alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Jumat, 30 Januari 2015

TRIPS (THE TRADE RELATED INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS)

TRIPs (Trade Related  Intellectual Property Rights)
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Di samping AoA, WTO juga mengancam kepentingan para petani Dunia Ketiga melalui perjanjian TRIPs.
Perjanjian ini menentukan berbagai aturan global yang diberlakukan mengenai soal, Paten, hak cipta, dan merek dagang, yang kemudian meluas hingga mencakup sumber-sumber hayati. Maka tidak aneh apabila saat ini berbagai gen, sel, benih, tanaman, dan binatang dapat dipatenkan dan “dimiliki” sebagai kekayaan intelektual.   
Dalam kerangka itu, berbagai organisme dan bentuk-bentuk kehidupan yang sesungguhnya bisa berkembang – biak sendiri, kini didefinisikan kembali sebagai mesin dan artefak yang dibuat dan ditentukan oleh pihak yang dibuat dan ditemukan oleh pihak pemegang hak paten. Misalnya, TRIPs memberikan hak monopoli kepada pemegang paten untuk menjaga agar orang lain tidak membuat, menggunakan, atau menjual benih.  

Bahkan saat ini, aktivitas penyimpanan benih oleh petani sebagai bentuk tanggung jawab moral dalam tradisi suci kehidupan, telah didefinisikan kembali secara sewenang-wenang menjadi tindakan criminal perampokan “kekayaan.”Sebagai akibatnya, negara-negara sedang berkembang dipaksa menata kembali pola-pola produksi dan konsumsi mereka untuk memperbolehkan monopoli oleh segelintir pihak yang biasa disebut korporasi “Ilmu Kehidupan” (Life Sciences).

Perjanjian TRIPs memberikan “bukti hidup” bahwa WTO sama sekali tidak mengurangi proteksionisme, sebagaimana selalu digembar-gemborkan oleh para pendukungnya. Itu berarti, ketimbang melakukan perlindungan terhadap orang dan alam, WTO justru mengubahnya menjadi perlindungan terhadap korporasi-korporasi besar belaka.

Tiga Sesat – Pikir dalam Patenisasi Unsur-Unsur Hayati
1. Penyimpangan etika.
Hal ini berkaitan dengan klaim bahwa benih, tanaman, domba, lembu, atau galur sel manusia tidak lain hanyalah “hasil-hasil pemikiran “ (products of the mind) yang “diciptakan” oleh Monsanto, Novartis, Iaan Wilmut, ataupun berbagai korporasi besar lain semacamnya. Pada hakikatnya, organisme memiliki kapasitas intrinsic untuk penataan dirinya, mereka juga membentuk dirinya sendiri. Dengan demikian, organisme tidak bisa direduksi menjadi status “barang temuan” dan “barang ciptaan” dari si pemegang paten. Organisme tidak dapat “dimiliki” sebagai harta atau kekayaan pribadi.”

2. Kriminalitas atas aktivitas penyimpangan dan pertukaran benih

Pengakuan terhadap berbagai korporasi besar sebagai pemilik benih melalui hak kekayaan intelektual ( IPRRs = Intelectual Property Rights) menjadikan para petani sebagai “pencuri,” tatkala mereka menyimpan atau bertukar benih dengan para tetangganya.  Monsanto, misalnya, menyewa detektif-detektif untuk memburu dan menangkap para petani yang barangkali terlibat dalam praktek “perampokan” semacam itu.

3.Mendorong “Biopiracy

Biopiracy adalah  “praktek perampokan keanekaragaman hayati dan pengetahuan local” melalui sejumlah “paten”
Tentu saja, paten-paten tersebut menciptakan “klaim palsu” atas sesuatu yang baru dan barang temuan, kendati sesungguhnya pengetahuan tersebut telah berkembang sejak dahulu kala. “Penggelapan sumber-sumber hayati” yang langka sebagai bagian dari control monopoli oleh korporasi-korporasi, merupakan  “perampokan” sumber daya milik dua pertiga dari umat manusia yang paling miskin.

Mereka inilah yang sangat bergantung dan mengandalkan keanekaragaman hayati sebagai mata pencaharian dan kebutuhan-kebutuhan pokok mereka. Tidak bisa dipungkiri, “paten-paten” itu telah menciptakan monopoli pasar dan sama sekali melarang para penemu yang sesungguhnya (oriniginal innovators).  Untuk turut ambil bagian dalam pasar-pasar local, nasional, internasional, kendati mereka memiliki hal sepenuhnya atas paten-paten tersebut.

Alih-alih mencegah praktek perampokan ekonomi yang terorganisir semaca itu, peraturan WTO justru melindungi  mereka yang berkuasa dan menghukum kaum miskin sebagai tumbalnya. Dalam perselisihan antara India dengan Amerika Serikat sebagai pemicunya, WTO malah memaksa India untuk mengubah UU Patennya dan, memberikan hak pemasaran yang istimewa kepada korporasi-korporasi asing yang didasarkan atas paten-paten  asing semata.

Lantaran banyak dari paten-paten itu didasarkan atas “perampokan”  
keanekaragaman hayati, maka itu berati WTO sesungguhnya mendorong praktek “perampokan”  itu melalui sejumlah paten. Dalam perjalanannya kemudian, dampak dari kebijakan TRIPs terhadap keanekaragaman hayati maupun hak-hak masyarakat di Negara-negara Selatan atas keanekaragaman hayati mereka, akan sangat berat. Tidak ada orang yang akan mampu memproduksi atau mereproduksi secara bebas berbagai produk pertanian , obat-obatan, dan hewan.  Dengan demikian, penghidupan para produsen kecil akan terkikis dan kaum miskin sama sekali terhalangi untuk bisa menggunakan sumber-sumber daya dan pengetahuan mereka sendiri dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan pokok, seperti kesehatan dan gizi.

Tentu saja, royalty penggunaan berbagai produk itu mau tidak mau harus dibayarkan kepada para pemegang hak paten.  Sementara itu, produksi yang tidak syah akan dikenai hukuman, sehingga dapat dipastikan bahwa hutang pun semakin bertambah besar. Di India, para petani, traditional practitioner (tabib/dukun) dan pedagang akan kehilangan pasar mereka, baik di tingkat local, nasional, maupun global.

Sebagai contoh, baru-baru ini pemerintah Amerika Serikat memberikan paten untuk khasiat anti-diabetes pada karela, jamun, dan brinjal kepada dua orang India yang tidak bertemapt tinggal di India.  Dua orang itu yaitu Onkar S. Tomer dan Kripanath Borah, serta rekan mereka Peter Gloniski.  Padahal, kegunaan dari zat-zat tanaman tersebut sebagai obat untuk diabetes sesungguhnya telah menjadi pengetahuan dan praktek sehari-hari di India.

Bahkan, kegunaan bahan-bahan tersebut bagi pengobatan juga telah didokumentasikan dalam berbagai risalah yang otoritatif seperti : Wealth on India, Compendium on Indian Medicinal Plants, dan Treatise on India Medicianal Plands.Jika hanya ada satu atau dua kasus klaim palsu atas barang temuan semacam itu yang didasarkan pada perampokan keanekaragaman hayati, barangkali kasus-kasus itu  masih bisa disebut sebagai suatu kesalahan.

Akan tetapi, perampokan keanekaragaman hayati nampaknya telah menjadi epidemic. Sejumlah tanaman seperti Neem, haldi, lada, harar, bahera, amla, biji sesawi, basmati, jahe, jarak, jaramala, amaltas, dan kerela dan jamun  yang baru, kini telah dipatenkan. Persoalannya, bukalah sekedar sebuah kekeliruan yang dibuat oleh juru tulis paten, sebagaimana yang terjadi dalam kasus kunyit.
Persoalannya tidak sesederhana itu, melainkan jauh lebih rumit dan sistemik.
Oleh karenanya, untuk mengatasi persoalan itu, tentu saja diperlukan sistemik, dan bukan atas kasus per kasus semata. Kerugian yang diderita oleh kaum miskin di Dunia Ketiga akibat perampokan keanekaragaman hayati itu secara potensial sangat besar.

Pasalnya, dua pertiga penduduk di negara-negara Selatan sangat tergantung pada akses bebas kepada keanekaragaman hayati, yang dibutuhkan demi mencukupinya penghidupan dan berbagai kebutuhan mereka.70 persen benih India adalah benih para petani yang disimpan dan saling dipertukarkan; sementara 70 persen pengobatan didasarkan pada obat-obat tradisional dengan menggunakan beraneka macam tanaman local.

Langkah ke depan.

Dengan mempertimbangkan seluruh persoalan di atas, maka implementasi TRIPs harus segera dihentikan.
Dalam hal ini, negara-negara harus membuat undang-undang di dalam negeri yang melindungi pengetahuan/krearifan local sebagai kekayaan milik seluruh rakyat dan sebagai,  warisan nasional. UU paten Amerika Serikat---termasuk Pasal 102 yang anakronitas sifatnya itu memungkinakan Amerika Serikat bisa secara leluasa merampok pengetahuan dari negara-negara lain, mempatenkannya, dan kemudian melindungi secara mati-matian pengetahuan curian tersebut sebagai, “Hak kekayaan intelektual

Harus dirancang kembali guna menghargai  warisan budaya leluhur (prior art) negara-negara lainnya. Hal itu tentu saja sangat penting untuk dilakukan terutama karena UU Paten Amerika Serikat telah diglobalisasikan melalui perjanjian TRIPs WTO.  Kita harus menyingkirkan segala bentuk paten  atas pengetahuan local berikut hasil rekayasanya  yang  tidak berarti sama sekali. Untuk itu, kita harus menciptakan sistem-sistem  “sui generis”  untuk melindungi berbagai macam inovasi kolektif-kumulatif.

Paten-paten atas pengetahuan local dan penggunaan berbagai tanaman merupakan sebuah “kavling” (an enclosure) atas kekayaan intelektual dan hayati yang menjadi andalan dan tempat bergantung bagi  kaum miskin. Lantaran hak-hak kaum miskin berikut pemberian hak untuk menggunakan modal  kekayaan alam secara bebas---yang merupakan satu satunya modal yang dapat mereka akses---telah terampas, maka kaum miskin di Dunia Ketiga pun akan binasa.  

Seperti layaknya beraneka ragam spesies yang sangat bergantung pada habitatnya, mereka (kaum miskin) juga merupakan spesies yang terancam. Berbagai aturan dan struktur WTO yang sentralistis dan tidak demoktratis yang melanggengkan aturan perusahaan global yang mendasarkan diri pada monopoli dan monokultur  Harus “dirombak”  dan “diganti”  dengan  “alam demoktasi” yang berlaku di seluruh dunia yang didukung oleh desentralisasi dan keanekaragaman. 

Hak-hak seluruh  spesies dan seluruh umat manusia harus segera tercipta guna menghentikan hak-hak korporasi-korporasi untuk mengeruk keuntungan yang tak terbatas melalui penghancuran yang tak terbatas pula.  Bagaimanapun juga, aturan-aturan WTO telah melanggar hak-hak asasi manusia (HAM) serta kelestarian ekologi. Lantaran melanggar asas keadilan dan berkelanjutan, aturan-aturan tersebut tak lebih hanyalah peraturan peperangan melawan rakyat dan planet Bumi.  Oleh karena itu, demi terujudnya demokratisasi dan HAM tersebut, perjuangan terpenting di zaman kita ini tak lain adalah merombak aturan-aturan tersebut. Kelangsungan hidup, itulah

perkaranya. (I.Wibowo, 2003 : 143-148).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.