Mengukuhkan Kembali Peran Pertanian
Oleh :Drs.Simon
Arnold Julian Jacob
Analogi klasik bahwa bagi Indonesia, pertanian adalah persoalan hidup dan
mati, tampaknya mendapatkan yuridiksi pembenarannya ketika harga kedelai di
pasar global meningkat secara signifikan, sementara kebutuhan dalam negeri yang
sebagian dipasok dari impor tidak kuat lagi menanggungnya. Krisis kedelai yang
kemudian berimbas pada rontoknya basis kegiatan ekonomi masyarakat kelas bawah
yang selama ini menggunakannya untuk bahan baku hanyalah salah satu di antara
banyak komoditas pertanian primer yang
seharusnya dapat diupayakan mencapai swasembada (bahkan ekspor).
Namun, karena tidak terkelola dengan baik, semuanya menjadi berantakan.
Tidak terelakkannya kemerosotan produksi sebagian besar andalan sehingga
impor selalu menjadi pilihan terakhir, sebagian bersumber pada ketidak jelasan
arah politik dan pradigma pembangunan yang kita anut. Atas nama liberalisasi perdagangan
dan implementasi doktrin merkantilisme yang
mengagungkan kompetisi mekanisme pasar, para perumus kebijakan di negeri
ini sering kali terkecoh kepentingan sesaat.
Sterilisasi pasar domistik dari berbagai hambatan masuk (barier to entry) bagi barang dan jasa
luar negeri secara membabi buta tanpa persiapan memadai setidaknya dapat
dituding sebagai penyebab paling fundamental ketidakberdayaan pertanian
Indonesia saat ini. Kenyataan empiris menunjukkan, liberalisasi perdagangan
hanyalah jargon yang selalu didiktekan Negara-negara industri maju agar dapat
melempar produk yang mereka hasilkan pada pasar dalam negeri mengalami
kejenuhan.
Petani asing disubsidi
Rupanya kita tidak berdaya mengahadapi serbuan produk pertanian impor yang
memang jauh lebih murah dan kualitas lebih baik dari yang dapat kita hasilkan
selama ini. Kita tidak paham bahwa Negara-negara produsennya memberikan
berbagai macam subsidi, fasilitas, insentif, dan stimulus ekonomi untuk
melindungi para petani selaku penjaga gawang ketahanan pangam (food security)
meski jumlahnya tidak lebih dari 3 persen dari total penduduk.
Bagaimana
mungkin Negara-negara tertentu dapat mengekspor gula ke pasar global hanya
dengan harga 285-325 dollar AS per ton FOB (harga di Negara asal, belum
termasuk premium dan biaya pengapalan) sedangkan harga pokok produksinya
bervariasi dari 330-450 dollar AS per Ton? Tidak banyak Negara yang mampu
memproduksi gula lebih murah dari harga ekspor.
Sudah jelas
dengan struktur biaya usaha tani tebu yang semakin mahal, para petani kita
tidak akan kompeten menghadapi serbuan gula impor selama tidak ada kebijakan
khusus yang mampu memberikan perlindungan petani dan industri gula local yang
pada tahun 2007 baru dapat memperoduksi dengan unit cost rata-rata Rp.4.400 per
kg.
Bea masuk
hanya 10 persen pada saat harga kedelai sangat murah di masa lalu prakatis
memaksa kedelai lokal kehilangan daya saing. Ketika dihadapkan pada ketidakpastian harga, satu-satunya pilihan
bagi petani adalah menimbulkan resiko. Respons yang dapat dilakukan hanyalah
meninggalkan kedelai dan mengantinya
dengan komoditas agribisnis lain yang
lebih menjajikan keuntungan meskipun belum tentu dapat diraih. Kondisi demikian
didukung perangkat perundang-undangan yang memang memberikan garis kebebasan bagi
petani untuk memilih usaha tani apa saja. Memang pemerintah dapat saja membujuk
petani agar bersedia mengikuti program yang diwajibkan, misalnya untuk
kepentingan swasembada dalam upaya mereduksi ketergantungan terhadap impor dan
meningkatkan pamor bangsa di mata dunia, tetapi kita tidak melihat greget
program yang jelas itu.Apalagi kalau program yang melibatkan petani tadi
dilaksanakan, pemerintah wajib memberikan jaminan pendapatan minimum bagi
mereka.
Pembangunan
berkelanjutan
Ketiadaan
dana yang dapat dialokasikan untuk jaminan kepada petani membuat keperkasaan
Negara untuk mengatur petani kehilangan virulensinya. Menyiasati
dinamika pasar global komoditas pertanian yang mengerikan, tentu Indonesia
harus melakukan sesuatu yang terbaik
bagi petani dengan mengukuhkan kembali peran pertanian. Peran melekat itu
antara lain penyediaan bahan pangan layak dengan harga terjangkau secara
kontinu, wahana peningkatan kesyejahteraan petani, penyedia bahan baku bagi industri, penampung leburan tenaga
kerja yang tidak terserap sector lain, penghasil devisa, dan penjaga
kelestarian lingkungan hidup melalui penerapan konsep pembanguan berkelanjutan.
Tentu harus ada integrasi antara dunia pertanian dan sector-sektor ekonomi lainnya sehingga
tercipta link saling menguntungkan. Desain kebijakan pembangunan pertanian yang
mampu mencerahkan petani dan pelaku agribisnis secara umum tentu harus mendapat
perhatian serius kalau kita tidak ingin terus terpuruk.
Setidaknya
ada dua desain kebijakan yang dapat dimplementasikan
secara simultan..
Pertama,
Kebijakan
proteksi, yakni Seperangkat intrumen yang memungkinkan petani dan agroindustri dalam negeri
terlindungi dari serbuan produk impor dengan harga terdistorsi. Kita tidak
perlu antileberalisasi perdagangan dengan mengharamkan masuknya produk impor,
tetapi kita dapat membuat sejumlah ketentuan yang mampu membuat produk impor
tidak bisa masuk secara leluasa.
Dengan kata lain, kalau dapat dipersulit, mengapa dipermudah. Bentuk
konkritnya bisa berupa pembatasan impor secara ketat dengan hanya memberikan
lisensi kepada dunia usaha dengan syarat-syarat khusus dan pemberlakuan bea
masuk yang besarnya ditentukan secara
fleksibel mengacu harga dunia dan kurs mata uang local. Penjaminan berupa harga
dasar (floor price) akan sangat membantu
petani dalam menganalisis corak usaha
tani yang akan dipilih.
Kedua,
Kebijakan promosi,
Berbentuk insentif kepada petani dan agroindustri yang berkomomitmen kuat
meningkatkan produktivitas, efesien, kualitas produk, dan ekspansi usahanya. Insentif dapat berupa
tersedianya bibit unggul, pupuk murah, dukungan teknologi peningkatan
produktivitas, dan perlakukan khusus ketika terjadi bencana alam atau harga
tidak bersahabat.
Adanya insentif juga memungkinkan petani dapat berkonsentrasi pada peningkatan daya saing,
mengingat tantangan pertanian sendiri akan semakin kompleks sehubungan
terjadinya perubahan iklim yang telah menjadi fenomena global. Kedua
kebijakan dilaksanakan selama masa transisi. Ekspetasinya, ketika liberalisasi
perdagangan diterapkan secara menyeluruh, pertanian kita sudah dinyatakan
benar-benar siap.
Bagaimanapun
juga liberalisasi tidak mungkin ditolak sehingga selama kita punya waktu, tentu
harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepabilitasnya? Dengan konteks ini diperlukan sejumlah
perangkat kebijakan lain, seperti adanya
tata ruang kawasan budidaya yang dapat dilaksanakan secara taat asas. Tanpa tata ruang, jangan pernah berharap wajah
pertanian kita akan mengalami metamorfosis menjadi sebuah system agribisnis
yang memberdayakan semua pihak dengan produktivitas dan efisiensi tinggi. (Adig Suwandi, Praktisi Agribisnis, Alumnus
Universitas Brawijaya Malang, dan Cranfield University, Silsoe-Bedfordshire,
Inggris, Kompas, 22-1-2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.