MEDIA MASSA
TENTANG TOLERANSI BERAGAMA DAN
DIALOG ISLAM DENGAN DUNIA BARAT
http
://www.goglele.com/imagre
Gambar : Para Pemuka Agama di Indonesia. (Bersatu
Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh).
http
://www.goglele.com/imagre
Pengantar
Berikut ini kami
sajikan berbagai pendapat para tokoh-tokoh dunia tentang pentingnya toleransi beragama dan menciptakan kerukunan beragama dalam masyarakat yang pluralisme dewasa ini. Oleh
karena itu kami mengutip berbagai pendapat
para tokoh-tokoh tersebut yang bersumber dari berbagai media massa
untuk direnungkan bersama sebagai berikut :
Keragaman Dan Manfaatkan Perbedaan & Sinergi

Sean Covey
Foto : Internet
Kalau kita dengar keragaman, biasanya kita teringat akan perbedaan ras serta jenis kelamin. Tetapi sebenarnya lebih
dari itu, termasuk perbedaan dalam ciri-ciri fisik, pakaian, bahasa, kekayaan,
keluarga, kepercayaan agama,
gaya hidup, pendidikan, minat, ketrampilan, usia, gaya, dan seterusnya.
Dunia cepat
menjadi tempat bercampurnya kebudayaan, ras, agama, serta ide-ide yang berbeda-beda. Karena keragaman di sekeliling kita semakin meningkat, kita harus
mengambil keputusan, bagaimana kita akan menghadapinya.
Ada tiga pendekatan yang mungkin kita ambil :
Tingkat 1 :
Hindari keragaman.
Tingkat 2 :
Tolerir keragaman atau
Tingkat 3 :
Manfaatkan keragaman.
1. Profil Tukang Menghindar : Tukang
menghindar itu takut (terkadang
ketakutan setengah mati) akan perbedaan.
Mereka sangat terganggu kalau ada yang warna kulitnya beda, beribadah kepala
Allah yang beda, atau mengenakan jeans yang mereknya beda, karena mereka yakin
cara hidup merekalah yang “terbaik,” “benar,” atau “satu-satunya.” Mereka suka mengolok mereka-mereka yang beda, sambil merasa sedang
menyelamatkan dunia dari semacam wabah. Mereka takkan ragu-ragu
mengungkapkannya secara fisik kalau
perlu, dan sering kali
ikut-ikutan geng, klik, atau anti-kelompok karena ada kekuatan dalam jumlah besar.
2.
Profil Tukang
Mentolerir : Tukang mentolerir percaya bahwa semua orang
punya hak untuk beda. Mereka tidak menghindari keragaman, tertapi juga tidak
merangkulnya. Moto mereka adalah : “Urus dirimu sendiri dan aku akan mengurus
diriku sendiri. Jangan ganggu aku dan aku juga tak akan mengganggu kamu”.
Walaupun mereka bisa dekat, mereka takkan pernah mewujudkan sinergi karena mereka pandang perbedaan sebagai hambatan, bukan sebagai potensi kekuatan. Mereka tidak tahu apa yang mereka
lewatkan.
3. Profil Tukang Memanfaatkan : Tukang
memanfaatkan menghargai perbedaan.
Mereka memandang perbedaan-perbedaan sebagai keuntungan, bukan kelemahan.
Mereka menemukan bahwa dua orang yang cara berpikirnya beda, bisa mencapai
lebih banyak ketimbang dua orang yang
cara berpikirnya sama. Mereka sadar bahwa memanfaatkan perbedaan-perbedaan itu,
seperti menjadi pendukung Demokrat atau
Republik (AS), melainkan
sekedar menghargainya. Di mata mereka, Keragaman =
Percik Kreatif = Peluang.
Ingat-ingatlah
kelompok yang punya keyakinan agama yang berbeda dengan kita. Apakah kita
hargai keyakinan mereka atau anggap mereka sebagai orang aneh?
Hambatan
untuk Memanfaatkan
Perbedaan-Perbedaan
& Sinergi
Walaupun banyak, ada tiga hambatan utama dalam mewujudkan
sinergi, yakni ketidaktahuan, klik, dan prasangka.
1. Ketidaktahuan : Ketidaktahuan
artinya kita tidak tahu apa-apa. Kita tidak tahu apa yang diyakini orang lain,
bagaimana perasaan mereka, atau apa yang telah dialami.
2.
Prasangka : Pernakah kita
merasa dijelek-jelekkan, dicap, atau dihakimi oleh seseorang karena warna kulit
berbeda, logat kita terlalu kental, dan kita tinggal di tempat yang keliru?
Kita semua yang pernakah dan memuakkan rasanya kan? Walaupun kita diciptakan
sama, sayangnya, kita tidak diperlakukan sama. Adalah fakta menyedihkan bahwa
kaum minoritas dari segala jenis,
sering kali harus menghadapi hambatan tambahan dalam hidupnya karena prasangka begitu banyak orang. Rasisme adalah salah satu masalah dunia yang paling kuno.
3.
Klik : Ingin bergaul sama
orang-orang yang kamu sukai, tidak ada salahnya; kelompok teman-teman kamu
begitu ekskulusif sehingga mulai menolak siapapun yang tidak seperti mereka,
baru jadi masalah. Sulit menghargai perbedaan dalam klik yang tertutup. Mereka yang bukan anggota klik merasa seperti warga klas dua, dan mereka yang anggota klik sering kali sok. Tetapi memasuki suatu klik tidak sulit. Kamu tinggal menghapus
identitasmu sendiri, berbaur, dan menjadi bagian dari klik tersebut.
Sinergi : Adalah,
1.
Memafaatkan perbedaan;
2.
Kerjasama;
3.
Keterbukaan pikiran;
4. Menemukan
cara-cara baru yang lebih baik.
Dan Sinergi bukanlah :
1.
Mentolerir perbedaan;
2. Bekerja
masing-masing secara mandiri;
3.
Berpikir kamu selalu benar;
4. Kompromi dengan
yang sudah ada.
Sinergi ada dimana-mana di alam. Pohon sequoia (yang tingginya bisa mencapai 300 kaki atau lebih) tumbuh berumpun, dengan akar-akar yang saling
bertautan. Tanpa satu sama lain, pohon-pohon ini akan tumbang begitu dilanda badai.
Banyak tumbuhan
dan hewan hidup bersama dalam hubungan simbiosis.
Kalau kamu pernah
melihat foto seekor burung kecil makan di punggung seekor badak, kamu telah
melihat sinegi.
Masing-masing memetik manfaat ;
·
Burungnya dapat makan dari kutu-kutu yang ada, dan
·
punggung badaknya jadi bersih.
Sinegi bukanlah barang baru. Kalau kamu pernah bekerja dalam proyek kelompok,
pasti kamu pernah merasakannya. Kalau kamu pernah jadi anggota tim, kamu pernah
merasakannya.
Sebuah kelompok band yang baik adalah sinergi.
Bukan saja gitar,
drum, atau saxophone, atau vokalis, mereka semualah yang menghasilkan “warna
suaranya”.
Masing-masing anggota
band membawakan kekuatannya untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik ketimbang
kalau sendirian.
Tak ada instrumen
yang lebih penting dari yang lainnya, hanya berbeda saja.
Sendirian, begitu sedikit
yang bisa kita perbuat; bersama-sama, begitu banyak yang bisa
kita perbuat. (Helen Keller).
Pernakah kamu
melihat sekawan unggas terbang menuju ke selatan untuk menghadapi musin dingin,
membentuk huruf V atau seperti ujung
anak panah?
Para ilmuan telah menemukan sesuatu yang
menakjubkan dalam cara mereka terbang dengan formasi V itu;
1. Dengan terbang
dalam formasi huruf V, seluruh
kawanan itu bisa terbang 71 persen
lebih jauh ketimbang kalau masing-masing burung terbang sendirian. Ketika
seekor unggas mengepakkan sayapnya, terciptalah arus angin bagi unggas
berikutnya.
2. Kalau unggas yang
paling depan letih, ia akan pindah ke belakang dan membiarkan unggas lainnya
yang memimpin.
3. Unggas-unggas yang
di belakang bersuara untuk memberikan semangat kepada yang di depan.
4. Setiap kali seekor
unggas ke luar dari formasinya, ia langsung merasakan penolakan terbang
sendirian dan segera kembali ke formasinya.
5.
Akhirnya, kalau salah satu unggas ini sakit atau
terluka atau kepayahan dan ke luar dari formasinya, unggas lainnya akan
mengikutinya turun untuk melindungi serta menolongnya. Mereka akan menunggui
unggas yang sakit/kelelahan hingga sembuh/kuat kembali ataupun mati, lalu bergabung dengan formasi baru atau
menciptakan formasi sendiri untuk menyusul kelompok yang terdahulu. Benar-benar cerdas
unggas-unggas itu.
Dengan membagi arus
udara yang tercipta karena kepakan sayapnya, bergantian memimpin, memberikan
dorongan kepada yang di depan, tetap dalam formasinya, dan menjaga yang terluka, mereka mencapai jauh lebih
banyak ketimbang kalau terbang sendirian. Demikian
alam mengajarkan kita tentang kebersamaan.
Intinya Sinegi tercapai kalau dua orang atau
lebih bekerjasama untuk menciptakan solusi yang lebih baik
ketimbang kalau sendirian. Bukannya jalanmu atau jalan saya, melainkan
jalan yang lebih baik,”jalan yang lebih tinggi”.
Belajar mewujudkan sinergi adalah seperti belajar
membentuk formasi V dengan orang
lain ketimbang berusaha menempuh perjalanan hidup sendiri. Kamu akan takjub
betapa lebih cepat dan lebih jauh kamu bisa terbang!
Menemukan
Jalan Yang Tinggi
Setelah kamu yakin
bahwa perbedaan itu kekuatan dan bukan kelemahan, dan setelah kamu berkomitmen untuk setidaknya
mencoba memanfaatkan perbedaan, kamu
siap menemukan “Jalan yang Tinggi”.
Definisi penganut
agama Budha tentang Jalan Tengah bukanlah berarti kompromi; itu artinya “lebih
tinggi, seperti puncak sebuah segitiga.”
Sinergi adalah lebih dari sekedar kompromi atau
kerjasama.
Kompromi adalah 1 + 1 = 1,5.
Kerjasama adalah 1 +1 = 2.
Sinegi adalah 1 + 1 = 3. atau lebih.
Sinergi adalah kerjasama yang kreatif,
dengan penekanan kata kreatif.
Seluruhnya lebih
besar dari pada jumlah bagian-bagiannya.
Para pembangun tahu hal ini.
·
Kalau sebuah balok,
dengan ukuran 2” X 4” bisa menopang 607
pon, maka dua buah balok seharusnya
dapat menopang 2 X 607 pon = 1.214 pon beban, Begitu kan?
·
Sebenarnya, dua
buah balok, dengan ukuran 2” X 4”
bisa menopang 1.821 pon
beban.
·
Kalau kamu pakukan
jadi satu, dua buah balok ukuran 2”
X 4” bisa menopang 4.878
pon.
·
Dan tiga
balok, ukuran 2” X 4” yang dipaku jadi satu, bisa menopang 8.481 pon beban.
Musisi juga tahu.
Mereka tahu bahwa
kalau nada C dan nada G dibunyikan berbarengan, akan
terdengar nada ketiga, atau nada E.
Menemukan “Jalan yang Tinggi” selalu menghasilkan
lebih banyak seperti dikemukan Laney.
Sinergi terjadi ketika para pendiri Amerika Serikat membentuk struktur
pemerintahannya.
1. William Paterson mengusulkan
Rencana New Jersey, yang mengatakan
bahwa negara-negara bagian harus diwakili secara sama dalam pemerintahan, terlepas dari besarnya populasi. Rencana ini membela negara-negara
bagian yang lebih kecil.
2.
James Madison punya ide lain, yang
dikenal sebagai Rencana Virginia, yang menyatakan bahwa
negara-negara bagian dengan populasi lebih besar harus diwakili lebih
banyak. Rencana ini membela
negara-negara bagian yang lebih besar.
Setelah beberapa
minggu berdebat, mereka sampai kepada keputusan yang memuaskan semua pihak.
Mereka sepakat untuk
memiliki dua cabang Kongres.
Di satu cabangnya, yaitu
Senat, masing-masing negara bagian
akan diwakili oleh dua orang,
terlepas dari besarnya populasi.
Di cabang lainnya,
yaitu Perwakilan Rakyat,
masing-masing negara bagian akan diwakili menurut besarnya populasi.
Walaupun disebut
Kompromi Besar, keputusan terkenal ini sebenarnya bisa disebut Sinergi Besar, karena ternyata lebih
baik dari pada masing-masing usulan mereka yang pertama..
Lima
Langkah Mewujudkan Sinergi
Rencana Tindakan,
1.
Definisikan Masalah atau
peluangnya.
2.
Jalan Mereka : Berusaha untuk memahami
terlebih dahulu ide-ide orang lain.
3. Jalan Saya : Berusaha untuk
dipahami dengan mengutaran ide-idemu.
4. Urun Rembuk : Menciptakan
kemungkinan dan ide-ide baru.
5.
Jalan yang Tinggi : Cari solusi
terbaik.
Kerjasama dan Sinergi
Tim-Tim yang hebat
biasanya terdiri dari lima tipe orang atau lebih, di mana
masing-masing pemain memainkan peran yang berbeda-beda
tetapi penting.
1. Pekerja giat : Pasti dan
mantab, terus bertekun hingga pekerjaannya selesai.
2. Pengikut : Mereka sangat mendukung
terhadap pemimpin. Kalau mereka mendengar ide hebat, mereka bisa segera melaksanakannya.
3. Inovator : Mereka adalah orang-orang
kreatif, yang banyak ide. Merekalah yang memberikan percik semangat.
4. Yang menjaga keharmonisan : Mereka
menyediakan persatuan dan dukungan dan adalah pewujud sinergi yang hebat
sementara mereka bekerja dengan orang lain dan mendorong kerjasama
5. Tukang pamer : Menyenangkan
untuk diajak bekerja sama, tetapi bisa menyusahkan kadang-kadang. Mereka sering
kali menambah bumbu dan momentum yang diperlukan untuk membawakan sukses tim
secara keseluruhan.
Kerjasama yang baik adalah seperti musik yang baik.
Semua suara dari
instrumen musiknya terdengar berbarengan, tetapi tidak saling bersaing. Secara
individual, instrumen-instrumen serta suara-suaranya memperdengarkan suara yang
berbeda-beda, memainkan nada-nada yang
berbeda, berhenti pada saat-saat yang berbeda; namun semuanya berbaur menjadi satu dan menciptakan suara
yang sama sekali baru. Itulah sinergi.
Demikianlah memanfaatkan keragaman dan bukan menghindari perbedaan. (Sumber : SEAN COVEY,
The 7 Habits of Highly Effective Teens, Binarupa Aksara, Jarkarta, 2001,
hal.260-278).
Kebebasan
Beragama,
Pluralisme,
Kepentingan Semua Agama

M.Dawam Rahardjo
Foto : Internet
Adanya pengakuan pluralisme di Indonesia menjadi faktor yang penting untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa
pluralisme, setiap agama saling menklaim kebenaran dan jalan keselamatan
satu-satunya. Implikasi lebih lanjut, akan terjadi saling menyalahkan dan akan
terjadi gontok-gontokan di antara pemeluk agama yang berbeda.
Hal ini
disampaikan Dawam Rahardjo dalam
seminar Agama dan Demokrasi : Mencari Solusi Bersama Masalah Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan” di Jakarta, Kamis (2-2-2006).
Seminar yang
diselenggarakan oleh Indonesia
Conference on Religion and Peace ini
juga menghadirkan Koordinator Kontras Usman
Hamid sebagai pembicara.
“Pluralisme merupakan kepentingan
seluruh umat beragama.
Bukan dilatarbelakangi kepentingan
umat Kristen di Barat, sebagaimana
dituduhkan kelompok pendukung fatwa MUI.
Namun justru
keluarnya fatwa MUI mengenai pengharaman liberalisme,
sekulerisme. pluralisme itu telah membuat Indonesia teracam konflik dan perpecahan,”
ujar Dawam.
Menurut Dawam, pluralisme agama yang diharamkan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama-sama dengan multikulturalisme sebenarnya sudah lama dikenal dalam kebudayaan Islam
sejak zaman klasik.
Sejak awal
penyebarannya, kaum Muslim sudah membentuk sebuah dunia yang kosmopotitan.
“Dalam perjumpaannya dengan budaya–budaya lokal, seperti Mesir, Maghribi,
Persia, India, Turki, Asia Tengah, dan Cina, penguasa-penguasa Muslim tidak memusnakan kebudayaan-kebudayaan
dan agama-agama lokal hingga bahkan
merengkuhnya sehingga terbentuk Islam yang warna-warni,” ujarnya. Dunia Islam,
menurut Dawam, sejak perkembangannya sudah merupakan pluralitas.
Dalam menghadapi pluralitas itu, dunia Islam telah mengembangkan pluralisme.
Karena itu, maka
dalam dunia Islam terdapat berbagai kultur
dan subkultur yang membentuk
kesatuan pelangi Islam.
Usman yang melihat dari sisi hukum
mengatakan peraturan yang ada di Indonesia sebenarnya sudah memberikan perlindungan pada agama.
Kebebasan beragama sudah dijamin
meskipun dalam praktiknya memang mempunyai persoalan.
“Negara harusnya tidak ikut campur dalam urusan privat, seperti agama.
Namun, UU kita telah membuat kepolisian masuk
dalam hubungan antar-agama,’ ujarnya.
Menurut Usman,
penghinaan terhadap agama yang dilakukan sebuah golongan terhadap golongan lain
juga sudah ada sanksinya.
Hanya saja,
terkadang masih ada kontradiksi antara sudut pandang menurut hukum dan sudut
pandang menurut masyarakat..
“Seperti peristiwa
yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyah
yang diserang, namun mereka justru yang dipersalahkan. Sementara pihak penyerang tidak mendapatkan sanksi,” ujarnya. (MAM,--Kompas, 4-2-2006).
Mengadili
Keyakinan Agama

Komaruddin Hidayat
Foto : Internet
Semua umat
beragama harus siap menghadapi kenyataan munculnya faham dan keyakinan baru
yang berbeda atau keluar dari pemahaman yang telah mapan yang dianut oleh
mayoritas. Kalaupun tidak setuju, sebaiknya dihindari anarkis karena hal
itu lebih menunjukkan defisit moral
dan ilmu
pengetahuan, dalam meresponi
dinamika pemikiran yang semakin sulit dikendalikan.
Dibanding dua
agama besar lainnya, yaitu Hindu dan
Kristen, varian perilaku dan
kelompok faham keberagamaan dalam Islam
tidaklah sebanyak mereka.
Banyak pelajaran
yang bisa ditarik, khususnya dari pengalaman agama Kristen, mengapa dan bagaimana sekte-sekte agama bermunculan serta faktor apa saja yang terlibat
di dalamnya.
Sulit disepelekan,
faktor ekonomi, pendidikan, politik, dan psikologis selalu mengambil peran
dalam setiap pergolakan, khususnya dari pengalaman agama Kristen, mengapa dan bagaimana sekte-sekte agama bermunculan serta
faktor apa saja yang terlibat di dalamnya dan konflik keagamaan. Ribut-ribut seputar
kasus
·
Ahmadiyah, shalat dua bahasa di
Jatim,
·
kelompok Madi di Palu, dan
belum lama ini,
·
Lia “Komunitas Eden”,
Aminuddin,
·
dan nantinya entah kelompok apa lagi
mungkin sekali akan bermunculan di Indonesia.
Ketika realitas
budaya semakin plural dan perjumpaan antar faham agama serta pendukungnya
semakin intens, maka keragaman dan penyimpangan faham dari arus utama
(mainsteam) sulit dielakkan.
Jadi Telanjang
Dialog, benturan, dan
tawaran faham keagamaan yang tampil di
dunia internet jauh lebih meriah dan tajam ketimbang yang dibayangkan
masyarakat selama ini. Hanya saja yang mampu mengakses internet untuk saat
ini masih sangat terbatas. Tetapi, ketika internet semakin meluas, dan siaran
televisi lintas benua juga mudah ditonton, apa yang disebut penyimpangan dan serangan terhadap sebuah agama menjadi telanjang di depan
mata. Kalau gambaran di atas sudah
terjadi, bagaimana akan menyikapi?
Rasanya kemarahan hanya akan membuang energi, sementara perangkat
hukum kita juga tidak mampu menyelesaikan.
Apakah perlu kita
meniru Arab Saudi yang mengontrol saluran televisi? Tetapi benarkah efektif?
Apa yang diadili?
Sungguh sulit mengadili sebuah keyakinan. Namun,
untuk menilai apakah pendapat dan perilaku seseorang sejalan ataukah tidak
dengan ajaran dan tradisi agama yang mapan dan dijaga oleh para ulama serta
umatnya selama ini, tentu saja mudah dilakukan. Setiap agama memiliki beberapa dimensi
pokok, yaitu
·
doktrin keselamatan,
·
ketuhanan,
·
ritual, dan
·
etika/hukum sosial.
Doktrin yang paling fundamental adalah
konsep-konsep kehidupan setelah mati (eskatologi) dan keselamatan (salvation)
di hadapan mahkamah Tuhan.
Perangkat hukum,
ritual, dan etika ke semuanya bersumber dan mengacu kepada dua doktrin utama
tadi. Menyangkut keyakinan agama yang mengakar pada hati dan pikiran yang
terbentuk oleh serangkaian pembelajaran dan pengalaman hidup, sungguh tidak
mudah untuk ditaklukan dan diadili.
Namun tidak
berarti seseorang tidak bisa berubah
keyakinan agamanya (konversi).
Oleh karena itu,
jika kebenaran agama semata berdasarkan keyakinan-bisa jadi berdasarkan kitab
suci dan pencarian makna hidup-sudah pasti kebenaran dan agama selalu bersifat plural dan tidak bisa diseragamkan.
Setiap pemeluk
agama akan memandang dirinya sebagai titik terdekat dan jalan pintas meraih
keselamatan Tuhan.
Orang lain (the athers, outsiders) bagaikan
domba-domba sesat atau kelompok kafir yang harus diselamatkan. Karena keyakinan
sulit ditaklukan dan diverifikasi sebagaimana dalil ilmu/sains, maka penerimaan
terhadap kebenaran agama tidak se-universal kebenaran sains.
Siapa pun orangnya
akan menerima kehadiran teknologi mobile-phone atau komputer, misalnya, tetapi
kalau sudah menyangkut agama, maka masyarakat akan segera terpilah-pilah.
Bahkan, mobile-phone
bisa saja digunakan untuk pemicu
meledakkan bom untuk menyerang yang lain, dengan dalil berjuang membasmi
musuh-musuh Tuhan.
Jadi ketika sebuah
keyakinan melahirkan lembaga dan penyebaran serta gerakan sosial keagamaan, mau
tak mau mesti berbenturan dengan kelompok lain.
Jika dalam internal
umat agama muncul pemahaman yang dianggap menyimpang,
biasanya reaksi terhadap kelompok baru ini jauh lebih keras ketimbang terhadap
pemeluk lain.
Alasannya mungkin
sederhana saja. Kelompok agama lain keberadaannya dilindungi hukum dan
terang-terang sebagai the others.
Sedangkan gerakan
semacam Ahmadiyah dan Lia Aminuddin serta kelompok sejenis
dinilai menodai serta menyesatkan faham dan keyakinan mayoritas yang telah
dijaga dan dihormati selama ini.
Mereka dipandang sebagai suatu pelecehan dan penodaan agama serta menimbulkan keresahan masyarakat sehingga bisa
dijerat dengan pasal KUHP.
Tetapi
menjerat dengan dalil meresahkan
masyarakat selalu mengandung problem, mengingat
ukurannya bisa subyektif.
Dibanding gerakan Lia Aminuddin, tentu saja yang jauh meresahkan
dan menghancurkan masyarakat adalah tindakan para koruptor dan pengedar narkoba.
Sayangnya reaksi
umat beragama dan ulama terhadap mereka tidak sekeras ketika menghadapi Ahmadiyah dan Lia Aminuddin.
Di abad
pertengahan, pernah ada seorang musafir penganut faham
Syiah yang terpaksa harus bermalam di perkampungan Sunni karena tidak mungkin
meneruskan perjalanan di malam hari.
Waktu itu dua
kelompok ini saling bermusuhan.
Ketika minta izin untuk bertamu dan menyatakan
diri menumpang bermalam, tuan rumah
bertanya, apa agamanya.
Tamu tadi menjawab; “Saya penganut ahli kitab.” Maka, tuan
rumah melayaninya dengan sangat baik, dengan keyakinan bahwa tamunya, adalah
orang Nasrani yang menurut Al Quran, wajib dilindungi.
Tamu yang Syiah tadi, sengaja setengah berbohong
mengaku ahli kitab demi keamanan dan keselamatan diri.
Dalam hati dia
berkata orang Muslim pun
sesungguhnya juga penganut ahli kitab, yaitu Kitab Al Quran.
Kalau saja memberi
tahu dirinya Syiah, mungkin ia akan
diusir. Demikianlah, konflik dan permusuhan internal umat
agama memang sudah terjadi sejak dulu.
Terlebih lagi
kalau seseorang di pandang telah menodai agama
(Islam) semacam Salman Rusydi,
Lia Amiruddin, ataupun Ahmadiyah,
sejauh ini yang lebih mengemuka adalah
bahasa permusuhan dan penghakiman.
Di sini persoalan
eskatologis, penghormatan, dan pemurnian
tradisi agama serta hukum negara
bercampur baur.
Baik yang mengadili maupun yang diadili
masing-masing merasa benar, namun dengan sudut pandang dan keyakinan yang berbeda.
Yang repot kalau
sikap ini menjadi tirani dan anarkis
terhadap perbedaan. Namun bagi
mereka yang merasa menemukan kebenaran
dan agama baru, harus siap dengan segala resikonya, karena kita
hidup tidak sendirian di padang pasir.
Kebudayaan hibrida
Ke depan semakin
sulit dielakkan munculnya kebudayaan
hibrida, bersama dengan proses
globalisasi dan menguatnya kebebasan individu.
Pada rana budaya, pertemuan dan penetrasi
budaya asing berlangsung sangat intens yang hal ini juga akan merambah ke wilayah
pikiran dan prilaku keagamaan.
Karena setiap
ajaran agama memiliki nilai-nilai
kemanusiaan universal , maka pada aspek ini
semua agama bisa bersanding
dan bahkan melebur. Begitu pula dalam upaya penegakan hukum dan memberantas korupsi. Bahkan negara Singapura dan China yang jarang menyebut
agama, hukuman terhadap pengedar narkoba dan korupsi lebih tegas
dibandingkan dengan Indonesia.
Ibarat rumah besar
dengan halaman yang amat luas, pintu dan jendela masyarakat pemeluk agama selalu terbuka bagi masuknya
pengaruh asing. Maka tugas ulama untuk menjaga tradisi keagamaan semakin berat.
Tanpa persiapan
moral dan intelektual yang kuat, umat
beragama akan lelah menghadapi
munculnya pikiran-pikiran baru yang akan bermunculan di masa depan.
Kecuali kita
memberi kesempatan pada semua pikiran, idiologi, dan agama untuk bersaing dan berdialog secara damai dan
cerdas di panggung sejarah sehingga
terjadi seleksi alamia, yang benar akan bertahan, yang palsu akan ditinggal pemeluknya, (KOMARUDDIN HIDAYAT, Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta, Kompas,
03-01-2006).
Keagamaan,
Utamakan Kemanusiaan
Dalam Hidup
Beragama

Abdurrahman Wahit
Foto : Internet
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan,
hidup bersama harus mengutamakan kemanusiaan. “Karena agama untuk manusia,
bukan untuk siap-siapa. Tidak usah cari yang paling benar. Yang penting
bagaimana bersikap memanusiakan agama,” katanya dalam Orasi Awal Tahun Gus Dur
“Nyejegake Sakaguru Nusantara” di
Pagelaran Keraton Surakarta Hadiningrat, Minggu.
Ungkapannya ini
terkait dengan kondisi kehidupan
beragama di Indonesia yang memprihatinkan
dan terjadinya berbagai konflik di beberapa daerah. Konflik di Palu, Sulawesi Tengah, misalnya, menurut Gus Dur, bukanlah perang agama, melainkan perebutan lahan pertanian dan persaingan
jabatan antara pejabat pemerintah lokal dan pusat.
“Beberapa waktu
lalu ada pendeta, pastor, dan kiai dari Palu datang bertemu saya. Apa yang terjadi di Palu bukan pertentangan
antar agama, tetapi rebutan lahan pertanian dan pangkat,” paparnya.
Setiap pihak perlu
menyadari perbedaan dan keterbatasan
masing-masing. Jika tidak, ini akan menjadi pangkal perpecahan yang berujung pada
keruntuhan bangsa.
“Bahaya yang paling besar mengancam kita adalah runtuh
karena tercerai-berai. Elemen
penting soko guru kehidupan sebagai bangsa mulai menghadapi ancaman sehingga
patah-patah,” katanya. Kondisi ini, antara lain, disebabkan oleh sikap arogansi dan pemecahan masalah yang kurang tepat, seperti kasus terorisme.
“Beberapa hari
lalu saya didatangi George Soros. Di hadapan para agamawan dia
berkata untuk menghadapi terorisme
tidak tepat dengan menggunakan senjata, karena kita lalu melakukan hal yang
sama dengan teroris.
Soros setuju dengan bangsa Indonesia untuk menggunakan cara damai, persuasif,” katanya. (EKI,--Kompas, 05-01-2006).
Anti Kekerasan,
Ajarkan Melalui
Pendidikan
Multikultural

Djohan Effendi
Foto : Internet
Praktik kekerasan dengan mengatasnamakan agama—dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme---yang
akhir-akhir ini marak di Tanah Air, tak lepas dari persoalan identitas murni
yang makin kabur di era globalisasi.
Untuk
mengatasinya, perlu sosialisasi
ajaran antikekerasan melalui
pendidikan multikultural.
Tradisi keagamaan
diakui memang berkaitan dengan benih-benih kekerasan, bahkan peperangan melalui
simbul, teks dan para pemimpin keagamaan. Namun disisi lain tradisi keagamaan
juga mengajarkan semangat antikekerasan,
perdamaian, dan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.
“Sayang, tradisi kekerasan saat ini justru lebih dominan
dalam konteks keberagaman dunia,” kata Direktur Konferensi Indonesia bagi Agama
dan Perdamaian (Indonesian Conference on
Religion and Pease) Djohan Effendi, dalam bedah buku “Lebih Tajam dari
Pedang : Refleksi Agama-agama tentang Paradoks Kekerasan,” Sabtu (04-02-2006),
di Jakarta. Menurut Djohan, kebangkitan agama-agama muncul untuk membendung globalisasi, sehingga yang terjadi
kembali pada ajaran agama yang puritan.. Kembali ke teks tanpa melihat masalah
yang kontekstual.
Berkutut
ke ritual
Hal ini diperparah
oleh praktik pengajaran agama formal dan nonformal yang lebih banyak berkutat pada proses ritual, jauh dari
praktik riil dalam kehidupan.
Fenomena
fundamentalisme agama justru tidak tampak pada kaum tradisional yang
menjalankan agama lebih lentur dan terbiasa
dengan perbedaan pendapat.
Untuk itu, perlu penanaman ajaran kekerasan melalui pendidikan multikultural di sejumlah sekolah. Metode pendidikan
diterapkan dengan mengajarkan bagaimana menghadapi orang lain.
“Jadi tidak
dikhususkan pada ajaran agama tertentu, melainkan pada etika,”ujarnya.
Konsultan Resolusi
Konflik untuk Papua, Aceh, dan Ambon, Emmy Sahertian menambahkan, konflik
terjadi lantaran para tokoh agama kehilangan modul bagaimana hidup dalam negara
pluralistik, tetapi tafsir agamanya sangat monolitik.
“Manusia seharusnya diajarkan berperang dengan
dirinya sendiri untuk antiperang, agar
tidak hidup dalam rasa cemburu di tengah ketatnya kompitisi kapitalis,”
ujarnya. Penyelesaian
konflik di sejumlah tempat seperti Poso dan Maluku justru melalui dialog dengan
pendekatan yang antroposentris, manusia yang berkuasa sebagai pusat. “Penyelesaian konflik seharunya dikembangkan dengan
pendekatan dialog ekosentris, yakni
babagaimana semua orang duduk bersama dengan menanggalkan entitas politiknya
dan jadi sesama manusia,” kata Emmy.
Daniel L Smith
Chritopher, dalam bukunya “Lebih Tajam dari Pedang,” menyoroti paradoks
kekerasan berdasarkan refleksi dari berbagai agama. Antikekerasan sebagai sikap
tidak sekedar menolak terlibat berbagai kegiatan yang dapat menyebabkan kematian,
melainkan memperjuangkan terciptanya keadaan adil, hormat, dan komitmen bersama
untuk mengoreksi keadaan.
Sayang ajaran
agama beserta tradisinya sering dipakai untuk membenarkan tindakan kekerasan,
termasuk perang, dalam bungkus demi terciptanya perdamaian.
Agama juga kerap ditunggangi berbagai kepentingan
non-agama, baik sosial, politik, dan ekonomi. Padahal tradisi tiap agama dapat menanggulangi racun kebencian sebagai
akar dari kekerasan. (EVY—Kompas,
07-02-2006).
Vatikan Tentang
Kartun, Jangan Serang Agama

Paus Vatikan
Foto : Internet
Vatikan City,
Sabtu---Vatikan memberikan
pernyataan tentang penyebarluasan kartun bernada satire tentang Nabi Muhammad
SAW yang disebaluaskan beberapa media Eropa dan sejumlah negara lainnya.
Vatikan
mengatakan, kebebasan berekspresi tidak berarti bebas menyerang agama atau
kepercayaan seseorang.
Vatikan mengatakan pembuatan dan
penyebarluaskan kartun itu adalah sebuah tindakan provokasi yang sama sekali
tidak bisa diterima.
“Di dalam hak atau
kebebasan untuk menyatakan ekspresi dan pemikiran tidaklah mencakup kebebasan
yang menyakiti para penganut agama,”
demikian pernyataan Vatikan, Sabtu, (04-02-2006).
“Koeksistensi
manusia menuntut sebuah iklim yang saling
menghormati untuk menciptakan perdamaian di antara manusia dan
bangsa-bangsa,” demikian lanjutan pernyataan tersebut.
Lebih jauh, bentuk-bentuk tertentu dari sebuah
kritikan atau tindakan yang membuat pihak lain berang merupakan sebuah tindakan
yang tidak memperlihatkan kesensitifan. Tindakan seperti itu, dalam hal
tertentu bisa memicu provokasi yang tidak bisa diterima..” Sebanyak 12 kartun itu diterbitkan pertama kali
di sebuah media Denmark, Jyllands-Poeten,
pada September 2005.
Lalu, hal itu diterbitkan lagi di media
internasional lainnya pada hari Kamis, lalu dengan alasan bahwa itu adalah merupakan kebebasan
berekspresi.
Umat muslim
seluruh dunia marah, bukan saja karena penghinaan itu, tetapi juga hukum Islam
memang tidak memperbolehkan adanya
visualisasi atas wajah atau penampilan fisik
Nabi Muhammad SAW. Palestina berpawai di berbagai jalanan dan
menyerang bangunan-bangunan yang berkaitan dengan dengan kepentingan Eropa. Mereka juga
membakar bendera Jerman dan Denmark. Namun Vatikan juga menghimbau agar bentuk
protes seperti itu sebaiknya tidak dilakukan. “Serangan yang dilakukan oleh
seorang atau sebuah perusahaan media tidak seharusnya dilampiaskan terhadap
lembaga publik atau negara yang terkait,” demikian Vatikan.
Editor
Dipecat
Protes atas kartun
itu tidak hanya muncul dari kelompok Muslim.
Di Copenhagen, Denmark, kelompok dari ekstrim
kiri yang antirasial melakukan protes
atas pembuatan dan penerbitan kartun-kartun itu. Dari Amman, Jordania,
dikabarkan bahwa editor dari sebuah tabloid yang juga menerbitkan kartun itu
dipecat. Editor itu bernama Jihad Momani dan dikabarkan telah
ditangkap kemarin. Ia adalah editor dari tabloid gosip Shihane. Momani kemudian
menyatakan sangat menyesal atas tindakannya yang teledor itu.
Penyelidikan juga terhadap tabloid lebih kecil, yakni Al-Mehwar,
yang menerbitkan kartun itu pada edisi 26 Januari 2006. Editor tabloid tersebut , Hashem
al-Khalidi, juga dinilai harus bertanggung jawab secara hukum karena
mengizinkan penerbitan itu. Raja
Abdullah II, hari jumat lalu, mengatakan tindakan itu adalah perbuatan kriminal.(REUTERS/AFP/MON,---Kompas, 05-02-2006).
Kontroversi
Kartun,
Wapres sebagai
Umat Islam Keberatan

Jusuf Kalla
Foto : Internet
Wakil Presiden
Jusuf Kalla sebagai umat Islam keberatan atas pemuatan gambar karikatur Nabi Muhammad
SAW dalam salah satu surat kabar di Denmark. Keberatan itu sudah dinyatakan
kepada Duta Besar Denmark untuk Indonesia dan pihak Denmark sudah meminta maaf secara terbuka. “Tentu,
sebagai umat Islam kita keberatan. Saya juga menyatakan itu kepada Dubes
Denmark bahwa kita pasti keberatan. Dan mereka sebenarnya sudah minta maaf akan
hal tersebut, “ ujar Wakil Presiden dalam jumpa pers seusai shalat, di Jakarta,
Jumat (3-2-2006). Menurut Wapres, Denmark seperti Indonesia yang menganut
kebebasan pers. Dalam sistem itu, negara tidak secara langsung bertanggung
jawab mengenai apa yang ditulis di surat kabar. Namun Wapres mengingatkan,
kebebasan pers tidak berarti harus menciderai perasaan orang lain atau pihak
lain.
Di tempat
terpisah, Forum Umat Islam (FUI) menuntut Pemerintah Denmark meminta maaf kepada umat Islam di seluruh
dunia, dan menghukum mati pembuat karikatur yang melecehkan Nabi Muhammat SAW.
Selain itu, FUI juga menyerukan agar pemerintah negeri Muslim di seluruh dunia
untuk melakukan protes yang sama kepada Pemerintah Denmark. Demikian antara
lain pernyataan FUI yang dibacakan Sekjen FUI M Al Khaththath di halaman Masjid
Agung Al-Azhar di Jakarta, Jumat. “Menyerukan kepada seluruh umat Islam di
seluruh dunia Islam agar bersatu dan berjuang bahu-membahu untuk mewujudkan Khilafah ala Minhajin Nubuwwah, yang akan dengan sigap
mengatasi masalah penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.
Kebebasan pers
tidak berarti harus menciderai perasaan orang lain atau pihak lain
Termasuk dalam FUI
ini antara lain Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Muhammadiyah, Naddlatul
Ulama, Syarikat Islam, Al Irsyad Al Islamiyah, Komite Islam, Majelis Mujahidin
Indonesia, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, dan Hizbut Tahrir. Protes yang
dilancarkan FUI ini merupakan reaksi atas diterbitkannya karikatur Nabi
Muhammad SAW di koran Jyllands-Posten
terbitan Denmark edisi 30 September 2005. Bahkan, karikatur yang
menggambarkan Nabi Muhammad SAW membawa pedang
dan menenteng bom, dan di sorban Nabi
Muhammad SAW terselip bom, tersebut dimuat ulang oleh sejumlah media di
negara-negara Eropa. “Tentu saja pembuatan dan penerbitan karikatur tersebut
punya maksud busuk dari pembuat maupun penerbitnya. Kaum Muslim di Timur Tengah
sudah menunjukkan reaksi ketersinggungannya beberapa bulan lalu, tetapi tidak
mendapat respons positif dari Pemerintah Denmark,” ujarnya. (INU/HAR/NOW/MAM, --Kompas, 4-2-2006).
Keagamaan,
NU dan
Muhammadiyah
Dorong Kebersamaan

Din Syamsuddin
Foto : Internet
Jakarta,---Pengurus
besar Nahdlatul Ulama dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyerukan seluruh Muslim
Indonesia untuk meningkatkan ukhuwah Islamiah.
Caranya dengan
memperkuat rasa kebersamaan di kalangan umat dan saling pengertian serta dialog
mengenai hal-hal yang dianggap berbeda.
Peningkatan
ukhuwah ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dan benturan sesama umat
Islam.
Demikian isi
pernyataan bersama PBNU dan PP Muhammadiyah menyambut tahun baru 1427 Hijriah yang dibacakan Sekretaris
Umum PP Muhammadiyah Rosyad Sholeh di Kantor PBNU di Jakarta, Kamis (2-2-2006).
Rosyad didampingi Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua PBNU Andi Jamaro Dulung, Ketua PBNU Rozy Munir, dan Ketua PP Muhammadiyah Muclas Abror. Din mengatakan, ajakan
bersama ini merupakan langkah awal untuk mewujudkan kebangkitan dan kejayaan
umat.
Selain itu, Islam
dapat menjadi faktor yang efektif untuk mewujudkan kejayaan bangsa.
Dalam
pemberantasan korupsi misalnya, memang
sudah ada usaha pemerintah, namun belum optimal. Ada kesan pemerintah
pilih-pilih
“Dalam
pemberantasan korupsi misalnya, memang sudah ada usaha pemerintah, namun belum
optimal. Ada kesan pemerintah pilih-pilih
tebu.
Sedangkan soal pornografi, sudah mengarah pada
liberalisasi moral yang membahayakan umat,” ujarnya. KH Hasyim Muzadi mengatakan, pertemuan ini bermakna peningkatan
kualitas keberagamaan dan kebangsaan yang bertujuan agar agama bisa produktif
sebagai solusi, dan bukan menjadi problem bagi masyarakat. Agama dengan
semangat kebersamaan bisa menjadi titik temu dan tidak memperluas perbedaan
yang ada. “Islam sering menghadapi kendala produktivitas, di
sinilah pentingnya kebersamaan agar agama itu bisa jadi solusi bagi
masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini, menurut Hasyim, juga merupakan upaya
untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan yang harus disikapi , seperti aksi
kekerasan, teror, maupun pornografi. Kekerasan dan teror hanya akan merugikan umat, memperburuk citra agama dan umat Islam. Bahkan, aksi itu
hanya akan mempersenjatai orang lain untuk memperkuat dugaannya bahwa umat
Islam memang pelaku kekerasan. “Sedangkan soal pornografi, jangan dianggap sepele.
Pornografi itu sudah menjadi alat demoralisasi kultural Indonesia. Untuk itu,
DPR harus segera menyelesaikan UU Antipornografi dan Pornoaksi demi
kemaslahatan umat,” ujarnya. (MAM,--Kompas,
4-2-2006).
Kekerasan, Negara
Gagal Beri Rasa Aman

Zoemrotin K Susilo
Foto : Internet
Wakil Ketua Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Zoemrotin K
Susilo menilai negara dan pemerintah telah gagal menjamin dan memberikan
rasa aman bagi warga negara, terutama dalam kasus pengrusakan dan pembakaran
rumah anggota Jemaah Ahmadiyah di
Nusa Tenggara Barat, Minggu. Pernyataan itu disampaikan Zoemrotin, Senin, (06-02-2006), seusai menerima sejumlah anggota
Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan beberapa tokoh masyarakat di Kantor Komnas HAM,
Jakarta. Menurut dia,
peristiwa di Nusa Tenggara Barat ( NTB) kali ini bukanlah yang pertama kali,
melainkan telah terjadi sejak tahun 2002.
“Peristiwa
(perusakan) seperti itu terjadi terus-menerus. Hal itu menunjukkan negara gagal memberi rasa aman kepada warga negaranya sendiri. Aparat kepolisian
terkesan membiarkan peristiwa itu. Persoalan seperti itu terjadi sejak tahun 2002 sampai sekarang dan ini sudah
bukan lagi by-accident (tidak sengaja),” ujar Zoemrotin. Ia menambahkan,
negara seharusnya dapat menjamin warga
negaranya memperoleh rasa aman dan hak asasi mereka, termasuk kebebasan
menjalankan dan memeluk agama. Menurut dia,
bahkan orang yang tidak beragama
sekalipun tidak bisa diusir seperti itu.
Peristiwa
perusakan dan pembakaran, seperti terjadi di NTB itu, dinilai Zormrotin bukan disebabkan persoalan agama, melainkan lebih
dipicu egoisme kelompok, yang jika dibiarkan justru dapat mengakibatkan bangsa
terpecah-belah.
Dalam pertemuan
itu hadir anggota DPR dari Fraksi PDI-P Jacobus Mayong Padang, Wakil Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Weinata
Sarin, Prof.Dawam Rahardjo, serta
Amir Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Abdul
Basyith dan juru bicaranya, Mubarik Ahmad. Dawam meminta sejumlah
organisasi masyarakat dan keagamaan besar, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama, bersikap tegas menanggapi aksi anarkis tersebut.
Dalam laporan kronologis, Jejaring Pemantau
HAM disebutkan, peristiwa perusakan dan
pembakaran rumah 31 keluarga
(sekitar 129 jiwa) anggota JAI di Perumahan Bumi Asri Ketapang,
Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB, itu mengakibatkan kerugian
sebesar Rp.400 juta.
Di tempat
terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengecam keras perusakan perumahan kelompok
Ahmadiyah di Lombok Barat. Tindakan perusakan bertentangan dengan nilai Islam. Selain itu, perbedaan agama dan
faham keagamaan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran tindakan
kekerasan dalam bentuk apa pun. “Saya meminta umat Islam tidak terpancing
dengan aksi kekerasan dan kepada
pemerintah agar mengusut tuntas serta
menindak tegas pelakunya,” ujarnya.
Ketua Panitia Ad
Hoc I Dewan Perwakilan Daerah Muspani
mendesak negara bersikap proaktif
mencegah tidakan anarkis dan cepat mengambil tindakan terhadap setiap
masalah agama dan etnik.. “Kami mengingatkan, Indonesia
adalah negara hukum. Agama tidak boleh dijadikan pembenaran melakukan tindakan
kekerasan,” kata Muspani. Anggota DPD Nusa Tenggara Barat, Abdul Muhyi Abidin, mengatakan, “Tindakan anarkis
yang dilakukan masyarakat NTB terjadi karena
negara mengabaikan keberatan
mereka atas kehadiran Ahmadiyah.
Meski demikian,
saya mengecam cara kekerasan yang dilakukan,” ujarnya.
(DWA/MAM/WIN,---Kompas, 07-02-2006).
Temu Mega, Gus
Dur, Try,
Kekerasa
Mengatasnamakan Agama Harus Ditindak


Megawati SP. Gud
Dur
Foto : Internet
Dua mantan
Presiden RI, yaitu KH Abdurrahman Wahid
dan Megawati Sukarnoputri, mengajak
semua elemen bangsa dan pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar l945
dengan konsukuen dan berani.
Tanpa itu,
Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang besar dan kuat.
Pandangan itu
disampaikan keduanya dalam seminar bertajuk “Membangun Peradaban Indonesia”
yang diadakan Nusantara Bersatu, minggu (05-02-2006) di Jakarta.
Sejumlah tokoh
nasional hadir dalam acara itu, seperti mantan Wakil Presiden Jenderal TNI
(Purn) Try Sutrisno, mantan Panglima
ABRI Jenderal TNI (prn) Wiranto,
mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard
Ryacudu, Shinta Nuriyah, Taufiq Kiemas,
begawan hukum tata negara Prof Dr Sri
Sumantri SH, serta Ketua Presidium Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia Marwah Daud Ibrahim.
“Kita perlu
reorientasi kehidupan berbangsa,” ucap Abdurrahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur.
Reorientasi bangsa
ini tak hanya dilakukan orang-orang yang punya kedudukan istimewa dalam
kehidupan kenegaraan, tetapi semua lapisan masyarakat.
Dia mengutip
kata-kata seorang ahli strategi yang mengatakan: “Perang terlalu penting
diserahkan hanya pada para jenderal.”
Megawati dalam
sambutannya menekankan hal sama. “Yang penting untuk bangsa, bagaimana kita
dengan konsukuen menjalankan konstitusi, yakni UUD l945, yang akibat reformasi
empat kali diamandemen.
Undang-Undang
Dasar itu
Memerdekakan orang
Mengikuti
kepercayaan
Masing-masing
Ketua Umum PDI
Perjuangan itu juga mengajak semua untuk merenungkan dan menghayati kembali
Pembukaan UUD l945 yang di dalamnya tertuang Pancasila yang saat ini suaranya
semakin sayup-sayup terdengar.
Dalam acara itu,
seniman Frangky Sahilatua lewat
lagunya juga mengajak semua untuk tak meninggalkan Pancasila.
“Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua.
Nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya. Untuk semua, puji namanya. Untuk semua, cinta
sesama. Untuk semua, keluarga menyatu. Untuk semua, bersatu rasa. Untuk semua,
saling memberi. Pada setiap insan, sama dapat, sama rasa…,” lantun Frankie
disambut tepuk tangan. Ketika ditanya pers soal aksi pembakaran dan perusakan rumah pengikut
Ahmadiyah, Abdurrahman Wahid dan Megawati menekankan kembali pentingnya pemahaman nilai-nilai konstitusi. “Itu salah
semua. UUD l945 tidak pernah suruh bakar rumah orang. Undang-Undang Dasar itu
memerdekakan orang mengikuti kepercayaan masing-masing,” kata Gus Dur.
Kesalahan yang
dilakukan pengikut Ahmadiyah menurutnya merupakan urusan agama. Tetapi, pihak
yang telah melanggar hukum, tetap harus
ditangkap. Sayangnya, hal ini tak dilakukan karena pemerintah ketakutan. “Isinya orang
penakut semua. Tidak berani menegakkan UUD. Bagaimana kita jadi gede dan kuat
kalau seperti ini terus,” ujar Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa
itu.
Tokoh
Nahdlatul Ulama itu juga menekankan
bahwa rakyat Indonesia sebenarnya penurut, tetapi karena pemerintah tak memberi
pendidikan yang jelas, seolah-olah
tindakan itu menjadi benar.
“Coba ambil dua
orang dulu masukkan ke penjara karena melanggar undang-undang, yang lain enggak
akan berani,” ucapnya.
Megawati yang
duduk di sebelah Gus Dur turut mendukung pandangan itu. “Seperti yang dikatakan
Gus Dur. Saya merasa tujuan dari kehidupan negara ini sudah tidak jelas karena
kita tidak berpegang pada konstitusi yang telah disepakati,” ujarnya.
Ketua Presidium
ICM, Marwah Daud turut menyesalkan
aksi kekerasan yang terjadi. Dia berpendapat apa pun yang sifatnya kekerasan
dan mengklaim pihak lain, tidak patut dilakukan. “Kebenaran tidak bisa diklaim
dan dipaksakan,” ucapnya. (SUT,--Kompas,
06-02-2006).
Agama Dan
Kemerdekaan Pers
Sebuah surat kabar
di Denmark telah memuat karikatur Nabi Muhammad SAW. Dapat dipahami kalau karikatur
itu telah menimbulkan amarah dunia Islam.
Redaktur surat
kabar itu telah meminta maaf. Namun,
Pemerintah Denmark semula tidak bersedia meminta maaf. Sebab, hal itu masih merupakan bagian
kemerdekaan pers yang dianut di Denmark. Agama dalam konsep kemerdekaan pers di
Denmark, termasuk wilayah yang tidak bebas dari kritik ataupun sindiran seperti
karikatur itu. Belakangan, setelah reaksi meluas, Pemerintah Denmark meminta
maaf meski tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kejadian itu, dengan alasan untuk
menjamin “kemerdekaan pers.”
Kebebasan
Pers
Menyikapi
kenyataan seperti, selayaknya kita menyadari, setiap negara bebas mengatur
dirinya sendiri. Denmark (misalnya) adalah salah satu negara yang
melegalisasikan “pornografi”. Artinya suatu hal yang kita anggap porno, di sana
tidak lagi dianggap porno.
Pornografi ada di mana-mana, tanpa
ditutup-tutupi. Padahal, setiap pornografi
pasti menyalahi nilai agama. Peran agama dapat dikatakan sudah
termarginalkan.
Kita tentu tidak
dapat menerima prinsip kemerdekaan pers seperti itu.
Di banyak negara
Barat pun, tidak menganut kemerdekaan pers seperti itu. Meski mereka menganut
sekularisme, agama masih dianggap sebagai wilayah yang harus dihormati sehingga
tidak boleh dihina atau dilecehkan, termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam
setiap agama.
Hal ini terlepas
kalau ada orang yang ingin menikmati pornografi, juga dijamin. Sebaliknya, yang
antipornografi juga dijamin tidak tercemar.
Masalah produksi,
diseminasi, distribusi penerbitan porno, dengan demikian menjadi penting. Karena itu, harus
ada undang-undang yang mengatur soal pornografi ini. Dengan reaksi yang besar
dari kalangan umat beragama, jangan sampai dikesankan, agama bisa dianggap
penghalang kemerdekaan pers.
Vatikan pun telah menyesalkan penerbitan karikatur itu. Di mana (sebenarnya) keterkaitan agama dalam kemerdekaan pers, agar kemerdekaan pers dapat
memberi sumbangan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis?
Tanggung
Jawab Moral
Di era tanpa surat
izin usaha penerbitan pers (SIUPP) timbul pertanyaan, apakah orang bebas
menerbitkan penerbitan baik surat kabar, majalah, harian, mingguan, atau
tabloit? Sekilas jawabnya “Ya”. Dewasa ini, siapa pun bebas menerbitkan apa
saja, termasuk yang nyerempet-nyerempet pornografi. Wajar jika jumlah penerbit
meningkat tajam meski jumlah tirasnya tidak meningkat secara bermakna.
Mengesankan
penerbitan pers sekarang tanpa suatu pertanggungjawaban moral apapun. Benarkah
demikian?
Sebenarnya,
masyarakat pers sendiri risau dengan keadaan “pers” seperti itu. Meski tanpa
SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbit dan Percetakan), batasan untuk dapat
menerbitkan sebuah penerbitan pers sebenarnya sudah dirumuskan, yaitu apa yang
terkandung di dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
Jika KEWI ditaati oleh semua penerbit pers,
kita memang tidak perlu SIUPP atau intervensi pemerintah dalam dunia pers
Indonesia.
Dalam konteks ini,
penerbit yang tidak sesuai dengan KEWI dapat dianggap bukan bagian pers Indonesia. Ada kaidah KEWI
yang membatasi moralitas pers Indonesia? Dalam KEWI, antara lain di katakan,
“Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah,
sadis, dan cabul serta tidak menyebutkan identitas kejahatan susila.”
Dengan kaidah
seperti itu, kiranya jelas pers Indonesia tidak boleh memuat informasi yang
cabul (porno). Masyarakat beragama tidak perlu risau, seolah pornografi sudah
merupakan kecenderungan baru dalam pers Indonesia. Sebab, penerbitan yang porno
sebenarnya dianggap bukan bagian pers Indonesia.
Lantas, mengapa ada penerbitan porno dan dewan
Pers diam saja?
Dewan Pers, sesuai
dengan Undang-undang No.40 Tahun l999 tentang Pers, antara lain berfungsi “menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode
etik jurnalistik.” Namun Dewan Pers tidak memiliki otoritas untuk menindak
penerbit yang dianggap porno meski Dewan Pers bisa memberi pertimbangan
terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan penerbitan pers, termasuk hal-hal
yang dianggap porno. Otoritas untuk menindak penerbitan porno ada pada
aparat penegak hukum (polisi). Masyarakat, termasuk umat beragama, dengan
demikian, jangan sampai mendapat
gambaran keliru bahwa pornografi
merupakan bagian dari pers Indonesia. Persepsi seperti itu diperlukan
agar masyarakat tidak keliru kemana hendak mengadu, saat menghadapi penerbitan
yang dianggap porno. Memang orang masih bisa berlindung di balik belum jelasnya
kriteria porno sehingga menjadi alasan perlunya segera kita memiliki
undang-undang tentang pornografi. Sampai di sini, wilayah itu ternyata masih
berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, undang-undang tentang
pornografi belum terbit.
Memerlukan
waktu
Kini kita
ke-risauan masalah hukum masih memerlukan waktu. Sementara di DPR masih sibuk
menggodok undang-undang tentang pornografi, termasuk mendefinisikan kriteria
porno, masyarakat telah memiliki penilaian sendiri apa itu porno. Keterlambatan dari
aspek hukum ini bisa berdampak masyarakat mengambil inisiatif sendiri sehingga ancaman terjadinya kekerasan
tidak terhindarkan.
Bahwa masyarakat
beragama ada garis depan menyikapi penerbitan porno, sebenarnya amat wajar.
Dalam keadaan seperti itu, “kemerdekaan pers” dipertaruhkan. Karena itu,
masyarakat pers hendaklah memahami,
penerbitan porno justru merupakan ancaman terhadap “kemerdekaan pers” yang
selama ini diperjuangkan Pers Indonesia. Kalau masyarakat pers tidak dapat
menyesuaikannya sendiri permasalahannya, tidak mustahil akan hadir SIUPP baru
atau perundangan yang mengatur penerbitan Pers. (SULASTOMO, Koordinator Gerakan Jalan Lurus,--Kompas, 07-02-2006).
Dialog Atasi
Konflik Agama,
“Perdamaian
Dibangun Dengan
Memahami Perbedaan”

Andrew Robb
Foto : Internet
Cebu,---Satu-satunya
cara untuk mengantisipasi dan menangani konflik
antaragama ataupun konflik yang sengaja diciptakan dengan mengatasnamakan agama adalah dengan memperkuat hubungan antaragama melaui dialog.
Meski demikian,
diakui, dialog yang dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya langkah-langkah
konkret, dalam pelaksanaannya hanya akan sia-sia.
Hal itu
dikemukakan Ketua Parlemen untuk Kementerian Imigrasi dan Multikulturalisme
Australia Andrew Robb saat ditemui
di sela-sela Cebu Interfaith Dialog, (14-16-03-2006), Selasa (14/3) di Mactan
Island, Cebu Filipina.
“Dialog seperti ini memang jangan sampai putus karena sangat penting
artinya bagi berbagai negara, khususnya bagi Australia, karena akan membangun
pengertian antarumat beragama.
Jika bertemu
seperti ini kita dapat mengidentifikasikan berbagai kendala dan
menyelesaikannya bersama-sama,” ujarnya.
Sejak dialog
antaragama pertama yang digelar Indonesia
bersama Australia, Desember 2004 di
Yagyakarta, kata Robb, kini
interaksi antaragama di Australia dirasakan sangat kuat.
Semakin banyak
tokoh-tokoh agama, lanjutnya, yang mendatangi sekolah-sekolah untuk berdiskusi
agar tercipta pemahaman antaragama.
Dialog antaragama
menjadi rasa manfaatnya jika bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Di sinilah,
menurut Robb, pentingnya peran tokoh-tokoh agama dan masyarakat.
Dalam jumpa pers,
Perdana Menteri Selandia Baru Helen
Clark juga menyebutkan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat menjadi tulang
punggung dalam mewujudkan kerja sama menurunkan ketegangan yang kerap berujung
pada konflik yang mengatasnamakan agama seperti teroris dan kegiatan-kegiatan
ekstrimisme lainnya.“Proses dialog dan kerja sama antaragama seperti ini memang
membutuhkan waktu yang lama. Tidak ada solusi yang cepat dan tepat mengenai
sasaran. Yang harus menjadi pegangan terlebih dahulu adalah keyakinan bahwa
perdamaian itu bisa dibangun dengan saling memahami nilai-nilai dan kepercayaan
masing-masing serta kesediaan untuk menghargai perbedaan,” ujarnya.
Sedangkan Presiden
Filipina Gloria Macapagal-Arroyo
menilai, dialog antaragama apa pun bentuknya tetaplah penting untuk
mengantisipasi dan menangani berbagai konflik
yang muncul berkaitan dengan agama. Pasalnya, kerap kali agama digunakan
sebagai alasan untuk melakukan kekerasan.
Dialog adalah
salah-satunya cara untuk membangun pemahaman dan pengertian antaragama yang
pada akhirnya membawa perdamaian di dunia.
“Khusus untuk
Filipina, berkat adanya dialog ini berbagai konflik antar Muslim dan Nasrani
menurun sangat drastis,” ujarnya. Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dalam
pidato tertulisnya menyebutkan, awalnya dialog antaragama pertama digagas
sebagai wadah untuk berdialog dan menggalang kerja sama antaragama di kawasan.
Dialog antaragama
dan kerja sama adalah cara efektif untuk menyuarakan suara-suara tokoh-tokoh
agama dan masyarakat. Dan dalam jangka penjang dalam rangka melawan
terorisme, tokoh-tokoh itulah yang akan bisa melakukannya.
Keberlangsungan
dialog seperti ini penting untuk berbagai pandangan toleransi guna mewujudkan
perdamaian dan masyarakat domokrasi.

Sri Sultan HB.X
Foto : Internet.
Untuk mewujudkan
salah satu hasil dialog antaragama di Yogyakarta,
saat ini telah dipersiapkan pembentukan pusat kerja sama agama dan kebudayaan di daerah Bukit Sentono, Yogyakarta, seluas lima hektar, yang merupakan tanah
pemberian Sultan Hamengku Buwono X.
Lembaga itu akan
menjadi tempat pembentukan dan pelaksanaan segala kerja sama antaragama dengan
kegitan seperti penelitian, pendidikan, dan diskusi.
Bahkan juga akan
dirancang untuk mengerjakan proyek resolusi konflik dan pengembangan
mesyarakat. Hingga kini bangunan fisik belum dimulai karena belum jelas bentuk
lembaganya, apakah akan berupa lembaga nasional dengan mandat internasional,
lembaga internasional, ataupun kombinasi keduanya.
Dalam sesi
diskusi, para delegasi, dari berbagai
negara secara bergantian menceritakan pengalaman dan perkembangan kondisi
hubungan antaragama di negerinya masing-masing pascadialog antaragama di
Yogyakarta.
Meski diakui hasil
dialog pertama belum maksimal, para delegasi mengakui mulai tampaknya hubungan
komunitas antaragama yang makin erat.
Seperti
di katakan Bishop Cornelius Sim dari Brunai Darussalam.
“Sebelumnya kami tidak pernah diajak berbicara dan berdiskusi tentang berbagai persoalan di dalam negeri.
Tetapi sekarang kami selalu dilibatkan dalam berbagai pembicaraan tentang
persoalan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Khususnya yang bertalian
dengan urusan agama,” ujarnya. (LUKI
AULIA,--Kompas,15-03-2006).
Indonesia-Amerika Serikat. Rice : Indonesia Inspirasi Dunia
Membangun Toleransi Umat Beragama, Ras, Serta Etnis

Condoleezza Rice
Foto : Internet
Jakarta,--Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza
Rice memuji Indonesia dalam upaya aktifnya memajukan modernisasi dan
membangun toleransi umat beragama, ras, serta etnik. Indonesia dinilai menjadi
inspirasi bagi negara lain di dunia yang berjuang melawan keberagaman dan membangun demokrasi.
Pujian itu
disampaikan Rice seusai pertemuan
dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Hassan
Wirajuda di Departemen Luar Negeri, Jakarta, Selasa, (14-03-2006).
“Indonesia patut
mendapat pujian karena inklusivitasnya dan kemampuannya menumbuhkan saling
pengertian dalam keragaman itu dan dalam konteks mendewasakan demokrasi. Kami
sangat mengagumi proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia dan kami
ingin menjadi mitra rakyat Indonesia,”
ungkap Menlu Amerika Serikat (AS) itu.
Rice yang sebelumnya bertemu Hassan melakukan kunjungan khusus ke Madrasah Al Makmuriyah di
jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, menyatakan sangat terkesan melihat aktivitas
anak-anak di madrasah tersebut. Mereka, katanya, mempelajari berbagai bidang
pengetahuan sesuai dengan kurikulum nasional meski mereka berada di sekolah
Islam.“Saya yakin anak-anak muda itu nantinya akan menjadi orang-orang yang mampu
trampil di berbagai bidang dan menunjukkan makna toleransi kepada dunia,” ungkapnya.
Rice mengakui memang ada pandangan-pandangan
tertentu di kalangan rakyat AS
mengenai Islam. “Indonesia bisa menjadi contoh terbaik dan bisa memainkan peranan
yang besar dalam mendorong moderasi, toleransi, masyarakat yang inklusif. Yang
menarik lagi, inilah yang sebetulnya kita miliki bersama dengan Indonesia,”
papar Rice. Dalam
kesempatan itu ia menggambarkan
keberagaman di AS yang sama dengan
keberagaman di Indonesia, tetapi semua warganya bisa saling bertoleransi dan
bekerja sama dengan baik.
“Indonesia sangat
berkompeten menyampaikan bagaimana mengelola keberagaman itu dengan menumbuhkan
moderasi dan toleransi, bukan semata-mata karena ucapan, tetapi karena memang
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Rice menambahkan.
Ditanya mengenai
terus meningkatnya sentimen anti-AS
di berbagai tempat, termasuk Indonesia,
Rice menyatakan bisa memahami jika
berbagai upaya yang dilakukan AS di berbagai belahan dunia, AS, telah menjadi
tidak populer.
“Tetapi kami memerangi musuh yang tangguh. Musuh yang telah
menghancurkan di Indonesia melalui peledakan bom di Bali dan Jakarta, juga di London, Madrid, dan Rusia. Saya rasa dalam
soal ini tidak ada ketidaksepakatan dari pihak mana pun.” katanya.
Menlu AS itu berharap, meskipun
beberapa kebijakan yang mereka upayakan tidaklah populer, hendaknya di
Indonesia, antara lain membantu panscabencana tsunami yang berasal bukan hanya
dari pemerintah, tetapi juga rakyat AS, dengan penuh ketulusan. Hal ini,
katanya, bukan untuk membeli kehormatan dari rakyat Indonesia…….(HAR/INU/MAM/OKI,--Kompas, 15-03-2006).
Komunikasi Belum
Harmonis,
Media Massa dan
Komunitas Agama Harus Saling Belajar

Helen Clark
Foto : Internet
CEBU,---Konflik
yang terjadi di berbagai negara, khususnya yang berlatar belakang agama,
sebenarnya bisa diantisipasi dengan cepat jika saja tercipta hubungan yang
harmonis dan komunikasi yang lancar antara media masa dan kelompok-kelompok
agama yang bisa diwakili para tokoh agama.
Gagasan ini
mengemuka dalam diskusi kelompok kerja 4
bertema “The Role of Media in Promoting Interfaith
Cooperation,” Rabu (15-03-2006) di Cebu, Filipina.
Sekitar 35 delegasi dari 11 negara yang terlibat dalam diskusi itu menilai, penyebab dari
kurang harmonis dan kurang lancarnya komunikasi itu semata-mata karena belum
ada pandangan, pengertian, ataupun pemahaman yang sama akan kebutuhan
masing-masing pihak.
Kesebelas negara
itu adalah, Indonesia, Malaysia, Laos, Papua Niugini, Myanmar, Filipina,
Australia, Brunai Darusalam, Selandia Baru, Vietnam, dan Pulau Fiji.
Muncul pandangan
bahwa para tokoh agama sering kali tidak mengerti “jalan pikiran” media massa
ketika membuat keputusan mana berita yang layak muat dan mana tidak.
Berita yang
kemudian diputuskan muncul, khususnya yang berkaitan dengan konflik agama,
kerap kali dinilai para tokoh agama
hanya mementingkan suatu pihak tertentu. Media massa juga dinilai sering
kebablasan dalam menggunakan kebebasan berekspresinya seperti pada kasus
kartun.
“Kami
mengerti dan menyadari adanya kebebasan berekspresi. Namun kebebasan itu
bukanlah tanpa batas. Itu tetaplah kebebasan yang harus bertanggung jawab,”
kata anggota Majelis Wanita Muslim dan
juru bicara Asosiasi Muslim Internasional Selandia Baru, Rehanna Ali.
Perdana Menteri
Selandia Baru Helen Clark juga
sebelumnya, Selasa, telah mengingatkan media massa harus berhati-hati saat
memutuskan akan memublikasikan berita-berita yang berbau SARA. Clark kemudian
mencontohkan pemuatan kartun yang juga ramai diperdebatkan di Selandia Baru.
“Harus bisa
dipikirkan dengan lebih serius apakah berita itu nantinya akan memancing
ketegangan atau konflik atau tidak.Karena itulah saya rasa media dan berbagai
kelompok agama harus mulai saling berbicara,” ujarnya.
Jembatan komunikasi
Delegasi dari
Filipina menyebutkan, dengan semakin berkembangnya dunia media massa yang
mempercepat perkembangan informasi, efek publikasi media massa juga semakin
besar.
Karena
itulah, media perlu membangun jembatan komunikasi dan kerja sama dengan
berbagai macam agama dan kepercayaan.
“Media ini sumber
informasi utama bagi publik dan bisa memengaruhi cara pandang orang dan
lingkungan sekitarnya. Media bisa membantu memperbaiki pandangan yang salah
ataupun stereotip yang ada di masyarakat,” ujarnya.
Jika keran diskusi
dan komunikasi dibuka, media dan kelompok agama bisa saling menukar ide dan
saling memahami. Dengan begitu, media dan komunitas tokoh agama bisa
sama-sama melakukan tindakan konkret
bersama untuk memberikan panduan dan pandangan yang komprehensif tentang
isu-isu yang berkaitan agama.
Meski demikian, Bishop Peter Fox dari Gereja Anglikan Papua Niugini
menyatakan, tokoh
agama diminta untuk tidak selalu menyalahkan dan menyudutkan media karena media
pun mempunyai kepentingan tersendiri.
Kelompok agama
harus bisa memahami kepentingan itu.
Karena itulah,
rekomendasi yang muncul dari diskusi itu adalah mengadakan pelatihan untuk
kedua belah pihak—baik media maupun tokoh agama--tentang jurnalistik damai yang lebih fokus pada
persoalan-persoalan hubungan dan kerja sama.
Juru bicara
Depatemen Luar Negeri RI Yuri Thamrin
di dalam diskusi itu menyebutkan, berbagai kegiatan pelatihan seperti itu bisa
diselenggarakan di Yogyakarta Centre yang hingga kini masih didiskusikan bentuk
lembaganya. Selain pelatihan untuk media, kelompok agama juga harus diberi
pelatihan yang sama agar bisa memahami dunia media.
“Kami mengerti
prinsip media bad news is good news.
Dengan
mengerti media, kami berharap akan bisa menarik perhatian media dengan
memberikan informasi dan latar belakang peristiwa yang akurat dan lengkap tanpa
berpihak sehingga berita yang dipublikasikan berimbang. Itulah yang kami
lakukan ketika masalah kartun Nabi Muhammad muncul,” kata Presiden Federasi
Islam Selandia Baru Mohammed Javed Khan.
(LUKI AULIA,--Kompas, 16-03-2006)
Indonesia-Inggris
Bangun Pemahaman
Antara
Islam Dan Barat


Presiden SBY Tony Blair
Foto : Internet
Presien Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana
Menteri Inggris, Tony Blair sepakat
membangun saling pemahaman antara Islam dan Barat. Untuk itu, akan
dibentuk Badan Penasihat Islam
Indonesia-Inggris guna menangkal radikalisme
dan mempromosikan saling
pemahaman dan toleransi.
“Bersama-sama kita
ingin membangun kerja sama untuk mengurangi kesenjangan antara dunia Islam dan non-Islam. Kita sepakat terus
mendorong dan kalau perlu mensponsori dialog antar-iman dan antarbudaya. Saya
dukung keputusan bersama kita membentuk Badan Panasihat Islam Indonesia-Inggris
yang bisa terus-menerus berkomunikasi untuk membangun dunia yang damai, adil, dan sejahtera,” ujar
Presiden Yudhoyono dalam jumpa pers
di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis 30-03-2006).
Mengenai badan
yang dibentuk, Blair berharap
badan itu membuat dialog kedua negara
lebih berstruktur dan membawa pamahaman yang lebih luas, tidak hanya di antara
dua masyarakat yang berbeda iman. “Saya berharap ini menjadi simbol kepada
dunia luar bagaimana kita percaya bahwa masa depan yang didasarkan pada
toleransi dan saling hormat akan mengantar pada kemajuan,” ujarnya.
Saat jumpa pers,
Yudhoyono didampingi Blair yang mengawali
jumpa persnya dengan kata “assamualaikum,. Sebelumnya, kedua pemimpin
itu bertemu empat mata, yang dilanjutkan pertemuan bilateral di Istana Merdeka.
Seusai pertemuan, Yudhoyono dan Blair---yang hanya mengenakan kemeja
putih dan celana panjang hitam---berjalan mengelilingi taman Istana Kepresiden
menuju Kantor Presiden sambil berbincang.
Di Kantor
Presiden, Yudhoyono dan Blair
berdialog dengan lima tokoh Islam Indonesia yang diundang Menteri Sekretaris
Negara sehari sebelumnya. Kelima tokoh itu adalah
1. Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din
Syamsuddin,
2. Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra,
3.
guru besar Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidattullah Nazaruddin
Umar,
4. pemimpin Pondok
Pesantren Da’arut Tauhid Abdullah
Gymnastiar, dan
5.
mantan Menteri Aganma Quraish
Shihab.
6.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyaim Muzaidi yang turut diundang
tidak hadir karena ada acara di Surabaya.
Blair mengatakan, yang lebih perlu dilakukan bersama adalah menciptakan
pemahaman yang lebih luas untuk perdamaian berdasarkan keadilan. “Keadilan bukan
hal yang melulu seperti apa yang kita pikirkan, tetapi juga berdasarkan apa yang orang lain
pikirkan.
Saya kira kita sedang
menuju ke arah itu,” ujar Blair.
Pertemuan dengan
beberapa tokoh Islam dan kunjungan ke Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta Selatan, adalah bagian
dari upaya Blair memahami Islam
lebih baik.
“Saya katakan kepada
para tokoh dalam pertemuan itu, masalahnya adalah Barat dan Islam berjalan
dan berbicara tentang mereka, bukan berbicara dengan mereka.
Kita harus
memastikan bahwa dialog dapat menjadikan kita dapat berbicara
satu sama lain, ujarnya.”Mengenai dialog itu, Presiden mengemukakan,
lima tokoh Islam telah menyampaikan pikiran dan pandangan mereka secara kritis,
yakni menyangkut kebijakan Inggris dan beberapa pesan morel..
Blair terkesima,
Din mengemukakan,
dalam dialog informal dan terbuka, Blair
terkesima tentang adanya kesalahpahaman antara Islam dan Barat. Selama ini
Islam memandang keliru Barat, begitu
juga Barat keliru memandang Islam.
Dengan dialog yang
terus dilakukan, kesalahpahaman diharapkan dapat dikikis sehingga terjadi
saling pemahaman. Kepada Blair,
Din meminta agar dunia Barat mengubah cara pandangnya terhadap Islam. Kalau
selama ini Barat menilai Islam sebagai
musuh dan ancaman, sekarang sudah saatnya menjadikan Islam sebagai mitra
strategis yang potensial. “Untuk kebijakan, kami sampaikan agar Inggris menarik
pasukannya dari Irak, dan serahkan penyelesaian Irak, dan Palestina ke mekanisme PBB,” ujarnya. Mengenai penarikan
pasukan dari Irak, menurut Azyumardi,
Blair pada prinsipnya setuju. Namun, pada saat yang bersamaan Blair mengemukakan perlunya kesiapan PBB dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) menggantikan pasukan Inggris di
Irak.
Azyumardi juga meminta
Inggris bekerja sama dengan Hamas.
Tentang kunjungan
Blair ke Indonesia, menurut Azyumardi,
ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap dipandang penting oleh kekuatan besar
seperti Inggris. Selain sepakat membentuk Badan
Penasihat Islam Indonesia-Inggris, kedua kepala negara itu juga meresmikan
pembentukan Forum Kemitraan Indonesia-Inggris yang diketuai menteri luar negeri kedua negara.
Forum ini
bertujuan mempromosikan dialog strategis mengenai isu-isu bilateral,
multikultural, dan global.
Di depan para
santri dan pengajar Pondok Pesantren Darunnajah, Blair mengatakan, iman Islam
adalah penuh kedamaian, humanis, dan baik.
“Ketika saya
datang ke sekolah ini, bertemu dengan anak-anak muda, mereka belajar hidup baik
dalam keimanan dan dengan rasa keadilan serta pengertian akan orang lain.
Saya pikir ini
yang menjadi perhatian kita saat ini. Karena itu, saya mengucapkan terima kasih
karena telah membuat saya merasa diterima di sini,” ucap Blair.
Selain ke
pesantren, Blair juga menemui
sejumlah pemimpin lembaga swadaya
masyarakat, pemuda, dan wakil pemerintah lokal Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Kepada mereka, Blair berjanji terus
membantu NAD pascabencana
tsunami. Duta Besar Indonesia untuk Inggris Marty Natalegawa menyebutkan,
Pemerintah Indonesia ingin memperbarui dan meningkatkan hubungannya dengan
Pemerintah Inggris pada tingkatan yang lebih tinggi, sesuai dengan kondisi dan
perkembangan masing-masing negara.
(INU/HAR/JOS/BSW/LUK,---Kompas, 31-03-2006).
Belanda,
PM Balkenende ke
Indonesia

Jan Peter Balkenende
Foto : Internet
Juru bicara Deplu
RI Destra Percaya menjelaskan,
agenda utama kunjungan PM Belanda yang tiba di Indonesia hari Jumat ini sekitar
pukul 00.10 antara lain adalah peningkatan
dialog antar-agama. “Soal Papua tidak tertutup kemungkinan untuk
dibicarakan,” katanya. Balkenende
akan mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama, disusul dengan jumpa pers bersama, lalu mengunjungi sebuah makam
Belanda di kawasan Menteng, mengunjungi Madrasah
Pembangunan di Ciputat, dan pertemuan dengan mahasiswa Universitas Islam
Negeri Jakarta di Ciputat. Pada soreh hari PM Belanda bertemu dengan Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Hari Sabtu (8-4-2006)
PM Belanda bertemu dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh serta Aceh
Monitoring Mission di Jakarta, disusul pertemuan bilateral dengan Presiden
Yudhoyono. (OKI,--Kompas, 7-4-2006).
Peradaban Dunia,
Dunia Islam Ingin
Redakan Ketegangan

Muhamad Maftuh Basyuni
Foto : Internet
Cairo,--Dunia Islam ingin meredakan
ketegangan, khususnya yang terjadi dalam ranah politik. Oleh karena itu, kaum Muslim dituntut untuk tidak menonjolkan
perbedaan tetapi mengutamakan persamaan. Menteri Agama RI Muhammad Maftuh Basyuni mengemukakan hal
itu kepada Kompas, Jumat (8-4-2006), disela-sela konferensi tentang “Prolematika Dunia Islam di Era Globalisasi dan Cara penanggulangannya” yang diselenggelarakan Kementerian Waqaf
dan Majelis Tinggi Utusan Islam Mesie selama 6-9 April di Cairo. “Ada dua isu
yang disorot dalam konferensi itu, yaitu isu politik dan ekonomi.
Disadari bahwa dunia Islam sedang mengalami keterpecahan, khususnya dalam rumah politik.
Di Indonesia
sendiri, juga ada berbagai sigmen kekuatan politik Islam,” ujar Basyuni.
Wawasan semangat
mengutamakan kebersamaan dari perbedaan lanjutnya, cukup mendapat penekanan
dalam konferensi itu. Misalnya, antara penganut bazhab Syiah dan Sunni yang
diimbau untuk mengendalikan diri. “Janganlah perbedaan itu ditonjolkan,”
ujarnya.
Tentang usulan
pemimpin Kristen Koptik Mesir di
arena konferensi agar diperkuat lobi Islam di dunia Barat untuk mengurangi
ketegangan hubungan Islam-Barat.
Basyuni mengatakan
inisiatif tersebut perlu dipikirkan dan didukung.
“Pendapat itu
cukup obyektif. Kita tidak boleh mengungkung diri.
Kalau mengisolasi diri, kita akan tertinggal.
Apa yang diinginkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri,
adalah kita punya hubungan baik dengan semua negara, baik negara Barat, China,
dan negara lain,” tutur Menag RI itu.
Isu
Ekonomi
Mengenai masalah
ekonomi Basyuni mengungkapkan,
sempat muncul usulan untuk membentuk pasar bersama Arab dan pasar bersama
Islam. “Usulan itu perlu dirumuskan
lebih lanjut formatnya.
Sejumlah delegasi
dari negara Islam lain sudah menyampaikan dukungannya atas usulan tersebut.
Indonesia sendiri
tentu mendukung usulan itu karena Indonesia ingin mengembangkan dan menunjukkan
kemampuannya di bidang ekonomi. Hanya misalnya, usulan itu sulit dilaksanakan
dalam waktu dekat, karena problema negara-negara Islam hampir sama,” kata
Busyuni.
Menag RI itu juga
mengakui, belum mengetahui apakah usulan tersebut akan dikominasikan ke Liga Arab untuk ide
pasar bersama Arab atau OKI (organisasi
konferensi Islam) untuk ide pasar bersama Islam.
“Kita tunggu
rekomendasi konferensi ini nanti setelah berakhir.” Ungkapnya.
Menurut Basuni,
isu-isu yang diangkat dalam konferensi sangat memiliki korelasi dengan persoalan umat Islam di Indonesia,
karena persoalan yang dihadapi negara Islam lain juga dihadapi Indonesia.
Di Indonesia,
ungkap Basyuni. Prioritas program aksi
yang dilakukan Departemen Agama dalam menanggulangi problematika itu adalah
membenahi pendidikan.
“Pendidikan yang berada dibawah naungan Depag
sebanyak 91,2 persen adalah swasta.
Swasta baru ditangani pemerintah setelah keluar Undang-Undang (UU) Sisdiknas
tahun 2003.
Jadi lanjutnya
selama 58 tahun, pemerintah tidak
memberi perhatian pada mereka.
UU Sisdiknas
menegaskan tidak ada dikotomi antara negeri dan swasta atau antara madrasah dan
sekolah umum.
Atas amanat UU
tersebut, kami ingin meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren,” kata
Basyuni.
Ia menambahkan,
melalui pintu pendidikan itu, problema lain di Indonesia diharapkan bisa
diatasi seperti isu radikalisme,
leberalisme, dan lainnya. (MTH,--Kompas,
9-4-2006).
Pangeran Charles Kagumi Program Hubungan Dialog
Antaragama
|
|
|
![]()
Pangeran Chaeles
Foto : Internet
KESRA-- 5
NOVEMBER 2008:
Pangeran
Charles
mengaku kagum pada program Hubungan Dialog Antaragama yang kini tengah
dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana.
Hal itu diungkapkan Putera Mahkota
Kerajaan Inggris kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan perwakilan dari UGM,
Selasa (4/11), di Keraton Yogyakarta.
Bahkan, menurut Sultan, Pangeran
Charles mengajak Oxford University di Inggris, untuk menjalin kerja sama
dengan UGM dalam mengembangkan program doktor studi agama dan lintas budaya.
"Beliau minta Oxford yang memiliki studi tentang
masalah agama untuk bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada dan
sebagainya dalam mengembangkana program master dan program doktor," kata
Sultan.
Sultan menambahkan, Pangeran Charles juga berencana
mengembangkan program studi Islam dan lingkungan, sebagai salah satu topik
yang pernah disampaikan saat melakkukan dialog denga tokoh agama di Mesjid
Istiqlal Jakarta sebelumnya.
Pangeran
Charles
yang tiba di Keraton Yogyakarta pukul 11.50 WIB diterima oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono X dan GKR Hemas.
Selang beberapa menit berbincang
dengan Raja Yogyakarta tersebut, ia kemudian mengadakan pertemuan dengan
Direktur Eksekutif UGM Djoko Moerdiyanto, Direktur Eksekutif Program Studi
Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM Zainal Abidin Bagir, dan enam mahasiswa
program master dan doktor Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS)
dari tiga universitas, yaitu UGM, UIN, dan UKDW.
Direktur Eksekutif Program Studi
Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM Zainal Abidin Bagir mengatakan dalam
pertemuan tersebut Pangeran Charles
menanyakan banyak hal tentang program CRCS dan ICRS sebagai salah satu bentuk
program studi dialog antaragama yang perkembangannya dinilai baik di
Yogyakarta.
"Pangeran tertarik dangan
dialog antaragama yang sudah berjalan di Yogyakarta, terutama perhatian yang
besar pada hubungan baik antaragama. Beliau sendiri memiliki Center for
Islamic Studies di London, sehingga ia ingin ada kaitan kerja sama yang lebih
erat dengan kita nantinya," kata Zainal.
Ia menambahkan, Pangeran Charles juga mendengar cerita langsung dari enam
mahasiswa yang kini sedang menempuh program master (S2) dan doktor (S3)
terkait dengan alasan mereka tertarik kuliah di program studi ini.
Enam mahasiswa yang bertemu
langsung dengan Pangeran Charles itu di antaranya berasal dari Korea,
Amerika, Flores (NTT), dan Yogyakarta dengan latar belakang agama berbeda.
Pangeran Charles juga menilai
program yang dikembangkan oleh tiga universitas itu sebagai program yang
lebih maju jika dibandingkan dengan program yang ada di universitas lain di
dunia.
"Program studi ini banyak di
universitas lain, namun di UGM ada keragaman yang sangat besar khususnya
program doktor yang merupakan konsorsium dari tiga universitas; UGM, UIN, dan
Universitas Kristen Duta Wacana," ujarnya mengutip pernyataan putra
mahkota kerajaan Inggris.
Usai berdialog, Pangeran Cahrles didampingi Sultan sempat menyaksikan persembahan
tari Golek Menak ciptaan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Selanjutnya, Pangeran Charles melanjutkan
perjalanan ke Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, dan Candi Borobudur,
Magelang, Jawa Tengah. (mo/hr)
|
JK: Konflik di Indonesia Bukan Karena Agama
Jumat, 4 Oktober 2013 02:12 WIB

/Theo Rizky
Ilustrasi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Mantan wakil presiden
Muhammad Jusuf Kalla
menyampaikan dengan beraneka ragam suku dan agama, Indonesia adalah negara yang
kaya budaya sekaligus rawan konflik
horizontal. JK menyebutkan bahwa konflik di Indonesia
senyatanya bukan dilatarbelakangi agama.
“Sejak Indonesia merdeka
ada 15 konflik besar 10
diantaranya disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi dan politik. Namun agama
menjadikan orang-orang yang berkonflik menjadi besar didasari solidaritas
agama,” ujar Wakil Presiden RI 2004-2009 dalam seminar nasional bertajuk
"Revitalisasi Studi Agama dalam Resolusi Keagamaan di Indonesia" di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (3/10/2013).
Pada dasarnya sebagai orang
yang disebut sebagai ahli resolusi konflik, JK memaparkan bagaimana situasi
sebenarnya dalam sebuah konflik. Dia mencontohkan agama dipakai untuk jaminan
masuk surga bagi orang-orang yang berkonflik, seperti yang terjadi di Ambon dan
Poso. Maka, kata JK, yang harus dilakukan adalah membalikkan logika mereka
bahwa orang yang berkonflik justru tidak akan menginjak surge, tapi semua akan
masuk neraka.
Kata JK, yang sangat kejam
ketika terjadi konflik
adalah ketika para preman dilepaskan untuk ikut berperang. Preman-preman yang
diberitahu jalan pintas menuju surga adalah membela saudara mereka dengan
membunuh orang yang dianggap musuh.
“Maka preman bengis, yang
merasa ingin taubat menjadi kejam dalam menghabisi nyawa orang karena surga,”
papar JK.
Namun JK merasa bersyukur konflik di Poso dan Ambon
bisa dipadamkan.
Menurut Ketua Umum Dewan
Masjid Indonesia ini, bila sekarang ini daerah Poso yang terkadang terjadi
pengeboman di pos polisi, itu adalah ulah orang ingin yang memanfaatkan situasi
daerah yang pernah berkonflik tersebut. JK yakin bahwa ini bukan kelompok yang
dulu bertikai.
Oleh karena itu JK
menghimbau bahwa jangan mudah terpancing dengan konflik yang disebut karena
latar belakang agama. Karena, pasti ada sebab lain yang mendasari.
Indonesia adalah negara
paling toleran di dunia. Semua hari raya keagamaan dijadikan hari libur
nasional. Tempat-tempat ibadah juga menyebar di setiap pemukiman. “Karena itu,
marilah membangun damai antar umat.” pungkas JK.
AS kecam
kekerasan agama di Indonesia
25-05-2013

Barack Obama
Sumber : Internet
Jelang rencana
penganugerahan World Statesman dari The Appeal of Conscience
Foundation di New York, Amerika Serikat, untuk Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono atas keberpihakan kepada minoritas, kritik datang dari negara pemberi
penghargaan.
Pemerintah AS, Kamis
(23/5), menaruh perhatian atas meningkatnya serangan kepada kelompok agama
minoritas di Indonesia. Sementara organisasi hak asasi manusia menuduh
Washington meremehkan masalah ini demi menciptakan hubungan yang baik dengan
Jakarta.
Kalangan legislatif AS,
khususnya yang membidangi masalah hukum dan HAM, menyerukan tindakan lebih
tegas dan reformasi hukum guna melindungi seluruh kelompok minoritas. Padahal sebelumnya, Senin
(20/5), Presiden Amerika Serikat Barack Obama terang memuji Indonesia di depan
pemimpin Myanmar, Thein Sein. Obama juga meminta Myanmar mencontoh Indonesia
dalam keberagaman budaya dan agama. “Sangat tak masuk akal kalau Myanmar
bisa melakukan hal kekerasan seperti itu terhadap umat Islam. Di Indonesia saja
umat Buddha yang minoritas bisa hidup berdampingan dengan damai dengan kaum
mayoritas muslim,” katanya.
Namun, dalam pertemuan
Kamis, justru minimnya perlindungan dan makin tegasnya diskriminasi terhadap
penganut Ahmadiyah, Syiah dan Kristen di Indonesia, disoroti AS.
Anggota Komisi Hak Asasi
Manusia di parlemen, Tom Lantos, menyampaikan hal ini dalam dengar pendapat di
Capitol Hill saat menyoroti situasi yang terjadi di Indonesia.
Komisi yang diketuai
politikus Partai Demokrat James P McGovern ini mengutip data Setara Institute,
yang menemukan ada 264 tindak
kekerasan terhadap kelompok agama minoritas pada 2012, atau mengalami kenaikan
dibandingkan 2010 yang mencapai 216
yang dilakukan kelompok Islam radikal.
Pejabat senior Deplu AS Dan
Baer menyatakan serangan-serangan tersebut tidak ditanggapi secara efektif oleh
pemerintah Indonesia. Kondisi ini menodai toleransi keagamaan yang ingin
diwujudkan di Indonesia.
Ia juga merujuk pada
kecenderungan negatif yang terjadi, termasuk penutupan paksa 50 buah gereja tahun 2012 dan
masjid-masjid yang dimiliki Ahmadiyah.
Namun, organisasi Human Rights Watch mengkritik
respons pemerintah AS, dengan menyatakan Washington tidak berani mengakui
secara terbuka tindak kekerasan keagamaan di Indonesia makin memburuk.
“Mobilisasi kelompok Islam
radikal untuk menyerang kelompok agama minoritas meningkat dan mereka seperti
tak tersentuh hukum,” kata John Sifton, direktur advokasi organisasi HAM untuk
Asia dalam dengar pendapat di kongres.
Sebuah laporan tahunan
Deplu AS yang dipublikasikan minggu lalu menyebutkan penghormatan pemerintah
Indonesia terhadap kebebasan beragama tidak mengalami perubahan signifikan
sepanjang 2012.
“Hubungan AS dengan Indonesia
amat baik, namun hubungan dalam bidang hak asasi manusia amat kehilangan
makna,” kata Direktur Advokasi Amnesty International T Kumar.
Ia mendesak pemerintah
Obama agar melakukan tekanan pada Indonesia untuk membebaskan 70 tahanan
politik dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta memublikasikan secara
terbuka kematian aktivis HAM Munir Said Thalib yang diracun arsenik tahun 2004.
Sumber:
Sinar Harapan
Foto:
viva.co.id
12. August 2013, 15:43:02 SGT
Represi Agama di Indonesia
oleh
Benedict Rogers

Benedict Rogers
Sumber : Internet
Menurut dasar negara
Pancasila, Indonesia adalah bangsa yang memiliki sikap toleransi beragama. Lima
agama yang diakui negara–Islam, Katolik,
Protestan, Buddha dan Hindu–dianggap menerima perlindungan hukum dan hak beribadah
yang sama dengan mayoritas Islam. Pancasila adalah ideologi resmi negara:
Anak-anak di seantero wilayah diajarkan untuk mempercayainya sejak Indonesia
meraih kemerdekaan pada 1945. Pancasila pun merupakan mitos.
Meskipun Islam tidak pernah
menjadi agama resmi negara, ajaran Islam radikal bukanlah fenomena baru. Pada
tahun 1945, Piagam Jakarta terlahir. Dengan dokumen tersebut, negara Islam yang
menetapkan syariat Islam dapat terbentuk. Namun, pendiri republik, Presiden
Sukarno, melakukan improvisasi yang membuat Pancasila tetap bertaring. Dalam
satu dasawarsa belakangan, suara Islam radikal menjadi kian lantang dan
agresif. Hasilnya, suara itu mempengaruhi para pengambil kebijakan.
Jumlah serangan terhadap
laku kebebasan beragama kian meningkat dari tahun ke tahun, termasuk di
antaranya aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, pemenjaraan
pemimpin agama, penutupan gereja serta masjid milik pemeluk Ahmadiyah. Institut
Setara, lembaga yang tiap tahun merilis laporan mengenai kebebasan beragama,
mencatat telah terjadi 264 aksi kekerasan pada 2012, naik dari 2011 yang
mencapai 244 kasus, 2010 (216 kasus), dan 2009 (200 kasus).

Agence France-Presse/Getty Images
Pastur Torang Simanjuntak, kiri bawah,
menyampaikan ceramah di dekat reruntuhan Gereja HKBP Taman Sari, Bekasi.
Ada
pihak yang menganggap peristiwa-peristiwa tersebut hanya ada di tingkat lokal
di daerah-daerah konservatif seperti Jawa Barat dan Aceh, provinsi yang
memberlakukan hukum Islam. Faktanya, intoleransi telah menyebar dalam skala
nasional. Dari Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi
Selatan dan Lombok, saya mendengar kisah tentang kekerasan dan kebencian–bukan
saja sejumlah insiden yang terpisah-pisah, melainkan terbentuk pola.
Di
Bekasi, tak jauh dari Jakarta, saya bertemu dengan imam masjid Ahmadiyah.
Masjid itu disegel paksa, tapi sang imam memutuskan untuk tetap tinggal di
dalamnya demi mencegah pihak berwenang atau preman mengambil alih. Ia
mengatakan: “Kami ingin masyarakat internasional tahu tentang apa yang terjadi
di sini. Kami telah coba bernegosiasi dengan pemerintah setempat, kami telah
coba mematuhi pemerintah, tapi kami meminta adanya solidaritas karena peristiwa
di sini ilegal.”
Dari
Bekasi, saya beranjak ke Tasikmalaya, tempat golongan Ahmadiyah mendapat
serangan di tengah malam. Seorang anggota Ahmadiyah berkata: “Biar dunia luar
tahu kalau kami tak lagi bisa merasa aman di rumah kami sendiri. Kami tak lagi
bebas meyakini apa yang kami mau [yakini], untuk hidup normal, karena selalu
ada pihak yang ingin memaksa kami tak lagi mempercayai apa yang kami ingin
percaya.” Seorang perempuan berkata: “Saya tidak merasa aman. Saya hanya
menginginkan satu hal: merasa aman.”
Suara
Ahmadiyah di Indonesia adalah suara kaum Syiah dan Kristen. Saya mengunjungi
para pengungsi Syiah dan gereja yang dibuldoser atau ditutup. Saya juga bertemu
dengan pemeluk pelbagai keyakinan tradisional yang di sekolah dipaksa menganut
salah satu agama resmi pemerintah dan dilarang mencantumkan keyakinan
tradisional mereka dalam KTP.
Saya
mengunjungi Alexander Aan, seorang ateis Sijungjung, Sumatera Barat yang
dipenjara karena keyakinannya. Ia meminta saya menyelundupkan secarik kertas
berisi catatan dan membantunya menyiarkan tulisan itu. “Semoga mendapat
kebaikan dan kebahagiaan,” demikian pembukaan catatan tersebut. “Saya mencintai
seluruh manusia. Saya tidak menerima ajaran yang memisahkan satu kelompok dari kelompok
lain. Mari hidup bersama dengan cinta, berjuang dengan cinta, tanpa kekerasan,
tapi dengan cinta dan akal.”
Ada
pelbagai suara lembut yang datang dari dalam tubuh pemerintah Indonesia dan
merasa cemas dengan arah yang tengah dituju oleh bangsa ini. Namun,
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak melakukan apa-apa dalam
memerangi gelombang intoleransi yang menghantam beberapa waktu belakangan–dan
membuat situasi bertambah buruk.
Sejak menjadi presiden, SBY
telah memperkenalkan sejumlah undang-undang yang melanggar kebebasan beragama
termasuk surat keputusan bersama menteri mengenai pembangunan rumah ibadah dan
surat keputusan yang dikeluarkan pada 2008 yang melarang penyebaran ajaran
Ahmadiyah. Semua undang-undang itu telah dimanfaatkan untuk menutup masjid
Ahmadiyah dan gereja.
Para pemimpin gereja telah
berupaya melawan upaya penutupan itu melalui jalur hukum. Gugatan atas sejumlah
walikota telah kuat. Gereja harus mendapatkan perlindungan Pancasila, dan para
pemimpinnya memiliki surat izin operasi.
Pada dua kasus paling
terkemuka, yakni menyangkut GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi,
pengadilan telah mengeluarkan putusan atas kedua gereja tersebut di semua
tingkatan hingga ke Mahkamah Agung. Namun, para walikota itu tetap melarang
pembukaan gereja tersebut.
Pada Mei lalu, saat para
penganut Syiah dan Ahmadiyah diusir, gereja dihancurkan dan Muslim non-Sunni
dipenjara, SBY menerima penghargaan untuk kebebasan beragama dari Appeal of
Conscience Foundation di New York. Penghargaan itu menggambarkan bagaimana
pihak luar masih tidak menaruh peduli atas persekongkolan pemerintah dengan
golongan garis keras.
Tantangan bagi presiden
mendatang Indonesia yang terpilih pada Pemilihan Umum Presiden 2014 adalah
bagaimana mengekang kaum Islamis serta mempertahankan pluralisme di Indonesia.
Masyarakat-masyarakat agama yang berada dalam kondisi rapuh harus dilindungi,
hukum yang timpang harus dicabut, serta pelaku kekerasan dan kebencian harus
diadili. Masyarakat internasional harus meminta Jakarta bertanggung jawab atas
perubahan yang terjadi.
Taruhan untuk
mempertahankan mitos Pancasila terlalu besar. Dunia menengok kepada Indonesia
untuk menjadi model dunia Islam yang mempraktikkan demokrasi pluralis yang
telah lama dijanjikan.
–Benedict Rogers adalah
ketua tim Asia Timur pada organisasi internasional hak asasi manusia Christian
Solidarity Worldwide yang berbasis di London.
Penulis :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.