Pertanian Berorientasi Ekspor
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Setelah membaca berbagai aturan dalam SAP
di atas pada akhirhya, kita bisa mempertimbangkan dan melihat dampaknya dalam
bidang pertanian.Barangkali,
dampak paling traumatis dari kebijakan-kebijakan globalisasi---baik dilihat
dari :
- Penciptaan kemiskinan maupun dari penghancuran
     perekonomian local yang sangat dipaksakan; 
- Perubahan
     dari model pertanian yang terdiversifikasi 
     dalam skala kecil menuju model ekspor industrial. 
- Dan
     perubahan itu digerakkan oleh korpersi-korporasi global.
Kita harus ingat bahwa saat ini hampir
separuh dari penduduk dunia sangat tergantung pada tanah. Mereka
menanam bahan makanan untuk keluarga dan masyarakat. 
Di sini, mereka
menekankan untuk menanam bahan makanan pokok dan beraneka ragam tanaman, selain
menanami kembali bermacam-macam binih varitas local yang telah dikembangkan
oleh kominitas  mereka selama
berabad-abad. Mereka juga telah menyempurnakan berbagai macam pupuk
buatan mereka sendiri, system tanam bergilir, dan pengolahan pastisida. Masyarakat
mereka pun memiliki andil dalam seluruh elemen barang milik umum di
komunitasnya, termasuk benih, air, dan tenaga kerja. 
Bagaimanapun
juga, kita tidak bisa memungkiri bahwa sistem-sistem seperti itu mampu membuat beratus-ratus juta orang bisa tetap hidup
selama beribu-ribu tahun.  Tak seorang
pun dapat mengatakan bahwa orang-orang itu menjadi “kaya”, namun kita juga tidak dapat mengatakan bahwa mereka semua
diliputi kemiskinan, paling tidak,
hingga IMF dan Bank Dunia serta lembaga-lembaga lainnya muncul, dan mulai
bertingkah serta mencampuri kehidupan mereka. 
Sistem-sistem kemandirian local
merupakan “barang haram” bagi
korporasi global dan birokrasi-birikrasi yang melayaninya.  Seperti ditunjukkan sebelumnya dalam sistem
perekonomian global, di mana, keuntungan-keuntungan korporasi-korporasi global
itu terutama berasal dari, besarnya peningkatan aktivitas pengelolaan dan
perdagangan global. 
Propaganda  & Kampanye
Oleh karena itu, kini kita bisa
melihat korporasi-korporasi besar, seperti, “Archer Daniels Midland”,
“Monsanto”, dan “Cargill” rela mengeluarkan berpuluh-puluh juta dollar demi
kepentingan public  relation dan kampanye
propaganda melalui iklan. Di sana mereka mengatakan, petani-petani kecil tidak
cukup produktif untuk, memberi makanan kepada dunia yang, dirundung kelaparan.
” Kampanye
tersebut turut diperkuat oleh, strategi perdagangan dan, investasi maupun
berbagai, peraturan WTO, IMF, Bank Dunia
dan, pemerintah Amerika Serikat. Mereka semua memberikan dukungan yang kuat
bagi, masuknya korporasi-korporasi global, dalam menggantikan sistem pertanian
local, yang memiliki diversifikasi tanaman yang cukup tinggi untuk, mencukupi
kebutuhannya sendiri, dengan  sistem pertanian
monokultur. 
Pada awal
perundingan Putaran Uruguai GATT l998, Menteri Pertanian Amerika Serikat ketika
itu, John Block, memberikan pernyataan secara terang-terangan; gagasan bahwa
negara-negara sedang berkembang harus memberi makan kepada diri mereka sendiri
adalah anakronisme dari zaman yang telah usang.  Mereka bisa meminjam ketahanan pangan mereka
secara lebih baik dengan,  mengandalkan
produk pertanian Amerika Serikat, yang tersedia dalam berbagai jenis dengan
harga yang “jauh lebih murah,” 
Sikap dan
kebijakan semacam itu berdampak langsung terhadap terciptanya
situasi-situasi genting yang sangat mencemaskan pada saat ini. 
Berpuluh-puluh
juta petani  gurem yang dahulu pernah
mengembangkan tanaman-tanaman pangan untuk mereka dan  komunitas mereka, tengah digantikan oleh atau
menjadi bergantung pada korporasi-korporasi raksasa berikut, pola-pola
pengembangan ekspor global yang dijalankan oleh ‘tuan-tuan pemilik tanah
guntai” (absentee landlord). 
Model agribisnis
seperti ini saja tidak menekankan   pengembangan tanaman pangan bagi konsumsi
penduduk local, melainkan lebih menekankan pada barang-barang ekspor mewah
dengan tingkat harga dan keuntungan yang sangat tinggi, seperti bunga, tanaman
dalam pot, daging sapi, udang, kapas, kopi, dan berbagai “sayuran eksotik.” Barang-barang
tersebut dikirim ke negara-negara yang sudah memiliki kelimpahan persediaan
bahan pangan. 
Adapun mengenai
orang-orang yang dahulu biasa hidup dari tanah mereka, yaitu dengan menanam
tanaman pangannya sendiri untuk kebutuhan masyarakat dan pasar local, kini
dengan cepat tersingkir dari tanah mereka. Selain itu, mereka juga telah
kehilangan pekerjaan, sejak sistem-sistem korporasi-korporasi tersebut,
mengutamakan mesin dan produksi berbasis pestisida, atau bahkan  bioteknologi, dan bukan berdasar pada padat
tenaga karja.  
Oleh karenanya rakyat yang semula
mampu mencukupi kebutuhan pangannya sendiri : 
---Kini
kehilangan tanah, 
---menganggur, 
---tidak
mempunyai uang, 
---tidak berumah,
---tergantung dan
tertimpa kelaparan. 
Masyarakat
swasembada dan mandiri kini lenyap sudah; 
kekayaan budaya yang murni local pun musnah. Semua itu nyata-nyata
terjadi, baik di AS maupun di Dunia Ketiga.Pada akhirnya, para petani dan
keluarga mereka membanjiri kota-kota dan tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh
yang padat berjejal; tanpa komunitas, tanpa topangan akar budaya, dan tanpa
pelayanan umum. Di sana, mereka harus berkompetisi secara mati-matian, berebut
peluang kerja yang sangat terbatas di pabrik-pabrik yang juga dijalankan oleh korperasi-korporasi global tersebut. 
Sungguh, Inilah situasi yang sangat absurd. 
Keswasembadaan
penghidupan, kemandirian dan ketangguhan bangsa-bangsa berubah menjadi
“ketergantungan”  dan “kelaparan”. 
Sementara itu, korporasi-korporasi global kian kaya raya tiada terpemanai. Mereka
mengirimkan sejumlah bahan pangan mewah hingga beribu-ribu mil jauhnya. Jelas
sudah, betapa korporasi-korporasi itu sungguh tidak peduli terhadap penderitaan
masyarakat yang ditimpa kelaparan. 
Mereka hanya peduli pada kepentingan perut
mereka sendiri. Kendati demikian, setiap system maupun yang berusaha
menghalangi kehendak petani untuk menanam bahan pangan bagi komunitas mereka
sendiri akan terancam gagal. Oleh karenanya akan jauh lebih baik (lebih murah,
dan juga jauh lebih ramah lingkungan) apabila WTO, Bank Dunia, IMF justru
melakukan “kebalikan dari apa yang mereka perbuat sekarang ini.” 
Jika mereka berkehendak membantu
kalangan masyarakat yang menderita kelaparan, maka bantuan harus diberikan
langsung kepada para petani gurem dan malah negara-negara yang berusaha untuk
mandiri; dan bukan malah  menerapkan
sistem yang utamanya memperkaya perusahan-perusahan yang sudah teramat kaya.  Jika perubahan strategis itu pun pada akhirnya
tidak cukup mampu dalam memecahkan persoalan “kemiskinan” namun
sekurang-kurangnya tidak akan menjadi penyebab kemiskinan itu sendiri.  (I.Wibowo,
2003 : 12-16).     
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.