TRIPs (Trade Related  Intellectual Property Rights)
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Di samping AoA, WTO juga mengancam
kepentingan para petani Dunia Ketiga melalui perjanjian TRIPs. 
Perjanjian ini menentukan berbagai
aturan global yang diberlakukan mengenai soal, Paten, hak cipta, dan merek
dagang, yang kemudian meluas hingga mencakup sumber-sumber hayati. Maka tidak
aneh apabila saat ini berbagai gen, sel, benih, tanaman, dan binatang dapat
dipatenkan dan “dimiliki” sebagai kekayaan intelektual.   
Dalam kerangka itu, berbagai organisme
dan bentuk-bentuk kehidupan yang sesungguhnya bisa berkembang – biak sendiri,
kini didefinisikan kembali sebagai mesin dan artefak yang dibuat dan ditentukan
oleh pihak yang dibuat dan ditemukan oleh pihak pemegang hak paten. Misalnya, TRIPs memberikan hak monopoli kepada
pemegang paten untuk menjaga agar orang lain tidak membuat, menggunakan, atau
menjual benih.  
Bahkan saat ini, aktivitas penyimpanan
benih oleh petani sebagai bentuk tanggung jawab moral dalam tradisi suci
kehidupan, telah didefinisikan kembali secara sewenang-wenang menjadi tindakan
criminal perampokan “kekayaan.”Sebagai akibatnya, negara-negara sedang berkembang
dipaksa menata kembali pola-pola produksi dan konsumsi mereka untuk
memperbolehkan monopoli oleh segelintir pihak yang biasa disebut korporasi “Ilmu Kehidupan” (Life Sciences). 
Perjanjian TRIPs memberikan “bukti hidup” bahwa WTO sama sekali
tidak mengurangi proteksionisme, sebagaimana selalu digembar-gemborkan oleh
para pendukungnya. Itu berarti, ketimbang melakukan perlindungan terhadap orang
dan alam, WTO justru mengubahnya menjadi perlindungan terhadap
korporasi-korporasi besar belaka.
Tiga
Sesat – Pikir dalam Patenisasi Unsur-Unsur Hayati
1.
Penyimpangan etika.
Hal ini berkaitan dengan klaim bahwa benih,
tanaman, domba, lembu, atau galur sel manusia tidak lain hanyalah “hasil-hasil
pemikiran “ (products of the mind)
yang “diciptakan” oleh Monsanto, Novartis, Iaan Wilmut, ataupun berbagai
korporasi besar lain semacamnya. Pada hakikatnya, organisme memiliki kapasitas
intrinsic untuk penataan dirinya, mereka juga membentuk dirinya sendiri. Dengan
demikian, organisme tidak bisa direduksi menjadi status “barang temuan” dan
“barang ciptaan” dari si pemegang paten. Organisme tidak dapat “dimiliki”
sebagai harta atau kekayaan pribadi.”
2. Kriminalitas atas aktivitas penyimpangan dan pertukaran
benih
Pengakuan
terhadap berbagai korporasi besar sebagai pemilik benih melalui hak kekayaan
intelektual ( IPRRs = Intelectual
Property Rights) menjadikan para petani sebagai “pencuri,” tatkala mereka menyimpan atau bertukar benih dengan para
tetangganya.  Monsanto, misalnya, menyewa detektif-detektif untuk memburu dan menangkap
para petani yang barangkali terlibat dalam praktek “perampokan” semacam itu.
3.Mendorong
“Biopiracy”
Biopiracy adalah  “praktek perampokan keanekaragaman hayati dan
pengetahuan local” melalui sejumlah “paten” 
Tentu saja, paten-paten tersebut menciptakan
“klaim palsu” atas sesuatu yang baru dan barang temuan, kendati sesungguhnya
pengetahuan tersebut telah berkembang sejak dahulu kala. “Penggelapan
sumber-sumber hayati” yang langka sebagai bagian dari control monopoli oleh
korporasi-korporasi, merupakan  “perampokan”
sumber daya milik dua pertiga dari umat manusia yang paling miskin. 
Mereka inilah yang sangat bergantung
dan mengandalkan keanekaragaman hayati sebagai mata pencaharian dan
kebutuhan-kebutuhan pokok mereka. Tidak bisa dipungkiri, “paten-paten” itu
telah menciptakan monopoli pasar dan sama sekali melarang para penemu yang
sesungguhnya (oriniginal innovators).  Untuk
turut ambil bagian dalam pasar-pasar local, nasional, internasional, kendati
mereka memiliki hal sepenuhnya atas paten-paten tersebut. 
Alih-alih mencegah praktek perampokan
ekonomi yang terorganisir semaca itu, peraturan WTO justru melindungi  mereka yang berkuasa dan menghukum kaum
miskin sebagai tumbalnya. Dalam perselisihan antara India dengan Amerika
Serikat sebagai pemicunya, WTO malah memaksa India untuk mengubah UU Patennya
dan, memberikan hak pemasaran yang istimewa kepada korporasi-korporasi asing
yang didasarkan atas paten-paten  asing
semata. 
Lantaran banyak dari paten-paten itu
didasarkan atas “perampokan”  
keanekaragaman
hayati, maka itu berati WTO sesungguhnya mendorong praktek “perampokan”  itu melalui sejumlah paten. Dalam
perjalanannya kemudian, dampak dari kebijakan TRIPs terhadap keanekaragaman
hayati maupun hak-hak masyarakat di Negara-negara Selatan atas keanekaragaman
hayati mereka, akan sangat berat. Tidak ada orang yang akan mampu memproduksi
atau mereproduksi secara bebas berbagai produk pertanian , obat-obatan, dan
hewan.  Dengan demikian, penghidupan para
produsen kecil akan terkikis dan kaum miskin sama sekali terhalangi untuk bisa
menggunakan sumber-sumber daya dan pengetahuan mereka sendiri dalam rangka
memenuhi berbagai kebutuhan pokok, seperti kesehatan dan gizi. 
Tentu saja, royalty penggunaan berbagai produk itu mau tidak mau harus
dibayarkan kepada para pemegang hak paten.  Sementara itu, produksi yang tidak syah akan
dikenai hukuman, sehingga dapat dipastikan bahwa hutang pun semakin bertambah
besar. Di India, para petani, traditional
practitioner (tabib/dukun) dan pedagang akan kehilangan pasar mereka, baik
di tingkat local, nasional, maupun global. 
Sebagai contoh, baru-baru ini
pemerintah Amerika Serikat memberikan paten untuk khasiat anti-diabetes pada karela,
jamun, dan brinjal kepada dua orang India yang tidak bertemapt tinggal di India.  Dua orang itu yaitu Onkar S. Tomer dan Kripanath Borah, serta rekan mereka Peter Gloniski.  Padahal,
kegunaan dari zat-zat tanaman tersebut sebagai obat untuk diabetes sesungguhnya
telah menjadi pengetahuan dan praktek sehari-hari di India. 
Bahkan, kegunaan bahan-bahan tersebut
bagi pengobatan juga telah didokumentasikan dalam berbagai risalah yang
otoritatif seperti : Wealth on India, Compendium on Indian Medicinal Plants,
dan Treatise on India Medicianal Plands.Jika hanya ada satu atau dua kasus
klaim palsu atas barang temuan semacam itu yang didasarkan pada perampokan keanekaragaman hayati,
barangkali kasus-kasus itu  masih bisa
disebut sebagai suatu kesalahan. 
Akan tetapi, perampokan keanekaragaman
hayati nampaknya telah menjadi epidemic. Sejumlah tanaman seperti Neem, haldi,
lada, harar, bahera, amla, biji sesawi, basmati, jahe, jarak, jaramala,
amaltas, dan kerela dan jamun  yang baru,
kini telah dipatenkan. Persoalannya,
bukalah sekedar sebuah kekeliruan yang dibuat oleh juru tulis paten,
sebagaimana yang terjadi dalam kasus kunyit. 
Persoalannya tidak sesederhana itu,
melainkan jauh lebih rumit dan sistemik. 
Oleh karenanya, untuk mengatasi
persoalan itu, tentu saja diperlukan sistemik, dan bukan atas kasus per kasus
semata. Kerugian yang diderita oleh kaum miskin di Dunia Ketiga akibat
perampokan keanekaragaman hayati itu secara potensial sangat besar. 
Pasalnya, dua pertiga penduduk di
negara-negara Selatan sangat tergantung pada akses bebas kepada keanekaragaman
hayati, yang dibutuhkan demi mencukupinya penghidupan dan berbagai kebutuhan
mereka.70 persen benih India adalah benih para petani yang disimpan dan saling
dipertukarkan; sementara 70 persen pengobatan didasarkan pada obat-obat
tradisional dengan menggunakan beraneka macam tanaman local.
Langkah ke depan.
Dengan
mempertimbangkan seluruh persoalan di atas, maka implementasi TRIPs harus
segera dihentikan. 
Dalam hal ini,
negara-negara harus membuat undang-undang di dalam negeri yang melindungi
pengetahuan/krearifan local sebagai kekayaan milik seluruh rakyat dan sebagai,  warisan nasional. UU paten Amerika
Serikat---termasuk Pasal 102 yang anakronitas sifatnya itu memungkinakan
Amerika Serikat bisa secara leluasa merampok pengetahuan dari negara-negara
lain, mempatenkannya, dan kemudian melindungi secara mati-matian pengetahuan
curian tersebut sebagai, “Hak kekayaan
intelektual” 
Harus dirancang
kembali guna menghargai  warisan budaya
leluhur (prior art) negara-negara lainnya. Hal itu tentu saja sangat penting
untuk dilakukan terutama karena UU Paten Amerika Serikat telah diglobalisasikan
melalui perjanjian TRIPs WTO.  Kita harus menyingkirkan segala bentuk paten  atas pengetahuan local berikut hasil
rekayasanya  yang  tidak berarti sama sekali. Untuk itu, kita
harus menciptakan sistem-sistem  “sui generis”  untuk melindungi berbagai macam inovasi
kolektif-kumulatif. 
Paten-paten atas
pengetahuan local dan penggunaan berbagai tanaman merupakan sebuah “kavling”
(an enclosure) atas kekayaan intelektual dan hayati yang menjadi andalan dan
tempat bergantung bagi  kaum miskin.
Lantaran hak-hak kaum miskin berikut pemberian hak untuk menggunakan modal  kekayaan alam secara bebas---yang merupakan
satu satunya modal yang dapat mereka akses---telah terampas, maka kaum miskin
di Dunia Ketiga pun akan binasa.  
Seperti layaknya
beraneka ragam spesies yang sangat bergantung pada habitatnya, mereka (kaum
miskin) juga merupakan spesies yang terancam. Berbagai aturan dan
struktur WTO yang sentralistis dan tidak demoktratis yang melanggengkan aturan
perusahaan global yang mendasarkan diri pada monopoli dan monokultur  Harus “dirombak”  dan “diganti” 
dengan  “alam demoktasi” yang
berlaku di seluruh dunia yang didukung oleh desentralisasi dan keanekaragaman.  
Hak-hak
seluruh  spesies dan seluruh umat manusia
harus segera tercipta guna menghentikan hak-hak korporasi-korporasi untuk
mengeruk keuntungan yang tak terbatas melalui penghancuran yang tak terbatas
pula.  Bagaimanapun juga, aturan-aturan WTO
telah melanggar hak-hak asasi manusia (HAM) serta kelestarian ekologi. Lantaran
melanggar asas keadilan dan berkelanjutan, aturan-aturan tersebut tak lebih
hanyalah peraturan peperangan melawan rakyat dan planet
Bumi.  Oleh karena itu, demi terujudnya demokratisasi
dan HAM tersebut, perjuangan terpenting di zaman kita ini tak lain adalah merombak
aturan-aturan tersebut. Kelangsungan hidup, itulah
perkaranya. (I.Wibowo, 2003 : 143-148).
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.