangan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dari kendaraan air sesuai dengan dan untuk memberikan pengaruh pada ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang diterima secara umum dan yang dibentuk melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik yang umum. 6.-- (a) Dalam hal ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang ditunjuk pada ayat 1 tidak memadai untuk menanggulangi situasi-situasi khusus dan negara-negara pantai mempunyai alasan yang kuat untuk menduga bahwa suatu area tertentu dalam zona ekonomi eksklusifnya merupakan suatu kawasan, dalam kawasan mana penetapan ketentuan-ketentuan khusus guna pencegahan pencemaran kendaraan air adalah alasan-alasan tehnis yang diakui berkaitan dengan disyaratkan guna ekologi dan oseanografi, demikian pula dalam penggunaan atau perlindungan terhadap sumber-sumber dan sifat-sifat khusus dari lalu lintas, Negara-negara pantai setelah konsultasi yang memadai melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten dengan Negara-negara lain yang berkepentingan boleh, bagi kawasan itu menyampaikan pemberitahuan langsung kepada organisasi itu, dengan menyampaikan bukti-bukti ilmiah dan teknik yang mendukung dan informasi mengenai kemudahan penerimaan yang perlu. Dalam jangka waktu 12 bulan setelah menerima pemberitahuan, organisasi itu harus menetapkan apakah keadaan di dalam kawasan itu sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan diatas. Bilamana organisasi itu menentukan demikian, Negara pantai itu boleh bagi kawasan tersebut, menetapkan peraturan perundang-undangan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dari kendaraan-kendaraan air dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional atau praktek-prektek pelayanan yang telah diberlakukan melalui organisasi, bagi kawasan-kawasan khusus. Peraturan perundang-undangan dimaksud tidak akan berlaku bagi kendaraan air asing sampai dengan 15 bulan setelah penyampaian pemberitahuan kepada organisasi; (b) Negara-negara pantai harus mengumumkan batas-batas kawasan yang ditetapkan secara tegas; (c) Jika Negara-negara pantai bermaksud untuk menetapkan peraturan perundang-undangan tambahan untuk kawasan yang sama guna pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dari kendaraan-kendaraan air, mereka harus pada waktu penyampaian pemberitahuan tersebut, sekaligus memberitahukan organisasi. Peraturan perundang-undangan tambahan dimaksud dapat dikaitkan dengan pelepasan atau praktek-praktek pelayaran tetapi tidak boleh mensyaratkan kendaraan air asing untuk mematuhi disain, konstruksi, tata awak atau standar peralatan lain dari pada ketentuan internasional umum; dan peraturan perundang-undangan dimaksud akan berlaku bagi kendaraan air asing setelah 15 bulan disampaikan kepada organisasi dengan catatan organisasi itu setuju dalam waktu 12 bulan setelah disampaikannya pemberitahuan dimaksud. 7. Ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional sebagaimana dimaksud dalam pasal ini harus mencakup inter alia hal-hal yang berhubungan dengan pemberitahuan segera kepada Negara-negara pantai yang pantainya atau kepentingan-kepentingan yang tersangkut dipengaruhi oleh kecelakaan, termasuk kecelakaan laut, yang mengakibatkan pelepasan atau kemungkinan pelepasan. Pasal 212 Pencemaran yang berasal dari atau melalui udara 1. Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari atau melalui udara, yang dapat diterapkan bagi ruang udara yang berada di bawah kedaulatannya dan bagi kendaraan air yang di bawah benderanya atau kendaraan air atau pesawat udara yang terdaftar di negara tersebut dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang disepakati secara internasional, standar-standar dan praktek-praktek yang disarankan dan prosedur-prosedur serta keselamatan navigasi udara. 2. Negara-negara harus mengambil tindakan-tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran dimaksud. 3. Negara-negara yang bertindak khususnya melalui organisasi-organisasi inter-nasional yang kompeten atau konperensi diplomatik, harus berusaha sungguh-sungguh untuk menetapkan ketentuan-ketentuan global dan regional, standar-standar dan praktek-praktek serta prosedur-prosedur yang disarankan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran dimaksud. BAGIAN 6. PEMAKSAAN PENTAATAN Pasal 213 Pemaksaan pentaatan berkenaan dengan pencemaran yang berasal dari sumber daratan Negara-negara harus memaksakan pentaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan pasal 207 dan harus menetapkan peraturan perundang-undangan dan mengambil tindakan lain yang diperlukan untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang ditetapkan oleh organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik, yang dapat diterapkan, untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari sumber daratan. Pasal 214 Pemaksaan pentaatan berkenaan dengan pencemaran yang berasal dari kegiatan-kegiatan Dasar Laut Negara-negara harus memaksakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan pasal 208 dan harus menetapkan peraturan perundang-undangan serta mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan dan standar internasional yang berlaku yang diadakan oleh organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari atau yang berhubungan dengan kegiatankegiatan dasar laut di dalam yurisdiksi mereka dan yang berasal dari pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan di dalam yurisdiksi mereka, sesuai dengan pasal 60 dan 80. Pasal 215 Pemaksaan pentaatan berkenaan dengan pencemaran yang berasal dari kegiatan-kegiatan di Kawasan Pemaksaan pentaatan terhadap ketentuan-ketentuan, peraturan serta prosedur-prosedur internasional yang ditetapkan sesuai dengan Bab XIuntuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari kegiatan-kegiatan di Kawasan, harus diatur oleh Bab ini. Pasal 216 Pemaksanaan pentaatan berkenaan dengan penceamran yang diakibatkan oleh dumping 1. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini serta ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang ditentukan melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut yang diakibatkan oleh dumping harus dipaksakan pentatannya : (a) Oleh Negara pantai berkenaan dengan dumping di dalam laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif atau pada landas kontinennya; (b) Oleh Negara bendera bertalian dengan kendaraan air yang mengibarkan benderanya atau kendaraan air atau pesawatudara yang didaftarkannya; (c) Oleh setiap Negara berkenaan dengan tindakan-tindakan pemuatan limbah atau barang lainnya yang terjadi di dalam wilayahnya atau pada terminal-terminal lepas pantainya; 2. Pasal ini tidak mengadakan kewajiban pada suatu Negara untuk memulai tindakan-tindakan pemaksaan pentaatan, apabila tindakan demikian telah mulai diadakan oleh Negara lain sesuai dengan maksud pasal ini. Pasal 217 Pemaksaan pentaatan oleh Negara bendera 1. Negara-negara harus menjamin bahwa kendaraan air yang mengibarkan benderanya atau terdaftar di Negara tersebut mentaati ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku, yang ditentukan melalui organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik yang umum, dan mentaati peraturan perundang-undangan Negara tersebut yang ditetapkan sesuai Konvensi ini untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kendaraan-kendaraan air dan berkenaan dengan itu harus menetapkan peraturan perundang-undangan serta mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk pelaksanaannya. Negara-negara bendera harus mengadakan pemaksaan yang efektif pentaatan ketentuanketentuan, standar-standar, peraturan perundang-undangan dimaksud, tanpa memandang dimana pelanggaran itu terjadi. 2. Negara-negara secara khusus, harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat guna menjamin bahwa kendaraan air yang mengibarkan bendera atau memiliki registrasinya dilarang berlayar, sampai kendaraan-kendaraan air tersebut memenuhi persyaratan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internsional sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, termasuk persyaratan yang bertalian dengan disain, konstruksi, peralatan dan pengawasan kendaraan-kendaraan air. 3. Negara-negara harus menjamin bahwa kendaraan air yang mengibarkan bendera atau memiliki registrasinya membawa sertifikat yang dipersyaratkan oleh dan diterbitkan sesuai dengan ketentuan dan standar-standar internasional sebagai mana dimaksud dalam ayat 1. Negara-negara harus menjamin bahwa kendaraan air yang mengibarkan benderanya telah diperiksa secara berkala untuk memastikan bahwa sertifikat tersebut adalah sesuai dengan keadaan sebenarnya kendaraan air itu. Sertifikat-sertifikat ini harus diterima oleh Negara-negara lain sebagai bukti mengenai keadaan-keadaan air tersebut dan harus dianggap mempunyai kekuatan yang sama seperti sertifikat yang diterbitkan oleh Negara-negara itu sendiri, kecuali ada dasar-dasar yang kuat untuk menduga bahwa keadaan kendaraan air itu secara substansial tidak sesuai dengan hal-hal khusus yang tersebut dalam sertifikat. 4. Apabila suatu kendaraan air melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dan standar-standar yang ditentukan melalui organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik yang umum, maka Negara bendera, tanpa mengurangi pada pasal 218, 220 dan 228, harus segera melakukan pemeriksaan dan dimana perlu mengadakan penuntutan-penuntutan atas pelanggaran yang diduga terjadi tanpa memandang dimana pelanggaran itu terjadi atau di mana pencemaran yang disebabkan oleh pelanggaran dimaksud telah menjadi atau ditemukan. 5. Negara-negara bendera yang melakukan suatu pemeriksaan atas pelanggaran dapat meminta bantuan Negara lain manapun yang kerjasamanya dapat bermanfaat dalam menjelaskan keadaan-keadaan mengenai perkara itu. Negara-negara harus berusaha sungguh-sungguh untuk memenuhi permintaan yang wajar dari Negara-negara bendera. 6. Negara-negara harus, atas permintaan tertulis Negara manapun, memeriksa setiap pelanggaran yang diduga telah dilakukan oleh kendaraan air yang mengibarkan benderanya. Apabila ternyata bahwa terdapat bukti yang cukup untuk mengadakan penuntutan berkenaan dengan pelanggaran tadi, Negara-negara bendera tanpa menunda-nunda mengajukan penuntutan sesuai dengan undang-undangnya. 7. Negara-negara bendera harus segera memberitahukan Negara yang meminta dan organisasi internasional yang kompeten tentang tindakan yang diambil dan hasilnya. Keterangan tersebut harus tersedia untuk semua Negara. 8. Sanksi-sanksi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan Negara-negara terhadap kendaraan air yang mengibarkan benderanya harus cukup keras untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran di manapun terjadi. Pasal 218 Pemaksaan pentaatan oleh Negara pelabuhan 1. Apabila suatu kendaraan air secara sukarela berada disuatu pelabuhan atau berada pada suatu terminal lepas pantai suatu Negara, maka Negara itu dapat mengadakan pemeriksaan dan dimana terdapat bukti-bukti yang cukup kuat, mengadakan penuntutan berkenaan dengan setiap pelepasan dari kendaraan air tersebut di luar perairan pedalaman, laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif dari Negara itu yang melanggar ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku dan ditentukan melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik yang umum. 2. Tidak boleh diadakan penuntutan menurut ketentuan ayat 1 berkenaan dengan suatu pelepasan yang bersifat pelanggaran di dalam perairan pedalaman, laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif dari Negara lain kecuali diminta oleh Negara itu, Negara bendera, atau oleh Negara yang dirugikan atau terancam oleh pelepasan yang bersifat pelanggaran, atau apabila pelanggaran itu telah menyebabkan atau mungkin menyebabkan pencemaran di dalam perairan pedalaman, laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif dari Negara yang membedakan penuntutan. 3. Apabila suatu kendaraan air secara sukarela berada di suatu pelabuhan atau terminal lepas-pantai suatu Negara, Negara tersebut harus, sejauh dimungkinkan, memenuhi permintaan Negara manapun untuk melakukan pemeriksaan atas pelepasan yang bersifat pelanggaran sebagaimana dimaksud pemeriksaan atas pelepasan yang bersifat pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, yang diduga telah terjadi, menimbulkan atau mengancam terjadinya kerusakan pada perairan pedalaman, laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif dari Negara yang mengajukan permintaan dimaksud. Negara juga harus, sejauh dimungkinkan, memenuhi permintaan Negara bendera guna pemeriksaan sehubungan dengan adanya pelanggaran yang dimaksud, tanpa memandang di mana pelanggaran itu terjadi. 4. Catatan-catatan tentang pemeriksaan yang dilakukan oleh Negara pelabuhan sesuai dengan ketentuan pasal ini harus diserahkan kepada Negara bendera atau kepada Negara pantai apabila mereka memintanya. Setiap penuntutan yang diadakan oleh Negara pelabuhan berdasarkan pemeriksaan demikian dapat, tanpa mengurangi ketentuan bagian 7, ditangguhkan atas permintaan Negara pantai apabila pelanggaran itu telah terjadi di perairan pedalaman, laut teritorial atau zona ekonomi eksklusifnya. Bukti dan catatan-catatan tentang perkara itu, beserta setiap jaminan atau jaminan keuangan lainnya yang diterima oleh pejabat Negara pelabuhan dalam hal tersebut harus diserahkan kepada Negara pantai. Penyerahan dimaksud berarti harus dihentikannya penuntutan di Negara pelabuhan. Pasal 219 Tindakan-tindakan yang bertalian dengan kelaikan laut kendaraan air untuk mencegah pencemaran Tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan pada bagian 7, Negara-negra yang, atas permintaan atau atas inisiatif mereka, telah meyakini bahwa sebuah kendaraan air yang berada dalam salah satu pelabuhan mereka atau pada salah satu terminal lepas pantainya melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku bertalian dengan kelaikan laut dari kendaraan air dan dengan demikian mengancam kerusakan terhadap lingkungan laut arus, sejauh dimungkinkan, mengambil tindakan-tindakan administratif untuk mencegah kendaraan air itu melakukan pelayaran. Negara-negara yang dimaksud dapat mengijinkan kendaraan air tersebut menuju hanya ke galangan reparasi terdekat yang sesuai dan, setelah diperbaiki sebabsebab terjadinya pelanggaran, dengan segera mengijinkan kendaraan air tersebut untuk melanjutkan pelayarannya. Pasal 220 Pemaksaan pentaatan oleh Negara pantai 1. Apabila sebuah kendaraan air dengan sukarela berada dalam pelabuhan atau pada suatu terminal lepas pantai Negara itu, Negara tersebut dapat, sesuai dengan bagian 7, mengadakan penuntutan bertalian dengan setiap pelanggaran atau ketentuanketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kendaraan air apabila pelanggaran itu telah terjadi di dalam laut teritorial atau zona ekonomi eksklusif Negara itu. 2. Dalam hal terdapat alasan yang jelas untuk menduga bahwa suatu kendaraan air yang berlayar di laut teritorial suatu Negara, selama melakukan lintas, telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan Negara itu yang telah ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini atau ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kendaraan air, maka negara itu, dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan bagian 3, dapat melakukan pemeriksaan kendaraan air secara fisik berkenaan dengan pelanggaran itu dan apabila terdapat pembuktian yang cukup kuat dari pada perkara itu, dapat mulai mengadakan penuntutan, termasuk penahanan kendaraan air tersebut, sesuai dengan undang-undangnya, tanpa mengurangi ketentuan padabagian 7. 3. Dalam hal terdapat alasan yang jelas untuk menduga bahwa suatu kendaraan air yang berlayar di zona ekonomi eksklsuif atau di laut teritorial suatu Negara, telah melanggar ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kendaraan air atau peraturan perundang-undangan dari Negara tersebut yang sesuai dan memberlakukan ketentuan-ketentuan dan standar-standar dimaksud, maka Negara itu dapat meminta pada kendaraan air untuk memberikan informasi mengenai identitasnya dan pelabuhan pendaftarannya, pelabuhan terakhir dan pelabuhan berikut yang akan disinggahi dan informasi penting lainnya yang diperlukan untuk menentukan apakah telah terjadi suatu pelanggaran. 4. Negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan serta mengambil tindakan lain agar kendaraan-kendaranan air yang mengibarkan benderanya memenuhi permintaan informasi sesuai dengan ayat 3. 5. Dalam hal terdapat alasan yang jelas untuk menduga bahwa kendaraan air yang berlayar di zona ekonomi eksklusif atau di laut teritorial suatu Negara, selama di zona ekonomi eksklusif, telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 yang berupa pelepasan substansial yang menyebabkan atau mengancam akan menimbulkan pencemaran yagn berat terhadap lingkungan laut, maka Negara itu dapat mengadakan pemeriksaan terhadap kendaraan air tersebut secara fisik atas hal-hal yang bertalian dengan pelanggaran dimaksud apabila kendaraan air itu menolak memberikan informasi atau apabila informasi yang diberikan oleh kendaraan air itu jelas berbeda dengan keadaan faktual yang nyata dan apabila keadaan dari kasus itu membenarkan pemeriksaan dimaksud. 6. Dalam hal terdapat bukti objektif yang jelas bahwa suatu kendaraan air berlayar di zona ekonomi eksklusif atau di laut teritorial suatu Negara, selama di zona ekonomi eksklusif, telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 berupa pelepasan yang menyebabkan kerusakan besar atau mengancam akan menimbulkan kerusakan besar di daerah pantai atau hal-hal yang menjadi kepentingan Negara pantai, atau terhadap setiap kekayaan di laut teritorial atau di zona ekonomi eksklusif, maka Negara itu, tanpa mengurangi ketentuan pada bagian 7, asalkan pembuktianitu cukup kuat dapat mengadakan penuntutan, termasuk penahanan kendaraan air tersebut, sesuai dengan undang-undangnya. 7. Tanpa menyimpang dari ketentuan ayat 6, apabila prosedur-prosedur yang tepat telah ditentu kan, baik melalui organisasi internasional yang kompeten maupun disepakati secara lain, prosedur mana menjamin ditaatinya syarat untuk pembebasan atau jaminan keuangan lainnya yang sesuai, Negara pantai apabila terikat dengan prosedur-prosedur yang demikian itu, harus mengijinkan kendaraan air itu untuk meneruskan pelayarannya. 8. Ketentuan-ketentuan dalam ayat 3, 4, 5, 6 dan 7 juga berlaku terhadap peraturan perundang-undangan nasional yang ditetapkan sesuai denganpasal 211 ayat 6. Pasal 221 Tindakan-tindakan untuk menghindari pencemaran yang ditimbulkan oleh kecelakaan-kecelakaan laut 1. Tidak ada satupun ketentuan dalam Bab ini akan mengurangi hak Negara-negara, sesuai dengan hukum Internasional, baik menurut hukum kebiasaan maupun Konvensi, untuk mengambil dan memaksakan tindakan-tindakan di luar laut teritorial yang sebanding dengan kerusakan nyata atau ancaman kerusakan untuk melindungi garis pantai atau kepentingan-kepentingan yang bertalian dengan itu, termasuk perikanan, dari pencemaran atau ancaman pencemaran sebagai lanjutan dari suatu kecelakaan laut atau tindakan-tindakan yang bertalian dengan kecelakaan dimaksud, yang menurut dugaan yang layak dapat menimbulkan akibat-akibat buruk yang besar. 2. Untuk tujuan Pasal ini, “kecelakaan laut”, berarti suatu tubrukan kendaraan air, kandas atau lain-lain kecelakaan dalam navigasi, atau lain kejadian di atas atau di luar kendaraan air tersebut yang mengakibatkan kerusakan material atau ancaman nyata kerusakan material terhadap suatu kendaraan air atau muatannya. Pasal 222 Pemaksaan pentaatan perkenaan dengan pencemaran yang berasal atau terjadi melalui atmosfir Negara-negara harus memaksakan, di dalam lingkungan ruang udara yang ada di bawah kedaulatannya atas terhadap kendaraan air yang mengibarkan benderanya atau kendaraan air atau pesawat udara yang terdaftar di negaranya, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan sesuai dengan pasal 212, ayat 1, dan ketentuan-ketentuan lain dari Konvensi ini serta harus menetapkan peraturan perundang-undangan serta mengambil tindakan-tindakan lain yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku serta dibentuk melalui organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut yang berasal dari atau melalui atmosfir, sesuai dengan semua ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang relevan dan bertalian dengan keamanan navigasi udara. BAGIAN 7. LANGKAH PENGAMANAN Pasal 223 Tindakan-tindakan untuk memudahkan penuntutan Dalam hal penuntutan yang diadakan sesuai dengan Bab ini, Negara-negara harus mengambil tindakan-tindakan untuk memudahkan didengarnya para saksi dan penyerahan bukti yang disampaikan oleh penguasa-penguasa Negara lain, atau oleh organisasi internasional yang kompeten, dan harus memudahkan kehadiran pada sidang-sidang tersebut wakil-wakil resmi dari organisasi internasional yang kompeten, Negara bendera dan Negara manapun yang terkena pencemaran yang diakibatkan oleh setiap pelanggaran. Wakil-wakil resmi yang mengikuti sidang-sidang dimaksud harus mempunyai hak dan kewajiban sesuai degnan peraturan perundang-undangan nasional atau hukum internasional. Pasal 224 Pelaksanaan wewenang untuk pemaksaan pentaatan Wewenang untuk pemaksaan penataan terahadap kendaraan air asing menurut Bab ini hanya dapat dilaksanakan oleh pejabat-pejabat atau oleh kapal-kapal perang, pesawat udara militer, atau kapal laut lainnya atau pesawat udara yang mempunyai tanda jelas dan dapat dikenal yang berada dalam dinas pemerintah dan berwenang melakukan tindakan-tindakan itu. Pasal 225 Kewajiban untuk menghindari akibat-akibat yang merugikan di dalam pelaksanaan wewenang untuk pemaksaan penaatan Di dalam melaksanakan wewenang untuk memaksakan penaatan sesuai dengan Konvensi ini terhadap kendaraan air asing, Negara-negara harus tidak diperbolehkan membahayakan keselamatan pelayaran atau dengan cara lain yang menimbulkan bahaya bagi kendaraan air tersebut atau membawanya ke pelabuhan atau tempat berlabuh yang tidak aman atau membuka lingkungan laut dari suatu risiko yang tidak wajar. Pasal 226 Penyidikan terhadap kendaraan air asing 1.-- (a) Negara-negara tidak boleh menahan suatu kendaraan air asing lebih lama dari yang diperlukan untuk tujuan penyidikan sebagaimana ditentukan dalam pasal 216, 218 dan 220. Setiap pemeriksaan fisik suatu kendaraan air asing harus dibatasi pada pemeriksaan atas sertifikat, catatan-catatan atau dokumen-dokumen lain yang disyaratkan untuk dibawa oleh kendaraan air itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang umum diterima atau dokumen-dokumem sejenis yang dibawa; pemeriksaan fisik lebih lanjut terhadap kendaraan air tersebut hanya dapat dilakukan setelah adanya pengujian dimaksud dan semata-mata bilamana : (i) ada dasar-dasar yang jelas untuk menduga bahwa keadaan kendaraan air itu atau peralatannya tidak sesuai dengan substansial dengan isi dokumen-dokumen-nya; (ii) isi dokumen-dokumen dimaksud tidak mencukupi untuk konfirmasi atau verifikasi atas Pelanggaran yang diduga; atau (iii) kendaraan air itu tidak membawa sertifikat dan catatan-catatan yang berlaku. (b) Apabila penyidikan itu menunjukkan adanya suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku atau terhadap ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional untuk perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut, maka pembebasan kendaraan air tersebut harus segera dilakukan sesuai dengan prosedur-prosedur yang layak seperti misalnya adanya jaminan uang atau jaminan keuangan lainnya yang wajar. (c) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku berkenaan dengan kelaikan laut kendaraan air, maka pembebasan bagi kendaraan air, jika akan mengakibatkan ancaman terhadap lingkungan laut, boleh ditolak atau dibebaskan bersyarat untuk berlayar menuju ke galangan reparasi yang terdekat. Dalam hal pembebasan itu telah ditolak atau dibebaskan bersyarat, maka Negara bendera dari kendaraan air tersebut harus segera diberitahu dan dapat mengusahakan pembebasan kendaraan air itu sesuai dengan ketentuan Bab XV. 2. Negara-negara harus bekerjasama untuk mengembangkan prosedur-prosedur guna mencegah pemeriksaan fisik yang tidak perlu terhadap kendaraan air di laut. Pasal 227 Non diskriminasi terhadap kendaraan air asing Dalam melaksanakan hak-hak dan melakukan kewajibannya menurut Bab ini, Negara-negara tidak boleh melakukan diskriminasi baik bentuk atau dalam kenyataan terahadap kendaraan-kendaraan air Negara lain. Pasal 228 Penangguhan dan pembatasan terhadap pelaksanaan penuntutan 1. Pelaksanaan penuntutan untuk mengadakan ancaman hukuman berkenaan dengan setiap pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang bertalian dengan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kendaraan air yang dilakukan kendaraan air asing di luar laut teritorial Negara yang mengadakan penuntutan harus ditangguhkan setelah dimulai penuntutan untuk mengadakan ancaman hukuman sesuai dengan penuntutan yang sama dari Negara bendera dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal penuntutan pertama dilakukan, kecuali jika penuntutan itu berhubungan dengan suatu kasus yang menimbulkan kerusakan gawat bagi Negara pantai atau Negara bendera itu telah berkali-kali mengabaikan kewajibannya untuk memaksakan penaatan secara efektif ketentuan-ketentuan dan standar-standar internasional yang berlaku berkenaan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh kendaraan airnya. Negara bendera harus pada waktunya menyediakan bagi Negara pertama yang melakukan penuntutan suatu berkas lengkap kasus itu dan catatan-catatan tentang penuntutan, bilamana Negara bendera telah meminta penangguhan atas penuntutan itu sesuai dengan ketentuan pasal ini. Apabila tindakan penuntutan oleh Negara bendera telah sampai pada tahap konklusi, maka penuntutan yang ditangguhkan itu harus diakhiri. Setelah pembayaran atas ongkos yang dikeluarkan berkenaan dengan penuntutan tersebut, maka setiap uang jaminan yang dicadangkan atau jaminan keuangan lainnya yang diperuntukkan berkenaan dengan penangguhan penuntutan tersebut harus dikembalikan oleh Negara pantai. 2. Pelaksanaan penuntutan untuk mengadakan ancaman hukuman terhadap kendaraan air asing tidak boleh diadakan setelah melampaui waktu 3 tahun terhitung dari tanggal dilakukannya pelanggaran, dan tidak boleh dilakukan oleh setiap Negara dalam hal penuntutan telah dilakukan Negara lain sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam ayat 1. 3. Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak mengurangi hak Negara bendera untuk melakukan setiap tindakan, termasuk pelaksanaan penuntutan untuk mengadakan ancaman hukuman, sesuai dengan undang-undangnya tanpa memandang adanya penuntutan yang terlebih dahulu diadakan oleh Negara lain. Pasal 229 Pelaksanaan penuntutan perdata Tidak satupun ketentuan dalam Konvensi ini yang akan mempengaruhi pelaksanaan penuntutan perdata berkenaan dengan suatu gugatan atas kerugian atau kerusakan yang timbul dari Pencemaran lingkungan laut. Pasal 230 Denda keuangan dan penghormatan hak-hak yang diakui dari tertuduh 1. Denda keuangan hanya dapat dikenakan dalam hal adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan nasional atau ketentuan-ketentuan serta standar-standar internasional yang berlaku untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut oleh kendaraan air asing di luar laut teritorial. 2. Denda keuangan hanya dapat dikenakan dalam hal adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan nasional atau ketentuan-ketentuan serta standar-standar internasional yang berlaku untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut, yang dilakukan oleh kendaraan air asing di laut teritorial, kecuali dalam hal kesengajaan dan adanya tindakan pencemaran yang gawat di laut teritorial. 3. Di dalam melakukan penuntutan berkenaan dengan pelanggaran dimaksud yang dilakukan oleh suatu kendaraan air asing yang dapat berakibat dikenakannya hukuman, maka hak-hak yang diakui dari tertuduh harus dihormati. Pasal 231 Pemberitahuan kepada Negara bendera dan Negara-negara lain yang berkepentingan Negara-negara harus segera memberitahu Negara bendera dan Negara lain yang berkepentingan mengenai setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan bagian 6 terhadap kendaraan-kendaraan air asing, dan harus menyerahkan kepada Negara bendera seluruh laporan resmi mengenai tindakan tersebut Namun demikian, sehubungan dengan pelanggaran yang dilakukan di laut teritorial, kewajiban Negara pantai tersebut hanya berlaku bagi tindakan yang dilakukan dalam rangka penuntutan Pejabat-pejabat diplomatik atau konsuler dan jika mungkin pejabat maritim Negara bendera, harus segera diberitahu mengenai setiap tindakan yang dilakukan terhadap kendaraan air asing yang sesuai dengan bagian 6. Pasal 232 Tanggung jawab Negara-negara yang timbul sebagai akibat tindakan pemaksaan penaatan Negara-negara harus bertanggung jawab atau kerugian atas kehilangan yang dapat dibebankan kepada mereka sebagai akibat daripada tindakan-tindakan yang diambil sesuai dengan bagian 6 apabila tindakan tersebut tidak sah atau melampaui apa yang layak diperlukan menurut keterangan yang ada. Negara-negara harus menyediakan tangkisan di Pengadilan atas tindakan berkenaan dengan kerugian atau kehilangan tersebut. Pasal 233 Langkah pengamanan bagi selat-selat yang digunakan untuk navigasi internasional Tiada suatupun dalam bagian 5, 6 dan 7 akan mempengaruhi rejim hukum daripada selat-selat yang digunakan untuk navigasi internasional. Namun demikian apabila suatu kapal asing yang lain dan pada yang dimaksudkan oleh bagian 10 dan telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut dalam pasal 42 ayat 1 (a) dan (b), yang mengakibatkan atau mengancam suatu kerusakan besar pada lingkungan laut pada selat-selat, maka Negara-negara tepi selat tersebut dapat mengambil tindakan-tindakan pemaksaan penaatan yang tepat dan jika demikian harus mutatis mutandis menaati ketentuan-ketentuan bagian ini. BAGIAN 8. KAWASAN YANG TERTUTUP ES Pasal 234 Kawasan yang tertutup es Negara-negara pantai berhak menetapkan dan menegakkan peraturan perundang-undangan tanpa diskriminasi untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran laut yang berasal dari kendaraan air di kawasan yang tertutup es dalam batas zona ekonomi eksklusif, dimana khususnya keadaan cuacanya sangat buruk dan permukaan lautnya sepanjang tahun selalu tertutup es sehingga menghambat atau membahayakan pelayaran, dan pencemaran lingkungan lautnya akan sangat membahayakan atau tidak akan dapat dikembalikan keseimbangan ekologinya seperti semula. Peraturan perundang-undangan dimaksud harus memperhatikan navigasi dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terbaik yang ada. BAGIAN 9. TANGGUNG-JAWAB DAN KEWAJIBAN GANTI-RUGI Pasal 235 Tanggung-jawab dan kewajiban ganti-rugi 1. Negara-negara bertanggungjawab untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban internasional mereka berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Mereka harus memikul kewajiban ganti-rugi sesuai dengan hukum internasional. 2. Negara-negara harus menjamin tersedianya upaya menurut sistim perundang-undangannya untuk diperolehnya ganti-rugi yang segera dan memadai atau bantuan lainnya bertalian dengan kerusakan yang disebabkan pencemaran lingkungan laut oleh orang perorangan atau oleh badan hukum di bawah yurisdiksi mereka. 3. Dengan tujuan untuk menjamin ganti-rugi yang segera dan memadai bertalian dengan segala kerugian yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut, Negara-negara harus bekerjasama melaksanakan hukum internasional yang berlaku dan untuk pengembangan selanjutnya hukum internasional yang berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajiban ganti-rugi untuk penaksiran mengenai kompensasi untuk kerusakan serta penyelesaian sengketa yang timbul, demikian pula, dimana perlu, mengembangkan kriteria dan prosedur-prosedur pembayaran ganti-rugi yang memadai seperti halnya asuransi wajib atau dana kompensasi. BAGIAN 10. HAK KEKEBALAN Pasal 236 Hak Kekebalan Ketentuan Konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan, kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu Negara serta digunakan, pada saat ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap Negara harus menjamin, dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang dimiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat udara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten, sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan, dengan Konvensi ini. BAGIAN 11. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN BERDASARKAN KOVENSI LAIN MENGENAI PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT Pasal 237 Kewajiban-kewajiban berdasarkan Konvensi lain mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut 1. Ketentuan Bab ini tidak mengurangi kewajiban-kewajiban khusus yang diterima Negara-negara berdasarkan Konvensi-konvensi khusus dan persetujuan-persetujuan yang telah tercapai sebelumnya yang berhubungan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta persetujuan-persetujuan yang mungkin dicapai sebagai kelanjutan asas-asas umum yang tercantum dalam Konvensi ini. 2. Kewajiban-kewajiban khusus yang diterima Negara-negara berdasarkan Konvensi-konvensi khusus, bertalian dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, harus dilaksanakan dengan cara yang konsisten dengan asas-asas yang umum dan tujuan Konvensi ini. BAB XIII RISET ILMIAH KELAUTAN BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM Pasal 238 Hak mengadakan riset ilmiah kelautan Semua Negara, tanpa memandang letak geografisnya dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten, berhak mengadakan riset ilmiah kelautan dengan memperhatikan hak dan kewajiban Negara-negara lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini. Pasal 239 Penggalakan riset ilmiah kelautan Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten harus menggalakan dan memudahkan pengembangan dan penyelenggaraan riset ilmiah kelautan sesuai dengan Konvensi ini. Pasal 240 Asas umum bagi penyelenggaraan riset ilmiah kelautan Dalam penyelenggaraan riset ilmiah kelautan harus berlaku asas-asas berikut : (a) riset ilmiah kelautan harus dilaksanakan semata-mata untuk tujuan damai; (b) riset ilmiah kelautan harus dilakukan dengan metode ilmiah yang tepat dan dengan cara yang sesuai dengan Konvensi ini; (c) riset ilmiah kelautan tidak dibenarkan mengganggu secara tidak sah penggunaan laut lainnya yang sah sesuai dengan Konvensi ini dan penggunaan laut di maksud harus dihormati; (d) riset ilmiah kelautan harus diselenggarakan sesuai dengan segala peraturan relevan yang diterima sesuai konvensi ini termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 241 Tidak diakuinya kegiatan riset ilmiah kelautan sebagai dasar hukum bagi tuntutan Kegiatan riset ilmiah kelautan tidak dapat menjadi dasar hukum bagi tuntutan apapun terhadap suatu bagian dari lingkungan laut atau kekayaan alamnya. BAGIAN 2. KERJASAMA INTERNASIONAL Pasal 242 Penggalakan kerjasama internasional 1. Negara dan organisasi-organisai internasional yang kompeten, sesuai dengan menghormati kelautan dan yurisdiksi serta atas dasar saling menguntungkan, harus menggalakan kerjasama internasional dalam riset ilmiah kelautan untuk maksud-maksud damai. 2. Dalam hubungan ini, tanpa mengurangi hak dan kewajiban Negara-negara menurut konvensi ini, suatu Negara, dalam menerapkan Bab ini, harus menyediakan, selayaknya, bagi Negara-negara lain suatu kesempatan yang pantas untuk mendapatkan atau dengan kerjasamanya, informasi yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan kerusakan kesehatan serta keselamatan orang-orang terhadap lingkungan laut. Pasal 243 Penciptaan keadaan yang menguntungkan Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten harus bekerjasama, melui pembuatan persetujuan bilateral dan multilateral, untuk menciptakan keadaan yang menguntungkan bagi pelaksanaan riset ilmiah kelautan di lingkungan laut dan mengintegrasikan usaha para ilmuwan dalam mempelajari hakekat fenomena dan proses yang terjadi di lingkungan laut serta interelasi di antaranya. Pasal 244 Publikasi dan penyebarluasan informasi serta pengetahuan 1. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten, sesuai dengan Konvensi ini, harus menyediakan informasi mengenai program utama yang diajukan serta tujuannya maupun pengetahuan sebagai hasil riset, ilmiah kelautan dengan cara publikasi dan penyebarluasan melalui saluran-saluran yang tepat. 2. Untuk keperluan ini, Negara-negara baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan Negara-negara lain serta dengan organisasi internasional yang kompeten, harus secara aktif menggalakkan arus data ilmiah dan informasi serta alih pengetahuan sebagai hasil dari riset ilmiah kelautan, terutama untuk Negara-negara berkembang dan juga memperkuat kemampuan berdiri sendiri dalam riset ilmiah kelautan melalui, inter-alia, program yang menyediakan pendidikan yang memadai serta latihan bagi tenaga teknik dan ilmuwan mereka. BAGIAN 3. PENYELENGGARAAN DAN PENINGKATAN RISET ILMIAH KELAUTAN Pasal 245 Riset ilmiah kelautan dalam laut teritorial Negara-negara pantai dalam melaksanakan kedaulatannya, mempunyai hak eksklusif untuk mengatur, mengijinkan dan menyelenggarakan riset ilmiah kelautan dalam laut teritorialnya. Riset ilmiah kelautan termaksud harus diselenggarakan semata-mata dengan ijin yang tegas dinyatakan oleh Negara pantai menurut persyaratan yang ditentukan olehnya. Pasal 246 Riset ilmiah kelautan dalam zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen 1. Negara-negara pantai dalam melaksanakan yurisdiksinya mempunyai hak untuk mengatur, mengijinkan dan menyelenggarakan riset ilmiah kelautan dalam zona ekonomi eksklusif dan dilandas kontinennya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini. 2. Riset ilmiah kelautan di dalam zona ekonomi eksklusif dan di landas kontinen harus diselenggarakan dengan ijin Negara pantai. 3. Negara-negara pantai dalam keadaan biasa harus memberikan ijinnya terhadap proyek riset ilmiah kelautan yang diselenggarakan oleh Negara-negara lain atau organisasi-organisasi internasional yang kompeten dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinennya yang diselenggarakan sesuai dengan Konvensi ini semata-mata untuk tujuan damai dan dengan tujuan untuk menambah pengetahuan ilmiah tentang lingkungan laut demi kepentingan umat manusia. Untuk tujuan termaksud Negara-negara pantai harus secepatnya menentukan ketentuan dan prosedur guna menjamin agar persetujuan tersebut tidak akan diundurkan atau ditolak tanpa alasan yang cukup. 4. Untuk keperluan pelaksanaan ayat 3, keadaan biasa dapat terwujud sekalipun antara Negara pantai dan Negara yang melakukan riset tidak ada hubungan diplomatik. 5. Sekalipun demikian Negara-negara pantai berwenang untuk tidak memberikan persetujuannya guna diselenggarakannya proyek riset oleh Negara lain atau organisasi internasional yang kompeten dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen Negara pantai tersebut apabila proyek itu : (a) mempunyai arti langsung bagi eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati; (b) meliputi penyebaran dalam landas kontinen, penggunaan bahan peledak atau pemasukan bahan-bahan berbahaya ke dalam lingkungan laut; (c) meliputi konstruksi, operasi atau penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan sebagaimana tersebut padapasal 60 dan 80; (d) mengandung informasi yang disampaikan menurut pasal 248 mengenai sifat dan tujuan proyek yang tidak tepat atau apabila Negara yang menyelenggara-kan riset atau organisasi internasional yang kompeten mempunyai kewjaiban-kewajiban yang belum dilaksanakan terhadap Negara pantai berdasarkan suatu proyek riset terdahulu. 6. Tanpa menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 5 Negara-negara pantai tidak boleh melaksanakan haknya untuk menahan persetujuan berdasarkan sub-ayat (a) ayat tersebut diadakan bertalian dengan proyek-proyek riset ilmiah kelautan yang akan diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Bab ini dilandas kontinen,di luar 200 mil laut dihitung dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, di luar wilayah-wilayah khusus yang oleh Negara pantai pada setiap waktu dapat ditentukan secara umum sebagai wlayah-wilayah dimana ekspoitasi atau operasi eksplorasi terperinci mengenai wilayah termaksud sedang dilakukan atau akan dilakukan dalam jangka waktu dekat. Negara-negara pantai harus menyampaikan pemberitahuan yang wajar mengenai penunjuk wilayah-wilayah termaksud, demikian pula mengenai perubahan-perubahan yang berkaitan dengan penunjukan itu, tetapi tanpa diharuskan untuk memberikan keterangan terperinci mengenai operasi-operasi di dalam wilayah-wilayah termaksud. 7. Keterangan-keterangan ayat 6 tidak mengurangi hak-hak Negara pantai atas landas kontinen sebagaimana ditentukan pada Pasal 77. 8. Kegiatan-kegiatan riset ilmiah kelautan sebagaimana dimaksud pada pasal ini tidak boleh mengganggu secara tidak wajar kegiatan-kegiatan yang diselenggara-kan Negara-negara pantai sesuai dengan hak berdaulat serta yurisdiksinya sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini. Pasal 247 Proyek riset ilmiah kelautan yang diselenggarakan oleh atau di bawah naungan organisasi internasional Suatu Negara pantai yang menjadi anggota suatu organisasi internasional yang mempunyai perjanjian bilateral dengan organisasi termaksud, yang dalam zona ekonomi eksklusifnya atau landas kontinennya organisasi tersebut melakukan suatu proyek Riset ilmiah kelautan baik secara langsung atau di bawah naungannya, dianggap telah memberi ijin bagi pelaksanaan proyek itu sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakatinya apabila Negara termaksud telah menyetujui proyek yang terperinci tersebut pada saat keputusan diambil oleh organisasi untuk menyelenggarakan proyek termaksud, atau pada saat organisasi menyatakan kehendaknya untuk turut serta di dalamnya, dan Negara termaksud sudah tidak menyatakan suatu keberatan dalam waktu 4 bulan sesudah pemberitahuan tentang adanya proyek itu oleh organisasi dimaksud kepada Negara pantai. Pasal 248 Kewajiban untuk memberikan informasi kepada Negara pantai Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten yang berniat menyelenggarakan riset ilmiah kelautan dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen suatu Negara pantai harus memberikan, dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan sebelum waktu yang direncanakan bagi proyek riset ilmiah kelautan tersebut, suatu deskripsi penuh mengenai : (a) sifat dan tujuan proyek tersebut; (b) metoda dan cara yang akan digunakan, termasuk nama,tonase, tipe serta kelas kendaraan air dan deskripsi peralatan ilmiah; (c) penentuan wilayah yang tepat dimana proyek tersebut akan diselenggarakan; (d) tanggal ancer-ancer pemunculan pertama dan keberangkatan terakhir kendaraan air riset, ata penempatan peralatan dan penyingkirannya, secara tepat; (e) nama lembaga sponsor, direkturnya, dan orang-orang yang bertanggung jawab atas proyek termaksud; (f) sampai dimana Negara pantai mampu berperan serta atau terwakili dalam proyek tersebut. Pasal 249 Kewajiban untuk memenuhi persyaratan tertentu 1. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten apabila melaksanakan riset ilmiah kelautan dalam zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen suatu Negara pantai harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) menjamin hak Negara pantai manakala menghendaki untuk berperan serta atau diwakili dalam proyek riset ilmiah kelautan, terutama di atas kendaraan air riset dan kendaraan atau pada instalasi-instalasi riset ilmiah lainnya, dimana mungkin, tanpa pembayaran atas ganti rugi apapun oleh para ilmuwan Negara pantai dan tanpa ada keharusan untuk memberi sumbangan biaya atas ongkos proyek tersebut; (b) memberikan kepada Negara pantai, atas permintaannya, laporan sementara, secepat mungkin, dan juga hasil akhir serta kesimpulan-kesimpulan setelah Penyelesaian riset termaksud. (c) sanggup memberikan akses bagi Negara pantai, atas permintaannya atas segala data dan contoh yang diperoleh dari proyek riset ilmiah kelautan, demikian juga untuk memberikan data-data yang bisa diperbanyak dan contoh-contoh yang bisa dipisahkan tanpa mengurangi nilai ilmiahnya; (d) apabila diminta, memberikan kepada Negara pantai suatu penilaian data, contoh dan hasil-hasil dimaksud atau memberikan bantuan dalam penilaian atau interprestasinya; (e) menjamin, dengan memperhatikan ayat 2 bawah hasil-hasil riset dapat diperoleh secara internasional melalui saluran-saluran nasional atau internasional yang tepat sesegera bisa dilaksanakan; (f) memberitahu segera Negara pantai atas setiap perubahan utama dalam program riset; (g) kecuali apabila disepakati lain, memindahkan instalasi-instalasi riset ilmiah atau peralatannya manakala riset dilakukan sudah selesai. 2. Pasal ini berlaku tanpa mengurangi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan Negara pantai untuk pelaksanaan kebijaksanaan tentang memberi atau tidak persetujuannya sesuai dengan pasal 246, ayat 5 termasuk syarat persetujuan pendahuluan untuk menyediakan secara internasional hasil-hasil riset dari suatu proyek yang mempunyai arti langsung terhadap eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Pasal 250 Komunikasi tentang proyek riset ilmiah kelautan Segala komunikasi tentang proyek riset ilmiah kelautan harus dilakukan melalui saluran-saluran resmi yang tepat kecuali apabila disepakati lain. Pasal 251 Kritria umum dan pedoman kerja Negara-negara harus berusaha meningkatkan melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten untuk menentukan kriteria umum dan pedoman kerja guna membantu Negara-negara dalam penentuan sifat serta implikasi riset ilmiah kelautan. Pasal 252 Persetujuan tersirat Negara-negara atau organisasi-organisasi internasional kompeten dapat memulai proyek riset ilmiah kelautan enam bulan sesudah tanggal pemberian informasi menurut pasal 248 kepada Negara pantai kecuali jika dalam jangka waktu empat bulan penerimaan komunikasi yang berisikan informasi dimaksud Negara pantai tersebut telah memberitahu kepada Negara atau organisasi yang menyelenggarakan riset bahwa : (a) Negara itu telah menahan persetujuannya berdasarkan pasal 246; atau (b) keterangan yang diberikan oleh Negara atau organisasi internasional yang kompeten mengenai sifat atau tujuan proyek tersebut tidak sesuai dengan fakta-fakta dengan bukti yang tercantum; atau (b) keterangan yang diberikan oleh Negara atau organisasi internasional yang kompeten mengenai sifat atau tujuan proyek tersebut tidak sesuai dengan fakta-fakta dengan bukti yang tercantum; atau (c) Negara itu memerlukan keterangan tambahan berkenaan dengan persyaratan dan keterangan yang ada berdasarkan pasal 248 dan 249; atau (d) terdapat kewajiban-kewajiban yang belum dipenuhi dalam proyek riset ilmiah kelautan terdahulu yang diselenggarakan oleh Negara atau organisasi tersebut, bertalian dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan padapasal 249. Pasal 253 Penangguhan atau penghentian kegiatna-kegiatan riset ilmiah kelautan 1. Suatu Negara pantai berhak untuk menuntut penangguhan atas setiap kegiatan riset ilmiah kelautan yang sedang berlangsung dalam zona ekonomi eksklusif atau dilandas kontinennya apabila : (a) kegiatan riset tersebut tidak diselenggarakan sesuai dengan informasi yang disampaikan berdasarkan pasal 248 yang mendasari persetujuan Negara pantai dimaksud; atau (b) Negara atau organisasi internsional yang kompeten yang menyelenggarakan kegiatan riset dimaksud gagal memenuhi ketentuan pasal 249 berkenaan dengan hak-hak Negara pantai bertalian dengan proyek riset ilmiah kelautan. 2. Suatu Negara pantai berhak untuk menutup penghentian setiap kegiatan riset ilmiah kelautan apabila tidak memenuhi ketentuan pasal 248 yang mengakibatkan timbulnya perubahan utama dalam proyek riset atau kegiatan-kegiatan riset dimaksud. 3. Suatu Negara pantai juga boleh menuntut penghentian kegiatan riset ilmiah kelautan apabila salah satu dari keadaan yang disebut dalam ayat 1 tidak dibetulkan dalam tenggang waktu yang wajar. 4. Menyusul pemberitahuan oleh Negara pantai mengenai keputusannya untuk memerintahkan penangguhan atau penghentian, Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten yang telah diberi kuasa untuk penyelenggaraan kegiatan riset ilmiah kelautan harus menghentikan kegiatan riset tersebut sehubungan dengan Pemberitahuan dimaksud. 5. Suatu perintah penangguhan berdasarkan ayat 1 harus di cabut oleh Negara pantai dan kegiatan riset ilmiah kelautan diperbolehkan belangsung terus pada saat Negara yang meriset atau organisasi-organisasi internasional yang kompeten tersebut telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan berdasarkan pasal 248 dan pasal 249. Pasal 254 Hak-hak Negara-negara tetangga tak berpantai dan yang letak geografisnya tidak beruntung 1. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten telah menyerahkan kepada suatu Negara pantai sebuah proyek untuk menyelenggarakan riset ilmiah kelautan yang tersebut pada pasal 246, ayat 3, harus memberitahu Negara-negara tetangga tak berpantai dan yang letak geografis tidak beruntung tentang proyek riset yang diusulkan, dan harus memberitahu kepada Negara pantai dimaksud. 2. Setelah persetujuan diberikan untuk proyek riset ilmiah kelautan yang diusulkan oleh Negara pantai dimaksud, sesuai dengan pasal 246 dan ketentuan-ketentuan lain yang relevan dalam Konvensi ini, Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten yang sedang melaksanakan proyek dimaksud harus menyediakan bagi Negara-negara tetangga tak berpantai dan yang letak geografisnya tidak beruntung, atas permintaan dan apabila wajar, informasi yang relevan sebagaimana ditentukan pada pasal 248 dan pasal 249, ayat 1 (f). 3. Negara-negara tetangga tak berpantai dan yang letak geografisnya tidak beruntung tersebut di atas, atas permintaannya, harus diberikan kesempatan berpartisipasi, jika layak, dalam proyek riset ilmiah kelautan yang diusulkan dengan tenaga ahli berkualitas yang ditunjuk olehnya dan tanpa keberatan dari Negara pantai, sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah disepakati dalam proyek tersebut, menurut ketentuan-ketentuan Konvensi ini, antara Negara pantai yang bersangkutan dan Negara atau organisasi-organisasi internasional yang kompeten yang menyelenggarakan riset ilmiah kelautan. 4. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten tersebut dalam ayat 1 pasal ini harus menyediakan bagi Negara-negra tetangga tak berpantai dan yang letak geografisnya tidak beruntung, atas permintaannya, informasi dan bantuan yang ditentukan pada pasal 249, ayat 1 (d), dengan mengindahkan ketentuan pasal pasal 249, ayat 2. Pasal 255 Tindakan-tindakan untuk memudahkan riset ilmiah kelautan dan membantu kendaraan riset Negara-negara harus berusaha sungguh-sungguh untuk menetapkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang wajar untuk menggalak-kan dan memudahkan diselenggarakannya riset ilmiah kelautan yang sesuai dengan Konvensi ini di luar laut teritorial dan, jika mungkin untuk memudahkan, dengan mengindahkan ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan, akses dalam pelabuhan-pelabuhannya dan meningkatkan bantuan untuk kendaraan air riset ilmiah kelautan, yang memenuhi ketentuan yang relevan dari Bab ini. Pasal 256 Riset ilmia kelautan di Kawasan Semua Negara, tanpa memandang letak geografisnya, serta organisasi-organisasi internasional yang kompeten berhak, sesuai dengan ketentuanBab XI, untuk menyelenggarakan riset ilmiah kelautan di Kawasan. Pasal 257 Riset ilmiah kelautan dalam kolom air di luar zona ekonomi eksklusif Semua Negara, tanpa memandang letak geografisnya, serta organisasi-organisasi internasional yang kompeten, berhak sesuai dengan Konvensi ini, untuk menyelenggarakan riset ilmiah kelautan dalam kolom air di luar batas zona ekonomi eksklusif. BAGIAN 4. INSTALAS RISET ILMIAH ATAU PERALATAN DI LINGKUNGAN LAUT Pasal 258 Penempatan dan penggunaan Penempatan dan penggunaan setiap jenis instalasi riset ilmiah atau peralatan di setiap kawasan lingkungan laut harus tunduk pada syarat-syarat yang sama yang ditentukan oleh Konvensi ini untuk penyelenggaraan riset ilmiah kelautan di setiap kawasan tersebut. Pasal 259 Status hukum Instalasi-instalasi atau peralatan yang dimaksud dalam bagian ini tidak memiliki status sebagai pulau. Instalasi-instalasi atau peralatan dimaksud tidak memiliki laut teritorialnya sendiri, dan adanya instalasi-instalasi atau peralatan di suatu tempat tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. Pasal 260 Zona Keamanan Zona keamanan dengan lebar yang wajar dan tidak melebihi jarak 500 meter dapat diadakan di sekeliling instalasi riset ilmiah sesuai dengan ketentuan yang relevan dari Konvesi ini. Semua Negara harus menjamin bahwa zona keselamatan dimaksud diindahkan oleh kendaraan-kendaraan airnya. Pasal 261 Larangan gangguan terhadap rute pelayaran Penempatan dan penggunaan setiap jenis instalasi riset ilmiah atau peralatan tidak boleh merupakan halangan terhadap rute pelayanan internasional yang ada. Pasal 262 Tanda pengenal dan tanda bahaya Instalasi-instalasi atau peralatan yang dimaksudkan dalam bagian ini harus dibubuhi tanda pengenal yang menunjukkan Negara registrasi atau organisasi internasional yang memilikinya dan harus mempunyai tanda bahaya yang telah disepakati secara internasional yang cukup untuk menjamin keselamatan di laut dan keselamatan navigasi udara, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan standar-standar yang telah ditentukan oleh organisasi internasional yang kompeten. BAGIAN 5. TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN GANTI RUGI Pasal 263 Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi 1. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten harus bertanggung jawab untuk menjamin bahwa riset ilmiah kelautan, baik yang diadakan oleh atau atas nama mereka, diselenggarakan sesuai dengan Konvensi ini. 2. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten harus bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi terhdap tindakan yang dilakukan yang bertentangan dengan Konvensi ini berkenaan dengan riset ilmiah kelautan yang diselenggarakan oleh Negara lain, orang-perorangan atau, badan hukum atau, oleh organisasi-organisasi internasional yang kompeten, dan. harus memberikan ganti rugi bagi kerusakan yang diakibatkan oleh tindakan tersebut. 3. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang kompeten harus bertanggung jawab dan mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi menurut pasal 235 untuk kerusakan yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang timbul dari riset ilmiah kelautan yang diselenggarakan atau atas nama mereka. BAGIAN 6. PENYELESAIAN SENGKETA DAN TINDAKAN SEMENTARA Pasal 264 Penyelesaian sengketa Sengketa yang bertalian dengan penafsiran atau penerapan ketentuan-ketentuan Konvensi ini berkenaan dengan riset ilmiah kelautan harus diselesaikan sesuai dengan Bab XV, bagian 2 dan 3. Pasal 265 Tindakan sementara Sambil menunggu penyelesaian suatu sengketa sesuai dengan Bab XV,bagian 2 dan 3, Negara atau organisasi internasional yang kompeten yang diijinkan untuk menyelenggarakan proyek riset ilmiah kelautan tidak diperkenankan memulai kegiatan risetnya atau melanjutkannya tanpa ijin yang tegas dinyatakan oleh Negara pantai yang bersangkutan. BAB XIV PENGEMBANGAN DAN ALIH TEKNOLOGI KELAUTAN BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM Pasal 266 Penggalakkan pengembangan dan alih teknologi kelautan 1. Negara-negara, langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, harus bekerjasama sesuai dengan kemampuannya untuk menggalakkan secara aktif pengembangan dan alih ilmu kelautan serta teknologi kelautan dengan cara dan syarat-syarat yang adil dan wajar. 2. Negara-negara harus menggalakkan pengembangan ilmu pengetahuan kelautan dan kemampuan teknologi Negaranegara yang mungkin membutuhkan dan meminta bantuan teknik dalam bidang ini, khususnya Negara-negara berkembang, termasuk Negara-negara tak berpantai dan letak geografisnya tidak beruntung, dalam hal eksplorasi, eksplorasi, konservasi dan pengolahan kekayaan laut, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, riset ilmu pengetahuan kelautan dan kegiatan-kegiatan lainnya di lingkungan laut sesuai dengan Konvensi ini, dengan maksud mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi Negara-negara berkembang. 3. Negara-negara harus berusaha sungguh-sungguh untuk menciptakan iklim ekonomi dan hukum yang menguntungkan bagi alih teknologi kelautan yang bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan secara adil. Pasal 267 Perlindungan terhadap kepentingan yang sah Negara-negara, dalam menggalakkan kerjasama menurut pasal 266, harus mengindahkan semua kepentingan yang sah termasuk inter alia, hak dan kewajiban para pemegang, pemberi dan penerima teknologi kelautan. Pasal 268 Tujuan dasar Negara-negara, langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten harus menggalakkan : (a) perolehan, evaluasi dan penyebarluasan pengetahuan teknologi kelautan dan memudahkan akses untuk informasi dan data dimaksud; (b) pengembangan teknologi kelautan yang tepat; (c) pengembangan infrastruktur teknologi yang dibutuhkan untuk memudahkan alih teknologi kelautan; (d) pengembangan sumber daya manusia melalui latihan dan pendidikan para warganegara dari Negara-negara berkembang dan negara-negara khususnya para warganegara dari Negara yang paling terbelakang; (e) kerjasama internasional dalam segala tingkat, khususnya pada tingkat regional, subregional dan bilateral. Pasal 269 Tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan dasar Untuk mencapai tujuan tersebut dalam pasal 268, Negara-negara secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, harus berusaha sungguh-sungguh, inter alia untuk : b.menentukan program-program kerjasama teknik untuk pengalihan efektif segala macam teknologi kelautan kepada Negara-negara yang mungkin membutuhkan dan meminta bantuan teknik di bidang ini, khususnya Negara-negara berkembang tak berpantai dan yang letak geografisnya tidak beruntung demikian pula Negara-negara berkembang lainnya yang tidak mampu mencapai atau mengembangkan kemampuan teknologinya dibidang pengetahuan kelautan dan dalam eksplorasi serta eksploitasi kekayaan laut atau untuk mengembangkan infrastruktur teknologi dimaksud; (b) menggalakkan iklim, yang menguntungkan untuk tercapainya perjanjian, kontrak dan pengaturan serupa lainnya, berdasarkan syarat-syarat yang layak dan adil; (c) menyelenggarakan konperensi, seminar dan simposium khususnya mengenai kebijakan dan metoda alih teknologi kelautan; (d) menggalakkan pertukaran ilmuwan dan teknologi serta para ahli lainnya; (e) melaksanakan proyek dan menggalakkan usaha patungan serta bentuk kerjasama bilateral dan multilateral lainnya. BAGIAN 2. KERJASAMA INTERNASIONAL Pasal 270 Jalan dan cara kerjasama internasional Kerjasama internasional untuk mengembangkan dan alih teknologi kelautan harus diselesaikan, dimana mungkin dan pantas, melalui program bilateral, regional atau multilateral yang ada, dan juga melalui program baru dan program yang dikembangkan untuk mempermudah penelitian ilmiah kelautan, alih teknologi kelautan khususnya dibidang yang baru dan dana internasional yang layak untuk riset samudera dan pengembangannya. Pasal 271 Pedoman, kriteria dan standar Negara-negara, langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, harus menggalakkan terbentuknya pedoman umum yang diterima, kriteria dan standar untuk alih teknologi kelautan atas dasar bilateral atau dalam rangka organisasi internasional dan fora lainnya, dengan memperhatikan khususnya kepentingan dan kebutuhan Negara-negara berkembang. Pasal 272 Koordinasi program-program internasional Dibidang alih teknologi kelautan, Negara-negara harus berusaha sungguh-sungguh untuk menjamin bahwa organisasi-organisasi internasional yang kompeten, mengkoordinasikan kegiatannya, termasuk setiap program regional atau global dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan Negara-negara berkembang, khususnya Negara-negara tak berpantai dan yang letak geografisnya tidak menguntungkan. Pasal 273 Kerjasama dengan organisasi internasional dan Otorita Negara-negara harus bekerjasama secara aktif dengan organisasi-organisasi internasional yang kompeten dan Otorita, untuk mendorong dan memudahkan pengalihan ketrampilan dan teknologi kelautan yang bertalian dengan kegiatankegiatan di Kawasan, kepada Negara-negara berkembang warganegaranya dan Perusahaan. Pasal 274 Tujan dan Otorita Dengan tidak mengurangi segala kepentingan yang sah termasuk, inter alia dan kewajiban para pemegang, pemberi dan penerima teknologi, Otorita, bertalian dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan, harus menjamin bahwa : (a) atas dasar asas pembagian geografis yang adil, para warganegara Negara berkembang, baik Negara pantai, Negara tak berpantai atau yang letak geografisnya tidak beruntung, harus diikutsertakan untuk tujuan latihan sebagai anggota pengurus, riset dan tenaga teknis yang dibentuk untuk pelaksanaannya; (b) dokumentasi teknis mengenai peralatan, tata kerja mesin, alat peralatan dan proses yang relevan tersedia bagi semua Negara, khususnya bagi Negara-negara berkembang yang mungkin membutuhkan dan meminta bantuan teknis dalam bidang ini; (c) ketentuan-ketentuan memadai yang dibutuhkan oleh Otorita untuk memudahkan perolehan bantuan teknik dalam bidang teknologi kelautan oleh Negara-negara yang mungkin membutuhkan dan memintanya, khususnya Negara-negara berkembang, dan perolehan ketrampilan dan know-how yang dibutuhkan oleh para warganegaranya, termasuk latihan keahlian; (d) Negara-negara yang mungkin membutuhkan dan meminta bantuan teknik dalam bidang ini, khususnya pada Negaranegara berkembang, dibantu untuk memperoleh peralatan, proses, alat-alat besar dan know-how teknik lainnya yang diperlukan melalui pengaturan keuangan yang dimaksudkan menurut Konvensi ini. BAGIAN 3. PUSAT TEKNOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN KELAUTAN NASIONAL DAN REGIONAL Pasal 275 Pembentukan pusat-pusat nasional 1. Negara-negara, langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten dan Otorita, harus menggalakkan pembentukan, khususnya di Negara-negara pantai sedang berkembang, pusat-pusat riset, teknologi dan ilmu pengetahuan kelautan nasional serta memperkuat pusat-pusat nasional yang telah ada, dalam rangka merangsang dan memajukan pelaksanaan riset ilmu pengetahuan kelautan oleh Negara-negara pantai sedang berkembang dan untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya guna memanfaatkan dan melestarikan kekayaan laut untuk keuntungan ekonominya. 2. Negara-negara, melalui organisasi internasional yang kompeten dan Otorita, harus memberikan dukungan yang memadai untuk memudahkan pembentukan dan memperkuat pusat-pusat nasional dimaksud guna menyediakan kemudahan latihan lanjutan dan peralatan serta ketrampilan dan know how yang dibutuhkan demikian pula tenaga ahli teknik bagi Negaranegara yang mungkin membutuhkan dan meminta bantuan dimaksud. Pasal 276 Pembentukan pusat-pusat regional 1. Negara-negara, dengan koordinasi bersama organisasi-organisasi internasional yang kompeten, Otorita dan lembagalembaga ilmu pengetahuan kelautan serta riset teknologi nasional, harus menggalakkan pembentukan pusat-pusat ilmu pengetahuan kelautan dan riset teknologi regional, khususnya di negara-negara berkembang, dalam rangka merangsang dan memajukan penyelenggaraan riset ilmu pengetahuan kelautan oleh negara-negara berkembang serta mempercepat alih teknologi kelautan. 2. Semua Negara dalam suatu wilayah harus bekerja sama dengan pusat-pusat regional yang ada untuk menjamin tercapainya tujuannya dengan secara lebih efektif. Pasal 277 Fungsi pusat-pusat regional Fungsi pusat-pusat regional dimaksud harus mencakup, inter alia : (a) program latihan dan pendidikan pada seluruh tingkat dalam pelbagai aspek ilmu pengetahuan kelautan dan riset teknologi, khususnya biologi kelautan, termasuk konservasi dan pengaturan kekayaan hayati, oseanografi, hidrografi, engineering, eksplorasi geologis dasar laut, penambangan dan teknologi penawaran air; (b) pengkajian manajemen; (c) program pengkajian yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran; (d) organisasi konperensi regional, seminar dan simposium; (e) perolehan dan pengolahan data serta informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; (f) penyebarluasan segera hasil riset ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan dalam publikasi yang tersedia; (g) publikasi kebijakan nasional berkenaan dengan alih teknologi kelautan dan studi komperatip yang sistimatis tentang kebijaksanaan tersebut; (h) kompilasi dan sistimatisasi informasi mengenai pemasaran teknologi dan mengenai kontrak serta pengaturan lainnya tentang paten; (i) kerjasama teknik dengan Negara-negara lain dalam region. BAGIAN 4. KERJASAMA ANTARA ORGANISASI INTERNASIONAL Pasal 278 Kerjasama antara organisasi internasional Organisasi-organisasi internasional yang kompeten yang disebut dalam Bab ini dan dalam Bab XIII harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk menjamin, baik secara langsung atau dengan kerjasama erat antara mereka, pelaksanaan efektif, fungsi dan tanggung jawab berdasarkan Bab ini. BAB XV PENYELESAIAN SENGKETA BAGIAN 1. KETENTUAN UMUM Pasal 279 Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa dengan damai Negara-negara Peserta harus menyelesaikan setiap sengketa antara mereka perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini dengan cara damai sesuai dengan Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan, untuk tujuan ini, harus mencari penyelesaian dengan cara sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 33 ayat 1 Piagam tersebut. Pasal 280 Penyelesaian sengketa dengan sesuatu cara damai yang dipilih oleh Para pihak Tiada sesuatupun dalam Bab ini mengurangi hak Negara-negara Peserta manapun untuk bersepakat pada setiap waktu menyelesaikan sengketa antara mereka perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini dengan cara damai apapun yang mereka pilih sendiri. Pasal 281 Prosedur yang ditempuh dalam hal tidak dicapai penyelesaian oleh para pihak Apabila Negara-negara Peserta yang menjadi pihak dalam sengketa perihal interpretasi atau penerapan. Konvensi ini telah bersepakat untuk mencari penyelesaian sengketa tersebut dengan cara damai yang mereka pilih sendiri, maka prosedur-prosedur yang ditetapkan dalam Bab ini berlaku hanya dalam hal tidak dicapai penyelesaian dengan menempuh cara demikian dan kesepakatan antara para pihak tidak menutup kemungkinan adanya prosedur lanjutan apapun. 2. Apabila para pihak juga telah bersepakat mengenai ketentuan ayat 1 berlaku hanya setelah berakhirnya batas waktu, maka ketentuan ayat 1 berlaku hanya setelah berakhirnya batas waktu tersebut. Pasal 282 Kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian-perjanjian umum, regional atau bilateral Apabila Negara-negara Peserta yang menjadi pihak dalam suatu sengketa perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini telah bersepakat melalui suatu persetujuan umum, regional atau bilateral atau secara lain, bahwa sengketa demikian, atau permintaan pihak manapun dalam sengketa, haus ditundukkan pada suatu prosedur yang menghasilkan keptusan mengikat, maka prosedur tersebut berlaku sebagai pengganti prosedur yang tertera dalam Bab ini, kecuali para pihak dalam sengketa itu bersepakat secara lain. Pasal 283 Kewajiban untuk tukar menukar pendapat 1. Apabila timbul suatu sengketa antara Negara-negara Peserta perihal interprestasi atau penerapan Konvensi ini, maka para pihak dalam sengketa tersebut harus secepatnya melakukan tukar menukar pendapat mengenai penyelesaian dengan perundingan atau cara damai lainnya. 2. Para pihak juga harus secepatnya melakukan tukar menukar pendapat dalam hal suatu prosedur untuk penyelesaian, sengketa telah dihentikan tanpa suatu penyelesaian atau dalam hal suatu penyelesaian telah tercapai dan keadaan menghendaki dilakukan konsultasi mengenai cara pelaksanaan penyelesaian tersebut. Pasal 284 K o n s i l i a s i 1. Suatu Negara Peserta yang menjadi pihak dalam suatu sengketa perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini dapat mengundang pihak atau para pihak lainnya dalam sengketa untuk menyerahkan sengketa itu pada konsiliasi sesuai dengan prosedur berdasarkan Lampiran V, Bagian 1, atau suatu prosedur konsiliasi lainnya. 2. Apabila undangan itu diterima dan apabila para pihak sepakat mengenai prosedur konsiliasi yang harus diterapkan, setiap pihak dapat menyerahkan sengekta itu pada prosedur tersebut. 3. Apabila undangan itu tidak diterima atau para pihak tidak sepakat mengenai prosedur, maka proses konsiliasi tersebut harus dianggap telah dihentikan. 4. Kecuali para pihak bersepakat secara lain, dalam hal suatu sengketa telah diserahkan pada konsiliasi, proses tersebut dapat dihentikan hanya sesuai dengan prosedur konsiliasi yang telah disepakati. Pasal 285 Penerapan bagian ini bagi sengketa yang diserahkan menurut Bab XI Ketentuan-ketentuan bagian ini berlaku bagi setiap sengketa yang menurut Bab XI Bagian 5 harus diselesaikan sesuai dengan prosedur-prosedur yang diatur dalam Bab ini. Apabila suatu satuan lain dari suatu Negara Peserta adalah pihak dalam suatu sengketa demkian maka bagian ini berlaku mutatis mutandis. BAGIAN 2. PROSEDUR WJIB YANG MENGHASILKAN KEPUTUSAN MENGIKAT Pasal 286 Penerapan prosedur-prosedur berdasarkan bagian ini Dengan tunduk pada ketentuan bagian 3 setiap sengketa perihal interpretasi atau penerapan Konvensi ini harus dalam hal tidak tercapai penyelesaian melalui ketentuan bagian 1, diserahkan atas permintaan pihak manapun dalam sengketa tersebut kepada pengadilan atau mahkamah yang mempunyai yurisdiksi berdasarkan bagian ini. Pasal 287 Pemilihan prosedur 1. Pada waktu menandatangani, meratifikasi atau aksesi pada Konvensi ini atau pada setiap waktu setelah itu, suatu Negara bebas untuk memilih, dengan membuat pernyataan tertulis, satu atau lebih dari cara-cara berikut untuk menyelesaikan sengketa perihal interprestasi atau penerapan Konvensi ini : (a) Mahkamah internasional Hukum Laut yang dibentuk sesuai denngan Lampiran VI; (b) Mahkamah Internasional; (c) suatu mahkamah arbitrasi khusus yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VIII; (d) suatu mahkamah arbitrasi khusus yang dibentuk sesuai dengan Lampiran VIII untuk satu jenis sengketa atau lebih yang tertera didalamnya. 2. Suatu pernyataan yang dibuat berdasarkan ayat 1 tidak akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kewajiban suatu Negara Peserta untuk menerima yurisdiksi Kamar Sengketa Dasar Laut Mahkamah Internasional Hukum Laut sejauh dan dengan cara yang ditentukan dalam Bab XI bagian 5. 3. Suatu Negara Peserta yang menjadi suatu pihak dalam suatu sengketa yang tidak diliput oleh suatu pernyataan yang berlaku, harus dianggap telah menerima arbitrasi sesuai dengan Lampiran VII. 4. Apabila para pihak dalam sengketa telah menerima prosedur yang sama untuk penyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat diserahkan hanya pada prosedur demikian, kecuali apabila para pihak bersepakat secara lain. 5. Apabila para pihak dalam sengketa tidak menerima prosedur yang sama untuk penyelesaian sengketa, maka sengketa itu dapat diserahkan hanya pada arbitrasi sesuai dengan Lampiran VII, kecuali jika para pihak bersepakat secara lain. 6. Suatu pernyataan yang dibuat berdasarkan ayat 1 akan tetap berlaku hingga 3 (tiga) bulan setelah pemberitahuan pencabutan didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 7. Suatu pernyataan baru, pemberitahuan pencabutan atau kadaluwarsanya suatu pernyataan bagaimana juga tidak mempengaruhi proses yang sedang berlangsung di suatu pengadilan atau mahkamah yang mempunyai yurisdiksi berdasarkan pasal 27 ini, kecuali para pihak bersepakat secara lain. 8. Pernyataan-pernyataan dan pemberitahuan yang dimaksud pasal ini harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan meneruskan salinan-salinannya kepada Negara-negara Peserta. Pasal 288 Y u r i s d i k s i 1. Setiap pengadilan atau mahkamah yang dimaksudkan dalam Pasal 287 mempunyai yurisdiksi atas setiap sengketa perihal interprestasi atau penerapan Konvensi ini yang diserahkan kepadanya sesuai dengan Bab ini. 2. Setiap pengadilan atau Mahkamah yang dimaksudkan dalam Pasal 287 juga mempunyai yurisdiksi atas setiap sengketa perihal interpretasi atau penerapan suatu perjanjian internasional yang bertalian dengan tujuan Konvensi ini, yang diserahkan kepadanya sesuai dengan perjanjian itu. 3. Kamar sengketa Dasar Laut Mahkamah Internasional Hukum Laut yang dibentuk sesuai berdasarkan Lampiran VI, dan kamar lain apapun atau Mahkamah arbitrasi yang dimaksudkan dalam Bab XI, bagian 5, mempunyai yurisdiksi dalam setiap masalah yang diserahkan kepadanya sesuai dengan Bab tersebut. 4. Dalam hal terajdinya suatu sengketa mengenai apakah suatu pengadilan atau mahkamah mempunyai yurisdiksi, masalah tersebut harus diselesaikan dengan keputusan pengadilan atau Mahkamah tersebut. Pasal 289 Para Ahli Dalam setiap sengketa yang menyangkut masalah-masalah ilmiah atau teknis, pengadilan atau mahkamah yang melaksanakan yurisdiksi berdasarkan bagian ini dapat, atas permintaan suatu pihak atau atas inisiatif sendiri, dengan konsultasi dengan para pihak memilih tidak kurang dari dua ahli ilmiah atau teknis dengan mengutamakan dari daftar yang relevan yang disiapkan sesuai dengan Lampiran VIII, pasal 2 untuk duduk dalam pengadilan atas mahkamah tetapi tanpa hak suara. Pasal 290 Tindakan sementara 1. Apabila suatu sengketa telah diserahkan sebagaimana mestinya kepada suatu pengadilan atau mahkamah yang prima facie berpendapat bahwa ia mempunyai yurisdiksi berdasarkan Bab ini atau Bab XI, bagian 5, maka pengadilan atau mahkamah itu dapat menetapkan tindakan sementara apapun yang dipandang memadai menurut keadaan untuk memelihara hak masing-masing pihak dalam sengketa atau untuk mencegah kerugian yang berat terhadap lingkungan laut, sambil menunggu keputusan akhir. 2. Tindakan sementara dapat dirubah atau dicabut segera setelah keadaan yang membenarkannya telah berubah atau telah berhenti. 3. Tindakan sementara dapat ditetapkan, dirubah atau dicabut berdasarkan pasal ini hanya atas permintaan suatu pihak dalam sengketa dan setelah para pihak diberi kesempatan untuk didengar. 4. Pengadilan atau mahkamah harus segera memberitahu kepada para pihak dan kepada Negara Peserta lainnya yang dipandangnya perlu, mengenai ditetapkannya dirubahnya atau dicabut tindakan sementara. 5. Sambil menunggu terbentuknya suatu mahkamah arbitrasi yang kepadanya diserahkan suatu sengketa berdasarkan bagian ini, setiap pengadilan atau mahkamah yang telah disepakati oleh para pihak atau, bila tidak dapat kesepakatan demikian dalam waktu 2 (dua) minggu sejak tanggal permintaan untuk tindakan sementara, Mahkamah Internasional Hukum Laut atau yaitu bertalian dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan, Kamar Sengketa DasarLaut, dapat menetapkan, merubah atau mencabut tindakan sementara sesuai dengan pasal ini bila ia menganggap, bahwa prima facie mahkamah yang akan dibentuk itu akan mempunyai yurisdiksi dan bahwa desakan keadaan menghendakinya. Segera setelah terbentuk, mahkamah yang kepadanya sengketa tersebut diserahkan dapat merubah, mencabut atau menguatkan tindakantindakan sementara itu, dengan bertindak sesuai dengan ayat 1 sampai dengan 4. 6. Para pihak dalam sengketa harus mematuhi dengan segera setiap tindakan sementara yang ditetapkan berdasarkan Pasal ini. Pasal 291 A k s e s 1. Semua prosedur penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Bab ini harus terbuka bagi Negara-negara Peserta. 2. Prosedur penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Bab ini harus terbuka bagi satuan-satuan lain dari Negaranegara Peserta hanya sebagaimana secara khusus ditentukan dalam Konvensi ini. Pasal 292 Pelepasan segera kendaraa air dan awaknya 1. Dalam hal pejabat suatu Negara Peserta telah melakukan penahanan kendaraan air yang mengibarkan bendera Negara Peserta lain dan dituduhkan bahwa Negara yang menahan itu tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Konvensi ini untuk segera membebaskan kendaraan air atau awaknya setelah penitipan sejumlah uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya, maka masalah pembebasan dari penahanan dapat diserahkan kepada pengadilan atau mahkamah manapun yang disepakati oleh para pihak atau, dalam hal tidak tercapainya kesepakatan demikian dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak waktu penahanan berdasarkan pasal 287 atau Mahkamah Internasional Hukum Laut, kecuali jika para pihak bersepakat secara lain. 2. Permohonan untuk pembebasan dapat diajukan hanya oleh atau atas nama Negara bendera kendaraan air tersebut. 3. Pengadilan atau mahkamah harus menangani permintaan untuk pembebasan tanpa penundaan dan harus menangani hanya masalah pembebasan dengan tidak mengurangi kepentingan perkara manapun di hadapan forum domestik yang selayaknya terhadap kendaraan air itu, pemiliknya atau awaknya. Pejabat Negara yang menahan tetap berwenang untuk melepaskan kendaraan air itu atau awaknya setiap waktu. 4. Setelah menyerahkan sejumlah uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya yang ditetapkan oleh pengadilan atau mahkamah, pejabat Negara yang menahan harus segera mematuhi keputusan pengadilan atau mahkamah perihal pembebasan kendaraan air tersebut atau awaknya. Pasal 293 Hukum yang diterapkan 1. Suatu pengadilan atau mahkamah yang mempunyai yurisdiksi berdasarkan bagian ini harus menerapkan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya yang tidak bertentangan dengan Konvensi ini. 2. Ayat 1 tidak mengurangi wewenang pengadilan atau mahkamah yang mempunyai yurisdiksi berdasarkan bagian ini untuk memutuskan suatu perkara ex aequo et bono, bila para pihak menyepakatinya. Pasal 294 Acara pra-penyerahan 1. Suatu pengadilan atau mahkamah yang ditentukan dalam pasal 287 yang terhadapnya diajukan suatu permohonan berkenaan dengan sengketa yang dimaksud dalam pasal 297 harus menentukan atas permintaan suatu pihak, atau dapat menentukan proprio motu, apakah gugatan itu merupakan suatu penyalah-gunaan proses hukum atau apakah gugatan-gugatan itu prima facie cukup beralasan. Apabila pengadilan atau mahkamah menetapkan bahwa gugatan itu merupakan suatu penyalah gunaan proses hukum atau apakah gugatan itu. Prima facie tidak beralasan, maka pengadilan atau mahkamah tidak boleh mengambil tindakan selanjutnya dalam perkara ini. 2. Selanjutnya menerima permohonan itu, pengadilan atau mahkamah harus segera memberitahukan pihak atau para pihak lain mengenai permohonan tersebut, dan harus menetapkan jangka waktu yang pantas dalam waktu mana mereka dapat mengajukan permohonan kepadanya untuk membuat suatu penetapan sesuai dengan ayat 1. 3. Tidak satupun dalam pasal ini yang mengurangi hak setiap pihak dalam sengketa untuk mengajukan keberatan praperadilan sesuai dengan ketentuan-ketentuan prosedur yang berlaku. Pasal 295 Penggunaan secara tuntas upaya setempat Setiap sengketa antara Negara-negara Peserta perihal interprestasi atau penerapan Konvensi ini dapat diserahkan pada prosedur yang ditentukan dalam bagian ini hanya setelah upaya setempat telah digunakan secara tuntas dimana hal ini disyaratkan oleh hukum internasional. Pasal 296 Sifat tingkat akhir dan kekuatan mengikat keputusan-keputusan 1. Setiap keputusan yang diajukan oleh pengadilan atau mahkamah yang mempunyai yurisdiksi berdasarkan bagian ini bersifat tingkat akhir dan harus dipatuhi oleh semua pihak dalam sengketa. 2. Setiap keputusan demikian tidak mempunyai kekuatan mengikat kecuali antara para pihak dan berkenaan dengan sengketa yang tertentu itu. BAGIAN 3. PEMBATASAN-PEMBATASAN DAN PENGECUALIAN-PENGECUALIAN TERHADAP BERLAKUNYA BAGIAN 2 Pasal 297 Pembatasan-pembatasan terhadap berlakunya bagian 2 1. Sengketa-sengketa mengenai interpretasi atau penerapan Konvensi ini berkenaan dengan pelaksanaan hak-hak berdaulat atau yurisdiksi suatu negara pantai sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini, harus tunduk pada prosedur-prosedur sebagaimana ditetapkan dalam bagian 2 dalam hal-hal sebagai berikut : (a) apabila dituduhkan bahwa suatu Negara pantai telah bertindak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini bertalian dengan dengan kebebasan-kebebasan dan hak-hak pelayaran atau penerbangan atau hak memasang kabel dan saluran pipa dasar laut, atau bertalian dengan penggunaan lain dari laut secara internasional yang sah sebagaimana ditentukan dalam pasal 58; (b) apabila dituduhkan bahwa suatu Negara dalam melaksanakan kebebasan-kebebasan, hak-hak atau pemakaian-pemakaian tersebut terdahulu telah bertindak bertentangan dengan Konvensi ini atau dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Negara pantai sesuai dengan Konvensi ini dan ketentuan-ketentuan lain hukum internasional yang tidak bertentangan dengan Konvensi ini; atau (c) apabila dituduhkan bahwa suatu Negara pantai telah bertindak bertentangan dengan peraturan dan standar-standar internasional yang telah ditentukan untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan lautyang berlaku bagi Negara pantai tersebut dan yang telah ditetapkan oleh Konvensi ini atau melalui organisasi internasional yang kompeten atau konperensi diplomatik sesuai dengan Konvensi ini. 2. (a) Sengketa perihal interpretasi atau penerapan ketentuan Konvensi ini berkenaan dengan riset ilmiah kelautan harus diselesaikan sesuai dengan bagian 2, kecuali bahwa Negara pantai tidak diwajibkan untuk menerima diserahkannya pada penyelesaian sengketa demikian setiap sengketa yang timbul dari : (i) pelaksanaan suatu hak atau diskresi (discretion) oleh Negara pantai sesuai dengan pasal 246; atau (ii) suatu keputusan Negara pantai untuk memerintahkan penangguhan atau penghentian suatu proyek riset sesuai dengan pasal 246; atau (b) suatu sengketa yang timbul dari suatu tuduhan oleh Negara yang melakukan riset bahwa berkenaan dengan suatu proyek tertentu Negara pantai tidak melaksanakan hak-haknya berdasarkan pasal 246 dan 253 dengan cara yang sejalan dengan Konvensi ini akan diserahkan, atas permintaan salah satu pihak, pada konsiliasi berdasarkan ketentuan-ketentuan Lampiran V, bagian 2, dengan ketentuan bahwa panitia konsiliasi tidak dapat mempersoalkan pelaksanaan diskresi oleh Negara pantai untuk menunjuk daerah-daerah tertentu sebagaimana tersebut dalam pasal 246 ayat 6, atau diskresi oleh Negara pantai untuk tidak memberikan persetujuannya sesuai dengan ketentuan pasal 246 ayat 5. 3.-- (a) Sengketa perihal interpretasi atau penerapan ketentuan Konvensi ini berkenaan dengan perikanan harus diselesaikan sesuai dengan bagian 2, kecuali bahwa Negara pantai tidak diwajibkan untuk menerima diserahkannya pada cara penyelesaian demikian setiap sengketa yang bertalian dengan hak-hak berdaulatnya berkenaan dengan sumber kekayaan hayati ini zona ekonomi eksklusif atau pelaksanaan diskresinya (discretionary powers) untuk menetapkan jumlah yang dapat ditangkap (allowwable catch), kapasitasnya untuk menangkap alokasi surplus kepada Negara lain dan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangannya tentang konservasi dan pengelolaan; (b) Dalam hal tidak tercapai suatu penyelesaian dengan ditempuhnya cara yang tercantum dalam bagian 1 Bab ini, maka suatu sengketa harus diserahkan pada konsiliasi berdasarkan Lampiran V, bagian 2, atas permintaan pihak manapun dalam sengketa, apabila dituduhkan bahwa : (i) suatu Negara pantai jelas-jelas telah gagal untuk mematuhi kewajiban-kewajibannya untuk menjamin melalui tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat bahwa pemeliharaan sumber kekayaan hayati dalam zona ekonomi eklusif telah tidak sungguh-sungguh dibahayakannya; (ii) suatu Negara pantai telah semena-mena menolak untuk menetapkan, atas permintaan Negara lain jumlah yang dapat ditangkap dan kapasitasnya untuk menangkap sumber kekayaan hayati berkenaan dengan stok-stok yang Negara lain itu berkepentingan untuk menangkapnya; atau (iii) suatu Negara pantai telah dengan semena-mena menolak untuk mengalokasikan kepada suatu Negara, berdasarkan pasal pasal 62,69 dan 70 dan berdasarkan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan Konvensi ini, keseluruhan atau sebagian dari surplus yang telah dinyatakan ada. (c) Panitia konsiliasi bagaimanapun juga tidak boleh menempatkan diskresinya sebagai pengganti bagi diskresi Negara pantai; (d) Laporan panitia konsiliasi bagaimanapun juga harus dikomunikasikan kepada organisasi internasional yang tepat; (e) Dalam merundingkan persetujuan-persetujuan menurut pasal-pasal 69 dan 70, Negara-negara Peserta, kecuali jika mereka menyepakati secara lain, harus mencantumkan suatu ketentuan mengenai tindakan-tindakan yang akan mereka ambil untuk mengurangi kemungkinan terjadinya suatu perselisihan perihal interpretasi dan penerapan daripada persetujuan tersebut, dan mengenai bagaimana mereka akan bertindak apabila timbul juga suatu perselisihan. Pasal 298 Pengecualian-pengecualian opsional terhadap berlakunya bagian 2 1. Pada saat menandatangani, meratifikasi atau aksesi pada Konvensi ini atau pada setiap saat sesudah itu, suatu Negara dapat, tanpa mengurangi kewajiban-kewajibannya yang timbul berdasarkan bagian 1, menyatakan secara tertulis bahwa ia tidak menerima salah satu atau lebih daripada prosedur-prosedur yang ditentukan dalam bagian 2 berkenaan dengan salah satu atau lebih daripada kategorikategori sengketa yang berikut : (a)---(i) sengketa perihal interpretasi atau penerapan pasal pasal 15, 74dan 83 yang bertalian dengan penetapan perbatasan laut, atau sengketa yang menyangkut teluk bersejarah atau hak sejarah dengan ketentuan-ketentuan bahwa suatu Negara yang telah membuat pernyataan demikian harus, apabila sengketa demikian timbul setelah mulai berlakunya Konvensi ini dan dalam hal tidak tercapainya suatu persetujuan dalam perundingan-perundingan diantara para pihak, atas permintaan salah satu masalah itu pada konsiliasi menurut Lampiran V, bagian 2; dan dengan ketentuan pula (lebih lanjut) bahwa setiap sengketa yang dengan sendirinya (bagaimanapun juga) mencakup dipertimbangkannya secara bersamaan sesuatu sengketa yang belum terselesaikan berkenaan dengan kedaulatan atau hak-hak lain atas wilayah daratan atau pulau dikecualikan dari penyerahan perkara demikian; (ii) setelah Panitia pendamai menyampaikan laporannya, yang harus mencantumkan alasan-alasan yang menjadi dasarnya itu, maka para pihak yang bersengketa harus merundingkan suatu persetujuan berdasarkan laporan itu; apabila perundinganperundingan ini tidak menghasilkan suatu persetujuan, maka para pihak atas persetujuan bersama, harus menyerahkan masalah itu pada salah satu prosedur yang ditetapkan dalam bagian 2, kecuali jika para pihak bersepakat secara lain; (iii) sub-ayat ini tidak berlaku bagi setiap sengketa perbatasan laut yang telah diselesaikan secara tuntas dengan suatu pengaturan antara pihak atau bagi sesuatu sengketa demikian yang harus diselesaikan sesuai dengan suatu perjanjian bilateral atau multilateral yang mengikat bagi para peihak tersebut. (b) sengketa mengenai kegiatan-kegiatan militer, termasuk kegiatan-kegiatan militer oleh kapal-kapal dan pesawat udara pemerintah yang melakukan dinas non-komersial, dan sengketa perihal kegiatan-kegiatan penegakan hukum berkenaan dengan pelaksanaan hak-hak berdaulat atau yurisdiksi yang dikecualikan dari yurisdiksi suatu pengadilan atau mahkamah berdasarkan pasal 297 ayat 2 atau 3; (c) sengketa-sengketa yang berhubungan dengan mana Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa sedang melaksanakan fungsi-fungsi sebagaimana ditentukan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, kecuali jika Dewan Keamanan memutuskan untuk menghapuskan perkara itu dari agendanya atau menyerukan kepada para pihak untuk menyelesaikannya dengan cara yang ditentukan dalam Konvensi ini. 2. Suatu Negara Peserta yang telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1 dapat setiap waktu menariknya kembali, atau menyetujui untuk menyerahkan suatu sengketa yang dikecualikan oleh pernyataan demikian kepada suatu prosedur yang ditentukan dalam Konvensi ini. 3. Suatu Negara Peserta yang telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1 tidak berhak untuk menyerahkan sesuatu sengketa yang termasuk kategori sengketa yang dikecualikan tersebut kepada salah satu prosedur dalam konvensi ini melawan Negara Peserta lain, tanpa persetujuan pihak itu. 4. Apabila salah satu Negara Peserta telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1 (a) setiap negara Peserta lain dapat menyerahkan sesuatu sengketa yang termasuk suatu kategori yang dikecualikan melawan pembuat pernyataan itu pada prosedur yang disebut dalam pernyataan demikian. 5. Suatu pernyataan baru, atau penarikan kembali suatu pernyataan, sebagaimanapun juga tidak mempengaruhi penyelesaian perkara yang sedang berjalan di hadapan suatu pengadilan atau mahkamah sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal ini, kecuali apabila para pihak bersepakat secara lain. 6. Pernyataan dan pengumuman penarikan kembali pernyataan berdasarkan pasal ini harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan meneruskan copynya kepada Negara-negara Peserta. Pasal 299 Hak-hak para peserta untuk menyetujui suatu prosedur 1. Satu sengketa yang dikecualikan berdasarkan pasal 297 atau dikecualikan dengan suatu pernyataan yang dibuat berdasarkan pasal 298 dari prosedur-prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana ditentukan dalam bagian 2, dapat diserahkan pada prosedur-prosedur demikian hanya dengan persetujuan para pihak dalam sengketa. 2. Tiada satupun dalam bagian ini mengurangi hak para pihak lain dalam sengketa untuk menyetujui sesuatu prosedur lain untuk menyelesaikan sengketa demikian atau untuk mencapai suatu penyelesaian yang bersahabat. BAB XVI KETENTUAN UMUM Pasal 300 Itikad baik dan penyalahgunaan hak Negara-negara Peserta harus memenuhi dengan itikad baik kewajiban-kewajiban yang dipikulkan berdasarkan Konvensi ini dan harus melaksanakan hak-hak, yurisdiksi dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Konvensi ini dengan cara yang tidak akan merupakan suatu penyalahgunaan hak. Pasal 301 Penggunaan laut untuk maksud-maksud damai Dalam melaksanakan hak-hak dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya berdasarkan Konvensi ini, Negara-negara Peserta harus menghindarkan diri dari setiap penggunaan ancaman atau kekerasan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara manapun atau dengan cara lain apapun yang tercantum tidak konsisten dengan azas-azas hukum internasional yang terkandung dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 302 Pengungkapan informasi Dengan tidak mengurangi hak suatu Negara Peserta untuk menempuh prosedur-prosedur penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Konvensi ini, tidak satupun ketentuan dalam Konvensi ini harus diartikan mengharuskan suatu Negara Peserta, dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan ketentuan Konvensi ini, untuk memberikan informasi yang pengungkapannya bertentangan dengan kepentingan essensial keamanannya. Pasal 303 Benda-benda purbakala dan benda-benda bersejarah yang ditemukan di laut 1. Negara-negara berkewajibn untuk melindungi benda-benda purbakala dan benda-benda bersejarah yang ditemukan di laut dan harus bekerja sama untuk tujuan ini. 2. Untuk mengendalikan peredaran benda-benda demikian Negara pantai dapat, dalam menerapkan pasal 33, menganggap bahwa diambilnya benda-benda tersebut dari dasar laut dalam daerah yang dimaksudkan dalam pasal itu, tanpa persetujuan Negara pantai bersangkutan akan merupakan suatu pelanggaran dalam wilayah atau laut teritorialnya, terhadap hukum dan peraturan-peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan dalam pasal tersebut. 3. Tiada satupun dalam pasal ini mempengaruhi hak-hak para pemilik yang dapat dikenai hukum pengangkatan kerangka kendaraan air atau lain-lain peraturan tentang pelayaran atau hukum dan praktek yang berkenaan dengan pertukaran kebudayaan. 4. Pasal ini tidak mengurangi arti daripada perjanjian-perjanjian internasional dan peraturan hukum internasional lainnya perihal perlindungan benda-benda purbakala dan benda-benda bersejarah. Pasal 304 Tanggungjawab dan kewajiban untuk ganti rugi Ketentuan-ketentuan Konvensi ini yang berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk ganti rugi tidak mengurangi berlakunya peraturan-peraturan yang ada dan pengembangan peraturan-peraturan lebih lanjut perihal tanggung jawab dan kewajiban untuk ganti rugi berdasarkan hukum internasional. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 305 Penandatanganan 1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh : (a) semua negara; (b) Namibia, diwakili oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Namibia; (c) semua negara yang berpemerintahan sendiri yang berasosiasi dengan negara lain yang telah memilih status itu dalam suatu tindakan penentuan nasib sendiri yang diawasi dan disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan Resolusi Majelis Umum 1514 (XV) dan yang mempunyai kompetensi atas masalah-masalah yang diatur oleh Konvensi ini, teramsuk kompetensi untuk ikut serta dalam perjanjian-perjanjian yang bertalian dengan masalah-masalah itu; (d) semua negara yang berpemerintahan sendiri yang berasosiasi dengan Negara lain yang sesuai dengan piagam asosiasi masing-masing, mempunyai kompetensi atas masalah-masalah yang diatur oleh Konvensi ini, termasuk kompetensi untuk ikut serta dalam perjanjian-perjanjian yang bertalian dengan masalah-masalah itu; (e) semua wilayah yang menikmati pemerintahan sendiri dalam negeri secara penuh, diakui secara demikian oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, tetapi tidak mencapai kemerdekaan penuh sesuai dengan Resolusi Majelis Umum 1514 (XV) dan yang mempunyai kompetensi atas masalah-masalah yang diatur oleh Konvensi ini, termasuk kompetensi untuk ikut serta dalam perjanjian-perjanjian yang bertalian dengan masalah-masalah itu; (f) organisasi-organisasi internasional, sesuai dengan Lampiran IX. 2. Konvensi ini tetap terbuka untuk penandatanganan hingga 9 Desember 1984 pada Kementrian Luar Negeri Jamaica dan juga, sejak 1 Juli 1983 hingga 9 Desember 1984, pada Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Pasal 306 Ratifikasi dan konfirmasi formal Konvensi ini memerlukan ratifikasi oleh Negara-negara dan satuan-satuan lainnya yang dimaksudkan dalam pasal 305 ayat 1 (b), (c), (d) dan (e), pada konfirmasi formal, sesuai dengan Lampiran IX, oleh badan-badan, satuan-satuan yang dimaksudkan dalam pasal 305 ayat 1 (f). Piagam Ratifikasi dan konfirmasi formal harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 307 A k s e s i Konvensi ini tetap terbuka untuk aksesi oleh Negara-negara dan satuan-satuan lain yang dimaksud dalam pasal 305. Aksesi oleh satuan-satuan yang dimaksudkan dalam pasal 305 ayat 1 (f), harus sesuai dengan Lampiran IX. Piagam Aksesi harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 308 Saat mulai berlaku 1. Konvensi ini berlaku 12 (dua belas) bulan setelah tanggal pendepositan piagam tarifikasi atau aksesi yang ke-60. 2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi atau aksesi pada Konvensi ini setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi, Konvensi mulai berlaku pada hari ketigapuluh setelah saat pendepositan piagam ratifikasi atau aksesinya, dengan tunduk pada ketentuan ayat 1. 3. Majelis Otorita harus bersidang pada tanggal mulai berlakunya Konvensi ini dan harus memilih Dewan Otorita Dewan yang pertama harus dibentuk dengan cara yang konsisten dengan tujuan pasal 161 bila ketentuan pasal tersebut tidak dapat diterapkan secara murni. 4. Ketentuan-ketentuan, peraturan-peaturan dan prosedur prosedur yang dirancang Komisi Persiapan harus diterapkan secara provosional sambil menunggu penerimaannya secara resmi oleh Otorita sesuai dengan Bab XI. 5. Otorita dan badan-badannya harus bertindak sesuai dengan Resolusi II Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut yang bertalian dengan investasi, pesiapan dan keputusan-keputusan Komisi Persiapan yang diambil menurut resolusi tersebut. Pasal 309 Persyaratan dan pengecualian Tidak ada persyaratan atau pengecualian yang dapat diajukan terhadap Konvensi ini kecuali secara tegas diijinkan oleh pasal-pasal lain Konvensi ini. Pasal 310 Deklarasi dan Pernyataan Pasal 309 tidak menghalangi suatu Negara untuk, ketika menandatangani, meratifikasi atau aksesi pada Konvensi ini, membuat deklarasi-deklarasi atau pernyataan-pernyataan, bagaimanapun dirumuskan atau dinamakan, dengan maksud, inter alia, untuk menyelaraskan hukum dan perundang-undangannya dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini, asalkan deklarasi atau pernyataan demikian tidak dimaksudkan untuk mengenyampingkan atau merubah akibat hukum daripada ketentuan-ketentuan Konvensi ini dalam penerapannya terhadap Negara tersebut. Pasal 311 Hubungan dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional yang lain 1. Terhadap Negara-negara Peserta, Konvensi ini harus diutamakan atas Konvensi-konvensi Jenewa mengenai Hukum Laut 29 April 1958. 2. Konvensi ini tidak merubah hak-hak dan kewajiban-kewajiban Negara-negara Peserta yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain yang sejalan dengan Konvensi ini dan yang tidak mempengaruhi dinikmatinya hak-hak atau pelaksanaan kewajiban-kewajiban oleh Negara-negara Peserta lain berdasarkan Konvensi ini. 3. Dua atau lebih Negara Peserta dapat membuat perjanjian-perjanjian yang merubah atau menunda berlakunya ketentuan-ketentuan Konvensi ini, yang dapat diterapkan hanya terhadap hubungan antara mereka, asalkan perjanjian demikian tidak berkenaan dengan suatu ketentuan yang penyimpangan dari padanya tidak sejalan dengan pelaksanaan yang efektif dan maksud serta tujuan Konvensi ini, dan asalkan selanjutnya perjanjian-perjanjian demikian tidak mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalam Konvensi ini, dan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian demikian tidak mempengaruhi dinikmatinya hak-hak atau pelaksanaan kewajibankewajiban berdasarkan Konvensi ini oleh Negara Peserta lain. 6. Negara-negara Peserta bersepakat bahwa tidak akan ada amandemen terhadap prinsip dasar yang berhubungan dengan warisan bersama umat manusia yang diatur dalam pasal 136 dan bahwa mereka tidak akan menjadi peserta pada perjanjian apapun yang menyimpang dari padanya. Pasal 312 Amandemen 1. Setelah berakhirnya suatu periode 10 tahun sejak tanggal berlakunya Konvensi ini, suatu Negara Peserta dapat mengusulkan secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, amandemen-amandemen tertentu terhadap Konvensi ini, lain daripada yang bertalian dengan kegiatan di Kawasan, dan meminta untuk diselenggarakannya suatu konperensi untuk membahas amandemen-amandemen yang diusulkan itu Sekretaris Jenderal harus mengedarkan usul tersebut kepada semua Negara Peserta. Jika dalam 12 bulan sejak tanggal diadakannya usul tersebut, tidak kurang dari setengah Negara-negara Peserta memberi jawaban yang mendukung permintaan itu, Sekretaris Jenderal harus menyelenggarakan konperensi tersebut. 2. Prosedur pengambilan keputusan yang diterapkan pada konperensi yang membahas amandemen harus sama dengan yang diterapkan pada konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut kecuali jika diputuskan lain oleh konperensi. Konperensi harus berusaha mencapai kesepakatan terhadap amandemen dengan cara konsensus dan tidak boleh ada pemungutan suara terhadap amandemen-amandemen tersebut sampai segala usaha untuk mencapai konsensus telah habis ditempuh. Pasal 313 Amandemen dengan prosedur yang disederhanakan 1. Suatu Negara Peserta dapat mengusulkan secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, suatu amandemen terhadap Konvensi, lain daripada suatu amandemen yang bertalian dengan kegiatan di Kawasan, untuk diterima dengan prosedur yang disederhanakan yang ditentukan dalam pasal ini tanpa menyelenggarakan suatu konperensi. Sekretaris Jenderal harus mengedarkan usul tersebut kepada semua Negara Peserta. 2. Jikalau, dalam suatu periode 12 bulan sejak tanggal diedarkannya usul tersebut, suatu Negara Peserta mengajukan keberatan terhadap amandemen yang diusulkan itu atau terhadap usul untuk menerimanya dengan prosedur yang disederhanakan, maka amandemen tersebut harus dianggap ditolak Sekretaris Jenderal harus segera memberitahukan kepada semua Negara Peserta bahwa amandemen yang diusulkan itu telah diterima. 3. Jikalau, 12 bulan sejak tanggal diedarkannya usul tersebut, tidak ada Negara Peserta yang mengajukan keberatan terhadap usul amandemen yang diusulkan itu atau terhadap itu harus dianggap diterima. Sekretaris Jenderal harus memberitahukan kepada semua Negara Peserta bahwa amandemen yang diusulkan itu telah diterima. Pasal 314 Amandemen-amandemen terhadap konvensi-konvensi ini yang secara ekskusif bertalian dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan 1. Suatu Negara Peserta dapat mengusulkan secara tertulis kepada Sekretaris Jenderal Otorita suatu amandemen terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi ini yang secara eksklusif bertalian dengan kegiatan-kegiatan di kawasan termasuk Lampiran VI bagian 4. Sekretaris Jenderal harus mengedarkan usul tersebut kepada semua Negara Peserta. Amandemen yang diusulkan itu harus tunduk pada persetujuan oleh Majelis setelah amandemen itu disetujui oleh Dewan. Wakil-wakil Negara-negara Peserta dalam badan-badan tersebut harus mempunyai kekuasaan penuh untuk membicarakan dan menyetujui amandemen yang diusulkan itu. Amandemen yang diusulkan itu sebagaimana disetujui oleh Dawan dan Majelis harus dianggap diterima. 2. Sebelum disetujuinya suatu amandemen berdasarkan ayat 1, Dewan dan Majelis harus menjamin bahwa amandemen itu tidak merugikan sistem eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan Kawasan, sambil menunggu Konperensi Peninjauan Kembali sesuai dengan pasal 155. Pasal 315 Penandatanganan, ratifikasi aksesi pada dan naskah otentik amandemen 1. Sekali diterima, amandemen-amandemen terhadap Konvensi ini harus terbuka bagi penandatanganan oleh Negaranegara Peserta selama 12 bulan sejak tanggal diterima, pada Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, kecuali ditentukan lain dalam amandemen itu sendiri. 2. Pasal 306, 307 dan 320 berlaku untuk semua amandemen terhadap Konvensi ini. Pasal 316 Mulai berlakunya amandemen 1. Amandemen-amandemen terhadap Konvensi ini, selain daripada yang dimaksudkan dalam ayat 5, harus mulai berlaku bagi Negara-negara Peserta yang meratifikasi atau mengaksesinya pada hari ke tigapuluh setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi oleh dua pertiga Negara-negara Peserta atau oleh 60 Negara-negara Peserta, tergantung mana yang lebih besar jumlahnya. Amandemen demikian tidak mempengaruhi dinikmatinya hak-hak atau pelaksanaan kewajiban-kewajiban oleh Negara-negara Peserta lain berdasarkan Konvensi ini. 2. Suatu amandemen dapat menentukan bahwa untuk mulai belakunya amandemen itu diperlukan jumlah ratifikasi atau aksesi yang lebih besar daripada yang disyaratkan oleh pasal ini. 3. Bagi setiap Negara Peserta yang meratifikasi atau mengaksesi suatu amandemen yang dimaksudkan dalam ayat 1 setelah pendepositan jumlah piagam ratifikasi atau aksesi yang disyaratkan, amandemen itu mulai berlaku pada hari ke tigapuluh setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesinya. 4. Suatu Negara yang menjadi Peserta pada Konvensi ini setelah mulai berlakunya suatu amandemen sesuai dengan ayat 1 harus, jika tidak ada suatu pernyataan niat yang berbeda oleh Negara tersebut : (a) dianggap sebagai Peserta pada Konvensi ini sebagaimana telah diamandemen; dan (b) dianggap sebagai Peserta pada Konvensi yang belum diamandemenkan dalam hubungan dengan sesuatu Negara Peserta yang tidak terikat pada amandemen itu. 5. Amandemen apapun yang bertalian secara eksklusif dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan dan amandemen apapun terhadap Lampiran VI harus mulai berlaku terhadap semua Negara Peserta satu tahun setelah pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi oleh tiga perempat Negara-negara Peserta. 6. Suatu Negara yang menjadi Peserta pada Konvensi ini setelah mulai berlakunya amandemen-amandemen sesuai dengan ayat 5 harus dianggap sebagai Peserta pada Konvensi ini sebagaimana telah diamandemen. Pasal 317 Penyangkalan 1. Suatu Negara Peserta dapat dengan pemberitahuan secara tertulis yang dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyangkal Konvensi ini dan dapat mengemukakan alasannya. Tidak adanya alasan yang dikemukakan tidak mempengaruhi keabsahan penyangkalan itu. Penyangkalan tersebut mulai berlaku satu tahun setelah tanggal diterimanya pemberitahuan itu, kecuali jika pemberitahuan itu menyebutkan tanggal yang kemudian. 2. Suatu Negara tidak dibebaskan, dengan alasan penyangkalan itu, dari kewajiban-kewajiban finansial dan kontraktual yang timbul pada waktu ia menjadi Peserta pada Konvensi ini, tidak pula penyangkalan itu mempengaruhi hak, kewajiban atau keadaan hukum apapun dari Negara itu yang timbul melalui pelaksanaan Konvensi ini, sebelum Konvensi ini berhenti berlaku bagi Negara itu. 3. Penyangkalan itu dengan cara apapun tidak mempengaruhi tugas Negara Peserta manapun untuk memenuhi kewajiban apapun yang terkandung dalam Konvensi ini untuk mana Negara tersebut tunduk pada hukum internasional terlepas dari Konvensi ini. Pasal 318 Status Lampiran Lampiran merupakan bagian integral Konvensi ini dan, kecuali dengan tegas ditentukan lain, suatu penunjukan kepada Konvensi ini atau kepada salah satu Bab-nya termasuk penunjukan kepada Lampiran-lampiran yang bertalian dengannya. Pasal 319 Penyimpanan 1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah penyimpan Konvensi ini dan amandemen-amandemen terhadapnya. 2. Disamping fungsinya sebagai depositari Sekretaris Jenderal harus : (a) melaporkan kepada semua Negara Peserta, Otorita dan organisasi interna-sional yang kompeten, mengenai masalah yang bersifat umum yang timbul berkenaan dengan Konvensi ini; (b) memberitahukan Otorita sebaik mengenai ratifikasi dan konfirmasi formal dan aksesi pada Konvensi ini serta amandemen terhadapnya, maupun mengenai penyangkalan terhadap Konvensi ini; (c) memberitahukan Negara-negara Peserta mengenai persetujuan-persetujuan sesuai dengan Pasal 311 ayat 4; (d) mengedarkan amandemen-amandemen yang telah diterima sesuai dengan Konvensi ini kepada Negara-negara Peserta untuk keperluan ratifikasi atau aksesi; (e) menyelenggarakan pertemuan Negara-negara Peserta yang diperlukan sesuai dengan Konvensi ini. 3.-- (a) Sekretaris Jenderal juga harus menyampaikan kepada para peninjau yang dimaksud dalam pasal 156 : (i) laporan-laporan dimaksud dalam ayat 2 (a); (ii) pemberitahuan-pemberitahuan yang dimaksud dalam ayat 2 (b) dan (c); dan (iii) naskah amandemen yang dimaksud dalam ayat 2 (d), untuk informasi bagi mereka. (b) Sekretaris Jenderal harus pula mengundang para peninjau tersebut untuk berpartisipasi sebagai peninjau pada pertemuan-pertemuan Negara-negara Peserta yang dimaksud dalam ayat 2 (e). Pasal 320 Naskah Otentik Asli Konvensi ini, yang naskahnya dalam bahasa Arab, Tionghoa, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol adalah sama-sama otentik, harus, dengan tunduk pada pasal 305 ayat 2, didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. SEBAGAI TANDA BUKTI, yang Berkuasa Penuh yang bertandatangan di bawah ini, yang dikuasakan sebagaimana mestinya untuk itu, telah menandatangani Konvensi ini. DIBUAT DI MONTEGO BAY, pada tanggal sepuluh bulan Desember, tahun seribu sembilan ratus delapan puluh dua. (Sumber:http://id.wikisource.org/wiki/Konvensi_Perserikatan_Bangsa-Bangsa_tentang_Hukum_Laut Persetujuan terkait dengan Implementasi Bab XI Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 10 Desember 1982 (1994) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, diterjemahkan oleh Wikisource Negara-negara Peserta pada Persetujuan ini, MENGAKUI pentingnya sumbangan dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 (selanjutnya disebut sebagai "Konvensi") di dalam memelihara perdamaian, keadilan dan kemajuan bagi seluruh umat manusia di dunia. MENEGASKAN kembali bahwa dasar laut dan dasar samudera serta tanah dibawahnya yang berada di luar batas-batas yurisdiksi nasional (selanjutnya disebut sebagai “Kawasan”) serta sumber-sumber daya yang ada di Kawasan adalah merupakan warisan bersama umat manusia. MEMPERHATIKAN pentingnya Konvensi bagi perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dan semakin meningkatnya keprihatinan terhadap lingkungan global. MEMPERTIMBANGKAN laporan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai hasil-hasil konsultasi informasi antara Negara-negara yang diadakan dari tahun 1990 hingga 1994 tentang masalah-masalah penting yang berkaitan dengan Bab XI dan ketentuan-ketentuan Konvensi yang terkait (selanjutnya disebut sebagai “Bab XI”) MENCATAT bahwa perubahan-perubahan politik dan ekonomi, termasuk pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pasar mempengaruhi pelaksanaan Bab XI. BERKEINGINAN untuk mengusahakan partisipasi universal terhadap Konvensi. MEMPERTIMBANGKAN bahwa adanya persetujuan mengenai penerapan Bab XI akan dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut. TELAH MENYETUJUI hal-hal berikut : Pasal 1 Pelaksanaan Bab XI 1. Negara-negara Peserta pada Persetujuan ini akan melaksanakan Bab XI sesuai dengan persetujuan ini. 2. Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Persetujuan ini. Pasal 2 Hubungan antara Persetujuan ini dan Bab XI 1. Ketentuan-ketentuan Persetujuan ini dan Bab XI harus ditafsirkan dan diterapkan bersama-sama sebagai salah satu dokumen. Dalam hal terjadinya ketidaksesuaian antara Persetujuan ini dengan Bab XI, maka ketentuan-ketentuan dari Persetujuan ini yang harus diberlakukan. 2. Pasal-pasal 309 sampai dengan 319 Konvensi harus diberlakukan terhadap Persetujuan ini seperti yang diberlakukan terhadap Konvensi. Pasal 3 Penandatanganan Persetujuan ini tetap terbuka untuk penandatanganan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa oleh Negara-negara dan entiti-entiti yang dimuat dalam pasal 305, paragraf 1(a), (c), (d), (e) dan (f) Konvensi untuk jangka waktu 12 bulan sejak tanggal penerimaannya. Pasal 4 Persetujuan untuk Terikat 1. Setelah penerimaan Persetujuan ini, setiap piagam pengesahan atau konfirmasi formal atau aksesi terhadap Konvensi harus juga dianggap merupakan persetujuan untuk terikat pada Persetujuan ini. 2. Tidak ada satupun negara atau entiti dapat mengikatkan diri pada Persetujuan ini kecuali negara atau entiti itu sebelumnya atau dalam waktu yang bersamaan telah mengikatkan diri pada Konvensi. 3. Suatu Negara atau entiti seperti yang dimuat pada pasal 3 dapat menyatakan keterikatannya pada Persetujuan ini dengan : (a) Penandatanganan tanpa perlu pengesahan, kofirmasi formal atau prosedur seperti yang diatur dalam pasal 5; (b) Penandatanganan dengan pengesahan atau konfirmasi formal, yang dilanjutkan dengan pengesahan atau konfirmasi formal; (c) Penandatanganan dengan tunduk pada prosedur yang diatur pada pasal 5; atau; (d) Aksesi. 4. Konfirmasi formal oleh entiti-entiti yang dimuat dalam 305, paragraf 1 (f) Konvensi harus sesuai dengan Lampiran IX Konvensi. 5. Piagam-piagam pengesahan, konfirmasi formal atau aksesi harus disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 5 Prosedur Yang Disederhanakan 1. Suatu negara antara entiti yang telah menyimpan piagam pengesahan atau konfirmasi formal atau aksesi terahdap Konvensi sebelum tanggal penerimaan Persetujuan ini dan telah menandatangani Persetujuan ini sesuai dengan pasal 4, paragraf 3 (c), harus dianggap telah mengikatkan dirinya pada Persetujuan ini 12 bulan setelah tanggal penerimaannya, kecuali Negara atau entiti tersebut memberitahukan secara tertulis kepada penyimpanan sebelum tanggal penerimaan dimaksud bahwa negara atau entiti itu tidak akan mengikuti prosedur yang disederhanakan sebagaimana diatur dalam pasal ini. 2. Dalam hal pemberitahuan yang demikian, pengikatan diri terhadap Persetujuan ini harus dilakukan sesuai dengan pasal 4, paragraf 3 (b). Pasal 6 Mulai Berlaku 1. Persetujuan ini mulai berlaku 30 hari setelah tanggal dimana 40 Negara-negara telah menyatakan mengikatkan diri sesuai dengan pasal-pasal 4 dan 5, dengan ketentuan bahwa diantara Negara-negara tersebut terdapat paling tidak tujuh negara yang disebutkan pada paragraf 1 (a) resolusi II Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Ketiga tentang Hukum Laut (selanjutnya disebut sebagai "Resolusi II") dan bahwa setidaknya lima dari Negara-negara dimaksud adalah Negara-negara maju. Apabila persyaratan-persyaratan untuk mulai berlakunya persetujuan ini dapat dipenuhi sebelum tanggal 16 November 1994, maka Persetujuan ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994. 2. Untuk setiap Negara atau entiti yang mengikatkan diri pada Persetujuan ini setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan seperti dimuat pada paragraf I, maka Persetujuan akan mulai berlaku pada hari ke-tigapuluh setelah tanggal pengikatan diri tersebut. Pasal 7 Penerapan Sementara 1. Apabila pada tanggal 16 November 1994 Persetujuan ini belum berlaku secara penuh, maka Persetujuan ini akan diberlakukan secara sementara dengan cara : (a) Negara-negara yang telah menyatakan persetujuannya pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, kecuali Negara yang sebelum tanggal 16 November 1994 memberitahukan penyimpan secara tertulis bahwa negara itu tidak akan menerapkan Persetujuan ini atau negara itu akan menyetujui penerapan sementara hanya setelah penandatanganan atau pemberitahuan secara tertulis; (b) Negara-negara dan entiti-entiti yang menandatangani Persetujuan ini, kecuali Negara atau entiti yang memberitahukan penyimpanan secara tertulis pada saat penanda-tanganan bahwa negara atau entiti tersebut tidak akan menerapkan Persetujuan ini; (c) Negara-negara dan entiti-entiti yang menyatakan persetujuan terhadap penerapan sementara dengan memberitahukan Penyimpanan secara tertulis; (d) Negara-negara yang mengaksesi Persetujuan ini. 2. Semua Negara yang entiti dimaksud harus menerapkan Persetujuan ini secara sementara sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional atau internalnya masing-masing, yaitu sejak tanggal 16 November 1994 atau apabila setelah tanggal tersebut adalah pada tanggal penandatanganan, pemberitahuan persetujuan atau aksesi. 3. Penerapan sementara akan berakhir pada tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini. Dalam hal apapun, penerapan sementara akan berakhir pada tanggal 16 November 1998 apabila pada tanggal tersebut persyaratan sebagaimana diatur pada pasal 6, paragraf 1, mengenai pernyataan untuk terikat terhadap Persetujuan ini oleh paling tidak tujuh Negara-negara (dimana lima diantaranya harus merupakan negara maju) sebagaimana dimaksud pada paragraf 1 (a) resolusi II belum dapat dipenuhi. Pasal 8 Negara-Negara Peserta 1. Untuk keperluan Persetujuan ini, “Negara-negara Peserta” berarti Negara-negara yang telah menyatakan terikat pada Persetujuan ini dan untuk mana Persetujuan ini berlaku. 2. Persetujuan ini berlaku secara “mutatis mutandis” terhadap entiti-entiti sebagaimana dimuat dalam 305, paragraf 1 (c), (d), (e) dan (f) Konvensi yang menjadi Peserta dari Persetujuan ini sesuai dengan kondisi-kondisi yang relevan terhadap masing-masing satuan, dan untuk itu pengertian “Negara-negara Peserta” diterapkan pada entiti-entiti tersebut. Pasal 9 Penyimpanan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah penyimpan dari Persetujuan ini. Pasal 10 Naskah Asli Naskah asli Persetujuan ini, yang dibuat dalam Bahasa Arab, Bahasa Tionghoa, Bahasa Inggeris, Bahasa Rusia dan Bahasa Spanyol merupakan naskah asli yang harus disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. SEBAGAI BUKTI, para Kuasa yang bertandatangan di bawah ini, yang diberi kuasa sebagaimana mestinya untuk itu, telah menandatangani Persetujuan ini. DIBUAT DI NEW YORK, pada hari ke duapuluh delapan bulan Juli, tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh empat. LAMPIRAN BAGIAN 1. PEMBIAYAAN-PEMBIAYAAN TERHADAP NEGARA-NEGARA PESERTA DAN PENGATURAN-PENGATURAN KELEMBAGAAN 1. Badan Otorita Dasar Laut Internasional (selanjutnya disebut sebagai “Otorita”) adalah suatu organisasi dimana Negara-negara Peserta pada Konvensi harus, sesuai dengan rejim untuk Kawasan sebagaimana ditetapkan dalam Bab XI dan Persetujuan ini, mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan di Kawasan, terutama dengan maksud untuk mengelola sumber-sumber daya di Kawasan. Fungsi-fungsi dan wewenang Otorita adalah sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Konvensi Otorita harus memiliki kewenangan-kewenangan yang bersifat insidental, sejalan dengan Konvensi, sebagaimana tercantum secara implisit di dalamnya, dan diperlukan untuk pelaksanaan fungsi dan wewenang dimaksud dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan. 2. Dalam rangka menekan biaya bagi Negara-negara Peserta, semua organ dan badan-badn subsider yang akan dibentuk menurut Konvensi dan Persetujuan ini harus didasarkan pada prinsip penggunaan biaya seefektif mungkin. Prinsip ini juga harus diterapkan terhadap frekuensi, lama dan pengaturan jadwal pertemuan-pertemuan. 3. Penyusunan dan pemberfungsian organ-organ dan badan-badan Otorita harus didasarkan pada pendekatan yang bersifat evolusioner, dengan mempertimbang-kan keperluan-keperluan fungsional dan organ-organ dan badanbadan subsider tersebut agar mereka dapat melaksanakan tanggungjawabnya secara efektif pada berbagai tahapan perkembangan kegiatan-kegiatan di Kawasan. 4. Fungsi-fungsi awal Otorita dengan mulai berlakunya Konvensi harus dilaksanakan oleh Majelis, Dewan, Sekretariat, Komisi Hukum dan Teknik serta Komite Keuangan. Fungsi-fungsi dari Komisi Perencanaan Ekonomi harus dilaksanakan oleh Komisi Teknik dan Hukum sampai suatu waktu Dewan memutuskan sebaliknya atau hingga disetujuinya rencana kerja awal untuk suatu kegiatan eksploitasi. 5. Antara tenggang waktu mulai berlakunya Konvensi dengan persetujuan rencana kerja pertama untuk eksploitasi, Otorita harus memusatkan diri pada hal-hal berikut : (a) Memproses permohonan persetujuan rencana kerja untuk kegiatan eksplorasi sesuai dengan Bab XI dan Persetujuan ini; (b) Pelaksanaan keputusan-keputusan dari Komisi Persiapan untuk Pembentukan Otorita Dasar Laut Internasional dan Mahkamah Internasional. Untuk Hukum Laut (selanjutnya disebut sebagai “Komisi Persiapan”) yang berkaitan dengan para investor pionir yang terdaftar dan Negara-negara yang memberikan sertifikat kepada mereka, termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban investor pionir tersebut, sesuai dengan pasal 308, paragraf 5 Konvensi dan resolusi II, paragraf 13; (c) Memantau pentaatan rencana kerja eksplorasi yang disetujui dalam bentuk kontrak-kontrak; (d) Memantau dan meninjau kembali terhadap kecenderungan dan perkembangan-perkembangan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan penambahan samudera dalam, termasuk analisa reguler atas kondisi-kondisi pasardan harga logam dunia, kecenderungan dan prospek-prospeknya; (e) Mengkaji dampak potensial produksi mineral dari Kawasan terhadap keadaan ekonomi negara-negara penghasil mineral-mineral yang berasal dari daretan yang tampaknya akan sangat terkena dampaknya secara serius, dengan maksud untuk mengurangi pada tingkat minimal kesulitan-kesulitan yang mereka alami dan untuk membantu mereka dalam penyesuaian ekonominya, dengan mempertimbangkan penyelesaian pekerjaan yang dalam hal ini dilakukan oleh Komisi Persiapan; (f) Penerimaan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di Kawasan sejalan dengan perkembangannya. Dengan tidak bertentangan dengan ketentuan pada Lampiran III, pasal 17, paragraf 2 (b) dan (c) Konvensi, ketentuan-ketentuan, peraturanperaturan dan prosedur-prosedur tersebut harus mempertimbangkan peraturan Persetujuan ini, perpanjangan penundaan dalam penambangan samudera dalam secara komersial dan kemungkinan laju kegiatan-kegiatan serupa di Kawasan. (g) Penerimaan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan dan prosedur-prosedur berkaitan dengan standarstandar yang dapat diterapkan bagi perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; (h) Memajukan dan mendorong pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan yang berkaitan dengan kegiatan-kegaitan di Kawasan dan pengumpulan serta penyebarluasan hasil-hasil kegiatan riset dan analisa tersebut, apabila tersedia, dengan penekanan khusus pada penelitian yang berkaitan dengan dampak lingkungan dari kegiatankegiatan di Kawasan; (i) Perolehan pengetahuan ilmiah dan pemantauan perkembangan teknologi kelautan yang relevan terhadap kegiatan-kegiatan di Kawasan, khususnya teknologi yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; (j) Penilaian data-data yang tersedia yang berkaitan dengan prospekting dan eksplorasi; (k) Perumusan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur secara tepat waktu untuk eksploitasi, termasuk yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; 6. (a)-- Suatu permohonan persetujuan rencana kerja untuk eksplorasi harus dipertimbangkan oleh Dewan setelah diterimanya rekomendasi atas permohonan dimaksud dari Komisi Hukum dan Teknik. Pembahasan permohonan rencana kerja untuk eksplorasi harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk Lampiran III dan Persetujuan ini, dengan memperhatikan hal-hal berikut : (i) Suatu rencana kerja untuk eksplorasi disampaikan atas nama suatu Negara atau entiti, atau setiap bagian dari entiti tersebut, sesuai dengan resolusi II paragraf 1 (a) (ii) atau (iii), selain daripada investor pioner yang terdaftar, yang telah melaksanakan kegiatan-kegiatan substansial di Kawasan sebelum mulai berlakunya Konvensi, atau investor penggantinya, harus dianggap telah memenuhi kualifikasi-kualifikasi keuangan dan teknik yang diperlukan guna memperoleh persetujuan atas rencana kerja apabila Negara sponsor atau Negara-negara menyatakan bahwa si pemohon telah mengeluarkan sejumlah biaya setara dengan US$. 30 juta untuk kegiatan-kegiatan penelitian dan eksplorasi serta telah mengeluarkan paling tidak 10% dari biaya tersebut dilokasi, penelitian dan evaluasi daerah sebagaimana tercantum dalam rencana kerja. Apabila rencana kerja dimaksud ternyata memenuhi persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Konvensi dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang diterima sesuai dengannya, maka rencana kerja termaksud harus disetujui oleh Dewan dalam bentuk kontrak kerja. Ketentuan-ketentuan bagian 3, paragraf 11 Lampiran ini harus ditafsirkan dan diterapkan sebagaimana mestinya. (ii) Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan resolusi II, paragraf 8 (a), suatu investor pioner yang terdafar dapat meminta persetujuan atas suatu rencana kerja untuk eksplorasi dalam waktu 36 bulan sejak mulai berlakunya Konvensi. Rencana kerja untuk kegiatan eksplorasi harus melampirkan dokumen-dokumen, laporan dan data lainnya yang disampaikan kepada Komisi Persiapan baik sebelum maupun sesudah pendaftaran dan harus disertai dengan sertifikat pentaatan, yang memuat laporan faktual yang menggambarkan status pemenuhan kewajiban-kewajiban di bawah rejim investor pionir yang dikeluarkan oleh Komisi Persiapan sesuai dengan resolusi II, paragraf 11(a). Rencana kerja dimaksud harus dibahas untuk disetujui. Persetujuan atas rencana kerja dimaksud harus dituangkan dalam bentuk kontrak yang diadakan antara Otorita dan investor pionir yang terdaftar sesuai dengan Bab XI dan Persetujuan ini. Biaya senilai US$. 250.000 yang dikeluarkan sesuai dengan resolusi II, paragraf 7(a), harus dianggap sebagai biaya yang berkaitan dengan tahapan eksplorasi sesuai dengan bagian 8, paragraf 3 Lampiran ini. Bagian 3, paragraf 11 Lampiran ini harus ditafsirkan dan ditetapkan sebagaimana mestinya; (iii) Sesuai dengan prinsip non-diskriminasi, suatu kontrak dengan suatu Negara atau entiti atau bagian apapun dari entiti dimaksud seperti tercantum dalam sub-paragraf (a) (i) harus mencakup pengaturanpengaturan yang serupa dengan atau tidak boleh kurang menguntungkan dengan kontrak yang telah disetujui dengan investor pionir yang terdaftar sebagaimana yang tercantum dalam subparagraf (a) (ii). Apabila ada dari Negara-negara atau entiti-entiti atau bagian dari entiti tersebut yang tercantum dalam subparagraf (a) (i) diberikan pengaturan-pengaturan yang lebih menguntungkan, Dewan harus membuat pengaturan-pengaturan yang serupa atau pengaturan yang setidak-tidaknya tidak kalah menguntungkannya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dipunyai oleh para investor pioner yang terdaftar sebagaimana termuat dalam subparagraf (a) (ii), dengan ketentuan bahwa pengaturan tersebut tidak akan mempengaruhi atau mengurangi kepentingan-kepentingan Otorita; (iv) Suatu Negara yang mensponsori permohonan rencana kerja sesuai dengan ketentuan-ketentuan subparagraf (a) (i) atau (ii) bisa saja Negara Peserta atau suatu Negara yang menerapkan Persetujuan ini secara sementara sesuai dengan pasal 7, atau Suatu Negara yang menjadi anggota dari Otorita atas dasar sementara sesuai dengan paragraf 12; (v) Resolusi II, paragraf 8 (c), harus ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan subparagraf (a) (iv). b. Persetujuan atas suatu rencana kerja untuk eksplorasi harus sesuai dengan pasal 153, paragraf 3 Konvensi. 7. Suatu permohonan persetujuan atas suatu rencana kerja harus disertai dengan suatu penilaian mengenai dampak lingkungan atas kegiatan-kegiatan yang diusulkan dan dengan suatu deskripsi program untuk studi oseanografi dan penelitian garis-garis pangkal lingkungan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedurprosedur yang diterima oleh Otorita. 8. Suatu permohonan persetujuan atas rencana kerja untuk eksplorasi tunduk pada paragraf 6 (a) (i) atau (ii), harus diproses sesuai prosedur-prosedur yang ditetapkan dalam bagian 3, paragraf 11 Lampiran ini. 9. Suatu rencana kerja untuk eksplorasi harus disetujui untuk jangka waktu selama 15 tahun. Pada waktu berakhirnya rencana kerja eksplitasi tersebut, pihak kontraktor harus mengajukan rencana kerja untuk eksplorasi kecuali pihak kontraktor tersebut telah melakukannya atau telah melakukannya atau telah memperoleh perpanjangan atas rencana kerja untuk sksplorasi. Para kontraktor dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu tidak lebih dari 5 tahun setiap kalinya. Perpanjangan waktu dimaksud akan disetujui apabila pihak kontraktor telah melakukan upaya-upaya dengan itikad baik untuk mematuhi persyaratan-persyaratan dari rencana kerja tetapi karena alasan-alasan di luar kemampuannya, pihak kontraktor tidak dapat menyelesaikan pekerjaan persiapan yang dibutuhkan agar dapat memasuki tahap eksploitasi atau apabila karena masalah ekonomi tidak memungkinkan untuk melanjutkannya ke tahap eksploitasi. 10. Penetapan suatu daerah yang dicadangkan untuk Otorita sesuai dengan Lampiran III, pasal 8 Konvensi harus dilakukan dalam hubungannya dengan persetujuan rencana kerja untuk eksplorasi atau Persetujuan atas permohonan rencana kerja eksplorasi dan eksploitasi. 11. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan paragraf 9, suatu rencana kerja untuk eksplorasi yang telah disetujui dan disponsori paling tidak oleh satu Negara yang menerapkan Persetujuan ini secara sementara harus diakhiri apabila Negara tersebut berhenti menerapkan Persetujuan ini secara sementara dan belum menjadi anggota atas dasar sementara sesuai dengan paragraf 12 atau belum menjadi Negara Peserta. 12. Sejak mulai berlakunya Persetujuan ini, Negara-negara dan entiti-entiti seperti yang diatur oleh pasal 3 Persetujuan ini yang telah menerapkan Persetujuan ini secara sementara sesuai dengan pasal 7 dan untuk mana Persetujuan ini belum mulai berlaku, maka Negara-negara dan entiti-entiti dimaksud dapat terus menjadi anggota Otorita atas dasar sementara walaupun Persetujuan ini belum mulai berlaku bagi Negara-negara dan entiti-entiti tersebut, sesuai dengan subparagraf berikut : (a) Apabila Persetujuan ini mulai berlaku sebelum tanggal 16 November 1996, maka Negara-negara atau entiti-entiti dimaksud berhak untuk melanjutkan partisipasinya sebagai anggota Otorita atas dasar sementara setelah memberitahukan kepada penyimpanan Persetujuan keinginan Negara atau entiti itu untuk berpartisipasi sebagai anggota atas dasar sementara Keanggotaan tersebut harus diakhiri pada tanggal 16 November 1996 atau pada saat mulai berlakunya Persetujuan ini dan Konvensi bagi anggota tersebut, yang mana yang lebih dahulu berlaku. Dewan dapat, atas permintaan Negara atau entiti yang berkepentingan, memperpanjang keanggotaannya melebihi tanggal 16 November 1996 untuk suatu periode berikutnya atau periode-periode yang secara keseluruhan tidak lebih dari 2 tahun asalkan Dewan berpendapat bahwa Negara atau entiti itu telah melakukan upaya-upaya dengan itikad baik untuk menjadi peserta terhadap Persetujuan dan Konvensi; (b) Apabila Persetujuan ini berlaku setelah tanggal 15 November 1996, Negara-negara atau entiti-entiti tersebut dapat meminta Dewan untuk memberikan perpanjangan keanggotaannya pada Otorita atas dasar sementara untuk satu periode atau periode-periode yang tidak melewati tanggal 16 November 1998. Dewan harus memberikan keanggotaan yang demikian terhitung sejak tanggal permohonan apabila Dewan menilai bahwa Negara atau entiti dimaksud telah melakukan upaya-upaya dengan itikad baik untuk menjadi peserta terhadap Persetujuan dan Konvensi; (c) Negara-negara atau entisi-entisi yang menjadi anggota dari Otorita atas dasar sementara sesuai dengan subparagraf (a) atau (b) harus menerapkan ketentuan-ketentuan sesuai dengan sub-paragraf (a) atau (b) harus menerapkan ketentuan-ketentuan Bab XI dan Persetujuan ini sesuai dengan hukum nasional atau internalnya, peraturan-peraturan dan anggaran tahunan dan harus memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggotaanggtota lainnya, termasuk : (i) Kewajiban untuk memberi kontribusi pada anggaran administrasi Otorita sesuai dengan skala penetapan kontribusi; (ii) Hak untuk mensponsori suatu permohonan rencana kerja utnuk eksplorasi agar disetujui. Dalam hal satuan-satuan yang bagian-bagiannya merupakan indivu atau badan hukum yang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan, maka rencana kerja untuk eksplorasi tidak dapat disetujui kecuali semua Negaranegara yang individu atau badan hukumnya yang merupakan bagian dari entiti tersebut adalah Negaranegara Peserta atau anggota atas dasar sementara. (d) Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan paragraf 9, suatu rencana kerja yang disetujui dalam bentuk kontrak untuk eksplorasi yang disponsori berdasarkan subparagraf (c) (ii) oleh suatu Negara yang telah menjadi anggota atas dasar sementara harus berakhir jika keanggotaan tersebut berhenti dan Negara atau entiti itu belum menjadi Negara Peserta; (e) Apabila anggota tersebut gagal memenuhi kontribusi yang ditetapkan atau gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan paragraf ini, maka keanggotaannya atas dasar sementara harus diakhiri. 13. Rujukan dalam Lampiran III, pasal 10 Konvensi untuk memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang dinilai belum memuaskan harus ditafsirkan dalam arti bahwa kontraktor telah gagal memenuhi persyaratan-persyaratan dari rencana kerja yang disetujui meskipun telah mendapat peringatan tertulis atau peringatan-peringatan dari Otorita kepada pihak kontraktor agar memenuhi persyaratan tersebut. 14. Otorita harus memiliki anggaran sendiri. Sampai dengan akhir tahun setelah tahun dimana Persetujuan ini mulai berlaku, pengeluaran-pengeluaran administrasi dari Otorita harus dipenuhi melalui anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setelah itu, pengeluaran-pengeluaran administrasi Otorita harus dipenuhi melalui kontribusi dari para anggotanya, termasuk anggota-anggota atas dasar sementara, sesuai dengan pasal-pasal 171, sub-paragraf (a), dan 173 Konvensi dan Persetujuan ini, hingga Otorita memiliki dana yang mencukupi dari berbagai sumber lain guna memenuhi pengeluaran-pengeluarannya. Otorita tidak boleh menggunakan kewenangannya berdasarkan pasal 174, paragraf I Konvensi untuk melakukan pinjaman guna keperluan anggaran administrasinya. 15. Otorita harus merumuskan dan menerima, sesuai dengan pasal 162, paragraf 2(o) (ii) Konvensi, ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang termuat di dalam bagian-bagian 2, 5, 6, 7 dan 8 Lampiran ini, termasuk ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur tambahan lainnya yang diperlukan untuk keperluan persetujuan rencana kerja untuk eksplorasi atau eksploitasi, sesuai dengan subparagraf berikut : (a) Dewan setiap saat dapat menyusun ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan, dan prosedur-prosedur yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan di Kawasan, atau apabila Dewan berpendapat bahwa eksploitasi komersial segara akan dilakukan, atau atas permintaan suatu Negara yang warganegaranya berkeinginan mengaukan permohonan persetujuan rencna kerja eksploitasinya; (b) Apabila suatu permintaan diajukan oleh suatu Negara seperti yang tercantum pada subparagrafh (a) Dewan harus, sesuai dengan pasal 162, paragraf 2 (o) Konvensi, menyelesaikan penerimaan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur dimaksud dalam kurun waktu dua tahun sejak permintaan diajukan; (c) Apabila Dewan belum menyelesaikan penyusunan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang berkaitan dengan eksploitasi dalam kurun waktu yang telah ditentukan dan suatu permohoan persetujuan rencana kerja untuk eksploitasi mengalami penundaan, maka Dewan paling tidak harus mempertimbangkan dan menyetujui untuk sementara pertama kerja dimaksud berdasarkan ketentuan-ketentuan Konvensi dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur apapun yang mungkin akan diterima oleh Dewan untuk sementara, atau berdasarkan norma-norma yang terdapat dalam Konvensi dan ketentuan-ketentuan serta prinsip-prinsip yang terkandung dalam Lampiran ini maupun prinsip non diskriminasi diantara para kontraktor. 16. Rancangan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur serta rekomendasi-rekomendasi yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dari Bab XI, seperti tercantum di dalam laporan-laporan dan rekomendasi-rekomendasi dari Komisi Persiapan, harus dipertimbangkan oleh Otorita pada saat penerimaan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur sesuai dengan Bab XI dan persetujuan ini. 17. Ketentuan-ketentuan yang relevan dari Bab XI, bagian 4 Konvensi harus ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan Persetujuan ini. LAMPIRAN BAGIAN 2. PERUSAHAAN 1. Sekretariat Otoritaa harus melaksanakan fungsi-fungsi dari Perusahaan sampai Perusahaan mulai beroperasi secara independen dari Sekretariat. Sekretaris Jenderal Otorita harus menunjuk seorang Direktur Jenderal ad interim dari antara staf Otorita untuk mengawasi pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut oleh Sekretariat. (a) Pemantauan dan peninjauan kembali kecenderungan-kecenderungan dan perkembangan-perkembangan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan penambangan samudera dalam, termasuk analisa-analisa reguler terhadap kondisi-kondisi pasar dan harga-harga logam dunia, kecenderungan-kecenderungan dan prospek-prospeknya; (b) Penilaian atas hasil-hasil penelitian ilmiah kelautan yang dilakukan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan, degnan penekanan khusus pada penelitian yang berhubungan dengan dampak lingkungan dari kegiatan-kegiatan di kawasan; (c) Penilaian atas data-data yang tersedia yang berhubungan dengan prospekting dan eksplorasi, termasuk kriteria untuk kegiatan-kegiatan tersebut; (d) Penilaian atas perkembangan-perkembangan teknologi yang relevan dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan, khususnya teknologi yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan kelautan; (e) Mengevaluasi informasi dan data yang berkaitan dengan daerah-daerah yagn dicadangkan untuk Otomatis; (f) Penilaian atas pendekatan-pendekatan terhadap pengoperasian joint-venture (g) Pengumpulan informasi tentang ketersediaan tenaga kerja yang terlatih; (h) Pengkajian atas paham-paham kebijaksanaan manajerial untuk administrasi Perusahaan pada tingkatan-tingkatan yang berbeda dari operasi perusahaan. 2. Perusahaan harus melakukan kegiatan awal operasional penambangan di samudera dalam melalui joint-venture. Setelah suatu persetujuan renana kerja untuk eksploitasi bagi entiti-entiti selain Perusahaan, atau setelah Dewan menerima suatu permohonan untuk joint-venture dengan Perusahaan, Dewan harus mengambil fungsi Perusahaan yang terlepas dari Sekretariat Otorita. Apabila operasi joint-venture dengan Perusahaan dianggap selaras dengan prinsip-prinsip komersial, Dewan harus mengeluarkan suatu arahan sesuai dengan pasal 170, paragraf 2 Konvensi yang berkenaan dengan fungsi independen yang demikian.3. Kewajiban Negara-negara Peserta untuk membiayai satu lokasi penambangan dari Perusahaan sebagaimana diatur dalam Lampiran IV, pasal 11, paragraf 3 Konvensi harus tidak diwajibkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan di lokasi penambangan Perusahaan atau berdasarkan pengaturan-pengaturan joint-venturenya. 3. Kewajiban Negara-negara Peserta untuk membiayai satu lokasi penambangan dari Perusahaan sebagaimana diatur dalam Lampiran IV, pasal 11, paragraf 3 Konvensi harus tidak diwajibkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan di lokasi penambangan Perusahaan atau berdasarkan pengaturan-pengaturan joint-venturenya. 4. Kewajiban-kewajiban yang diterapkan terhadap para kontraktor harus diterapkan terhadap Perusahaan. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pasal 153, paragraf 3 dan Lampiran III, pasal 3, paragraf 5 Konvensi suatu rencana kerja untuk Perusahaan setelah disetujui harus diwujudkan dalam bentuk suatu kontrak yang diadakan antara Otorita dan Perusahaan. 5. Suatu kontraktor yang telah menyumbangkan suatu daerah tertentu kepada Otorita sebagai daerah yang dicadangkan memiliki hak pertama untuk menolak mengadakan pengaturan joint-venture dengan perusahaan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di kawasan tersebut. Apabila Perusahaan tidak menyerahkan permohonan rencana kerja bagi kegiatan-kegiatannya yang terkait dengan daerah yang dicadangkan itu dalam jangka waktu 15 tahun sejak mulai berlakunya fungsi-fungsi independen dari Sekretariat Otorita atau dalam jangka waktu 15 tahun sejak tanggal daerah itu diperuntukkan bagi Otorita yang maupun yang terakhir, maka kontraktor yang menyumbangkan daerah itu berhak untuk mengajukan suatu rencana kerja untuk daerah dimaksud asalkan kontraktor tersebut menawarkannya dengan itikad baik kepada Perusahaan untuk menjadi mitra joint-venture. 6. Pasal 170, paragraf 4 Lampiran IV dan ketentuan-ketentuan lain dari konvensi yang berkaitan dengan perusahaan harus ditafsirkan dan ditetapkan sesuai dengan bagian ini. LAMPIRAN BAGIAN 3. PEMBUATAN KEBIJAKAN 1. Kebijakan-kebijakan umum dari Otorita harus ditetapkan oleh Majelis bekerja sama dengan Dewan. 2 Sebagai suatu aturan umum, pembuatan keputusan pada badan-badan Otorita harus dilaksanakan berdasarkan konsensus. 3. Apabila semua upaya untuk mencapai suatu keputusan secara konsensus telah dilakukan, maka keputusan-keputusan mengenai masalah prosedural harus diambil melalui pemungutan suara dalam Majelis melalui mayoritas para anggota yang hadir dan memberikan suaranya, dan keputusan-keputusan mengenai masalah substansi harus diambil oleh mayoritas dua-per-tiga dari anggota yang hadir dan memberikan suaranya, sebagaimana termuat dalam pasal 159, paragraf 8 Konvensi. 4. Keputusan-keputusan Majelis mengenai semua masalah dimana Dewan juga memiliki kompetensi atau mengenai masalah administrasi, anggaran atau keuangan harus berdasarkan rekomendasi-rekomendasi Dewan. Apabila Majelis tidak menyetujui rekomendasi Dewan dalam setiap masalah, maka Majelis harus mengembalikan masalah ini kepada Dewan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Dewan harus mempertimbangkan kembali masalah itu dengan mempertimbang-kan pandangan yang disampaikan Majelis. 5. Apabila semua upaya untuk mencapai suatu keputusan secara konsensus telah dilakukan, maka keputusan-keputusan melalui pemungutan suara di Dewan mengenai masalah prosedural harus diambil melalui mayoritas para anggota yang hadir dan memerikan suaranya, dan 15 keputusan-keputusan yang harus diambil melalui konsensus di Dewan, maka keputusan itu harus diambil dengan mayoritas dua-per-tiga dari anggota yang hadir dan memberikan suaranya, dengan ketentuan bahwa keputusan-keputusan dimaksud tidak ditentang oleh mayoritas di setiap kamar (chamber) sebagaimana termuat dalam paragraf 9. Dalam mengambil keputusan, Dewan harus mengusahakan untuk mengajukan kepentingan-kepentingan semua anggota Otorita. 6. Dewan dapat menunda pengambilan suatu keputusan untuk memberi kesempatan melakukan perundingan lebih lanjut bilamana terlihat bahwa semua upaya untuk mencapai konsensus belum lagi dilaksanakan sepenuhnya. 7. Keputusan-keputusan Majelis atau Dewan yang mempunyai implikasi anggaran dan keuangan harus didasarkan kepada rekomendasi-rekomendasi dari Komite Keuangan. 8. Ketentuan-ketentuan pasal 161, paragraf 8 (b) dan (c) Konvensi tidak berlaku. 9.-- (a) Setiap kelompok Negara-negara yang terpilih menurut paragraf 15 (a) sampai (c) harus diperlakukan sebagai suatu kamar untuk keperluan pemungutan suara di Dewan. Negara-negara berkembang yang terpilih berdasarkan paragraf 15 (d) dan (e) harus diperlakukan sebagai kamar tunggal untuk keperluan pemungutan suara di Dewan. (b) Sebelum mengadakan pemilihan para anggota Dewan, Majelis harus membuat daftar negara-negara yang memenuhi kriteria bagi keanggotaan dalam kelompok Negara-negara seperti termuat pada paragraf 15 (a) sampai (d). Apabila suatu Negara memenuhi kriteria untuk keanggotaan dalam lebih dari suatu kelommpok, maka negara itu hanya dapat diusulkan oleh satu kelompok pada pemilihan di Dewan dan negara itu hanya mewakili kelompok dimaksud dalam pemungutan suara di Dewan. 10. Setiap kelompok Negara-negara pada paragraf 15 (a) sampai (d) harus diwakili di Dewan oleh para anggota yang dicalonkan oleh kelompok tersebut. Setiap kelompok hanya dapat mengajukan calonnya sesuai dengan jumlah kursi yang ditetapkan untuk diisi oleh kelompok dimaksud. Bilamana jumlah calon potensial di dalam setiap kelompok seperti tercantum pada paragraf 15 (a) sampai (e) melebihi jumlah kursi yang tersedia untuk masing-masing kelompok dimaksud, sebagai aturan umum, maka prinsip rotasi harus diberlakukan. Negara-negara anggota dari tiap-tiap kelompok harus memutuskan bagaimana prinsip ini diberlakukan di dalam kelompoknya. 11. (a) Dewan harus menyetujui suatu rekomendasi Komisi Hukum dan Teknik untuk persetujuan suatu rencana kerja kecuali mayoritas dua-per-tiga anggotanya yang hadir dan memberikan suaranya, termasuk mayoritas anggota yang hadir dan memberikan suaranya di masing-masing kamar Dewan, maka Dewan memutuskan untuk tidak menyetujui rencana kerja itu. Apabila Dewan tidak mengambil keputusan terhadap rekomendasi untuk persetujuan suatu rencana kerja selama kurun waktu yang telah disetujui oleh Dewan pada akhir kurun waktu tersebut. Kurun waktu yang telah ditentukan tersebut biasanya adalah 60 hari kecuali Dewan memutuskan untuk memperpanjang waktunya. Apabila Komisi merekomendasikan ketidak-setujuannya atas suatu rencana kerja atau tidak membuat rekomendasi, Dewan dapat menyetujui rencana kerja itu sesuai dengan aturan-aturan prosedurnya bagi pengambilan keputusan atas masalah yang bersifat substansi. (b) Ketentuan-ketentuan pada pasal 162, paragraf 2 (j) Konvensi tidak berlaku. 12. Bilamana timbul suatu perselisihan yang berkaitan dengan tidak disetujuinya suatu rencana kerja, maka perselisihan tersebut harus disampaikan kepada prosedur penyelesaian sengketa yang diatur dalam Konvensi. 13. Keputusan-keputusan melalui pemungutan suara dalam Komisi Hukum dan Teknik harus diambil melalui mayoritas anggota yang hadir dan memberikan suara. 14. Bab XI, bagian 4, sub-bagian B dan C Konvensi harus ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan bagian ini. 15. Dewan terdiri dari 36 orang anggota Otorita yang dipilih oleh Majelis sebagai berikut : (a) Empat anggota dari antara Negara-negara Peserta yang selama kurun waktu 5 tahun terakhir sesuai dengan data-data statistik yang tersedia, telah mengkonsumsi lebih dari 2 % dari total kosumsi dunia atau telah melakukan impor lebih dari 2% dari nilai keseluruhan impor di dunia atas komoditi yang diproduksi dari kategorikategori mineral yang berasal dari Kawasan dengan pengertian bahwa di antara empat anggota tersebut satu diantaranya berasal dari wilayah Eropa Timur yang memiliki perekonomian terbesar di wilayah itu dilihat dari segi produk domestik brutonya dan Negara pada tanggal mulai berlakunya Konvensi, memiliki perekomonian terbesar dilihat dari segi produk domestik brutonya, apabila Negara dimaksud berkeinginan untuk diwakili dalam kelompok ini. (b) Empat anggota diantara delapan Negara-Negara Peserta yang telah melakukan investasi terbesar dalam mempersiapkan untuk dan dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan di Kawasan, baik secara langsung ataupun melalui warga negaranya; (c) Empat anggota diantara Negara-negara Peserta yang berdasarkan tinggi produksi di wilayah jurisdiksi mereka, adalah eksportir-eksportir utama dari kategori-kategori mineral yang beradal dari Kawasan, termasuk paling tidak dua Negara berkembang yang ekspor mineral tersebut memiliki arti penting bagi perekonomian mereka; (d) Enam anggota dari antara Negara-negara Peserta berkembang mewakili kepentingan-kepentingan khusus. Kepentingan khusus yang akan diwakili harus mencakup Negara-negara berpenduduk besar, Negara-negara yang tidak memiliki pantai atau yang secara geografis kurang beruntung, Negara-negara pulau, Negara-negara yang merupakan importir-importir utama dari kategori mineral yang berasal dari Kawasan, Negara-negara yang merupakan produsen potensial dari mineral dimaksud dan beberapa Negara-negara yang kurang berkembang; (e) Delapanbelas anggota yang terpilih sesuai dengan prinsip untuk menjamin adanya sebaran geografis secara adil atas kursi-kursi dalam Dewan secara keseluruhan, dengan pengertian bahwa setiap kawasan geografis paling tidak harus mempunyai satu anggota terpilih berdasarkan subparagraf ini. Untuk maksud ini, wilayah geografis dimaksud adalah Afrika, Asia, Eropa Timur, Amerika Latin dan Karibia serta Eropa Barat dan Lain-lain. 16. Ketentuan pasal 161, paragraf 1 Konvensi tidak berlaku. LAMPIRAN BAGIAN 4. KONVERENSI PENINJAUAN KEMBALI Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Konferensi Peninjauan Kembali dalam pasal 155, paragraf 1, 3 dan 4 Konvensi tidak berlaku. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pasal 314, paragraf 2 Konvensi, Majelis, atas rekomendasi Dewan, dapat setiap saat melakukan peninjauan kembali terhadap masalah-masalah yang diatur dalam pasal 155, paragraf 1 Konvensi. Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan Persetujuan ini dan Bab XI harus tunduk pada prosedur-prosedur yang tercantum dalam pasal-pasal 314, 315 dan 316 Konvensi, dengan ketentuan bahwa prinsip-prinsip, rejim dan ketentuan-ketentuan lainnya sebagaimana tercantum dalam pasal 155, paragraf 2 Konvensi harus tetap dipertahankan dan hak-hak yang tercantum dalam paragraf 5 dari pasal itu tidak diganggu. LAMPIRAN BAGIAN 5. ALIH TEKNOLOGI 1. Sebagai tambahan pada ketentuan-ketentuan pasal 144 Konvensi, alih teknologi sebagaimana dimaksud dalam Bab XI harus diatur melalui prinsip-prinsip berikut : (a) Perusahaan, dan Negara-negara berkembang yang ingin mendapatkan teknologi penambangan samudera dalam, harus mengusahakan untuk memperoleh teknologi tersebut atas dasar syarat-syarat yang wajar dan adil di pasar terbuka, atau melalui pengaturan joint venture. (b) Apabila Perusahaan atau Negara-negara berkembang tidak erhasil mendapatkan teknologi penambangan samudera dalam, Otorita dapat meminta semua atau salah satu kontraktor dan Negara atau Negara-negara yang mensponsorinya untuk bekerjasama dengannya dalam mengusanakan perolehan teknologi penambangan samudera dalam oleh Perusahaan atau joint venturenya, atau oleh Negara atau Negara-negara berkembang yang sedang berusaha untuk mendapatkan teknologi tersebut berdasarkan kondisi-kondisi dan persyaratan-persyaratan yang wajar dan adil, yang sejalan dengan perlindungan secara efektif atas hak-hak kekayaan intelektual. Negara-negara Peserta hendaknya bekerjasama secara penuh dan efektif dengan otorita untuk maksud tersebut dan menjamin agar para kontraktor yang disponsorinya juga bekerjasama secara penuh dengan Otorita. (c) Sebagai aturan umum, Negara-negara Peserta harus memajukan kerjasama internasional dalam bidang teknik dan teknik dan ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan, baik antara para pihak yang bersangkutan atau melalui program-program pengembangan pelatihan, bantuan teknik dan program kerjasama ilmu pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. 2. Ketentuan-ketentuan Lampiran III, pasal 5 Konvensi tidak berlaku. LAMPIRAN BAGIAN 6. KEBIJAKSANAAN PRODUKSI 1. Kebijaksanaan produksi Otorita harus didasarkan pada prinsip-prinsip berkut : (a) Pengembangan sumber-sumber daya di Kawasan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip komersial; (b) Ketentuan-ketentuan dari Persetujuan Umum tentang Pedagangan dan Tarif (GATT), peraturan-peraturannya yang relevan dan penggantinya atau persetujuan-persetujuan yang mengubahnya harus diberlakukan dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan di Kawasan; (c) Secara khusus, tidak diperkenankan adanya subsidi atas kegiatan-kegiatan di Kawasan kecuali yang diperbolehkan berdasarkan persetujuan-persetujuan yang diadakan sesuai dengan subparagraf (b). Subsidi untuk maksud dari prinsip-prinsip ini harus ditetapkan dalam bentuk persetujuan yang diatur dalam subparagraf (b); (d) Tidak diperbolehkan adanya diskriminasi antara mineral-mineral yang berasal dari Kawasan dan yang berasal dari sumber-sumber lainnya. Tidak diperbolehkan adanya akses istimewa ke pasar bagi mineral-mineral tersebut atau bagi impor komoditi yang dihasilkan dari mineral tersebut, terutama : (i) Dengan menerapkan hambatan-hambatan tarif atau non tarif, dan (ii) Yang diberikan oleh Negara-negara Peserta untuk mineral-mineral atau komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh perusahaan negaranya atau oleh individu maupun badan hukum yang berkebangsaan negara-negara tersebut atau yang berada di bawah pengawasan mereka atau warga negaranya; (e) Rencana kerja untuk eksploitasi yang telah disetujui oleh Otorita yang berkaitan dengan masing-masing daerah penambangan harus mengindikasikan perkiraan jadwal produksi yang mencakup perkiraan jumlah maksimum dari mineral-mineral yang akan diproduksi per-tahun berdasarkan rencana kerja; (f) Hal-hal berikut di bawah ini harus ditetapkan pada penyelesaian sengketa mengenai ketentuan dari persetujuanpersetujuan yang dimuat dalam subparagraf (b) : (i) Apabila Negara-negara Peserta yang bersangkutan merupakan pihak-pihak pada persetujuan-persetujuan dimaksud, mereka harus menyelesaikan sengketanya melalui prosedur penyelesaian sengketa yang dimuat dalam persetujuan tersebut; (ii) Apabila satu atau lebih Negara-negara Peserta yang bersangkutan bukan merupakan pihak dari persetujuan-persetujuan tersebut mereka harus menyelesaikan sengketanya melalui prosedur penyelesaian sengketa yang telah diatur dalam Konvensi; (g) Dalam hal dimana suatu ketetapan dibuat berdasarkan persetujuan-persetujuan yang disebut dalam subparagraf (b) bahwa suatu Negara Peserta telah melakukan subsidi yang dilarang atau telah menimbulkan akbiat yang merugikan terhadap kepentingan Negara Peserta lain, dan lagnkah-langkah yang tepat belum dilakukan oleh Negara atau Negara-negara Peserta yang bersangkutan, maka suatu Negara Peserta dapat meminta Dewan untuk mengambil langkah-langkah yang tepat. 2. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam paragraf 1 tidak boleh mempengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut ketentuan persetujuan-persetujuan berdagangan bebas dan perpajakan yang relevan, dalam kaitan antara Negara-negara Peserta yang merupakan Pihak pada persetujuan-persetujuan tersebut. 3. Penerimaan subsidi oleh kontraktor selain dari yang diperkenankan di dalam persetujuan sebagaimana tercantum dalam paragraf 1 (b) merupakan pelanggaran terahdap ketentuan-ketentuan pokok kontrak yang membentuk rencana kerja untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di Kawasan. 4. Setiap Negara Peserta yang mempunyai alasan kuat bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap persyaratan-persyaratan pada paragraf 1 (b) sampai (d) atau 3 dapat meminta prosedur penyelesaian sengketa sesuai dengan paragraf 1 (f) atau 1 (g); 5. Suatu Negara Peserta dapat setiap saat meminta perahtian Dewan atas kegiatan-kegiatan yang menurut pandangannya tidak sejalan dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan pada paragraf 1 (b) sampai (d); 6. Otorita harus mengembangkan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang dapat menjamin pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan bagian ini, termasuk ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang relevan yang mengatur persetujuan rencana kerja. 7. Ketentuan-ketentuan dari pasal 151, paragraf 1 sampai 7 dan 9, Pasl 162, paragraf 2 (q), Pasal 165, Paragraf 2 (n), dan Lampiran III, Pasal 6, paragraf 5, dan Pasal 7 Konvensi tidak berlaku. LAMPIRAN BAGIAN 7. BANTUAN EKONOMI 1. Kebijaksanaan Otorita daam membantu negara-negara berkembang yang mengalami dampak serius yang merugikan terhadap pendapatan ekspor mereka atau terhadap perekonomian mereka sebagai akibat dari penurunan harga mineral yang terkena dampak atau dalam volume ekspor mineral tersebut, untuk mana penurunan tersebut disebabkan oleh kegiatan-kegiatan di Kawasan, harus didasarkan pada prinsip-prinsip berikut : (a) Otorita harus membentuk suatu dana bantuan ekonomi yang diambil dari bagian dana Otorita yang terlebih untuk membiayai keperluan administrasi Otorita. Jumlah dana yang disisihkan untuk maksud tersebut harus ditentukan oleh Dewan dari waktu ke waktu, atas rekomendasi Komite Keuangan. Hanya dana-dana pembayaran yang diterima dari para kontraktor, termasuk Perusahaan, dan kontribusi sukarela yang dapat digunakan untuk pembentukan dana bantuan ekonomi; (b) Negara-negara berkembang penghasil mineral asal-daratan yang perekonomi-annya terkena dampak serius yang diakibatkan oleh produksi mineral-mineral dari samudera dalam harus dibantu dari dana bantuan ekonomi Otorita; (c) Otorita dapat menyediakan bantuan dari dana tersebut untuk negara-negara berkembang penghasil mineral asal-daratan yang terkena dampak, apabila perlu, bekerjasama dengan lembaga-lembaga pembangunan global atau regional yang mempunyai infrastruktur dan keahlian dalam melaksanakan program-program bantuan tersebut; (d) Lama dan jangka waktu dari bantuan tersebut harus ditentukan atas dasar kasus-perkasus. Dalam pelaksanaannya, pertimbangan harus diberikan kepada sifat dan hakekat masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang penghasil mineral asal-daratan. 2. Pasal 151, paragraf 10 Konvensi harus dilaksanakan melalui bantuan ekonomi sebagaimana yang tercantum dalam paragraf 1, pasal 160, paragraf 2 (1), pasal 162, paragraf 2 (n), pasal 164, paragraf 2 (d), pasal 171, subparagraf (f) dan pasal 173, paragraf 2 (c) Konvensi harus ditafsirkan sebagaimana mestinya. LAMPIRAN BAGIAN 8. KETENTUAN-KETENTUAN KEUANGAN DARI KONTRAK 1. Prinsip-prinsip berikut harus menjadi dasar bagi pembuatan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur untuk ketentuan keuangan kontrak-kontrak : (a) Sistem pembayaran kepada Otorita haruslah adil baik kepada kontraktor maupun kepada Otorita dan harus menyediakan sarana yang memadai dalam menentukan pentaatan oleh kontraktor terhadap sistem tersebut. (b) Nilai pembayaran berdasarkan sistem tersebut harus berada dalam lingkup sistem tersebut dalam kaitanya dengan penambangan asal daratan dari mineral-mineral yang sama atau yang sejenis guna menghindari pemberian suatu persaingan buatan yang menguntungkan keuntungan kepada para penambang samudera dalam atau memaksakan kepada mereka suatu persaingan yang tidak menguntungkan; (c) Sistem tersebut hendaknya tidak rumit dan tidak boleh menerapkan biaya administrasi harus diberikan terhadap penerimaan suatu sistem royalti atau kombinasi dari suatu sistem royalti dan sistem bagi-hasil. Apabila alternatif sistem tersebut telah diputuskan, kontraktor mempunyai hak untuk memilih sistem yang cocok diterapkan terhadap kontraknya. Namun demikian setiap perubahan-perubahan yang terjadi antara sistem-sistem alternatif tersebut, harus dilakukan melalui persetujuan antara Otorita dan kontraktor; (d) Suatu biaya tahunan tetap harus dibayarkan pada tanggal dimulainya produksi komersial. Biaya ini dapat diperhitungkan terhadap pembayaran lainnya berdasarkan sistem yang diteriam sesuai dengan sub-paragraf (c). Jumlah biaya tersebut harus ditetapkan oleh Dewan. (e) Sistem pembayaran dapat direvisi secara berkala dengan memperhatikan perubahan-perubahan keadaan. Setiap perubahan harus diterapkan secara non-diskriminasi. Perubahan-perubahan tersebut dapat diberlakukan terhadap kontrak-kontrak yang masih berlaku hanya pada saat pemilihan kontraktor. Setiap perubahan berkuatan antara sistem-sistem alternatif harus dilakukan berdsarkan persetujuan antara Otorita dan Kontraktor. (f) Perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut di atas tunduk pada prosedur-prosedur penyelesaian sengketa seperti diatur dalam Konvensi. 2. Ketentuan-ketentuan dari Lampiran III, pasal 13, paragraf 3 sampai 10 Konvensi tidak berlaku. 3. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan Lampiran III, pasal 13, paragraf 2 Konvensi, biaya untuk proses permohonan bagi persetujuan dari suatu rencana kerja dibatasi pada satu tahap saja, apakah pada setiap eksplorasiatau tahap eksploitasi, yaitu sebesar US$. 250,000,- LAMPIRAN BAGIAN 9. KOMITE KEUANGAN 1. Bersama ini dibentuk suatu Komite Keuangan, Komite terdiri dari 15 orang anggota dengan kualifikasi-kualifikasi yang relevan dengan masalah keuangan Negara-negara Peserta dapat memajukan calon-calonnya yang mempunyai standar kompetensi dan integritas yang tinggi. 2. Tidak boleh ada 2 (dua) anggota Komite Keuangan yang mempunyai kewarganegaraan dari Negara Peserta yang sama. 3. Anggota-anggota Komite Keuangan harus dipilih oleh Majelis dan dengan mempertimbangkan sebaran geografis yang adil dan kepentingan-kepentingan khusus. Setiap kelompok negara-negara yang tercantum pada bagian 3, paragraf 15 (a), (b), (c) dan (d) Lampiran ini harus diwakili dalam Komite paling tidak oleh 1 (satu) anggota Hingga Otorita mempunyai dana-dana yang cukup selain kontribusi-kontribusi yang ditetapkan untuk memenuhi biaya administrasinya, keanggotaan Komite harus mencakup wakil-wakil dari 5 (lima) penyumbang keuangan terbesar pada anggaran administrasi Otorita. Setelah itu, pemilihan seorang anggota dari setiap kelompok harus didasarkan pada pencalonan oleh para anggota dari kelompoknya, tanpa emngurangi kemungkinan anggota-anggota lain yang dipilih dari setiap kelompok. 4. Anggota-anggota Komite Keuangan mempunyai masa bakti selama 5 (lima) tahun. Mereka dapat dipilih kembali untuk suatu masa bakti berikutnya. 5. dalam hal meninggal dunia, ketidakmampuan atau pengunduran diri seorang anggota Komite Keuangan sebelum berakhir masa baktinya, Majelis harus memilih untuk sisa masa bakti tersebut, seorang anggota dari kawasan geografis atau dari kelompok negara-negara yang sama. 6. Anggota-anggota Komite Keuangan tidak boleh mempunyai kepentingan keuangan dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan masalah-masalah dimana Komite mempunyai tanggungjawab untuk memberikan rekomendasirekomendasi. Mereka tidak boleh membuka, bahkan setelah masa bakti berakhir, informasi rahasia apapun yang mereka ketahui karena tugas-tugas mereka pada Otorita. 7. Keputusan-keputusan Majelis dan Dewan terhadap masalah-masalah berikut harus mempertimbangkan rekomendasi-rekomendasi dari Komite Keuangan : (a) Rancangan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur keuangan dari badan-badan Otorita dan pengelolaan keuangan dan administrasi keuangan internal Otorita; (b) Penetapan kontribusi para anggota pada anggaran administrasi Otorita sesuai dengan pasal 160, paragraf 2 (e) Konvensi; (c) Semua masalah keuangan yang relevan, termasuk anggaran tahunan yang diusulkan yang dipesiapkan oleh Sekrearis Jenderal Otorita berdasarkan pasal 172 Konvensi dan aspek-aspek keuangan bagi pelaksanaan program-program kerja dari Sekretariat; (d) Anggaran administrasi; (e) Kewajiban-kewajiban keuangan Negara-negara Peserta yang timbul dari pelaksanaan persetujuan ini dan Bab XI, maupun implikasi administrasi dan anggaran dari usul-usul dan rekomendasi-rekomendasi yang melibatkan pengeluaran dari dana-dana Otorita; (f) Ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur mengenai pembagian keuangan yang adil dan keuntungan ekonomi lainnya yang beradal dari kegiatan-kegiatan di Kawasan dan keputusan-keptuusan yang akan diambil; 8. Keputusan-keputusan dalam Komite Keuangan mengenai masalah prosedural harus diambil oleh mayoritas anggota yang hadir dan memberikan suara Keptuusan-keputusan mengenai substansi harus diambil secara konsensus. 9. Persyaratan dalam pasal 162, paragraf 2 (y) Konvensi untuk menetapkan suatu badan subsider yang menangani masalah-msalah keuangan harus dianggap telah dipenuhi dengan didirikannya Komite Keuangan sesuai dengan bagian ini. oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, diterjemahkan oleh Wikisource http://id.wikisource.org/wiki/Persetujuan_terkait_dengan_Implementasi_Bab_XI_Konvensi_Perserikatan_BangsaBangsa_tentang_Hukum_Laut_10_Desember_1982 Konvensi Internasional & Hukum Laut Internasional 1982 Diterimanya konvensi hukum laut PBB 30 April 1982 tidak hanya menggambarkan suatu titik balik yang penting dalam perkembangan hukum laut, melainkan juga disebut “pembagian dunia yang ketiga” (Gierloff Emden). Pembagian zone pinggir laut sekitar benua dan kepulauan menyebabkan penambahan luas sekitar 45 negara pentai (zona ekonomi 200 mil laut untuk seluruh dunia, meliputi luas 120 juta km2), dengan demikian membatasi prinsip “kebebasan pemanfaatan laut”, seperti masih tertera dalam pasal 2 persetujuan Jenewa 29 April 1958 mengenai perairan internasional. Rencana pemanfaatan sumber daya dasar laut secara kolektif antarpemerintah juga, memperkuat kecenderungan ke arah “peng”kaplingan laut” dengan dampak merugikan Negara pedalaman dan Negara berkembang. Setelah persiapan selama 6 tahun (1967-1973) dan 9 tahun perundingan (1973-1982). Konferensi Hukum Laut Internasional III PBB (UNLOS; United Nations Confernce on the Law of the Sea) 30 April 1982, Mengesahkan konvensi hukum laut dengan,  keputusan mayotitas (130 setuju),  4 menolak—(AS, Turki, Israel, Venezuela--),  Dan 17 abstain). Penandatanganan konvensi hukum laut ini berlangsung 10 Desember 1982, Tetapi belum diberlakukan, karena untuk ini perlu 60 ratifikasi. Sementara ini baru 35 negara yang meratifikasi. Walaupun mayoritas menyetujuinya, a.l. dari kubu Negara berkembang, nasib konvensi hukum laut ini selanjutnya masih tidak menentu terutama karena penolakan sebagian besar Negara industri dan Jepang. Konvensi hukum laut membahas hukum laut umum :  (pelayaran, perikanan, daerah pantai, dll.),  penambangan dasar laut,  penelitian laut untuk kepentingan ilmu pengetahuan,  transfer teknologi laut,  dan rencana pembangunan “mahkamah laut internasional” di Hamburg. Pendahulu konvensi hukum laut tahun 1958, yang disusun “progresif”. Dikembangkan dan disimpulkan dalam konvensi hukum laut yang sekarang. Titik tolak reformasi konvensi hukum laut adalah tahun 1967 ketika ada usul untuk memberi reaksi terhadap dimensi baru pemanfaatan dasar laut dengan pemikiran peraturan yang baru untuk “ warisan bersama umat manusia” (konsep Common heritage of mankind). Daerah laut dalam, hendaknya diurus oleh instansi internasional (instansi untuk masalah dasar laut yang berkedudukan di Jamaika) dan, terutama dieksploitasi oleh bagian pelaksanaannya (yang disebut Enterprise), khususnya dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan negara berkembang, a.l. melaksanakan kewajiban alih teknologi. Untuk konsepsi dasar hukum dalam konvensi hukum laut ada empat gagasan peraturan yang saling bersaing, yaitu,  1). kebebasan (pelayaran melintasi perairan internasional dengan pesawat terbang, dst),  2). pembagian (pengaturan sumber daya di daerah depan pantai),  3). reginalisasi (kerja sama antarnegara pantai dalam bidang perikanan, pemeliharaan jenis ikan, dsb.), dan internasionalisasi (eksploitasi bahan bahan mentah mineral dasar laut),  4). gagasan politik yang telah disepakati, demiliterisasi, dekolonisasi, dan tata ekonomi dunia baru. Konvensi hukum laut sebagai “hasil konflik pembagian di seluruh dunia” (Vitzhum) dengan demikian, menguatkan kecenderungan perluasan hak negara pantai zona laut dan sumber daya laut, terutama didukung oleh banyak negara berkembang muda yang sangat mendambakkan kedaulatan, dan tentu saja merugikan Negara pedalaman dan Negara yang secara geografis dirugikan dalam, hal hak penagkapan ikan, penambangan minyak dan gas bumi. AS mendapat zona ekonomi terbesar dan tak ternilai di dunia, sekitar 40% Antartika masuk bagian Uni Soviet dan hanya, Negara berkembang Brasilia serta Indonesia termasuk dalam kelompok sepuluh Negara yang mendapatkan hampir 55% daerah zona ekonomi yang disebutkan di atas. Ketergantungan negara berkembang yang dirugikan dari kelompok negara lain makin besar karena mekanisme kompensasi yang direncanakan tidak berfungsi. Karena konvensi hukum laut menyatukan seluruh peraturan dalam satu “paket” yang hanya dapat diterima atau ditolak secara keseluruhan, akan muncul banyak keberatan terhadap peraturan yang ada, dan membuat peluang untuk perpecahan besar dalam konvensi hukum laut ini. Namun, jika tidak diberlakukan konvensi hukum laut ini, usaha kembali pada konvensi hukum laut “lama” yang berasal dari tahun 1958. ( Sumber : Dieter Nohlen (ed), Kamus Dunia Ketiga, Penerbit PY Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1994 :242-244). Dalam pada itu di dalam tahun l96l telah di-undangkan Undang-undang no.l9 tahun l96l tentang “Persetujuan atas tiga Konvensi Jenewa (Swiss) diselenggarakan Konvensi Internasional mengenai, Hukum Laut (Converence on the Law of Sea), yang menghasilkanm tiga Konvensi yaitu:  Konvensi mengenai Pengambilan Ikan serta hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hayati Laut Bebas (Convention on Fishing and Conservation of Living Resources on the High Seas);  Konvensi mengenai Dataran Kontinental (Convention on the Continental Shelf);  Konvensi mengenai Laut Bebas (Convention on the High Seas). Undang-undang no.l9 tahun l96l tersebut diatas menyatakan persetujuannya atas ketiga Konvensi itu. Menurut pasal l, Konvensi, Dataran Kontinental tersebut yang dimaksudkan dengan istilah “Daratan Kontinental” ialah : Dasar dan lapisan-tanah bagian bawah, dibawah laut yang berbatasan dengan pantai, tetapi berada diluar daerah laut teritorial sampai sedalam 200 meter atau, daerah yang lebih dalam lagi, dimana dalamnya air memungkinkan eksploitasi sumber-sumber alam dari daerah tersebut;---dasar dan lapisan-tanah bagian bawah, dibawah laut yang berbatasan dengan pantai tetapi berada kepulauan. Didalam pasal 2 Konvensi ditentukan lebih lanjut mengenai dataran kontinental itu sebagai berikut : “Negara pantai” mempunyai hak-hak kedaulatan atas dataran kontinental untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber alamnya (ayat l). Hak-hak tersebut dalam (ayat l) diatas adalah khusus, dalam arti kata, bahwa andai kata Negara pantai tidak melakukan eksploitasi pada dataran kontinental atau tidak melakukan eksploitasi sumber-sumber alamnya, tidak seorangpun diperbolehkan melakukan usaha-usaha tersebut atas dataran kontinental, jikalau tidak mendapat izin yang nyata dari negara pantai (ayat 2). Hak-hak negara pantai atas dataran Kontinental tidak tergantung kepada pendudukan secara efektif atau anggapan saja atau suatu pernyataan (ayat 3). Sumber-sumber alam yang disebut dalam pasal-pasal dalam Konvensi ini terdiri dari mineral dan sumber-sumber yang tak berjawa lainnya didasar laut dan lapisan-lapisan tanah dibawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis lapisan sidemen, yaitu organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak, baik diatas maupun dibawah dasar laut, atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan-lapisan dibawahnya (ayat 4). Selanjutnya pasal 3 Konvensi menyatakan : Bahwa hak-hak negara pantai atas dataran kontinental tidak mempengaruhi status yang syah dari lautan bebas pada perairan itu atau udara diatasnya. Mengenai dataran kontinental yang sama berbatasan kepada wilayah-wilayah dari 2 negara atau lebih yang pantainya berhadapan satu sama lainnya, pasal 6 ayat l, Konvensi menentukan : “Bahwa perbatasan dari dataran kontinental yang tunduk kepada Negara-negara itu masing-masing ditetapkan dengan persetujuan bersama. Kalau tidak ada persetujuan dan kecuali jika ada garis perbatasan lain yang dapat dibenarkan oleh keadaan yang khusus, maka perbatasannya ialah garis tengah yang merupakan jarak yang sama diukur dari titik terdekat dari garis dasar dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Konvensi Hukum Laut PBB BERDASARKAN ketentuan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun l982, Negara pantai harus menetapkan kemampuannya dalam memanfaatkan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi ekslusif (ZEE) miliknya. Jika negara pantai tersebut belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan, maka negara bersangkutan harus memberikan kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkannya melalui perjanjian. Hingga akhir tahun 2001, diperkirakan sekitar kapal ikan asing yang beroperasi di ZEE Indonesia. Sekitar 50 % diantaranya memiliki dokumen palsu. Ikan yang ditangkap tidak ada satu pun disuplai ke daratan Indonesia; semuanya diangkut ke negara asal kapal guna menghidupkan industri pengolahan ikan serta, peningkatan ekonomi tersebut. Maka, mulai tahun 2002 dilakukan penertiban. Langkah yang dilakukan antara lain registrasi ulang semua kapal ikan. Khusus kapal asing dilakukan pembatasan jumlah. Kini hanya 712 unit yang diizinkan beroperasi di ZEE. Kapal sebanyak itu berasal dari :  Thailand (302),  Filipina (114) dan,  Cina (280). Sebanyak 16 kapal asing lainnya belum melakukan pendataan ulang. Total kapal yang beroperasi di perairan Indonesia sekitar 240.000 unit dengan kapasitas minimum 30 GT. Kapal Filipina mulai akhir tahun 2005 tidak diizinkan lagi beroperasi di ZEE Indonesia. Setelah itu, disusul kapal dari Thailand pada akhir tahun 2006, dan kapal Cina pada akhir tahun 2007. Izin penangkapan hanya diberikan kepada perusahaan asing yang melakukan investasi dengan menderikan industri pengolahan ikan secara terpadu di Indonesia. Kapal yang diizinkan disesuaikan dengan kapasitas terpasang dari industri tersebut. “Kami sangat menyadari pemberantasan pencurian ikan tak akan tuntas dalam waktu singkat. Maka dengan pembatasan kapal asing beroperasi di zona ZEE Indonesia, yang disertai dengan :  1). operasi yang tegas dari aparat keamanan,  2). pencabutan izin kapal ikan yang nakal,  3). perbaruan izin, kami yakin bisa menekan kerugian negara dari pencurian ikan. Kalau tahun 2005 dapat ditekan hingga 20%. Sudah luar biasa,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi. Persoalannya adalah bagaimana memperkuat armada kapal ikan nasional untuk beroperasi di zona ZEE Indonesia setelah adanya pembatasan terhadap kapal asing? Gugatan itu patut diajukan sebab sejauh ini perhatian DKP terhadap pengadaan armada penangkapan ikan masih sangat minim. Bahkan, pemerintah pun nyaris tidak mendorong dan memberi ruang yang luas bagi, perkembangan industri kapal perikanan dan, peralatan tangkap. Padahal, sebagai negara kepulauan, dengan wilayah laut lebih luas daripada daratan, seharusnya industri kapal, termasuk kapal ikan, berkembang pesat. Akan tetapi, harapan ini agaknya Cuma mimpi indah belaka. Mengapa? Karena Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2005 tentang Industri Pelayaran Nasional yang diterbitkan pada awal April 2005 sama sekali tidak menyinggung upaya pencepatan pembangunan industri armada penagkapan ikan. Jika pemerintah benar-benar serius memberdayakan sektor kelautan, seharusnya industri armada penangkapan ikan diberi peluang berkembang. Karena melarang kapal asing beroperasi tanpa mengisi armada nasional sebagai pengganti, yang banyak dan tangguh, berarti upaya penertiban ini sia-sia,” kata Ketua Umum Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Shidiq Moeslim. Persoalannya sekarang adalah, kapan kasus pencurian ikan diberantas hingga keaakar-akarnya? Melihat upaya penegakan hukum selama ini, di mana yang diseret ke Pengadilan hanya para “pelaku kelas teri”, banyak pihak meragukan keseriusan pemberantasan pencurian ikan. Artinya, sampai kapan pun kasus itu tak akan pernah selesai. Jika itu benar, persoalannya bukan sebatas, penegakan hukum, tetapi lebih memprihatinkan adalah, kehancuran biota laut sebagai akibat dari aktivitas ilegal tersebut, karena dalam penangkapan ikan, kapal asing umumnya menggunakan pukat harimau. Alat tangkap itu sangat dahsyat dalam merusak terumbu karang dan biota laut lainnya. Proses pemulihan membutuhkan waktu yang lama. Inilah kerugian yang paling besar yang selalu diderita oleh masyarakat Indonesia, tetapi terabaikan, setelah terbius dengan jutaan rupiah dan dollar AS. Menyedihkan, tetapi itulah faktanya, sehingga kasus pencurian ikan tidak pernah tertangani sampai tuntas. (JANNES EUDES WAWA-Kompas, 28-05-2005) Ya…Kerugian-kerugian yang di derita Indonesia di bidang Kelautan dan Perikanan kita istilahkan sebagai ““TRAGEDI KELAUTAN DAN PERIKANAN” (penulis). BAB. 3 BERBAGAI KETENTUAN & PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BATAS-BATAS PERAIRAN NKRI SEBUTAN BATAS WILAYAH TERITORIAL NKRI YANG BENAR ADALAH : “Dari Pulau RONDO - di Provinsi ACEH – (BARAT) Sampai Ke-MERAUKE (di Provinsi Papua – (TIMUR) Dan, Dari PULAU MIIANGAS – (UTARA) - di Provinsi Sulawesi Utara) Sampai Ke-PULAU PASIR (ASHMORE REEF) – (SELATAN) di Pulau Roti/Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur” Sebutan yang benar ini perlu disosialisasikan kepada semua anak Bangsa. BERBAGAI KETENTUAN & PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BATAS-BATAS PERAIRAN NKRI Pengantar Penentuan batas maritime tersebut perlu dilaksanakan dalam rangka : 1.penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia di laut, 2.pengelolaan sumber daya alam 3.serta pengembangan ekonomi kelautan Pasal 25-A UUD l945, disebutkan, “NKRI adalah sebuah negara kepulauan berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batasnya dan haknya ditentukan undang-undang.” Menurut Pasal 47, Ayat (1) UNCLOS, Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya. Dalam Bahasa Inggris isi lengkapnya oleh Penulis sbb : Article 47 Archipelagic baselines An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost islands and drying reefs of the archipelago provided that within such baselines are included the main islands and an area in which the ratio of the area of the water to the area of the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1. (Lihat Pasal-pasal UNCLOS 1982 di Bab 3 di atas) (Penulis). Pengamanan dan peningkatan kehadiran Pemerintah RI sebagai bentuk : pengejawantahan kedaulatannya terhadap pulau-pulau terluar di perbatasan antarnegara guna mewujudkan itikad sebagai pemilik kedaulatan yang sah; dan untuk meningkatkan pembangunan sosial-ekonomi penduduk di daerah perbatasan. Indonesia sebagai negara kepulauan yang telah diakui oleh UNCLOS dan telah diratifikasi, berhak menentukan garis batasnya. Dari 183 Titik Dasar (TD) yang menjadi patokan untuk menarik garis pangkal, tercatat ada 92 TD berada di pulau-pulau kecil terluar. Hal ini berarti keberadaan PPKT sangat vital dalam kerangka kedaulatan negara. Dipertegas lagi oleh PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Di situ disebutkan bahwa ada 92 PPKT yang menjadi acuan menarik garis pangkal. Anggapan bahwa PPKT merupakan pulau liar tak terurus dan seonggok batu karang, tidak selamanya benar. Kurang lebih hanya sepertiga dari PPKT yang dihuni, selebihnya masih berupa hutan bervegetasi lebat sampai jarang. Batas wilayah dikatakan jelas dan tegas jika batas tersebut, telah memiliki kepastian hukum dan batas tersebut dapat diukur serta diwujudkan dalam bentuk peta. Dapat dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi sangat penting bagi Indonesia, karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Berdasarkan hasil survei Base Point atau titik dasar untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai Dibawah ini disajikan beberapa Dasar Hukum yang syah atas Pemilikan Pulau-pulau Perbatasan dan Pulau-pulau Terluar NKRI berupa beberpa Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden RI (Keppres). Dengan Dasar Hukum ini maka dinyatakan bahwa di Indonesia tidak ada Pulau yang disebut sebagai Pulau SENGKETA. Oleh karena itu baik Pemerintah maupun pihak lain tidak boleh menyatakan bahwa ada terdapat pulau ”sengketa” dengan negara tetangga. Apabila ada pihak yang menyatakan bahwa terdapat pulau-pulau ’sengketa’ maka, itu samahalnya telah mementahkan kembali semua Dasar Hukum yang telah diterbitkan oleh pemerintah RI dan dianggap seolah-olah Dasar Hukum tersebut tidak ada atau tidak peranah ada. Hal ini perlu dijelaskan disini oleh karena saat ini banyak pihak dengan gencarnya selalu menyebutkan bahwa semua pulau-pulau terluar adalah ’pulau sengketa’ dengan negara tetangga yang berbatasan langsung. Jika terjadi klaim dari negara tetangga atas sesuatu pulau atau wilayah kedaulatan Indonesia, maka atas klaim tersebut tidak boleh dikatakan sebagai suatu ’sengketa perbatasan’ atara kedua negara, bahkan kita harus menyatakan sebagai suatu upaya penyerobotan wilayah oleh negara tetangga. Bahwa Pulau atau wilayah tersebut adalah milik Indonesia yang telah didukung dengan berbagai PP dan Keppres sebagai Dasar Hukum yang kuat seperti disebutkan satu persatu di bawah ini. Dengan demikian maka penyelesaiannya bukan harus dilakukan dengan jalan perundingan, melainkan kita harus beri ultimatum dan peringatan keras kepada negara tetangga tersebut untuk tidak memasuki perairan dan kedaulatan NKRI. Namun dengan peringatan tersebut tetapi negara tetangga masih terus juga melakukan pelanggaran teritorial NKRI, maka itu samahalnya negara tetangga tersebut baik langsung atau tidak langsung telah menyatakan perang dengan Indonesia. Jika terjadi hal seperti itu, maka telah menjadi tanggung jawab TNI untuk melalukan serangan militer terhadap negara tetangga tersebut, dan segala resiko akan menjadi tanggung jawab negara pelanggar batas tersebut. Tetapi bagaimana kenyataannya sekarang ini Kini beberapa negara tetangga seperti Malaysia mencoba mau mengklaim Blok Ambalat minjadi miliknya karena diwilayah tersebut kaya dengan sumber migas. Demikian pula beberapa wilayah daratan di Kalimantan juga terjadi penyerobotan dengan memindahkan pilar batas Malaysia jauh kedalam wilayah NKRI. Dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, banyak kalangan termasuk pers, terutama oleh Prersiden SBY dan Menlu RI, dll, mengistilahkan peristiwa tersebut dengan sebutaan ”SENGKETA”. Oleh karena sebutannya ’Sengketa’, maka langkah-langkah yang diambil adalah penyelesaiannya liwat :”MEJA PERUNDINGAN” yang sampai saat ini tidak pernah tuntas. Jika Pulau, wilayah itu benar-benar milik Indonesia, tetapi mengapa penyebutannya harus ”Sengketa” dan penyelesaiannya harus melalui jalur Perundingan? Disinilah letak ”salah langkah” yang diambil pemerrintah SBY dan Menlu RI. Sebagai contoh : Pada suatu hari Si Maling datang mencuri di rumah kita, setelah kepergok maka seharusnya kita hajar dia sampai babak belur dan bukannya kita mengajak berunding supaya si pencuri lain kali jangan datang maling lagi? Contoh sederhana ini kita samakan dengan negara tetangga yang mau menyerobot pulau atau wilayah NKRI. Jalan yang tepat adalah menghajar negara tetangga tersebut hingga babak belur, dan bukannya diajak berunding? Sebuah pulau atau wilayah tidak bertuan, jika diperebutkan dua negara atau saling mengkliamnya menjadi miliknya, maka pulau atau wilayah tersebut baru kita namakan sebagai Pulau atau wilayah Sengketa, tetapi jika pulau itu milik syah sebuah negara dan berdaulat atasnya, maka jika ada negara tetangga mengklaimnya, maka kita sebut sebagai penyerobotan dan oleh pemilik pulau tersebut menyebut pulau terbut bukan pulau sengketa. Bahwa Ibaratnya Pulau-pulau terluar NKRI sudah memiliki SERTIFIKAT yang syah yang telah dituangkan dalam berbagai PP, UU, Keppres, dan berbagai Hasil Konvensi Internasional sebagai Dasar Hukum Tetap. Jadi setiap ada klaim dari negara tetangga, maka kita namakan sebagai upaya Penyerobotan dan bukan Sengketa. Inilah logika hukum dan bahasa politik tentang Perbatasan NKRI.. Dalam uraian-uraian lebih lanjut dalam buku ini akan kita mengetahui berbagai tindakan penyelesaian masalah pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar yang bertele-tele dan terkesan lamban, kurang memiliki keberanian, ketegasan sehingga Indonesia menjadi bulan-bulan negara tetangga dan ironisnya selalu ”Kalah’ karena mengesampingkan dan tidak berpegang teguh lagi pada semua Dasar Hukum atas kepemilikan Pulau-pulau Terluar yang sudah kita miliki. Berikut ini beberapa Dasar Hukum tentang kememilikan dan Kedaulatan NKRI yang syah atas Pulau-pulau atau wilayah NKRI disajikan disini, sebagai pegangan dalam menghadapi negara tetangga. Berdasarkan Berbagai Ketentuan Perundangan. PP, Keppres, dll, yang disebutkan di bawah ini, maupun Berbagai Peta Indonesia Tentang Kedaulatan Indonesia atas Wilayah Perbatasan NKRI dengan negara-negara tetangga, menunjukkan bahwa Indonesia Tidak Memiliki Pulau Sengketa dengan negara manapun di belahan Utara NKRI. Atau dengan perkataan lain, bahwa Semua Pulau-Pulau Perbatasan dan Puiau-pulau Terluar NKRI telah memiliki Sertifikat Kepemilikan Resmi, berdadsarkan Berbagai Ketentuan Perundangan yang ada. Adapun Dasar-Dasar Hukum dan Berbagai Peta NKRI. disajikan sbb : 1). Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); yang menindaklanjuti pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum laut. 2) .Penetapan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik—Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia 3). Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan 4). PP. Nomor 61 Tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3768) dinyatakan tidak berlaku. 5). Penetapan batas-batas maritim ditentukan berdasarkan ketentuan hukum laut internasional dan pada saat ini menggunakan United Nations of Convension on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 82) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Rl melalui UU No. 17 Tahun 1985. Implementasinya antara lain diperlukan pengelolaan terhadap batas maritim yang meliputi batas maritim langsung berbatasan dengan negara tetangga dan batas maritim dengan laut bebas. Secara teknis penentuan batas maritim diatur dalam A Manual on Technical Aspects United Nations of Convension on the Law of the Sea (TALOS) yang dikeluarkan oleh International Hydrographic Organization (IHO). Dengan demikian maka Dishidros TNI AL sebagai salah satu Badan Pelaksana Pusat di tingkat Mabesal sekaligus sebagai lembaga hidrografi nasional sesuai Keppres No. 164/1960, ditunjuk sebagai anggota IHO mewakili pemerintah Rl, ikut terlibat menjadi anggota delegasi dalam setiap perundingan perbatasan laut dengan negara tetangga 6). Daftar 92 pulau terluar Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Peraturan Presiden tersebut ditandatangani olehPresiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Desember 2005. Sebanyak 92 pulau di wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan negara tetangga. 7). Dalam tahun l96l telah di-undangkan Undang-undang no.l9 tahun l96l tentang “Persetujuan atas tiga Konvensi Jenewa (Swiss) diselenggarakan Konvensi Internasional mengenai, Hukum Laut (Converence on the Law of Sea), yang menghasilkanm tiga Konvensi yaitu: 1).Konvensi mengenai Pengambilan Ikan serta hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hayati Laut Bebas (Convention on Fishing and Conservation of Living Resources on the High Seas); 2).Konvensi mengenai Dataran Kontinental (Convention on the Continental Shelf); 3).Konvensi mengenai Laut Bebas (Convention on the High Seas). Undang-undang no.l9 tahun l96l tersebut diatas menyatakan persetujuannya atas ketiga Konvensi itu. 8). Dalam pengertian “air” termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah. Perairan Indonesia ini diatur didalam UU Prp no.4 tahun l960 yang dimuat dalam LN l960-22. Penjelasannya dimuat dalam TLN l942. Laut Wilayah Indonesia atau perairan (laut) teritorial menurut pasal l PERPU tersebut ialah : “Lajur laut selebar 12 mil laut (atau angka lain yang telah mengalami perubahan di kemudian hari) yang garis luarnya diukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus, yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis-garis-air rendah dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar, dalam wilayah Indonesia----. 9). Bahwa Bukti Hak Kepemilikan 92 pulau perbatasan dan 12 Pulau Terluar NKRI, tersebut telah tertuang dalam berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) RI, antara lain sbb :1). PP.38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia yang berfungsi menegaskan keutuhan wilayah NKRI sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara sekaligus mengisi kekosongan hukum karena UU No.6 Tahun 1996 Tentang Perairan yang menggantikan UU/Perpu No.4 Tahun 1960 yang tidak melampirkan Daftar Titik Koordinat Garis Pangkal sebagaimana UU No.4/Prp/1960.Diterbitkannya PP.No 38 Tahun 2002 tersebut juga memberikan dasar hukum yang kuat bagi upaya penegakan hukum pelanggaran kewilayahan di NKRI. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2002 tentang titik-titik dasar garis pangkal kepulauan RI terdapat pulau terluar di tanah air 2). Selain dasar hukum tersebut di atas, pada tanggal 28 Juni 2002 Pemerintah mengeluarkan pula PP.No.36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Damai (PP LINDA). 3). Kemudian PP No.37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan Hak Alur Laut Kepulauan yang ditetapkan (PP ALKI). Ketiga PP tersebut memberi dasar dan kewenangan bagi aparat guna menegakkan hukum dalam rangka perwujudan kedaulatan nyata laut.Memuat pula daftar 92 pulau terluar Indonesia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005. Peraturan Presiden tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Desember 2005. 10). Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004, salah satu tugas TNI dalam operasi militer, selain perang adalah mengamankan wilayah perbatasan.Indonesia telah memperjuangkan konsepsi Wawasan Nusantara sejak 13 Desember 1957. Pemerintah saat itu mengajukan kepada dunia internasional bahwa batas laut wilayah adalah 12 mil dari titik terluar pulau terluar dalam wilayah Indonesia. 11). UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia . Berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, perjanjian tentang batas antarnegara bersifat final dan tidak tunduk pada ketentuan tentang perubahan fundamental bagi tuntutan pembatalan perjanjian internasional (Pasal 62). Inilah merupakan Dasar Hukum yang menyatakan bahwa 92 pulau perbatasan dan 12 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Negara-negara tetangga adalah Pulau-pulau milik syah NKRI dan merupakan penentuan Titik Dasar untuk menarik Garis Batas Terluar dengan 10 Negara Tetangga 12) Peta laut Hindia Belanda No.117 Nusa Tenggara (Kleine Soenda Einlenden en Aangrenzende Vaarwaters Blad V) skala 1:500.000 terbitan tahun 1925 (dicetak ulang tahun 1953) yang menggambarkan kepemilikan pulau-pulau di wilayah sekitar Pulau Timor, dan peta tersebut tidak mencantumkan Pulau Batek sebagai milik Portugis. Digambarkan bahwa daerah milik Portugis adalah Oikoesi, Timor Portugees, Pulau Jako dan Pulau Kambing Bahwa Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menindaklanjuti pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 memuat ketentuan bahwa peta yang menggambarkan wilayah Perairan Indonesia atau Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, diatur dengan Peraturan Pemerintah;Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); 13). Berdasarkan Pasal 10 huruf (b) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, maka Perjanjian Internasional yang menyangkut penetapan batas harus mendapat pengesahan dari DPR 14). Menurut Undang-Undang RI nomor 5 tahun 1983, batas terluar ZEE adalah 200 mil dari garis pangkal pada surut rendah (low water line). 15). Dalam Amandemen UUD 1945 Bab IX A tentang Wilayah Negara, Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Saat ini UU tentang Perairan Indonesia belum juga dirancang oleh Pemerintah Pusat). Guna ketegasan dan kepastian wilayah perairan NKRI, maka seyogianya, Pemerintah Pusat dan DPR RI segera menyusun Rencana UU Perairan Indonesia menjadi UU sebagai suatu ketegasan kepada Negara-negara Tetangga maupun dunia Internasional lainnya. Di sini jelas disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 1982 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Dampak dari ratifikasi Unclos ini adalah keharusan Indonesia untuk menetapkan 1.Batas Laut Teritorial (Batas Laut Wilayah), 2.Batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan 3.Batas Landas Kontinen. Indonesia Adalah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau tersebut terdapat pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan 10 negara tetangga.Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pemberdayaan Ekonomi Perbatasan bertujuan menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda depan Indonesia dapat mengatasi problem kesejahteraan. Namun, aplikasi peraturan itu masih dipertanyakan warga setelah ekonomi mereka terpuruk 16). Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007 yang menjamin hampir semua masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim wilayah daratan dan wilayah kelautan yang telah lama mereka diami jauh sebelum para penjajah datang menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah mereka. Inilah salah satu dasar hukum untuk memperjuangkan kembalinya Hak-hak masyarakat adat traduisional Suku Rote atas Pulau Pasir (Ashmoro Reef) ke Indonesia dari Australia yang dicaploknya sejak tahun 1974 secara sepihakPemahaman yang mendalam tentang hukum laut serta pengamanan akan sangat diperlukan untuk memepertahankan NKRI,” himbau mantan Menteri Luar Negeri RI itu. Sebuah Contoh Perang mempertahankan hak kedaulatan atas Pulau Antara Inggris dengan Argentina. Pulau-pulau terluar banyak sengketa wilayah laut yang terjadi di beberapa negara di dunia yang memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya bahkan sampai menimbulkan perang, seperti antara Inggris dan Argentina beberapa waktu lalu yang memperebutkan Kepulauan Malvinas/Vocland`. Jadi Perang mempertahankan kedaulatan NKRI terhadap pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar NKRI buakanlah hal yang tabu. Kasus Sipadan-Ligitan yang akhirnya jatuh ke tangan Malaysia, merupakan pengalaman buruk Indonesia. Seharusnya saat Malaysia memasuki Pulau Lingitan dan Pulau Sipadan, wilayah Indonesia, maka pada saat yang sama seharusnya Presiden langsung menerjunkan pihak keamanan ke kedua pulau tersebut untuk mengamankannya. Tetapi ternyata hal ini tidak dilaksanakan sehingga Malaysia tetap menguasai pulau-pulau itu hingga penyelesaiannya ke Mahkamah Internasional, dan akhirnya diputuskan kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia. Oleh karena itu jika negara mana saja diantara negara tetangga yang mencoba mengklaim pulau-pulau atau wilayah-wilayah darat di perbatasan, maka pemerintah harus segera menejunkan pasukan TNI kelokasi-lokasi tersebut untuk mempertahankan kedaulatan NKRI, dan jangan hanya pandai meneriakkan protes dari belakang meja saja atau NATO = No Action Tolk Only seperti kasus-kasus perbatasan yang sudah lalu itu. Untuk kasus yang serupa jika terjadi lagi maka, sesegera mungkin pasukan keamanan diterjunkan ke pulau-pulau atau wilayah yang diklaim oleh negara tetangga untuk antisipasinya, dan tidak dibiarkan seperti pada kasus Sipadan dan Linggitan. Sayangnya Pimpinan Nasional (Presiden) begitu lemah dan kurang tanggap dalam setiap timbulnya kasus penyerobotan pulau-pulau NKRI oleh negara tetangga, yang hanya berupa peringatan dan meyuruh minta maaf saja dan tidak ditanggapi dengan sikap agresif menantang secara fisik dilapangan. Selalu saja maunya diselesaikan dengan cara damai dan Santun, liwat perundingan. Jika pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar kita, telah memiliki dasar hukum yang kuat seperti disebutkan di atas, maka seharusnya semua upaya penyerobotan negara tetangga terhadap pulau-pulau NKRI, seharusnya tidak memerlukan penyelesaian lewat Meja Perundingan separti saat ini terhadap Blok Ambalat oleh Malaysia melainkan memberi ultimatum tegas kepada Malaysia untuk tidak lagi memasuki perairan Ambalat. Jika Malaysia masih juga melakukan hal yang sama, maka itu harus diartikan sebagai Malaysia telah menyatakan Perang secara langsung atau tidak langsung terhadap Indonesi dan sebagai buktinya, Malaysia telah mengerahkan Kapal=Kapal Perangnya memasuki wilayah teritrial Indonesia secara tidak syah berarti pula telah melanggar Kedaulatan Indonesia. Maka jalan yang ditempuh Indonesia adalah mengirim pasukan keamanan untuk siap menembak secara langsung kapal-kapal perang Malaysia yang masuk ke Blok Ambalat secara tidak syah itu. Jika terjadi hal tersebut maka Malaysialah yang paling bertanggung jawab atas segala resikonya, oleh karena sebelumnya Indonesia telah memperingatkannya secara tegas. Saat ini Pemerintah mengambil jalan penyelesaiannya melalui Meja Perundingan merupakan salah langka yang fatal, dan seolah-olah Presiden telah mengingkari semua dasar hukum tentang kepemilikan pulau-pulau terluar itu dan dianggap tidak berlaku lagi? Sungguh suatu Kebodohan yang Fatal. Kalau Pulau-pulau terluar tersebut milik NKRI yang sudah tertuang dalam berbagai PP, dan Keppres, mengapa Berunding? Apakah wajar kita berunding dengan Si Perampok – si maling yang memasuki rumah kita? Aneh Tapi Nyata, dan Mana Logikannya? 17). UUPA No.5 Tahun 1960 Tentang Bumi, Air Ruang Angkasa UUPA No.5 Tahun l960 tentang, Bumi, dan Air dan Ruang angkasa. Undang-undang Pokok Agraria No.5 Tahun l960. Dalam Hukum Agraria, pengertian-pengertian “bumi”, “air”, dan “ruang angkasa,” diatur dalam Pasal 1 ayat 4, 5, 6, serta pasal 4 ayat l memberi penjelasan tentang arti pengertian-pengertian tersebut. Pertama-tama diadakan perbedaan antara pengertian “bumi” dan “tanah”. Menurut pasal 4 ayat l, “Tanah” adalah permukaan bumi. Sedang “bumi” menurut pasal l ayat 4, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi, serta yang berada dibawah air. Adapun yang termasuk bumi Indonesia tidaklah terbatas pada yang berada dibawah batas-batas perairan Indonesia saja, yaitu perairan pedalaman (“inland waters”) dan, laut wilayah (“territorial waters”), melainkan juga, bumi yang berada dibawah air diluar batas-batas itu. Hal ini berhubungan dengan pengertian yang disebut dataran kontinental (“continental shelf”). Ruang Angkasa Menurut pasal 1 ayat 6, yang dimaksud dengan “ruang angkasa” : Ialah “ruang diatas bumi dan air” tersebut diatas. Perluasan pengertian bumi dan air dengan ruang angkasa adalah, demikian, Memori Penjelasan pasal l, bersangkutan dengan kemajuan teknik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam waktu-waktu yang akan datang. Berhubung dengan itu maka dalam hukum Agraria kita, dikenal pula apa yang disebut “hak guna ruang angkasa” (pasal 48). Penjelasan mengenai “bumi”, “air”, dan “ruang angkasa” tersebut diatas adalah tafsiran otentik dari UUPA (Undang-undang Pokok Agraria 1960). 18). UU Pertambangan Pengertian dataran kontinental itu penting sekali dalam hubungannya dengan “hukum pertambangan.” Didalam Undang-undang no.11 tahun l967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (LN l967 no.22)-(Lampiran no. 66 dan 67), dinyatakan dalam pasal 2 huruf k, bahwa : “Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia, adalah tanah dibawah perairan Indonesia dan paparan benua (continental shelf) kepulauan Indonesia. Di dalam Memori penjelasannya diterangkan mengenai pengertian dataran kontinental itu, bahwa :Dataran kontinental yang diartikan oleh dunia internasional ialah semua daerah dibawah permukaan air dari pantai kearah laut, dimana dalamnya air, masih memungkinkan penyeledikan dan pengambilan hasil sumber-sumber kekayaan alam dari dasar laut dan tanah (yang dimaksud bumi) dibawahnya”. Perluasan pengertian ‘bumi’ wilayah ini berhubungan dengan kemajuan teknik pertambangan dewasa ini, yang misalnya memungkinkan dilakukannya penyeledikan dan pengambilan minyak dari bumi yang berada dibawah air. 19). Konvensi Genewa Tentang Hukum Laut (29 April 1958) Pengertian Laut Teritorial : Jalur laut di tepi pantai, atas mana, suatu negara pantai memiliki kedaulatan. Kadaulatan ini tidak hanya terbatas pada perairan laut teritorial saja, tetapi juga meliputi ruang udara di atasnya, dasar jalur laut, dan tanah dasar di bawahnya. Hanya ada satu saja rintangannya, yakni berupa hak, bagi kapal milik negara asing untuk melintas “tanpa etikat buruk” (innocent passage). Semua kapal-kapal dimaksud “tidak membahayakan perdamaian negara pantai”, maka negara ini tidak diperkenankan menghalang-halangi pelayaran pintas kapal itu. Kapal-kapal selam” diharuskan berlayar ‘di atas permukaan air’. Menurut beberapa ketentuan, suatu negara pantai diperkenankan “meniadakan hak melintas tanpa maksud buruk”, dibeberapa bagian laut teritorial tetapi ketentuan demikian tidak boleh diterapkan pada “selat laut yang menghubungkan dua laut lepas”, juga jika “selat itu menjadi jalur penghubung laut lepas dengan laut teritorial negara lain”. Peraturan ini telah disepakati di Genewa 29 April 1958.(Insklopedi Indonesia Edisi Khusus (EI) : 3511). 20). Konvensi Internasional & Hukum Laut Internasional 1982 Diterimanya konvensi hukum laut PBB 30 April 1982 tidak hanya menggambarkan suatu titik balik yang penting dalam perkembangan hukum laut, melainkan juga disebut “pembagian dunia yang ketiga” (Gierloff Emden). Pembagian zone pinggir laut sekitar benua dan kepulauan menyebabkan penambahan luas sekitar 45 negara pentai (zona ekonomi 200 mil laut untuk seluruh dunia, meliputi luas 120 juta km2), dengan demikian membatasi prinsip “kebebasan pemanfaatan laut”, seperti masih tertera dalam pasal 2 persetujuan Jenewa 29 April 1958 mengenai perairan internasional. Rencana pemanfaatan sumber daya dasar laut secara kolektif antarpemerintah juga, memperkuat kecenderungan ke arah “peng”kapling-an laut” dengan dampak merugikan Negara pedalaman dan Negara berkembang. Setelah persiapan selama 6 tahun (1967-1973) dan 9 tahun perundingan (1973-1982). Konferensi Hukum Laut Internasional III PBB (UNLOS; United Nations Confernce on the Law of the Sea) 30 April 1982, Mengesahkan konvensi hukum laut dengan,  keputusan mayotitas (130 setuju),  4 menolak—(AS, Turki, Israel, Venezuela--),  Dan 17 abstain). Penandatanganan konvensi hukum laut ini berlangsung 10 Desember 1982, Tetapi belum diberlakukan, karena untuk ini perlu 60 ratifikasi. Sementara ini baru 35 negara yang meratifikasi. Walaupun mayoritas menyetujuinya, a.l. dari kubu Negara berkembang, nasib konvensi hukum laut ini selanjutnya masih tidak menentu terutama karena penolakan sebagian besar Negara industri dan Jepang. Konvensi hukum laut membahas hukum laut umum :  pelayaran, perikanan, daerah pantai, dll.,  penambangan dasar laut,  penelitian laut untuk kepentingan ilmu pengetahuan,  transfer teknologi laut,  dan rencana pembangunan “mahkamah laut internasional” di Hamburg. Pendahulu konvensi hukum laut tahun 1958, yang disusun “progresif”. Dikembangkan dan disimpulkan dalam konvensi hukum laut yang sekarang. Titik tolak reformasi konvensi hukum laut adalah tahun 1967 ketika ada usul untuk memberi reaksi terhadap dimensi baru pemanfaatan dasar laut dengan pemikiran peraturan yang baru untuk “ warisan bersama umat manusia” (konsep Common heritage of mankind). Daerah laut dalam, hendaknya diurus oleh instansi internasional (instansi untuk masalah dasar laut yang berkedudukan di Jamaika) dan, terutama dieksploitasi oleh bagian pelaksanaannya (yang disebut Enterprise), khususnya dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan negara berkembang, a.l. melaksanakan kewajiban alih teknologi. Untuk konsepsi dasar hukum dalam konvensi hukum laut ada empat gagasan peraturan yang saling bersaing, yaitu, 1). kebebasan (pelayaran melintasi perairan internasional dengan pesawat terbang, dst), 2). pembagian (pengaturan sumber daya di daerah depan pantai), 3). reginalisasi (kerja sama antarnegara pantai dalam bidang perikanan, pemeliharaan jenis ikan, dsb.), dan internasionalisasi (eksploitasi bahan bahan mentah mineral dasar laut), 4). gagasan politik yang telah disepakati, demiliterisasi, dekolonisasi, dan tata ekonomi dunia baru. Konvensi hukum laut sebagai “hasil konflik pembagian di seluruh dunia” (Vitzhum) dengan demikian, menguatkan kecenderungan perluasan hak negara pantai zona laut dan sumber daya laut, terutama didukung oleh banyak negara berkembang muda, yang sangat mendambakkan kedaulatan, dan tentu saja merugikan Negara pedalaman dan Negara yang secara geografis dirugikan dalam hal hak penagkapan ikan, penambangan minyak dan gas bumi. AS mendapat zona ekonomi terbesar dan tak ternilai di dunia, sekitar 40% Antartika masuk bagian Uni Soviet dan hanya, Negara berkembang Brasilia serta Indonesia termasuk dalam kelompok sepuluh Negara yang mendapatkan hampir 55% daerah zona ekonomi yang disebutkan di atas. Ketergantungan negara berkembang yang dirugikan dari kelompok negara lain makin besar karena mekanisme kompensasi yang direncanakan tidak berfungsi. Karena konvensi hukum laut menyatukan seluruh peraturan dalam satu “paket” yang hanya dapat diterima atau ditolak secara keseluruhan, akan muncul banyak keberatan terhadap peraturan yang ada, dan membuat peluang untuk perpecahan besar dalam konvensi hukum laut ini. Namun, jika tidak diberlakukan konvensi hukum laut ini, usaha kembali pada konvensi hukum laut “lama” yang berasal dari tahun 1958. ( Sumber : Dieter Nohlen (ed), Kamus Dunia Ketiga, Penerbit PY Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1994 :242-244). Dalam pada itu di dalam tahun l96l telah di-undangkan Undang-undang no.l9 tahun l96l tentang “Persetujuan atas tiga Konvensi Jenewa (Swiss) diselenggarakan Konvensi Internasional mengenai, Hukum Laut (Converence on the Law of Sea), yang menghasilkanm tiga Konvensi yaitu: 1.Konvensi mengenai Pengambilan Ikan serta hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hayati Laut Bebas (Convention on Fishing and Conservation of Living Resources on the High Seas); 2.Konvensi mengenai Dataran Kontinental (Convention on the Continental Shelf); 3.Konvensi mengenai Laut Bebas (Convention on the High Seas). Undang-undang no.l9 tahun l96l tersebut diatas menyatakan persetujuannya atas ketiga Konvensi itu. Menurut pasal l, Konvensi, Dataran Kontinental tersebut yang dimaksudkan dengan istilah “Daratan Kontinental” ialah : Dasar dan lapisan-tanah bagian bawah, dibawah laut yang berbatasan dengan pantai, tetapi berada diluar daerah laut teritorial sampai sedalam 200 meter atau, daerah yang lebih dalam lagi, dimana dalamnya air memungkinkan eksploitasi sumber-sumber alam dari daerah tersebut;---dasar dan lapisan-tanah bagian bawah, dibawah laut yang berbatasan dengan pantai tetapi berada kepulauan. Didalam pasal 2 Konvensi ditentukan lebih lanjut mengenai dataran kontinental itu sebagai berikut : “Negara pantai” mempunyai hak-hak kedaulatan atas dataran kontinental untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber alamnya (ayat l). Hak-hak tersebut dalam (ayat l) diatas adalah khusus, dalam arti kata, bahwa andai kata Negara pantai tidak melakukan eksploitasi pada dataran kontinental atau tidak melakukan eksploitasi sumber-sumber alamnya, tidak seorangpun diperbolehkan melakukan usaha-usaha tersebut atas dataran kontinental, jikalau tidak mendapat izin yang nyata dari negara pantai (ayat 2). Hak-hak negara pantai atas dataran Kontinental tidak tergantung kepada pendudukan secara efektif atau anggapan saja atau suatu pernyataan (ayat 3). Sumber-sumber alam yang disebut dalam pasal-pasal dalam Konvensi ini terdiri dari mineral dan sumber-sumber yang tak berjawa lainnya didasar laut dan lapisan-lapisan tanah dibawahnya bersama-sama dengan organisme hidup yang termasuk dalam jenis lapisan sidemen, yaitu organisme yang pada masa perkembangannya tidak bergerak, baik diatas maupun dibawah dasar laut, atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut atau lapisan-lapisan dibawahnya (ayat 4). Selanjutnya pasal 3 Konvensi menyatakan : Bahwa hak-hak negara pantai atas dataran kontinental tidak mempengaruhi status yang syah dari lautan bebas pada perairan itu atau udara diatasnya. Mengenai dataran kontinental yang sama berbatasan kepada wilayah-wilayah dari 2 negara atau lebih yang pantainya berhadapan satu sama lainnya, pasal 6 ayat l, Konvensi menentukan : “Bahwa perbatasan dari dataran kontinental yang tunduk kepada Negara-negara itu masing-masing ditetapkan dengan persetujuan bersama. Kalau tidak ada persetujuan dan kecuali jika ada garis perbatasan lain yang dapat dibenarkan oleh keadaan yang khusus, maka perbatasannya ialah GARIS TENGAH yang merupakan JARAK YANG SAMA diukur dari titik terdekat dari garis dasar dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. ---Pasal 47 UNCLOS 1983 ---Pasal 38 UNCLOS 1982 ---Pasal 76 UNCLOS 1982 21). Perairan Teritorial : Wilayah samudera, atas mana suatu negara memiliki hak kedaulatan (souvereign rights). Hak-hak ini termasuk pula hak kekuasaan atas perikanan, navigasi, dan perkapalan, juga termasuk pemanfaatan sumber alam samudera. Perairan teritorial terdiri dari : perairan dalam dan perairan luar yang dimilikinya. Termasuk dalam “perairan dalam”,: danau, sungai, dan perairan laut antara dua tanjung seperti ‘teluk dalam’ (bay) dan ‘teluk’ (gulf). Negara-negara memiliki lebih banyak autoritas atas ‘perairan dalam’ yang dimilikinya, daripada lautan teritorialnya. Perbedaan antara ‘perairan dalam’ dan ‘perairan luar’ ialah, Pertama, tidak boleh dilayari kapal asing tanpa ijin, sedangkan Kedua, boleh dilayari kapal asing secara bebas dalam waktu damai. Dalam Konferensi Hukum Laut di Caracas (1970) dan Jamaica (Mei 1982), telah disepakati kedaulatan atas jalur laut selebar 12 mil laut, dan jalur laut selebar 200 mil laut untuk wilayah ekonomi eksklusif (Exclusive Economic Zone –‘EEZ’--ZEE), diukur dari tepi pantai. Dalam konferensi itu, juga disepakati ketentuan tentang pelayaran pintas tanpa itikad buruk di laut “teritorial”. (EI : 3512). 22). Topografi Dasar Laut : Bentuk permukaan dasar laut, disebut pula batimetri submarin. Pada dasa-warsa pertama abad ke-20, pengetahuan topografi dasar laut masih sangat terbatas pada wilayah yang dangkal. Penemuan Frensenden (1911) tentang metode gema suara (echo-sounder) untuk mengukur kedalaman laut, telah mengubah konsep mengenai bentuk permukaan dasar laut. Ternyata dasar laut menyerupai daratan, ada dataran, lereng gunung, lembah, jurang, sesaran ( fault), dan sebagainya. Hampir semua bentuk tersebut dapat di ketemukan di perairan Indonesia. Dari hasil rekaman gema suara yang diperoleh pada pengukuran kedalaman laut, dapat dibuat ‘peta dasar laut’ yang disebut “peta bantimetri”. Secara garis besar, dasar laut dibagi menjadi 4 bagian, dan dapat digambarkan seperti berikut : 1). paparan benua, kedalaman 0 – 200 m; 2). lereng benua, kedalaman 200 – 1.500 m; 3). jendul benua, kedalaman 1.500 – 2.000 m; 4). dasar laut dalam, kedalaman 2.000 m. (EI : 3597). Dibawah ini diperlihatkan peta “Landas Kontinen” menurut Hukum Laut Internasional sebagai berikut : Dalam peta tersebut di sebutkan, Keterangan gambar/peta dibawah ini : a). Batas kedaulatan Negara pantai adalah 12 mil laut; b). Batas Zone ekonomi adalah 200 mil laut c). Lautan Internasional adalah lepas batas landas kontenen d). Dataran kontinen adalah landai sampai kedalaman laut 180 meter e). Lereng kontinen adalah kedalaman lebih dari 180 meter f). Kedalaman 3000 meter – 6000 meter disebut laut dalam g). Punggung h). Palung --- selanjutnya lihat peta dasar laut sbb: Gambar : Landasan Kontinen menurut Peresetujuan Kukum Laut Internasional 1958 (Sumber : Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus (EI) hal.3597--(Penulis). 23). Perairan Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan (17.583 buah pulau), dengan posisi georafis 94’ 15’ derajat BT—141’ 00 derajat BT, dan 06’ 08’-- LU 11’ 15’ derajat LS atau terletak di wilayah tropika. Sekitar 70% wilayah Indonesia terdiri dari laut, sehingga laut merupakan lingkungan fisik yang lebih menonjol. Negara ini terletak antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua Samudra, Pasifik dan Samudera Hindia (Indonesia). Posisi silang ini mempengaruhi iklim dan sifat oseanologik perairan Indonesia. Di Indonesia di kenal Musim Barat (Desember –Maret)-- Musim Timur (Juni—Agustus) dan Musim Pancaroba atau Musim Peralihan (April—Juni dan September—November). Keempat musim ini secara nyata mempengaruhi sifat-sifat laut, terutama kecepatan dan arah arus permukaan, keadaan gelombang dan ombak. Pasang surut di seluruh perairan pada umumnya bersifat campuran. Karena terletak di daerah tropik, hampir sepanjang tahun suhu permukaan berkisar 26---30 derajat Celsius. Salinitas permukaan berkisar antara 29—30 o/oo, kadar oksigen sekitar 3,5—4,5 ml/l, kecerahan air laut dangkal, di sekitar pulau, dan di laut terbuka berturut-turut 10—20m, 20—30m, dan 30m. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki : 1). pantai sepanjang 80.741,42 km, 2). hutan payau 10 juta km2; 3). hutan bakau 3,6 juta km2, 4). pertambakan seluas 183.000 ha. 5). luas perairan teritorial (batas 12 mil laut) 6). perairan pedalaman 25.725.280 km2. (EI : 2649). ---Undang-Undang Pokok Perairan No.6/1996. 24). Perairan Umum Dalam teknik perikanan, jenis perairan yang tidak dimiliki oleh perorangan, melainkan oleh negara, dinas pemerintah, atau masyarakat bersama. Misalnya danau, rawa, sungai, atau waduk pengairan. Pada danau, rawa, sungai, yang besar seperti Toba, rawa Camurdarat dan S.Kapuas, para nelayan bebas menjalankan kegiatan penangkapan ikan, meskipun pada musim pemijahan ikan ada larangan sementara menangkap benih ikan berukuran tertentu, tergantung jenisnya. Tetapi pada danau dan rawa kecil (di Jawa Barat disebut Situ), hak penangkapan ikan biasanya diborongkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten setempat kepada pemegang lelang borongan menangkap ikan, dengan bayaran sejumlah uang lelang tertentu untuk kas Pemerintah Kabupaten. Pada waduk pengairan penangkapan ikan dilakukan oleh Dinas Pengairan setempat lazimnya memborongkan pekerjaan penangkapan ikan kepada penduduk desa sekitar waduk, di bawah pengawasan petugas pengairan. Hasil penjualan ikan, setelah dipotong pelbagai macam biaya perawatan waduk, digunakan untuk membeli ikan baru, untuk dibiarkan di musim hujan berikutnya. (EI : 2650). 25). UU Perairan Indonesia Ketentuan yang sama berlaku terhadap dataran kontinental yang sama berbatasan kepada daerah 2 negara yang berbatasan. Menurut pasal l ayat 5 dalam pengertian “air” termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah. Perairan Indonesia ini diatur didalam UU Prp no.4 tahun l960 yang dimuat dalam LN l960-22. Penjelasannya dimuat dalam TLN l942. Laut Wilayah Indonesia atau perairan (laut) teritorial menurut pasal l PERPU tersebut ialah : “Lajur laut selebar 12 mil laut (atau angka lain yang telah mengalami perubahan di kemudian hari) yang garis luarnya diukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus, yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis-garis-air rendah dari pada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar, dalam wilayah Indonesia----. (Penulis : bukan garis melengkung batas perairan Indonesia-Australia yang dibuat sepihak oleh Australia sekarang ini----untuk memasukkan gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef, Cartier Reef dan Scott Reef) ke wilayah perairan Australia, perlu dikoreksi kembali karena tidak syah – lihat peta Australia terbaru setelah tahun 1974 pada bagian lainnya). Tindakan yang bertentangan dengan Hukum Laut Internasional. (Lihat Peta pada halaman-halaman selanjutnya) ini adalah buatan Hindia Belanda saat menjajah Indonesia sebagai koloninya. Sedang pada saat Penjajah Portugis di Timor Timur waktu lalu, ketika Australia mau menggeser perbatasannya jauh masuk ke Laut Timor, Pemerintah Portugis menolaknya. Pada saat Timor Timur bergejolak dengan adanya perang saudara tahun 1974-1975, terdapat dorongan dari Australia kepada Indonesia untuk memasuki Timor Timur, dan akhirnya Timor Timur masuk menjadi wilayah Indonesia. Karena itu terjadi semacam konpensasi politik yaitu Indonesia menyerahkan Pulau Pasir (Ashmore Reef) kepada Australia untuk mendapatkan pengakuan Intergrasi Timor Timur kedalam Indonesia. Namun setelah Timor Timur menjadi negara merdeka, yang didukung Australia juga, maka secara otomatis gugur pula kesepakatan tersebut dan semua MOU yang telah ditandatangi batal dengan sendirinya. Tentang hal ini dapat dibaca pada bagian lainnya. Ini sebuah fakta sejarah. Diharapkan Presiden periode 2009 – 2014, dan selanjutnya memperjuangkan kembali Pulau Pasir (Ashmoro Reef) kembali ke Indonesia. Tentu memerlukan pimpinan negara yang tegas dan berani, dibanding pimpinan yang sekarang, sepertinya OGAH memperjuangkan kembali Pulau Pasir, malahan oleh banyak kalangan mencap beberapa pejabat yang berweweng di pusat sebagai trompet yang tetap membela kepentingan Australia di pulau Pasir (Ashmore Reef). Jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil-laut dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara-tepi, maka garis batas laut wilayah itu ditarik lurus pada “Tengah Selat”. Perairan Pedalaman Indonesia ialah “semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar sebagai yang dimaksud dimuka”. Jadi semua laut antar kepulauan Indonesia, danau-danau, sungai-sungai dan lain-lainnya termasuk perairan pedalaman Indonesia. Mil-Laut ialah l / 60 ( seper-enam puluh) derajad lintang. Demikian UU no.4 Prp tahun l960. Sedang menurut ketentuan Internasional sesuai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah 200 Mil-laut. 26). Deklarasi Djuanda Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Konvensi Hukum Laut██ menyetujui██ menandatangani, tetapi belum menyetujui Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu,Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional. Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara.[rujukan?] Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional. Isi dari Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957 : 1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri 2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan 3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan : a. untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI Sumber : Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini: 27. Undang-undang No.26/2007 – Tentang Tata Ruang; 28. UU No.22/1992 Tentang Pemerintah Daerah 29. UU No.24/1992 Tentang Penataan Ruang. Demikianlah baru terdapat 29 Dasar Hukum dan belum termasuk dasar hukum lainnya yang disebutkan disini, yang mengatur kepemilikan syah atas semua kepulauan Indonesia termasuk 12 pulau terluar NKRI merupakan kedaulatan NKRI perlu dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Jika terjadi klaim dari negara tetangga terhadap sebagian dari wilayah NKRI, maka tidak mengenal istilah :„Menyelesaikan melalui Meja Perundingan“. Kita hanya mengenal 1(satu) kata terakhir saja yaitu :“PERANG“. Inilah antara lain UU, PP Keppres dll tentang Kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Nusantarqa Indonesia. Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob Alamast : Jln.Jambon I/414J – Rt.10 RW.03 – Kricak – Jogjakarta Telp.0274.588160 – HP.082135680644 Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.