Pertanian
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
A.
Pola Konsumsi Bahan Makanan
Berdasarkan data Susenas terlihat bahwa sebagian besar
penduduk Indonesia lebih banyak menggunakan pengeluarnya untuk makanan. Pada
tahun 2002, lebih dari 82% penduduk Indonesia menggunakan lebih dari 61%
pengeluarannya untuk makanan Untuk penduduk miskin, persentase pengeluaran
rumah tangga yang digunakan untuk makanan jauh lebih besar. Untuk kelompok
penduduk miskin, maka tidak kurang dari 69%-72% dari total pengeluaran
digunakan untuk makanan. Selain itu elastisitas
pengeluaran bahan makanan sebagian besar penduduk Indonesia masih positif (>
0).
Elastisitas pengeluaran makanan yang
positif mengakibatkan adanya kenaikan pendapatan/pengeluaran per kapita akan
meningkatkan pengeluaran atau permintaan untuk makanan lebih cepat daripada
pertumbuhan penduduk. Dengan demikian, semakin tinggi elastisitas pendapatan,
maka kenaikan konsumsi atau permintaan bahan makanan akan semakin lebih besar
daripada kenaikan penduduk.
Misalkan beras, elastisitas pengeluaran beras masih
posisif meskipun diperkirakan sudah mendekati nol. Dengan demikian jika
perekonomian tumbuh, maka permintaan beras akan lebih cepat daripada kenaikan
penduduk. Dengan kenyataan bahwa bagian terbesar dari penduduk
Indonesia menggunakan sebagian besar pengeluarannya untuk makanan maka
kebijakan harga makanan harus hati-hati. Harga makanan
yang mahal akan berdampak pada pola pengeluaran sebagian besar penduduk
Indonesia.
Jangan
membandingkan kebijakan harga makanan di Indonesia dengan kebijakan di
negara-negara yang pendapatan per kapitanya lebih tinggi daripada Indonesia,
sehingga pangsa pengeluaran rumah tangga untuk makanan lebih rendah. Kebijakan
harga bahan makanan yang relatif mahal di negara-negara yang memiliki
pendapatan per kapita yang relatif lebih tinggi dan penduduk miskin yang
relatif lebih rendah tidak akan berdampak besar terhadap anggaran sebagian
besar rumah tangga.
B. Pola Produksi Bahan Makanan
Sebagian
besar produksi padi berasal dari padi sawah, pada tahun 2002 persentase
produksi padi sawah mencapai 94,6%, sementara sisanya sebesar 5,4% berasal dari
produksi padi ladang. Perkembangan
produksi padi selama periode 1984 s/d 2003 cenderung mengalami perlambatan. Perlambatan produksi padi disebabkan peningkatan luas
panen yang melambat dan indikasi penurunan produktivitas per-ha. Produksi padi
selama 5 tahun terakhir (1999-2003) sebesar 3,59% atau kurang lebih 0,7% per
tahun yang lebih rendah daripada pertumbuhan penduduk Demikian juga halnya
dengan produksi kedelai dan tebu di dalam negeri, cenderung mengalami penurunan.
Kondisi lainnya, adalah masih besarnya ketergantungan produksi bahan makanan di
Indonesia dari pulau Jawa dan Bali. Hampir 57% produksi padi berasal dari Pulau
Jawa dan Bali, sementara kontribusi dari Pulau Sumatera dan Kawasan Timur
Indonesia masing-masing hanya sebesar 22,8% dan 20,2%. Demikian juga untuk kedelai, kontribusi produksi pulau
Jawa dan Bali tidak kurang dari 73%.
Dengan semakin langkanya lahan pertanian di pulau Jawa dan Bali secara
implisit menunjukkan bahwa biaya produksi padi/beras di Jawa dan Bali relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasaran dunia. Terlebih-lebih
untuk penggunaan lahan sawah di Jawa dan Bali terdapat trade off antara tanaman
padi dan tebu, maka tidaklah salah jika komoditi beras diberikan proteksi
terhadap persaingan dengan impor dengan cara menetapkan bea masuk yang tidak
terlalu tinggi (15-20%) agar tidak mendorong penyelundupan beras.
Selain itu dana yang berasal dari bea masuk dapat digunakan untuk
meningkatkan produktivitas padi per hektar di Jawa dan Bali. Dengan demikian
petani padi memperoleh insentif ganda; berupa harga jual (akibat proteksi bea
masuk) dan produktivitas per hektar (akibat subsidi) yang relatif tinggi.
Peluang untuk meningkatkan produktivitas padi per hektar masih terbuka melalui
perbaikan benih, cara bercocok tanam termasuk penyediaan sarana produksi pada
waktu yang tepat (dibutuhkan).
C. Pola Perdagangan Bahan Makanan
Dalam perdagangan komoditi bahan makanan dalam arti luas
(SITC 0, 1, 22 dan 4), sampai saat ini posisi Indonesia masih sebagai net
exporter. Surplusnya transaksi perdagangan bahan makanan tersebut terutama
karena, surplus pada komoditi minyak/lemak nabati; seperti minyak sawit (SITC
4), hasil perikanan (SITC 03), serta kopi, kakao, teh dan rempah-rempah (SITC
07) mampu mengkompensasi defisit yang terjadi pada padi-padian, kacang kedelai,
pakan ternak, gula dan hasil ternak.
Sebaliknya
posisi Indonesia sebagai net importer terjadi pada komoditi padi-padian dan
umbi-umbian (SITC 04), pakan ternak (SITC 08) dan biji-bijian mengandung minyak
berkulit lunak; seperti kacang kedelai (SITC 222) dan hasil ternak. Untuk
komoditi padi-padian dan umbi-umbian, nilai impor terbesar selama 5 tahun
terakhir terjadi pada gandum (SITC 041) dan tepung gandum (SITC 046). Bahkan
kenaikan impor tepung gandum tumbuh lebih cepat daripada gandum, sehingga ada
indikasi bahwa perusahaan pengolahan gandum di dalam negeri sudah mulai
kehilangan daya saingnya.
Selain gandum,
peningkatan impor yang cukup besar terjadi pada beras (SITC 042), namum
demikian kenaikan impor beras terutama pada volumenya dan bukan nilainya. Kondisi
ini memberi indikasi bahwa ada kecenderungan harga beras dunia mengalami
penurunan atau harga beli beras masa lalu terlalu mahal. Volume impor terbesar
terjadi juga pada gula pasir dan kacang kedelai, dimana volume impor rata-rata
kedua komoditi ini selama 5 tahun terakhir naik 2 kali lipat.
Demikian juga
untuk jagung (SITC 044), Indonesia masih sebagai net importer. Lebih besarnya nilai impor jagung dibandingkan dengan
ekspor terutama terutama impor jagung yang digunakan untuk memproduksi pakan
ternak. Untuk komoditi hasil ternak berupa binatang hidup (SITC 00), produk
olahan (SITC 01) dan susu, olahan susu dan telur (SITC 02), hampir semua produk
menunjukkan posisi net importer, meskipun ada indikasi bahwa net importer untuk
SITC 00 cenderung berkurang karena Indonesia mulai mengekspor unggas. Posisi
net importer terbesar terjadi pada susu, olahan susu dan telur (SITC 022). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa industri sapi perah
di dalam negeri belum mampu bersaing dengan luar negeri.
Meskipun untuk beberapa komoditi pertanian, posisi perdagangan Indonesia
masih defisit namun beberapa komoditi lainnya memiliki potensi untuk menjadi
net exporter. Beberapa komoditi di antaranya adalah ikan segar, dingin/beku
(SITC 034), ikan kering, digarami, diasapi (SITC 035), udang, kerang-kerangan
dan sejenisnya segar atau dingin (SITC 036) dan olahan ikan, udang dan kerang
(SITC 037).Kontribusi terbesar ekspor Indonesia terutama terjadi pada udang dan
kerang-kerangan segar/dingin, namun demikian setelah tahun 1998 volume ekspor
SITC 036 ini tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Komoditi potensian lainnya adalah kopi (SITC 071), kakao (SITC 072), hasil
olahan kakao (SITC 073), teh (SITC 074) dan rempah-rempah (SITC 075).Kenaikan
konsumsi pangan di dalam negeri yang dihadapkan pada produksi pangan yang terus
menurun mengakibatkan impor mengalami kenaikan. Adanya ketergantungan pangan di
dalam negeri dari impor sangat mengkhawatirkan. Sebagai contoh, volume konsumsi
beras dalam negeri saat ini besarnya sudah mencapai 1,5 sampai 2 kali volume
perdagangan beras dunia.
Untuk itu tidaklah salah jika khusus untuk beras harus diberikan proteksi
dari persaingan terhadap impor dengan menetapkan bea masuk yang tidak lebih
tinggi dari 20% (untuk mengurangi insentif bagi penyelundupan). Selanjutnya
dana yang diperoleh dari bea masuk sebaiknya digunakan untuk meningkatkan
produktivitas padi per hektar. Upaya tersebut dilakukan agar tingkat swasembada
beras di dalam negeri dapat mencapai tidak kurang dari 90%. Pembangunan
pertanian/pangan harus diprioritaskan pada beras, sementara untuk komoditi lain
selama memiliki keunggulan dapat dikembangkan.
NERACA PEMBAYARAN
Transaksi Berjalan
Transaksi
berjalan dalam Neraca Pembayaran sebelum krisis selalu mengalami defisit,
sementara sejak tahun 1998 mengalami surplus. Sebelum krisis, surplus transaksi
berjalan terjadi pada transaksi minyak bumi dan gas alam, sementara transaksi
non migas mengalami defisit. Sebaliknya sejak tahun 1998, transaksi non migas
mengalami surplus sementara transaksi minyak bumi sudah mengalami defisit. Surplus
yang terjadi pada transaksi non migas sejak 1998 disebabkan karena surplus pada
neraca perdagangan meningkat lebih cepat daripada kenaikan dalam transaksi
jasa-jasa. Namun demikian jika dianalisis lebih lanjut kenaikan surplus
pada neraca perdagangan disebabkan karena turunnya impor seiring melemahnya
perekonomian di dalam negeri.
Dengan
demikian jika perekonomian kembali pulih seperti sebelum krisis, diperkirakan
impor akan ikut terdongkrak naik sehingga kemungkinan surplus neraca
perdagangan akan menurun dan transaksi berjalan akan kembali mengalami defisit.
Jika transaksi
berjalan defisit, maka ada kemungkinan pinjaman luar negeri akan meningkat
lagi. Untuk mempertahankan kondisi transaksi berjalan sebagaimana saat ini
diperlukan kebijakan dan tindakan nyata baik dengan mengurangi defisit pada
transaksi jasa dan/atau mendorong ekspor agar menghasilkan surplus neraca
perdagangan.
A. Transaksi Jasa
Transaksi jasa dalam neraca pembayaran dibagi atas transaksi jasa migas dan
transaksi jasa non migas. Transaksi jasa migas adalah transaksi jasa-jasa yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan migas baik berupa minyak bumi maupun
barang-barang lainnya. Sementara transaksi jasa
non migas meliputi; jasa perjalanan (travel), pendapatan investasi (investment
income), kompensasi tenaga kerja (compensation of employee) dan jasa
pengangkutan (transportation). Defisit
yang terjadi pada transaksi berjalan merupakan persoalan umum yang terjadi di
negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Surplus transaksi jasa hanya
dinikmati oleh negara maju.
Negara sedang
berkembang mencatat surplus hanya pada jasa turisme (travel). Untuk menekan defisit transaksi jasa dapat dilakukan baik
dengan memperkecil defisit (menciptakan surplus) dari transaksi jasa bukan
faktor (berupa perjalanan, pengangkutan & asuransi) serta
memperkecil defisit transaksi jasa yang berhubungan dengan sumber daya manusia
(TKA vs TKI). Sementara defisit transaksi berjalan yang berasal dari pendapatan
investasi diperkirakan akan tetap besar seiring meningkatnya pinjaman luar
negeri dan investasi asing.
Transaksi
jasa perjalanan (turisme) Indonesia selalu mengalami surplus, namun ada
kecenderungan surplus transaksi ini mulai menurun. Oleh karena itu untuk
meningkatkan kembali penerimaan dari turisme, sudah saatnya potensi tujuan
wisata di Indonesia dikembangkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Selain itu faktor keamanan di dalam negeri juga harus
menjadi perhatian utama. Defisit yang terjadi pada transaksi jasa transportasi
terutama berkaitan dengan pengangkutan barang-barang impor. Untuk dapat
mengurangi defisit transaksi jasa transportasi ini perlu diteliti lebih dalam
faktor-faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya industri pelayaran samudra
nasional. Sudah diketahui bahwa jumlah TKI yang bekerja di luar negeri jauh
lebih banyak daripada TKA yang bekerja di Indonesia, namun demikian dari sisi
pendapatan yang ditransfer ke negaranya masing-masing, TKI masih jauh
tertinggal. Untuk mengurangi defisit transaksi jasa kompensasi tenaga kerja
dilakukan dengan meningkatkan kualifikasi TKI yang dikirim ke luar negeri
melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh Balai Latihan Kerja (BLK) dan
mengurangi ketergantungan pada TKA dan menggantikannya dengan tenaga kerja
lokal. Ketergantungan pada TKA bersifat dinamis dalam arti bidang yang
membutuhkan TKA berubah seiring perkembangan jaman dan bersifat sementara.
B. Neraca Perdagangan
Minyak
Bumi
Meningkatnya
kebutuhan BBM di dalam negeri mengakibatkan menurunnya ekspor dan melonjaknya
impor minyak bumi. Kondisi ini tidak terlepas dari relatif stagnannya produksi
minyak bumi di tanah air. Demikian juga karena produksi minyak bumi di tanah
air sebagian besar dilakukan oleh kontraktor asing, maka pengeluaran jasa-jasa
minyak bumi pun ikut meningkat. Selama periode sebelum krisis, transaksi minyak
bumi dan hasilnya selalu surplus. Namun selama periode setelah krisis transaksi
minyak bumi dan hasilnya menjadi defisit.
Perubahan
ini menunjukkan indikasi bahwa Indonesia akan menjadi net importing oil country. Untuk mengurangi kebutuhan BBM di dalam
negeri dibutuhkan upaya-upaya untuk mengurangi konsumsi BBM (konservasi) dan
memanfaatkan sumber energi alternatif (diversifikasi). Upaya konservasi dan
diversifikasi berkaitan dengan kebijakan harga BBM dan kemajuan teknologi.
Selama harga BBM ditetapkan terlalu murah maka konsumen tidak akan terdorong
untuk menggunakan peralatan yang hemat energi dan memanfaatkan sumber energi
alternatif (seperti batu bara atau panas bumi). Selain itu berkaitan dengan
devisa; upaya-upaya diversifikasi dapat dilakukan juga dengan memanfaatkan
sumber-sumber energi yang tidak diekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
C. Non Migas
Perdagangan
komoditi non migas dapat didasarkan pada SITC (Standard International Trade
Classification) ataupun pada ISIC (International Standard Industrial
Classification). Dari data transaksi perdagangan dunia, dapat disimpulkan bahwa
untuk negara-negara berpendapatan rendah impor barang-barang industri
manufaktur mengalami penurunan, sebaliknya untuk negara-negara berpendapatan
menengah, nilai impor produk industri manufaktur meningkat. Secara teoritis
dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita, keunggulan komparatif
bergeser dari kegiatan primer (pertanian & pertambangan) ke kegiatan
sekunder (industri manufaktur) dan tersier (jasa-jasa). Namun demikian meskipun
ekspor produk industri dapat meningkat, tetapi disertai juga dengan kenaikan
impor. Hal yang menarik untuk dicermati adalah untuk Amerika Serikat, dimana
mengalami defisit pada transaksi produk industri manufakturnya. Pada tahun 2001,
nilai ekspor negara ini mencapai US$ 599,3 milyar, sementara nilai impornya
sebesar US$ 908,7 milyar.
Kondisi
ini mengisyaratkan bahwa negara maju seperti AS pun belum tentu memiliki
keunggulan komparatif dalam industri manufakturnya. AS tampaknya lebih
menggenjot sektor pertaniannya melalui pemberian subsidi, sehingga transaksi
perdagangan sektor pertanian AS malah mengalami surplus. Secara umum
neraca perdagangan bahan makanan Indonesia (ISIC 31) masih mengalami surplus. Namun
demikian apabila diteliti lebih dalam terlihat untuk perdagangan tanaman bahan
pangan (beras, jagung, kacang kedelai, gandum), hasil peternakan (susu, daging)
dan gula selalu mengalami defisit.
Neraca
perdagangan bahan makanan mengalami surplus karena komoditi ekspor berupa ikan,
minyak nabati (CPO), kopi, kakao dan teh (lihat dalam sub topik Pertanian di
atas).Sebelum krisis ekspor kulit, tekstil, pakaian jadi, sepatu dan sandal
(ISIC 32) memegang peranan penting sebagai sumber devisa negara. Perkembangan
ini tidak terlepas dari industri padat karya buruh tidak trampil (unskilled labor intensive) yang menjadi
faktor keunggulan komparatif bagi negara-negara sedang berkembang seperti
Indonesia. Namun demikian sejak krisis ekspor ISIC 32 cenderung mengalami
penurunan.
Penurunan
kinerja ekspor ISIC 32 tersebut tidak terlepas dari masalah yang menyangkut
perburuhan; kenaikan upah (UMP) dan hubungan industrial yang kurang harmonis
serta maraknya penyelundupan pakaian bekas dari berbagai negara.Ekspor kayu dan
furnitur kayu (ISIC 33) inipun merupakan salah satu andalan sumber devisa bagi
Indonesia. Kondisi ini tidak terlepas juga dari keunggulan komparatif yang
dimiliki Indonesia di luar tenaga kerja yaitu berupa sumber daya alam (natural
resources intensive). Namun demikian sejak krisis, kinerja ekspor ISIC 33
cenderung mengalami penurunan.
Kondisi
ini tidak terlepas dari masalah kelangkaan bahan baku. Untuk itu perlu
dipikirkan untuk menggunakan bahan baku alternatif selain kayu yang berasal
dari hutan, misalkan kelapa dan karet yang sudah tua.Nilai ekspor pulp dan
kertas ISIC 34 mengalami kenaikan yang cukup pesat.
Namun
demikian kinerja ekspor ke depan dapat menghadapi berbagai kendala seperti
kredit macet (seperti yang dialami oleh Asia Pulp & Paper) dan pencemaran
lingkungan hidup.
Neraca
perdagangan bahan kimia, karet sintetis dan serat buatan (ISIC 351-352) selalu
mengalami defisit. Apalagi dihadapkan pada berbagai permasalah industri kimia
di dalam negeri seperti kasus PT. Chandra Asri dan PT. Texmaco semakin
memperberat upaya-upaya untuk mendorong ekspor komoditi ini. Namun demikian
potensi pengembangan masih ada, terutama jika melihat ketertarikan PMA pada
industri ini. Setelah krisis ekspor barang galian bukan logam dan bukan
migas seperti kaca, gelas dan semen (ISIC 36) mengalami peningkatan; kondisi
ini tidak terlepas dari adanya kelebihan pasokan semen di dalam negeri sehingga
didorong untuk diekspor. Namun demikian perlu disadari bahwa semen ini tidak dapat
dijadikan komoditi ekspor unggulan Indonesia karena volume ekspor besar tetapi
harga murah (bulky).
Semen
lebih banyak ditujukan untuk mengisi pasar domestik.
Komoditi
elektronika, mesin dan alat pengangkutan (ISIC 38) sejak krisis mengalami perkembangan
yang pesat sebagai sumber devisa negara. Selama periode 1998-2002, ekspor ISIC
38 sudah mampu mengungguli ekspor ISIC 32. Ke depan industri dalam kelompok
ISIC 38 terutama elektronika perlu dikembangkan lebih lanjut. Berbicara
mengenai industri ISIC 38 sebenarnya tidak bicara mengenai produk, melainkan
berbicara masalah proses produksi dan komponen. Di Asia, negara-negara yang
sudah benar-benar surplus dalam perdagangan ISIC 38 adalah Jepang, Korea dan
Taiwan. Negara lain meskipun ekspornya besar, namun disertai juga impor
(komponen) yang tinggi; sehingga lebih mengarah pada industri perakitan.
Saat
ini tidak ada negara di dunia yang menghasilkan produk ISIC 38 dengan
menggunakan semua komponen yang berasal dari dalam negeri. Sebagian besar
komponen yang digunakan berasal dari negara lain (outsourcing). Oleh karena itu Indonesia mempunyai kesempatan untuk
mengembangkan industri komponen tertentu sesuai dengan keunggulan komparatif
yang dimiliki. Pengembangan industri komponen di dalam negeri tidak terlepas
dari peranan Transnational Corporation (TNC) dalam membuka akses pasar baik di
negara asal (home country) TNC, pasar regional maupun pasar global serta mampu
menciptakan network di dunia.Kinerja ekspor mainan anak-anak, perhiasan dan
peralatan musik (ISIC 39) cukup baik dan bahkan lebih tinggi dari ISIC 36.
Namun demikian nampaknya industri ISIC 39 ini kurang mendapatkan perhatian
meskipun Indonesia memiliki potensi, sehingga tidak mampu berkembang.( Google--Internet).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.