alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Jumat, 30 Januari 2015

PERATURAN PERTANIAN WTO : ANCAMAN BAGI PARA PETANI DUNIA KETIGA

Peraturan Pertanian WTO :
Ancaman Bagi Para Petani Dunia Ketiga
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Globalisasi ekonomi seperti yang gencar dipromosikan oleh WTO (World Trade Organization) adalah sebuah : Proyek peminggiran terencana.
Proyek tersebut dijalankan dengan cara menyedot dan mengalirkan berbagai sumber daya dan pengetahuan kaum miskin di Dunia Selatan ke pasar global. Mereka juga mencerabut kaum miskin dari sistem, mata pencaharian, dan cara hidup yang selama ini menopang kehidupan mereka. Berbagai aturan perdagangan global, seperti yang termaktub dalam, Persetujuan tentang Pertanian (AoA = Agreement on Agriculture) WTO dan dalam perjanjian “Hak Kekayaan Intelektual” yang terkait dengan Perdagangan (TRIPs = Trade Related Intellectual Property Rights), pada dasarnya merupakan aturan perampokan. Ia dikamuflase melalui aritmatika dan bahasa teknis yang seolah-olah  bersoleh hukum.  Dalam perampokan ekonomi itu, korporasi-korporasi besar meraup banyak keuntungan, sementara rakyat kecil dan alam menjadi tumbalnya.

Persetujuan Tentang Pertanian (AoA) WTO

Selain masih menjadi sumber utama mata pencaharian dari tiga perempat penduduk dunia, pertanian merupakan aktivitas budaya maupun ekonomi. Persetujuan tentang Pertanian (AoA = Agreement on Agriculture)  adalah, sistem yang mendasarkan diri pada aturan liberalisasi perdagangan di bidang pertanian.  Sistem ini didesakkan oleh Amerika Serikat beserta sejumlah korporasi agribisnis  multinasionalnya.  Mereka berupaya memaksakan suatu system persaingan global yang tidak seimbang di sector pertanian domistik.  

Caranya yaitu, dengan melumpuhkan kemampuan/ketahanan pertanian-pertanian rakyat. Upaya pemaksaan ini tak lain agar petani tidak mampu bersaing dengan berbagai produk impor yang lebih murah. Alhasil, berjuta-juta petani gurem tersingkir dari tanah mereka, dan untuk beberapa saat kemudian terwujudlah “program penciptaan pengungsi terbesar di dunia”.

Dengan demikian, maksud dan tujuan korporasi-korporasi global untuk menguasai pertanian semakin memperoleh jaminan.
Ada tiga komponen dalam AoA yaitu,
1.    Dukungan Dalam Negeri,
2.    Akses Pasar, dan
3.    Persaingan Ekspor.
Aturan-aturan dalam 3 kompones tersebut dirancang untuk mempertahankan agar berbagai subsidi korporasi negara-negara utara tetap utuh dan, bila mungkin bahkan menjadi lebih besar, sembari menarik kembali dukungan untuk para petani dan masyarakat pedesaan.

(1). Dukungan Dalam Negeri

Dalam klausulnya tentang “Dukungan Dalam Negeri” (Domestic Support), WTO menuntut agar Negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang secara signifikan mengurangi subsidi kepada para produsen.
Terdapat “sesat-pikir” dalam klausul tersebut.  Bahwa dengan mengurangi subsidi kepada para produsen, petani-petani gurem dan Dunia Ketiga menjadi lebih kompetitif dan mampu menciptakan harga-harga yang mencerminkan ongkos produksi yang sesungguhnya.

Namun, pasal-pasal tentang “Dukungan Dalam Negeri” hanya mengarah pada sebagian kecil dari pengurangan subsidi di bidang pertanian. Sementara itu, berbagai subsidi tambahan yang dinikmati oleh korporasi agribisnis (Amerika Serikat) dan kepentingan perdagangan global, seperti misalnya subsidi-subsidi bagi inventasi, pemasaran pupuk buatan berikut prasarananya semuanya dibebaskan.  Selain itu, pembayaran langsung untuk mendukung pendapatan petani juga ikut dibebaskan. Ketentuan tersebut memungkinkan pemerintah Amerika Serikat, misalnya, pada bulan Juni 2000, mengumumkan program peningkatan pembayaran langsung sebesar 7,1 miliar dolar kepada para petaninya.

Sebaliknya penghasilan petani Dunia Ketiga sungguh sangat
 rentan.Penghasilan mereka (negara-negara Dunia Ketiga) lebih banyak ditentukan oleh factor produksi dan perdagangan, bukan oleh dukungan langsung pemerintah.  Berdasarkan  fakta tersebut, kita bisa berpemahaman betapa para petani Dunia Ketiga sesungguhnya telah dirugikan. Bagaimanapun juga, mereka sangat mudah diombang-ambingkan  oleh berbagai  perubahan yang begitu cepat dalam pola perdagangan global dan harga komodititas pertanian di tingkat internasional.

(2). Akses Pasar

Seperti telah disebutkan di muka, komponen lain dari AoA adalah “Akses (Market Pasart Access). ”
Seluruh Negara yang telah menandatangani kesepakatan tersebut harus mengubah berbagai pembatasan kuantitatif dan kebijakan non-tarif untuk impor pangan, menjadi tarif bea masuk biasa. Negara-negara sedang berkembang harus mengurangi bea masuk dan berbagai pajak lainnya atas barang-barang impor sebesar 24 persen.

Pembatasan kuantitatif atas impor komoditas pertanian juga harus dihapuskan.  Secara tradisional, pembatasan semacam itu digunakan untuk melindungi para petani domestik terhadap berbagai impor pangan yang  mendapat susidi tinggi.. Menurut FAO (Food Agricukture Organization), rekening impor pangan;  Afrika diperkirakan melonjak; dari 8,4 miliar dolar menjadi 14,9 miliar dolar pada 2000.

Untuk Negara-negara Asia Timur (Far East) rekening impor diperkirakan naik sebesar 4,1 miliar dolar, sementara untuk,  negara-negara Timur Tengah (Near East) meningkat sebesar 27 miliar dolar. Dari data tersebut, tampak jelas betapa dampak kesepakatan AoA terasa sungguh berat bagi para petani kecil dalam negeri. Untuk dapat memenuhi syarat akses minimum yang diminta WTO, Filipina, misalnya terpaksa harus mengimpor beras sebanyak 59.000 mitrik ton. Dampak dari impor beras tersebut mengakibatkan 15.000 keluarga petani terlantar di setiap tahunnya.

(3). Persaingan Ekspor

Komponen lain dari AoA adalah “Persaingan Ekspor” (Exsport
Competition).
Inilah komponen yang dijadikan “alasan pembenar yang resmi” (official justification) bagi AoA untuk, melakukan penghapusan subsidi-subsidi ekspor. Penghapusan itu tentu saja akan memudahkan Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk menjual surplus berbagai produk pertanian mereka ke pasar dunia.  Kendati liberalisasi ekspor yang didasarkan pada argument bahwa pasar-pasar pertanian negara-negara Utara akan membuka diri bagi India dan Negara-negara Selatan lainnya, namun dalam kenyataannya, ekspor India ke Eropa justru merosot; dari 13 menjadi 6 persen.

Salah satu alasannya ialah bahwa subsidi yang tinggi (jumlah seluruhnya 14,5 miliar dolar) dan hambatan proteksi masih tetap diberlakukan secara luas di Negara Utara. Bahkan, kendati subsidi ekspor diperbolehkan bagi negara-negara berkembang (untuk  menutup ongkos pemasaran ekspor pertanian, yang mencakup soal penanganan, pemrosesan, angkutan barang dan transport internasional), namun itu sama sekali tidak berarti bagi petani Dunia Ketiga. Pasalnya, kemungkinan mereka melakukan ekspor sangat kecil—hanya perusahaan besarlah yang mampu mengekspor.

Maka tidaklah mengherankan apabila korporasi-korporasi transnasional, dibawah peraturan WTO tersebut, banyak meraup keuntungan, baik dari subsidi Negara-negara Utara maupun dari subsidi Negara-negara Selatan. Lebih jauh, sejak WTO berdiri, Amerika Serikat telah mengembangkan program kredit ekspor dan, program promosi pemasaran.

Bahkan pinjaman-pinjaman IMF kepada negara-negara Dunia Ketiga telah diselewengkan.  Ini tak lain guna mensubsidi ekspor agribisnis Amerika Serikat. Sebagaimana telah dinyatakan mantan Menteri Pertanian AS, Dan Glickman : “Alasan utama mengapa kita tidak kehilangan lebih banyak ekspor ke Asia ialah karena, (Departemen Pertanian Amerika Serikat) mengucurkan dana tambahan sebesar 21 miliar dolar AS.

Dana tambahan tersebut digunakan untuk memperbesar jaminan-jaminan kredit ekspor. Tanpa adanya bantuan tambahan IMF sebesar 2 miliar dolar AS, maka ekspor-ekspor pertanian akan mengalami kerugian besar dalam jangka panjang, jumlah kerugian tersebut akan jauh semakin besar.” Berdasarkan UU Pertanian (Farm Bill) Amerika Serikat tahun 1996, dana alokasi untuk promosi ekspor adalah sebesar 5,5 miliar dolar AS. Jumlah dana tambahan sebesar 1 miliar dolarAS diberikan guna meningkatkan jumlah penjualan ke pasar-pasar yang baru muncul”. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa berbagai peraturan WTO tersebut, justru mempertahankan atau bahkan semakin memperbesar subsidi untuk korporasi di negara-negara Utara, dan sebaliknya, menarik kembali dukungannya pada petani dan masyarakat pedesaan di Negara-negara Selatan.

Perlu Paradigma Baru

Perlindungan terhadap penghidupan para petani, ketahanan pangan, dan pertanian berkelanjutan membutuhkan perombakan besar-besaran dalam AoA.
Bagaimanapun juga, harus dilakukan pembekuan seluruh liberalisasi perdagangan yang  lebih jauh  atas produk-produk pertanian dan pelaksanaan dari berbagai perannya saat ini.

Demikian pula, mengenai klausul pengecualian harus diajukan kepada WTO, yang mana klausul  tersebut mengizinkan negara-negara untuk menjaga agar pertanian tetap berada di luar kendali liberalisasi perdagangan. Segala bentuk subsidi ekspor juga harus dihapuskan, termasuk di antaranya berbagai “subsidi yang  tersamar” : jaminan dan kredit untuk ekspor, investasi dan transpotasi dalam sebuah persengkokolan. Subsidi-subsidi semacam itu tentu saja menciptakan persoalan “dumping”, yang pasti ia akan menghancurkan pasar-pasar local maupun mata pencaharian penduduk local.

Lebih jauh, pemberlakukan atas dukungan dalam negeri dan pembatasan kuantitatif pun seharusnya masih tetap diizinkan. Bagaimanapun perlindungan atas pertanian dalam negeri harus diakui sebagai keharusan mutlak baik ketahanan pangan. Perdagangan tidak bisa, bahkan tidak boleh, dijadikan sebagai tujuan utama dari penguasaan atas system-system pangan. Sistem semacam ini nyata-nyata telah menempatkan kepentingan perdagangan dan berbagai  korporasi global yang menganggap pangan sebagai sumber keuntungan di atas sistem yang berbasis pada kehidupan dan penghidupan.


Lantaran keuntungan korporasi bisa meningkat hanya dengan cara, menghancurkan mata pencaharian dan kemandirian masyarakat local, dalam system produksi pangan dan benih, maka globalisasi perdagangan dalam bidang pertanian mengimplikasikan upaya pemusnahan suatu bangsa; Genocide.  Oleh karena itu, pemberlakukan hambatan-hambatan tarif, guna mencegah genocide tersebut merupakan keharusan moral yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. (Sumber : Vandana Shiva, yang dikutib I Wibowo, Seri Kajian Global, Globalisasi  Kemiskinan  & Ketimpangan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Jogjakarta, 2003,  :137-148)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.