Peraturan Pertanian WTO :
Ancaman Bagi Para Petani Dunia Ketiga
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Globalisasi ekonomi seperti yang
gencar dipromosikan oleh WTO (World Trade
Organization) adalah sebuah : Proyek peminggiran terencana. 
Proyek tersebut dijalankan dengan cara
menyedot dan mengalirkan berbagai sumber daya dan pengetahuan kaum miskin di
Dunia Selatan ke pasar global. Mereka juga mencerabut kaum miskin dari sistem,
mata pencaharian, dan cara hidup yang selama ini menopang kehidupan mereka. Berbagai
aturan perdagangan global, seperti yang termaktub dalam, Persetujuan tentang
Pertanian (AoA = Agreement on Agriculture)
WTO dan dalam perjanjian “Hak
Kekayaan Intelektual” yang terkait dengan Perdagangan (TRIPs = Trade Related
Intellectual Property Rights), pada dasarnya merupakan aturan perampokan. Ia
dikamuflase melalui aritmatika dan bahasa teknis yang seolah-olah  bersoleh hukum.  Dalam perampokan ekonomi itu,
korporasi-korporasi besar meraup banyak keuntungan, sementara rakyat kecil dan
alam menjadi tumbalnya.
Persetujuan
Tentang Pertanian (AoA) WTO
Selain masih menjadi sumber utama mata
pencaharian dari tiga perempat penduduk dunia, pertanian merupakan aktivitas
budaya maupun ekonomi. Persetujuan tentang Pertanian (AoA = Agreement on Agriculture)  adalah, sistem
yang mendasarkan diri pada aturan liberalisasi perdagangan di bidang
pertanian.  Sistem ini didesakkan oleh
Amerika Serikat beserta sejumlah korporasi agribisnis  multinasionalnya.  Mereka berupaya memaksakan suatu system
persaingan global yang tidak seimbang di sector pertanian domistik.  
Caranya yaitu, dengan melumpuhkan
kemampuan/ketahanan pertanian-pertanian rakyat. Upaya pemaksaan ini tak lain agar
petani tidak mampu bersaing dengan berbagai produk impor yang lebih murah.
Alhasil, berjuta-juta petani gurem tersingkir dari tanah mereka, dan untuk
beberapa saat kemudian terwujudlah “program penciptaan pengungsi terbesar di
dunia”. 
Dengan demikian, maksud dan tujuan
korporasi-korporasi global untuk menguasai pertanian semakin memperoleh
jaminan.
Ada tiga komponen dalam AoA yaitu, 
1.   
Dukungan
Dalam Negeri, 
2.   
Akses
Pasar, dan 
3.   
Persaingan
Ekspor. 
Aturan-aturan dalam 3 kompones
tersebut dirancang untuk mempertahankan agar berbagai subsidi korporasi
negara-negara utara tetap utuh dan, bila mungkin bahkan menjadi lebih besar,
sembari menarik kembali dukungan untuk para petani dan masyarakat pedesaan.
(1).
Dukungan Dalam Negeri
Dalam klausulnya tentang “Dukungan
Dalam Negeri” (Domestic Support), WTO
menuntut agar Negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang secara
signifikan mengurangi subsidi kepada para produsen. 
Terdapat “sesat-pikir” dalam klausul
tersebut.  Bahwa dengan mengurangi
subsidi kepada para produsen, petani-petani gurem dan Dunia Ketiga menjadi
lebih kompetitif dan mampu menciptakan harga-harga yang mencerminkan ongkos
produksi yang sesungguhnya. 
Namun, pasal-pasal tentang “Dukungan Dalam Negeri” hanya mengarah
pada sebagian kecil dari pengurangan subsidi di bidang pertanian. Sementara
itu, berbagai subsidi tambahan yang dinikmati oleh korporasi agribisnis
(Amerika Serikat) dan kepentingan perdagangan global, seperti misalnya
subsidi-subsidi bagi inventasi, pemasaran pupuk buatan berikut prasarananya
semuanya dibebaskan.  Selain itu, pembayaran langsung
untuk mendukung pendapatan petani juga ikut dibebaskan.
Ketentuan tersebut memungkinkan pemerintah Amerika Serikat, misalnya, pada
bulan Juni 2000, mengumumkan program peningkatan pembayaran
langsung sebesar 7,1 miliar dolar kepada para petaninya. 
Sebaliknya
penghasilan petani Dunia Ketiga sungguh sangat
 rentan.Penghasilan
mereka (negara-negara Dunia Ketiga) lebih banyak ditentukan oleh factor
produksi dan perdagangan, bukan oleh dukungan langsung pemerintah.  Berdasarkan 
fakta tersebut, kita bisa berpemahaman betapa para petani Dunia Ketiga
sesungguhnya telah dirugikan. Bagaimanapun juga, mereka sangat mudah
diombang-ambingkan  oleh berbagai  perubahan yang begitu cepat dalam pola perdagangan
global dan harga komodititas pertanian di tingkat internasional.
(2).
Akses Pasar
Seperti telah disebutkan di muka,
komponen lain dari AoA adalah “Akses (Market Pasart Access). ” 
Seluruh Negara yang telah
menandatangani kesepakatan tersebut harus mengubah berbagai pembatasan
kuantitatif dan kebijakan non-tarif untuk
impor pangan, menjadi tarif bea masuk biasa. Negara-negara sedang
berkembang harus mengurangi bea masuk dan berbagai pajak lainnya atas
barang-barang impor sebesar 24 persen. 
Pembatasan kuantitatif atas impor
komoditas pertanian juga harus dihapuskan.  Secara tradisional, pembatasan semacam itu
digunakan untuk melindungi para petani domestik terhadap berbagai impor pangan
yang  mendapat susidi tinggi.. Menurut FAO
(Food Agricukture Organization), rekening impor pangan;  Afrika diperkirakan melonjak; dari 8,4 miliar
dolar menjadi 14,9 miliar dolar pada 2000. 
Untuk Negara-negara Asia Timur (Far East) rekening impor diperkirakan
naik sebesar 4,1 miliar dolar, sementara untuk,  negara-negara Timur Tengah (Near East)
meningkat sebesar 27 miliar dolar. Dari data tersebut, tampak jelas betapa
dampak kesepakatan AoA terasa sungguh berat bagi para petani kecil dalam
negeri. Untuk dapat memenuhi syarat akses minimum yang diminta WTO, Filipina,
misalnya terpaksa harus mengimpor beras sebanyak 59.000 mitrik ton. Dampak
dari impor beras tersebut mengakibatkan 15.000 keluarga petani terlantar
di setiap tahunnya.
(3).
Persaingan Ekspor
Komponen lain
dari AoA adalah “Persaingan Ekspor” (Exsport
Competition). 
Inilah komponen yang dijadikan “alasan
pembenar yang resmi” (official
justification) bagi AoA untuk, melakukan penghapusan subsidi-subsidi ekspor. Penghapusan itu tentu saja akan
memudahkan Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk menjual surplus berbagai produk
pertanian mereka ke pasar dunia.  Kendati liberalisasi ekspor yang
didasarkan pada argument bahwa pasar-pasar pertanian negara-negara Utara akan
membuka diri bagi India dan Negara-negara Selatan lainnya, namun dalam
kenyataannya, ekspor India ke Eropa justru merosot; dari 13 menjadi 6 persen.
Salah satu alasannya ialah bahwa
subsidi yang tinggi (jumlah seluruhnya 14,5 miliar dolar) dan hambatan proteksi
masih tetap diberlakukan secara luas di Negara Utara. Bahkan, kendati subsidi ekspor diperbolehkan bagi
negara-negara berkembang (untuk  menutup
ongkos pemasaran ekspor pertanian, yang mencakup soal penanganan, pemrosesan,
angkutan barang dan transport internasional), namun itu sama sekali tidak berarti
bagi petani Dunia Ketiga. Pasalnya, kemungkinan mereka melakukan ekspor sangat
kecil—hanya perusahaan besarlah yang mampu mengekspor. 
Maka tidaklah mengherankan apabila
korporasi-korporasi transnasional, dibawah peraturan WTO tersebut, banyak
meraup keuntungan, baik dari subsidi Negara-negara Utara maupun dari subsidi
Negara-negara Selatan. Lebih jauh, sejak WTO berdiri, Amerika Serikat telah
mengembangkan program kredit ekspor dan, program promosi pemasaran. 
Bahkan
pinjaman-pinjaman IMF kepada negara-negara Dunia Ketiga telah diselewengkan.  Ini tak lain guna mensubsidi ekspor agribisnis
Amerika Serikat. Sebagaimana telah dinyatakan mantan Menteri Pertanian AS, Dan
Glickman : “Alasan utama mengapa kita tidak kehilangan lebih banyak ekspor ke
Asia ialah karena, (Departemen Pertanian Amerika Serikat) mengucurkan dana
tambahan sebesar 21 miliar dolar AS. 
Dana tambahan
tersebut digunakan untuk memperbesar jaminan-jaminan kredit ekspor. Tanpa
adanya bantuan tambahan IMF sebesar 2 miliar dolar AS, maka ekspor-ekspor
pertanian akan mengalami kerugian besar dalam jangka panjang, jumlah kerugian
tersebut akan jauh semakin besar.” Berdasarkan UU Pertanian (Farm Bill) Amerika Serikat tahun 1996,
dana alokasi untuk promosi ekspor adalah sebesar 5,5 miliar dolar AS. Jumlah
dana tambahan sebesar 1 miliar dolarAS diberikan guna meningkatkan jumlah
penjualan ke pasar-pasar yang baru muncul”. Dalam hal ini menjadi jelas
bahwa berbagai peraturan WTO tersebut, justru mempertahankan atau bahkan
semakin memperbesar subsidi untuk
korporasi di negara-negara Utara,
dan sebaliknya, menarik kembali dukungannya pada petani dan masyarakat pedesaan
di Negara-negara Selatan.
Perlu
Paradigma Baru
Perlindungan terhadap penghidupan para
petani, ketahanan pangan, dan pertanian berkelanjutan membutuhkan
perombakan besar-besaran dalam AoA. 
Bagaimanapun juga, harus dilakukan
pembekuan seluruh liberalisasi perdagangan yang 
lebih jauh  atas produk-produk
pertanian dan pelaksanaan dari berbagai perannya saat ini. 
Demikian pula, mengenai klausul
pengecualian harus diajukan kepada WTO, yang mana klausul  tersebut mengizinkan negara-negara untuk
menjaga agar pertanian tetap berada di luar kendali liberalisasi perdagangan.
Segala bentuk subsidi ekspor juga harus dihapuskan, termasuk di antaranya
berbagai “subsidi yang  tersamar” : jaminan dan kredit untuk
ekspor, investasi dan transpotasi dalam sebuah persengkokolan. Subsidi-subsidi
semacam itu tentu saja menciptakan persoalan “dumping”, yang pasti ia akan menghancurkan pasar-pasar local maupun
mata pencaharian penduduk local. 
Lebih jauh, pemberlakukan atas
dukungan dalam negeri dan pembatasan kuantitatif pun seharusnya masih tetap
diizinkan. Bagaimanapun perlindungan atas pertanian dalam negeri harus diakui
sebagai keharusan mutlak baik ketahanan pangan. Perdagangan tidak bisa, bahkan
tidak boleh, dijadikan sebagai tujuan utama dari penguasaan atas system-system
pangan. Sistem semacam ini nyata-nyata telah menempatkan kepentingan
perdagangan dan berbagai  korporasi
global yang menganggap pangan sebagai sumber keuntungan di atas sistem yang
berbasis pada kehidupan dan penghidupan. 
Lantaran keuntungan korporasi bisa
meningkat hanya dengan cara, menghancurkan mata pencaharian dan kemandirian
masyarakat local, dalam system produksi pangan dan benih, maka globalisasi
perdagangan dalam bidang pertanian mengimplikasikan upaya pemusnahan suatu
bangsa; Genocide.  Oleh karena itu,
pemberlakukan hambatan-hambatan tarif, guna mencegah genocide tersebut
merupakan keharusan moral yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. (Sumber : Vandana Shiva, yang dikutib I
Wibowo, Seri Kajian Global, Globalisasi 
Kemiskinan  & Ketimpangan,
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Jogjakarta, 2003,  :137-148)
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.