SEGI TIGA EMAS DI SELATAN INDONESIA ANTARA
TIMOR LESTE – PROVINSI NTT DAN AUSTRALIA
BELUM TUNTAS
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Pengantar
Pada bagian
ini akan disajikan berbagai judul tentang masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor
Leste serta Australia yang hingga kini
belum terselesaikan secara tuntas. Berbagai tulisan tentang Timor Leste dapat
diikuti sbb :
Timor Leste
Ditulis oleh
Ganewati Wuryandari
Jumat, 21 Mei
2010 10:45
Membaca
berita tentang keberatan Indonesia atas pedoman pemerintah Timor Leste tentang
penentuan batas wilayah darat di Noel Besi, Manusasi dan Memo (Antara, 5 April
2010) mengingatkan kita bahwa kedua negara masih memiliki pekerjaan rumah untuk
menyelesaikan batas wilayah darat mereka yang belum tuntas. Kedua negara
memiliki tanggungjawab untuk segera menuntaskan demarkasi perbatasan, apalagi
sejumlah insiden kekerasan yang melibatkan aparat keamanan Indonesia dan Timor
Leste, dan bahkan masyarakat sipil kedua negara, sering kali terjadi.
Sayangnya, hingga saat ini Indonesia dan Timor Leste belum berhasil sepenuhnya
menyelesaikan persoalan batas wilayah daratnya. Melalui Provisional Agreement
(2005) kedua negara telah berhasil menyepakati 907 titik batas darat atau
sekitar 96%.
Dilihat dari
sisi prosentase yang belum memperoleh kesepakatan bersama tinggal sedikit lagi,
hanya menyisakan 4 (empat) persen, yaitu di Noel Besi, Manusasi, Memo Malibaka
dan Subina. Namun sesungguhnya, di empat segmen yang masih bermasalah tersebut,
masyarakat yang tinggal saling menyebelah di perbatasan Timor berulangkali
terlibat dalam konflik dan kekerasan fisik. Insiden kekerasan yang tercatat
adalah di Noel Besi menjelang tutup tahun 2009 lalu. Sengketa tersebut
sifatnya sangat kompleks. Tidak hanya menyangkut persoalan kedaulatan
teritorial suatu negara, sengketa tersebut juga terkait persoalan perebutan
sumber-sumber daya ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan yang
sesungguhnya masih memiliki pertalian hubungan kekeluargaan yang sangat erat
dan latar belakang sosial budaya yang sama.
Ketika Timor Leste masih menjadi
bagian wilayah Indonesia sebagai provinsi ke-27, hal tersebut tidak menjadi
masalah. Mereka menggunakan dan memanfaatkan ruang wilayah secara bersama-sama.
Hanya ketika wilayah Timor sebelah timur memisahkan diri dan berdiri sebagai
Negara merdeka, wilayah tersebut menjadi sumber sengketa. Perebutan kedua
negara atas wilayah-wilayah tersebut tentu perlu dituntaskan segera secara
damai. Mungkinkah itu? Insiden berulang kali di wilayah yang disengketakan pada
dasarnya disebabkan oleh tumpang tindih klaim yang disebabkan oleh
ketidakjelasan garis batas.
Tidak bisa dipungkiri realitas pembentukan
perbatasan Indonesia-Timor Leste sesungguhnya merupakan produk hukum kolonial
(Traktat 1904) yang menyisakan berbagai problematika. Bukan saja karena tidak
semua titik perbatasan dapat diselesaikan, melainkan juga menyangkut dinamika
di daerah perbatasan yang selama lebih dari satu abad telah menciptakan
berbagai persoalan teknis dan nonteknis, seperti misalnya perubaha kontur
geografis penanda perbatasan (sungai, bukit dan lain-lain), jual beli dan tukar
guling tanah secara adat tepat di perbatasan, serta perpindahan penduduk.
Klaim sepihak
Timor Leste atas lembah Naktuka di Noel Besi adalah contohnya. Lembah subur
seluas tiga hektar yang sudah didiami oleh beberapa puluh kepala keluarga warga
Timor Leste dianggap telah menyerobot masuk ke wilayah Indonesia. Dasar klaim
Indonesia adalah Traktat 1904 yang merujuk Noel Besi (sungai besar) sebagai
dasar batas wilayah, sementara pihak Timor Leste menggunakan Noemnea (sungai
kecil). Ketidakjelasan dan ketidaktahuan masyarakat akan garis batas, selain
menyulut berbagai insiden kekerasan pada kenyataannya juga menimbulkan berbagai
kasus pelanggaran batas. Kasus yang terakhir sifatnya lebih tradisional karena
alasan sosial budaya seperti kunjungan keluarga dan makam. Hal demikian sangat
dimungkinkan mengingat masyarakat Timor Barat dan Timor Timur yang tinggal
sebelah menyebelah masih memiliki pertalian keluarga yang erat dengan adat
istiadat yang sama.
Dengan
melihat realitas di atas, penyelesaian wilayah sengketa di perbatasan
Indonesia-Timor Leste perlu dilakukan. Agar penyelesaiannya dapat
diimplementasikan
dengan baik di lapangan, ada beberapa hal yang patut untuk menjadi bahan
pertimbangan.
Pertama,
harus diakui penyelesaian sengketa tersebut tidak bisa dilakukan secara instan
terlebih dengan pendekatan kekerasan. Konflik hanya akan bisa diselesaikan
secara bertahap dengan dialog dan negosiasi, yang tidak saja melibatkan
instansi terkait, tetapi juga melibatkan warga masyarakat yang tinggal di
perbatasan kedua negara. Dalam kaitan ini, persoalan demarkasi hendaknya harus
memperhatikan kekhususan wilayah perbatasan dimana warga yang tinggal saling
menyebelah memiliki hubungan kekeluargaan yang erat.
Kedua,
penyelesaian secara adat sebaiknya dibawa secara berjenjang pada tingkat yang
lebih tinggi, yaitu pada tingkatan pemerintah daerah dan kemudian tingkat
nasional melalui suatu perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Timor Leste.
Ketiga,
sementara belum dicapai kesepakatan antara kedua negara, wilayah sengketa
tersebut hendaknya dijadikan sebagai free zone, yaitu suatu area yang tidak
diperkenankan adanya suatu aktivitas. Diharapkan dengan status tersebut tidak
menjadi sengketa masyarakat di perbatasan, dengan demikian persoalan dapat
diminimalisir.
Hanya dengan cara bottom up, dengan memperhatikan kearifan lokal
di atas, berbagai persoalan di perbatasan Indonesia-Timor Leste dapat
diselesaikan secara damai dan diterima oleh kedua warga perbatasan. Untuk
mencapai hal tersebut tentu dibutuhkan proses dialog panjang yang menguji
kesabaran dan memakan waktu lama. Namun tentu ini bukan suatu hal sia-sia yang
seharusnya patut ditempuh. (Ganewati Wuryandari)
Mencari
Solusi Damai Sengketa Perbatasan
Di Timor,
Nusa Tenggara Timur
Kesalahan Besar Habibie soal
Referendum TIMTIM.
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Referendum
untuk Provinsi Timor-Timur pada tahun l999 lalu, sebenarnya, bukan dilakukan
oleh rakyat Timor-Timur sendiri, tetapi seharusnya diikutsertakan seluruh
rakyat Indonesia juga, oleh karena secara hukum, Provinsi Timor-Timur adalah milik seluruh
rakyat Indonesia sebagai Negara Kesatuan RI, bukan milik warga Timor-Timur
sendiri. Inilah suatu kekeliruan yang
fatal, di era pemerintahan Presiden B.J.
Habibie (yang notabene kurang memahami jiwa Pasal 33 UUD 1945) menyebabkan
Timor-Timur lepas dari NKRI. (Karena kebodohan)? Sebenarnya Referendum itu
batal dengan sendirinya karena bertentangan dari jiwa Pasal 33 UUD 1945 yang dijelaskan di atas, atau dinyatakan
tidak syah.
Kekeliruan
Habibie saat itu dalam memberikan hak referendum khusus kepada warga TIMTIM
sendiri, ternyata kesalahan tersebut
tidak disadari pula oleh para Menteri-Menterinya maupun oleh DPR, bahwa pola pemilihan tersebut melanggar UUD 1945
khususnya yang diatur dalam Pasal 33
tersebut.
Argumentasinya
adalah, Provinsi TIMTIM adalah salah satu provinsi di Indonesia dan wilayah ini milik seluruh
rakyat Indonesia, bukan saja milik warga TIMTIM saja, sehingga seluruh rakyat
Indonesia seharusnya ikut dalam referendum tersebut. Karena itu Fatal jadinya. Jika demikian halnya, maka sepertinya
pemerintah telah membuka peluang baru/memperkenankan adanya kemungkinan bagi provinsi lainnya,
untuk berbuat/menuntut hak yang sama
pula (Referendum) untuk menjadi negara sendiri atau bergabung dengan Negara
tetangga), perlu dipertanyakan.
Semua itu
adalah urusan dalam negeri Indonesia.
Inilah inti logika hukumnya. Oleh karena itu keinginan untuk mau
mendirikan negara sendiri dari sesuatu provinsi tidak mudah dan mustahil
terwujud sepanjang Pasal 33 UUD 1945 tidak dirubah. Bila cara referendum seperti Timor Timur ala
Habbie, maka sama dengan pemerintah pusat telah membuka peluang/kemungkinan baru juga untuk provinsi wilayah lain di
Indonesia yang menuntut pula hak referndum untuk mendirikan negara
sendiri?
Kesalahan
besar yang tidak boleh terulang kembali.
Seandainya
ada intervensi atau campur tangan negara asing misalnya yang mendukung sesuatu wilayah untuk merdeka, maka
bila perlu kita lawan negara tersebut dengan segala macam cara apapun
resikonya. Karena kita menganggap Negara tersebut adalah provokator yang
merongrong kedaulatan Indonesia, padahal itu hanya persoalan dalam negeri saja.
Mulai saat
ini Indonesia tidak perlu mengenal lagi istilah, “meminta dukukungan negara
asing” untuk mendukung kedaulatan Indonesia terhadap sesuatu wilayah yang ingin
merdeka. Contohnya Papua, sepertinya kita juga meminta Australia tentang
kedaulatan RI atas Papua. Baca baik-baik khusus pasal 33 UUD 1945. Jangan
mengemis lagi dukungan serupa kepada negara manapun di dunia ini seperti yang
di alami dalam persoalan Aceh dan Papua.Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Upaya Repatriasi Terhambat Lagi.
Rekonsiliasi Nasional Timor Leste Menjadi
Mustahil
Kupang,---Insiden
penembakan tiga warga sipil eks pengungsi Timor-Timur di Kali Malibaka,
Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, oleh aparat Police Border Unit Timor Leste
menghambat program repatriasi warga eks pengungsi itu. Bahkan upaya membangun rekonsiliasi nasional
di negara itu juga menjadi mustahil. Demikian Sekretaris Satuan Koordinasi
Pelaksana (Satkorlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Nusa Tenggara Timur Frans Salem, dan Kepala
Biro Humas Pemerintah Provinsi NTT Umbu Saga Anakaka yang dihubungi secara
terpisah di Kupang, Minggu (08-01-2006).
Tiga warga
sipil asal Kampung Sekutren, Desa Tobe, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, yakni
Stanis Mau Bere (48), Jose Maria Freitas
(38), dan Kandidu Mali (26), ditembak
mati oleh aparat Police Boeder Unit (PBU) Timor Leste ketika mereka sedang
mencari ikan di Kali Malibaka, Jumat (06-01-2006) siang. Penembakan terhadap tiga warga sipil, yang
tidak lain adalah warga eks pengungsi Timtim di Belu itu, sedikit banyak
mengganggu program repatriasi yang sedang kita upayakan.
Dengan
sendirinya juga akan sulit membangun rekonsiliasi nasional seperti dicanangkan
oleh negara itu,” kata Frans. Pada saat ini ada sekitar 25.000 jiwa warga eks
pengungsi Timor Timur yang menetap di tenda-tenda darurat di berbagai tempat di
Timor Barat, NTT, tepatnya di Kabupaten Kupang, Belu, dan Timor Tengah Utara.
Penanganan terhadap eks pengungsi ini dilakukan pada tiga pola, yakni relokasi,
repatriasi, dan pemberdayaan. Umbu Saga Anakaka juga mengatakan, penembakan yang
menyebabkan tewasnya tiga warga sipil oleh aparat Timor Leste itu hampir pasti
mengganggu program pemulangan kembali ke negaranya.
“Program itu akan sia-sia,”
kata Umbu Saga di kediamannya di Kupang. Menurut Umbu Saga, kasus penembakan
terhadap tiga warga di wilayah perbatasan ini bukan baru pertama kali terjadi.
April 2005, Lettu (Art) Teddy Setiawan, Komandan Pos TNI Makir dari Batalyon Armet-8 Kostrad, juga
ditembak mati oleh anggota Kepolisian Nasional Timor Leste dari unit PBU. Kalau Timor Leste tidak mampu mengendalikan
aparat keamanannya, maka usaha bersama antara Pemerintah Indonesia dan Timor
Leste agar warga eks pengungsi Timor-Timur bisa kembali ke kampungnya, tidak
akan sukses.
Sampai kapan pun, masalah pengungsi tetap menjadi persoalan yang tak
kunjung terselesaikan,” katanya. Baik Frans Salem, maupun Umbu Saga mengatakan,
dalam penanganan terhadap sisa warga eks Timtim ini, Pimprov NTT berpedoman
pada tiga pola yang sudah ditetapkan, yakni repatriasi, relokasi, dan
pemberdayaan. Rekonsiliasi nasional yang belakangan ini didengungkan oleh
Pemerintah Timor Leste juga menjadi mustahil. (CAL,---Kompas, 09-01-2006).
Insiden Perbatasan NTT-Timor Leste
Tim Gabungan Usut Bersama
Kupang,---Tim
gabungan Polri dan TNI bertolak ke Atambua, Nusa Tenggara Timur, Rabu
(l8-01-2006), untuk memulai investigasi bersama aparat Timor Leste atas insiden
Malibaka di perbatasan kedua negara. Dalam insiden 6 Januari 2006 itu, tiga
warga Indonesia tewas ditembak aparat Timor Leste. Ketiga warga itu adalah mantan
melisi yang telah menjadi warga sipil biasa dan menetap di desa Tobe, Kecamatan
Raihat, Kabupaten belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Para korban yakni Jose Maria
Freitas alias Jose Mausorte, Stanislao Mau Bere, dan Candidu Mali ditembak saat
mencari ikan di Kali Malibaka. Ketua Tim Investigasi, Komisaris Besar Mochammad
Iriawan, mengatakan, Tim gabungan melibatkan 38 orang, 16 di antaranya dari
Polda NTT dan 22 orang dari TNI.
Departemen
Luar Negeri, serta Badan Koordinasi Survei Tanah, Air dan Laut. Selama dua
malam tim akan menginap di Pos Brimob di Turiskain, sekitar 1,5 kilometer dari
lokasi kejadian. Tim investigasi dari Indonesia akan mengikutsertakan Egidios
Dasileto (l5) dan Elias Tavares (l6), saksi kunci dalam kasus penembakan itu.
Dua saksi itu saat kejadian tengah bersama korban mencari ikan di Kali
Malibaka. Saat dikepung polisi Timor Leste unit perbatasan, Egidios dan Elias
berhasil melarikan diri. “Secara parsial, investigasi sudah kami lakukan sejak
dari awal. Namun, untuk lebih memperdalam pengusutan, Mabes Polri memandang
penting membentuk sebuah tim investigasi,” kata Kepala Bidang Humas Polda NTT
Komisaris Marthen Raja di Kupang. (CAL,---Kompas, l9-01-2006).
Wilayah Negara
Perbatasan Indonesia-Timor Leste Ibarat,
Bara
Dalam Sekam
Hari Minggu
(15-01-2006), puluhan warga eks Timor Timur di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara
Timur, mencegat mobil tangki bahan bakar avtur, yang akan diberangkatkan dari
Atapupu, Belu ke Dili, Timor Leste. Sebanyak 15 kiloliter avtur gagal dikirim
pada hari itu, dan baru diberangkatkan pada keesokan harinya dengan pengawalan
ketat aparat. Aksi tersebut terkait dengan insiden penembakan tiga warga negara
Indonesia (WNI) oleh aparat Timor Leste di zona netral Kali Malibaka, pekan
sebelumnya. Sejak insiden itu, perbatasan kedua negara menjadi tegang. Tiga WNI
yang ditembak saat mencari ikan, 6 Januari 2006, itu adalah Jose Maria Freitas
alias Jose Mausorte, Candidu Mali, dan Stanislao Mau Bere. Meski tidak ada
tambahan pasukan, tetapi sejak itu TNI mengonsentrasikan kekuatan pada
titik-titik yang dinilai rawan konflik antarawarga kedua negara.
Tiga orang
ditembak mati oleh aparat Timor Leste, khususnya aparat Kepolisian Nasional
Timor Leste (PNTL) Unit Perbatasan (BRU) itu tidak lain adalah eks pengungsi Timor
Timur yang sekaligus mantan milisi yang hingga ajalnya mereka adalah WNI. Oleh
masyarakat Belu, atau Timor Barat umumnya, mereka disebut “warga baru”.Sejak
saat itu eskalasi ketegangan di perbatasan semakin terasa meningkat karena
kasus penembakan oleh BPU itu sudah terjadi berulang kali. Hingga 12 Januari
2006, sudah terjadi sedikitnya delapan kasus yang meminta korban WNI, 10 di
antaranya meninggal dan seorang selamat.
Kematian
Jose, Stanislao, dan Candidu benar-benar membuat “warga baru” Timor Barat marah.
Sekitar 1.500 orang “warga baru” Belu menggelar unjuk rasa di kantor Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Belu di Atambua. Mereka berorasi dan
mengusung spanduk berisi kecaman terhadap pemerintahan Perdana Menteri Timor
Leste Mari Alkatiri dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai puncak aksi
itu, massa membakar bendera Timor Leste dan dua kaus oblong bergambar Mari
Alkatiri dan Presiden Timor Leste Xanana
Gusmao.
Sikap
antipati itu, selain karena maraknya kasus penembakan terhadap WNI dan aparat
TNI di perbatasan, juga karena Timor Leste mengulur-ulur pemulangan jenazah WNI
korban penembakan di Malibaka. Massa
yang terlanjur telah bergerak ke gerbang perbatasan Motaain-yang berjarak
sekitar 25 kilometer dari Atambua- untuk menjemput jenazah pun kian
beringas. Mereka bahkan sempat merangsek
masuk lebih 100 meter ke wilayah Timor Leste karena terprovokasi oleh aparat
Timor Leste yang pada saat itu berjaga-jaga di Batugade.
Kehadiran
mantan Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Joao Tavares dan mantan wakilnya, Eurico Guterres, di tengah
massa pada hari berikutnya di Motaain, berhasil meredam emosi warga. Lebih dari
l.500 warga yang bersiap menjemput jenazah yang sehari sebelumnya batal diserahkan, menuruti perkataan kedua
tokoh PPI itu. Sikap Timor Leste dinilai massa sebagai tidak jantan.
Meski mereka
mengaku telah menembak mati tiga WNI, tetapi melalui pejabat bewewenang, yakni
Wakil Kepala PNTL Inspektur Ismail Babo, Timor Leste hanya mau menyerahkan
jenazah Candidu dan Stanislao, sedangkan jenazah Mausorte tidak. Wakil Kepala Polda NTT Komisaris Besar Guntur
Gatot Setyawan, Bupati Balu Joachim Lopez, dan Staf Kedubes RI untuk Timor
Leste (Perwira Penghubung Mabes Polri) Komisaris Besar Minton Mariaty juga
marah karena tindakan Timor Leste itu telah menyalahi kesepakatan.
Bagaimana TNI
melihat kasus itu, dan mengapa proses pemulangan jenazah makan waktu sampai
empat hari? Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang Kolonel (Inf) APJ Noch Bolla
menilai, aparat Timor Leste telah melampaui batas-batas norma dan etika
hubungan bilateral. “Jelas ini sebuah tindakan sengaja untuk memancing emosi
warga dan aparat kita di perbatasan,” katanya. Sekalipun emosional, warga
perebatasan Indonesia-Timor Leste ibarat api dalam sekam. (Pascal SB Saju---Kompas).
Indonesia-Timor Leste, Komentar Menlu
Indonesia Protes Keras, Harus Ada Penyelidikan Bersama
Jakarta,---Menteri
Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda mengemukakan,
insiden
tewasnya tiga warga negara Indonesia di perbatasan Indonesia-Timor Leste
merupakan ekses penggunaan kekerasan atau kekuatan polisi perbatasan Timor
Leste berlebihan. Karena itu, demikian Hassan, Pemerintah Indonesia memprotes
tegas, serta mendesak penyelidikan bersama atas insiden itu.
Yang terjadi
dalam peristiwa itu memang menggunakan kekerasan atau kekuatan secara
berlebihan dari aparat kepolisian Timor Leste terhadap empat warga negara kita
(seorang di antaranya selamat) yang tidak bersenjata,” ujar Hassan seusai
melapor kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta,
Senin (09-10-2006).
Kepala
otoritas Timor Leste kita meminta agar terhadap peristiwa itu dilakukan
penyelidikan bersama yang telah disetujui oleh otoritas Timor Leste.
Presiden
Yodhoyono, menurut Hassan, meminta agar penanganan atas insiden itu dilakukan
secara konstruktif, tidak larut pada emosi demi proses rekonsiliasi yang telah
digulirkan dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). “Insiden itu adalah
insiden, bukan kebijakan Pemerintah Timor Leste,” katanya. (CAL/INU,---Kompas,
11-01-2006).
Pertanyaan :
Mengapa TNI tidak mengambil langkah setimpal terhadap Keamanan Batas Timor
Leste. Apakah hanya protes saja? Aneh
Tapi Nyata (Penulis).
RI – Timor Leste,
Personel TNI di Perbatasan Tidak Ditambah
Bandung,---Markas
Besar TNI tidak berencana, menambah personel pasukan di perbatasan RI-Timor
Leste. Personel yang ada di lokasi perbatasan di wilayah Motaain hanya diperintahkan berjaga-jaga. Hal ini
ditegaskan Kepala Staf Umum Mabes TNI Letnal Jenderal Endang Suwarya seusai
menghadiri serah terima jabatan Komandan Sekolah Staf dan Komando (Dansesko)
TNI di Bandung, Kamis, (12-01-2006). Jabatan Dansesko TNI diserahterimakan dari
Laksamana Madya Sumardjono kepada
Marsekal Muda M Basri Sidehabi. Sumardjono akan menjadi Inspektur Jenderal
Mabes TNI, menggantikan Letnan Jenderal
Djadja Suparman, yang pensiun. Tidak perlu ada penambahan pasukan di
sana. Personel yang ada cukup memadai menjaga perbatasan kedua negara,”
katanya. Ia menambahkan, ada 57 pos yang dijaga beberapa batalyon TNI di
sepanjang perbatasan RI-Timor Leste. Menurut Endang, yang perlu dilakukan ialah
investigasi bersama di antara pemerintah kedua negara menyilidiki sebab-sebab terjadinya
penembakan. Kewenangan melakukan investigasi ada di tangan pusat. Endang
mengemukakan, peristiwa itu tidak perlu terjadi karena ketiga warga
negara Indonesia yang tertembak
ada di wilayah damai perbatasan kedua negara.
Ia
menyatakan, hal itu bergantung pada hasil penyilidikan tim investigasi
nantinya. Pada Jumat pekan lalu tiga warga kampung Sakutren, Kecamatan Rainhat,
Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, ditembak aparat perbatasan Timor Leste.
Ketiganya ditembak saat sedang memancing ikan di Sungai Malibaka, Turiskain,
daerah perbatasan Timor Leste. Hingga kini Pemerintah Timor Leste hanya
mengembalikan dua jenazah. Ketua MPR Agung Laksono menyatakan, DPR menyampaikan
protes terhadap Pemerintah Timor Leste atas terjadinya penembakan tiga warga
sipil itu. DPR mendesak Pemerintah Timor Leste menyampaikan permintaan maaf.
“Pimpinan Dewan mendesak dilakukan investigasi bersama, menangkap dan mengadili
pelakunya, dan harus ada permintaan maaf dari Pemerintah Timor Leste,” ujar
Agung. (Kompas Feb.2006).
Penulis :
Jika hanya
minta maaf saja, kan gampang, artinya tidak ada sanksi apapun terhadap inseden
tersebut? Sama halnya, masalah perlakuan tidak wajar Keamanan Malaysia terhadap
petugas yang mendapat kecaman dan demo dari masyarakat Indonesia, hanya menuntut agar Malaysia minta maaf
kepada Indonesia. Yaaa… cukup dengan minta maaf…? Kalau semua masalah
perbatasan hanya dengan kata-kata maaf saja
dari sipelanggar, maka lain kali
akan terulang lagi dan hanya menuntut minta maaf lagi?
Cara-cara
demikian menyebabkan negara tetangga selalu memandang enteng kewibawaan Indonesia.
Seharusnya beri reaksi dan perlakuan
yang sama kepada pihak lawan, bukan kata-kata
maaf yang dibutuhkan. Pulau Ambalat milik Indoniesia, yang mau diserobot
oleh Malaysia, mengapa bukan menembak ditempat kapal-kapal Perang Malaysia,
tetapi lewat perundingan? Ambalat bukan Pulau Sengketa, sehingga Indonesia
tidak perlu berunding. Ini salah langka pemerintah Indonesia, sebaiknya menarik
diri saja dari perundingan. Apakah masuk akal sehat, kita berunding dengan si
Perampok, supaya lain kali tidak datang rampok lagi? (“Aneh Tapi Nyata”).
Penulis
:Sekali lagi Indonesia hanya pandai menyatakan protes dan minta maaf saja
walaupun di pihak Indonesia sudah jatuh korban atas berbagai insiden perbatasan
dengan negara tetangga dan dianggap selesai sudah urusannya, dilain pihak
Keamanan Timor Leste tidak ambil pusing. Inilah kelemahan kita dalam diplomassi
Luar Negeri khususnya masalah Perbatasan.
Contoh lain
seperti masalah Ambalat. Kepada Malaysia, juga diminta maaf saja juga. Bahassa
Politik yang Konyol.
PENUTUPAN PERBATASAN PERLU DIPERTIMBANGKAN
(Selasa, 29
April 2008), Tudingan Presiden Timor Leste, Ramos Horta mengenai keterlibatan
pihak Indonesia terhadap upaya asanisasi terhadap dirinya menunjukkan sikap
arogansi berlebihan dan menganggap remeh Bangsa Indonesia ...
KUPANG/WWW.NTTPROV.GO.ID
>
Tudingan Presiden Timor Leste, Ramos Horta mengenai keterlibatan pihak
Indonesia terhadap upaya asanisasi terhadap dirinya menunjukkan sikap arogansi
berlebihan dan menganggap remeh Bangsa Indonesia. Sebagaimana diberitakan,
Ramos Horta menuding Indonesia termasuk reporter Metro TV, Desi Anwar terlibat
upaya makar di negara setengah Pulau Timor itu. Katua Kelompok Kerja Celah
Timor dan Pulau Pasir, Ferdi Tanoni mendukung upaya Desi Anwar dan Metro TV menuntut
balik Ramos Horta.
Ferdi Tanoni mengatakan, seharusnya pemerintah Indonesia
perlu
mempertimbangkan untuk menutup semua pintu masuk dari darat dan laut ke
Timor Leste misalnya Selat Ombai dan jalan masuk enclave Oecusse di Kabupaten
TTU dan jalan masuk ke Dili di Kabupaten Belu.
Ferdi Tanoni
mengatakan selama ini Pemerintah Indonesia bersikap terlalu lunak terhadap
Timor Leste, bahkan terlalu memanjakan negara dengan panjang kurang dari 300 km
itu.
Menurutnya,
Jakarta harus berani membatalkan secara unilateral seluruh perjanjian
RI-Australia di Laut Timor yang dibuat sejak tahun 1971 hingga 1997. Hal itu
perlu dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste berdasarkan
prinsip median line Konvensi Hukum Laut PBB 1982. (Sumber : Timex)-Internet.
Presiden SBY Tetap Bersahabat,
Walaupun
dituduh sebagai Elemen Luar”
Sebuah contoh
kecil, misalnya Presiden Timor Leste Ramos Horta dalam keterangan persnya di
Darwin, menuduh ada “Elemen Luar” yang dimaksud pihak Indonesia dibalik
pemberontakan bersenjata bulan Februari 2008,
yang semula mendapat reaksi keras dari pemerintah Indonesia dan DPR RI,
ternyata dengan begitu mudahnya menyatakan “tidak ada persoalan lagi, setelah
Perdana Menteri Timor Leste, Xanans Gusmau bertemu Presiden Indonesia SBY di
Jakarata, 5-6 Mei 2008.
Seharusnya
pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas saat itu juga, dengan menyatakan peringatan keras kepada
Timor Leste, dan bila perlu, hubungan kedua negara dibekukan untuk sementara
waktu. Tindakan-tindakan arogan dari Pemerintah Timor Leste seperti penembakan
yang menewaskan tentara kita diperbatasan Timor Leste-Indonesia, dan penembakan
yang menewaskan 3 warga di Atambua, ternyata pihak Indonesia tidak melakukan
tindakan balasan yang setimpal, dan
akhirnya berlalu begitu saja, dan kini lagi-lagi menuduh “ada Elemen Luar” yang
dimaksud Indonesia dibalik konflik bersenjata di Timor Leste.
Sebagai sebuah negara besar sebenarnya
seharusnya merasa “Tersinggung Berat” atas tuduhan tersebut oleh sebuah negara
terkecil di dunia itu. Sebagai sebuah bangsa yang besar, harus bisa menantang
dan menggertak pihak lawan, siapapun dia. Semua rakyat Indonesia sangat
tersinggung atas ucapan Ramos Horta tersebut. Seharusnya tidak begitu cepat
memberi maaf kepada Pemerintah Timor Leste. Sampai kapan Indonesia menjadi
mainan Timor Leste?. Kita harus bangga sebagai sebuah negara besar dan berani
menantang siapapun dia, yang ingin
mengganggu kedaulatan Indonesia, semua rakyat siap tempur kapan saja dan dimana
saja. Bangsa Indonesia “Bukan Anak Mama” suatu istilah umum yang memberi
kesan sifat kebanci-bacian – penakut, tanpa nyali.
Jangan ada
negara luar yang dengan mudah mempermalukan kita dimata dunia. Jika demikian
harus gerak cepat mengantisipasi dengan cara-cara yang setimpal pula, baik
dengan cara politik maupun dengan cara angkat senjata. Jiwa Revolusi 1945 harus
dibangkitkan kembali untuk berjuang melawan negara manapun yang mau mengganggu
kedaulatan NKRI.
Bahwa alasan,
semangat bertetangga yang baik maupun
kerukunan bangsa serumpun menjadi alasan
pembenaran untuk menjadikan kita kendor dalam mengambil tindakan tegas
kepada negara tetangga (Malaysia) yang
selalu merugikan kepentingan nasional RI. Gejala seperti itu terkesan saat ini.
Nusantara yang terdiri dari sekitar 17.583 pulau yang tersebar dan luas
jangkauannya, seharusnya para pengambil keputusan sudah mempunyai ramalan masa
depan, tentang kemungkinan-kemungkinan konflik yang timbul dengan negara-negara
tetangga, baik tentang masalah perikanan maupun perbatasan, sehingga segala
persiapan antisipasinya sudah ditargetkan jauh–jauh sebelumnya, serta
mempersiapkan diri mengahadapinya. Perlu dibentuk Badan khusus untuk hal ini,
guna menginventarisasi semua persoalan, merumuskan dan dilaksanakan, sebelum
langkah pihak lawan mendahului kita.
Kenyataan
sekarang, ternyata pihak lawan mendahului kita, baru kita bangkit dan kelabakan
sendiri dan kebingunan, sehingga terkesan “terlambat”. Kita telah merdeka dan berdaulat, lewat
revolusi dan berjuang dengan bambu runcing, apalagi kini kita telah memiliki
peralatan canggih, siapa lagi yang mau menantang, kita akan dilawan
habis-habisan dengan modal 250 juta rakyat siap setiap saat, jika keadaan
mendesak, demi mempertahankan kedaulatan NKRI dimata dunia.
Ini semua
sangat tergantung dari pimpinan nasional kita apakah memiliki keberanian yang
luar biasa ataukah hanya maunya runding-runding melulu yang berkepanjangan yang
hasilnya belum jelas, apakah menang atau kalah.
Kita tentu
belum lupa dengan jiwa kebesaran Presiden pertama RI, Soekarno, soal Irian
Barat, Kalimantan Utara (l961-l963), dengan kekerasan senjata dan gigih
memperjuangkan kembalinya Irian Barat.
Beliau tidak
mau kehilangan sejengkal tanah pun dari Nusantara ini, dan berakhir dengan
gemilang. Malahan menyatakan keluar dari
organisasi PBB, apapun resikonya. Keberanian macam ini tidak dimiliki oleh
pimpinan nasional berikutnya, hingga menjadi bulan-bulanan, dan selalu kalah
dalam percaturan politik perbatasan. Perlu bangkitkan dan kobarkan kembali
semangat pantang mundur seperti masa
revolusi tahun 1945 dengan semboyan “Ini dadaku, mana dadamu”. Penulis lebih
khawatir lagi, jika Presiden Indonesia seorang
wanita, saya yakin lebih tidak berani menantang pihak luar, karena presiden kita laki-laki
saja tidak terlalu agresif memperjuangkan kembalinya Pulau Pasir di selatan
Kabupaten Rote Ndao. Karena itu perlu dipertanyakan ketegasan dan keberanian
politiknya dalam soal konflik perbatasan.
Rupanya jiwa
“Patriotisme” Bung Kano ini tidak dibudayakan lagi di era Orde Baru maupun di era Reformasi sekarang
ini patut disesali. Segala urusan
politik selalu “menonjolkan jalan damai melulu”.
Kalau begini
caranya kapan tuntas persoalannya, apakah 5 tahun, 10 tahun, atau sampai waktu
yang tidak jelas sama sekali? Kita sekarang mulai menghitung,
pulau-pulau mana lagi yang
akan mulai berpindah tangan ke negara
tetangga. Buku ini memberi berbagai informasi akurat terkini yang bersumber
dari para pakar, pejabat negara, dalam dan luar negeri, yang dilansir dari
berbagai media massa, dimana hingga saat ini belum ada satu buku pun dalam kepustakaan kita yang membahas secara
lengkap dan mendalam, sekitar masalah
perbatasan dengan negara tetangga, kelautan, perikanan, pertahanan dan
keamanan, dll, yang memberi gambaran lengkap tentang “Kelautan NKRI”.
Inti dari JUDUL ini adalah tentang “Kerawanan” dan
memberi perhatian khusus kepada bidang Pertahanan dan Keamanan, sejauh mana
mengambil tindakan-tindakan tegas, tepat, dan cepat, dalam suasana Emergency
dalam mempertahankan kedaulatan NKRI?
Maksud dan
tujuan buku ini adalah selain menggambarkan”kerawan kalautan NKRI” tetapi juga
sebagai dasar untuk menyusun “Desain Ekonomi Kelautan dan Pertahanan
Keamanan Kelautan ” di masa depan yang
tidak kalah dengan potensi daratan. Selain itu guna menanamkan rasa cinta dan
pengetahuan tentang kelautan dan kemaritiman kepada generasi muda, maka penting ditanamkan sebagai salah satu
mata pelajaran dan mata kuliah dalam dunia
pendidikan. BAGIANPUN inipun mendokumenkan berbagai kasus kerawanan keamanan yang
perlu mendapat basis perhatian khusus kepada lembaga-lembaga Pertahanan dan
Keamanan khususnya TNI dan Polri serta berbagai unsur yang terkait, bahwa
sebenarnya secara sadar atau tidak sadar, kini Indonesia menghadapi banyak
kasus keamanan yang jika kurang atau
tidak diantisipasi secara dini, maka banyak kerugian baik ekonomi,
sosial-budaya, maupun politik luar negeri
kita akan tergorogoti dengan
mudahnya.
(Penulis)
Warga RI dan Timor Leste Bentrok di Perbatasan
Setelah kasus
penembakan polisi Timor Leste terhadap tentara RI, kini terjadi insiden
bentrokan di perbatasan kedua negara. Insiden ini melibatkan warga Distrik
Oekusi Timor Leste dan warga Desa Sumsea, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT.
"Benar ada bentrokan Selasa, (26/4/2005), lalu. Kita sudah kirim tim ke
sana," kata Danrem 161 Wirasakti Kupang Kolonel Inf. Amir Hamka Manan saat
dihubungi detikcom di Kupang, Jumat, (29/4/2005). Namun, apakah ada korban jiwa
atau kerusakan meteril yang dialami warga dalam bentrokan tersebut sejauh ini
belum diketahui. Hanya saja dikabarkan satu anggota polisi Timor Leste sempat
terkena lemparan batu saat akan melerai perkelahian. Sementara korban luka dari
warga sipil masih dalam pendataan.
Pihaknya,
kata Amir, belum mendapat laporan resmi dari tim yang terdiri dari anggota
Dandim 1604 dan pasukan pengaman perbatasan RI. Pasukan pengamanan tersebut
selama ini bertugas di wilayah perbatasan Oekusi. Aparat agak kesulitan
memperoleh data mengingat kondisi Desa Sumsea yang sangat terisolir. Desa
tersebut jaraknya sekitar 300 Km dari kota Kupang, dan terletak diantara
gunung-gunung dan lembah. Jalan menuju desa ini tidak bisa dilalui kendaraan
beroda empat atau dua, yang ada hanya jalan setapak yang menghubungkan desa
tersebut dengan wilayah sekitarnya. Dari informasi yang diterima, pemicu
bentrokan berawal dari perkelahian seorang warga Distrik Oekusi dan warga Desa
Sumsea. Belum diketahui secara pasti apa penyebab perkelahian dua warga ini.
Yang jelas,
perkelahian itu kemudian merembet ke seluruh warga di Distrik Oekusi dan Desa
Sumsea. Kedua wilayah ini memang hanya dibatasi sungai, di mana wilayah selatan
masuk bagian Timor Leste dan wilayah Utara masuk kawasan RI. Sampai saat ini
memang belum ada kesepakatan mengenai penetapan garis batas kedua negara.
Sehingga tidak ada garis batas lain yang memisahkan Distrik Oekusi dan Desa
Sumsea selain alur sungai tersebut, tidak ada kawat berduri atau pagar pembatas
lainnya. Warga di kedua wilayah ini bisa berinteraksi bebas seperti layaknya
tetangga desa. Sementara posko pengamanan jaraknya cukup jauh dari lokasi.(umi)
04-29-2005 – Detikcom Kontributor: Emmy
F detikcom - Kupang
Sengketa Perbatasan RI – Timor Leste
Kami
Minta Pemerintah Untuk Segera Menyelesaikan Tapal Batas;
Jika
Tidak Sanggup, “Kita Perang Saja”
(Bentara Edisi 32)
Oleh : Drs.Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Status
sebagai negara kepulauan membawa konsekuensi tersendiri bagi Indonesia. Salah
satunya pengetatan penjagaan pulau-pulau terluar. Kasus Ambalat (kemelut perbatasan
di Pulau Sebatik, dengan Malaysia) adalah buah dari konsekuensi itu. Di republik ini terdapat 67 pulau terluar
yang berhadapan langsung dengan negara tetangga. Dari jumlah itu, 12
diantaranya
membutuhkan
penjagaan ketat. Pasalnya, pulau-pulau tersebut rawan dikuasai negara lain.
Kisah Pulau
Sipadan dan Ligitan yang lepas dari tangan Indonesia pada tahun 2002, hingga
kini masih terngiang. Hilangnya sebuah pulau dari kedaulatan teritorial
bukanlah peristiwa yang mudah dilupakan. Spirit itu pula yang membuka yang
membuka mata hati masyarakat Indonesia untuk mempertahankan kawasan Ambalat
dari klaim pemerintah Malaysia. Ambalat adalah milik Indonesia, titik. Tak ada
tawar-menawar lain.
Kendati
berakhir dengan diplomasi damai namun kasus Ambalat tetap mencemaskan Indonesia
saat menyaksikan deretan pulau-pulau terluar.
Mayoritas pulau-pulau tersebut adalah pulau sunyi-senyap tanpa penghuni
maupun tanpa tapal batas yang jelas yang menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut
adalah milik Indonesia. Sebagian berpenghuni dan sebagian kosong. Fakta itu
membuat petinggi dan penduduk dinegeri ini berharap cemas.
Kenapa?
Karena tiadanya penghuni, oleh negara lain, bisa diklaim sebagai tidak adanya
penguasaan efektif. Saat penguasaan efektif tidak ada, maka aksi klaim dari
negara seberang pun tiba-tiba mengemuka.
Ini pula, seperti dukutip sebuah koran nasional yang menjadi pertimbangan lepasnya Pulau Sipadan dan Lingitan. Lantaran
tidak ada penguasaan efektif dari pemerintah Indonesia, pengadilan
internasional memutuskan menyerahkan pulau tersebut kepada Malaysia. Pasalnya,
negeri jiran itu mampu menunjukkan indikasi
penguasaan
efektif.
Pendek kata,
kasus Sipadan dan Ligitan adalah pelajaran berharga. Penguasaan efektif
terhadap pulau-pulau terluar mesti menjadi pemekiran serius. Sebab dari kajian
ilmiah, pulau-pulau itu menyimpan kekayaan alam yang teramat dahsyat. Bukan
saja sumber daya pertambangan, namun juga kekayaan ekologi.
Pulau Batek
di NTT
Pulau
Batek luasnya 24 hektar (saat air surut)
dan 20 hektar saat laut pasang dan panjang garis pantainya sekitar 1.800 meter,
dengan kedalaman laut sekitar 70 meter dalam Treaty 1904 (Convention for The
Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions On The Island Of Timor), disebutkan nama pulau Batek sehingga
dipastikan pulau itu milik Indonesia.
dalam pasal III ayat 1 dan merupakan salah satu batas Timor Barat
Indonesia dengan Timor Leste. Pulau Batek hanya berjarak sekitar 7 mil laut
dari Tanjung Batuanyo-Oipoli Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang. Jarak
dari Pelabuhan Tenau ke Pulau Batek sekitar 25 mil laut. Pulau Batek adalah milik Indonesia dan
posisinya berada di dalam dari garis terluar wilayah, yaitu lima (5) mil dari
titik dasar Nomor 115 sebagai titik
terluar wilayah RI sesuai UU Nomor 4/Prp/1960 yang menjadi dasar wawasan
Nusantara.
Pertemuan Delegasi RI—RDTL (Republik Demokrasi Timor Leste) soal
Perbatasan Demi penyelesaian urusan
perbatasan, reli pembicaraan sudah dilakukan. Payung hukum pun telah tersedia
(lihat Box). Dengan berpayung pada aturan hukum tersebut, berjalanlah proses
perundingan. Awalnya adalah sebuah
pertemuan delegasi RI-RDTL di Dili, 31 Agustus—1 September 2004. Pembicaraan
dua hari ini dimatangkan lagi pada
pertemuan babak kedua di wilayah
RI. Pertemuan kedua, akhirnya dilaksanakan di Yogyakarta, 29 Oktober 2004. Dari
pertemuan inilah muncul suatu agenda pelik yang menguras perhatian
masing-masing delegasi.
Ketenangan
dan kesyahduan Kota Yogyakarta tak mampu meredakan
perbedaan
pandangan kedua delegasi. Ada tiga segmen (titik batas wilayah) yang belum
disepakati.
Yakni :
Ø
Dilumi/Memo,
Ø
Bijael Sunan-Oben, serta
segmen
Ø
Noel Besi.
Kedua
delegasi bersikeras pada persepsi masing-masing.
Namun
sejatinya, tiga segmen bermasalah itu, hanyalah secuil persoalan dari problema
besar yang menggunung di wilayah perbatasan. Bahkan, jika diprosentasekan,
nilainya teramat kecil. Pertemuan Yogyakarta menyimpulkan, segmen bermasalah
hanya mencapai 4,3 persen dari panjang total perbatasan yang mencapai 268,8 Km
(tersebar di tiga kabupaten), yakni,
Ø
Belu 115 Km,
Ø
Timor Tengah Utara (TTU)
104,5 Km, serta
Ø
Kupang 10,5 Km).
Selebihnya
adalah segmen tidak bermasalah yang mencapai 92,3 persen. Selain itu juga
terdapat satu segmen yang dianggap bukan bermasalah sekaligus tidak disepakati, yakni segmen Subina.
Hanya saja, kalau dicermati mendalam, persoalan penetapan batas negara ternyata
bukan semata hitungan-hitungan porsetase. Dinamika permasalahannya sudah
bergerak begitu jauh. Disana ada masalah eksistensi dan rasa keadilan. Keduanya
menyimpan banyak pertanyaan yang sulit dijawab.
Misalnya,
pertanyaan mengenai bergesernya perbatasan RDTL ke wilayah Indonesia. Menurut
pengamat masalah perbatasan RI--RDTL, Dr.Yunuarius Koli Bau, panjang pergeseran
tersebut sudah mencapai 86 kilometer. Situasi ini, kata Yunuarius, sangat tidak
menguntungkan masyarakat adat yang tinggal di wilayah perbatasan. Sebab, mau
tidak mau pergeseran itu mempengaruhi hak kepemilikan tanah. Dan yang pasti,
mereka takkan mengiklaskan tanah adat jatuh ke tangan orang lain (RDTL). Indikasinya
sudah ada, misalnya aksi pembongkaran tapal
batas oleh masyarakat adat Amfoang, Kabupaten Kupang.
Perintah ini turun
langsung dari sang Pemangku Adat, Robby Manoh. “Kami meminta pemerintah untuk
segera menyelesaikan tapal batas, jika tidak sanggup, kita perang saja,”
tegasnya. (Bentara Edisi 32).Warning
tersebut bukan ucapan isapan jempol,
bukan pula gertakan semata.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian, tentu seluruh pimpinan
di republik ini meski menyingkapinya secara arif. Perlu pula untuk direnungkan,
bahwa masih banyak cara mengakhiri problema ini, selain perang.
Salah satunya, kesediaan pemerintah-baik
pusat maupun daerah—melibatkan masyarakat adat di meja perundingan Keterlibatan
ini sangat penting karena menyangkut pengakuan nilai-nilai kearifan lokal. Jika
tidak melibatkan mereka, berarti pemerintah tidak mengakui nilai-nilai
tersebut. “Pemerintah pusat harus meninjau kembali batas wilayah yang ada saat
ini. Segera tentukan batas koordinat sesuai lintang dan bujur.
Satu lagi,
jangan sampai tidak melibatkan tokoh adat dari kedua belah pihak,” ujar
Yanuarius. Para tokoh dan masyarakat adat lah yang menerima efek kemelut
perbatasan secara langsung. Mereka juga yang lebih dulu menikmati kekhawatiran
akan hak kepemilikan tanah. Bayangkan, kata Robby Manoh (pemangku adat Amfoang,
Kecamatan Kupang), jika menggunakan peraturan RDTL, sekitar 896 hektar sawah
milik masyarakat Amfoang di Naktuka akan jatuh ke tangan Timor Leste.
Kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini lah, yang menurutnya, harus dipahami
pemerintah. Ia tidak bisa memastikan ada-tidaknya pemahaman itu di benak
pemerintah. Yang bisa ia pastikan adalah minimnya basic pemahaman terhadap
persoalan perbatasan.
“Lihat saja,
orangnya yang ngurus ganti-ganti.
Hari ini
orang lain yang tidak tahu persoalan, besok lagi orang lain masuk, pada hal dia
juga tidak tahu apa-apa,” ujarnya. Tokoh masyarakat adat Kabupaten TTU (Timor
Tengah Utara), Anton Lake bersikap serupa. Pendalaman juru runding terhadap
cita rasa masyarakat lokal belum optimal. “Mereka tidak menghayati kearifan
lokal yang dimiliki orang Timor,” katanya.
Mereka hanya
datang dengan formalitas birokrasi dan tanpa back groud apa-apa. Para perunding
tanpa back groud itulah yang membuat problema tapal batas tak pernah tuntas. Pengetahuan mereka mengenai kearifan lokal
tak begitu optimal. Selain itu sudut pandang mereka mengenai Bumi Timor masih
sangat ‘hitam putih’.
Kapabilitas
seperti itu bagi para tokoh adat di sekitar perbatasan, bakal menghambat proses
penyelesaian. Keluhan itu kembali sinngah di benak Robby Manoh, Pemangku Adat
Amfoang, Kabupaten Kupang. Satu hal yang
kerap ia keluhkan adalah aoutput perundingan yang hanya berupa sosialisasi.
Selalu itu, itu dan itu. “Lalu akhirnya tidak jelas ujung pangkalnya,” tegas
Robby. Bahwa ada kecemasan dan kekhawatiran di hati para masyarakat adat,
mereka tak pernah tahu.
Di Amfoang
misalnya. Warga di sini mencemaskan 896 Ha sawah di Naktuka yang berpeluang
jatuh ke tangan Timor Leste. “Karena kalau pakai aturan RDTL (Traktat 1904)
sawah itu akan terambil. Akan seperti apa kalau sampai begini,”ujarnya. Menurut
Robby, kecemasan tak perlu ada bila perundingan perbatasan RI-RDTL juga
melibatkan masyarakat adat. Sayangnya, keterlibatan itu masih dipandang sebelah
mata.
Para tokoh adat hanya terlibat
dalam waktu singkat. Setelah itu mereka dikembalikan ke komunitas adat, tanpa
pernah diminta pendapat. Padahal, kalau mau ideal, seharusnya tokoh adat
mendapat porsi cukup. Mereka harus
mengikuti perkembangan secara terus-menerus. Namun sayangnya, tak ada dana
untuk idealisme itu. Pemerintah provinsi dan kabupaten kata Robby, mengaku
tidak mengalokasikan dana untuk mereka. Ironisnya memang. Tokoh-tokoh adat yang
paham benar problema garis batas, justru dikecilkan perannya hanya karena
alasan dana. Sekali lagi ironis.
Parahnya
lagi, nagi masyarakat adat, kini tak penting lagi apakah sang pemangku ikut
berunding atau tidak. Ada hal lain yang lebih menyedot perhatian tanah. Bagi
mereka, tanah adalah harga diri. Sedikit saja tercolek, fatal akibatnya. Warga
Amfoang, tegas Robby, selalu dalam keadaan siaga. Mereka mengantisipasi
penggunaan Traktat 1904 oleh Timor Leste. Sebab, jika pemaksaan itu terjadi,
maka 896 hektar tanah Amfoang terampas. Kami harus perrtahankan. Orang Amfoang
dengan 24 kepala suku dan 5000 massa sudah “siap” kalau sampai terjadi
pengambilan tanah kami,” tegasnya.
Idealnya
perundingan melibatkan orang-orang pilihan. Yakni mereka yang sejak awal
memahami carut-marut perbatasan. Tidak berlebihan jika tokoh-tokoh adat tercatat
dalam daftar orang pilihan itu.
“Kami
sebenarnya ingin mengikuti perkembangan terus menerus. Namun terus terang kami
tidak ada dana,” tegasnya. Sebelum bicara dasar hukum, seyogianya diawali
pembicaraan mengenai kemauan adat. Bukankah, masyarakat adat yang paling awal
merasakan efek perbatasan? Anggota DPR RI asal NTT Cypri Aoer menilai
pendekatan adat merupakan pendekatan terpenting dari beragam pendekatan
lainnya. Bentuk teknis dari pendekatan ini bisa diwujudkan melalui pelibatan
tokoh adat secara maksimal. Kehadiran mereka adalah kata kunci dari segala
jenis perundingan. “Supaya kita tahu batas wilayah versi mereka itu bagaimana.
“Tanyakan, apa maunya adat. Jangan dulu adu pendekatan hukum dan segala macam,”
tegasnya.
Setelah
urusan adat selesai, baru membicarakan dasar hukum. Itu penting. Sebab,
masyarakat adat di sekitar perbatasan benar-benar memahami hakekat tapal batas.
Mereka, kata Cypri, tak hanya mengartikan perbatasan sebagai problema
georgafis, namun juga memaknainya dengan sudut pandang kulturis. “Dengan
merespos mereka, kita tahu mana yang benar, mana yang salah,” ujarnya.
Namun kalau
itu diabaikan, sama halnya memberikan bencana kepada mereka. Sebab, masyarakat
adat lah yang paling awal merasakan efek ketidak -nyataan perbatasan. Bukan
mustahil mereka akan masuk ke dalam situasi yang sangat tak aman. Pada
prinsipnya, perbatasan adalah daerah rawan. Karena itu pula, peluang terjadinya
saling klaim wilayah sangat besar. “Sebagai wakil rakyat dari NTT, saya akan
minta pemerintah RI untuk segera melakukan pendekatan serius dan terarah,”
tegasnya. Kerawanan perbatasan,
sepanjang pengamatan Pakar Hukum Internasional Undana Kupang, John Koten,
terjadi di keseharian warga. Penggunaan air sungai, misalnya.
Dalam
penelitiannya di tapal batas wilayah TTU dan Belu, John menemukan fenomena
menarik mengenai sharing air di kalangan warga. Fenomena ini bermula dari
sebuah sungai yang melintasi Gunung Mutis dan mengalir ke distrik Oe-Cussie,
Timor Leste. Suatu ketika masyarakat di hulu sungai di TTU menahan air sehingga
tidak ada arus yang mengalir ke Oe-cusie (Timor Leste). Akibatnya warga di
distrik itu kekurangan air. Mereka pun memprotes tindakan warga seberang. Hal
ini membuktikan air sungai bisa memicu konflik. Contoh lain menyangkut
pengembalaan hewan ternak. Acapkali,
kata John, pengembalaan di Tasinifu, TTU, kesulitan mengendalikan
ternaknya yang menyeberang perbatasan
dan masuk ke wilayah Timor Leste.
Dalam kondisi
seperti ini, si penggembala tidak bisa serta-merta mengikuti ternaknya dan menggiringnya
kembali ke Tasinifu (Timor Barat-Indonesia). Ia harus menunggu sang hewan ternaknya kemabli sendiri. Dan ini yang tidak mengenakkan, kalau ternak tidak kembali, maka ia dianggap
milik warga Timor Leste. Kedua contoh tersebut adalah bukti sulitnya hidup
normal di perbatasan.
Itu belum
menyangkut problema tanah.
“Persoalan
tanah di Nusa Tenggara Timur (NTT) sering
ditandai dengan pertumpahan darah, saya kira akan muncul di perbatasan
nanti. Kejadian di TTU juga sering. “Sebab harga tanah disetarakan dengan harga
diri,” tegas John. Ketua Perantara Perbatasan RI-RDTL, Frans Leburaya (kini
Gubernur NTT) bukan tidak memeahmi
kerisauan masyarakat adat. Ia juga sudah menghitung resiko jika tidak
melibatkan masyarakat adat. “Seandainya kita menetapkan satu tapal batas yang
merugikan salah satu pihak, tanpa mendengar mereka (masyarakat adat), pasti
akan mengacu konflik,” ujar Frans.Kini semuanya makin mengerucut. Jika tak
ingin perang, maka perundingan harus diprioritaskan. Namun bila perundingan menghadirkan
orang yang salah, gemuruh perang pasti akan datang. (Perang Suku diperbatasan).
Keputusan Bom
Waktu
MENCEGAH
PERANG adalah jalan mulia. Hanya saja pertimbangannya harus jelas dan masuk
akal. Misalnya pemakaian dasar hukum untuk menetapkan garis lintang dan garis
bujur perbatasan. Salah satu persoalan yang menjadi tanda tanya adalah
keseriusan RDTL, menggunakan Traktat 1904 sebagai dasar penetapan. Ini pula
yang menyulitkan masyarakat adat NTT di perbatasan serta delegasi perundingan
RI menyikapi persoalan secara jernih.
Kendati
problema perbatasan lahir di masa kini, namun RDTL, justru menggunakan dasar
hukum yang lahir satu abad silam. Negeri Xanana Gusmau ini bersikukuh memakai
Traktat 1904 sebagai landasan perundingan.
Ini lah
ironisme yang benar-benar ironis.
Selisih waktu 100 tahun, dari kelahiran traktat hingga masa sekarang,
tentu bukan masa yang pendek. Dalam 100 tahun itu, banyak hal terjadi, banyak
pula dinamika yang terus bergerak. Satu hal lagi, tak banyak masyarakat
khususnya masyarakat adat di wilayah perbatasan mengerti garis batas, seperti
terlampir di dalamnya. Saat ini, mereka Cuma tahu : persoalan perbatasan belum
selesai. Itu saja. Pada saat bersamaan, mereka juga mulai menghitung deretan
resiko.
Dan bila penyelesainnya hanya menguntungkan satu pihak, mereka pun siap membayarnya dengan darah. Ketua
Perantara Perbatasan RI-Timor Leste, Frans Leburaya mengingatkan, “Timor Leste untuk tidak berkeras kepala”.
Para perunding dari negara tetangga itu diminta tidak shaklik (kukuh) menerapkan
peta garis batas pada lampiran Traktat.
“Kalau justru menimbulkan masalah, mengapa harus berkeras kepala dengan hal itu
(traktat 1904)?,” tanya Frans. Kekukuhan akan Traktat 1904 hanya mengaburkan
solusi perbatasan dari harapan masyarakat adat. Apalagi masyarakat sekitar
perbatasan hanya menginginkan kedamaian dan ketenangan menjalani hidup. Mari
tengok ritinitas sehari-hari mereka.
Keamanan warga, keselamatan tanah, serta
kepastian garis batas hanyalah sedikit persoalan dari segudang problema perbatasan.
Dan mengenaskannya selalu masyarakat terdekat yang menjadi sasaran. Seolah,
mereka adalah “martil” hidup dari
alotnya perundingan di tingkat atas. Posisi sejati mereka sebagai komunitas
yang paling paham situasi perbatasan, belum terakomodir secara memadai. Hal itu
pula yang menyesakkan dada Frans Leburaya, Ketua Perantara RI-RDTL yang berkali-kali mengingatkan agar
eksistensi masyarakat (khususnya warga adat) benar-benar dihargai.
Mereka
memiliki Hukum Adat. Lalu kenapa tidak diakomodir?” keluhnya. Menurut Frans,
terakomodirnya Hukum Adat akan memperluas peran kearifan lokal. Peran yang
berpijak pada kultur dan tatanan sosial masyarakat setempat ini, ditengarai
memberi kontribusi positif. Sebaliknya, peniadaan kontribusi justru berdampak
fatal. Dan sangat berbahaya bila
perundingan hanya melahirkan keputusan yang manafikan peran masyarakat lokal.
“Saya selalu katakan dalam setiap perundingan, bahwa kita tidak boleh membuat
sebuah keputusan yang akan menyimpan bom waktu,” tegas Frans. Padahal jika
dikelola secara baik, potensi konflik di perbatasan dapat dirubah sedemikian
rupa menjadi hubungan bilateral yang sangat kuat. Pengelolaan tersebut
memerlukan pemahaman dan pendalaman mengenai kondisi riil masyarakat di sekitar
perbatasan.
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, misalnya
Aksesibilitas
masyarakat yang berpatok pada tradisi turun-temurun dan diakui bersama, akan
menjadi pemicu kerawanan jika tidak dikelola secara baik.Keberadaan pelintas
batas dan pengakuan atas lahan yang dikelola dapat memicu ketegangan apabila
tidak diselesaikan secara arif. Fakta geneologis yang mengukuhkan kesamaan suku
di kalangan masyarakat adat di perbatasan. Mereka memiliki simpul-simpul adat
yang tidak mudah dihapuskan. Jika tidak ada ruang komunikasi serta tidak
difasilitasi secara intensif, fakta tersebut justru menjadi sumber kerawanan..
Hanya saja, uniknya, kendati larut dalam problema perbatasan, namun masyarakat
setempat tak pernah merasa berbeda. Masyarakat perbatasan, yang secara
geografis, dibatasi oleh batas wilayah berdasarkan perjanjian Treaty (Traktat)
1904 secara sosial ekonomis tidak pernah merasa dipisahkan. Indikasi ini
terlihat dari berbagai kegiatan yang telah berlangsung secara turun-temurun.
Misalnya :
Adanya
kunjungan adat karena peristiwa pernikahan keluarga, upacara kematian dan
upacara panen pinang. Acara adat itu mereka lakukan bersama dengan spirit
kekerabatan yang tinggi. Adanya perdagangan tradisional yang berlangsung tanpa
hambatan pada saat penjajahan Portugis di Timor Leste dan penjajahan Belanda di
Timor Barat dan makin bebas pada saat Timor-Timur berintegrasi dengan
Indonesia. Adanya peristiwa perkawinan
antar suku di perbatasan yang tidak dikekang oleh aturan-aturan formal. Adanya
kesamaan tradisi dan hukum adat dan hak-hak ulayat serta berbagai perjanjian
lokal dimana keduanya diakui secara kuat oleh masyarakat perbatasan di
masing-masing pihak. Adanya kesamaan kondusif di wilayah perbatasan yang
terbangun atas dasar kerja sama kemanusiaan. Dengan kata lain, situasi perbatasan
boleh tegang, namun hubungan darah tak mungkin terpisahkan. Kendati berbeda
negara, seorang kakek di timor Leste tak
bisa mengingkari keberadaan cucunya di Indonesia (Timor Barat).
Demikian
sebaliknya.
Payung Hukum
Perundingan Perbatasan RI-RDTL (Republik Demokrasi Timor Leste). UU No.24 tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional (LN tahun 2000 No.185 TLN No.4012). Kep
Presiden RI No,47 Tahun 2000 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pengamanan
Perundingan Indonesia dengan UNTAET. Kep. Medagri dan Otonomi Daerah RI
No.185.5-102 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite Penyelesaian Masalah Wilayah
Perbatasan RI-Tim-Tim. Kep.Mendagri dan Otonomi Daerah RI No.185.05-079 tentang
pembentukan Komite Perantara Perbatasan (Border Liason Committee) RI-Tim-Tim.
Dalam keputusan Mendagri menetapkan Wakil Gubernur NTT sebagai Ketua Perantara
Perbatasan Kep.Gubernur NTT No.169/KEP HK/20902 tentang Pengangkatan Anggota
Perantara Perbatasan RI-Tim-Tim. (Sumber : Editor, Albertus Jata & Pamuji
Slamet, Buku Memahami Dengan Hati Dalam Membangun NTT, Mutiara-Kupang,
20-7-2005, hal.183201).
PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN
DI
WILAYAH NTT
Sebagai salah
satu propinsi yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu di darat
berbatasan dengan negara Timor Leste dan di laut berbatasan dengan Australia, posisi NTT sesungguhnya
sangat strategis, baik dari aspek politik maupun ekonomi. Aspek politik
berkaitan dengan menjaga keutuhan dan kedaulatan negara Indonesia.,Sedangkan
aspek ekonomi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di wilayah
perbatasan serta peluang perdagangan barang dan jasa dengan negara tetangga.
Begitu strategisnya wilayah perbatasan dengan negara lain, maka pengembangan
kawasan tertinggal dan kawasan perbatasan tetap harus mendapatkan prioritas penting
dalam pembangunan daerah. Skenario pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan terciptanya keamanan kawasan perbatasan.
Untuk
mewujudkan skenario di atas, dibutuhkan dukungan prasarana dan sarana
transportasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan ekonomi rakyat dan kemitraan dalam kegiatan
ekonomi dengan memanfaatkan kerja sama serta kesepakatan di bidang ekonomi dan
keamanan dengan negara tetangga. Selain itu, perlu disusun desain pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan di kawasan perbatasan yang sesuai dengan latar
belakang sosial budaya masyarakat setempat. Namun untuk mengembangkan dan
mengelola daerah perbatasan bukan perkara gampang.
Wilayah di sekitar
perbatasan dengan negara lain merupakan daerah terdepan yang secara langsung
berintegrasi dengan negara lain, sehingga sedikit banyak berpengaruh terhadap
perkembangan wilayah tersebut. Kondisi kawasan ini memiliki potensi kerawanan
yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pembangunan pada wilayah tersebut, di antaranya
:
---Belum
adanya kepastian garis batas laut dengan negara tetangga.
---Kondisi
masyarakat di wilayah perbatasan masih terisolir dan termarjinal secara
ekonomi, sehingga dapat dimanfaatkan pihak lain yang berkepentingan.
Maraknya
pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan seperti penyelundupan,
pencurian ikan, trafficing, perampokan dan sebagainya. Terbatasnya sarana dan
prasarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengelolaan, khususnya
terhadap pulau-pulau kecil yang terpencil, sulit dijangkau dan tak
berpenghuni.Kondisi pulau-pulau di perbatasan pada umumnya pulau-pulau kecil,
sehingga sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun manusia.Belum
sinkronnya pengelolalaan perbatasan,, baik yang mencakup kelembagaan, program,
maupun kejelasan kewenangan.
Belum adanya
peraturan perundangan yang jelas dan menyeluruh dalam pengelolaan pulau-pulau
terluar.Kurangnya sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-pulau
terluar yang bertidik dasar.
- Pengembangan Perbatasan RI – Timor Leste
Walaupun
hubungan luar negeri masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, tetapi secara
operasional Pemerintah Daerah NTT berupaya menciptakan situasi yang kondusif
dalam rangka menyikapi dan melaksanakan berbagai kebijakan nasional terhadap perkembangan
luar negeri, perdagangan bebas dan tantangan global. Apalagi dengan
diberlakukakannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi
kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri,
termasuk mengoptimalkan potensi sumber daya
lokasi untuk kesejahteraan rakyat, pengelolaan wilayah perbatasan sangat
pentingnya artinya bagi Pemerintah NTT.
Dengan
berlakuknya otonomi luas, Pemerintah Daerah harus memfasilitasi percepatan
pembangunan di wilayah perbatasan, sehingga kesenjangan dan ketertinggalan
wilayah tersebut dapat dikurangi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan dan
pengembangan wilayah perbatasan, perlu
dirumuskan strategi dan model pendekatan yang sesuai dengan kondisi sosial
budaya setempat dengan menitikberatkan penyeimbangan program pembangunan yang
diorientasikan untuk pemberdayaan wilayah perbatasan.
- Strategi Pengembangan Wilayah Perbatasan.
Strategi
pengelolaan dan pengembangan wilayah perbatasan perlu dilakukan secara terpadu
antar sektor dan antar pembangunan. Keterpaduan
pembangunan
wilayah perbatasan memerlukan penanganan dalam bentuk kemitraan, sebab beban
pembangunan tidak dapat hanya dilakukan
oleh Pemerintah Daerah sendiri dengan keterbatasan sumber dana, SDM dan
isntitusi. Untuk itu, seluruh instansi sektoral terkait harus dilibatkan dalam
pembangunan dengan memanfaatkan berbagai sumber dana pembangunan (lokal), nasional dan
internasional), kekuatan ekonomi daerah serta melibatkan peran sektor perbankan
pemerintah dan swasta, termasuk lembaga keuangan non bank.
Dalam pengelolaan
dan pengembangan wilayah perbatasan, masyarakat lokal harus dilibatkan, mulai
dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian program
pembangunan yang diterapkan sungguh-sungguh menyentuh kebutuhan riil masyarakat
setempat dan sekaligus dapat menjawab tuntutan era pasar bebas serta tantangan
global. Strategi pengembangan wilayah perbatasan perlu pula ditunjang melalui
upaya-upaya politis dan diplomatis oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk perjanjian
bilateral dengan negara tetangga untuk pengaturan bersama terhadap berbagai
masalah yang timbul.
Bentuk-bentuk
kerjasama antara lain :
Pertama,
kordinasi dalam mangatasi permasalahan keamanan wilayah perbatasan dengan
membangun pos-pos keamanan dan meningkatkan patroli perbatasan.
Kedua,
koordinasi pengaturan lalu lintas orang dan barang menyangkut keimigrasian dan
cukai khusus bagi penduduk wilayah perbatasan.
Ketiga,
penyelesaian beberapa titik permasalahan perbatasan yang masih ada dengan
semangat bertetangga yang damai.
Keempat,
pengelolaan sumberdaya alam di daerah perbatasan masing-masing negara dengan
mengikutsertakan sektor swasta, LSM, dan masyarakat lokal.
Kelima,
pembangunan sentra bisnis sebagai pusat aktivitas perdagangan lintas batas,
misalnya delam bentuk Kawasan Berikat.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, maka strategi pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan
harus dirancang sedemikian rupa dengan mangacu pada beberapa aspek utama,
seperti :
Geografi :
meliputi pembuatan jaringan perhubungan darat, laut dan udara serta sarana
telekomunikasi.
Demografi :
Mencakup pengisian dan pendistribusian penduduk untuk keperluan kekuatan sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Sumber
daya alam : Perlu ada pemetaan
secara rinci potensi sumber daya alam di kawasan perbatasan dan sistem
pengamanannya.
Idiologi :
Berkaiatan dengan pembinaan dan penghayatan idiologi guna menangkal idiologi
asing.
Politik :
Mencakup pemahaman sistem politik nasional dan menjaga stabilisasi politik yang
dinamis bersama aparat pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial.
Ekonomi
Perhubungan : Meliputi pembangunan
wilayah ekonomi yang dapat berfungsi sebagai pendukung logistik wilayah
pertahanan-keamanan dan pemberdayaan masyarakat.
Sosial
Budaya : Meliputi peningkatan pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan yang memadai dan meningkatkan ketahanan berdaya guna
membendung penetrasi budaya asing.
Pertahanan
dan Keamanan : Mencakup pembuatan
pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan
teritorial yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan
maupun swakarsa masyarakat.
2. Pendekatan
Pengelolaan Perbatasan
Sejak dahulu
masyarakat Pulau Timor, baik Timor Barat maupun Timor Timur memiliki hubungan
geneologis dan sosiologis yang telah berakar secara mendalam. Kebijakan politik
kolonial Belanda dan Portugis yang memisahkan masyarakat Timor Barat dan Timor
Timur tidak menyurutkan hubungan
kekerabatan kedua bangsa. Sebab mereka memiliki local genius (etnis, bahasa dan
latar belakang sosial budaya) yang sama. Hubungan kawin mawin dan perdagangan
tradisional antar kedua bangsa ini berjalan lancar sejak dahulu kala. Karena
itu, Pemerintah Daerah NTT menempatkan local genius sebagai basis pendekatan
pengelolaan wilayah perbatasan RI – Timor Leste yang terkristal dalam Tri Bina
Pembangunan, yaitu,
---Bina
Manusia,
---Bina
Usaha, dan
---Bina
Lingkungan,
Dengan tujuan
untuk mempercepat pengemabangan dan pembangunan daerah perbatasan
Berdasarkan
konsep pendekatan sebagai diuraikan di atas, Pemerintah Daerah NTT telah
melakukan berbagai kegiatan antara lain :
Ø
Meningkatkan kerja sama
antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Leste dalam berbagai
kebijakan mengenai pengungsi yang masih berada di wilayah Timor Barat.
Ø
Meningkatkan persiapan dan
pelaksanaan pembangunan wilayah perbatasan di Timor Barat dan Alor dalam rangka
menjamin kestabilan perbatasan anatara RI dengan Timor Leste.
Ø
Meningkatkan hubungan
bilateral dengan negara sahabat sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
oleh pemerintah.
Perencanaan
pengembangan Kawasan Perbatasan
Timor Barat dengan hasil :
Ø
Adanya pos-pos lintas batas
di Montaain, Napan dan Haekesak. Sementara ------Pos Wini dan O’epoli sedang
dalam proses pengusulan.
Ø
Adanya Rencana Induk
Pengembangan Kawasan Perbatasan Timor
Barat;
Ø
Adanya proyek irigasi
perbatasan tahun anggaran 2002.
B.
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan
Kondisi
georafis NTT yang sebagian wilayhnya dikelilingi oleh laut, merupakan kawasan
yang meberikan peluang pengelolaan untuk keberhasilan pembangunan. Di lain
pihak, kondisi kawasan ini memiliki potensi kerawanan yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan pembangunan wilayah tersebut.
Dengan
demikian pelaksanaan pembangunan pada wilayah perbatasan akan sangat
dipengaruhi oleh kondisi keamanan wilayah dengan posisi letak geografis wilayah
perbatasan dengan perbatasan negara lain.
Pengabaian terhadap gangguan keamanan akan mempengaruhi kondisi keamanan
yang nantinya akan berpengaruh pada strategi Pemerintah Daerah menciptakan
wilayah aman dan kondusif untuk menarik para investor dalam mengerakkan roda
ekonomi kawasan.
Seiring
dengan dicanangkannya program Gerakan Masuk Laut (GEMALA) oleh Pemerintah
Daerah NTT, penanganan pulau-pulau kecil terutama di wilayah perbatasan harus
ditingkatkan. Dengan demikian, program GEMALA dapat terlaksana dengan baik,
karena adanya batas-batas wilayah laut yang jelas dengan negara-negara
tetangga. Karena itu, pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan harus mendapat
perhatian serius dari Pemerintah daerah dalam koordinasi dengan Pemerintah
Pusat.
1. Strategi
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Perbatasan
Kawasan
pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga diperlukan
penanganan secara terpadu, yang melibatkan seluruh sektor sesuai dengan tugas
dan fungsinya masing-masing. Departemen Kelautan dan Perikanan sesuai dengan
mandat yang diberikan melakukan pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk
pulau-pulau di wilayah perbatasan dengan melibatkan Pemerintah Daerah setempat.
Sejauh ini, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terluar Indonesia. Rencana
aksi Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap pulau-pulau di perbatasan
antara lain menyusun profil pulau-pulau di perbatasan tersebut, sehingga dapat
diperoleh informasi tentang :
Ø
peta potensi;
Ø
kondisi ekosistem pulau,
Ø
berpenghuni tidaknya pulau
tersebut dan kalaupun berpenghuni bagaimana ------kondisi/struktur
masyarakatnya, dan
Ø
kondisi ekonomi, kamanan,
sosial dan budaya masyarakat pulau tersebut
Di Provinsi
NTT Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K), sejak 2003 telah
melaksanakan kegiatan di wilayah perbatasan di Pulau Alor. Kegiatan tersebut
meliputi : Penyusunan masterplan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan
melibatkan masyarakat di pulau Alor selama lima tahun (2003-2008);
Rehabilitasi
ekosietem pulau-pulau kecil di pulau Alor dan memberikan bantuan sarana/modal
usaha mata pencaharian alternatif di pulau Alor. Sementara Depatemen Luar
Negeri melakukan lobi-lobi politik dan diplomasi dengan negara tetangga dalam
rangka kepastian garis batas perairan dan pengelolaan pulau-pulau kecil di
wilayah perbatasan, yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang.
a.Strategi
jangka Pendek meliputi :
Membuat
peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan pulau-pulau terluar yang
mempunyai titik dasar untuk dikelola, baik oleh Pemerintah Puasat maupun
Pemerintah Daerah.
Ø
Memanfaatkan pulau-pulau
tersebut sebagai pengembangan perikanan terpadu yang bebasis potensi lokal;
Ø Memberdayakan ekonomi
masyarakat pesisir dengan mengarahkan dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir (PEMP) ke masyarakat pulau di daerah perbatasan;
Ø
Melakukan identifikasi
terhadap keberadaan pulau-pulau perbatasan.
Mensosialisasi
pentingnya menjaga pulau-pulau perbatasan.
b. Strategi
jangka Panjang meliputi :
Menarik
investasi masuk ke pulau-pulau yang mempunyai potensi jasa lingkungan yang
cocok untuk kepariwisataan bahari;
Ø
Mendeklarasikan pulau-pulau
yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi sebagai kawasan konservasi;
Ø
Melakukan penataan ruang
pada wilayah pulau-pulau kecil, termasuk laut dan pesisirnya;
Ø
Meningkatkan koordinasi
lintas sektor dalam upaya menjaga keberadaan pulau terluar.
Kedua
strategi tersebut merupakan upaya untuk merangsang aktivitas pembangunan di
pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan, sehingga dapat menjustifikasikan
pulau-pulau tersebut sebagai wilayah dari negara kesatuan RI. Salah satu
kebijakan untuk mengembangkan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan adalah
dengan membuka jalur kerja sama dengan negara tetangga. Kerja sama yang
dikembangkan diharapkan dapat dikoordinasikan kegiatan ekonomi, politik,
pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan.
2.Pendekatan
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Perbatasan
Pendekatan
arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan dikembangkan
dan dirumuskan dengan mengkombinasikan tiga pendekatan, yaitu :
a. Pedekatan
Hak
Ada tiga
tujuan yang ingin dicapai yaitu :
Ø
Adanya pengakuan dan
perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat atas tanah dan wilayah perairan
pulau-pulau kecil.
Ø
Terjalinnya kerjasama usaha
yang setara antara
Ø
Pemerintah RI dengan negara
tetangga dan antara masyarakat dengan
pengusaha/investor dalam pemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil. Dalam hal ini perlu ada
kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak kerjasama yang
dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya diawasi dan ditegakkan oleh
masing-masing pelaku yaitu pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Kepastian
berusaha bagi pengusaha/investor yang sudah mendapatkan hak pakai atas tanah
dan wilayah perairan pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh negara.
b. Pendekatan
ekosistem dalam alokasi ruang wilayah
pulau dan gugus pulau Wilayah gugus
pulau dan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan sangat rentan secara
ekologis. Selain itu, wilayah ini memliki keterkaitan ekologis, sosial-ekonomi
dan sosial-budaya dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan alokasi ruang yang
didasarkan pada daya dukung ekologis, jaringan sosial-budaya antara masyarakat dan integrasi sosial-ekonomi yang
sudah berlangsung selama ini akan memberikan pilihan investasi yang tepat. Tata
ruang dengan pendekatan ekosistem harus menjadi instrumen kebijakan utama untuk
menjaga keamanan dan keselamatan sosial-budaya dan ekologis dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil. Alokasi seperti ini memberikan kesempatan bagi penataan
ulang posisi dan peran strategis masyarakat lokal, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Hal ini akan berimplikasi
pada kejelasan hak dan kewajiban serta wewenang pihak-pihak tersebut.
c. Pendekatan
Pengelolaan yang Sesuai Dengan budaya setempat
Jenis
pengemabangan pulau-pulau terluar yang dilakukan di kawasan perbatasan, baik
yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun investor dalam negeri dan asing
harus mengacu pada latar geografisnya dan karakteristik ekosistem, serta
kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Pada tahap perencanaan induk
wilayah, akan dilakukan penilaian sumberdaya alam (resoureces evalution), yang
akan menjadi landasan pengembangan pola pengelolaan serta keselamatan ekologis
dan sosial-budaya. Mengingat rentannya ekosistem pulau-pulau terluar dengan
gugus pulau terluar di wilayah perbatasan, pemerintah melakukan pembatasan
kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara
ekologis maupun sosial.
Pemerintah hanya mengizinkan pengelolaan pulau-pulau
terluar untuk konservasi, budidaya laut (maricultura), ekowisata dan
penangkapan ikan serta industri perikanan lestari. Dalam pemanfaatan
pulau-pulau kecil ini oleh pengusaha dari luar pulau, pemerintah menjadi
fasilisator keterlibatan masyarakat dalam berbagai bentuk seperti akses
berusaha bagi penduduk lokal, kemitraan usaha dan penyertaan modal. Pemerintah
akan mengembangkan instrumen kebijakan untuk mendukung sistem keselamatan
ekologis, berupa :
Pembentukan
Badan Penasihat yang memiliki fungsi
untuk,
Ø
Memberikan arahan dan
masukan dalam kegiatan investasi di pulau-pulau kecil, khususnya wilayah
perbatasan;
ØMemberikan layanan
konsultasi dalam pengembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
ØMembantu dan menyelesaikan
permasalahan yang muncul dalam pengembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
ØMembantu dan mengawasi
proses pelaksanaan penmgembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
Ø
Melakukan monitoring
kegiatan pengembangan pulau kecil perbatasan;
2. Penegakan
prosedur analisis mengenai dampak lingkungan dan sosial dari pengembang
pulau-pulau kecil perbatasan.
Untuk
mengoptimalkan pelaksanaannya, penegakan dan penataan
(enfoercement
and compliance) hukum laut nasional menjadi keharusan. Hukum laut nasional yang
dimaksud harus bisa mengakomodasi hukum laut yang berlaku di masyarakat adat
dan hukum laut internasional. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan dan
pemberlakuan sistem pemantauan dan pengawasan yang berbasis pada masyarakat
juga menjadi keharusan.
d. Masalah
Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir
(Ashmoro Reef)
Lepasnya
Timor Timur dari pengkuan negara kesatuan RI membawa konsekuensi adanya
perubahan-perubahan yang vital menyangkut batas wilayah laut dengan tetangga,
Timor Leste dan Australia. Terjadi tumpang tindih klaim perbatasan laut antara
Indonesia dan Australia menyangkut Celah Timor (Timor Gab) dan gugusan Pulau
Pasir (Ashmoro Reef). Persoalan Celah Timor yang kaya akan cadangan sumber
minyak bumi dan gas alam serta gugusan Pulau Pasir yang selama berabad-abad
menjadi ladang pencarian ikan nelayan asal Pulau Rote, NTT sebenarnya merupakan
satu paket yang tak terpisahkan dengan persoalan Timor Timur. Persoalan
tersebut sangat bernuansa politis yang bukan saja karena kepentingan yang lebih
besar dari Amerika Serikat.
Konon ada
“pembagian kue wilayah” antara Indonesia dengan Australia dimana Indonesia
didorong untuk memasuki Timor Timur dan sebagai imbalannya, Australia
mendapatkan pulau Pasir (Ashmore Reef). Pembagian kue wilayah” tersebut
dirasakan sangat tidak adil oleh Indonesia dan merugikan masyarakat NTT, karena
kehilangan akses terhadap kedua wilayah potensial tersebut. Ketidak adilan itu
sungguh nyata melibatkan masyarakat setempat mengesampingkan fakta historis dan
fakta hukum adat yang berlaku di masyarakat hukum adat pulau Timor (Timor
Barat) dan khususnya pulau Rote, NTT. Menyikapi kibijakan yang sangat tidak
adil itu, masyarakat NTT membentuk semacam gugus tugas yang dikenal dengan
“POKJA Celah Timor dan Pulau Pasir,” atau Timor Gab & Ashmore Reef Task
Force”. Gugus tugas yang diketuai Ferdi Tanoni tersebut kini giat
memperjuangkan hak masyarakat NTT untuk mengelola Celah Timor dan Gugusan Pulau
Pasir berdasarkan hak hukum adat masyarakat NTT dan hukum laut internasional
serta konvensi hukum laut internasional.
1. Masalah
Celah Timor
Celah Timor
yang terletak di Laut Timor merupakan sebuah kawasan yang kaya akan cadangan
sumber minyak bumi dan gas alam. Kawasan ini kini dieksploitasi oleh Australia
untuk pengeboran minyak lepas pantai dan gas alam. Sementara pihak Indonesia,
khususnya masyarakat NTT tidak memiliki akses apapun di kawasan yang sangat
potensi itu. Sebagaimana digambarkan sebelumnya, wewenang mutlak Australia
mengeksploitasi Celah Timor tidak terlepas dari masalah Timor-Timur. Sebagai
imbalan menganeksasi Timor Timur ke dalam wilayah negara kesatuan RI,
pemerintah Indonesia seolah-olah menutup mata terhadap Celah Timor dan
mengabaikan hak hak ulayat masyarakat NTT atas wilayah tersebut.
Masalah Celah
Timor mulai mencuat sejak 1972 ketika pemerintah Australia secara sepihak
menetapkan batas wilayah perairannya berdasarkan argumen landas kontinental,
yang menyatakan bahwa dasar laut harus mengikuti titik terdalam pada dasar laut
antar negara. Ternyata titik terdalam Australia berada di laut Timor. Akibatnya
Indonesia kehilangan 85% wilayah perairannya. Sedangkan pemerintah Portugal
menolak argumentasi Australia tersebut. Tahun 1971, yakni setelah Timor Timur
masuk negara kesatuan RI, Australia mulai membuka perundingan dengan Indonesia menyangkut
Celah Timor.
Kedua belah
pihak tidak mencapai kesepakatan mengenai garis batas, namun sepakat untuk
membuat perjanjian tentang pengeksploitasian minyak bersama di wilayah antar
garis tengah ke selatan dan batas perairan dasar laut tahun 1972 ke utara.
Kesepakatan ini ternyata hanya menguntungkan Australia. Selanjutnya pada tahun
1981, Australia dan Indonesia menyepakati batas perairan yang melintang sepanjang garis tengah. Pada tahun 1982 PBB
mendefenisikan ulang hukum laut internasinal yang menyatakan, bahwa
negara-negara yang jarak antara mereka kurang dari 400 mil laut, maka batas
internasinal harus berada pada titik tengah.
Beberapa saat
setelah Timor Leste diproklamirkan sebagai negara merdeka, Ketua Menteri UNTAET
Marie Alkatiri dan PM Australia John Howard menandatangani kesepakatan dengan
sebutan MOU Laut Timor, tanpa melibatkan Indonesia. MOU Laut Timor tersebut
tidak saja mengabaikan kesepakatan terdahulu dan konvensi hukum laut yang
ditetapkan PBB, tetapi juga mengabaikan hak tradisional/hak ulayat adat Timor
Barat yang telah diakomodir secara proposial dalam Undang-undang Pokok agraria
(UUPA) No.5 tahun 1960. Itulah sebabya, Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir tetap
berjuang agar Indonesia dilibatkan dalam pengelolaan Celah Timor. Karenanya,
perjanjian antar Australia dan Timor Leste mengenai Celah Timor dianggap
sepihak dan tidak syah. Saat ini Pokja Celah Timor mendesak Deplu agar
membatalkan perjanjian antara Australia dan Timor Leste dan membuka kembali
upaya diplomatik bagi penyelesaian masalah kawasan potensial ini.
2. Masalah
Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef)
Gugusan pulau
Pasir yang kaya sumber daya biota laut seperti ikan, cumi-cumi, mutiara dan
teripang berada di bagian Timur Samudera Hindia (12 derajat dan 13 menit Lintang
Selatan dan 123 derajat 05 menit Bujur Timur). Jarak ke Australia sekitar 840
Km dan jarak ke pulau Rote, NTT sekitar 60 Km.
Adalah tidak adil dan tidak masuk akal bahwa gugusan pulau Pasir ini
masuk wilayah Australia. Karena itu, wajar jika masyarakat NTT kini getol
memperjuangkan gugusan pulau karang ini sebagai bagian dari negara kesatuan RI.
Klaim Indonesia, khususnya masyarakat NTT atas gugusan Pulau Pasir (Ashmore
reef, Cartier Reef dan Scott Reef),
bukan tanpa alasan. Berdasarkan
fakta historis dan fakta hukum adat mesyarakat pulau Rote, gugusan pulau Pasir
seharusnya masuk wilayah NTT.
Ada beberapa
alasan yang memperkuat argumentasi ini, di antaranya :
Pertama,
Nelayan tradisonal pulau Rote, NTT sudah menganggap gugusan Pulau Pasir sebagai
kampung halaman mereka, jauh sebelum orang kulit putih menginjakkan kakinya di
bedua Australia. Konon, nelayan pulau
Rote dan nelayan-nelayan dari beberapa daerah lain seperti Bajo, Buton, Madura
dan Lembata telah menjadikan gugusan pulau Pasir sebagai ladang mencari ikan
sejak tahun 1721.
Mereka
tinggal secara berkala di gugusan pulau Pasir
tersebut. Hal ini dibuktikan
dengan adanya,
Ø
Tiga sumur tua yang digali oleh nelayan tradisional asal Pulau
Ø
Peninggalan-peninggalan
yang terdapat di gugusan pulau Pasir seperti keramik, belanga berlapis kaca,
dan guci tanah liat.
Ø
Peninggalan-peninggalan
tersebut tidak diragukan lagi berasal dari nelayan-nelayan Indonesia.
Ø
Terdapat Pohon
asam dan pohon kelapa yang ditanam oleh nelayan tradisional asal Pulau Rote
Ø
Selain itu, sekitar
pertengahan pantai di atas bekas air pasang paling tinggi, terdapat sejumlah
lempengan karang yang diatur seperti halnya orang membuat tungku untuk
mengelola tripang. Ada bukti bahwa terdapat lebih dari satu tungku, juga
ditemukan batu-batu eksotik (batu pemberat). Batu tersebut berasal dari perahu
nelayan Indonesia yang rusak dan bangkainya masih ada sampai sekarang.
Ø
Terdapat sekitar 161 buah
kuburan nelayan pulau Rote digugusan pulau Pasir. Di antara makam yang terdapat
di lokasi pekuburan ditandai adanya garis keliling berbentuk empat persegi dari
batu karang (karang pantai akibat proses segmentasi pasir karang) dan sebuah
tugu kayu berbetuk persegi disertai nama dan tanggal. Kubur
diberi ciri yang sama, tetapi sebagai ganti tugu dari kayu, kubur menggunakan
batu karang bulat tipis sebagai batu nisan.Kubur lain yang terdapat di lokasi
perkuburan ditandai dengan batu karang bulat, kubur yang lebih besar memiliki
dua batu karang sebagai penanda. Lima
kubur letaknya arah utara-selatan, sedangkan kubur yang paling kecil yang
ditandai batu karang bulat letaknya arah Timur-Barat. Di Pulau Tengah,
satu-satunya makam terletak di sudut Tenggara pulau. Kubur berbentuk persegi
empat dengan ukuran panjang kira-kira 1,85 m dan lebar 0,96 m. Permukaannya rata
halus, kubur membujur ke arah Utara-Selatan dengan dua tugu kayu pada kedua
ujung. Kubur tersebut merupakan kubur seorang nelayan Madura asal pulau Tondul
(Tunduk) dan dirawat secara teratur.Sejumlah kubur tanpa tanda yang usianya
lebih tua di Timur terkikis erosi, sehingga materi rangka manusia muncul ke
permukaan. Karena diterpa angin dan ombak pada akhirnya tulang belulang
tersebut disapu air laut.
Ø
Hukum adat mengakui akan
hak nelayan-nelayan (terutama Rote) karena adanya pohon yang ditanam yakni pohon
kelapa dan pohon asam. Walau dalam jumlah yang sedikit, tak akan mengurangi
arti status dan hak mereka yang diakui masyarakat secara tradisional.
Ø
Leluhur mereka membangun
harak, semacam perladangan di laut di perairan sekitar pulau Pasir.
Ø
Dalam hukum adat, harak
memperoleh pengakuan dan memiliki status hukum yang pasti.
Ø
Gugusan Pulau Pasir
(Ashmore Reef, Cartier Reef, Scott Reff) baru ditemukan oleh Kapten Ashmore,
seorang berkebangsaan Inggris pada tahun 1811.
Ø
Kemudian Inggris mengklaim,
bahwa gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah miliknya dan pada tahun 1878
Inggris menetapkan wilayah ini menjadi koloninya. Kemudian pada tahun 1933
Inggris menyerahkan sepenuhnya gugusan pulau ini kepada Australia. Pada tahun
1942 wilayah tersebut berada di bawah adminstrasi negara bagian Australia
Barat, yang kemudian menjadi Norten Federal Australia. Sedang Para nelayan tradisional Pulau Rote/Roti, jauh sebelum Pelaut Portugis Antonio Pigafetta menemukan Pulua Rote/Roti, pada tahun 1552, telah menjadikan Gugusan Pulau Pasir sebagai Rumah Kedua mereka yang dijadikan tempat persinggahan untuk mengambil air tawar dari sumur yang mereka gali sendiri, dan tempat istirahat atau sebagai tempat berlindung ketika menghadapi badai dan gelombang besar. Sebenarnya jauh sebelum Kapten Asmore menamakan gugusan Pulau Pasir dengan namanya sendiri, para nelayan tradisional orang Rote/Roti telah memmberi nama gugusan pulau itu dengan sebutan Pulau Dato 1, pulau Dato 2 dan Pulau Dato 3, tetapi umumnya mereka namakan Solokae atau Pulau Pasir. Jauh sebelum Kapten Cook menemukan Benua Australia, Para Pelaut tradisional Indonesia lebih dahulu menemukan Australia dan diberi nama "MAREGE" yang itu pulau Hitam karena penduduk yang dijumpainya semuanya berkulit hitam. Jadi seharusnya BERNAMA benua MAREGE BUKAN AUSTRALIA.
Berdasarkan
fakta historis dan fakta hukum adat masyarakat pulau Rote sebagaimana
disebutkan di atas, maka :Adalah suatu hal yang mustahil jika para nelayan
Indonesia tidak pernah menginjakkan kakinya di gugusan pulau Pasir, sedangkan
nelayan Indonesia telah berlayar hingga ke Madagaskar bahkan Tanjung Harapan di
Afrika Selatan, dan disana ada perkampungan Bugis Makasar yang pernah
dikungjungi Presiden SBY, ketika berkunjung ke Afrika Selatan (2007) yang lalu.
Adalah suatu
keanehan ketika didasarkan oleh deklarasi Juanda dimana Indonesia berusaha
mengklaim perairan hingga 200 mil dan diakui bahkan oleh Konvensi Hukum Laut
PBB ketika tahun 1982 (sebagai ZEE). Peta Hindia Belanda Tentang Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao disana terdapat Garis Pembatas Perairan Berwarna Merah antara wilayah Hindia Belanda dengan Australia menunjukan bahwa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) terletak jauh di Utara Garis Pembatas Merah tersebut dan masuk wilayah Pulau Rote paling selatan yang berbatasan dengan Australia.
Pada zaman Hindia Belanda, peta Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao wilayahnya termasuk Hindia Belanda, dan pada saat itu hingga Indonesia Meedeka 17 Agustus 1945, ternyata Australia tidak pernah keberatan ataupun mengklaim Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) kepada pihak Hindia Belanda, oleh karena selama itu, Australia mengakui sebagai wilayah Hindia Belanda. Peta Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao zaman Belanda dapat dilihat pada Bagian lainnya di Blog ini, dan tidak ada alasan bagi Australia untuk mengklaim Gugusan Pulau Pasir saat ini menjadi miliknya dan telah tiba saatnya untuk Pemerintah Indonesia - Australia membuka kembali Perundingan untuk Australia mengembalikan Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) ke Indonesia, oleh karena cukup banyak bukti baiki berupa Peta, maupun berbagai bukti kegiaatas Nelayan tradisional asal Pulau Rote/Roti maupun oleh Nelayan Tradisional Indonesia lainnya. Dengan demikian saat ini gugusan pulau Pasir belum sepenuhnya milik Australia dan harus menyerahkan kembali kepada Indonesia.
Selain itu Australia curang dalam Rekayasa pembuatan Peta Baru versi Australia sejak MOU 1974, dimana dalam peta tersebut, Garis Batas antara Indonesia - Australia ketika sampai di Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak ditarik LURUS sesuai Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982, melainkan Garis Tersebut dibuat setengah lingkaran makin ke Utara dengan memblog Gugusan Pulau Pasir menjadi milik Autralia. Dengan demikian pembuatan Garis Batas oleh Australia telah melanggar ketentuan Garis Perbatasan antar dua negara yaitu Garis Pembatas tersebut harus ditarik Lurus, bukan dibuat setengah linggkaran sehingga tidak syah. Perthatikan Peta Rekayasa Australia pada Bagian lain di Blog ini juga nampaknya sangat lucu dan curangnya sepertinya tidak pernah paham aturan Hukum Laut Internasional soal Garis Perbatasan. Hingga saat ini banyak kalangan organisasi masyarakat sedang berjuang untuk mengembalikan Gugusan Pulau Pasir itu ke Indonesia.
Ada juga kesan ketika pembuatan MOU 1974 antara Indonesia dengan Australia, yang saat itu Menlu RI adalah Ali Alats, selain mendapat tekanan dari Australia juga Ali Alatas tidak memiliki Peta Buatan Hindia Belanda, sehingga tidak mengetahui secara pasti status Pulau Pasir milik Indonesia, karena sebelumnyanya tidak pernah konsultasi lebih dahulu dengan pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur, maupun dengan masyarakat Adat Hak Ulayat atas Pulau Pasir, dan seolah-olah pembuatan MOU itu dari Belakang Meja saja tanpa penelitian lapangan dimana Gugusan Pulau Pasir itu dalam Peta Belanda hampir sebesar sebuah Titik saja. Selain itu pula ada terjadi Konpensasi Politik sehubungan dengan masalah Timor Timur yaitu dibutuhkan Pengakuan Australia terhadap integrasi Timor Tiomur kedalam wilayah Indonesia dan sebagai imbalannya Indonesia menyerahkan Gugusan Pulau Pasir kepada Australia. Jadi istilah menyerahkan, sama artinya dengan semula adalah milik Indonesia.
Karena itu
perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Australia sudah selayaknya
dibatalkan dan gugusan Pulau Pasir (Ashomro Reef) masuk wilayah perairan NTT
(Kabupaten Rote Ndao-yakni Kabupaten Paling Selatan NKRI) Apalagi Timor Timur
telah merdeka menjadi negara merdeka dan pihak Australia secara nyata melanggar
kesepakatan mengizinkan nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap spesies
laut di kawasan pulau Pasir.
Dengan
demikian, tindakan Pemerintah Indonesia yang tidak mengakui hak-hak adat
nelayan pulau Rote atas gugusan pulau Pasir bertentangan dengan pengakuan
terhadap hukum adat yang sudah
diwujudkan oleh pemerintah Indonesia, yakni dengan diberlakukannya
Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
Namun
perjuangan masyarakat NTT agar gugusan Pulau Pasir masuk wilayah NTT bukan
pekerjaan gampang. Kehadiran Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir tidak cukup
untuk memperjuangkan perkara besar ini.
Pihak Deplu
harus melakukan lobi-lopbi politik dan diplomasi dengan pihak Australia, agar
meninjau kembali perjanjian bilateral kedua belah pihak berdasarkan hukum laut
internasional dan kedaulatan hukum adat masyarakat Rote.
Tentu juga
pihak DPR RI, perlu turut memperjuangkan hak kedaulatan RI atas pulau Pasir
yang dicaplok secara sipihak oleh Australia, maka perlu melibatkan 250-300 juta
rakyat Indonesia untuk menghadapi Australia yang sangat arogan tersebut.
(Editor : Drs.Pieter Sambut, Merajut Masa Depan NTT, Menuju Masyarakat Yang
Mandiri, Maju Dan Sejahtera,, Provinsi NTT, 2003, hal.122-139)
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
March 2nd, 2011 | Author: admin
ARTI
PENTING DAN SUMBER ANCAMAN
Oleh :MAYOR
INF SLAMET, WDN SATGAS PAMTAS RI-RDTL YONIF 743/PSY
Pendahuluan
Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis yang berada diantara dua
benua Asia dan Australia serta dikelilingi Samudera Pasifik, Samudera Hindia,
Selat Malaka dan Laut Cina Selatan mempunyai arti geopolitis dan strategis yang
cukup diperhitungkan oleh negara-negara disekitarnya. Posisi atau letak
wilayah NKRI berbatasan dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand,
Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Republik Palau, PNG, Timor Leste dan
Australia. Sementara perbatasan daratnya dengan tiga negara yaitu Malaysia, PNG
dan Timor Leste.
Perbatasan
wilayah negara pada hakekatnya mengandung potensi strategis dalam segala aspek
kehidupan bernegara dan berbangsa antara negara yang berbatasan wilayahnya,
baik yang bernilai positif maupun negatif khususnya aspek politik luar negeri
dan aspek pertahanan keamanan negara di daerah perbatasan tersebut.
Potensi
strategis dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa antara negara
yang berbatasan wilayahnya akan menjadi suatu permasalahan bila tidak ada upaya
untuk menginventarisir, mengkaji, merumuskan inti permasalahan, dan
menindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian bersama serta membuat/memyusun
kebijakan untuk mengatur wilayah masing-masing negara.
Perbatasan negara
merupakan perwujudan kedaulatan suatu negara. Oleh karena itu, perbatasan
negara memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keutuhan suatu
wilayah. Dengan adanya batas negara ini, maka jelaslah kewenangan suatu bangsa
dalam mengelola seluruh urusan pemerintahan yaitu meliputi politik , ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Sejarah
Terbentuknya Perbatasan RI-RDTL
Mendiskusikan
tentang sejarah awal perbatasan Indonesia-Timor Leste tidak bisa dilepaskan
dari pembahasan tentang sejarah Timor. Hal ini karena pada dasarnya Timor
adalah suatu kesatuan pulau yang kemudian dibagi dua menjadi wilayah Portugis
dan Belanda pada masa kolonial. Pulau Timor menarik perhatian dunia luar
termasuk juga Portugis dan Belanda karena pesona aroma kayu cendana yang
selain dipakai untuk perabotan rumah juga digunakan untuk keperluan ritual
keagamaan.
Perbatasan
Timor Barat dan Timor Leste ditetapkan melalui serangkaian perundingan,
konvensi yang tidak saja melibatkan Belanda dan Portugis tetapi juga
pihak ketiga yakni pengadilan arbitrasi yang berkantor di Paris. Disamping itu
penetapan perbatasan antara kedua wilayah koloni tersebut memakan waktu lama
dan proses yang panjang. Sejarah terbentuknya perbatasan RI-RDTL sejak awalnya
menyisakan berbagai problematika.
Tidak saja,
karena tidak semua titik perbatasan berhasil diselesaikan oleh perundingan
bilateral Belanda-Portugis maupun arbitrasi yang dilakukan Mahkamah Internasional,
tetapi juga menyangkut dinamika daerah perbatasan selama hampir 100 tahun
berselang yang membuat perjanjian tersebut menciptakan berbagai persoalan
teknis maupun non-teknis, seperti misalnya perubahan kontur geografis penanda
perbatasan (sungai, bukit dan lain-lain), adanya jual beli tanah (tepat di
garis perbatasan), serta terjadinya perpindahan penduduk.
Sejarah perbatasan
Timor Barat dan Timor Timur diawali dari perebutan wilayah antara
Portugis dan Belanda dalam memperebutkan dominasi perdagangan kayu cendana di
Pulau Timor yang secara sporadis berlangsung mulai 1701 hingga tahun 1755, yang
kemudian melahirkan kesepakatan “Contract of Paravinici“ pada tahun 1755 dimana
antara Belanda dan Portugis sepakat membagi Pulau Timor menjadi dua bagian yaitu
bagian Barat yang berpusat di Kupang menjadi milik Belanda dan bagian
Timur yang berpusat di Dili menjadi milik Portugis.
Walaupun
keduanya telah menandatangani kontrak tetapi penetapan tapal batas tidak pernah
dinegosiasikan secara jelas. Perundingan lanjutan tahun 1846, Portugis
menukarkan wilayah Flores yang tadinya dikuasai Portugis dengan sebuah enclave
di pantai utara yang kini dikenal sebagai daerah Oecusse dan dua pulau kecil
dilepas pantai utara yakni Atauro dan Jaco. Sejak saat itulah Flores dikuasai
Belanda dan Oecusse menjadi milik Portugis.
Pada 1
Oktober 1904 sebuah konvensi bernama “A Convention for The Demarcation of
Portuguese and Dutch Dominions on the Islands of Timor “ ditandatangani oleh
kedua belah pihak di Den Haag, yang kemudian dilanjutkan proses ratifikasi
secara serentak (oleh pihak Portugis dan Belanda) pada tanggal 29 Agustus 1908.
Konvensi 1904 inilah yang kemudian dianggap sebagai perjanjian yang legal yang
telah menyelesaikan berbagai perbedaan di seputar masalah perbatasan antara
Belanda dan Portugis, khususnya di Pulau Timor.
Namun
demikian, beberapa tahun kemudian beberapa daerah yang tidak sempat di survei
(termasuk daerah Oecusse) masih sibuk dibicarakan oleh tim yang dibentuk kedua
Negara. Pada 1909, komisi perbatasan yang dibentuk oleh pemerintah Belanda dan
Portugis gagal mencapai kata sepakat dalam menentukan tapal batas di wilayah
Oecusse (termasuk daerah sungai Noel Meto)
Kegagalan ini
membawa Belanda dan Portugis ke Peradilan Internasional. Pada 3 April 1913 Belanda
dan Portugis menandatangani konvensi berisi tentang kesepakatan mereka membawa
kasus sengketa perbatasan ke Permanent Court of Arbitration (pengadilan
arbitrasi) di Paris. Dalam keputusannya pada 26 Juni 1914 pengadilan arbitrasi
memutuskan memenangkan klaim Belanda atas daerah-daerah yang masih
dipersengketakan.Ketika Timor Timur merupakan
bagian Indonesia (1976-1999) isu perbatasan Timor Barat dan Timor Timor
menjadi tidak relevan lagi.
Masyarakat di sekitar wilayah perbatasan yang pada
dasarnya memiliki keeratan hubungan sosial-budaya pun bebas untuk saling
berhubungan dan melakukan transaksi ekonomi. Pembukaan perbatasan pada masa
itu, telah mengubah secara substansial aspek sosial-ekonomi masyarakat
setempat.
Namun, 24
tahun kemudian, ketika Timor Leste merdeka masalah perbatasan menjadi hal yang
penting untuk dibicarakan antara pemerintah Indonesia maupun Timor Leste.
Langkah awal yang dilakukan adalah menyepakati kembali tapal batas yang pernah
ada antara Timor Barat dan Timor Timur.
Pada 2 Pebruari 2002 Menteri Luar
Negeri RI Hasan Wirayuda dan pimpinan UNTAET, Sergio Vierra de Mello,
menandatangani kesepakatan untuk mengatur prinsip uti posideti juris, yaitu
memakai Konvensi 1904 yang telah ditandatangani Portugis dan Belanda serta
hasil keputusan Permanent Court of Arbitration 1914, sebagai dasar hukum yang
mengatur perbatasan RI-RDTL.
Sejauh ini
kedua Negara telah menandatangani persetujuan sementara (provisional
agreement) pada 8 April 2005 yang ditandatangani oleh Menlu Ri Hasan
Wirayuda dan Menlu RDTL Ramos Horta. Perjanjian sementara ini menyepakati
907 koordinat titik batas atau sekitar 96% dari total garis batas darat. Ada
beberapa segment di wilayah perbatasan yang masih mengganjal tercapainya
kesepakatan akhir (final agreement) antara kedua negara, yang bisa menjadi isu
sensitive yang berpotensi untuk memicu konflik perbatasan antara kedua negara.
Fungsi
Perbatasan RI-RDTL
Perbatasan
(borders) dipahami sebagai suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu
Negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan wilayah Negara lain.
Namun sesungguhnya pengertian mengenai perbatasan tidak sesederhana itu, karena
di dalamnya juga mengandung beberapa dimensi lain, yaitu antara lain garis
batas (border lines), sempadan (boundary) dan perhinggaan (frontier), yang
tentu merupakan persoalan politik.
Secara umum,
garis batas tidak hanya merupakan garis demarkasi yang memisahkan sistem hukum
yang berlaku antar Negara, tetapi juga merupakan contact point (titik singgung)
struktur kekuatan teritorial nasional dari negara-negara yang berbatasan. Garis
batas ini pada dasarnya memiliki dua fungsi yaitu ke dalam, untuk
pengaturan administrasi pemerintahan dan penerapan hukum nasional dalam rangka
kehidupan berbangsa dan bernegara dan keluar, berkaitan dengan hubungan
internasional, untuk menunjukan hak-hak dan kewajiban menyangkut perjanjian
bilateral, regional maupun internasional dalam rangka kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Sementara konsep kedua, perbatasan sebagai boundary merujuk pada tapal
batas yang pasti misalnya penghalang fisik atau segala sesuatu yang kasat mata.
Kategori pembentukan batas itu sendiri dapat bermula dari kriteria geografis,
ikatan primordial atau bahkan ideologi. Kategori apa pun yang digunakan
seseorang tidak dapat lagi berperilaku bebas seperti ketika masih berada di
dalamnya.
Dalam wilayah
yang sama dapat diketemukan kesedaran kolektif (collective identity). Beberapa
bentukan geologis menentukan batas alami seperti gunung, danau atau sungai. Di
samping itu benda-benda buatan manusia seperti pilar tugu, kawat berduri,
dinding beton atau sign post juga dapat digunakan sebagai penanda batas
antarnegara. Bahkan, kombinasi batas alami dan buatan manusia juga sangat lazim
digunakan.
Sedangkan konsep terakhir merujuk pada pemahaman perbatasan sebagai
frontier yang bermakna “daerah depan”. Pada zaman dahulu, frontier ini
dianalogikan sebagai daerah tempur, sehingga harus dikosongkan karena akan
digunakan sebagai daerah tempat dilaksanakannya pertempuran. Pada dewasa ini, ”daerah
depan” tersebut seharusnya lebih dimaknai sebagai daerah “etalase” untuk
menunjukkan berbagai kemajuan dan keberhasilan
pembangunan.
Dengan
melihat konsep-konsep tersebut tidak sulit untuk mengatakan bahwa pengertian
mengenai perbatasan sangat kompleks. Meski konsep-konsep tersebut cenderung
mengandung konotasi pemisahan, dalam realitasnya selalu ada kemungkinan tumpang
tindih. Di perbatasan Indonesia-Timor Leste, misalnya, ide-ide mengenai border
lines dan boundary pun menjadi tidak terpisahkan.
Hal ini terutama muncul
ketika persoalan ketidakjelasan tapal batas menyebabkan klaim tumpang tindih
antar dua masyarakat yang tinggal di sekitar perbatasan, baik mengenai wilayah
maupun dalam pengelolaan sumber daya alam di sekitar wilayah tersebut. Padahal dipahami
secara umum bahwa persoalan wilayah dan tapal batas merupakan salah satu isu
menarik, yang bahkan sering menimbulkan konflik dan peperangan antar Negara.
Selain menyangkut kedaulatan, kejelasan wilayah dan tapal batas juga
berhubungan erat dengan harga diri dan martabat suatu bangsa yang berdaulat.
Situasi ini juga di jumpai di perbatasan RI-RDTL.
Dari uraian
diatas menunjukan bahwa perbatasan, termasuk perbatasan darat RI-RDTL memiliki
arti yang sangat strategis, perbatasan sebagai beranda terdepan yang secara
geografis berbatasan langsung dengan Negara lain memiliki fungsi-fungsi yang
melekat sangat kuat, yaitu pertahanan-keamanan, kesejahteraan dan lingkungan.
Fungsi
pertahanan-keamanan sangat terkait dengan pemahaman perbatasan secara geostrategis
yang diyakini sebagai penjelmaan dari kedaulatan politik suatu Negara. Makna
yang terkait di dalamnya sangat luas, tidak hanya memberikan kepastian hukum
atas yuridiksi wilayah teritorial Indonesia, tetapi juga berkaitan dengan
aspek-aspek lain seperti kewenangan administrasi pemerintahan nasional dan
lokal, kebebasan navigasi, lalu lintas perdagangan, eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam.
Sebagai wilayah batas antar Negara, perbatasan juga merupakan
sabuk keamanan (security belt) yang berada pada lingkaran prioritas pertama
dalam strategi pertahanan keamanan Indonesia terhadap segala bentuk potensi
ancaman dari luar. Wilayah perbatasan sangat rentan terhadap pengaruh dari
luar, baik dalam bentuk idiologi, politik, sosial budaya dan pertahanan-keamanan.
Perbatasan
RI-RDTL juga memiliki fungsi kesejahteraan. Sebagai pintu gerbang Negara,
wilayah perbatasan tentu memiliki keuntungan lokasi geografis yang sangat
strategis untuk berhubungan dengan Negara tetangga. Dalam konteks ini, wilayah
perbatasan dipandang dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi
perdagangan Indonesia dengan Timor Leste.
Sehingga
perbatasan diilihat sebagai daerah kerja sama antar Indonesia dan Timor leste
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di daerah
perbatasan kedua Negara. Fungsi ini sangat penting mengingat realitas kondisi
sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan darat dengan Timor leste masih
terbelakang, dengan kondisi wilayah yang umumnya terpencil, tingkat pendidikan dan
kesehatan rendah dan banyak dijumpai penduduk miskin.
Apabila
fungsi kesejahteraan dapat diwujudkan akan berdampak positif terhadap berbagai
aspek kehidupan masyarakat perbatasan. Terciptanya kesejahteraan masyarakat
akan berdampak langsung terhadap daya tangkal terhadap berbagai kegiatan
illegal maupun provokasi pihak lawan yang dapat membahayakan kedaulatan Negara.
Dengan kata lain, terlaksananya fungsi kesejahteraan yang mantap di wilayah
perbatasan dapat secara efektif membantu menciptakan suatu kekuatan
ipoleksosbud dan pertahanan keamanan.
Fungsi ketiga
adalah fungsi lingkungan dimana fungsi ini terkait dengan karakteristik
di wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang Negara yang mempunyai keterkaitan
yang saling mempengaruhi dengan kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan
baik dalam lingkup nasional maupun regional.
Sumber
Ancaman
Perbatasan
RI-RDTL sebagaimana diuraikan diatas memiliki peran yang sangat strategis
dimana sebagai pintu gerbang negara, segala kegiatan di wilayah perbatasan dapat
mempengaruhi kedaulatan dan yuridiksi negara baik di darat maupun laut, serta
mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan keamanan Indonesia.
Atas dasar
pemahaman ini Perbatasan RI-RDTL perlu mendapat perhatian dan dicermati
perkembangannya terlebih mengingat hingga saat ini di wilayah perbatasan
khususnya perbatasan darat RI-RDTL masih ada persoalan yang berdimensi multi
aspek.
Salah satu aspek yang penting yang perlu diamati lebih lanjut
dalam kerangka hubungan bilateral kedua Negara adalah masalah keamanan di
wilayah perbatasan kedua Negara. Persoalan-persoalan keamanan di wilayah
perbatasan berkaitan dengan dua hal utama yang menyangkut persoalan keamanan
konvensional dan non-konvensional.
Pada bagian
ini hanya akan dibahas persoalan keamanan konvensional yang lebih berfokus pada
isu-isu yang merupakan ancaman terhadap wilayah, kedaulatan, ideologi dan
identitas Negara terutama yang bersumber dari faktor-faktor eksternal.
Secara garis
besar ancaman keamanan konvensional di perbatasan Indonesia Timor Leste dapat
disebabkan hal-hal sebagai berikut ;
Pertama,
Demarkasi dan segmen bermasalah.
Kedua,
konflik internal dan situasi politik di Timor Leste.
Ketiga,
keberadaan eks-pengungsi/eks-milisi Timor Timur.
Keempat,
kehadiran Australia dan pasukan asing di wilayah Timor Leste.
Demarkasi dan
segmen bermasalah.
Kejelasan
mengenai garis batas wilayah darat dan laut merupakan suatu keniscayaan penting
bagi kedua negara.
Pertama,
untuk memberikan kepastian hukum atas yuridiksi wilayah teritorial suatu negara,
yang di dalamnya terkait kedaulatan wilayah negara. Makna yang terkandung
dalam konteks ini sangat luas tidak hanya menyangkut batas teritorial negara,
tetapi juga mengait aspek lainnya, seperti pertahanan keamanan, kebebasan
navigasi, lalu lintas perdagangan, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam
dan lain sebagainya.
Kedua,
kejelasan garis batas wilayah juga penting untuk menghindari potensi konflik
perebutan atas klaim suatu wilayah tertentu, baik yang melibatkan antara
Indonesia dan Timor Leste atau Indonesia-Timor Leste dengan negara ketiga,
seperti Australia.
Sampai saat
ini masih ada sekitar 4% dari keseluruhan garis batas darat yang masih
menyisakan permasalahan karena belum ada kesepakatan bersama antara Indonesia
dan Timor Leste terhadap beberapa segmen garis batas.
Ada dua hal pokok yang
menyebabkan permasalahan penetapan garis batas negara di darat antar RI-Timor
Leste masih berlarut-larut yaitu faktor teknis (perbedaan interpretasi atau
penafsiran atas aturan yang menjadi rujukan penentuan garis batas) dan non
teknis (adanya penolakan masyarakat lokal atas garis batas darat sebagaimana
yang telah ditentukan dan perebutan sumber daya alam oleh masyarakat lokal di
sekitar wilayah perbatasan yang disebabkan oleh klaim mereka atas beberapa
wilayah perbatasan dengan alasan faktor sejarah, ekonomi dan sosial budaya).
Segmen
bermasalah tersebut dikelompokkan menjadi
dua, yaitu :
Pertama,
Un-Resolved Segment yang meliputi wilayah Kab Belu di daerah
Memo/Delomil, Kab.
TTU di daerah Bijael Sunan-Oben Manusasi, Kab Kupang di
wilayah Noel
Besi/Citrana.
Kedua,
Un-Surveyed Segment meliputi wilayah Subina, Pistana, Tububanat,
Haumeniana.
Belum jelas
dan tegasnya batas darat antara Indonesia dan Timor Leste di beberapa segmen
tersebut diatas, pernah menimbulkan sejumlah persoalan pelik dalam hubungan
bilateral kedua negara. Ketidakjelasan demarkasi merupakan salah satu faktor
potensial yang memicu konflik antar warga kedua negara yang tinggal di wilayah
perbatasan. Gangguan keamanan pernah terjadi di beberapa bagian wilayah secara
sporadis dan berulang.
Hal ini
mengindikasikan bahwa ketidakjelasan batas darat Indonesia dan Timor Leste,
sewaktu-waktu dapat meletupkan perselisihan, pertikaian dan konflik baik antar
masyarakat atau antara masyarakat dengan aparat keamanan.
Insiden yang
pernah terjadi antara lain adalah insiden 6 Januari 2006 yang terjadi di tepian
sungai Malibaka. Insiden ini terjadi ketika pasukan UPF (Unido Patruofomento
Fronteira) menembak mati tiga WNI eks pengungsi yang tinggal di dusun Sikutren
Desa Rote, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu.
Menurut pihak
Timor Leste, mereka ditembak karena melintas perbatasan secara ilegal dan
mereka adalah eks milisi yang telah sering melakukan infiltrasi ke wilayah
Timor Leste. Namun, pihak RI menyatakan bahwa mereka tidak sedang melakukan
aktivitas politik dengan penyusupan tetapi sedang melakukan aktivitas mencari
ikan di sungai Malibaka. Pemerintah juga menyatakan kemarahannya karena
penembakan tersebut tersebut terjadi tanpa peringatan dan ternyata mereka masih
berada dalam batas wilayah Indonesia.
Insiden
berdarah lainnya adalah konflik pertanahan di daerah Passabe- Miomaffe sebagai
akibat ketidak jelasan garis batas darat yang terjadi pada September-Oktober
2005. Selama periode ini terjadi sembilan kali insiden, di mana ratusan
penduduk desa yang tinggal saling bersebelahan di kawasan perbatasan Timor
Barat dan Distrik Oecusse saling melakukan pembakaran ladang dan gubuk-gubuk
serta menyerang satu sama lainnya dengan lemparan batu. Kerusuhan ini bersumber
pada permasalahan berupa ketidaksepakatan antara masyarakat lokal tentang
penggunaan lahan di sekitar perbatasan seluas sekitar tiga kilometer persegi
yang terletak di desa Manusasi, Kab TTU yang berbatasan dengan Distrik Oecusse.
Masyarakat Oecusse mendasarkan klaim mereka pada pilar yang dibuat pada tahun
1904 antara Belanda dan Portugis dan aktivitas perladangan yang sudah lama
mereka lakukan di wilayah tersebut. Sementara penduduk Timor Barat berpendapat
bahwa pilar batas yang dibuat tahun 1904 diatas tidak bisa dijadikan rujukan
karena telah terjadi tukar guling pemilikan secara adat tahun 1966. Sehingga
mereka berpendapat bahwa tumpang tindih klaim tersebut tidak bisa memperoleh
penyelesaian secara tuntas apabila mengesampingkan pertimbangan adat.
Pemerintah
kedua negara di waktu itu akhirnya mampu meredam konflik dan ketegangan. Pada
25 Oktober 2005 terjadi kesepakatan untuk menetapkan daerah sengketa sebagai
daerah steril dan pihak keamanan Indonesia dan Timor Leste bersepakat untuk
melakukan patroli bersama dan tidak menembakkan senjata di kawasan steril
tersebut.
Beberapa kasus di tahun 2009-2010 di wilayah sengketa baik di
Un-Resolved Segment dan Un-Survey Segment sejauh ini masih dapat diselesaikan
antara aparat keamanan perbatasan kedua negara dengan melaksanakan koordinasi
secara intensif di lapangan.
Pihak Satgas Pamtas selain berkoordinasi dengan
UPF juga mengambil langkah dengan melaksanakan pemantauan daerah sengketa
dengan patroli bersama dan melaporkan setiap perkembangan situai daerah
sengketa ke Komando Atas. Hal ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya
ketegangan dan timbulnya konflik antara masyarakat kedua negara maupun
timbulnya hubungan yang kurang baik antara kedua negara.
Namun
demikian beberapa waktu terakhir ini mulai diketemukan kegiatan pihak Timor
Leste di daerah sengketa seperti pembangunan jalan baru yang dibuat oleh
masyarakat Pasabe-Oecusse (Timor Leste sepanjang lebih kurang 450 m di wilayah
sengketa Pistana (Un-Survey Segment), penemuan Pos UPF Kiubiselo di wilayah
sengketa Subina (Un-Survey Segment).
Selanjutnya ada indikasi pihak pemerintah
Timor Leste sengaja melakukan propaganda dengan mengeluarkan
statement/pernyataan bahwa Naktuka (Noel Besi) sudah menjadi milik Timor Leste,
ditemukannya pembangunan kantor pertanian, rencana pembangunan kantor Imigrasi
dan adanya kegiatan sensus oleh pemerintah Timor Leste pada tahun 2010 di
wilayah Naktuka serta ditemukannya mesin traktor bantuan pemerintah Timor
Leste merupakan indikasi Pihak RDTL melanggar kesepakatan bahwa daerah sengketa
adalah daerah steril.
Hal tersebut
diatas perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah karena sekecil apapun
permasalah di perbatasan menyangkut pelanggaran batas berpotensi menjadi pemicu
permasalahan dilapangan antara aparat keamanan yang bisa menjadi isu sensitif
yang dampaknya bisa mengancam stabilitas keamanan perbatasan.
Konflik
Internal dan Situasi Politik Timor Leste.
Pengalaman
dari krisis politik yang pernah terjadi di Timor Leste pada tahun 2006
sebagai akibat ketidakpuasan di tubuh aparat keamanan Timor Leste terhadap
anggapan perlakuan diskriminatif berimbas pula ke daerah perbatasan dimana
sebagian warga Timor Leste menyeberang ke wilayah Indonesia sehingga mengganggu
kedaulatan negara-bangsa, terutama bila wilayah Indonesia dijadikan basis
perlawanan bagi salah satu pihak yang berkonflik.
Dari
pengalaman kejadian tersebut perlunya terus diantisipasi situasi politik di
Timor Leste berkaitan dalam waktu dekat negara tersebut akan menyelenggarakan
pemilu Presiden agar apabila terjadi krisis politik di Timor Leste tidak
berimbas terhadap wilayah perbatasan terutama antisipasi agar wilayah Indonesia
tidak dijadikan basis perlawanan ataupun kegiatan politik lainnya sehingga
tidak mengganggu instabilitas kawasan terutama apabila kekuatan asing ikut
camput tangan.
Keberadaan
eks pengungsi dan eks milisi Timor Timur.
Persoalan eks
pengungsi dan milisi yang saat ini bermukim di wilayah Timor Barat merupakan
salah satu permasalahan yang dapat mengganggu stabilitas keamanan. Keterbatasan
ekonomi dan keterbatasan “perhatian” pemerintah terhadap eks pengungsi yang
saat ini kondisinya masih kurang terperhatikan berpotensi menimbulkan gangguan
keamanan di masa mendatang yang harus diantisipasi.
Kehadiran
Australia dan pasukan asing di Timor Leste.
Kehadiran
pasukan asing khususnya Australia berpotensi menciptakan persoalan tersendiri
bagi Indonesia. Peran sebagai Deputy Sherrif di Asia merupakan wujud ambisi
Australia ikut campur terhadap urusan negara lain.
Kehadiran
Australia berpeluang menciptakan sejumlah ancaman antara lain
(1)
Kemungkinan Australia menjadikan Timor Leste sebagai pusat kegiatan intelijen
untuk memata-matai negara-negara tetangganya yang berbatasan langsung;
(2)
kemungkinan infiltrasi melalui wilayah Timor Leste untuk memprovokasi
perlawanan terhadap pemerintah pusat di daerah-daerah sekitar perbatasan
RI-RDTL;
(3)
kemungkinan pihak-pihak tertentu di Australia mengekploitasi isu pengungsi,
pelintas batas, dan gejolak sosial di daerah perbatasan untuk menciptakan
gangguan keamanan;
(4)
kemungkinan provokasi aksi unjuk rasa di sekitar daerah perbatasan untuk
memancing pelanggaran Ham oleh aparat keamanan Indonesia yang dapat di Blow-Up
untuk mendeskreditkan Indonesia.
Informasi
yang didapat dari pihak keamanan Timor Leste bahwa pemerintah Timor Leste
saat ini merasa sudah tidak memerlukan kehadiran aparat keamanan/pasukan asing
yang bertugas di Timor Leste dan memang pada bulan Juli 2011 ini masa tugas
mereka berakhir. Namun ada indikasi upaya mereka untuk tetap melanjutkan
tugasnya di Timor Leste dengan alasan aparat keamanan Timor Leste belum siap
dan situasi keamanan yang belum kondusif sehingga mereka menganggap
kehadirannya di Timor Leste masih sangat diperlukan. Hal tersebut perlu
diwaspadai karena isu sekecil apapun tentang perbatasan akan di blow-up oleh
mereka untuk mendiskreditkan aparat keamanan Indonesia dan memunculkan isu
bahwa kondisi perbatasan tidak aman sebagai upaya mempertahankan kehadiran
mereka di Timor Leste.
Penutup
Terbentuknya
perbatasan RI-RDTL melewati proses yang panjang dimulai pada jaman kolonial
saat terjadi perebutan wilayah antara Portugis dan Belanda, masa menjadi bagian
NKRI selanjutnya Timor Leste lepas dari Indonesia dan menyatakan sebagai negara
merdeka pada tahun 2002 yang mana sampai saat ini masih menyisakan beberapa
persoalan. Perbatasan mempunyai arti dan fungsi strategis dalam segala aspek
kehidupan bernegara dan berbangsa antara negara yang berbatasan wilayahnya.
Perbatasan negara merupakan perwujudan kedaulatan suatu negara. Oleh karena
itu, perbatasan negara memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
keutuhan suatu wilayah. Dengan adanya batas negara ini, maka jelaslah
kewenangan suatu bangsa dalam mengelola seluruh urusan pemerintahan yaitu
meliputi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Atas dasar
pemahaman ini Perbatasan RI-RDTL perlu mendapat perhatian dan dicermati
perkembangannya termasuk kemungkinan ancaman yang mungkin bakal terjadi.
Referensi.
1.
Ganewati Wuryandari, Cahyo Pamungkas, Firman Noor, Bob Sugeng Hadiwinata
(Oktober 2009), Keamanan Perbatasan Indonesia-Timor Leste, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
2. Dephan RI
(2010), Sosialisasi Penegasan Batas RI-RDTL , Jakarta : Dephan.
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Selamat untuk Blog Rote Pintar, menyajikan informasi yang lengkap tentang sejarah dan dinamika politik tentang pulau Rote, NTT dan Konflik Pulau Pasir dengan Australia. Pak Jacob membuat kita semakin pintar, semoga makin sehat dan sukses selalu..
BalasHapusBrian Aprinto, Penulis Buku Pedoman Lengkap Profesional SDM Indonesia dan Buku Pedoman Lengkap Softskills: Kunci Sukses Dalam Bisnis, Karir dan Kehidupan Pribadi.