SEKILAS TENTANG SEJARAH ASAL USUL
SUKU-SUKU Di NTT”
Suku-Suku
Bangsa & Budaya Etnik Di Nusa
Tenggara Timur
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Cerita rakyat tentang
asal-usul penduduk Nusa Tenngara Timur, maka
Pulau Rote, adalah pulau terselatan dari wilayah Indonesia, yang paling terakhir dihuni orang, jika
dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya dilingkungan NTT.
Mereka yang datang ke
pulau ini adalah pelaut-pelaut penjelajah pemberani, yang tangguh dan sanggup
mengarungi pulau dan samudera baik dari arah Utara (Maluku) maupun dari arah
Barat (Hindia Belakang, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat), akhirnya sampai di
pulau Rote sebagai tempat hunian mereka yang terkhir di wilayah Nusa Tenggara
Timur). Mereka yang datang dari arah Barat diantaranya masih bertalian sejarah
dengan kerajaan Majapahit yang ditugaskan sebagai laskar-laskar pengawal
wilayah Selatan Nusantara,. terutama dalam mengamankan perdagangan kayu cendana,
kayu kuning sebagai bahan pewarnaan batik di Jawa dan hasil-hasil bumi lainnya.
Setelah
Majapahit runtuh oleh kerajaan Islam di Jawa, maka terputuslah hubungan
komunikasi mereka dengan pemerintahan teritorial pusatnya di Jawa.
Para laskar-laskar itu
kemudian tidak kembali kedaerah asal mereka tetapi menetap sebagai penduduk setempat dimana
mereka berada. Mereka juga telah melakukan perkawinan dengan penduduk setempat
dan beradaptasi dengan lingkungan yang ada.
Seperti disebutkan
diatas kedatangan mereka ke Rote ini adalah, pada zaman yang telah maju
peradabannya dalam berbagai tehnologi waktu itu meskipun belum dapat dikatakan
modern. Berbagai
pengalaman, pengetahuan dan keterampilan dari daerah-daerah yang pernah mereka
diami semula duhulu, demikian juga dari pulau-pulau lain yang pernah mereka
singgahi di sepanjang perjalanan /
pelayaran mereka, sebagai bekal pengetahuan dalam kehidupannya ditempat
tinggalnya yang baru.
Pengetahuan
dan ketrampiran mereka antara lain seperti,
Pande Besi,
Pande Mas / Perak,
pande membuat senjata
api dan amunisinya,
kepandaian bertani,
beternak,
menenun,
membuat gong
maupun,
ketrampilan lainnya.
Mereka juga yang
membuat, senapan tumbuk dan amunisinya yang dijual ke penduduk pulau Timor
untuk ditukar dengan hewan ataupun uang. Demikian pula membuat
barang-barang perhiasan mas dan perak (orang Rote Ndao) yang dijual selain di
Rote juga sampai ke pulau Timor. Juga ketrampilam dalam membuat barang-barang
tenunan tradisional, Serta berbagai barang
kebutuhan yang terbuat dari logam seperti gong, parang, pisau dll. Orang-orang
Rote semuanya, adalah orang pendatang (l500
– 2000 tahun yang lalu), dari negeri-negeri jauh dengan, mempergunakan
perahu berkali, tentu memiliki mental bahari yang tangguh, maupun berbagai
pengetahuan dan ketrampilan beraneka-ragam, jika dibandingkan dengan penduduk
asli (manusia darat) seperti di pulau Timor pada zaman itu.
Karena mereka adalah
pelaut, maka pelayaran hingga kearah selatan dan menemukan berbagai-bagai
pulau-pulau kecil seperti gugusan pulau
Pasir (pulau Dato I, Dato II, Dato III sesuai nama penemunya dari marga Dato seorang tokoh masyarakat adat suku Rote jauh sebelum tahun 1522 saat Pelaut Portugis Antonio Pigafetta
menemukan Pulau Rote, tetapi kemudian pada tahun 1811 Kapten
Ashmoro merubah nama-nama pulau itu dengan Ashmore Reef, Cartier
Reef, dan Scott Reef).
Selain itu mereka juga berlayar makin
keselatan dan akhirnya menemukan Benua Australia, yang saat itu belum memiliki nama dan oleh nelayan-nelayan
tradisonal pulau Rote menamakan pulau itu dengan sebutan “Pulau Marege” sesuai
dengan warna kulit penduduk pribuminya yang berwarna hitam pekat. Marege =
Hitam Pekat.” Jauh setelah penemuan orang Rote atas “Pulau Marege” tersebut,
baru pada tahun 1788, Capten Cook menemukan Pantai Timur Australia, dan
kemudian berubah nama menjadi Australia bukan “Pulau Marege” lagi hingga
kini.
Pulau Pasir bukan
tempat yang layak untuk dihuni, tetapi merupakan gugusan batu karang, namun
dimanfaatkan sebagai ladang perikanan, dan tempat beristirahan setelah
menangkap ikan dan biota laut lainnya. Oleh karena itu nama pulau Dato/pulau
Pasir ini harus tetap dipertahankan dan tetap dicantumkan dalam peta Indonesia,
bukan Ashmore Reef – Cartier Reef –Scott Reef, yang mendapat penamaan baru di kemudian hari oleh
orang-orang pelaut Inggris. Oleh karena itu gugusan Pulau Pasir tetap milik
masyarakat adat suku Rote (wilyah perairan Indonesia) perlu diperjuangkan
kembali dari Australia. Atas dasar sejarah kepemilikan suku Rote atas
gugusan pulau Pasir (Dato), para nelayan tradisional asal pulau Rote tetap saja
menangkap ikan dan biota laut hingga sekarang
di perairan itu, tanpa menghiraukan adanya MOU l974 antara Indonesia dan
Australia yang dianggap tidak syah dan terkesan
mendapat tekanan sepihak dari Australia. Hal ini dapat diikuti
lebih luas pada bagian lanjutnya (Pulau Pasir/Ashmoro Reef).
Sebelum
menguraikan sejarah asal-usul penduduk di Pulau Rote, pertama-tama kita
meninjau terlebih dahulu asal-usul penduduk di NTT, karena saling memiliki keterkaitan keturunan satu
dengan lainnya sehubungan dengan
terjadinya mutasi penduduk pada masa prasejarah atau pada masa sesudah
itu, dari para migran-migran atau
perantau-perantau dari berbagai jurusan
wilayah antara lain dari Hindia Belakang, (wilayah-wilayah sebelah barat
Nusantara), yang masuk ke-NTT dan sebagian lagi datang dari arah utara
(Seram-Maluku). Untuk menetapkan asal
usul penghuni pertama di Nusa Tenggara Timur agak sulit. Hal ini disebabkan
daerah Nusa Tenggara Timur yang terdiri dari sekitar 646 buah pulau besar-kecil, dengan penduduk yang beraneka
ragam, memiliki latar belakang asal-usul yang berbeda. Berdasarkan cerita rakyat yang masih hidup
diantara penduduk di Nusa Tenggara Timur, nenek moyang mereka dahulu beranggapan,
datang dari luar yakni melalui jalan laut dengan rakit dari arah barat, timur,
atau utara. Bahkan ada yang menyebutkan
agak pasti yakni Malaka Tanabara untuk
penduduk Sumba, (Sina Mulin Malaka) untuk penduduk Dawan dan
Tetun di Pulau Timor, (Sian Sina Malaka)
untuk penduduk Flores Timur
bahkan ada yang menyatakan muncul dari tanah atau tumbuhan, seperti
penduduk Abur di Alor dan beberapa suku di Belu. Namun cerita tersebut
sulit sekali ditelusuri dengan pasti, misalnya apakah Sina Mulin Malaka adalah Malaka?
Adapun secara lebih
terperinci nenek moyang dari beberapa daerah Nusa Tenggara Timur adalah sebagai
berikut. Bagi penduduk Helong yang sekarang tinggal di
Kecamatan Kupang Barat dan Kupang Tengah (Timor) nenek moyang pertama mereka bernama Lai
Bissin yang datang dari timur (Seram-Maluku). Dengan mempergunakan perahu,
mereka datang meliwati wilayah Timor bergerak kearah barat dan akhirnya sampai
di Pulau.Timor bagian barat. Penduduk
berbahasa Dawan yang tinggal di wilayah Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan
Timor Tengah Utara menyatakan mereka
berasal dari Belu Selatan yang semula dari Sina Mulin Malaka.
Ternyata bahwa
beberapa daerah di NTT, mengakui nenek moyang mereka berasal dari seberang dari
satu tempat, yang ada kata Sina dan
Malaka. Di antara orang berbahasa Tetun di Kabupaten
Belu menyebutkan Hutum Rai Hat (4 suku
pertama) berasal dari Sina Mutin Malaka dengan melewati Rai Nobo Rai Henek,
Pulau Kusu, P (pulau) KoE, P.Api, Larantuka, Bau BoE dan mendarat di pantai selatan
Timor di tanjung Emanatum.
Penduduk
berbahasa Buna di Belu, 6 suku
pertama yakni Ro Ikun, Ro Bulan, Lakulo Samora, Sibiri Kailau, Oburo Marobo,
Tan Batom Way, Lela Roto Yapolo dengan menempuh rute Siawa, Sina, Mutin,
Malaka, Galelo Gawa, Lebu Rote, Selewer dan mendarat di pantai P.Timor di
Kamanasa Kabolila, kemudian memasuki Bamakuon.
Di pulau
Timor
dikenal ada beberapa “suku” yang mendiami pulau Timor yang dalam Kamus Antropologi di istilahkan dengan
sebutan “orang,” yakni:
Orang
Atoni (Timor), orang asli Kupang menurut sebutan mereka, atau biasa
juga disebut orang gunung/manusia darat, mereka rata-rata bertubuh pendek
dibandingkan dengan penduduk Timor yang lain, yang berkulit coklat
kehitam-hitaman dan berambut keriting.
Orang
Belu (Timor): Disebut Ema Tetun yang tinggal didaerah menyempit dari
pulau Timor Bagian Tengah, dan mendiami daerah dari bagian utara dan selatan.
Orang
Helong (Timor) yang mendiami
daerah sekitar kota Kupang, dan daerah yang terletak di sebelah barat daya kota
Kupang di sepanjang pantai, di pulau
Semau dekat pulau Roti/Rote.
Orang
Kemuk (Timor) : Suku bangsa Timor yang tinggal di daerah Timor
Portugis (sekarang Timor Timur—Timor Leste) dan sebagian di pulau Timor
Indonesia, yang memiliki bahasa yang mirip dengan bahasa Buna yaitu bahasa yang
digunakan oleh orang Marae.
Orang
Kupang
: Orang-orang Kupang yang terdiri dari campuran berbagai-bagai suku bangsa
seperti Cina, Arab, orang-orang Rote dan orang-orang yang berasal dari
pulau-pulau lainnya di NTT, dan daerah lain
Indonesia, yang pada sebagian besar sudah tercampur dalam hubungan
perkawinan sejak beberapa generasi sebelumnya.
Orang Marae (Timor): Suku Bangsa Timor yang tinggal di bagian
daerah perbatasan antara Timor bagian Indonesia dan Timor Portugis (sekarang
Timor Timur). Mereka sering juga disebut sebagai orang Buna yang merupakan
bahasa yang mereka gunakan. (Drs.Ariyono
Suyono, l985, hal.285)
Penduduk
pulau Sumba mengenal nenek moyang mereka
adalah,
Umbu Walu Mandoko
yang berasal dari Malaka Tanobara dengan menempuh jalan Hapa Riu Ndua Riu, Hapa
Ndjawa, Rukuku Nboli, Nduna Makakary, Ende Ambaru, Numbu Hambaru, Ende Ndau,
Haba Rai Njua dan mendarat di Tanjung Sasar.
Penduduk Kabupaten
Sikka mengenal nenek moyang mereka yang bernama Moang Rai, Moang Raga dan Moang
Gumang, yang berasal dari Siam Sina
Malaka dan mendarat di Sikka ditempat yang bernama Nidung- Mage Gakar. Walaupun
dari sumber cerita rakyat di atas disebutkan dengan nyata tempat asal nenek
moyang pertama yang ada hubungannya dengan Malaka, bukan berarti bahwa pasti
bahwa nenek moyang ini dari sana. Hal ini lebih-lebih bila ditinjau bahwa
rute-rute yang dilewati, agak kabur dan kacau untuk di telusuri. Memamg ada
beberapa nama yang masih dikenal dalam rute itu seperti Jawa, Bali, Ende,
Makassar dan sebagainya. Kemungkinan kata Malaka yang dikenal dalam cerita
rakyat adalah setelah muncul kemudian.
Dibeberapa
daerah dikenal juga asal usul nenek moyang mereka dari seberang, tetapi tidak
disebutkan dari mana.
Menurut ceritera
rakyat atau mitologi nenek moyang orang Sabu itu datang dari “seberang” yang
dalam bahasa Sabu, disebut Dau itu ‘dak ti dara dahi, ngati kolo rai ahhu rai
pana hu uda kolo robo’, artinya
orang yang datang dari laut tempat yang jauh sekali, lalu bermukim di Pulau
Sabu. Orang pertama itu ialah “Kika Ga” atau “Hawu Ga”, terdampar di Pulau Sabu
yakni tanjung Penyoro Mea, di Sabu bagian selatan. ‘Kika Ga’ kemudian dibawa
oleh ‘Liru Balla’ (seorang yang bersifat seperti Tuhan berasal dari langit)
dijadikan anak, diajarkan semua adat istiadat di negeri Liru Balla, dikawinkan
dengan ‘Lia Ra’ (seorang perempuan penghuni langit), diturunkan ke negeri Sabu
di suatu tempat yang bernama ‘Kolo Merabbu’, lalu berkembang biak disana.
Dari Kolo Merabbu
setelah beranak bercucu kemudian pindah
bermukim di Kolo Teriwu; membuat perkampungan besar disana yang disebut
‘Teriwu Rae Ae. Dari Kolo’ ‘Teriwu’ ini terjadilah pembahagian kekerabatan
untuk seluruh Sabu. Keturunan ‘Kika Ga/Hawu Ga’ itulah yang menurunkan orang
Sabu yang sekarang ini. Nama Pulau Sabu adalah nama untuk memperingati nama
leluhur ‘Hawu Ga’ tersebut. Pulau Sabu dikenal ‘Kika Ga’ sebagai nenek moyang
orang Sabu yang berasal dari suatu tempat yang jauh di barat daya India.
Penduduk
Manggarai (Flores) nenek moyangnya adalah Nggae Sawu yang
berasal dari seberang dan mendarat di Mando Sawu. Disamping cerita yang
menyatakan nenek moyang pertama dari seberang, dikenal juga di beberapa daerah
bahwa nenek moyang mereka tidak berasal dari luar.
Suku
Ngada di Flores, menurut cerita rakyat nenek moyang mereka berasal dari
India, yakni suku bangsa Magatha, yang
berlayar ke arah timur dan menemukan pulau Flores, tepatnya di daerah
Ngada sekarang ini.
Terdapat
beberapa nama klan yang memakai nama/gelar
dengan mengambil nama dari bagian-bagian
perahu, misalnya gelar
Mosa Keso Ulitange
Dala (Jurumudi)’
Mosa ana Koda (
Nahkoda) dan pemeberian nama-nama kampung dengan nama-nama bagian perahu
seperti, Mangu Lewa (puncak tiang layar
yang tinggi) dan Laja (layar perahu); demikian pula nama-nama bagian rumah
seperti, Mangu yang berarti tiang layar,
yang juga tiang tengah dari rumah pada serambi depan rumah, atap rumah
berbentuk layar. Tangga yang berada
diserambi depan rumah disebut juga Padha jo yang berarti jembatan perahu.
Beberapa kampung di gunung pun mempunyai nama sebagai berikut : Mungulewa yang
berarti tiang layar yang tinggi; Rajolewa yang berarti perahu yang panjang; Jo Jawa yang berarti
perahu Jawa. Karena itu
juga mungkin sekali Jawa adalah tanah yang mempunyaui kesan yang mendalam
selama pengembaraan, nama pulau yang merupakan tempat tinggal terakhir sebelum Flores.
Selain suku bangsa
dari India, di Ngada-Flores juga telah terdapat penghuni aslinya, dan lama
kelamaan mereka menurunkan keturunannya dengan sebutan orang Ngada. (Biro Humas
Setda Prov NTT, Reba, 2005 : 6 – 9).
Misalnya
: di Belu (Timor) dikenal
beberapa cerita yang menyatakan nenek moyang mereka adalah :’moris lake rai
tubu lake rai’, yakni langsung hidup atau tumbuh dari dalam tanah. ‘Ema bada
oon, ema dina oon, artinya orang yang diperanakan oleh percobaan dan ukuran.
‘Ema ai oon, ema fatu oon’, artinya orang yang lahir dari pohon dan batu.
Penduduk
Abui di pulau Alor menyatakan bahwa nenek moyang mereka lahir
dari tanah. Ini adalah simbol-simbol filsafat tradisional yang
bermakna ganda, yang sebenarnya dimaksudkan, tanah atau bumi adalah lambang ibu
pertiwi (perempuan) dan pohon sebagai simbol lelaki yang melahirkan keturunan. Mengenai
sejak kapankah kepulauan Nusa Tenggara Timur dihuni oleh penduduk. Dari peninggalan
tengkorak-tengkorak yang berhasil diketemukan di Flores, di liang Toge, Prof.Dr.T.Jacob melalui c.4 menentukan usia
manusia tersebut antara 3.000 – 4.000 S.M. Manusia ini mempunyai
ciri-ciri ras Austromelanesoid. Sedang menurut penyeledikan DR.J.Grover, Pulau Timor telah dihuni
oleh manusia sejak 13.500 tahun yang
lewat, oleh sekelompok kecil penduduk yang hidup dari berburu dan pengumpul
hasil hutan.(Sejarah Daerah NTT, l978
hal.21).
BUDAYA
ROTE NDAO
Kabupaten
Rote Ndao
adalah salah satu pulau paling selatan dalam jajaran kepulauan Nusantara
Indonesia. Pulau-pulau kecil yang mengelilingi pulau Rote antara lain Pulau Ndao,Ndana, Naso, Usu, Manuk, Doo,
Helina, Landu. Konon
menurut lagenda seorang Portugis Antonio
Pigafetta diabad ke 15 (1522) mendaratkan perahunya dan bertanya kepada
seorang nelayan setempat apa nama pulau ini, sang nelayan menyebut namanya
sendiri, Rote. Sang pelaut Portugis
mengira nama pulau itu yang dimaksudkan. Sebagian besar penduduk yang mendiami
pulau/kabupaten Rote Ndao menurut
tradisi tertua adalah suku-suku kecil
Rote, Nes, Bara Nes, Keo Nes, Pilo
Nes, dan Fole Nes. Suku-suku
tersebut mendiami wilayah kesatuan adat yang disebut Nusak. Semua
Nusak yang ada dipulau Rote Ndao
tersebut kemudian disatukan dalam wilayah kecamatan. Masyarakat
Rote Ndao mengenal suatu lagenda yang menuturkan bahwa awal mula orang Rote
datang dari Utara, dari atas, lain do
ata, yang konon kini Ceylon.
Kedatangan mereka menggunakan perahu lete-lete.
Strata sosial
terdapat pada setiap leo. Lapisan
paling atas yaitu mane leo (leo mane).
Yang menjadi pemimpin suatu klein didampingi leo fetor (wakil raja) yang merupakan jabatan kehormatan untuk
keluarga istri mane leo. Fungsi mane leo untuk urusan yang sifatnya
spiritual, sedangkan fetor untuk
urusan duniawi. Filosofi kehidupan
orang Rote yakni mao tua do lefe bafi
yang artinya kehidupan dapat bersumber cukup dari mengiris tuak (lontar) dan memelihara babi. Dan memang secara tradisonal
orang-orang Rote memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris tuak (lontar).
Dengan demikian pada mulanya ketika ada sekelompok tanaman lontar yang berada
pada suatu kawasan tertentu, maka tempat itu jugalah menjadi pusat pemukiman pertama orang-orang Rote. Secara
tradisional pekerjaan menyadap nira
lontar tugas kaum dewasa sampai tua. Tetapi
perkerjaan itu hanya sampai diatas pohon, setelah nira sampai ke bawah seluruh
pekerjaan dibebankan kepada wanita. Kaum pria bangun pagi hari kira-kira jam
03.30, suatu suasana yang dalam bahasa Rote diungkap sebagai; Fua Fanu Tapa Deik Malelo afe take tuk
(bangun hampir siang dan berdiri tegak,sadar dan cepat duduk).
Budaya
Nusa Tenggara Timur
Provinsi
NTT kaya akan ragam budaya baik bahasa maupun suku bangsanya seperti tertera
dalam di bawah ini:
Jumlah
Bahasa Daerah
Jumlah
bahasa yang dimiliki cukup banyak dan tersebar pada pulau-pulau yang ada yaitu:
Pengguna Bahasa di Nusa Tenggara Timur
Timor,
Rote, Sabu, dan pulau-pulau kecil disekitarnya:
Bahasanya menggunakan
bahasa Kupang, Melayu Kupang, Dawan Amarasi, Helong Rote, Sabu, Tetun, Bural: Alor dan pulau-pulau
disekitarnya: Bahasanya menggunakan Tewo kedebang, Blagar,
Lamuan Abui, Adeng, Katola, Taangla, Pui, Kolana, Kui, Pura Kang Samila, Kule,
Aluru, Kayu Kaileso
Flores
dan pulau-pulau disekitarnya:
Bahasanya menggunakan
melayu, Laratuka, Lamaholot, Kedang, Krawe, Palue, Sikka, lio, Lio Ende, Naga
Keo, Ngada, Ramba, Ruteng, Manggarai, bajo, Komodo
Sumba
dan pualu-ulau kecil disekitarnya: Bahasanya menggunakan Kambera,
Wewewa, Anakalang, Lamboya, Mamboro, Wanokaka, Loli, Kodi
Jumlah
Suku /Etnis
Penduduk
asli NTT terdiri dari berbagai suku yang mendiami daerah-daerah yang tersebar diseluruh wilayah NTT, sebagai berikut:
Helong: Sebagian
wilayah Kabupaten Kupang (Kec.Kupang Tengah dan Kupang Barat serta Semau)
Dawan: Sebagian
wilayah Kupang (Kec. Amarasi, Amfoang, Kupang Timur, Kupang Tengah, Kab timor
Tengah selatan, Timor Tengah Utara, Belu ( bagian perbatasan dengan TTU)
Tetun: Sebagian
besar Kab. Belu dan wilayah Negara Timor Leste
Kemak: Sebagian
kecil Kab. Belu dan wilayah Negara Timor Leste
Marae: Sebagian
kecil Kab. Belu bagian utara dekat dengan perbatasan dengan Negara Timor Leste
Rote: Sebagian
besar pulau rote dan sepanjang pantai utara Kab Kupang dan pulau Semau
Sabu
/ Rae Havu:
Pulau Sabu dan Raijua serta beberapa daerah di Sumba
Sumba: Pulau
Sumba
Manggarai
Riung:
Pulau Flores bagian barat terutama Kan Manggarai dan Manggarai Barat
Ngada: Sebagian
besar Kab Ngada
Ende
Lio:
Kabupaten Ende
Sikka-Krowe
Muhang: Kabupaten Sikka
Lamaholot: Kabupaten
Flores Timur meliputi Pulau Adonara, Pulau Solor dan sebagian Pulau Lomblen
Kedang: Ujung
Timur Pulau Lomblen
Labala: Ujung
selatan Pulau Lomblen
Pulau
Alor:
Pulau Alor dan pulau Pantar.
BUDAYA
FLORES TIMUR
Flotim merupakan
wilayah kepulauan dengan luas 3079,23 km2, berbatasan dengan kabupaten Alor di
timur, kabupaten Sikka di barat utara dengan laut Flores dan selatan, laut
Sawu. Orang yang
berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena
bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot. Konsep rumah adat orang
Flotim selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan
tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang
mengciptakan dan yang empunya bumi). Pelapisan social masyarakat
tergantung pada awal mula kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal
adanya tuan tanah yang memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada suku
Mehen yang tiba kemudian, disusul suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan
mengolah tanah dari suku Mehen. Suku Mehen mempertahankan
eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah mereka
pendekar-pendekar perang, yang dibantu suku Ketawo. Mata pencaharian
orang Flotim/Lamaholot yang utama
terlihat dalam ungkapan sebagai berikut:
Ola
tugu,here happen, lLua watana,
Gere
Kiwan, Pau kewa heka ana,
Geleka
lewo gewayan, toran murin laran.
Artinya:
Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing.
Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing.
BUDAYA
SIKKA
Sikka berbatasan
sebelah utara dengan laut Flores, sebelah selatan dengan Laut Sabu, dan sebelah
timur dengan kabupaten Flores Timur, bagian barat dengan kabupaten Ende. Luas
wilayah kabupaten Sikka 1731,9 km2. Ibu kota
Sikka ialah Maumere yang terletak menghadap ke pantai utara, laut Flores. Konon
nama Sikka berasal dari nama suatu tempat dikawasan Indocina. Sikka dan dari
sinilah kemungkinan bermula orang berimigrasi kewilayah nusantara menuju ke
timur dan menetap disebuah desa pantai selatan yakni Sikka. Nama ini Kemudian
menjadi pemukiman pertama penduduk asli Sikka di kecamatan Lela sekarang.
Turunan ini bakal menjadi tuan tanah di wilayah ini. Pelapisan sosial dari
masyarakat Sikka. Lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri
para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah
memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan
harta warisan keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung
dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan
melanjutkan semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya
yang dikenal sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha.
Secara umum
masyarakat kabupaten Sikka terinci atas beberapa nama suku; (1) ata Sikka, (2)
ata Krowe, (3) ata Tana ai, desamping itu dikenal juga suku-suku pendatang
yaitu: (4) ata Goan, (5) ata Lua, (6) ata Lio, (7) ata Ende, (8) ata Sina, (9)
ata Sabu/Rote, (10) ata Bura. Mata
pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender pertanian sbb:
Bulan Wulan Waran - More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk membersihkan kebun,
menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebuari,
Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan jagung) serta memetik, dalam bulan
Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam
palawija /kacang-kacangan. Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu
bulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus - September).
BUDAYA
ENDE
Batas-batas
wilayahnya yang membentang dari pantai utara ke selatan itu adalah dibagian
timur dengan kabupaten Sikka, bagian barat dengan kabupaten Ngada, utara dengan
laut Flores, selatan dengan laut Sabu. Luas kabupaten Ende 2046,6 km2, iklim
daerah ini pada umumnya tropis dengan curah hujan rata-rata 6096 mm/tahun
dengan rata rata jumlah hari hujan terbanyak pada bulan November s/d Januari.
Daerah yang paling
terbanyak mendapat hujan adalah wilayah tengah seperti kawasan gunung Kalimutu,
Detusoko, Welamosa yang berkisar antara 1700 mm s/d 4000 mm/tahun. Nama
Ende sendiri konon ada yang menyebutkannya sebagai Endeh, Nusa Ende, atau dalam
literatur kuno menyebut Inde atau Ynde. Ada dugaan yang kuat bahwa nama itu
mungkin sekali diberikan sekitar abad ke 14
pada waktu orang-orang malayu memperdagangkan tenunan besar nan mahal yakni
Tjindai sejenis sarung patola dalam pelayaran perdagangan mereka ke Ende.
Ende/Lio sering
disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun demikian
sikap ego dalam menyebutkan diri sendiri seperti : Jao Ata Ende atau Aku ata
Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas
kedua sebutan itu. Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut
Ende/Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam
kenyataan wilayah kebudayaan (tereitorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari
pada Ende. Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun
Lio umumnya pada mula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama) dan ana
(anak-anak) kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap
bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya
secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang. Lapisan
bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki ria bewa, lapisan bansawan menengah
disebut Mosalaki puu dan Tuke sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat
Ende bangsawan disebut Ata NggaE, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah
disebut Ata Hoo dan budak dari Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu.
BUDAYA
NGADA
Ngada merupakan
kabupaten yang terletak diantara kabupaten Ende (di timur) dan Manggarai (di
barat). Bajawa ibu kotanya terletak di atas bukit kira-kira 1000 meter di atas
permukaan laut. Masyarakat ini dikenal empat kesatuan adat (kelompok etnis)
yang memiliki pelbagai tanda-tanda kesatuan yang berbeda. Kesatuan
adat tersebut adalah : (1) Nagekeo, (2) Ngada, (3) Riung, (4) Soa.
Masing-masing kesatuan adat mempertahankan ciri
kekrabatannya dengan mendukung semacam tanda kesatuan mereka. Arti
keluarga kekrabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk
keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam
pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan nama membawa hak-hak
dan kewajiban tertentu.
Contoh setiap anggota kekrabatan dari kesatuan adat
istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat
pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang
mengepalai bagian pangkal Ngadhu ulu Sao Saka puu. Rumah
tradisional disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding
atap, dan lantai /panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan
Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka,
Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda.
Pelapisan sosial
teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan
terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi
atas tiga, Gae (bangsawan), Gae Kisa = kuju, dan golongan rendah (budak). Ada
pula yang membagi atas empat strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan
kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat). Para
istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja
Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala
sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran. Masyarakat
Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa
pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan
bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian
kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada.
BUDAYA
MANGGARAI
Manggarai terletak di
ujung barat pulau Flores, berbatasan sebelah timur dengan kabupaten Ngada,
barat dengan Sealat sapepulau Sumbawa/kabupaten Bima, utara dengan laut Flores
dan selatan dengan laut Sabu. Luas
wilayah 7136,14 km2, wilayah ini dapat dikatakan paling subur di NTT. Areal
pertanian amat luas dan subur, perkebunan kopi yang membentang disebahagian
wilayahnya, curah hujan yang tinggi yaitu dalam setahun mencapai 27,574 mm,
sepertiga dari jumlah itu (lebih dari 7000mm) turun pada bulan Januari. Ibu
kota Manggarai terletak kira-kira 1200 meter di atas permukaan laut, di bawa
kaki gunung Pocoranaka Pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan
anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo,
kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau.
Beberapa istilah yang
dikenal dalam sistim kekrabatan antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae
Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga
saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan
bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik
dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak),
Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri). Strata
masyarakat Manggarai terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut Kraeng
(Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang ( kelas menengah), dan golongan ketiga
Lengge (rakyat jelata). Raja
mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat
diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge
(rakyat jelata). Kaum Gelarang ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai
kaum penyambung lidah antara golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge
adalah status yang selalu terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak,
pekerja rodi, dan berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya yang sewaktu-waktu
dapat dibawah ke Bima dan sangat kecil sekali dapat kembali melihat tempat
kelahirannya.
Sejarah Asal Usul Orang Rote
Menurut Kamus Antropologi, orang Roti, adalah suku bangsa dipulau Timor yang mendiami Pulau Roti dan beberapa pulau kecil di sekelilingnya, yang letaknya
di sebelah barat daya pulau Timor, yang
bentuk tubuhnya mirip dengan orang-orang Belu,
bedanya hanya pada unsur ras melayu yang tampak menonjol pada orang Roti. (Drs.Ariyono
Suyono, l985,hal.286) Ceritera tentang kapan Pulau Rote (Roti) ini diduduki atau didiami
orang, hingga kini tidak seorang pun tahu secara tepat, oleh karena tidak ada
dokumen tertulis tentang hal ini. Beratus-ratus
tahun yang lalu, pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur sudah berpenduduk,
tetapi pulau Rote (Roti) yang letaknya paling selatan dari wilayah Nusantara
ini, masih kosong dan belum dihuni oleh manusia.
Pulau Rote, adalah pulau yang paling terkemudian di
Indonesia ini yang dihuni orang, jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya
di Nusa Tenggara Timur, maupun di Indonesia bagian Barat dan utara lainnya. Pada masa silam, terjadilah perpindahan
bangsa-bangsa dan perpindahan suku-suku bangsa. Orang-orang dari pulau Seram (Malaku) disebelah Utara,
berbondong-bondong dengan berpuluh-puluh perahu, pindah kearah Selatan yaitu
ke-pulau Alor. Sebagian menetap di Alor dan yang lainnya terus ke-pulau Flores, kemudian ke-pulau Timor
dan akhirnya ke-pulau Rote melalui
suatu pelayaran panjang dan dalam waktu yang relatif cukup lama, yang kemudian menjadikan pulau kosong ini
sebagai tempat hunian mereka yang terakhir.
Berbagai alasan yang menyebabkan perantau-perantau ini
meninggalkan
kampung halamannya dan mencari tempat baru, terdapat
beberapa alasan antara lain :
- Karena seringnya terjadi perang antar suku, sehingga mereka
yang kalah takut dibunuh pihak lawan, menjadi budak yang dapat
diperjual-belikan, sehingga untuk menyelamatkan nyawa, mereka terpaksa
meninggalkan kampung halaman mereka;
- Karena penyakit yang sering melanda kampung
mereka, dan merasa tidak aman;
- Mereka adalah nelayan tradisional, saat mencari ikan jauh ketengah laut,
mengalami ombak dan angin topan, sehingga
mereka terdampar kepulau-pulau lain yang letaknya jauh di selatan Maluku.
- Ini berarti penemuan daerah baru secara tidak
sengaja. Karena kondisi daerah baru memungkinkan dapat hidup dengan baik,
maka terus menetap disana;
- Terdapat hukum adat setempat yang menetapkan,
penduduk yang berbuat kriminal yang berat, diusir dari kampungnya, oleh karena
itu sipenjahat ini pergi meninggalkan kampung halamannya bersama
keluarganya.
- Ada pula dengan kesadaran sendiri, sengaja pergi
mencari pulau-pulau lain untuk dihuni, oleh karena kehidupan di tempat
asalnya tidak subur dan hasilnya tidak mencukupi;
- Karena kawin-mawin dengan mengambil istri di
pulau lain, sehingga berpindah ke kampung istri dan menetap seterusnya
disitu.
- Karena ajakan keluarga yang telah lebih
dahulu menetap disuatu pulau
tertentu dan memberi hidup yang
layak.
- Karena sering terjadi bencana alam, maka mereka
mengungsi dan mencari daerah baru yang bebas bencana alam dll.
- Daerah asalnya kurang subur sehingga terpaksa
mencari daerah lain yang memungkinkan kehidupan yang lebih baik.
- Atas kemauan sendiri secara suka rela pergi dari
daerah asalnya dan pergi merantau memperbaiki nasipnya dll.
Mutasi penduduk (migran)
seperti ini di zaman dahulu dilakukan secara bertahap dan memerlukan suatu
jangka waktu yang lama, bisa puluhan tahun bahkan dalam ratusan tahun, dari
satu generasi kegenerasi berikutnya, yang pada akhirnya hampir semua
pulau-pulau yang semula kosong, telah dihuni oleh manusia. Transportasi laut
saat itu adalah mempergunakan perahu
berkaki dengan sebutan lokal “Lete-lete”.
Diantara migran dari
utara (Maluku) yang disebutkan diatas akhirnya melalui suatu pelayaran, tiba
juga di sebuah pulau kosong yang di kemudian hari disebut Pulau Rote.
Ø Salah seorang dari Seram ini bernama “
Rotte.”
Ø Ia menetap dikerajaan Ringgo, Rote
Timur sekarang.
Ø Kemudian namanya dijadikan nama pulau ini oleh Pelaut Portugis Antonio Pigafetta 1522 : “Roti.” Sekarang ditulis orang “ Rote,” kadang-kadang “Roti.
Ø “ Mereka
yang datang dari Seram ini menduduki bagian timur pulau ini.
Pada awalnya, pulau
ini belum memiliki nama.
Kecuali perpindahan dari
Seram,
ada lagi perpindahan dari Hindia Belakang. Mereka yang datang ke pulau Rote berasal
dari Hindia Belakang, mula-mula
migran-migran itu ke Sumatera, Jawa,
kemudian ke Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Sabu, dan dari Sabu akhirnya
tiba di pulau Rote pulau paling selatan dari Indonesia
ini, secara bergelombang/berkelompok
(tahap demi tahap) dalam sebuah proses perjalanan panjang dan memakan
waktu hingga ratusan tahun).
Mereka ini adalah
pelaut-pelaut ulung
Jadi, baik oleh
orang-orang yang datang dari Seram (di utara ) maupun oleh orang-orang dari
Hindia Belakang (barat) tiba dan menetap di pulau ini dan akhirnya disebut orang (suku bangsa) Rote/Roti. Rote / Roti ini ialah pulau diwilayah “Terselatan
dari Indonesia” yang paling terkemudian atau paling terakhir didatangi dan
dihuni orang, jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia
termasuk pulau-pulau lain di Nusa Tenggara Timur.
Yang dari Hindia Belakang ini menetap di Rote
bagian Barat ialah dikerajaan Thie, Dengka, dan O’enale sekarang ini. Jika kita memperhatikan cerita-cerita
silsilah (oral-sastra
lisan) tentang turun-temurun dari orang tua-tua dahulu menyatakan, bahwa
penduduk Pulau Rote sekarang ini, adalah termasuk generasi atau
keturunan yang ke-50 sejak awal nenek moyang mereka datang kepulau ini. Jika demikian, maka dapat dihitung usia
tiap-tiap generasi kalau rata-rata sekitar 40 tahun umurnya, maka perhitungannya adalah 50 x 40 tahun = 2000-an
tahun yang lalu. Ini memberi gambaran dan indikasi bahwa pulau Rote ini,
baru dihuni orang, sekitar 1500 - 2000-an
tahun yang lalu.
Adapun
alasan yang mendukung fakta ini antara lain bahwa perantau yang datang kesini
telah memiliki berbagai ketrampilan dan pengetahuan tentang, berbagai peralatan
dari besi, bertani/bersawah, beternak, pandai mas-perak, ilmu pelayaran, menenun dan lain-lainnya yang dibawanya dari daerah asal hunian mereka semula, dan
dari daerah-daerah yang pernah mereka singgahi selama dalam pelayarannya, yang
pada zaman itu, daerah-daerah tersebut
sudah maju, telah memiliki peradaban
dan tehnologinya, walaupun belum dikatakan modern.
Ø Mereka sudah hidup
di-zaman logam. Buktinya bahwa membuat perahu tentu harus memerlukan alat dari
besi atau logam.
Ø Mereka tidak
tergolong lagi sebagai penduduk zaman batu atau penduduk pengumpul makanan dari
hasil hutan, dan dari hasil berburu,
seperti suku Dawan di pulau Timor pada
awalnya, dan bukan pula sebagai penghuni
gua, akan tetapi, sudah memiliki pengetahuan membangun rumah sendiri (rumah
panggung).
Kelompok-kelompok pelaut
yang tiba di pulau Rote dengan selamat, dengan mempergunakan perahu berkaki “Lete-Lete”
(Rote) mengarungi laut dan samudera
tanpa menyerah adalah, manusia-manusia bermental baja, hasil seleksi alam,
karena banyak diantara mereka yang tenggelam perahunya selama pelayarannya, dan
terkadang meninggal dalam pelayaran karena kehabisan bekal dan banyak sebab
lainnya. Selain menemukan Pulau Rote
yang dijadikan tempat hunian terakhirnya, mereka juga ada yang terus
berlayar ke arah selatan dan tiba di
Benua Australia.
Jadi sebetulnya nenek
moyang orang
Rote yang lebih dahulu menemukan Benua Australia dan bukan Inggris. Mereka hanya berlayar dikawasan itu untuk
mencari ikan dan biota laut lainnya, dan gugusan pulau yang sekarang dikenal
dengan, Gugusan Pulau Pasir yang terdiri dari Pulau Dato I, Dato II dan Dato III yang
kemudian oleh orang Rote di sebut “Solokae”
dijadikan sebagai, tempat beristirahat selama pengumpulan hasil laut dan jauh sebelum
tahun l522, ketika Pelaut Portugis, Antonio Pigafetta menemukan Pulau Rote,
maupun sebelum kapten Cook (Inggris)
menemukan Pantai Timur Australia
pada tahun l788. Begitu pula sebelum Kapten Ashmoro, menemulan Pulau
Pasir tahun l816 yang kemudian diberi nama pulau-pulau dengan sebutan Ashmore
Reef.
Sebagai buktinya adalah
sejak itu para nelayan tradisional secara turun temurun dari nenek moyang
mereka asal pulau Rote sepanjang tahun berlayar dan menangkap ikan, maupun
hasil laut lainnya hingga ke pantai-pantai Utara dan Barat Australia.
Daerah-daerah tersebut telah dikenalnya sejak berabat-abat lamanya sebelum
Inggris menemukan Benua Asutralia. Oleh karena jalur laut ini telah dikenal
akan kaya hasil lautnya dengan baik sejak beratus-ratus tahun silam yang telah
dirintis oleh pelaut-pelaut nenek moyang mereka. Jadi Benua Australia bukan hal baru
bagi nelayan tradisional suku Rote,
karena wilayah Utara dan Barat Australia adalah ladang perikanan mereka
hingga sekarang.
Walaupun Pulau Pasir sekarang diklaim Australia sebagai wilayah
teritoriannya, namun nelayan tradisional asal Pulau Rote tetap mencari ikan dan
biota laut lainnya di sana, karena, masih dianggapnya sebagai “Tanah Adat Hak Ulayatnya” sejak nenek
moyang mereka, walaupun dengan berbagai resiko sekalipun. Saat ini masih sedang
di perjuangkan (baca Buku “.Pulau-Pulau
Terluar Nusantara” oleh penulis juga).
Jika kita bandingkan
tahun-tahun penemuan Benua Australia
oleh kapten Cook (1788) dan penemuan suku Rote atas
Benua Australia dan gugusan Pulau Pasir
(Dato I, Dato II, Dato III), yang belakangan baru di beri nama (Ashmoro Reef dan Cartier Reef),
dihitung dari jauh sebelum pelaut
Portugis menemukan Pulau Rote (l522),
serta dihitung hingga tahun l974,
saat Indonesia – Australia membuat MOU
l974, maka dapatlah kita bandingkan perbedaan lama tahun penemuan oleh
orang Rote dibandingkan dengan Inggris atas
Pulau Pasir dan Benua Australia adalah Orang Rote lebih dari 452 tahun (1522 –
1974); sedangkan Inggris (Australia) baru 186 tahun (l788 – 1974).
Oleh karena itu
memperkuat kedudukan dan penguasaan orang Rote atas gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef dan Cartier Reef)
sebagai Tanah Adat Hak Ulayat, berdasarkan fakta sejarah di atas sehingga
menjadi dasar hukum yang kuat untuk memperjuangkan dikembalikannya Pulau
Pasir oleh Australia ke Indonesia. Tambahan
pula, yang menjadi dasar utama penyerahan
Pulau Pasir kepada Australia adalah alasan politik semasa dalam era Orde
Baru, dimana Menlu Ali Alats (l989), mengatakan sebagai konpensasi
atas pengakuan Australia terhadap intergrasinya Timor Timur dengan Indonesia.
Tetapi setelah Timor-Timur telah menjadi negara meredeka
maka, tiba saatnya sekarang membuka
kembali status Pulau Pasir. Demikian urain tambahan ini untuk
memperjelas kemampuan bahari orang Rote hubungannya dalam penemuan Pulau Pasir dan Benua Australia.
Mereka (orang Rote) telah hidup pada zaman Perunggu, dimana
terbukti dari di temukannya tiga buah
Kapak Perunggu yang sangat terkenal dengan sebutan “Kapak Roti” yang saat ini tersimpan di Musium Nasional di
Jakarta atau di Musem NTT di Kupang. Masa berburu dan mengumpulkan hasil hutan
di pulau Timor berakhir pada kira-kira 4.500
– 5.500 tahun yang lalu dengan masuknya sistem bercocok tanam ke Timor,
juga binatang kera, tikus raksasa, rusa, kuskus, kambing, anjing. (Y.Glover
l969, hal.111).
Sejarah tentang asal usul orang Rote dan pulaunnya serta kerajaan-kerajaannya,
belum pernah dibukukan orang secara lengkap. Maka dari itu
didalam hal ini, tiap-tiap orang tua mesti menjadi guru sejarah yang
berkewajiban mengajar anak-anaknya. Sejarah
asal usul orang Rote, dan kerajaannya ini tersebar dari mulut-kemulut
(tradisi lisan-oral). Dari ayah kepada anak, dari anak kepada cucunya
dan seterusnya. Orang-orang di Rote yang
sudah dewasa tentu kenal akan sejarah pulau maupun sejarah silsilah nenek moyangnya. Setidak-tidaknya tentu kenal akan
sejarah silsilah keturunannya, yang datang pertama ke pulau Rote ini.
(Keturunan dan silsilah orang Rote dapat dibaca pada halaman-halaman berikutnya
dengan judul “Maneleo/Kepala Suku di
Rote”). Cerita-cerita sejarah tersebut selalu di dengarkan oleh anak-anak
mereka dengan penuh perhatian. Seolah-olah anak itu ingin menghafalnya.
Akhirnya mereka memang hafal
benar-benar. Dengan demikian tentang sejarah nenek moyang
orang Rote diceritakan oleh mereka dalam
beberapa fersi maupun dari kepustakaan lainnya
sebagai berikut:
Ø Salah seorang yang datang dari Hindia
Belakang ini bernama Mau
Miha. Dia menetap dipulau Sawu/Sabu. Dalam bahasa Sawu sekarang “Mau Miha” artinya “anak tersendiri.”Mau Miha ini beranak 5 (lima) orang yaitu : 1).Hau (Hawu) Mau, (2).Radi Mau, (3).Ndao Mau, (4).Belu Mau, dan (5).Ti (Thie) Mau. Kelima
anak-anak ini berdarah perantau seperti ayah mereka.
Ø Hau (Hawu) Mau, anak yang ke-l
( pertama), menetap saja di pulau Sawu /
Sabu. Hau
Mau inilah yang oleh orang-orang sekarang diakui
sebagai nenek moyang orang Sawu seluruhnya. Sumber lain menyebutkan, orang
pertama yang datang ke pulau Sabu adalah, Keka Ga / Hawu Ga, juga diakui sebagai nenek moyang orang Sabu yang
pertama. Dibeberapa daerah dikenal juga asal usul nenek moyang mereka dari
seberang, tetapi tidak disebutkan dari mana. Ada yang menyebutkan nenek moyang
orang Sabu yang berasal dari suatu tempat yang jauh di barat daya India. (Y.Y.Detaq,
l973, hal.5). Sedang nama pulau Sabu adalah nama untuk memperingati nama leluhur Hawu Ga tersebut. Sebutan pulau Hawu Ga, lama kelamaan menjadi Sawu,
Savu, dan sekarang Sabu.
Orang Sabu/Sawu, menyebut diri
mereka “Do
Hawu” artinya “Orang Hawu.”
Sebutan nama Sawu, Savu, Sabu, adalah
sebutan orang dari pihak luar. (Sumber : Depdikbud, Arsitektur Tradisiona
Daerahl Nusa Tenggara Timur,l989, hal.12.)
Ø Radi
Mau, anak yang ke-2 ( kedua), pindah
kepulau Rote di
kerajaan Thie. Pada waktu
itu daerah ini belum menjadi kerajaan dan belum bernama. Disini menurunkan 2 (dua) anak suku, ialah (1) Suku Sua dan (2). Suku Lee, yang masing-masing terdiri dari beberapa vaam / marga
(anak suku).
Ø Ndao Mau, anak yang ke-3 ( ketiga), pindah kepulau kecil disebelah barat pulau Rote.
Dialah yang pertama datang kepulau itu. Kemudian pulau itu dinamai dengan
namanya sendiri : Pulau Ndao,
Ø Belu Mau, anak yang ke-4 (empat), pindah dari Sawu kesuatu daerah dipulau Timor. Daerah
itu kemudian dinamai dengan namanya Belu (sekarang bernama Kabupaten Belu) berbatasan langsung
dengan negara Timor Leste (TimTim). Dia
menurunkan suku bangsa disitu. Suku bangsa keturunannya inipun disebut suku Belu.
Ø Ti Mau (dibaca Thie Mau ), anak yang
bungsu ke-5 (lima), pindah dari Sawu ke-Amfoang
dipulau Timor. Dia mendapatkan sebuah gunung yang kemudian dinamai ‘Ti Mau’, menurut namanya sendiri.
Beberapa orang anaknya pindah dari Amfoang ke-pulau Rote. Mereka
berjumpa dengan anak-anak Radi Mau
dikerajaan Thie sekarang ini yang
pada waktu itu, belum lagi merupakan kerajaan. Kemudian mereka mendirikan
sebuah kerajaan dan kerajaan itu dinamai “ Ti Mau “ menurut
nama ayah mereka yang berdiam di Amfoang (Timor). Nama Ti Mau ini kemudian dipendekkan orang menjadi “ Tie “ saja dan lama-kelamaan dituliskan
orang: “ Thie “ sampai
sekarang.(Gyanto, l958)
Ø Menurut Pendeta Dr.Middelkop, seorang misionaris Belanda yang ditugaskan di pulau Timor (l920),
mengatakan diantara nusak-nusak / kerajaan-kerajaan di pulau Rote berdasarkan cerita adat misalnya Nusak OEnale menyebutkan tokoh lain
yang datang dari Seram dan Alor adalah tokoh : Alo Kai, Leb Kai, Kai Kai, dan Kai Donde
(Middlekoop l968 Atoni, halaman 90,
91).
Ø Pada sumber lain disebutkan, nenek
moyang orang Rote yang pertama bernama ‘Bara Nes,
Keo Nes, Pilo Nes, Fole Nes. Rote
Nes’ yang barasal dari Sela
Den dan Niki Den,
mendiami wilayah kesatuan adat yang disebut dengan Nusak (Kerajaan). Mereka
datang dengan perahu melewati Andanu,
Sera Dai dan akhirnya mendarat di Mueo’en.
Untuk menentukan dimana sebenarnya letak Sela
Den dan Niki Den sulit
ditelusuri. (Sejarah Daerah
NTT,l978,hal.l9).
Ø Terdapat
juga sumber yang menyebutkan bahwa orang Rote yang konon datang dari Utara yang
diterjemahkan “datang dari tanah atas”
atau (lain
do ata)-sehingga
sebagian orang menganggapnya datang dari Caylon. Mereka
datang secara bergelombang ke pulau Rote dengan
o mempergunakan
perahu bercadik
(perahu berkaki/bertangan) yang
o disebutnya
“lete-lete.” Perahu tersebut
terbuat dari ‘pohon deras’ atau pohon ‘dadap/dedap’. Karena itu beberapa marga di
Pulau Rote atau “leo”(suku) di pulau itu pantang/pemali
menggunakan jenis kayu ‘dadap’ tersebut sebagai bahan bakar atau kayu api,
karena perahu nenek moyang mereka datang
ke pulau Rote ini terbuat dari kayu dadap, yang telah menolong mereka tiba
dalam keadaan selamat di pulau Rote.
Ø Tempat asal mereka ialah “ Dailaka”
nama suatu tempat di pulau Seram (Sela Saele). Setelah cukup lama
berlayar tibalah mereka di Atapupu-Timor, yang disebut “Sina do Koli,”menyusur
pantai Timor, Kupang, yang disebut “Timo
do Sape,” menyeberangi selat Puku Afu dan tiba di pulau yang kemudian
dinamakan Rote.
Gelombang pertama yang tiba adalah “Oke Mie” dengan putranya “Henda Oke” serta anak yang lain beserta
keluarganya berdiam di Rote Barat, sedang gelombang berikutnya rombongan “Belobangga
do Kalilaku” mendiami Danohloan di pantai Bilba, Rote Timur.(Mosaik Pariwisata
NTT,1987, hal.7).
Ø Dalam versi lain asal usul nenek moyang orang
Rote berasal dari “Sera Sue” Do “Dai Laka” yaitu Pulau
Seram (Maluku) datang dan menetap di Pulau Timor. Turunannya
tersebar mengarungi lautan dengan merakit pelepah menjadi rakit menuju Pulau
Rote, lalu mendarat di “Tungga Oli Do
Namo (Korbafo)’. Nenek moyang dan
turunannya tersebut diatas setelah
beratus-ratus tahun lamanya, di ceritakan dari mulut ke mulut secara lisan dari
orang tua kepada anaknya dan dari anak ke cucunya sehingga kemudian dicatat sebagai berikut :
Bula Kai dengan
turunannya adalah :
Ø Lakamola Bula--Ke Bilba,
Ø Mengge Bula-Ke - Dengka,
Ø Ndu Bula-----Ke -Ba’a dan Dengka,
Ø Ma Bula------Ke -Termanu,
Ø Patola Bula---Ke - Bokai, Lelain, Ba’a, Ndao,
Thie, Dengka, Loleh
Ø Besi Bula-----Ke – Thie dan Lelain
Ø Ndu Tofa Bula, ke ?
Ø Loma Bula----Ke – Ba’a, Thie, Dengka, Talae,
O’enale,
Ø Makasene Bula (Wanita)---Kawin dengan Manek
Ndana,
Ø Liu Lai Bula beranak : Makapedu Liu
Lai—ke-Dengka
Laihamek Liu Lai ke-
Keka, Talae, Loleh, Bilba,
Lamaketu Liu Lai ke- Rote
Timur
Henda Oke Liu Lai ke - Rote Barat.
Dalam Perpustakaan Barat dalam bahasa Inggris disebutkan
Etnik dan bahasa Rote sbb :
ROTE
(ROTI,
ROTTI, ROTTE, NUSA LONTAR, LOTE, PULAU DOMBA, NUSA SASANDO, ROTTY, ROTINESE) [ROT] 123,000 to 133,000 in ethnic group (1981 Wurm and Hattori). Rote Island
southwest of Timor and on adjacent Timor Island around Kupang and Semau Island.
Austronesian,
Malayo-Polynesian, Central-Eastern, Central Malayo-Polynesian, Timor, Nuclear
Timor, West. Dialects: OENALE-DELHA (OENALE, UNALE, DELHA, DELA),
LANDU-RINGGOU-OEPAO (LANDU, RINGGOU, RENGGOU, OEPAO), BILBA-DIU-LELENUK (BILBA,
DIU, LELENUK), KORBAFFO (KOLBAFFO), BOKAI, TERMANU-TALAE-KEKA (TERMANU, PADA,
TALAE, KEKA), BA'Ä-LOLEH (BAÄ, BA'A, LOLEH, LOLE), DENGKA-LELAIN (DENGKA,
LELAIN), THIE (TI). Significant linguistic blockages to intelligibility among 'dialects',
and attitudes which hinder acceptance of other 'dialects', but social factors
favor considering them one. Speakers from different dialects often
communicate by using Malay. Access by ferry from Kupang, or by air. Christian.
Bible portions 1895. Work in progress. (Sumber
: Wurm dan Hattori Internet)
ROTE
[ROTI] 123,000 to 133,000
in ethnic group (1981 Wurm and Hattori). Rote
Island southwest of Timor and on adjacent Timor Island around Kupang and Semau Island.
Alternate names: ROTI, ROTTI,
ROTINESE. ROTTY, ROTTE, NUSA LONTAR,
LOTE, PULAU DOMBA, NUSA SASANDO,
Dialects: ROTE-TIMUR (LANDU,
ROTE-RINGGOU, RINGGOU, RENGGOU, OEPAO, LANDU RINGGOU-OEPAO, RIKOU), BILBA-DIU-LELENUK
(BILBA, DIU, LELENUK, BELUBAA), ROTE-TENGAH (TERMANU, PADA, TALAE, KEKA,
TERMANU TALAE-KEKA, BOKAI, KORBAFO, KORBAFFO, KOLBAFFO, LELAIN), BA'Ä LOLEH
(BADÄ BA'A, LOLEH, LOLE), TII (TI, THIE). Classification:
Austronesian, Malayo-Polynesian, Central-Eastern, Central
Malayo Polynesian,
Timor, Nuclear Timor, West. More
information.
ROTE, WESTERN
[ROW]
Western Rote Island. Alternate
names: ROTE BARAT, WEST ROTE. Dialects: OENALE-DELHA (OENALE, UNALE, DELHA), DENGKA. Classification: Austronesian,
Malayo-Polynesian, Central-Eastern, Central Malayo-Polynesian, Timor, Nuclear
Timor, West. More
information.
Rote:
Salah Satu Bahasa di Indonesia (Nusa Tenggara)
Populasi 123000-133000
dalam kelompok etnis (Wurm dan Hattori)
Daerah Pulau Rote, tenggara Timor
bertetangga dengan pulau Timor
sekitar Kupang dan pulau Semau Nama
lain Roti, Rotti, Rotinese, Rotty, Lote, Rotte, Pulau Domba, Nusa Lontar,
Nusa Sasando. Dialek Rote Timur (Landu, Rote-Ringgou, Ringgou, Renggou,
Oepao, Landu Ringgou-Oepao, Rikou), Bilda-Diu-Lelenuk (Bilba, Diu, Lelenuk,
Belubaa),
Rote Tengah (Termanu, Pada, Talae, Keka, Termanu-Talae-Keka, Bokai, Korbafo,
Korbaffo, Kolbaffo, Lelain), Ba’a-Loleh (Bada Ba’a, Loleh, Lole), Tii (TI, Thie).
Klasifikasi Austronesia, Melayu-Polynesia,
Tengah-Timur, Melayu-Polynesia Tengah, Timor, Timor Nuklir, Timur Komentar :
Ketertutupan linguistik memperjelas variasi di pulau Rote, dan perilaku
masing-masing variasi, tetapi factor social yang baik membuat menyatukan mereka.
Bahasa yang digunakan dari variasi yang berbeda di Rote kadang berkomunikasi
menggunakan bahasa melayu. Kristen. Segmen injil 1895. (Wurm dan Hattori Internet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.