KEDUTAAN
BESAR REPUBLIK INDONESIA
EMBASSY OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
8 Darwin Avenue, Yarralumla, Canberra, A.C.T. 2600
AUSTRALIA
Tel. +612 6250 8600, Fax. +612 6273 6017
SIARAN PERS
PERTEMUAN
AUSTRALIA-INDONESIA MINISTERIAL
FORUM KE-IX CANBERRA
Hubungan
bilateral Indonesia dan Australia semakin kuat dan stabil dengan
dihasilkannya sejumlah kesepakatan penting dalam Pertemuan Forum Tingkat
Menteri Australia-Indonesia (Australia-Indonesia Ministerial Forum/AIMF)
ke-IX
yang berlangsung pada tanggal 10-12 November 2008 di Canberra,
Australia.
Dalam
pertemuan yang berlangsung konstruktif, Menlu RI Dr. N. Hassan Wirajuda
dan
Menlu Australia Stephen Smith, MP sebagai ketua masing-masing Delegasi
berhasil menandatangani Joint Ministerial Statement AIMF IX yang mencakup
seluruh aspek yang menjadi kepentingan bersama dalam bidang keamanan,
hukum,
pendidikan, lingkungan hidup, pertanian, perikanan, perdagangan dan
investasi, transportasi, ketenagakerjaan serta kerjasama pembangunan lainnya,
disamping Joint Ministerial Statement yang khusus mengenai "People
Smuggling
and Trafficking in Persons".
Dalam
aspek kerjasama keamanan, pertemuan AIMF ini juga berhasil menandatangani
Rencana Aksi (Plan of Action) sebagai landasan hukum implementasi Perjanjian
Kerangka Kerjasama Keamanan Indonesia - Australia (Lombok/Perth Treaty) guna
memperkuat kerjasama keamanan kedua negara yang telah ada. Para Menteri kedua
negara juga menyambut baik berbagai kerjasama penegakan hukum,
termasuk
kerjasama antar kepolisian dalam penanganan kejahatan lintas batas
(transnational crime), utamanya yang terkait
dengan people smuggling and
trafficking in persons, illicit trafficking in drugs dan
terorisme. Dalam
kerangka kerjasama ini pula, kedua negara menyambut baik
kelanjutan program
capacity building dalam kerangka kerjasama penegakan
hukum melalui Jakarta
Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC).
Terkait isu illegal fishing,
kedua negara menyepakati adanya keterkaitan
penanganan isu dimaksud dengan
masalah kejahatan lintas batas yang
terorganisir (transnational organized
crimes) sehingga perlu mengeksplorasi cara
dan langkah-langkah penanganan
secara efektif. Selain itu, kedua negara mencatat
perlu dikembangkannya
cara-cara yang inovatif untuk memajukan segenap aspek
pengelolaan perikanan
yang tertuang dalam MOU Box 1974 dengan mengakui
adanya kepentingan nelayan
tradisional dan keberlanjutan sumberdaya perikanan.
Salah
satu terobosan penting lainnya dalam pertemuan ini adalah
disepakatinya
pembahasan lebih lanjut mengenai "Bilateral Arrangement on
Consular
Assistance" yang merupakan usulan Indonesia
dalam rangka perlindungan
warganegara kedua negara.
Selain pembahasan mengenai kerjasama bilateral, kedua belah pihak turut
mendiskusikan
hal-hal yang menjadi kepentingan bersama dalam menghadapi
tantangan regional
dan global, antara lain mengenai krisis keuangan global,
perubahan iklim,
lingkungan hidup, keamanan pangan dan energi, serta masalah
keamanan manusia.
Secara
khusus, Australia juga memberikan apresiasi atas peran dan prakarsa
penting
Indonesia, yakni kepemimpinan Indonesia dalam pembahasan isu
perubahan iklim
khususnya keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan
Para Pihak
Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim pada bulan Desember 2007;
Coral
Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security; serta
rencana penyelenggaraan World Ocean Conference bulan Mei tahun 2009; dan
pembentukan Bali Democracy Forum yang bertujuan untuk mempromosikan
kerjasama
regional dalam isu demokrasi dan memperkuat institusi demokrasi melalui
dialog dan lessons learned.
Di
bidang kehutanan, kedua negara telah berhasil menandatangani Letter of Intent
mengenai Kerjasama di bidang Kehutanan termasuk capacity building dalam
pencapaian Sustainable Forest Management (SFM), penanganan masalah illegal
logging, memperkuat penegakan hukum di bidang kehutanan dan
governance, serta
upaya pemberantasan illicit international trafficking produk-produk
hutan.
Terkait
dengan upaya pemajuan hubungan di tingkat masyarakat, Indonesia dan
Australia
memiliki komitmen yang sama dan menyambut baik berbagai kerjasama dan
inisiatif penting yang dirancang untuk menumbuhkembangkan saling pengertian
dan mendorong pemajuan aspek people-to-people links di bidang pendidikan,
kerjasama antar parlemen, penyelenggaraan Interfaith Dialogue dan
intercultural dialogue, termasuk peran Australia-Indonesia Institute (AII)
dan
prakarsa Australia untuk menyelenggarakan konferensi mengenai hubungan
bilateral pada tahun 2009.
Selain itu, kedua negara menyepakati untuk
menandatangani Work and Holiday Visa
Memorandum of
Understanding pada akhir
tahun ini yang diharapkan dapat membuka
kesempatan bagi mahasiswa untuk
menimba pengalaman bekerja di kedua negara.
Pertemuan
AIMF ke-IX diakhiri dengan press conference bersama antara Menteri
Luar
Negeri RI dan Australia di hadapan kalangan sejumlah wartawan dari Indonesia
dan Australia bertempat di Parliament House. Pada kesempatan tersebut
kedua
Menteri menyampaikan hasil-hasil pertemuan AIMF ke-IX dan hubungan
bilateral
kedua negara.
Sehari
sebelum diselenggarakannya pertemuan AIMF ini, di tempat terpisah telah
ditandatangani MoU on Cooperation in Education and Training antara Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Prof. Dr. Bambang Sudibyo dengan
Menteri
Pendidikan Australia Julia Gillard MP. Kesepakatan ini bertujuan
untuk mendorong
semakin tingginya interaksi di tingkat masyarakat.
Disamping
Menteri Luar Negeri RI, turut hadir Menteri Perdagangan Dr. Mari Elka
Pangestu;
Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta; Menteri Negara Lingkungan
Hidup
Rachmat Witoelar; Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi; dan
Menteri
Pertanian Anton Apriyantono.
AIMF
ke-IX ini merupakan pertemuan pertama antara Pemri dengan Pemerintah
Australia
di bawah pemerintahan Partai Buruh yang memenangkan Pemilu pada
November
2007. Kedua pihak menyepakati untuk mengadakan AIMF ke-X di Indonesia
pada
tahun 2009.
Perwakin Canberra, 12
November 2008
Media inquiries : contact the
Information Officer of the Embassy at + 612 62508642
|
EMBASSY OF THE
REPUBLIC OF INDONESIA
8 Darwin Avenue, Yarralumla, Canberra, A.C.T. 2600
AUSTRALIA
Tel. +612 6250 8600, Fax. +612 6273 6017
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
|
Foreign Affairs and Defence
Ministers Meeting:
Australia– Indonesia Ministerial
Dialogue
ENG | 20 December 2012 |
13:41
I. Latar Belakang
Foreign
Affairs And Defence Ministers Meeting adalah forum dua negara melibatkan
dua menteri dari
masing-masing negara yaitu Menteri Luar Negeri dan Menteri
Pertahanan yang
dalam pelaksanaannya didampingi oleh pejabat senior
termasuk Duta Besar,
Panglima Angkatan Bersenjata, Pejabat tinggi Kementerian
Luar Negeri dan
Kementerian Pertahanan kedua negara dan National Security Adviser.
Australia sudah melakukan dialog ini dengan beberapa negara antara lain
Amerika Serikat, Inggris dan Jepang.
Dengan AS (AUSMIN), Australia sudah
melangsungkan pertemuan ini sebanyak 25
kali yang dilaksanakan satu tahun
sekali sejak tahun 1975. Dengan Inggris (AUKMIN),
Australia sudah
melaksanakannya
sebanyak 3 kali dalam kurun waktu 6 tahun dan dengan Jepang
dilakukan 18 bulan
sekali yang sudah berlangsung pada tahun 2007, 2008 dan
2010.
Tujuan
Pembentukan Australia – Indonesia Ministerial
Dialogue (AIMIN)
adalah untuk
meningkatkan hubungan kedua negara sebagai tetangga dan mitra
strategis di
kawasan. AIMIN akan menjadi forum untuk mendukung kerjasama
bilateral, regional
dan internasional yang mencakup isu diplomatik,
intelijen, militer, keamanan dan
stretegis sejalan dengan prinsip dan
kesepakatan Comprehensive Partnership,
Lombok Treaty, Plan
of Action dan Joint
Statement Kepala
Negara.
Sebagaimana
disebutkan dalam Comprehensive Partnership tahun 2005 bahwa
kedua negara
memiliki komitmen untuk memperkuat kerjasama di seluruh lini
dengan membentuk Comprehensive
Partnership. Salah satu lini kerjasama
tersebut adalahsecurity cooperation.
Tujuan kerjasama security cooperation yaitu
untuk memerangi segala bentuk
kejahatan seperti transnational organized crime dan
ancaman non-traditional
security.
Kedua
negara memiliki komitmen untuk mengedepankan kerjasama
pertahanan sesuai
dengan mandat Lombok Treaty dan Plan
of Action.
Terdapat 10 bidang kerja yang termaktub dalam Lombok
Treaty yaitu Defence
Cooperation, Law Enforcement Cooperation, Counter-terrorism Cooperation,
Intelligence Cooperation, Maritime Security, Aviation Safety and Security,
Proliferation of Weapons of Mass Destruction, Emergency Cooperation dan
Community
Understanding and People-to-People Cooperation.
Sesuai
dengan Joint Statement kunjungan Presiden RI ke Australia
10 Maret
2010 kedua negara menyepakati untuk mengadakan pertemuan
tahunan
Foreign Affairs and Defence
Ministers Meeting (FADMM)
Australia dan Indonesia. Dalam kunjungan Perdana Menteri Australia ke
Indonesia 1-2 November 2010 pemimpin kedua negara menyepakati
agar pertemuan
menteri luar negeri dan menteri pertahanan kedua negara akan
dilakukan setiap
tahun pada waktu yang tepat.
AIMIN
dapat menjadi trigger dalam mewujudkan komitmen bersama di
bidang
pertahanan sebagaimana tercantum dalam Comprehensive
Partnership,
Lombok Treaty, Plan
of Action dan Joint
Statement Kepala
Negara serta
kerjasama lainnya yang dipandang perlu untuk dibahas antara
Menteri Luar Negeri
dan Menteri Pertahanan kedua negara. Selain menjadi forum
pembahasan emerging
issues of common concern,
AIMIN dapat menjadi tolak ukur kemajuan
hubungan kedua negara khususnya dari
sisi kepentingan Indonesia. Hal ini
sejalan dengan arahan Menteri Luar Negeri
Indonesia mengenai perlunya mekanisme
score card untuk memastikan adanya
perkembangan dan kemajuan hubungan kedua
negara.
Sebagaimana
disebutkan dalam Joint Statement kunjungan Perdana Menteri Australia
ke
Indonesia pertemuan FADMM akan didahului dengan pertemuan tingkat pejabat
tinggi, termasuk pertemuan Kelompok Konsultasi Kerjasama Keamanan sebagai
mekanisme yang telah disepakati untuk meninjau ulang kerjasama yang ada,
serta mengkordinasikan dan menetapkan prioritas dari Rencana Aksi Lombok
Treaty.
Non
Paper Australia tentang
penyelenggaraan Australia’s 2+2 Ministerial
Dialoguesmenyebutkan kesepakatan yang akan dibuat memuat beberapa
bidang
yang juga akan menjadi agenda pertemuan antara lain diplomatic,
intelligence,
military, isu security and strategic,
kerjasama pertahanan dan memuat
pemahaman dan kerjasama atas dasar Lombok
Treaty. Selain itu format yang
ditawarkan adalah pertemuan
tahunan.
Terkait
hal ini, penulis memiliki pemikiran apabila penyelenggaran pertemuan
dimaksud
tidak hanya memuat agenda tentang keamanan akan tetapi agenda lainnya
seperti
ekonomi, maka pertemuan akan lebih efektif apabila dilaksanakan dalam dua
hari. Hari pertama agenda yang dibahas adalah isu non-security yang hanya akan
dihadiri oleh
Menteri Luar Negeri masing-masing negara, sedangkan pada hari kedua,
pertemuan akan dihadiri oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan kedua
negara dan dalam agendanya membahas isu keamanan. Pemerintah Indonesia dan
Australia diharapkan berkomitmen untuk melaporkan perkembangan hubungan
kedua
negara setiap tahunnya dalam pertemuan ini demi terwujudnya peningkatan
hubungan kedua negara.
III. Masukan dalam Australia – Indonesia
Ministerial Dialouge
Indonesia
dapat mengusulkan beberapa isu untuk dijadikan bahan masukan
dalamAustralia – Indonesia Minisetrial
Dialouge antara
lain:
A. Bidang Kerjasama Maritime Security (Pasal 3 ayat 13 dan 14
Lombok Treatydan
Plan of Action angka II 16 a)
1). MOU Box
Sesuai
dengan Pasal 3 ayat 13 dan 14 Lombok Treaty dan Plan
of Action angka
II
16 a kedua negara sepakat untuk melaksanakan Maritime
Security. Terkait Isu MOU
Box kedua negara berkomitmen untuk
menindak traditional fisherman yang
melakukan aktifitas illegal disekitar MOU Box. Kedua belah pihak
perlu
melakukan tindaklanjut atas agreement yang disepakati pada tahun 1974 tersebut.
Indonesia pernah mengusulkan
beberapa program kerjasama terkait dengan Joint
Survey dan riset didaerah MOU Box tentang kelestarian sumber daya
natural
yang berhubungan dengan kesejahteraan nelayan tradisional serta
motivasi para
nelayan tradisional melakkan aktifitas di wilayah MOU Box.
Outcome: Pelaksanaan
komitmen ini perlu ditegaskan kembali demi terciptanya
hubungan baik diantara
kedua negara dan mewujudkan kepatuhan terhadap
perjanjian yang pernah
disepakati sebelumnya. Sebagaimana pengturan UNCLOS
1982 tentang traditional
fishing dalam Article 51 menyebutkan “State
shall respect
existing agreements with other States and shall recognize
traditional fishing
rights and other legitimate activities of the immediately
adjacent neighbouring
States in certain areas falling within archipelagic
waters. The terms and
conditions for the exercise of such rights and
activities, including the nature, the
extent and the areas to which they
apply, shall, at the request of any of the
States concerned, be regulated by
bilateral agreements between them. Such rights
shall not be transferred to or
shared with third States or their nationals.”
Pengaturan
mengenai traditional fishing yang diatur dalam MOU Box
juga
diperkuat oleh UNCLOS, walaupun perangkat hukum ini lahir setelah adanya
MOU
Box. Bila dianggap perlu, kedua negara dapat melakukan amandemen terhadap
MOU
Box dan merubah pasal yang menjadai kendala dalam mengurangi aktifitas
illegal di
daerah MOU Box.
2). Perth Treaty
Sesuai
dengan Pasal 2 ayat 2 Lombok Treaty dan Plan
of Action angka II
8 a
kedua negara sepakat untuk menjunjung tinggi territorial
integrity dan
non-interference
in internal affairs. Penandatanganan Perth
Treaty merupakan
komitmen bersama untuk mewujudkan batas wilayah laut yang jelas antara kedua
negara. Oleh karenanya ratifikasi Perth Treaty menjadi hal yang penting
untuk
dilakukan Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 tentang
Western
Extension of Seabed Boundary dan
Pasal 2 tentang Exclusive Economic
Zone memberikan batasan jelas kedua
negara terkait Batas Dasar laut dan Zona
Ekonomi Eksklusif.
Outcome: Dalam upaya menghindari konflik yang dapat terjadi dikemudian hari
dan
campur tangan Australia dalam mengelola wilayah laut Indonesia penegasan
komitmen terhadap Perth Treaty menjadi penting tentunya setelah
dilakukannya
ratifikasi oleh Indonesia.
B. Bidang Kejasama Law Enforcement (Pasal 3 ayat 5 Lombok Treaty dan Plan of
Action angka II 9)
Sesuai
dengan Pasal 3 ayat 5 Lombok Treaty dan Plan
of Action angka II
9
tentangLaw Enforcement kedua negara bersepakat untuk
menjunjung tinggi
hukum domestik yang berlaku di masing-masing negara. Selain
itu kedua negara
berkomitmen untuk mematuhi perjanjian bilateral yang telah
disepakati.
1) Ekstradisi, Mutual Legal
Assistance, dan Transfer of
sentenced person
Sebagaiman
disampaikan Presiden RI pada kunjungan Perdana Menteri
Australia ke
Indonesia, kerjasama harus dikembangkan dalam hal ekstradisi,
Mutual
Legal Assistance dan Transfer
of sentenced person. Dalam kerjasama
ekstradisi kedua negara berkomitmen
untuk memfasilitasi permintaan ekstradisi
dengan tepat waktu sesuai dengan
ketentuan perundangan-undangan nasional,
kesepakatan bilateral yang ada dan
konvensi multilateral terkait. Terkait Mutual
Legal Assistance kedua negara diharapkan
melaksankan kerjasama terebut sesuai
dengan ketentuan yang ada.
Outcome: Mengenai Transfer
of sentenced person perlu
dilakukan persetujuan
terlebih dahulu terkait pelanggaran hukum mana yang
dapat diberikan Transfer of
sentenced person dan memastikan agar komitmen
tersebut tidak melanggar
prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Hal
ini dapat di lakukan dalam
sebuaharrangements mengenai Transfer
of sentenced person antara
kedua negara
melaluifocal
point masing-masing
yaitu POLRI dan Kejaksaan untuk Indonesia,
Australian Federal Police,
Australian Customs Service, Department of Immigration
and citizenship dan
Attorney-General’s Department untuk Australia. Mengingat
masalah hukum yang
dihadapi baik oleh WNI di Australia maupun warga negara
Australia di Indonesia
menjadi pembahasan yang penting dimata kedua negara
dan pembentukanarrangements akan berguna untuk kepastian
hukum warga negara
Indonesia dan Australia.
2). People smuggling
and trafficking in persons (Plan of
Action angka II 10c)
Kedua negara berkomitmen untuk
berkerjasama lebih erat dalam kerangka Bali
Process (plan of action angka II
10 g), dan secara bilateral dalam Lombok
Treaty, termasuk
melalui Kerangka Kerja Implementasi Untuk Kerjasama
Pemberantasan
Penyeludupan Orang dan Perdagangan Manusia. Dipahami juga
bahwa kejahatan
lintas negara, termasuk penyeludupan manusia dan perdagangan
orang merupakan
permasalahan regional yang memerlukan pendekatan
komprehensif yang melibatkan
semua pihak dikawasan khususnya negara asal,
negara tansit dan negara tujuan
termasuk kerjasama erat dengan lembaga
internasional terkait. Sebagai ketua
bersama pertemuan Bali Process untuk
penanggulangan Penyeludupan Manusia,
Perdagangan orang dan Kejahatan
Lintas Negara kedua belah pihak berharap
menyelenggarakan Bali Process dan
melakukan pembahasan atas usulan Australia
bagi sebuah kerangka
perlindungan regional yang akan menanggulangi
permasalahan, termasuk
pemrosesan, pengembalian dan penempatan kembali.
Australia memiliki hukum yang mengatur
tentang hak untuk menyampaikan
informasi yang termaktub dalam Privacy
Act 1988. Dalam pengaturan tersebut
disebutkan pemerintah
Australia tidak dapat menyampaikan informasi tentang
seseorang tanpa
persetujuan yang bersangkutan. Peraturan
dalam Privacy Act
dimaksud merupakan hambatan yang dihadari KBRI dalam
memberikan bantuan
kepada WNI berupa akses kekonsuleran dan bantuan hukum.
Kedua negara telah menandatangani Arrangement
Between the Government of
Australia and the Government of the Republic of
Indonesia on Consular
Notification and Assistance (ACNA) yang pada prinsipnya
memuat kesepakatan
kedua negara dalam upaya pemberian perlindungan dan
bantuan hukum oleh misi
diplomatik dan pejabat konsuler kedua negara kepada
warga negaranya yang diduga
terlibat permasalahan hukum di Negara penerima.
Secara garis besar, ACNA
disusun secara khusus untuk menjawab tantangan
mengenai adanya peningkatan
trend permasalahan kekonsuleran yaitu kasus-kasus unauthorized
arrivals yang
melibatkan Anak Buah Kapal (ABK) dan nelayan WNI.
Sesuai kesepakatan kedua negara, ACNA telah disusun sesuai dengan undang-undang dan peraturan
yang
berlaku pada Negara penerima
serta hukum internasional lainnya, antara
lain 1961 Vienna Convention on Diplomatic
Relations dan 1963
Vienna Convention on Consular Relations.
Dalam
hal pemberian bantuan kepada WNI yang ditangkap, bagian 6 butir 5 ACNA
menyebutkan “An arrested, detained or
apprehended national will be entitled to
receive and to send letters and
other correspondence and to receive goods,
medicines and other articles for
personal use within the limits imposed by the
applicable laws and regulations
of the receiving State”. Namun dalam
prakteknya, otoritas terkait
di Australia banyak menerapkan larangan bagi pejabat
konsuler untuk
memberikan barang-barang untuk konsumsi pribadi kepada WNI yang
ditangkap.
Alasan yang disamapiakan bahwa perlakuan tersebut tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku di Australia.
Outcome: Indonesia dapat meminta komitmen
pemerintah Australia melalui
pertemuan AIMIN kepada Australia agar memberlakukan
ketentuan ACNA sesuai
dengan yang telah dicantumkan dalam Bagian 5 butir 1
dan Bagian 6 Butir 1 yang
menyebutkan instansi terkait di Australia secara
rutin menyampaikan notifikasi
mengenai adanya penangkapan kapal ilegal yang
diduga melibatkan WNI dalam
jangka waktu kurang dari 3 hari kerja. Karena
dalam perakteknya notifikasi yang
disampaikan kepada pejabat konsuler
melalui komunikasi e-mail bersifat umum dan
tidak menyebutkan informasi
lengkap yang diperlukan oleh Perwakilan RI
mengingat akan bertentangan dengan Privacy
Act 1988. Dalam
kaitannya
dengan hal ini Indonesia dapat meminta amandemen terhadap ketentuan
ACNA
untuk menyebutkan secara tegas nama dan identitas WNI yang ditangkap
kepada
perwakilan RI demi membantu WNI dalam menghadapi masalah hukum yang
didakwakan.
3). Illegal fishing (Plan of Action angka II 10 c)
Indonesia dan Australia menyadari
pentingnya kerjasama dalam mencegah,
memberantas,
dan menghapuskan penangkapan ikan yang tidak legal, tidak
dilaporkan dan
tidak diatur (Illegal,
Unreported, and Unregulated Fishing) antara
kedua negara di
Kawasan Asia Pasifik. Kedua negara juga menyadari bahwa
IUU Fishing adalah
ancaman besar bagi ketahanan pangan di kawasan Asia-Pasifik,
sebagaimana
tercantum dalam Deklarasi Pracas dari 3rd Asia-Pasific Economic
Cooperation
Ocean Related Ministerial Meeting dan berkomitmen untuk
mendorong sebanyak
mungkin aplikasi pada Konvensi PBB Melawan kejahatan Lintas
Batas Untuk
Memerangi IUU Fishing.
Forum kerjasama perikanan Australia-Indonesia dikenal dengan
nama Australia-
Indonesia Working Group on Marine
Affairs and Fisheries yang berada di bawah
naungan AIMF.
Kelompok Kerja didirikan pada bulan Juni 2001 pada sebuah
pertemuan antara
Menteri Kelautan dan Perikanan Australia dan Indonesia.
Kelompok Kerja
bertujuan untuk mengkoordinasikan kerjasama yang telah ada dan
memfasilitasi
kerjasama di masa yang akan datang di bidang manajemen
perikanan dan
akuakultur, penelitian dan pengembangan, konservasi lingkungan
laut dan
penelitian dan pengembangan bioteknologi kelautan.
Pertemuan pertama dari Kelompok Kerja diadakan pada bulan April 2002, dan beberapa daerah kerja
sama
telah disepakati: kerjasama untuk memerangi illegal, unreported
and unregulated
fishing, pengelolaan
perikanan,Pengembangan aquaculture,
lingkungan laut, bioteknologi kelautan,
produk perikanan, keamanan, mutu,
pengembangan produk dan promosi
perdagangan, pendidikan, pelatihan dan
peningkatan kapasitas, pengurangan kemiskinan,
dan, kelautan, pesisir dan
pulau-pulau kecil pengembangan dan manajemen.
Kedua negara sepakat untuk meningkatkan
pengawasan dalam upaya
penanggulangan illegal fishing di perbatasan ZEE
melalui beberapa kerjasama,
yaitu:Peningkatan patroli terkoordinasi,
pertukaran data dan informasi, kunjungan
timbal balik antara kapal patroli
perikan
an Indonesia dengan kapal patroli Bea Cukai Australia, peningkatan
kapasitas SDM
pengawasan perikanan melalui pelatihan, dan dukungan teknis
lain yang
diperlukan untuk kapal pengawas perikanan Indonesia. Yang ditangani
tidak
hanya kapal penangkap ikan illegal, tapi termasuk juga “kapal induk
(mothership)”
yang sering berada di perbatasan dua negara, menampung ikan
hasil jarahan.
Demikian salah satu butir kesepakatan dalam The 6th Working
Group on Marine
and Fisheries (WGMAF) Indonesia and Australia yang
berlangsung tgl 19-20 Maret
2009 di Nusa Dua, Bali.
Outcome: Perlu adanya perangkat hukum bilateral
yang mengatur penangkapan
ikan yang tidak legal, tidak dilaporkan dan tidak
diatur. Kerjasama di tingkat
working groupdianggap
belum cukup untuk mengatasi illegal fishing yang terjadi
baik di laut
territorial maupun ZEE kedua negara, sehingga produk hukum dalam
bentuk
MOU menjadi penting yang juga akan memuat ketentuan sanksi bagi para
nelayan
yang melakukan aktifitas illegal di kawasan laut yang menjadi kewenangan
pemerintah Australia dan Indonesia. Hal lain yang mesti diwaspadai adalah
keberadaan nelayan asing yang bukan berasal dari Indonesia maupun Australia
yang melakukan aktifitas dikawasan kedua negara. Adanya pengaturan terkait
pelanggaran ini hendaknya dimuat dalam MOU tersebut sehingga apabila terjadi
pelanggaran kedua negara sudah memiliki perangkat hukum yang dapat menghukum
pelaku.
C. Bidang Kerjasama Counter-terrorism (Pasal 3 ayat 8 Lombok Treaty danPlan of
Action angka II 11)
Sesuai
dengan Pasal 3 ayat 8 Lombok Treaty dan Plan
of Action angka II
11
tentangCombating
Against Terrorism kedua
negara berkomitmen untuk melakukan
tindakan tegas pada pelaku terorisme.
Kedua negara sepakat untuk meningkatkan
kerjasama antar kepolisian dalam upaya
mencegah dan menanggulangi kejahatan
lintas negara, dan memperkuat upaya
kontra-terorisme, pertukaran informasi dan
pembangunan kapasitas, khususnya
dalam memberantas terorisme. Kedua negara
akan terus melanjutkan kerjasama
erat dalam penanggulangan ancaman ini demi
kepentingan kedua negara.
Outcome: Sejak Bom Bali, Indonesia
memprioritaskan terorisme sebagai isu
nasional. Terlihat keberadaan densus 88
yang memiliki tugas pokok memberantas
terorisme di Indonesia. Hal ini juga
dapat dilakukan bersama dengan Australia
melalui pembentukan sebuah kerjasama
penanganan teroris dalam bentuk
perjanjian yang memuat latihan bersama aparat
kepolisian kedua negara untuk
mencegah dan menindak terorisme.
AIMIN
dapat memperkuat legal institutional framework nasional kedua negara
dalam
pemberantasan terorisme. Masukan yang pernah disamapikan oleh KBRI
adalah
terkait oversight leislasi dan implementasi penanggulangan tindak pidana
terorisme yang sedang dikembangkan di Australia melalui Australian
National
Security Legislation Monitor. Lembaga ini mengawasi
legislasi dan implementasi
pemberantasan terorisme agar tidak melanggar
prinsip hak asasi manusia.
D. Bidang Kerjasama Penanggulangan Bencana (Pasal 3 ayat 18 Lombok Treaty dan
Plan of Action angka II 22 b)
Sesuai
dengan Pasal 3 ayat 18 Lombok Treaty dan Plan
of Action angka II
22 b
tentang Disaster Relief, kedua negara berkomitmen untuk
meningkatkan
kemampuan tanggap darurat, kemampuan dan pengelolaan mitigasi
bencana.
Dengan mulai berlakunya kesepakatan ASEAN dalam penanggulangan
bencana (ASEAN Agreement on Disaster Management/AADMER) pada tanggal
24
Desember 2009 yang meliputi Pusat Koordinasi ASEAN untuk bantuan
kemanusiaan
dalam penanggulangan bencana (ASEAN Coordinating Centre
for Humanitarian
Assistance on Disater Management/AHA Centre),
Indonesia berharap bahwa
kerjasama dalam menaggulangi bencana alam dan
mengurangi kerugian bencana
dapat ditingkatkan. Indonesia dan Australia akan
berkerjasama untuk mendukung
AHA Centre. Dalam hal ini Australia menghargai
inisiatif Indonesia dan Jepang
untuk mengetuai bersama pertemuan ASEAN
Regional Forum Disaster Relief
Exercise (ARF DiREX) 2011 di Manado pada bulan
Maret 2011.
Outcome: Dianggap
penting untuk membentuk sebuah tim gabungan disaster
reliefyang
dapat berkerja apabila terjadi bencana alam baik di Australia maupun
di
Indonesia. Hal tersebut juga menjadi komitmen dalam Plan
of Action Lombok
Treatyangka II 22 a,b,c,d yang memuat
peningkatan kapasitas, pelatihan khusus,
pembentukan Joint
Regional Facility in Indonesia dan
penjajakan mengenai
pengembangan comprehensive and coordinated
interagency response to major
emergencies or disaster.
Kerjasama
penanganan bencana dapat dilakukan oleh Pemri dengan
pemerintah Australia
melalui Badan Nasional Penanggulangan Bancana
(BNPB) selaku fokal point
Indonesia dalam Emergency Cooperation berdasarkan
Lombok Treaty dengan Asia
Pacifik Civil-Military Centre of Excellence
(APCMCE). APCMCE didirikan dengan
dasar memperkuat interaksi sipil–militer.
Tujuan didirikannya lembaga
tersebut yaitu menghasilkan best practices dalam
konteks, pelatihan,
pendidikan, doktrin, penelitian, dan implimentasi pelibatan
sipil-militer
nasional; mempromosikan dampak berkelanjutan bagi mereka yang
terkena dampak
konflik dan bencana alam; dan memperkuat national, regional and
international
enggangement.
Misi utama APCMCE adalah mendukung kapabilitas
sipil-militer nasional dalam mencegah, mempersiapkan dan merespons terhadap
konflik dan bencana alam yang terjadi di luar wilayah Australia melalui
pendekatan
multiagency yang melibatkan instansi pemerintah Australia pada
semua tingkatan
termasuk federal dan state.
APCMCE memiliki kemitraan strategis dengan
organisasi domestik, bilateral,
regional dan internasional. Dalam penanganan
banjir di Queensland pada tahun
2011 APCMCE telah berhasil menerapkan
pendekatan multi-pillar dalam program
Humanitarian, Recovery and Disaster
Management Program yang mengutamakan
penguatan kerjasama dan koordinasi
antar stakeholders dalam penanganan
bencana. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan adanya keterlibatan personel
Australian Defence Force (ADF) melalui
“Operation
Queensland Flood Assist”.
Sharing
of best practices and knowledge dapat dilakukan kedua negara melalui
APCMCE, hal tersebut
sejalan dengan target pencapaian 2011 Pemerintah
Indonesia yaitu penanganan
bencana alam di jajaran pemerintah pusat dan daerah
sebagai target kesepuluh
Pemri pada tahun 2011.
APCMCE
memiliki mekanisme collaborative learning berdasarkan multiple
perspectives
sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghasilakan common
perceptions diantara
kedua negara terkait isu-isu kerjasama penanganan bencana
alam.
E. Kerjasama Bidang Pertahanan (Pasal 3 ayat 1 Lombok Treaty dan Plan of Action
angka II 7)
Kedua
negara berkomitmen untuk mengimplementasikan komitmen dan mandat
Lombok
Treaty dan Plan of Action termasuk melalui penyelesaian negosiasi
“pengaturan
antara Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan Departemen
pertahanan
Australia untuk Implementasi Lombok Treaty dan Plan of Action”.
Penandatanganan pengaturan tersebut memberikan dasar yang lebih kokoh dan
komprehensif bagi kerjasama keamanan dan pertahanan kedua negara.
Outcome: Pengaturan kerjasama ini hendaknya dapat
direalisasikan dalam bentuk
nyata melalui pelatihan militer bersama kedua
negara dalam mengantisipasi tindakan
yang dapat mengancam kedua negara. Hal
tersebut menjadi penting seiiring
dengan berkembangnya transnational
organized crime yang
menjadi perhatian
masyarakat dunia saat ini. Pembentukan markas bersama baik
di Australia maupun
di Indonesia dapat menjadi sebuah isu menarik yang perlu
pembahasan lebih lanjut.
Pembentukan di titik rawan tertentu di wilayah
Indonesia maupun Australia akan
berguna ketika operasi yang dijalan dapat
mengurangi intensitas kriminal seperti
penyeludupan manusia, pejualan manusia
dan lain-lain.
IV. Penutup
AIMIN
merupakan forum yang berguna dalam meningkatkan hubungan bilateral
Indonesia-Australia khususnya dibidang pertahanan. Pelaksanaan AIMIN
merupakan bukti nyata dalam mewujudkan komitmen bersama di bidang
pertahanan
sebagaimana tercantum dalam Comprehensive Partnership,
Lombok
Treaty, Plan of Action danJoint Statement Kepala Negara.
AIMIN
menjadi forum penting karena dapat dijadikan sebagai tolak ukur kemajuan
hubungan bilateral Indonesia-Australia dan langkah ini sesuai dengan arahan
Menteri Luar Negeri Indonesia tentang perlunya mekanisme score
card untuk
mengetahui perkembangan dan kemajuan hubungan kedua negara dari waktu
ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Agreement
Between The Republic of Indonesia and Australia on The Framework for
Security
Cooperation
Indonesia
and Australia on The Framework for Security Cooperation
Joint
Decleration on Comprehensive Partnership between The Republic of Indonesia
and Australia
Joint
Statement Kunjungan Presiden RI ke Australia Maret 2010
Joint
Statement Kunjungan Perdana Menteri Australia ke Indonesia November 2010
Non
Paper Australia: Australia’s
2+2 Ministerial Dialogues
Plan
of Action for The Implementation of The Agreement Between The
Republic of
Indonesia and Australia on The Framework for Security Cooperation
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.