alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 11 Januari 2015

MEDIA MASSA TENTANG TOLERANSI BERAGAMA DAN DIALOG ISLAM DENGAN DUNIA BARAT

MEDIA MASSA TENTANG  TOLERANSI BERAGAMA DAN
DIALOG ISLAM DENGAN DUNIA BARAT

http ://www.goglele.com/imagre


Gambar : Para Pemuka Agama di Indonesia. (Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh).
http ://www.goglele.com/imagre
Pengantar
Berikut ini kami sajikan berbagai pendapat para tokoh-tokoh dunia  tentang pentingnya toleransi beragama dan menciptakan kerukunan beragama dalam masyarakat yang pluralisme  dewasa ini. Oleh karena itu kami mengutip berbagai pendapat  para tokoh-tokoh  tersebut  yang bersumber dari berbagai media massa untuk direnungkan bersama sebagai berikut :

Keragaman Dan Manfaatkan  Perbedaan & Sinergi

Image of Sean Covey
Sean Covey
Foto : Internet

Kalau kita dengar keragaman, biasanya kita teringat akan perbedaan ras serta jenis kelamin. Tetapi sebenarnya lebih dari itu, termasuk perbedaan dalam ciri-ciri fisik, pakaian, bahasa, kekayaan, keluarga, kepercayaan agama, gaya hidup, pendidikan, minat, ketrampilan, usia, gaya, dan seterusnya.
Dunia cepat menjadi tempat bercampurnya kebudayaan, ras, agama, serta ide-ide yang berbeda-beda. Karena keragaman di sekeliling kita semakin meningkat, kita harus mengambil keputusan, bagaimana kita akan menghadapinya.
Ada tiga pendekatan yang mungkin kita ambil :
Tingkat 1 : Hindari keragaman.
Tingkat 2 : Tolerir keragaman atau
Tingkat 3 : Manfaatkan keragaman.

1.    Profil Tukang Menghindar : Tukang menghindar itu takut (terkadang ketakutan setengah mati) akan perbedaan. Mereka sangat terganggu kalau ada yang warna kulitnya beda, beribadah kepala Allah yang beda, atau mengenakan jeans yang mereknya beda, karena mereka yakin cara hidup merekalah yang “terbaik,” “benar,” atau “satu-satunya.” Mereka suka mengolok mereka-mereka yang beda, sambil merasa sedang menyelamatkan dunia dari semacam wabah. Mereka takkan ragu-ragu mengungkapkannya secara fisik kalau  perlu, dan sering  kali ikut-ikutan geng, klik, atau anti-kelompok karena ada kekuatan dalam jumlah besar.

2.    Profil Tukang Mentolerir : Tukang mentolerir percaya bahwa semua orang punya hak untuk beda. Mereka tidak menghindari keragaman, tertapi juga tidak merangkulnya. Moto mereka adalah : “Urus dirimu sendiri dan aku akan mengurus diriku sendiri. Jangan ganggu aku dan aku juga tak akan mengganggu kamu”. Walaupun mereka bisa dekat, mereka takkan pernah mewujudkan sinergi karena mereka pandang perbedaan sebagai hambatan, bukan sebagai potensi kekuatan. Mereka tidak tahu apa yang mereka lewatkan.

3.    Profil Tukang Memanfaatkan : Tukang memanfaatkan menghargai perbedaan. Mereka memandang perbedaan-perbedaan sebagai keuntungan, bukan kelemahan. Mereka menemukan bahwa dua orang yang cara berpikirnya beda, bisa mencapai lebih banyak  ketimbang dua orang yang cara berpikirnya sama. Mereka sadar bahwa memanfaatkan perbedaan-perbedaan itu, seperti menjadi pendukung Demokrat atau Republik (AS), melainkan sekedar menghargainya. Di mata mereka, Keragaman = Percik Kreatif = Peluang.
Ingat-ingatlah kelompok yang punya keyakinan agama yang berbeda dengan kita. Apakah kita hargai keyakinan mereka atau anggap mereka sebagai orang aneh?

Hambatan untuk Memanfaatkan
Perbedaan-Perbedaan & Sinergi

Walaupun banyak, ada tiga hambatan utama dalam mewujudkan sinergi, yakni ketidaktahuan, klik, dan prasangka.
1.    Ketidaktahuan : Ketidaktahuan artinya kita tidak tahu apa-apa. Kita tidak tahu apa yang diyakini orang lain, bagaimana perasaan mereka, atau apa yang telah dialami.
2.    Prasangka : Pernakah kita merasa dijelek-jelekkan, dicap, atau dihakimi oleh seseorang karena warna kulit berbeda, logat kita terlalu kental, dan kita tinggal di tempat yang keliru? Kita semua yang pernakah dan memuakkan rasanya kan? Walaupun kita diciptakan sama, sayangnya, kita tidak diperlakukan sama. Adalah fakta menyedihkan bahwa kaum minoritas dari segala jenis, sering kali harus menghadapi hambatan tambahan dalam hidupnya karena prasangka begitu banyak orang. Rasisme adalah salah satu masalah dunia yang paling kuno.
3.    Klik : Ingin bergaul sama orang-orang yang kamu sukai, tidak ada salahnya; kelompok teman-teman kamu begitu ekskulusif sehingga mulai menolak siapapun yang tidak seperti mereka, baru jadi masalah. Sulit menghargai perbedaan dalam klik yang tertutup. Mereka yang bukan anggota klik merasa seperti warga klas dua, dan mereka yang anggota klik sering kali sok. Tetapi memasuki suatu klik tidak sulit. Kamu tinggal menghapus identitasmu sendiri, berbaur, dan menjadi bagian dari klik tersebut.
Sinergi : Adalah,
1.    Memafaatkan perbedaan;
2.    Kerjasama;
3.    Keterbukaan pikiran;
4.    Menemukan cara-cara baru yang lebih baik.


Dan Sinergi bukanlah :
1.    Mentolerir perbedaan;
2.    Bekerja masing-masing secara mandiri;
3.    Berpikir kamu selalu benar;
4.    Kompromi dengan yang sudah ada.
Sinergi ada dimana-mana di alam. Pohon sequoia (yang tingginya bisa mencapai 300 kaki atau lebih) tumbuh berumpun, dengan akar-akar yang saling bertautan. Tanpa satu sama lain, pohon-pohon ini akan tumbang  begitu dilanda badai.
Banyak tumbuhan dan hewan hidup bersama dalam hubungan simbiosis.
Kalau kamu pernah melihat foto seekor burung kecil makan di punggung seekor badak, kamu telah melihat sinegi.
Masing-masing memetik manfaat ;
·         Burungnya dapat makan dari kutu-kutu yang ada, dan
·         punggung badaknya jadi bersih.
Sinegi bukanlah barang baru. Kalau kamu pernah bekerja dalam proyek kelompok, pasti kamu pernah merasakannya. Kalau kamu pernah jadi anggota tim, kamu pernah merasakannya.
Sebuah kelompok band yang baik adalah sinergi.
Bukan saja gitar, drum, atau saxophone, atau vokalis, mereka semualah yang menghasilkan “warna suaranya”.
Masing-masing anggota band membawakan kekuatannya untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik ketimbang kalau sendirian.
Tak ada instrumen yang lebih penting dari yang lainnya, hanya berbeda saja.
Sendirian, begitu sedikit yang bisa kita perbuat;  bersama-sama, begitu banyak yang bisa kita perbuat. (Helen Keller).
Pernakah kamu melihat sekawan unggas terbang menuju ke selatan untuk menghadapi musin dingin, membentuk huruf V atau seperti ujung anak panah?

Para ilmuan telah menemukan sesuatu yang menakjubkan dalam cara mereka terbang dengan formasi V itu;
1.    Dengan terbang dalam formasi huruf V, seluruh kawanan itu bisa terbang 71 persen lebih jauh ketimbang kalau masing-masing burung terbang sendirian. Ketika seekor unggas mengepakkan sayapnya, terciptalah arus angin bagi unggas berikutnya.
2.    Kalau unggas yang paling depan letih, ia akan pindah ke belakang dan membiarkan unggas lainnya yang memimpin.
3.    Unggas-unggas yang di belakang bersuara untuk memberikan semangat kepada yang di depan.
4.    Setiap kali seekor unggas ke luar dari formasinya, ia langsung merasakan penolakan terbang sendirian dan segera kembali ke formasinya.
5.    Akhirnya, kalau salah satu unggas ini sakit atau terluka atau kepayahan dan ke luar dari formasinya, unggas lainnya akan mengikutinya turun untuk melindungi serta menolongnya. Mereka akan menunggui unggas yang sakit/kelelahan hingga sembuh/kuat kembali ataupun mati,  lalu bergabung dengan formasi baru atau menciptakan formasi sendiri untuk menyusul kelompok yang terdahulu. Benar-benar cerdas unggas-unggas itu.
Dengan membagi arus udara yang tercipta karena kepakan sayapnya, bergantian memimpin, memberikan dorongan kepada yang di depan, tetap dalam formasinya, dan menjaga  yang terluka, mereka mencapai jauh lebih banyak ketimbang kalau terbang sendirian. Demikian alam mengajarkan kita tentang kebersamaan.
Intinya Sinegi tercapai kalau dua orang atau lebih bekerjasama untuk menciptakan solusi yang lebih baik ketimbang kalau sendirian.  Bukannya jalanmu atau jalan saya, melainkan jalan  yang lebih baik,”jalan yang lebih tinggi”.
Belajar mewujudkan sinergi adalah seperti belajar membentuk formasi V dengan orang lain ketimbang berusaha menempuh perjalanan hidup sendiri. Kamu akan takjub betapa lebih cepat dan lebih jauh kamu bisa terbang!

Menemukan Jalan Yang Tinggi

Setelah kamu yakin bahwa perbedaan itu kekuatan dan bukan kelemahan, dan setelah kamu berkomitmen untuk setidaknya mencoba memanfaatkan perbedaan, kamu siap menemukan “Jalan yang Tinggi”.
Definisi penganut agama Budha tentang Jalan Tengah bukanlah berarti kompromi; itu artinya “lebih tinggi, seperti puncak sebuah segitiga.”
Sinergi adalah lebih dari sekedar kompromi atau kerjasama.
Kompromi adalah 1 + 1 = 1,5.
Kerjasama adalah 1 +1 = 2.
Sinegi adalah 1 + 1 = 3. atau lebih.
Sinergi adalah kerjasama yang kreatif, dengan penekanan kata kreatif.
Seluruhnya lebih besar dari pada jumlah bagian-bagiannya.
Para pembangun tahu hal ini.
·         Kalau sebuah balok, dengan ukuran 2” X 4” bisa menopang 607 pon, maka dua buah balok  seharusnya dapat menopang  2 X 607 pon = 1.214 pon beban, Begitu kan?
·         Sebenarnya, dua buah balok, dengan ukuran 2” X 4”  bisa menopang 1.821 pon beban.
·         Kalau kamu pakukan jadi satu, dua buah balok ukuran 2” X 4”  bisa menopang  4.878 pon.
·         Dan tiga balok,  ukuran 2” X 4” yang dipaku jadi satu, bisa menopang 8.481 pon beban.

Musisi juga tahu.
Mereka tahu bahwa kalau nada C dan nada G dibunyikan berbarengan, akan terdengar nada ketiga, atau nada E.
Menemukan “Jalan yang Tinggi” selalu menghasilkan lebih banyak seperti dikemukan Laney.
Sinergi terjadi ketika para pendiri Amerika Serikat membentuk struktur pemerintahannya.
1.      William Paterson mengusulkan Rencana New Jersey, yang mengatakan bahwa negara-negara bagian harus diwakili secara sama dalam pemerintahan, terlepas dari besarnya populasi. Rencana ini membela negara-negara bagian yang lebih kecil.
2.      James Madison punya ide lain, yang dikenal sebagai Rencana Virginia, yang menyatakan bahwa negara-negara bagian dengan populasi lebih besar harus diwakili lebih banyak.  Rencana ini membela negara-negara bagian yang lebih besar.
Setelah beberapa minggu berdebat, mereka sampai kepada keputusan yang memuaskan semua pihak.
Mereka sepakat untuk memiliki dua cabang Kongres.
Di satu cabangnya, yaitu Senat, masing-masing negara bagian akan diwakili oleh dua orang, terlepas dari besarnya populasi.
Di cabang lainnya, yaitu Perwakilan Rakyat, masing-masing negara bagian akan diwakili menurut besarnya populasi.
Walaupun disebut Kompromi Besar, keputusan terkenal ini sebenarnya bisa disebut Sinergi Besar, karena ternyata lebih baik dari pada masing-masing usulan mereka yang pertama..

Lima Langkah Mewujudkan Sinergi
Rencana Tindakan,
1.    Definisikan Masalah atau peluangnya.
2.    Jalan Mereka : Berusaha untuk memahami terlebih dahulu ide-ide orang lain.
3.    Jalan Saya : Berusaha untuk dipahami dengan mengutaran ide-idemu.
4.    Urun Rembuk : Menciptakan kemungkinan dan ide-ide baru.
5.    Jalan yang Tinggi : Cari solusi terbaik.

Kerjasama dan Sinergi

Tim-Tim yang hebat biasanya terdiri dari lima tipe orang atau lebih, di mana masing-masing pemain memainkan peran yang berbeda-beda tetapi penting.
1.    Pekerja giat : Pasti dan mantab, terus bertekun hingga pekerjaannya selesai.
2.    Pengikut : Mereka sangat mendukung terhadap pemimpin. Kalau mereka mendengar ide hebat, mereka bisa  segera melaksanakannya.
3.    Inovator : Mereka adalah orang-orang kreatif, yang banyak ide. Merekalah yang memberikan percik semangat.
4.    Yang menjaga keharmonisan : Mereka menyediakan persatuan dan dukungan dan adalah pewujud sinergi yang hebat sementara mereka bekerja dengan orang lain dan mendorong kerjasama
5.    Tukang pamer : Menyenangkan untuk diajak bekerja sama, tetapi bisa menyusahkan kadang-kadang. Mereka sering kali menambah bumbu dan momentum yang diperlukan untuk membawakan sukses tim secara keseluruhan.
Kerjasama yang baik adalah seperti musik yang baik.
Semua suara dari instrumen musiknya terdengar berbarengan, tetapi tidak saling bersaing. Secara individual, instrumen-instrumen serta suara-suaranya memperdengarkan suara yang berbeda-beda, memainkan nada-nada yang  berbeda, berhenti pada saat-saat yang berbeda; namun semuanya berbaur menjadi satu dan menciptakan suara yang sama sekali baru. Itulah sinergi.
Demikianlah memanfaatkan keragaman dan bukan menghindari perbedaan. (Sumber : SEAN COVEY, The 7 Habits of Highly Effective Teens, Binarupa Aksara, Jarkarta, 2001, hal.260-278).

Kebebasan Beragama,
Pluralisme, Kepentingan Semua Agama

M. Dawam Rahardjo, Peraih Penghargaan Achmad Bakrie Award Tahun 2012
     M.Dawam Rahardjo
     Foto : Internet

Adanya pengakuan pluralisme di Indonesia menjadi faktor yang penting untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa pluralisme, setiap agama saling menklaim kebenaran dan jalan keselamatan satu-satunya. Implikasi lebih lanjut, akan terjadi saling menyalahkan dan akan terjadi gontok-gontokan di antara pemeluk agama yang berbeda.
Hal ini disampaikan Dawam Rahardjo dalam seminar Agama dan Demokrasi : Mencari Solusi Bersama Masalah Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” di Jakarta, Kamis (2-2-2006).
Seminar yang diselenggarakan oleh Indonesia Conference on Religion and Peace ini juga menghadirkan Koordinator Kontras Usman Hamid sebagai pembicara.
Pluralisme merupakan kepentingan seluruh umat beragama.
Bukan dilatarbelakangi kepentingan umat Kristen di Barat, sebagaimana dituduhkan kelompok pendukung fatwa MUI.
Namun justru keluarnya fatwa  MUI mengenai pengharaman liberalisme, sekulerisme. pluralisme itu telah membuat Indonesia teracam konflik dan perpecahan,” ujar Dawam.

Menurut Dawam, pluralisme agama yang diharamkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama-sama dengan multikulturalisme sebenarnya sudah lama dikenal dalam kebudayaan Islam sejak zaman klasik.
Sejak awal penyebarannya, kaum Muslim sudah membentuk sebuah dunia yang kosmopotitan. “Dalam perjumpaannya dengan budaya–budaya lokal, seperti Mesir, Maghribi, Persia, India, Turki, Asia Tengah, dan Cina, penguasa-penguasa Muslim tidak memusnakan kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama  lokal hingga bahkan merengkuhnya sehingga terbentuk Islam yang warna-warni,” ujarnya. Dunia Islam, menurut Dawam, sejak perkembangannya sudah merupakan pluralitas.
Dalam menghadapi pluralitas itu, dunia Islam telah mengembangkan pluralisme.
Karena itu, maka dalam dunia Islam terdapat berbagai kultur dan subkultur yang membentuk kesatuan pelangi Islam.
Usman yang melihat dari sisi hukum mengatakan peraturan yang ada di Indonesia sebenarnya sudah memberikan perlindungan pada agama.
Kebebasan beragama sudah dijamin meskipun dalam praktiknya memang mempunyai persoalan.
“Negara harusnya tidak ikut campur dalam urusan privat, seperti agama.
Namun, UU kita telah membuat kepolisian masuk dalam hubungan antar-agama,’ ujarnya.
Menurut Usman, penghinaan terhadap agama yang dilakukan sebuah golongan terhadap golongan lain juga sudah ada sanksinya.
Hanya saja, terkadang masih ada kontradiksi antara sudut pandang menurut hukum dan sudut pandang menurut masyarakat..
“Seperti peristiwa yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyah yang diserang, namun mereka justru yang dipersalahkan. Sementara pihak penyerang tidak mendapatkan sanksi,” ujarnya. (MAM,--Kompas, 4-2-2006).

Mengadili Keyakinan Agama

Komaruddin Hidayat
Foto : Internet

Semua umat beragama harus siap menghadapi kenyataan munculnya faham dan keyakinan baru yang berbeda atau keluar dari pemahaman yang telah mapan yang dianut oleh mayoritas. Kalaupun tidak setuju, sebaiknya dihindari anarkis  karena hal itu lebih menunjukkan defisit moral dan  ilmu pengetahuan,  dalam meresponi dinamika pemikiran yang semakin sulit dikendalikan.
Dibanding dua agama besar lainnya, yaitu Hindu dan Kristen, varian perilaku dan kelompok  faham keberagamaan dalam Islam tidaklah sebanyak mereka.
Banyak pelajaran yang bisa ditarik, khususnya dari pengalaman agama Kristen, mengapa dan bagaimana sekte-sekte agama bermunculan serta faktor apa saja yang terlibat di dalamnya.
Sulit disepelekan, faktor ekonomi, pendidikan, politik, dan psikologis selalu mengambil peran dalam setiap pergolakan, khususnya dari pengalaman agama Kristen, mengapa dan bagaimana sekte-sekte agama bermunculan serta faktor apa saja yang terlibat di dalamnya dan konflik keagamaan. Ribut-ribut seputar kasus
·         Ahmadiyah, shalat dua bahasa di Jatim,
·         kelompok Madi di Palu, dan belum lama ini,
·         Lia “Komunitas Eden”, Aminuddin,
·         dan nantinya entah kelompok apa lagi  mungkin sekali akan bermunculan di Indonesia.
Ketika realitas budaya semakin plural dan perjumpaan antar faham agama serta pendukungnya semakin intens, maka keragaman dan penyimpangan faham dari arus utama (mainsteam) sulit dielakkan.

Jadi Telanjang
Dialog, benturan, dan tawaran faham keagamaan yang tampil di dunia internet jauh lebih meriah dan tajam ketimbang yang dibayangkan masyarakat selama ini. Hanya saja yang mampu mengakses internet untuk saat ini masih sangat terbatas. Tetapi, ketika internet semakin meluas, dan siaran televisi lintas benua juga mudah ditonton, apa yang disebut penyimpangan dan serangan terhadap sebuah agama menjadi telanjang di depan mata.  Kalau gambaran di atas sudah terjadi, bagaimana akan menyikapi?
Rasanya kemarahan hanya akan membuang energi, sementara perangkat hukum kita juga tidak mampu menyelesaikan.
Apakah perlu kita meniru Arab Saudi yang mengontrol saluran televisi? Tetapi benarkah efektif?

Apa yang diadili?
Sungguh  sulit mengadili sebuah keyakinan. Namun, untuk menilai apakah pendapat dan perilaku seseorang sejalan ataukah tidak dengan ajaran dan tradisi agama yang mapan dan dijaga oleh para ulama serta umatnya selama ini, tentu saja mudah dilakukan. Setiap agama memiliki beberapa dimensi pokok, yaitu
·         doktrin keselamatan,
·         ketuhanan,
·         ritual, dan
·         etika/hukum sosial.
Doktrin yang paling fundamental  adalah konsep-konsep kehidupan setelah mati (eskatologi) dan keselamatan (salvation) di hadapan mahkamah Tuhan.
Perangkat hukum, ritual, dan etika ke semuanya bersumber dan mengacu kepada dua doktrin utama tadi. Menyangkut keyakinan agama yang mengakar pada hati dan pikiran yang terbentuk oleh serangkaian pembelajaran dan pengalaman hidup, sungguh tidak mudah untuk ditaklukan dan diadili.
Namun tidak berarti seseorang tidak bisa berubah keyakinan agamanya (konversi).
Oleh karena itu, jika kebenaran agama semata berdasarkan keyakinan-bisa jadi berdasarkan kitab suci dan pencarian makna hidup-sudah pasti kebenaran dan agama selalu bersifat plural dan tidak bisa diseragamkan.
Setiap pemeluk agama akan memandang dirinya sebagai titik terdekat dan jalan pintas meraih keselamatan Tuhan.
Orang lain (the athers, outsiders) bagaikan domba-domba sesat atau kelompok kafir yang harus diselamatkan. Karena keyakinan sulit ditaklukan dan diverifikasi sebagaimana dalil ilmu/sains, maka penerimaan terhadap kebenaran agama tidak se-universal kebenaran sains.
Siapa pun orangnya akan menerima kehadiran teknologi mobile-phone atau komputer, misalnya, tetapi kalau sudah menyangkut agama, maka masyarakat akan segera terpilah-pilah.
Bahkan, mobile-phone bisa saja  digunakan untuk pemicu meledakkan bom untuk menyerang yang lain, dengan dalil berjuang membasmi musuh-musuh Tuhan.
Jadi ketika sebuah keyakinan melahirkan lembaga dan penyebaran serta gerakan sosial keagamaan, mau tak mau mesti berbenturan dengan kelompok lain.
Jika dalam internal umat agama muncul pemahaman yang dianggap menyimpang, biasanya reaksi terhadap kelompok baru ini jauh lebih keras ketimbang terhadap pemeluk lain.

Alasannya mungkin sederhana saja. Kelompok agama lain keberadaannya dilindungi  hukum dan terang-terang sebagai the others.
Sedangkan gerakan semacam Ahmadiyah dan Lia Aminuddin serta kelompok sejenis dinilai menodai serta menyesatkan faham dan keyakinan mayoritas yang telah dijaga dan dihormati selama ini.
 Mereka dipandang sebagai suatu pelecehan dan penodaan agama serta menimbulkan keresahan masyarakat sehingga bisa dijerat dengan pasal KUHP.
Tetapi menjerat  dengan dalil meresahkan masyarakat selalu mengandung problem, mengingat  ukurannya bisa subyektif.
Dibanding gerakan Lia Aminuddin, tentu saja yang jauh meresahkan dan menghancurkan masyarakat adalah tindakan para koruptor dan pengedar narkoba.

Sayangnya reaksi umat beragama dan ulama terhadap mereka tidak sekeras ketika  menghadapi Ahmadiyah dan Lia Aminuddin.
Di abad pertengahan, pernah ada seorang musafir penganut  faham Syiah yang terpaksa harus bermalam di perkampungan Sunni karena  tidak mungkin meneruskan perjalanan di malam hari.
Waktu itu dua kelompok ini saling bermusuhan.
 Ketika minta izin untuk bertamu dan menyatakan diri menumpang bermalam, tuan  rumah bertanya, apa agamanya.
Tamu tadi menjawab; “Saya penganut ahli kitab.” Maka, tuan rumah melayaninya dengan sangat baik, dengan keyakinan bahwa tamunya, adalah orang Nasrani yang menurut Al Quran, wajib dilindungi.

Tamu yang Syiah tadi, sengaja setengah berbohong mengaku ahli kitab demi keamanan dan keselamatan diri.
Dalam hati dia berkata orang Muslim pun sesungguhnya juga penganut ahli kitab, yaitu Kitab Al Quran.
Kalau saja memberi tahu dirinya Syiah, mungkin ia akan diusir. Demikianlah, konflik dan permusuhan internal umat agama memang sudah terjadi sejak dulu.
Terlebih lagi kalau seseorang di pandang telah menodai agama  (Islam) semacam Salman Rusydi, Lia Amiruddin, ataupun Ahmadiyah, sejauh ini yang lebih mengemuka  adalah bahasa permusuhan  dan penghakiman.
Di sini persoalan eskatologis,  penghormatan, dan pemurnian tradisi  agama serta hukum negara bercampur baur.
 Baik yang mengadili maupun yang diadili masing-masing merasa benar, namun dengan sudut pandang dan keyakinan yang berbeda.
Yang repot kalau sikap ini menjadi tirani dan anarkis terhadap perbedaan.  Namun bagi mereka yang merasa menemukan kebenaran  dan agama baru, harus siap dengan segala resikonya, karena kita hidup  tidak sendirian di padang pasir.

Kebudayaan hibrida
Ke depan semakin sulit dielakkan munculnya kebudayaan hibrida, bersama dengan proses globalisasi dan menguatnya kebebasan individu.
 Pada rana budaya, pertemuan dan penetrasi budaya asing berlangsung sangat intens yang hal ini juga akan merambah ke wilayah pikiran  dan prilaku keagamaan. 
Karena setiap ajaran agama  memiliki nilai-nilai kemanusiaan universal , maka pada aspek ini  semua agama bisa bersanding dan bahkan melebur.  Begitu pula dalam upaya penegakan hukum  dan memberantas korupsi. Bahkan negara Singapura dan China yang jarang menyebut agama, hukuman terhadap pengedar narkoba dan korupsi lebih tegas  dibandingkan dengan Indonesia.
Ibarat rumah besar dengan halaman yang amat luas, pintu dan jendela  masyarakat pemeluk agama selalu terbuka  bagi masuknya  pengaruh asing. Maka tugas ulama untuk menjaga tradisi keagamaan  semakin berat.
Tanpa persiapan moral dan intelektual yang kuat, umat  beragama akan  lelah menghadapi munculnya pikiran-pikiran baru yang akan bermunculan di masa depan.
Kecuali kita memberi kesempatan pada semua pikiran, idiologi, dan agama untuk bersaing dan berdialog secara damai dan cerdas di panggung sejarah sehingga terjadi seleksi alamia, yang benar akan bertahan, yang palsu akan ditinggal pemeluknya, (KOMARUDDIN HIDAYAT, Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta, Kompas, 03-01-2006).
  
Keagamaan, Utamakan Kemanusiaan
Dalam Hidup Beragama

Abdurrahman Wahit
Foto : Internet

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan, hidup bersama harus mengutamakan kemanusiaan. “Karena agama untuk manusia, bukan untuk siap-siapa. Tidak usah cari yang paling benar. Yang penting bagaimana bersikap memanusiakan agama,” katanya dalam Orasi Awal Tahun Gus Dur “Nyejegake Sakaguru  Nusantara” di Pagelaran Keraton Surakarta Hadiningrat, Minggu.
Ungkapannya ini terkait dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia yang memprihatinkan dan terjadinya berbagai konflik di beberapa daerah. Konflik di Palu, Sulawesi Tengah, misalnya, menurut Gus Dur, bukanlah perang agama, melainkan perebutan lahan pertanian dan persaingan jabatan antara pejabat pemerintah lokal dan pusat.
“Beberapa waktu lalu ada pendeta, pastor, dan kiai dari Palu datang bertemu saya. Apa yang terjadi di Palu bukan pertentangan antar agama, tetapi rebutan lahan pertanian dan pangkat,” paparnya.
Setiap pihak perlu menyadari perbedaan dan keterbatasan masing-masing. Jika tidak, ini akan menjadi pangkal perpecahan yang berujung pada keruntuhan bangsa.
 “Bahaya yang paling besar mengancam kita  adalah runtuh karena tercerai-berai. Elemen penting soko guru kehidupan sebagai bangsa mulai menghadapi ancaman sehingga patah-patah,” katanya. Kondisi ini, antara lain, disebabkan oleh sikap arogansi dan pemecahan masalah yang kurang tepat, seperti kasus terorisme.
“Beberapa hari lalu saya didatangi George Soros. Di hadapan para agamawan dia berkata untuk menghadapi terorisme tidak tepat dengan menggunakan senjata, karena kita lalu melakukan hal yang sama dengan teroris.
Soros setuju dengan bangsa Indonesia untuk menggunakan cara damai, persuasif,” katanya. (EKI,--Kompas, 05-01-2006).
  
Anti Kekerasan, Ajarkan Melalui
Pendidikan Multikultural
Djohan Effendi
Foto : Internet

Praktik kekerasan dengan mengatasnamakan agama—dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme---yang akhir-akhir ini marak di Tanah Air, tak lepas dari persoalan identitas murni yang makin kabur di era globalisasi.
Untuk mengatasinya, perlu sosialisasi ajaran antikekerasan melalui pendidikan multikultural.
Tradisi keagamaan diakui memang berkaitan dengan benih-benih kekerasan, bahkan peperangan melalui simbul, teks dan para pemimpin keagamaan. Namun disisi lain tradisi keagamaan juga mengajarkan semangat antikekerasan, perdamaian, dan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.
“Sayang, tradisi kekerasan saat ini justru lebih dominan dalam konteks keberagaman dunia,” kata Direktur Konferensi Indonesia bagi Agama dan Perdamaian (Indonesian Conference on Religion and Pease) Djohan Effendi, dalam bedah buku “Lebih Tajam dari Pedang : Refleksi Agama-agama tentang Paradoks Kekerasan,” Sabtu (04-02-2006), di Jakarta. Menurut Djohan, kebangkitan agama-agama muncul untuk membendung globalisasi, sehingga yang terjadi kembali pada ajaran agama yang puritan.. Kembali ke teks tanpa melihat masalah yang kontekstual.

Berkutut ke ritual

Hal ini diperparah oleh praktik pengajaran agama formal dan nonformal yang lebih  banyak berkutat pada proses ritual, jauh dari praktik riil dalam kehidupan.
Fenomena fundamentalisme agama justru tidak tampak pada kaum tradisional yang menjalankan agama lebih lentur dan terbiasa dengan perbedaan pendapat.
 Untuk itu, perlu penanaman ajaran kekerasan melalui pendidikan multikultural di sejumlah sekolah. Metode pendidikan diterapkan dengan mengajarkan bagaimana menghadapi orang lain.
“Jadi tidak dikhususkan pada ajaran agama tertentu, melainkan pada etika,”ujarnya.
Konsultan Resolusi Konflik untuk Papua, Aceh, dan Ambon, Emmy Sahertian menambahkan, konflik terjadi lantaran para tokoh agama kehilangan modul bagaimana hidup dalam negara pluralistik, tetapi tafsir agamanya sangat monolitik.
 “Manusia seharusnya diajarkan berperang dengan dirinya sendiri  untuk antiperang, agar tidak hidup dalam rasa cemburu di tengah ketatnya kompitisi kapitalis,” ujarnya.  Penyelesaian konflik di sejumlah tempat seperti Poso dan Maluku justru melalui dialog dengan pendekatan yang antroposentris, manusia yang berkuasa sebagai pusat.  “Penyelesaian konflik seharunya dikembangkan dengan pendekatan dialog  ekosentris, yakni babagaimana semua orang duduk bersama dengan menanggalkan entitas politiknya dan jadi sesama manusia,” kata Emmy.
Daniel L Smith Chritopher, dalam bukunya “Lebih Tajam dari Pedang,” menyoroti paradoks kekerasan berdasarkan refleksi dari berbagai agama. Antikekerasan sebagai sikap tidak sekedar menolak terlibat berbagai kegiatan yang dapat menyebabkan kematian, melainkan memperjuangkan terciptanya keadaan adil, hormat, dan komitmen bersama untuk mengoreksi keadaan.
Sayang ajaran agama beserta tradisinya sering dipakai untuk membenarkan tindakan kekerasan, termasuk perang, dalam bungkus demi terciptanya perdamaian.
Agama juga kerap ditunggangi berbagai kepentingan non-agama, baik sosial, politik, dan ekonomi. Padahal tradisi tiap agama dapat menanggulangi racun kebencian sebagai akar dari kekerasan. (EVY—Kompas, 07-02-2006).

Vatikan Tentang Kartun, Jangan Serang Agama

Paus Vatikan
Foto : Internet

Vatikan City, Sabtu---Vatikan memberikan pernyataan tentang penyebarluasan kartun bernada satire tentang Nabi Muhammad SAW yang disebaluaskan beberapa media Eropa dan sejumlah negara lainnya.
Vatikan mengatakan, kebebasan berekspresi tidak berarti bebas menyerang agama atau kepercayaan seseorang.
Vatikan mengatakan pembuatan dan penyebarluaskan kartun itu adalah sebuah tindakan provokasi yang sama sekali tidak bisa diterima.
“Di dalam hak atau kebebasan untuk menyatakan ekspresi dan pemikiran tidaklah mencakup kebebasan yang  menyakiti para penganut agama,” demikian pernyataan Vatikan, Sabtu, (04-02-2006).
“Koeksistensi manusia menuntut sebuah iklim yang saling menghormati untuk menciptakan perdamaian di antara manusia dan bangsa-bangsa,” demikian lanjutan pernyataan tersebut.
 Lebih jauh, bentuk-bentuk tertentu dari sebuah kritikan atau tindakan yang membuat pihak lain berang merupakan sebuah tindakan yang tidak memperlihatkan kesensitifan. Tindakan seperti itu, dalam hal tertentu bisa memicu provokasi yang tidak bisa diterima..” Sebanyak 12 kartun itu diterbitkan pertama kali di sebuah media Denmark, Jyllands-Poeten, pada September 2005.
 Lalu, hal itu diterbitkan lagi di media internasional lainnya pada hari Kamis, lalu dengan alasan  bahwa itu adalah merupakan kebebasan berekspresi.
Umat muslim seluruh dunia marah, bukan saja karena penghinaan itu, tetapi juga hukum Islam memang tidak memperbolehkan  adanya visualisasi atas wajah atau penampilan fisik  Nabi Muhammad SAW. Palestina berpawai di berbagai jalanan dan menyerang bangunan-bangunan yang berkaitan dengan  dengan kepentingan Eropa. Mereka juga membakar bendera Jerman dan Denmark. Namun Vatikan juga menghimbau agar bentuk protes seperti itu sebaiknya tidak dilakukan. “Serangan yang dilakukan oleh seorang atau sebuah perusahaan media tidak seharusnya dilampiaskan terhadap lembaga publik atau negara yang terkait,” demikian Vatikan.

Editor Dipecat

Protes atas kartun itu tidak hanya  muncul dari kelompok Muslim.
 Di Copenhagen, Denmark, kelompok dari ekstrim kiri  yang antirasial melakukan protes atas pembuatan dan penerbitan kartun-kartun itu. Dari Amman, Jordania, dikabarkan bahwa editor dari sebuah tabloid yang juga menerbitkan kartun itu dipecat. Editor itu bernama Jihad Momani dan dikabarkan telah ditangkap kemarin. Ia adalah editor dari tabloid gosip Shihane.  Momani kemudian menyatakan sangat menyesal atas tindakannya yang teledor itu.
Penyelidikan juga  terhadap tabloid lebih kecil, yakni  Al-Mehwar, yang menerbitkan kartun itu pada edisi 26 Januari 2006. Editor tabloid tersebut , Hashem al-Khalidi, juga dinilai harus bertanggung jawab secara hukum karena mengizinkan  penerbitan itu.  Raja Abdullah II, hari jumat lalu, mengatakan tindakan itu adalah perbuatan kriminal.(REUTERS/AFP/MON,---Kompas, 05-02-2006).

 Kontroversi Kartun,
Wapres sebagai Umat Islam Keberatan
Jusuf Kalla
Foto : Internet

Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai umat Islam keberatan atas pemuatan gambar karikatur Nabi Muhammad SAW dalam salah satu surat kabar di Denmark. Keberatan itu sudah dinyatakan kepada Duta Besar Denmark untuk Indonesia dan pihak Denmark  sudah meminta maaf secara terbuka. “Tentu, sebagai umat Islam kita keberatan. Saya juga menyatakan itu kepada Dubes Denmark bahwa kita pasti keberatan. Dan mereka sebenarnya sudah minta maaf akan hal tersebut, “ ujar Wakil Presiden dalam jumpa pers seusai shalat, di Jakarta, Jumat (3-2-2006). Menurut Wapres, Denmark seperti Indonesia yang menganut kebebasan pers. Dalam sistem itu, negara tidak secara langsung bertanggung jawab mengenai apa yang ditulis di surat kabar. Namun Wapres mengingatkan, kebebasan pers tidak berarti harus menciderai perasaan orang lain atau pihak lain.
Di tempat terpisah, Forum Umat Islam (FUI) menuntut Pemerintah Denmark  meminta maaf kepada umat Islam di seluruh dunia, dan menghukum mati pembuat karikatur yang melecehkan Nabi Muhammat SAW. Selain itu, FUI juga menyerukan agar pemerintah negeri Muslim di seluruh dunia untuk melakukan protes yang sama kepada Pemerintah Denmark. Demikian antara lain pernyataan FUI yang dibacakan Sekjen FUI M Al Khaththath di halaman Masjid Agung Al-Azhar di Jakarta, Jumat. “Menyerukan kepada seluruh umat Islam di seluruh dunia Islam agar bersatu dan berjuang bahu-membahu untuk mewujudkan Khilafah ala Minhajin Nubuwwah, yang akan dengan sigap mengatasi masalah penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.
Kebebasan pers tidak berarti harus menciderai perasaan orang lain atau pihak lain
Termasuk dalam FUI ini antara lain Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Muhammadiyah, Naddlatul Ulama, Syarikat Islam, Al Irsyad Al Islamiyah, Komite Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, dan Hizbut Tahrir. Protes yang dilancarkan FUI ini merupakan reaksi atas diterbitkannya karikatur Nabi Muhammad SAW di koran Jyllands-Posten terbitan Denmark edisi 30 September 2005. Bahkan, karikatur yang menggambarkan  Nabi Muhammad SAW membawa pedang dan menenteng bom, dan di sorban Nabi Muhammad SAW terselip bom, tersebut dimuat ulang oleh sejumlah media di negara-negara Eropa. “Tentu saja pembuatan dan penerbitan karikatur tersebut punya maksud busuk dari pembuat maupun penerbitnya. Kaum Muslim di Timur Tengah sudah menunjukkan reaksi ketersinggungannya beberapa bulan lalu, tetapi tidak mendapat respons positif dari Pemerintah Denmark,” ujarnya. (INU/HAR/NOW/MAM, --Kompas, 4-2-2006).

Keagamaan,
NU dan Muhammadiyah
Dorong Kebersamaan

Berkas:Muhammad Sirajuddin Syamsuddin.jpg
Din Syamsuddin
Foto : Internet

Jakarta,---Pengurus besar Nahdlatul Ulama dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyerukan seluruh Muslim Indonesia untuk meningkatkan ukhuwah Islamiah.
Caranya dengan memperkuat rasa kebersamaan di kalangan umat dan saling pengertian serta dialog mengenai hal-hal yang dianggap berbeda.
Peningkatan ukhuwah ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dan benturan sesama umat Islam.
Demikian isi pernyataan bersama PBNU dan PP Muhammadiyah menyambut tahun baru 1427 Hijriah yang dibacakan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Rosyad Sholeh di Kantor PBNU di Jakarta, Kamis (2-2-2006). Rosyad didampingi Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua PBNU Andi Jamaro Dulung, Ketua PBNU Rozy Munir, dan Ketua PP Muhammadiyah Muclas Abror. Din mengatakan, ajakan bersama ini merupakan langkah awal untuk mewujudkan kebangkitan dan kejayaan umat.
Selain itu, Islam dapat menjadi faktor yang efektif untuk mewujudkan kejayaan bangsa.

Dalam pemberantasan korupsi misalnya, memang sudah ada usaha pemerintah, namun belum optimal. Ada kesan pemerintah pilih-pilih
“Dalam pemberantasan korupsi misalnya, memang sudah ada usaha pemerintah, namun belum optimal. Ada kesan pemerintah pilih-pilih tebu.
Sedangkan soal pornografi, sudah mengarah pada liberalisasi moral yang membahayakan umat,” ujarnya. KH Hasyim Muzadi mengatakan, pertemuan ini bermakna peningkatan kualitas keberagamaan dan kebangsaan yang bertujuan agar agama bisa produktif sebagai solusi, dan bukan menjadi problem bagi masyarakat. Agama dengan semangat kebersamaan bisa menjadi titik temu dan tidak memperluas perbedaan yang ada. “Islam sering menghadapi kendala produktivitas, di sinilah pentingnya kebersamaan agar agama itu bisa jadi solusi bagi masyarakat,” ujarnya. Pernyataan ini, menurut Hasyim, juga merupakan upaya untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan yang harus disikapi , seperti aksi kekerasan, teror, maupun pornografi.  Kekerasan dan teror hanya akan merugikan umat,  memperburuk citra agama dan umat Islam. Bahkan, aksi itu hanya akan mempersenjatai orang lain untuk memperkuat dugaannya bahwa umat Islam memang pelaku kekerasan. “Sedangkan soal pornografi, jangan dianggap sepele. Pornografi itu sudah menjadi alat demoralisasi kultural Indonesia. Untuk itu, DPR harus segera menyelesaikan UU Antipornografi dan Pornoaksi demi kemaslahatan umat,” ujarnya. (MAM,--Kompas, 4-2-2006).

Kekerasan, Negara Gagal Beri Rasa Aman

Zoemrotin K Susilo
Zoemrotin K Susilo
Foto : Internet

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Zoemrotin K Susilo menilai negara dan pemerintah telah gagal menjamin dan memberikan rasa aman bagi warga negara, terutama dalam kasus pengrusakan dan pembakaran rumah anggota Jemaah Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat, Minggu. Pernyataan itu disampaikan Zoemrotin, Senin, (06-02-2006), seusai menerima sejumlah anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan beberapa tokoh masyarakat di Kantor Komnas HAM, Jakarta.  Menurut dia, peristiwa di Nusa Tenggara Barat ( NTB) kali ini bukanlah yang pertama kali, melainkan telah terjadi sejak tahun 2002.
“Peristiwa (perusakan) seperti itu terjadi terus-menerus.  Hal itu menunjukkan negara gagal memberi rasa aman kepada warga negaranya sendiri. Aparat kepolisian terkesan membiarkan peristiwa itu. Persoalan seperti itu terjadi sejak tahun 2002 sampai sekarang dan ini sudah bukan lagi by-accident (tidak sengaja),” ujar Zoemrotin. Ia menambahkan, negara seharusnya  dapat menjamin warga negaranya memperoleh rasa aman dan hak asasi mereka, termasuk kebebasan menjalankan dan memeluk agama.  Menurut dia, bahkan orang  yang tidak beragama sekalipun tidak bisa diusir seperti itu.

Peristiwa perusakan dan pembakaran, seperti terjadi di NTB  itu, dinilai Zormrotin bukan  disebabkan persoalan agama, melainkan lebih dipicu egoisme kelompok, yang jika dibiarkan justru dapat mengakibatkan bangsa terpecah-belah.
Dalam pertemuan itu hadir anggota DPR dari Fraksi  PDI-P Jacobus Mayong Padang, Wakil Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Weinata Sarin, Prof.Dawam Rahardjo, serta Amir Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Abdul Basyith dan juru bicaranya, Mubarik Ahmad. Dawam meminta sejumlah organisasi masyarakat dan keagamaan besar, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, bersikap tegas menanggapi aksi anarkis tersebut.
 Dalam laporan kronologis, Jejaring Pemantau HAM disebutkan, peristiwa  perusakan dan pembakaran rumah 31 keluarga (sekitar 129 jiwa) anggota JAI di Perumahan Bumi Asri Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, NTB, itu mengakibatkan kerugian sebesar Rp.400 juta.

Di tempat terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengecam keras perusakan perumahan kelompok Ahmadiyah di Lombok Barat. Tindakan perusakan bertentangan dengan  nilai Islam. Selain itu, perbedaan agama dan faham keagamaan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun. “Saya meminta umat Islam tidak terpancing dengan aksi kekerasan dan  kepada pemerintah  agar mengusut tuntas serta menindak tegas pelakunya,” ujarnya.
Ketua Panitia Ad Hoc  I Dewan Perwakilan Daerah Muspani mendesak negara bersikap proaktif mencegah tidakan anarkis dan cepat mengambil tindakan terhadap setiap masalah agama dan etnik.. “Kami mengingatkan, Indonesia adalah negara hukum. Agama tidak boleh dijadikan pembenaran melakukan tindakan kekerasan,” kata Muspani. Anggota DPD Nusa Tenggara Barat,  Abdul  Muhyi Abidin, mengatakan, “Tindakan anarkis yang dilakukan masyarakat NTB terjadi karena  negara mengabaikan keberatan  mereka atas kehadiran Ahmadiyah.
Meski demikian, saya mengecam cara kekerasan yang dilakukan,” ujarnya. 
(DWA/MAM/WIN,---Kompas, 07-02-2006).
  
Temu Mega, Gus Dur, Try,
Kekerasa Mengatasnamakan Agama Harus Ditindak

Megawati SP.           Gud Dur
Foto : Internet

Dua mantan Presiden RI, yaitu KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri, mengajak semua elemen bangsa dan pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar l945 dengan konsukuen dan berani.
Tanpa itu, Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang besar dan kuat.
Pandangan itu disampaikan keduanya dalam seminar bertajuk “Membangun Peradaban Indonesia” yang diadakan Nusantara Bersatu, minggu (05-02-2006) di Jakarta.
Sejumlah tokoh nasional hadir dalam acara itu, seperti mantan Wakil Presiden Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (prn) Wiranto, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu, Shinta Nuriyah, Taufiq Kiemas, begawan hukum tata negara Prof Dr Sri Sumantri SH,  serta Ketua Presidium Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Marwah Daud Ibrahim.
“Kita perlu reorientasi kehidupan berbangsa,” ucap Abdurrahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur.
Reorientasi bangsa ini tak hanya dilakukan orang-orang yang punya kedudukan istimewa dalam kehidupan kenegaraan, tetapi semua lapisan masyarakat.
Dia mengutip kata-kata seorang ahli strategi yang mengatakan: “Perang terlalu penting diserahkan hanya pada para jenderal.”
Megawati dalam sambutannya menekankan hal sama. “Yang penting untuk bangsa, bagaimana kita dengan konsukuen menjalankan konstitusi, yakni UUD l945, yang akibat reformasi empat kali diamandemen.

Undang-Undang Dasar itu
Memerdekakan orang
Mengikuti kepercayaan
Masing-masing

Ketua Umum PDI Perjuangan itu juga mengajak semua untuk merenungkan dan menghayati kembali Pembukaan UUD l945 yang di dalamnya tertuang Pancasila yang saat ini suaranya semakin sayup-sayup terdengar.
Dalam acara itu, seniman Frangky Sahilatua lewat lagunya juga mengajak semua untuk tak meninggalkan Pancasila.
 “Pancasila rumah kita, rumah untuk kita semua. Nilai dasar Indonesia, rumah kita selamanya. Untuk semua, puji namanya. Untuk semua, cinta sesama. Untuk semua, keluarga menyatu. Untuk semua, bersatu rasa. Untuk semua, saling memberi. Pada setiap insan, sama dapat, sama rasa…,” lantun Frankie disambut tepuk tangan. Ketika ditanya pers soal  aksi pembakaran dan perusakan rumah pengikut Ahmadiyah, Abdurrahman Wahid dan Megawati menekankan kembali pentingnya  pemahaman nilai-nilai konstitusi. “Itu salah semua. UUD l945 tidak pernah suruh bakar rumah orang. Undang-Undang Dasar itu memerdekakan orang mengikuti kepercayaan masing-masing,” kata Gus Dur.

Kesalahan yang dilakukan pengikut Ahmadiyah menurutnya merupakan urusan agama. Tetapi, pihak yang  telah melanggar hukum, tetap harus ditangkap. Sayangnya, hal ini tak dilakukan karena pemerintah ketakutan. “Isinya orang penakut semua. Tidak berani menegakkan UUD. Bagaimana kita jadi gede dan kuat kalau seperti ini terus,” ujar Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa itu. Tokoh Nahdlatul Ulama itu juga menekankan bahwa rakyat Indonesia sebenarnya penurut, tetapi karena pemerintah tak memberi pendidikan yang jelas, seolah-olah tindakan itu menjadi benar.
“Coba ambil dua orang dulu masukkan ke penjara karena melanggar undang-undang, yang lain enggak akan berani,” ucapnya.
Megawati yang duduk di sebelah Gus Dur turut mendukung pandangan itu. “Seperti yang dikatakan Gus Dur. Saya merasa tujuan dari kehidupan negara ini sudah tidak jelas karena kita tidak berpegang pada konstitusi yang telah disepakati,” ujarnya.
Ketua Presidium ICM, Marwah Daud turut menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi. Dia berpendapat apa pun yang sifatnya kekerasan dan mengklaim pihak lain, tidak patut dilakukan. “Kebenaran tidak bisa diklaim dan dipaksakan,” ucapnya. (SUT,--Kompas, 06-02-2006).

Agama Dan Kemerdekaan Pers

Sebuah surat kabar di Denmark telah memuat karikatur Nabi Muhammad SAW. Dapat dipahami kalau karikatur itu telah menimbulkan amarah dunia Islam.
Redaktur surat kabar itu telah meminta maaf.  Namun, Pemerintah Denmark semula tidak bersedia meminta maaf.  Sebab, hal itu masih merupakan bagian kemerdekaan pers yang dianut di Denmark. Agama dalam konsep kemerdekaan pers di Denmark, termasuk wilayah yang tidak bebas dari kritik ataupun sindiran seperti karikatur itu. Belakangan, setelah reaksi meluas, Pemerintah Denmark meminta maaf meski tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kejadian itu, dengan alasan untuk menjamin “kemerdekaan pers.”

Kebebasan Pers

Menyikapi kenyataan seperti, selayaknya kita menyadari, setiap negara bebas mengatur dirinya sendiri. Denmark (misalnya) adalah salah satu negara yang melegalisasikan “pornografi”. Artinya suatu hal yang kita anggap porno, di sana tidak lagi dianggap porno.
 Pornografi ada di mana-mana, tanpa ditutup-tutupi. Padahal, setiap pornografi  pasti menyalahi nilai agama. Peran agama dapat dikatakan sudah termarginalkan.
Kita tentu tidak dapat menerima prinsip kemerdekaan pers seperti itu.
Di banyak negara Barat pun, tidak menganut kemerdekaan pers seperti itu. Meski mereka menganut sekularisme, agama masih dianggap sebagai wilayah yang harus dihormati sehingga tidak boleh dihina atau dilecehkan, termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam setiap agama.
Hal ini terlepas kalau ada orang yang ingin menikmati pornografi, juga dijamin. Sebaliknya, yang antipornografi juga dijamin tidak tercemar.
Masalah produksi, diseminasi, distribusi penerbitan porno, dengan demikian menjadi penting. Karena itu, harus ada undang-undang yang mengatur soal pornografi ini. Dengan reaksi yang besar dari kalangan umat beragama, jangan sampai dikesankan, agama bisa dianggap penghalang kemerdekaan pers.
Vatikan pun telah menyesalkan  penerbitan karikatur itu. Di mana (sebenarnya) keterkaitan agama dalam  kemerdekaan pers, agar kemerdekaan pers dapat memberi sumbangan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis?

Tanggung Jawab Moral

Di era tanpa surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) timbul pertanyaan, apakah orang bebas menerbitkan penerbitan baik surat kabar, majalah, harian, mingguan, atau tabloit? Sekilas jawabnya “Ya”. Dewasa ini, siapa pun bebas menerbitkan apa saja, termasuk yang nyerempet-nyerempet pornografi. Wajar jika jumlah penerbit meningkat tajam meski jumlah tirasnya tidak meningkat secara bermakna.
Mengesankan penerbitan pers sekarang tanpa suatu pertanggungjawaban moral apapun. Benarkah demikian?
Sebenarnya, masyarakat pers sendiri risau dengan keadaan “pers” seperti itu. Meski tanpa SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbit dan Percetakan), batasan untuk dapat menerbitkan sebuah penerbitan pers sebenarnya sudah dirumuskan, yaitu apa yang terkandung di dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).
Jika KEWI ditaati oleh semua penerbit pers, kita memang tidak perlu SIUPP atau intervensi pemerintah dalam dunia pers Indonesia.
Dalam konteks ini, penerbit yang tidak sesuai dengan KEWI dapat dianggap  bukan bagian pers Indonesia. Ada kaidah KEWI yang membatasi moralitas pers Indonesia? Dalam KEWI, antara lain di katakan, “Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul serta tidak menyebutkan identitas kejahatan susila.”

Dengan kaidah seperti itu, kiranya jelas pers Indonesia tidak boleh memuat informasi yang cabul (porno). Masyarakat beragama tidak perlu risau, seolah pornografi sudah merupakan kecenderungan baru dalam pers Indonesia. Sebab, penerbitan yang porno sebenarnya dianggap bukan bagian pers Indonesia.
 Lantas, mengapa ada penerbitan porno dan dewan Pers diam saja?
Dewan Pers, sesuai dengan Undang-undang No.40 Tahun l999 tentang Pers, antara lain berfungsi “menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.” Namun Dewan Pers tidak memiliki otoritas untuk menindak penerbit yang dianggap porno meski Dewan Pers bisa memberi pertimbangan terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan penerbitan pers, termasuk hal-hal yang dianggap porno. Otoritas untuk menindak penerbitan porno ada pada aparat penegak hukum (polisi). Masyarakat, termasuk umat beragama, dengan demikian, jangan sampai  mendapat gambaran keliru bahwa pornografi  merupakan bagian dari pers Indonesia. Persepsi seperti itu diperlukan agar masyarakat tidak keliru kemana hendak mengadu, saat menghadapi penerbitan yang dianggap porno. Memang orang masih bisa berlindung di balik belum jelasnya kriteria porno sehingga menjadi alasan perlunya segera kita memiliki undang-undang tentang pornografi. Sampai di sini, wilayah itu ternyata masih berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab, undang-undang tentang pornografi belum terbit.

Memerlukan waktu

Kini kita ke-risauan masalah hukum masih memerlukan waktu. Sementara di DPR masih sibuk menggodok undang-undang tentang pornografi, termasuk mendefinisikan kriteria porno, masyarakat telah memiliki penilaian sendiri apa itu porno. Keterlambatan dari aspek hukum ini bisa berdampak masyarakat mengambil inisiatif  sendiri sehingga ancaman terjadinya kekerasan tidak terhindarkan.
Bahwa masyarakat beragama ada garis depan menyikapi penerbitan porno, sebenarnya amat wajar. Dalam keadaan seperti itu, “kemerdekaan pers” dipertaruhkan. Karena itu, masyarakat pers hendaklah  memahami, penerbitan porno justru merupakan ancaman terhadap “kemerdekaan pers” yang selama ini diperjuangkan Pers Indonesia. Kalau masyarakat pers tidak dapat menyesuaikannya sendiri permasalahannya, tidak mustahil akan hadir SIUPP baru atau perundangan yang mengatur penerbitan Pers. (SULASTOMO, Koordinator Gerakan Jalan Lurus,--Kompas, 07-02-2006).

 Dialog Atasi Konflik Agama,
“Perdamaian Dibangun Dengan
Memahami Perbedaan

Andrew Robb
Foto : Internet

Cebu,---Satu-satunya cara untuk mengantisipasi dan menangani konflik antaragama ataupun konflik yang sengaja diciptakan dengan mengatasnamakan agama adalah dengan memperkuat hubungan antaragama melaui dialog.
Meski demikian, diakui, dialog yang dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya langkah-langkah konkret, dalam pelaksanaannya hanya akan sia-sia.
Hal itu dikemukakan Ketua Parlemen untuk Kementerian Imigrasi dan Multikulturalisme Australia Andrew Robb saat ditemui di sela-sela Cebu Interfaith Dialog, (14-16-03-2006), Selasa (14/3) di Mactan Island, Cebu Filipina.
“Dialog seperti ini memang  jangan sampai putus karena sangat penting artinya bagi berbagai negara, khususnya bagi Australia, karena akan membangun pengertian antarumat beragama.
Jika bertemu seperti ini kita dapat mengidentifikasikan berbagai kendala dan menyelesaikannya bersama-sama,” ujarnya.
Sejak dialog antaragama pertama yang digelar Indonesia bersama Australia, Desember 2004 di Yagyakarta, kata Robb, kini interaksi antaragama di Australia dirasakan sangat kuat.

Semakin banyak tokoh-tokoh agama, lanjutnya, yang mendatangi sekolah-sekolah untuk berdiskusi agar tercipta pemahaman antaragama.
Dialog antaragama menjadi rasa manfaatnya jika bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Di sinilah, menurut Robb, pentingnya peran tokoh-tokoh agama dan masyarakat.
Dalam jumpa pers, Perdana Menteri Selandia Baru Helen Clark juga menyebutkan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat menjadi tulang punggung dalam mewujudkan kerja sama menurunkan ketegangan yang kerap berujung pada konflik yang mengatasnamakan agama seperti teroris dan kegiatan-kegiatan ekstrimisme lainnya.“Proses dialog dan kerja sama antaragama seperti ini memang membutuhkan waktu yang lama. Tidak ada solusi yang cepat dan tepat mengenai sasaran. Yang harus menjadi pegangan terlebih dahulu adalah keyakinan bahwa perdamaian itu bisa dibangun dengan saling memahami nilai-nilai dan kepercayaan masing-masing serta kesediaan untuk menghargai perbedaan,” ujarnya.
Sedangkan Presiden Filipina Gloria Macapagal-Arroyo menilai, dialog antaragama apa pun bentuknya tetaplah penting untuk mengantisipasi dan menangani berbagai konflik yang muncul berkaitan dengan agama. Pasalnya, kerap kali agama digunakan sebagai alasan  untuk  melakukan kekerasan.
Dialog adalah salah-satunya cara untuk membangun pemahaman dan pengertian antaragama yang pada akhirnya membawa perdamaian di dunia.
“Khusus untuk Filipina, berkat adanya dialog ini berbagai konflik antar Muslim dan Nasrani menurun sangat drastis,” ujarnya. Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dalam pidato tertulisnya menyebutkan, awalnya dialog antaragama pertama digagas sebagai wadah untuk berdialog dan menggalang kerja sama antaragama di kawasan.

Dialog antaragama dan kerja sama adalah cara efektif untuk menyuarakan suara-suara tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Dan dalam jangka penjang dalam rangka melawan terorisme, tokoh-tokoh itulah yang akan bisa melakukannya.
Keberlangsungan dialog seperti ini penting untuk berbagai pandangan toleransi guna mewujudkan perdamaian dan masyarakat domokrasi.

Sri Sultan HB.X
Foto : Internet.

Untuk mewujudkan salah satu hasil dialog antaragama di Yogyakarta, saat ini telah dipersiapkan pembentukan pusat kerja sama agama dan kebudayaan di daerah Bukit Sentono, Yogyakarta, seluas lima hektar, yang merupakan tanah pemberian Sultan Hamengku Buwono X.
Lembaga itu akan menjadi tempat pembentukan dan pelaksanaan segala kerja sama antaragama dengan kegitan seperti penelitian, pendidikan, dan diskusi.
Bahkan juga akan dirancang untuk mengerjakan proyek resolusi konflik dan pengembangan mesyarakat. Hingga kini bangunan fisik belum dimulai karena belum jelas bentuk lembaganya, apakah akan berupa lembaga nasional dengan mandat internasional, lembaga internasional, ataupun kombinasi keduanya.
Dalam sesi diskusi, para delegasi, dari berbagai negara secara bergantian menceritakan pengalaman dan perkembangan kondisi hubungan antaragama di negerinya masing-masing pascadialog antaragama di Yogyakarta.
Meski diakui hasil dialog pertama belum maksimal, para delegasi mengakui mulai tampaknya hubungan komunitas antaragama yang makin erat.
 Seperti  di katakan Bishop Cornelius Sim dari Brunai Darussalam. “Sebelumnya kami tidak pernah diajak berbicara dan berdiskusi  tentang berbagai persoalan di dalam negeri. Tetapi sekarang kami selalu dilibatkan dalam berbagai pembicaraan tentang persoalan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Khususnya yang bertalian dengan urusan agama,” ujarnya. (LUKI AULIA,--Kompas,15-03-2006).

Indonesia-Amerika Serikat. Rice : Indonesia Inspirasi Dunia
Membangun Toleransi Umat Beragama, Ras, Serta Etnis

Condoleezza Rice cropped.jpg
Condoleezza Rice
Foto : Internet

Jakarta,--Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice memuji Indonesia dalam upaya aktifnya memajukan modernisasi dan membangun toleransi umat beragama, ras, serta etnik. Indonesia dinilai menjadi inspirasi bagi negara lain di dunia yang berjuang  melawan keberagaman dan membangun demokrasi.
Pujian itu disampaikan Rice seusai pertemuan dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Hassan Wirajuda di Departemen Luar Negeri, Jakarta, Selasa, (14-03-2006).
“Indonesia patut mendapat pujian karena inklusivitasnya dan kemampuannya menumbuhkan saling pengertian dalam keragaman itu dan dalam konteks mendewasakan demokrasi. Kami sangat mengagumi proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia dan kami ingin  menjadi mitra rakyat Indonesia,” ungkap Menlu Amerika Serikat (AS) itu.
Rice yang sebelumnya bertemu Hassan melakukan  kunjungan khusus ke Madrasah Al Makmuriyah di jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, menyatakan sangat terkesan melihat aktivitas anak-anak di madrasah tersebut. Mereka, katanya, mempelajari berbagai bidang pengetahuan sesuai dengan kurikulum nasional meski mereka berada di sekolah Islam.“Saya yakin anak-anak muda itu nantinya akan menjadi orang-orang yang mampu  trampil di berbagai bidang dan menunjukkan makna toleransi kepada dunia,” ungkapnya.

Rice mengakui memang ada pandangan-pandangan tertentu di kalangan rakyat AS mengenai Islam. “Indonesia bisa menjadi contoh terbaik dan bisa memainkan peranan yang besar dalam mendorong moderasi, toleransi, masyarakat yang inklusif. Yang menarik lagi, inilah yang sebetulnya kita miliki bersama dengan Indonesia,” papar Rice. Dalam kesempatan  itu ia menggambarkan keberagaman di AS yang sama dengan keberagaman di Indonesia, tetapi semua warganya bisa saling bertoleransi dan bekerja sama dengan baik.
“Indonesia sangat berkompeten menyampaikan bagaimana mengelola keberagaman itu dengan menumbuhkan moderasi dan toleransi, bukan semata-mata karena ucapan, tetapi karena memang mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Rice menambahkan.
Ditanya mengenai terus meningkatnya sentimen anti-AS di berbagai tempat, termasuk Indonesia, Rice menyatakan bisa memahami jika berbagai upaya yang dilakukan AS di berbagai belahan dunia, AS, telah menjadi tidak populer.
“Tetapi kami memerangi musuh yang tangguh. Musuh yang telah menghancurkan di Indonesia melalui peledakan bom di Bali dan Jakarta, juga di London, Madrid, dan Rusia. Saya rasa dalam soal ini tidak ada ketidaksepakatan dari pihak mana pun.” katanya.
Menlu AS itu berharap, meskipun beberapa kebijakan yang mereka upayakan tidaklah populer, hendaknya di Indonesia, antara lain membantu panscabencana tsunami yang berasal bukan hanya dari pemerintah, tetapi juga rakyat AS, dengan penuh ketulusan. Hal ini, katanya, bukan untuk membeli kehormatan dari rakyat Indonesia…….(HAR/INU/MAM/OKI,--Kompas, 15-03-2006).

Komunikasi Belum Harmonis,
Media Massa dan Komunitas Agama Harus Saling Belajar

Helen Clark UNDP 2010.jpg
Helen Clark
Foto : Internet

CEBU,---Konflik yang terjadi di berbagai negara, khususnya yang berlatar belakang agama, sebenarnya bisa diantisipasi dengan cepat jika saja tercipta hubungan yang harmonis dan komunikasi yang lancar antara media masa dan kelompok-kelompok agama yang bisa diwakili para tokoh agama.
Gagasan ini mengemuka dalam diskusi kelompok  kerja 4 bertema The Role of Media in Promoting Interfaith Cooperation,” Rabu (15-03-2006) di Cebu, Filipina.
Sekitar 35 delegasi dari 11 negara yang terlibat dalam diskusi itu menilai, penyebab dari kurang harmonis dan kurang lancarnya komunikasi itu semata-mata karena belum ada pandangan, pengertian, ataupun pemahaman yang sama akan kebutuhan masing-masing pihak.
Kesebelas negara itu adalah, Indonesia, Malaysia, Laos, Papua Niugini, Myanmar, Filipina, Australia, Brunai Darusalam, Selandia Baru, Vietnam, dan Pulau Fiji.
Muncul pandangan bahwa para tokoh agama sering kali tidak mengerti “jalan pikiran” media massa ketika membuat keputusan mana berita yang layak muat dan mana tidak.

Berita yang kemudian diputuskan muncul, khususnya yang berkaitan dengan konflik agama, kerap kali  dinilai para tokoh agama hanya mementingkan suatu pihak tertentu. Media massa juga dinilai sering kebablasan dalam menggunakan kebebasan berekspresinya seperti pada kasus kartun. “Kami mengerti dan menyadari adanya kebebasan berekspresi. Namun kebebasan itu bukanlah tanpa batas. Itu tetaplah kebebasan yang harus bertanggung jawab,” kata  anggota Majelis Wanita Muslim dan juru bicara Asosiasi Muslim Internasional Selandia Baru, Rehanna Ali.
Perdana Menteri Selandia Baru Helen Clark juga sebelumnya, Selasa, telah mengingatkan media massa harus berhati-hati saat memutuskan akan memublikasikan berita-berita yang berbau SARA. Clark kemudian mencontohkan pemuatan kartun yang juga ramai diperdebatkan di Selandia Baru.
“Harus bisa dipikirkan dengan lebih serius apakah berita itu nantinya akan memancing ketegangan atau konflik atau tidak.Karena itulah saya rasa media dan berbagai kelompok agama harus mulai saling berbicara,” ujarnya.

Jembatan komunikasi

Delegasi dari Filipina menyebutkan, dengan semakin berkembangnya dunia media massa yang mempercepat perkembangan informasi, efek publikasi media massa juga semakin besar. Karena itulah, media perlu membangun jembatan komunikasi dan kerja sama dengan berbagai macam agama dan kepercayaan.
“Media ini sumber informasi utama bagi publik dan bisa memengaruhi cara pandang orang dan lingkungan sekitarnya. Media bisa membantu memperbaiki pandangan yang salah ataupun stereotip yang ada di masyarakat,” ujarnya.
Jika keran diskusi dan komunikasi dibuka, media dan kelompok agama bisa saling menukar ide dan saling memahami. Dengan begitu, media dan komunitas tokoh agama bisa sama-sama  melakukan tindakan konkret bersama untuk memberikan panduan dan pandangan yang komprehensif tentang isu-isu yang berkaitan agama.

Meski demikian, Bishop Peter Fox dari Gereja Anglikan Papua Niugini
menyatakan, tokoh agama diminta untuk tidak selalu menyalahkan dan menyudutkan media karena media pun mempunyai kepentingan tersendiri.
Kelompok agama harus bisa memahami kepentingan itu.
Karena itulah, rekomendasi yang muncul dari diskusi itu adalah mengadakan pelatihan untuk kedua belah pihak—baik media maupun tokoh agama--tentang jurnalistik  damai yang lebih fokus pada persoalan-persoalan hubungan dan kerja sama.
Juru bicara Depatemen Luar Negeri RI Yuri Thamrin di dalam diskusi itu menyebutkan, berbagai kegiatan pelatihan seperti itu bisa diselenggarakan di Yogyakarta Centre yang hingga kini masih didiskusikan bentuk lembaganya. Selain pelatihan untuk media, kelompok agama juga harus diberi pelatihan yang sama agar bisa memahami dunia media.
“Kami mengerti prinsip media bad news is good news. Dengan mengerti media, kami berharap akan bisa menarik perhatian media dengan memberikan informasi dan latar belakang peristiwa yang akurat dan lengkap tanpa berpihak sehingga berita yang dipublikasikan berimbang. Itulah yang kami lakukan ketika masalah kartun Nabi Muhammad muncul,” kata Presiden Federasi Islam Selandia Baru Mohammed Javed Khan. (LUKI AULIA,--Kompas, 16-03-2006)

Indonesia-Inggris
Bangun Pemahaman Antara
Islam Dan Barat

Presiden SBY                   Tony Blair
Foto : Internet
Presien Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair sepakat membangun saling pemahaman antara Islam dan Barat. Untuk itu, akan dibentuk  Badan Penasihat Islam Indonesia-Inggris guna menangkal radikalisme  dan mempromosikan  saling pemahaman dan toleransi.
“Bersama-sama kita ingin membangun kerja sama untuk mengurangi kesenjangan antara  dunia Islam dan non-Islam. Kita sepakat terus mendorong dan kalau perlu mensponsori dialog antar-iman dan antarbudaya. Saya dukung keputusan bersama kita  membentuk Badan Panasihat Islam Indonesia-Inggris yang bisa terus-menerus berkomunikasi untuk membangun dunia  yang damai, adil, dan sejahtera,” ujar Presiden Yudhoyono dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis 30-03-2006).

Mengenai badan yang dibentuk, Blair berharap badan  itu membuat dialog kedua negara lebih berstruktur dan membawa pamahaman yang lebih luas, tidak hanya di antara dua masyarakat yang berbeda iman. “Saya berharap ini menjadi simbol kepada dunia luar bagaimana kita percaya bahwa masa depan yang didasarkan pada toleransi dan saling hormat akan mengantar pada kemajuan,” ujarnya.
Saat jumpa pers, Yudhoyono didampingi Blair yang mengawali  jumpa persnya dengan kata “assamualaikum,. Sebelumnya, kedua pemimpin itu bertemu empat mata, yang dilanjutkan pertemuan bilateral di Istana Merdeka. Seusai pertemuan, Yudhoyono dan Blair---yang hanya mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam---berjalan mengelilingi taman Istana Kepresiden menuju Kantor Presiden sambil berbincang.

Di Kantor Presiden, Yudhoyono dan Blair berdialog dengan lima tokoh Islam Indonesia yang diundang Menteri Sekretaris Negara sehari sebelumnya. Kelima tokoh itu adalah
1.    Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin,
2.    Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra,
3.    guru besar Fakultas  Ushuluddin UIN Syarif Hidattullah Nazaruddin Umar,
4.    pemimpin Pondok Pesantren Da’arut Tauhid Abdullah Gymnastiar, dan
5.    mantan Menteri Aganma Quraish Shihab
6.    Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyaim Muzaidi yang turut diundang  tidak hadir karena ada acara di Surabaya.
Blair mengatakan, yang lebih perlu dilakukan bersama adalah menciptakan pemahaman yang lebih luas untuk perdamaian berdasarkan keadilan. “Keadilan bukan hal yang melulu seperti apa yang kita pikirkan, tetapi  juga berdasarkan apa yang orang lain pikirkan.
Saya kira kita sedang menuju ke arah itu,” ujar Blair.
Pertemuan dengan beberapa tokoh Islam dan kunjungan ke Pondok Pesantren  Darunnajah, Jakarta Selatan, adalah bagian dari upaya Blair memahami Islam lebih baik.
“Saya katakan kepada para tokoh dalam pertemuan itu, masalahnya adalah Barat dan Islam berjalan dan berbicara tentang mereka, bukan berbicara dengan mereka.
Kita harus memastikan bahwa dialog dapat menjadikan kita dapat  berbicara  satu sama lain, ujarnya.”Mengenai dialog itu, Presiden mengemukakan, lima tokoh Islam telah menyampaikan pikiran dan pandangan mereka secara kritis, yakni menyangkut kebijakan Inggris dan beberapa pesan morel..

Blair terkesima,
Din mengemukakan, dalam dialog informal dan terbuka, Blair terkesima tentang adanya kesalahpahaman antara Islam dan Barat. Selama ini Islam memandang keliru  Barat, begitu juga Barat keliru memandang Islam.
Dengan dialog yang terus dilakukan, kesalahpahaman diharapkan dapat dikikis sehingga terjadi saling pemahaman. Kepada Blair, Din meminta agar dunia Barat mengubah cara pandangnya terhadap Islam. Kalau selama ini Barat menilai  Islam sebagai musuh dan ancaman, sekarang sudah saatnya menjadikan Islam sebagai mitra strategis yang potensial. “Untuk kebijakan, kami sampaikan agar Inggris menarik pasukannya dari Irak, dan serahkan penyelesaian Irak, dan Palestina  ke mekanisme PBB,” ujarnya. Mengenai penarikan pasukan dari Irak, menurut Azyumardi, Blair pada prinsipnya setuju. Namun, pada saat yang bersamaan Blair mengemukakan perlunya kesiapan PBB dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) menggantikan pasukan Inggris di Irak.

Azyumardi juga meminta Inggris bekerja sama dengan Hamas.
Tentang kunjungan Blair ke Indonesia, menurut Azyumardi, ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap dipandang penting oleh kekuatan besar seperti Inggris. Selain sepakat membentuk Badan Penasihat Islam Indonesia-Inggris, kedua kepala negara itu juga meresmikan pembentukan Forum Kemitraan Indonesia-Inggris yang diketuai  menteri luar negeri kedua negara.
Forum ini bertujuan mempromosikan dialog strategis mengenai isu-isu bilateral, multikultural, dan global.
Di depan para santri dan pengajar Pondok Pesantren Darunnajah, Blair mengatakan, iman Islam adalah penuh kedamaian, humanis, dan baik.
“Ketika saya datang ke sekolah ini, bertemu dengan anak-anak muda, mereka belajar hidup baik dalam keimanan dan dengan rasa keadilan serta pengertian akan orang lain.
Saya pikir ini yang menjadi perhatian kita saat ini. Karena itu, saya mengucapkan terima kasih karena telah membuat saya merasa diterima di sini,” ucap Blair.
Selain ke pesantren, Blair juga menemui sejumlah pemimpin  lembaga swadaya masyarakat, pemuda, dan wakil pemerintah lokal Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kepada mereka, Blair berjanji terus  membantu NAD pascabencana tsunami. Duta Besar Indonesia untuk Inggris Marty Natalegawa menyebutkan, Pemerintah Indonesia ingin memperbarui dan meningkatkan hubungannya dengan Pemerintah Inggris pada tingkatan yang lebih tinggi, sesuai dengan kondisi dan perkembangan masing-masing negara. (INU/HAR/JOS/BSW/LUK,---Kompas, 31-03-2006).


















Belanda,
PM Balkenende ke Indonesia

Jan Peter Balkenende 2006.jpg
Jan Peter Balkenende
Foto : Internet

Juru bicara Deplu RI Destra Percaya menjelaskan, agenda utama kunjungan PM Belanda yang tiba di Indonesia hari Jumat ini sekitar pukul 00.10 antara lain adalah peningkatan  dialog antar-agama. “Soal Papua tidak tertutup kemungkinan untuk dibicarakan,” katanya. Balkenende akan mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, disusul dengan jumpa pers bersama, lalu mengunjungi sebuah makam Belanda di kawasan Menteng, mengunjungi Madrasah Pembangunan di Ciputat, dan pertemuan dengan mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta di Ciputat. Pada soreh hari PM Belanda bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Hari Sabtu (8-4-2006) PM Belanda bertemu dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh serta Aceh Monitoring Mission di Jakarta, disusul pertemuan bilateral dengan Presiden Yudhoyono. (OKI,--Kompas, 7-4-2006).

Peradaban Dunia,
Dunia Islam Ingin Redakan Ketegangan

Muhamad Maftuh Basyuni
Foto : Internet

Cairo,--Dunia Islam ingin meredakan ketegangan, khususnya yang terjadi dalam ranah politik. Oleh karena itu,  kaum Muslim dituntut untuk tidak menonjolkan perbedaan tetapi mengutamakan persamaan. Menteri Agama RI Muhammad Maftuh Basyuni mengemukakan hal itu kepada Kompas, Jumat (8-4-2006), disela-sela konferensi tentang “Prolematika Dunia Islam di Era Globalisasi dan Cara penanggulangannya” yang diselenggelarakan Kementerian Waqaf dan Majelis Tinggi Utusan Islam Mesie selama 6-9 April di Cairo. “Ada dua isu yang disorot dalam konferensi itu, yaitu isu politik dan ekonomi.
Disadari bahwa  dunia Islam sedang mengalami  keterpecahan, khususnya dalam rumah politik.
Di Indonesia sendiri, juga ada berbagai sigmen kekuatan politik Islam,” ujar Basyuni.
Wawasan semangat mengutamakan kebersamaan dari perbedaan lanjutnya, cukup mendapat penekanan dalam konferensi itu. Misalnya, antara penganut bazhab Syiah dan Sunni yang diimbau untuk mengendalikan diri. “Janganlah perbedaan itu ditonjolkan,” ujarnya.
Tentang usulan pemimpin Kristen Koptik Mesir di arena konferensi agar diperkuat lobi Islam di dunia Barat untuk mengurangi ketegangan hubungan Islam-Barat.
Basyuni mengatakan inisiatif tersebut perlu dipikirkan dan didukung.
“Pendapat itu cukup obyektif. Kita tidak boleh mengungkung diri.
Kalau mengisolasi diri, kita akan tertinggal.
Apa yang diinginkan  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, adalah kita punya hubungan baik dengan semua negara, baik negara Barat, China, dan negara lain,” tutur Menag RI itu.

Isu Ekonomi

Mengenai masalah ekonomi Basyuni mengungkapkan, sempat muncul usulan untuk membentuk pasar bersama Arab dan pasar bersama Islam. “Usulan itu perlu dirumuskan  lebih lanjut formatnya.
Sejumlah delegasi dari negara Islam lain sudah menyampaikan dukungannya atas usulan tersebut.
Indonesia sendiri tentu mendukung usulan itu karena Indonesia ingin mengembangkan dan menunjukkan kemampuannya di bidang ekonomi. Hanya misalnya, usulan itu sulit dilaksanakan dalam waktu dekat, karena problema negara-negara Islam hampir sama,” kata Busyuni.
Menag RI itu juga mengakui, belum mengetahui apakah usulan tersebut  akan dikominasikan ke Liga Arab untuk ide pasar bersama Arab atau OKI (organisasi konferensi Islam) untuk ide pasar bersama Islam.

“Kita tunggu rekomendasi konferensi ini nanti setelah berakhir.” Ungkapnya.
Menurut Basuni, isu-isu yang diangkat dalam konferensi sangat memiliki korelasi  dengan persoalan umat Islam di Indonesia, karena persoalan yang dihadapi negara Islam lain juga dihadapi Indonesia.
Di Indonesia, ungkap Basyuni. Prioritas  program aksi yang dilakukan Departemen Agama dalam menanggulangi problematika itu adalah membenahi pendidikan.
 “Pendidikan yang berada dibawah naungan Depag sebanyak 91,2 persen adalah swasta. Swasta baru ditangani pemerintah setelah keluar Undang-Undang (UU) Sisdiknas tahun 2003.
Jadi lanjutnya selama 58 tahun, pemerintah tidak memberi perhatian pada mereka.
UU Sisdiknas menegaskan tidak ada dikotomi antara negeri dan swasta atau antara madrasah dan sekolah umum.
Atas amanat UU tersebut, kami ingin meningkatkan kualitas madrasah dan pesantren,” kata Basyuni.
Ia menambahkan, melalui pintu pendidikan itu, problema lain di Indonesia diharapkan bisa diatasi seperti isu radikalisme, leberalisme, dan lainnya. (MTH,--Kompas, 9-4-2006).

Pangeran Charles Kagumi Program Hubungan Dialog Antaragama




Pangeran Chaeles
Foto : Internet

KESRA-- 5 NOVEMBER 2008
Pangeran Charles mengaku kagum pada program Hubungan Dialog Antaragama yang kini tengah dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana.
Hal itu diungkapkan Putera Mahkota Kerajaan Inggris kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan perwakilan dari UGM, Selasa (4/11), di Keraton Yogyakarta.
Bahkan, menurut Sultan, Pangeran Charles mengajak Oxford University di Inggris, untuk menjalin kerja sama dengan UGM dalam mengembangkan program doktor studi agama dan lintas budaya.
"Beliau minta Oxford yang memiliki studi tentang masalah agama untuk bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada dan sebagainya dalam mengembangkana program master dan program doktor," kata Sultan.
Sultan menambahkan, Pangeran Charles juga berencana mengembangkan program studi Islam dan lingkungan, sebagai salah satu topik yang pernah disampaikan saat melakkukan dialog denga tokoh agama di Mesjid Istiqlal Jakarta sebelumnya.


Pangeran Charles yang tiba di Keraton Yogyakarta pukul 11.50 WIB diterima oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas.
Selang beberapa menit berbincang dengan Raja Yogyakarta tersebut, ia kemudian mengadakan pertemuan dengan Direktur Eksekutif UGM Djoko Moerdiyanto, Direktur Eksekutif Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM Zainal Abidin Bagir, dan enam mahasiswa program master dan doktor Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dari tiga universitas, yaitu UGM, UIN, dan UKDW.
Direktur Eksekutif Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM Zainal Abidin Bagir mengatakan dalam pertemuan tersebut Pangeran Charles menanyakan banyak hal tentang program CRCS dan ICRS sebagai salah satu bentuk program studi dialog antaragama yang perkembangannya dinilai baik di Yogyakarta.
"Pangeran tertarik dangan dialog antaragama yang sudah berjalan di Yogyakarta, terutama perhatian yang besar pada hubungan baik antaragama. Beliau sendiri memiliki Center for Islamic Studies di London, sehingga ia ingin ada kaitan kerja sama yang lebih erat dengan kita nantinya," kata Zainal.  

Ia menambahkan, Pangeran Charles juga mendengar cerita langsung dari enam mahasiswa yang kini sedang menempuh program master (S2) dan doktor (S3) terkait dengan alasan mereka tertarik kuliah di program studi ini.
Enam mahasiswa yang bertemu langsung dengan Pangeran Charles itu di antaranya berasal dari Korea, Amerika, Flores (NTT), dan Yogyakarta dengan latar belakang agama berbeda.
Pangeran Charles juga menilai program yang dikembangkan oleh tiga universitas itu sebagai program yang lebih maju jika dibandingkan dengan program yang ada di universitas lain di dunia.
"Program studi ini banyak di universitas lain, namun di UGM ada keragaman yang sangat besar khususnya program doktor yang merupakan konsorsium dari tiga universitas; UGM, UIN, dan Universitas Kristen Duta Wacana," ujarnya mengutip pernyataan putra mahkota kerajaan Inggris.
Usai berdialog, Pangeran Cahrles didampingi Sultan sempat menyaksikan persembahan tari Golek Menak ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Selanjutnya, Pangeran Charles melanjutkan perjalanan ke Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, dan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. (mo/hr)
















JK: Konflik di Indonesia Bukan Karena Agama


Jumat, 4 Oktober 2013 02:12 WIB
 JK: Konflik di Indonesia Bukan Karena Agama
/Theo Rizky
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Mantan wakil presiden Muhammad Jusuf Kalla menyampaikan dengan beraneka ragam suku dan agama, Indonesia adalah negara yang kaya budaya sekaligus rawan konflik horizontal.  JK menyebutkan bahwa konflik di Indonesia senyatanya bukan dilatarbelakangi agama.
“Sejak Indonesia merdeka ada 15 konflik besar 10 diantaranya disebabkan oleh ketidakadilan ekonomi dan politik. Namun agama menjadikan orang-orang yang berkonflik menjadi besar didasari solidaritas agama,” ujar Wakil Presiden RI 2004-2009 dalam seminar nasional bertajuk "Revitalisasi Studi Agama dalam Resolusi Keagamaan di Indonesia" di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (3/10/2013).
Pada dasarnya sebagai orang yang disebut sebagai ahli resolusi konflik, JK memaparkan bagaimana situasi sebenarnya dalam sebuah konflik. Dia mencontohkan agama dipakai untuk jaminan masuk surga bagi orang-orang yang berkonflik, seperti yang terjadi di Ambon dan Poso. Maka, kata JK, yang harus dilakukan adalah membalikkan logika mereka bahwa orang yang berkonflik justru tidak akan menginjak surge, tapi semua akan masuk neraka.
Kata JK, yang sangat kejam ketika terjadi konflik adalah ketika para preman dilepaskan untuk ikut berperang. Preman-preman yang diberitahu jalan pintas menuju surga adalah membela saudara mereka dengan membunuh orang yang dianggap musuh.
“Maka preman bengis, yang merasa ingin taubat menjadi kejam dalam menghabisi nyawa orang karena surga,” papar JK.
Namun JK merasa bersyukur konflik di Poso dan Ambon bisa dipadamkan.
Menurut Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia ini, bila sekarang ini daerah Poso yang terkadang terjadi pengeboman di pos polisi, itu adalah ulah orang ingin yang memanfaatkan situasi daerah yang pernah berkonflik tersebut. JK yakin bahwa ini bukan kelompok yang dulu bertikai.
Oleh karena itu JK menghimbau bahwa jangan mudah terpancing dengan konflik yang disebut karena latar belakang agama. Karena, pasti ada sebab lain yang mendasari.
Indonesia adalah negara paling toleran di dunia. Semua hari raya keagamaan dijadikan hari libur nasional. Tempat-tempat ibadah juga menyebar di setiap pemukiman. “Karena itu, marilah membangun damai antar umat.” pungkas JK.

AS kecam kekerasan agama di Indonesia

UCA
25-05-2013
Barack Obama
Sumber : Internet

Jelang rencana penganugerahan World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation di New York, Amerika Serikat, untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas keberpihakan kepada minoritas, kritik datang dari negara pemberi penghargaan.
Pemerintah AS, Kamis (23/5), menaruh perhatian atas meningkatnya serangan kepada kelompok agama minoritas di Indonesia. Sementara organisasi hak asasi manusia menuduh Washington meremehkan masalah ini demi menciptakan hubungan yang baik dengan Jakarta.
Kalangan legislatif AS, khususnya yang membidangi masalah hukum dan HAM, menyerukan tindakan lebih tegas dan reformasi hukum guna melindungi seluruh kelompok minoritas. Padahal sebelumnya, Senin (20/5), Presiden Amerika Serikat Barack Obama terang memuji Indonesia di depan pemimpin Myanmar, Thein Sein. Obama juga meminta Myanmar mencontoh Indonesia dalam keberagaman budaya dan agama. “Sangat tak masuk akal kalau Myanmar bisa melakukan hal kekerasan seperti itu terhadap umat Islam. Di Indonesia saja umat Buddha yang minoritas bisa hidup berdampingan dengan damai dengan kaum mayoritas muslim,” katanya.
Namun, dalam pertemuan Kamis, justru minimnya perlindungan dan makin tegasnya diskriminasi terhadap penganut Ahmadiyah, Syiah dan Kristen di Indonesia, disoroti AS.
Anggota Komisi Hak Asasi Manusia di parlemen, Tom Lantos, menyampaikan hal ini dalam dengar pendapat di Capitol Hill saat menyoroti situasi yang terjadi di Indonesia.
Komisi yang diketuai politikus Partai Demokrat James P McGovern ini mengutip data Setara Institute, yang menemukan ada 264 tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas pada 2012, atau mengalami kenaikan dibandingkan 2010 yang mencapai 216 yang dilakukan kelompok Islam radikal.
Pejabat senior Deplu AS Dan Baer menyatakan serangan-serangan tersebut tidak ditanggapi secara efektif oleh pemerintah Indonesia. Kondisi ini menodai toleransi keagamaan yang ingin diwujudkan di Indonesia.

Ia juga merujuk pada kecenderungan negatif yang terjadi, termasuk penutupan paksa 50 buah gereja tahun 2012 dan masjid-masjid yang dimiliki Ahmadiyah.
Namun, organisasi Human Rights Watch mengkritik respons pemerintah AS, dengan menyatakan Washington tidak berani mengakui secara terbuka tindak kekerasan keagamaan di Indonesia makin memburuk.
“Mobilisasi kelompok Islam radikal untuk menyerang kelompok agama minoritas meningkat dan mereka seperti tak tersentuh hukum,” kata John Sifton, direktur advokasi organisasi HAM untuk Asia dalam dengar pendapat di kongres.
Sebuah laporan tahunan Deplu AS yang dipublikasikan minggu lalu menyebutkan penghormatan pemerintah Indonesia terhadap kebebasan beragama tidak mengalami perubahan signifikan sepanjang 2012.
“Hubungan AS dengan Indonesia amat baik, namun hubungan dalam bidang hak asasi manusia amat kehilangan makna,” kata Direktur Advokasi Amnesty International T Kumar.
Ia mendesak pemerintah Obama agar melakukan tekanan pada Indonesia untuk membebaskan 70 tahanan politik dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta memublikasikan secara terbuka kematian aktivis HAM Munir Said Thalib yang diracun arsenik tahun 2004.
Sumber: Sinar Harapan
Foto: viva.co.id
  
12. August 2013, 15:43:02 SGT

Represi Agama di Indonesia

oleh Benedict Rogers
Benedict Rogers
Sumber : Internet

Menurut dasar negara Pancasila, Indonesia adalah bangsa yang memiliki sikap toleransi beragama. Lima agama yang diakui negara–Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu–dianggap menerima perlindungan hukum dan hak beribadah yang sama dengan mayoritas Islam. Pancasila adalah ideologi resmi negara: Anak-anak di seantero wilayah diajarkan untuk mempercayainya sejak Indonesia meraih kemerdekaan pada 1945. Pancasila pun merupakan mitos.
Meskipun Islam tidak pernah menjadi agama resmi negara, ajaran Islam radikal bukanlah fenomena baru. Pada tahun 1945, Piagam Jakarta terlahir. Dengan dokumen tersebut, negara Islam yang menetapkan syariat Islam dapat terbentuk. Namun, pendiri republik, Presiden Sukarno, melakukan improvisasi yang membuat Pancasila tetap bertaring. Dalam satu dasawarsa belakangan, suara Islam radikal menjadi kian lantang dan agresif. Hasilnya, suara itu mempengaruhi para pengambil kebijakan.
Jumlah serangan terhadap laku kebebasan beragama kian meningkat dari tahun ke tahun, termasuk di antaranya aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, pemenjaraan pemimpin agama, penutupan gereja serta masjid milik pemeluk Ahmadiyah. Institut Setara, lembaga yang tiap tahun merilis laporan mengenai kebebasan beragama, mencatat telah terjadi 264 aksi kekerasan pada 2012, naik dari 2011 yang mencapai 244 kasus, 2010 (216 kasus), dan 2009 (200 kasus).
Agence France-Presse/Getty Images

Pastur Torang Simanjuntak, kiri bawah, menyampaikan ceramah di dekat reruntuhan Gereja HKBP Taman Sari, Bekasi.
Ada pihak yang menganggap peristiwa-peristiwa tersebut hanya ada di tingkat lokal di daerah-daerah konservatif seperti Jawa Barat dan Aceh, provinsi yang memberlakukan hukum Islam. Faktanya, intoleransi telah menyebar dalam skala nasional. Dari Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Lombok, saya mendengar kisah tentang kekerasan dan kebencian–bukan saja sejumlah insiden yang terpisah-pisah, melainkan terbentuk pola.
Di Bekasi, tak jauh dari Jakarta, saya bertemu dengan imam masjid Ahmadiyah. Masjid itu disegel paksa, tapi sang imam memutuskan untuk tetap tinggal di dalamnya demi mencegah pihak berwenang atau preman mengambil alih. Ia mengatakan: “Kami ingin masyarakat internasional tahu tentang apa yang terjadi di sini. Kami telah coba bernegosiasi dengan pemerintah setempat, kami telah coba mematuhi pemerintah, tapi kami meminta adanya solidaritas karena peristiwa di sini ilegal.”
Dari Bekasi, saya beranjak ke Tasikmalaya, tempat golongan Ahmadiyah mendapat serangan di tengah malam. Seorang anggota Ahmadiyah berkata: “Biar dunia luar tahu kalau kami tak lagi bisa merasa aman di rumah kami sendiri. Kami tak lagi bebas meyakini apa yang kami mau [yakini], untuk hidup normal, karena selalu ada pihak yang ingin memaksa kami tak lagi mempercayai apa yang kami ingin percaya.” Seorang perempuan berkata: “Saya tidak merasa aman. Saya hanya menginginkan satu hal: merasa aman.”
Suara Ahmadiyah di Indonesia adalah suara kaum Syiah dan Kristen. Saya mengunjungi para pengungsi Syiah dan gereja yang dibuldoser atau ditutup. Saya juga bertemu dengan pemeluk pelbagai keyakinan tradisional yang di sekolah dipaksa menganut salah satu agama resmi pemerintah dan dilarang mencantumkan keyakinan tradisional mereka dalam KTP.
Saya mengunjungi Alexander Aan, seorang ateis Sijungjung, Sumatera Barat yang dipenjara karena keyakinannya. Ia meminta saya menyelundupkan secarik kertas berisi catatan dan membantunya menyiarkan tulisan itu. “Semoga mendapat kebaikan dan kebahagiaan,” demikian pembukaan catatan tersebut. “Saya mencintai seluruh manusia. Saya tidak menerima ajaran yang memisahkan satu kelompok dari kelompok lain. Mari hidup bersama dengan cinta, berjuang dengan cinta, tanpa kekerasan, tapi dengan cinta dan akal.”
Ada pelbagai suara lembut yang datang dari dalam tubuh pemerintah Indonesia dan merasa cemas dengan arah yang tengah dituju oleh bangsa ini. Namun, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak melakukan apa-apa dalam memerangi gelombang intoleransi yang menghantam beberapa waktu belakangan–dan membuat situasi bertambah buruk.
Sejak menjadi presiden, SBY telah memperkenalkan sejumlah undang-undang yang melanggar kebebasan beragama termasuk surat keputusan bersama menteri mengenai pembangunan rumah ibadah dan surat keputusan yang dikeluarkan pada 2008 yang melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah. Semua undang-undang itu telah dimanfaatkan untuk menutup masjid Ahmadiyah dan gereja.
Para pemimpin gereja telah berupaya melawan upaya penutupan itu melalui jalur hukum. Gugatan atas sejumlah walikota telah kuat. Gereja harus mendapatkan perlindungan Pancasila, dan para pemimpinnya memiliki surat izin operasi.
Pada dua kasus paling terkemuka, yakni menyangkut GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi, pengadilan telah mengeluarkan putusan atas kedua gereja tersebut di semua tingkatan hingga ke Mahkamah Agung. Namun, para walikota itu tetap melarang pembukaan gereja tersebut.
Pada Mei lalu, saat para penganut Syiah dan Ahmadiyah diusir, gereja dihancurkan dan Muslim non-Sunni dipenjara, SBY menerima penghargaan untuk kebebasan beragama dari Appeal of Conscience Foundation di New York. Penghargaan itu menggambarkan bagaimana pihak luar masih tidak menaruh peduli atas persekongkolan pemerintah dengan golongan garis keras.
Tantangan bagi presiden mendatang Indonesia yang terpilih pada Pemilihan Umum Presiden 2014 adalah bagaimana mengekang kaum Islamis serta mempertahankan pluralisme di Indonesia. Masyarakat-masyarakat agama yang berada dalam kondisi rapuh harus dilindungi, hukum yang timpang harus dicabut, serta pelaku kekerasan dan kebencian harus diadili. Masyarakat internasional harus meminta Jakarta bertanggung jawab atas perubahan yang terjadi.
Taruhan untuk mempertahankan mitos Pancasila terlalu besar. Dunia menengok kepada Indonesia untuk menjadi model dunia Islam yang mempraktikkan demokrasi pluralis yang telah lama dijanjikan.
–Benedict Rogers adalah ketua tim Asia Timur pada organisasi internasional hak asasi manusia Christian Solidarity Worldwide yang berbasis di London.

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.