alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 01 Februari 2015

DARI PERANG TERORIS KE RESESI EKONOMI GLOBAL

Dari Perang Teroris ke Resesi Ekonomi Global
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

HANCURNYA dua menara World Trade Center (WTC) di New York, AS, seakan menghancurkan harapan masyarakat dunia akan lolosnya dunia dari yang namanya resesi global. Yang tinggal hanyalah rasa tidak nyaman, tidak percaya, dan tidak mampu, serta sepotong harapan.  Menjadi konservatif dan lebih berhati-hati dengan pengeluaran, seakan menjadi pribadi baru bagi masyarakat Amerika.

Sebuah gaya hidup baru yang menjadi mimpi buruk bagi semua kapitalis sejati.Bagaimana tidak, dengan trend baru tersebut, apa yang bisa diharapkan untuk dapat menaikkan laju pertumbuhan ekonomi.

Berhemat dengan mengurangi pengeluaran merupakan tema yang agak kurang populer di mata para pengambil kebijakan ekonomi Amerika saat ini. Harapannya adalah rakyat saat ini tetap rajin berbelanja agar penjualan perusahaan meningkat, yang ujung-ujungnya bisa mengangkat angka pertumbuhan ekonomi sehingga selamat dari pertumbuhan ekonomi yang negatif.

Mengapa demikian?

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi (GDP) Amerika kuartal kedua yang bila disetahunkan 0,2 persen, sebenarnya tanpa perlu terjadi tragedi WTC sudah menunjukkan adanya masalah yang mendasar di Amerika. Karena angka 0,2 persen sedikit sekali bedanya dengan bila pertumbuhan ekonomi nol persen ataupun minus 0,000001 persen, padahal artinya nyaris sama, yaitu tidak adanya pertumbuhan ekonomi.

Bedanya hanya 0,2 persen atau nol persen belum masuk dalam definisi resesi, sementara kalau minus 0,000001 persen dan terjadi dua kuartal berturut-turut masuk dalam definisi resesi. Akibatnya adalah mulai timbul kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi yang amat sangat lambat ini mengarah ke resesi yang dapat bersifat global. Kenapa? Pertumbuhan ekonomi Amerika yang lambat berarti permintaan yang juga melambat.

Akibatnya, perusahaan yang tersebar di berbagai negara di dunia, yang rajin mengekspor ke pasar Amerika, pasti akan mengalami penurunan penjualan juga, karena turunnya permintaan yang akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi perusahaan di negara yang bersangkutan juga akan melemah. Sama dengan masalah yang dihadapi di Amerika.

Karenanya, sepanjang tahun 2001 ini berbagai indeks harga saham berbagai bursa utama dunia seakan berlomba sekuatnya berusaha mencapai titik terendahnya. Jadi, perlu diingat bahwa kejatuhan indeks saham seluruh bursa utama dunia itu memang sudah berlangsung, bahkan sejak sebelum terjadinya tragedi WTC!  Tragedi Amerika ini memicu resesi.

Tak heran kala Sang Teroris sukses besar dalam melaksanakan mission impossible-nya, seluruh masyarakat dan investor global menjadi semakin panik. Jatuhnya indeks saham di seluruh bursa di dunia, tak tertahan seperti tak tahannya WTC menopang kedua pesawat yang nyangkut ke sana. Repotnya, George W Bush, Presiden Amerika yang sekarang, seakan tidak mau kalah dengan ayahnya yang dengan gagahnya berhasil menjadi pemenang di Perang Teluk.

Genderang perang yang dilontarkannya tanpa disadarinya telah membuat panik seluruh dunia, bahwa akan terjadi Perang Dunia Ketiga. Ditambah lagi dengan ramalan Nostradamus yang konon dibuat pada tanggal 11 September, tentang tragedi Amerika yang akan memicu Perang Dunia baru.

Akibatnya tanpa disadari, akibat dari penanganan yang terlalu berlebihan, malah membuat ongkos yang ditanggung dunia untuk mengatasi Sang Teroris yang memang berani mati, menjadi biaya yang luar biasa besarnya. Parahnya, bukannya mencoba menenangkan situasi agar rakyatnya tetap melakukan konsumsi dan investasi dan melakukan tindakan pembalasan secara tertutup dan rapi, malah membuat rakyatnya semakin waswas dengan janji-janji perangnya yang tidak jelas akan memerangi siapa.

Hal ini mungkin kelak dalam sejarah Amerika akan menjadi contoh kesalahan seorang Presiden Amerika yang ternyata melupakan musuh yang sebenarnya, yaitu ancaman resesi yang sebetulnya lebih berbahaya karena tidak terlihat, namun efektif membuat hidup semua orang setengah mati.
Kecuali bila strategi ini memang merupakan kiat Bush untuk mengalihkan perhatian rakyatnya dari krisis ekonomi yang tengah melanda negaranya.

Boleh dibilang, dalam beberapa hari pada minggu terjadinya tragedi, aktivitas ekonomi menjadi kendur. Akibatnya adalah semakin dekatnya kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi akan negatif untuk bulan September ini. Dampaknya adalah orang semakin yakin bahwa resesi memang akan terjadi dan semakin mendorong orang menjadi lebih konservatif dan berhati-hati dalam konsumsi dan berinvestasi, sehingga semakin mendekatkan pada terealisasinya resesi yang dikhawatirkan itu.

Tanpa perlu menganalisis terlalu jauh, saat ini saja perusahaan penerbangan Continental sudah mengumumkan merumahkan 12.000 karyawannya, yang tidak tertutup kemungkinan berakhir pada pemutusan hubungan kerja (PHK), bila tidak ada bantuan Pemerintah Amerika. Perusahaan penerbangan lainnya juga sudah mengisyaratkan hal yang sama mengenai rencana PHK puluhan ribu karyawannya. Ternyata berita terakhir adalah perusahaan besar dunia lainnya pun saat ini sudah mengumumkan rencana PHK dalam jumlah yang besar di berbagai negara besar.

UNTUK mengetahui magnitude dari dampak tragedi WTC ini dapat juga dilihat pada dalamnya penurunan indeks harga saham di seluruh bursa utama dunia, yang mencapai 3-12 persen dalam satu hari. Ini sesuatu yang jarang terjadi. Sampai-sampai, karena khawatir indeksnya jatuh bebas, beberapa bursa di Asia malah ditutup begitu saja, seperti di Malaysia, Taiwan, dan Thailand. Hal lain yang perlu diketahui untuk bisa mengukur seberapa mengkhawatirkannya situasi ekonomi dunia ini adalah dari ukuran besaran dan tindakan-tindakan tidak lazim yang diambil.

Misalnya, tindakan penurunan tingkat suku bunga secara agresif yang tidak saja dilakukan oleh The Fed dan European Central Bank (ECB), tetapi juga oleh bank sentral lainnya di Kanada, Swiss, Swedia, Hongkong, Jepang, dan terakhir Inggris, untuk mencegah terjadinya resesi. Penurunan suku bunga ini menjadikan suku bunga berada pada rekor terendah. Di antaranya di Inggris, di mana suku bunga turun menjadi 4,75 persen, atau terendah dalam 40 tahun.

Dana milyaran dollar AS disediakan oleh Pemerintah Amerika, baik untuk memperbaiki dampak penyerangan maupun untuk menjaga stabilitas keuangan. Selain itu, PHK yang dengan cepat akan dilakukan oleh banyak perusahaan besar di dunia saat ini. Juga rekor indeks saham terendah dalam rentang waktu belasan tahun, sebagaimana di Jepang.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan fenomena yang tidak lazim seperti ini, persepsi pesimis pasar bisa diubah, misalnya dengan penurunan bunga secara drastis, termasuk serangkaian kebijakan yang dianggap menarik pasar? Pengamatan terakhir sampai dengan saat ini, tampaknya usaha itu belum mampu sepenuhnya memulihkan persepsi pasar.

Hal ini ditunjukkan dengan masih turunnya indeks saham bursa di Eropa, dalam kisaran 1-2 persen pada penutupan hari Selasa. Hanya Wall Street yang terlihat sudah mulai agak stabil. Ketidakstabilan dari pergerakan indeks yang masih liar (naik-turun lebih dari satu persen) menunjukkan masih volatile-nya situasi pasar. Ini menggambarkan masih tingginya risiko ketidakpastian yang dihadapi pasar.

Seriusnya tingkat kepanikan atas ancaman resesi ini dapat dilihat pada serangkaian tindakan persiapan yang tak pernah dilakukan sebelumnya, yang dilakukan oleh seluruh pihak yang terkait untuk menahan kejatuhan indeks di Wall Street.

Termasuk di antaranya penyediaan dana likuiditas yang nyaris tanpa batas kepada lembaga keuangan dan bank dalam jumlah ratusan milyar dollar AS, melonggarkan aturan buy back saham oleh emiten, penurunan tingkat suku bunga federal fund rate menjadi 3  persen, dan discount rate menjadi 2,5 persen, terendah dalam 45 tahun. Selain itu, juga melarang short selling yang sudah menjadi ciri khas Wall Street, dan mengimbau investor untuk tidak melakukan penjualan pada hari perdagangan kembali, dengan jargon-jargon patriotisme.

Hal mana dalam kondisi normal merupakan sesuatu hal yang pasti akan sangat memalukan dilakukan oleh bursa sekelas Wall Street. Bahkan, untuk meyakinkan pasar, sampai-sampai para petinggi politik dan keuangan Amerika secara bersemangat memompa semangat pasar melalui kehadiran mereka saat bunyi bel perdagangan dimulai, sembari terus mengimbau warga Amerika membuktikan kepatrioritannya dengan membeli saham di bursa untuk menahan laju jatuhnya indeks. Indeks Wall Street memang tidak mengalami crash, namun tetap tidak bisa menghindarkan diri dari suatu koreksi pasar yang tajam. Pasar memang tidak pernah berbohong dan tidak bisa dibohongi.

Pada hari Senin, pasar Eropa yang ditutup lebih awal ketimbang Wall Street memang ditutup positif, walau awalnya indeks masuk dalam teritori negatif.
Menjelang tutup, indeks di Eropa naik tajam sebesar 2-3 persen, karena melihat dukungan yang cukup kuat di saat awal perdagangan di Wall Street.  Menguatnya indeks di Eropa ini juga dipicu oleh keputusan bersama The Fed dan European Central Bank yang secara agresif menurunkan tingkat suku bunganya hingga 0,5 persen. Namun demikian, setelah bursa di Eropa tutup, Wall Street tetap saja tidak bisa melawan persepsi pasar yang memang sedang negatif. Secara perlahan dan pasti indeks terus melemah.

Walaupun hanya turun tipis di awal pembukaan perdagangan, pada perdagangan sore harinya indeks Wall Street melemah secara tajam sebesar 7,1 persen untuk Dow Jones dan 6,8 persen untuk Nasdaq. Bursa Eropa yang sempat menguat pada hari Senin, ternyata juga tak mampu menahan realitas pasar, anjok kembali sekitar 1-2 persen pada hari berikutnya (Selasa).
Bursa Asia juga mengalami kenaikan yang bersifat technical rebound, antara 1-3 persen pada hari Selasa lalu, sebagai pengimbang atas penurunan yang terjadi di bursa Asia hari sebelumnya, saat pasar waswas menanti pembukaan Wall Street dan paralel dengan kenaikan yang terjadi di Eropa pada hari Senin.

Namun, koreksi teknis (technical correction) tampaknya kemungkinan yang akan terjadi pada hari Rabu. SECARA umum, strategi yang dilancarkan oleh para pemimpin politik dan keuangan di Amerika serta kerja sama lintas Atlantik dengan para pemimpin Bank Sentral Eropa, pada awalnya memang berhasil mencegah crash atau terjun bebas harga saham Wall Street. Namun, dengan melihat penurunan yang sampai sebesar 7,1 persen pada Dow Jones dan 6,8 persen pada Nasdaq dalam satu hari-walaupun segala upaya telah dilakukan-sebetulnya menyampaikan pesan pasar bahwa potensi penurunan masih akan dapat terjadi dalam waktu dekat. Penurunan indeks tersebut juga secara implisit menunjukkan bahwa persepsi negatif yang ada pada pasar atau masyarakat dan investor memang sudah pada tingkat yang perlu dikhawatirkan. Yang tidak terpengaruh lagi dengan iming-iming bunga yang rendah. Kegalauan yang menguasai pikiran masyarakat adalah apakah mereka masih bekerja esok hari dan apakah kehidupan tetap sama esok hari.

Hantu pikiran yang tidak ada kepastian ini jelas akan mengubah pola konsumsi serta investasi masyarakat menjadi lebih konservatif. Hal ini menjadi lebih buruk dengan dominannya mainstream pemikiran para ahli ekonomi Amerika maupun global yang terlihat khawatir dengan ancaman resesi. Kecuali Bush yang tetap saja optimis dan terus bernafsu dengan permainan perang-perangannya yang baru.

Yang juga menarik adalah banyak orang merasa tidak yakin dengan situasi ke depan. Bahkan tragedi WTC seakan membawa dunia kepada era baru yang unik, yang penanganan permasalahannya semakin menjauh dari pendekatan teori dan textbook. Sedikit contoh bisa diambil, seperti digunakannya segala cara untuk menahan anjloknya indeks, mulai dari penurunan bunga yang tidak pada waktunya (harusnya baru diputuskan pada 2 Oktober 2001), pemompaan likuiditas yang nyaris tanpa batas, sampai pada penggunaan slogan patriotisme.

Hal ini mungkin masih relevan dalam kaitan teori, akan tetapi cara penangan masalah itu sebenarnya agak kurang lazim. Belum lagi dengan asas mekanisme pasar yang selama ini diagungkan, yang boleh dibilang terlanggar bila melihat upaya tersebut yang sebenarnya mengatur pasar. Padahal, hasil dari semua itu masih tanda tanya dan bersifat trial and error. Untuk konservatifnya, harusnya apa yang telah dicapai oleh Wall Street pada Senin lalu, tidak diterima begitu saja. Apa yang terjadi belumlah mencerminkan dari apa yang menjadi persepsi pasar.

Terlalu banyak distorsi yang terjadi.

Pasar modal dunia kelihatannya masih akan bersifat eksplosif.
Pembukaan kembali Wall Street hanya merupakan indikator awal. Pasar global dalam beberapa hari ke depan masih akan terus berfluktuasi, mencari titik keseimbangannya yang baru. Pergerakan tiga benua besar bursa dunia yaitu Amerika, Eropa, dan Asia, tampaknya akan menjadi barometer baru yang akan diikuti terus dengan cemas oleh dunia.

Data statistik ekonomi September yang merupakan pula data kuartal ketiga, baik di Amerika maupun dunia, akan menjadi data yang akan menentukan ekonomi dan pasar modal dunia sampai dengan akhir tahun ini. Saat itulah sebenarnya sebagian cerita besar mengenai arah ekonomi dunia akan lebih terbaca lagi. Secara konservatif, memang lebih besar kemungkinan berita negatif yang akan terjadi. Tetapi, jangan pula terlalu under estimate dengan situasi yang ada. Sebab, The Fed dan ECB masih mempunyai senjata pamungkas untuk mengatasi hal ini, yaitu melalui serangkaian kebijakan penurunan tingkat suku bunga yang "super agresif".

Sasaran termudah

Kondisi ekonomi yang runyam seperti saat ini, dengan country risk yang tinggi, ditambah beban utang luar negeri sebesar 146 milyar dollar AS, jelas membuat posisi Indonesia sangat rentan tanpa perlindungan. Di mana hanya kecerdikan dan keberanian yang akan bisa menyelamatkan perekonomian negara ini.

Kunci dari pemulihan ekonomi Indonesia sebenarnya ada pada kurs rupiah yang stabil, dengan tingkat depresiasi yang rendah dan terukur. Masalahnya adalah kunci untuk mendapatkan kurs yang stabil ada pada beberapa variabel yang tidak bisa dikontrol, namun masing-masing mempunyai pengaruh yang kuat bila dalam posisi dominan. Kunci itu misalnya politik, sebagaimana saat mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan jurus kungfu maboknya, maka kucar-kacirlah rupiah.

Hal ini kemudian memaksa BI menaikkan suku bunga untuk menstabilkan rupiah, mencegah inflasi, dan meredam dollar AS. Kunci lainnya adalah inflasi, di mana bila terjadi kenaikan inflasi-baik demand pull inflation atau cost push inflation-, maka akan memerosotkan kurs rupiah, mengikuti perhitungan paritas daya beli (puchasing power parity), yang berarti akan membebani APBN.

Kunci secara umum lainnya adalah persepsi pasar tentang apa pun yang terjadi di Indonesia. Misalkan resesi diasumsikan terjadi-di mana saat resesi umumnya semua negara akan mengurangi impornya-maka kemungkinan besar rupiah akan anjlok lagi.

Rupiah akan melorot karena pasar dengan mudah akan bertanya dari mana Indonesia akan bisa mendapatkan dollar AS yang cukup untuk membayar utang dollarnya yang jatuh tempo, bila ekspornya turun? Rentannya posisi Indonesia dalam masa resesi pun telah diakui oleh Menkeu Boediono, yang menyatakan Indonesia tidak akan berdaya bila terjadi resesi. Itu adalah jawaban yang benar dan jujur serta harus kita akui bersama.


Pertanyaan berikutnya, apakah kita akan pasrah menerima keadaan itu ataukah kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan untuk melindungi bangsa ini? Bila tak ada jalan lain, selayaknya kita mencoba jalan lain yang ada tetapi tak pernah kita coba. Seperti, misalnya, kita selayaknya meminta dengan segala cara, potongan utang atau paling tidak penjadwalan atas seluruh pembayaran utang selama mungkin, dengan bunga serendah-rendahnya. Alasannya hanya satu, kita memang sudah tidak bisa lagi membayarnya dengan cara yang wajar!  Selain itu, juga perlu strategi pengendalian devisa yang lebih efektif, namun tanpa mengganggu kepercayaan pasar. Termasuk di antaranya kebijakan untuk penghematan dalam pengeluaran devisa yang tidak prioritas. Pemerintah pasti telah pernah melakukan kajian-kajian strategi alternatif yang mungkin pernah menjadi wacana. (Dandossi Matram, pengamat pasar modal ) Internet. >Kamis, 20 September 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.