Senin, 25 April 2011
Implementasi
Konvensi Hukum Laut 1982 Untuk Kepentingan Nasional Indonesia
Latar
Belakang
BAB I
1.PENDAHULUAN
Semenjak berakhirnya Perang
Dunia II, tidak ada cabang hukum Internasional yang lebih banyak mengalami
perubahan secara mendalam dan revolusioner, selain daripada hukum laut. Hukum
laut telah mengalami perubahan-perubahan yang mendalam sesuai dengan
perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan sumber kekayaan mineral yang terkandung
di dasar laut itu sendiri, merupakan penghubung bangsa-bangsa dari segala
sektor kegiatan manusia, dan kekayaan sumber hayati serta karena 70% dari permukaan bumi terdiri dari laut[1].
Kini hukum laut tidak hanya
mengatur atau mengurus kegiatan-kegiatan negara-negara di atas permukaan laut
saja, tetapi telah mengatur dan mengurus kegiatan-kegiatan pada dasar laut dan
kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya. Oleh karena keinginan
negara-negara untuk penggunaan kekayaan-kekayaan laut itu, maka negara-negara
berusaha keras untuk membuat hukum laut yang mengatur atau mengurus
permasalahan mengenai kedaulatan atau kekuasaan negara-negara pantai terhadap
laut, dan sampai sejauh mana negara-negara pantai dapat mengambil
kekayaan-kekayaan yang tersedia di dasar laut dan laut di atasnya, serta untuk
mengatur eksploitasi daerah-daerah dasar laut yang telah dinyatakan sebagai warisan
bersama umat manusia.
Puncak dari berbagai
perundingan mengenai masalah kelautan adalah diadakannya Konperensi
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United Nations
Conference on the Law of the Sea) pada
tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konperensi ini telah ditandatangani
suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir seluruh permasalahan di
bidang kelautan. Perjanjian internasional ini dikenal dengan nama Konvensi PBB
mengenai Hukum Laut (United
Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS). Konvensi ini merupakan perkembangan
paling penting dalam kesuluruhan ketentuan hukum internasional berkenaan dengan
lautan bebas.
Pemerintah Indonesia sudah
sejak lama turut aktif dalam berbagai perundingan mengenai terbentuknya berbagai
perjanjian internasional di bidang kelautan dikarenakan Indonesia merupakan
negara kepuluan yang memiliki wilayah perairan terbesar di dunia dan dua
pertiga dari wilayahnya merupakan wilayah perairan. Secara geografis Indonesia
merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut territorial
dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km2. Disamping itu Indonesia memiliki
pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai
sepanjang 95.181 km.[2]
Negara Indonesia adalah
negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di
forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU
Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja
dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep “Negara Kepulauan”
untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB)
III, sehingga dalam The United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS),
1982; dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan.
Konsepsi itu menyatukan
wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai
negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya)
dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the
outermost islands and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk
menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum
nasional kita.[3]
Menurut UNCLOS 1982, Indonesia
harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik
ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Walaupun telah membuat peta garis
batas, timbul sengketa Sipadan-Ligitan, dan kita tergopoh-gopoh membuat
Peraturan Pemerintah No 38/2002, yang memuat
titik-titik dasar termasuk di Pulau Sipadan-Ligitan. Sayang, PP itu harus
direvisi karena International
Court of Justice (ICJ)
memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia.
Kini timbul masalah perebutan daerah cadangan
minyak Ambalat dan AmbalatTimur (demikian Indonesia menyebutnya) atau blok
minyak XYZ (oleh Malaysia). Kedua Negara telah memberi konsesi eksplorasi blok
itu kepada perusahaan berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia)
dan Unocal (AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia. Maka terjadi
dua klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara bertetangga (overlapping
claim areas).[4]
Klaim tumpang tindih (overlapping claim areas) dari dua atau lebih negara pada
dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang
berdampingan. Hukum laut memberi hak kepada negara pantai untuk memiliki
wilayah laut sejauh 12 mil dan zona ekonomi
eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut
yang diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jaraknya bisa
sejauh 350 mil laut jika bisa dibuktikan
adanya natural prolongation(kepanjangan
alamiah) dari daratan negara pantai itu. Ini menyebabkan banyak negara berlomba
mengklaim te-ritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum laut.
Indonesia sebenarnya sudah berulang kali mengajak Malaysia duduk di meja
perundingan mengenai batas landas kontinen, namun tak ada respons positif.[5]
Permasalahan batas bagi
negara yang bertetangga semestinya harus dilihat dari kacamata kerjasama antar
negara, terlebih lagi bagi Indonesia; perbatasan itu harus dilihat sebagai
pengikat kerja sama dan menjadikannnya sebagai beranda depan bangsa. Dengan
dasar filosofi seperti itu, maka sesungguhnya pengembangan wilayah perbatasan
harus dilihat dari semangat kerja sama kedua negara.
Selama ini terdapat
upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengembalikan jiwa
kebaharian dalam pembangunan kelautan di Indonesia. Indonesia dibawah
kepemimpinan Presiden Soekarno, mendeklarasikan Wawasan Nusantara pada tanggal 13 Desember tahun 1957 yang dikenal dengan
“Deklarasi Djoeanda” yang memandang laut merupakan satu keutuhan wilayah dengan
darat, ini merupakan titik awal kebangkitan bangsa bahari setelah kemerdekaan
Indonesia. Hal ini kemudian diundangkan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1960 dan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962.
2. Rumusan Masalah
Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut maka membawa konsekuensi
logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus dilaksanakan berupa
hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan Indonesia berdasarkan
hukum internasional. Kini UNCLOS 1982 telah berjalan selama 25 tahun, tentu sebagai Negara Kepulauan sudah
saatnya melakukan evaluasi kebijakan tentang apa saja yang telah dilaksanakan
dan belum dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat seperti yang telah
dicantumkan dalam UNCLOS 1982. Oleh karena itu, kami sebagai penulis makalah
ini merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep wawasan nusantara dalam Konvensi Hukum Laut
Internasional (UNCLOS) 1982?
2. Bagaimana implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982
Untuk Kepentingan Nasional Indonesia?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis konsep wawasan nusantara dalam Konvensi Hukum Laut
Internasional (UNCLOS) 1982.
2. Menganalisis implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982
untuk kepentingan Nasional Indonesia.
4. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan
diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai
konsep wawasan nusantara dalam KHL 1982, dan implementasi KHL 1982 untuk
kepentingan Nasiona Indonesia.
2. Secara praktis, diharapkan penulisan makalah ini dapat memberikan
sumbangan terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dan dihadapi oleh
Negara Indonesia sebagai negara kepuluan.
5. Metode Penulisan
Data penulisan makalah ini
diperoleh dengan metode studi kepustakaan. Metode studi kepustakaan yaitu suatu
metode dengan membaca telaah pustaka tentang hukum laut internasional. Selain
itu, tim penulis juga memperoleh data dari internet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Teori Perjanjian Internasional
Mochtar Kusumaatmadja,
memberikan batasan perjanjian
internasional sebagai berikut:
“Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum
tertentu”.
Perjanjian Internasional
yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun
konvensi, menurut I Wayan Parthiana, adalah :
“Kata sepakat antara dua atau lebih
subyek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan
maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang
diatur oleh hukum internasional”.
Dalam Pasal 2 ayat 1 butir (a) Konvensi Wina 1969,
perjanjian internasional (treaty) didefinisikan sebagai berikut :“treaty
means an international agreement concluded between States in written form and
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in
two or more related instruments and whatever its particular designation”. Artinya : suatu
persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh
hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih
instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.
Perjanjian
internasional merupakan sarana utama yang praktis bagi transaksi dan komunikasi
antar anggota masyarakat internasional. Fungsi lain perjanjian internasional
yaitu berfungsi sebagai sumber hukum internasional yang oleh keluarga
bangsa-bangsa telah diakui mempunyai posisi penentu yang meningkat dengan
pesat. Perjanjian internasional juga difungsikan sebagai sarana peningkatan
kerja sama internasional secara damai telah pula menunjukkan hasil positif.
Fungsi
perjanjian internasional dalam hal pembentukan dan perkembangan hukum
internasional tersebut, dapat dikategorikan ke dalam tiga macam fungsi:
1. Merumuskan/ menyatakan (to declare) atau menguatkan kembali (confirm/restate)
aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of
international law);
2. merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan (abolish)
kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur
tindakan-tindakan yang akan datang (for regulating future conducts);
3. membentuk
kaidah-kaidah hukum internasional baru sama sekali, yang belum ada sebelumnya.
Pengelompokan
perjanjian internasional ditinjau dari segi para pihak yang mengadakannya dapat kita
bedakan ke dalam dua macam, yaitu:
a. Perjanjian bilateral, yaitu perjanjian yang diadakan
hanya oleh dua negara saja. perjanjian jenis ini hanya mengatur soal-soal
khusus yang menyangkut kepentingan kedua Negara yang mengadakannya saja.
Sifat dari perjanjian bilateral ini adalah tertutup, artinya tertutup
kemungkinan bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai negara pihak perjanjian
bilateral itu. Seperti, misalnya perjanjian antara Republik Indonesia dengan
Republik Rakyat China tahun 1954 mengetahu
Dwi Kewarganegaraan; perjanjian bilateral mengenai perbatasan negara dan lain
sebagainya. (Termasuk Treaty
Contract)
b. Perjanjian
multilateral,
yaitu perjanjian yang diadakan dan diikuti oleh banyak negara sebagai
pihak peserta, yang umumnya merupakan perjanjian internasional yang bersifat
terbuka, di mana hal-hal yang diaturnya pun lazimnya berupa hal-hal yang
menyangkut kepentingan umum, yang tidak hanya menyangkut kepentingan
negara-negara pihak pembuat perjanjian saja, tetapi juga menyangkut kepentingan
negara-negara lain yang tidak menjadi peserta perjanjian tersebut. Perjanjian
internasional multilateral inilah yang dapat dikategorikan sebagai perjanjian
internasional yang bersifat “law making treaties”, atau perjanjian yang
membentuk hukum (baru), yang bersama-sama dengan “treaty contract”.
2. Teori Mengenai Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982
Melalui United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982,
yang hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara.
Negara-negara kepulauan (Archipelagic States) memperoleh hak mengelola
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 200 mil
laut di luar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak
mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif.
Hal ini kemudian telah
dituangkan kedalam Undang-undang Nomor 17 tahun
1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Penetapan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200
mil laut, diukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas.
Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undangundang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif
Indonesia. Konsekuensi dari implementasi undang-undang tersebut adalah
bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta Km2, menjadi 5,8
juta Km2.
Konvensi PBB tentang
Hukum Laut Internasional 1982
(UNCLOS 1982)
melahirkan delapan zonasi pegaturan
(regime) hukum laut yaitu :
I. Perairan Pedalaman (Internal Waters).
II. Perairan Kepulauan (Archiplegic Waters),
termasuk di dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
III. Laut Teritorial (Teritorial Waters).
IV. Zona Tambahan ( Contingous Waters).
V. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusif Economic
Zone).
VI. Landas Kontinen (Continental Shelf).
VII. Laut Lepas (High Seas).
VIII. Kawasan Dasar Laut Internasional (International
Sea-Bed Area).
Konvensi Hukum Laut
Internasional tahun 1982 mengatur
pemanfaatan laut sesuai dengan status
hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan
dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan
pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial, sedangkan untuk zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, negara memiliki hak-hak
eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona tersebut.
Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara
manapun, sedangkan kawasan dasar laut internasional dijadikan sebagai bagian
warisan umat manusia.
3. Teori Negara Kepulauan
Negara kepulauan (Archipelagic
States) adalah hasil keputusan dari Konvensi PBB mengenai Hukum Laut
Internasional (UNCLOS) 1982 yang diatur dalam Bagian IV Konvensi (Pasal 46-54)
untuk negara-negara kepulauan (Archipelagic States) dan perairan
negara-negara kepulauan. Menurut Pasal 46
(b)Konvensi Hukum Laut Internasional, “archipelago means a group of
islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural
features which are so closely interrelated that such islands, waters and other
natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity,
or which historically have been regarded as such.”
(Terjemahannya: kepuluan berarti suatu
gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau tersebut
dan wujud-wujud alamiah lainnya yang wujud alamiahnya satu sama lain demikian
eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan
satu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara
historis dianggap sebagai demikian).[6] Jadi, Menurut Pasal 46 (b), “Archipelagic
State means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may
include other islands”[7].
Metode garis
pangkal lurus
dipakai sebagai solusi untuk masalah perairan kepulauan yang dimuat dalam Pasal
47 dan 49 Konvensi Hukum Laut Internasional. Suatu negara kepulauan yang
menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar
pulau dan karang kering dari kepulauan itu, dengan akibat bahwa kedaulatan
negara kepulauan meluas hingga yang tertutup karena penarikan garis pangkal
lurus demikian, samapai ke ruang udara yang ada di atasnya, dasar laut dan
tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dalam Pasal 51-54 ditentukan mengenai dihormatinya oleh negara
kepulauan perjanjian-perjanjian yang ada, hak-hak perikanan tradisional dan
kabel-kabel bawah laut, mengenai hak lintas damai, mengenai penetapan-penetapan
secara tepat alur-alur laut dan rute-rute udara oleh negara kepulaua, dan
mengenai kewajiban-kewajiban yang sama yang harus diperhatikan oleh kapal dan
pesawat udara asing, dan oleh negara kepulauan, sebagaimana yang secara mutatis mutandis[8] dalam hal lintas transit melalui
selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional menurut ketentuan Pasal 39, 40, 42 dan 44.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Konsep Wawasan Nusantara Dalam Konvensi Hukum
Laut
(UNCLOS)
1982
Secara umum wawasan
nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang
dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan
kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan nusantara mempunyai
arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya
berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta
sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam
mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.
Indonesia yang merupakan
Negara Kepulauan yang diperjuangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dari sejak Deklarasi Juanda 1957 sampai diakuinya konsepsi
tersebut oleh dunia internasional dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah
sebenarnya suatu kebanggaan yang luar biasa bagi bangsa dan Negara Indonesia,
tetapi sebagian masyarakat Indonesia tidak begitu mengenal dengan baik bahwa
Indonesia mempunyai luas laut dua per tiga dari luar daratan dan pemerintah
juga tidak begitu perduli melakukan
pembangunan yang berorientasi ke laut, tetapi masih terfokus pada paradigma
pembangunan di darat.
Padahal pembangunan yang dicanangkan oleh para pendahulu
itu sudah termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis- Garis Besar Haluan
Negara dalam Bab II mengenai Pola Dasar Pembangunan Nasional menegaskan bahwa “wawasan
dalam mencapai tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nusantara yang mencakup
satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi, dan satu
kesatuan pertahanan dan keamanan”.[9]
Dengan di tetapkannya Wawasan
Nusantara sebagai konsepsi kesatuan wilayah, bangsa, dan negara yang memandang
Indonesia sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah (darat) dan air (laut)
secara tidak terpisahkan merupakan tahapan akhir dari perjuangan konsepsi
Wawasan Nusantara yang dimulai sejak Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Wawasan Nusantara yang
dalam status juridisnya adalah negara kepulauan (archipelagic states) sudah
diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya Konvensi Hukum Laut 1982
yang diatur dalam Bab IV Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut :
a. “archipelagic State” means a State constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other islands;
b. “archipelago” means a group of islands, including parts of islands,
interconnecting waters and other natural features which are so closely
interrelated that such islands, waters and other natural features form an
intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically
have been regarded as such.
Negara kepulauan adalah
suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat
mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan berarti suatu gugusan pulau termasuk
bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud ilmiah yang hubungannya
satu sama lainnya demikian erat, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud
alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik
yang hakiki atau yang secara histories dianggap sebagai demikian.
Pengakuan internasional
terhadap Konsepsi Wawasan Nusantara melalui ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Konvensi Hukum Laut 1982, memang merupakan kulminasi perjuangan Indonesia
yang gigih dan terus menerus selama 25 tahun
semenjak Deklarasi Djuanda 1957.
Namun, dalam perjuangan
yang panjang tersebut dan sebagai anggota masyarakat internasional, hasil yang
telah dicapai juga merupakan kompromi antara kepentingan negara-negara maritim
besar dan negara0negara kepulauan. Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan
internasional tentang garis pangkal lurus kepulauan yang merupakan suatu
konsepsi baru dalam hukum laut internasional walaupun derajat kedaulatan negara
pantai atas perairan kepulauan sebagai hasil dari kompromi tersebut tidak
setinggi pada perairan pedalaman sesuai Deklarasi Djuanda.
Pada hakikatnya lintas
damai kendaraan air asing dalam perairan pedalaman berdasarakan Deklarasi
Djuanda adalah hak yang diberikan Indonesia karena menurut hukum laut internasional
hak tersebut tidak ada dalam perairan pedalaman. Sedangkan menurut konvensi
selain hak lintas damai ditentukan pula hak alur kepulauan.
Sehubungan dengan itu,
untuk melindungi kepentingan Indonesia selanjutnya dengan adanya hak lintas
alur laut kepulauan di perairan Indonesia maka perlu dibuat legislasi yang
mengatur secara ketat penggunaan hak lintas ini sehingga maksud dan tujuan
seperti yang dimaksud oleh Deklarasi Djuanda tetap dapat dipertahankan.
B. Impelementasi Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982
Setelah Indonesia
menandatangani Konvensi Hukum Laut 1982 yang kemudian diikuti dengan
ratifikasinya pada tahun 1985, maka pada
tahun 1996 keluar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Hal
ini merupakan langkah awal yang diambil oleh Indonesia sebagai tindak lanjut
dari Konvensi. Tindakan-tindakan implementasi Konvensi Hukum laut 1982 yang telah dilakukan pemerintah Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Di Bidang Penentuan Garis Pangkal
Menurut Pasal 5 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996, garis pangkal
lurus kepulauan adalah garis-garis lurus menghubungkan titik-titik terluar pada
garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang yang terluar dari kepulauan
Indonesia. Di samping itu, sesuai Pasal 5 ayat (7),
juga ada garis pangkal pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau
deretan pulaua yang terdapat di dekata sepanjang pantai.
Sesuai UU No. 4 Tahun 1960 dan sebagai implementasi
Deklarasi Djuanda, Indonesia menatapkan sebanyak 200
titik terluar dengan 196 garis lurus. Tentu saja titik terluar dan
garis-garis pangkal tersebut yang belum mendapat pengakuan Internasional
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi agar terdapatnya jaminan hukum.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 UU No. 6 Tahun 1996
haruslah dibuat daftar titik-titik terluar dan garis-garis pangkal tersebut
serta mencantumkannya dalam peta dengan skala-skala yang memadai dan
mendepositkannya pada Sekretariat Jenderal PBB.
Pada hakikatnya penyesuaian
garis pangkal sudah dilakukan secara bertahap. Untuk perairan Natuna,
pemerintah RI telah mengeluarkan PP No 61 Tahun
1998 yang menetapkan garis-garis pangkal baru. Secara teknis, pemerintah
telah melakukan survei guna menetapkan titik-titik dasar baru, tetapi
belum dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut, pemerintah
mengeluarkan PP No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Garis
Pangkal Lurus Kepulauan.
Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Berdasarkan
PP No. 38 Tahun 2002
Berdasarkan
PP No. 38 Tahun 2002
Sebagaimana
Telah Diubah Dengan
PP No. 37
Tahun 2008[10]
No
|
Lintang Bujur
|
Jenis
Garis Pangkal, Jarak
|
Nomor
Peta,
Skala, Referensi |
1
|
Laut: Natuna
01°14′27″N 104°34′32″E |
Tg. Berakit
Titik Dasar No. TD.001 Pilar Pendekat No. TR.001 Jarak TD.001-TD.001A = 19.19 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 431
1 : 200.000 WGS'84 |
2
|
Laut: Natuna
01°02′52″N 104°49′50″E |
P. Sentut
Titik Dasar No. TD.001A Pilar Pendekat No. TR.001A Jarak TD.001A-TD.022 = 88.06M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 430, 431
1 : 200.000 WGS'84 |
3
|
Laut: Natuna
02°18′00″N 105°35′47″E |
P.Tokong Malang Biru
Titik Dasar No. TD.022 Pilar Pendekat No. TR.022 Jarak TD.022-TD.023 = 29.50 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 430
1 : 200.000 WGS'84 |
4
|
Laut: Natuna
02°44′29″N 105°22′46″E |
P. Damar
Titik Dasar No. TD.023 Pilar Pendekat No. TR.023 Jarak TD.023-TD.024 = 24.34 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 423
1 : 200.000 WGS'84 |
5
|
Laut: Natuna
03°05′32″N 105°35′00″E |
P. Mangkai
Titik Dasar No. TD.024 Pilar Pendekat No. TR.024 Jarak TD.024-TD.025 = 26.28 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 423
1 : 200.000 WGS'84 |
6
|
Laut: Natuna
03°19′52″N 105°57′04″E |
P. Tokong Nanas
Titik Dasar No. TD.025 Pilar Pendekat No. TR.025 Jarak TD.025-TD.026 = 20.35 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 423
1 : 200.000 WGS'84 |
7
|
Laut: Natuna
03°27′04″N 106°16′08″E |
P. Tokongbelayar
Titik Dasar No. TD.026 Pilar Pendekat No. TR.026 Jarak TD.026-TD.028 = 79.03 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 423
1 : 200.000 WGS'84 |
8
|
Laut : Natuna
04°04′01″N 107°26′09″E |
P. Tokongboro
Titik Dasar No. TD.028 Pilar Pendekat No. TR.028 Jarak TD.028-TD.029 = 32.06 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 422
1 : 200.000 WGS'84 |
9
|
Laut : Natuna
04°31′09″N 107°43′17″E |
P. Semiun
Titik Dasar No. TD.029 Pilar Pendekat No. TR.029 Jarak TD.029-TD.030A = 15.76 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 421, 422
1 : 200.000 WGS'84 |
10
|
Laut : Tiongkok Selatan
04°42′25″N 107°54′20″E |
P. Sebetul
Titik Dasar No. TD.030A Pilar Pendekat No. TR.030A Jarak TD.030A-TD.030B = 8.18 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 421
1 : 200.000 WGS'84 |
11
|
Laut : Tiongkok Selatan
04°47′38″N 108°00′39″E |
P. Sekatung
Titik Dasar No. TD.030B Pilar Pendekat No. TR.030A Between TD.030B-TD.030D Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 421
1 : 200.000 WGS'84 |
12
|
Laut : Tiongkok Selatan
04°47′45″N 108°01′19″E |
P. Sekatung
Titik Dasar No. TD.030D Pilar Pendekat No. TR.030 Jarak TD.030D-TD.031 = 52.58 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 421
1 : 200.000 WGS'84 |
13
|
Laut : Tiongkok Selatan
04°00′48″N 108°25′04″E |
P. Senua
Titik Dasar No. TD.031 Pilar Pendekat No. TR.031 Jarak TD.031-TD.032 = 66.03 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 421
1 : 200.000 WGS'84 |
14
|
Laut : Natuna
03°01′51″N 108°54′52″E |
P. Subi Kecil
Titik Dasar No. TD.032 Pilar Pendekat No. TR.032 Jarak TD.032-TD.033 = 27.67 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 420
1 : 200.000 WGS'84 |
15
|
Laut : Natuna
02°38′43″N 109°10′04″E |
P. Kepala
Titik Dasar No. TD.033 Pilar Pendekat No. TR.033 Jarak TD.033-TD.035 = 44.10 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 420
1 : 200.000 WGS'84 |
16
|
Laut : Natuna
02°05′10″N 109°38′43″E |
Tg. Datu
Titik Dasar No. TD.035 Pilar Pendekat No. TR.035 Antara TD.035 -TD.036C Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 420
1 : 200.000 WGS'84 |
17
|
Laut : Sulawesi
04°10′10″N 117°54′29″E |
P. Sebatik
Titik Dasar No. TD.036 Pilar Pendekat No. TR.036 Jarak TD.036-TD.036A = 1.27 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 489 dan 59
1 : 200.000 WGS'84 |
18
|
Laut : Sulawesi
04°09′58″N 117°55′44″E |
P. Sebatik
Titik Dasar No. TD.036A Pilar Pendekat No. TR.036 Jarak TD.036A-TD.036B = 0.82 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 489 dan 59
1 : 200.000 WGS'84 |
19
|
Laut : Sulawesi
04°09′34″N 117°56′27″E |
P. Sebatik
Titik Dasar No. TD.036B Pilar Pendekat No. TR.036 Jarak TD.036B-TD.037 = 12.22 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 489 dan 59
1 : 200.000 WGS'84 |
20
|
Laut : Sulawesi
04°00′38″N 118°04′58″E |
Karang Unarang
Titik Dasar No. TD.037 Pilar Pendekat No. TR.036 Jarak TD.037-TD.039 = 110.27M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 489 dan 59
1 : 200.000 WGS'84 |
21
|
Laut : Sulawesi
02°15′12″N 118°38′41″E |
P. Maratua
Titik Dasar No. TD.039 Pilar Pendekat No. TR.039 Jarak TD.039-TD.040 = 36.95 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 488
1 : 200.000 WGS'84 |
22
|
Laut : Sulawesi
01°46′53″N 119°02′26″E |
P. Sambit
Titik Dasar No. TD.040 Pilar Pendekat No. TR.040 Jarak TD.040-TD.043 = 84.61 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 488
1 : 200.000 WGS'84 |
23
|
Laut : Sulawesi
00°59′55″N 120°12′50″E |
P. Lingian
Titik Dasar No. TD.043 Pilar Pendekat No. TR.043 Jarak TD.043-TD.044 = 40.21 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 487
1 : 200.000 WGS'84 |
24
|
Laut : Sulawesi
01°20′16″N 120°47′31″E |
P. Salando
Titik Dasar No. TD.044 Pilar Pendekat No. TR.044 Jarak TD.044-TD.044A = 6.05 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 487
1 : 200.000 WGS'84 |
25
|
Laut : Sulawesi
01°22′40″N 120°53′04″E |
P. Dolangan
Titik Dasar No. TD.044A Pilar Pendekat No. TR.044A Antara TD.044A-TD.044B Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 486, 487
1 : 200.000 WGS'84 |
26
|
Laut : Sulawesi
01°22′41″N 120°53′07″E |
P. Dolangan
Titik Dasar No. TD.044B
Pilar Pendekat No. TR.044A
Jarak TD.044B-TD.045 = 33.70 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 486, 487
1 : 200.000 WGS'84 |
27
|
Laut : Sulawesi
01°18′48″N 121°26′36″E |
Tg. Kramat
Titik Dasar No. TD.045 Pilar Pendekat No. TR.045 Jarak TD.045-TD.046A = 60.10 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 486
1 : 200.000 WGS'84 |
28
|
Laut : Sulawesi
01°08′17″N 122°25′47″E |
Kr. Boliogut
Titik Dasar No. TD.046A Pilar Pendekat No. TR.046A Jarak TD.046A-TD.047 = 41.32 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 486
1 : 200.000 WGS'84 |
29
|
Laut : Sulawesi
01°02′52″N 123°06′45″E |
P. Bangkit
Titik Dasar No. TD.047 Pilar Pendekat No. TR.047 Jarak TD.047-TD.048 = 74.17 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 485
1 : 200.000 WGS'84 |
30
|
Laut : Sulawesi
01°09′29″N 124°20′38″E |
Tg. Laimpangi
Titik Dasar No. TD.048 Pilar Pendekat No. TR.048 Jarak TD.048-TD.049A = 43.09 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 485
1 : 200.000 WGS'84 |
31
|
Laut : Sulawesi
01°45′47″N 124°43′51″E |
P. Manterawu
Titik Dasar No. TD.049A Pilar Pendekat No. TR.049A Jarak TD.049A-TD.051A = 63.82 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 484
1 : 200.000 WGS'84 |
32
|
Laut : Sulawesi
02°44′15″N 125°09′28″E |
P. Makalehi
Titik Dasar No. TD.051A Pilar Pendekat No. TR.051 Jarak TD.051A-TD.053A = 90.35 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 484
1 : 200.000 WGS'84 |
33
|
Laut : Sulawesi
04°14′06″N 125°18′59″E |
P. Kawalusu
Titik Dasar No. TD.053A Pilar Pendekat No. TR.053 Jarak TD.053A-TD.054 = 27.01 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 483
1 : 200.000 WGS'84 |
34
|
Laut : Mindanau
04°40′16″N 125°25′41″E |
P. Kawio
Base Point No. TD.054 Pilar Pendekat No.TR.054 Jarak TD.054-TD.055 = 4.98 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 482
1 : 200.000 WGS'84 |
35
|
Laut : Mindanau
04°44′14″N 125°28′42″E |
P. Marore
Titik Dasar No. TD.055
Pilar Pendekat No.TR.055
Antara TD. 055-TD.055A Garis Pangkal Normal |
No. 482
1 : 200.000 WGS'84 |
36
|
Laut : Mindanau
04°44′25″N 125°28′56″E |
P. Marore
Titik Dasar No. TD.055A Pilar Pendekat No.TR.055 Jarak TD.055A-TD.055B = 0.58 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 482
1 : 200.000 WGS'84 |
37
|
Laut : Mindanau
04°44′46″N 125°29′24″E |
P. Batubawaikang
Titik Dasar No. TD.055B Pilar Pendekat No.TR.055 Jarak TD.055B-TD.056 = 81.75 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 482
1 : 200.000 WGS'84 |
38
|
Laut : Filipina
05°34′02″N 126°34′54″E |
P. Miangas
Titik Dasar No. TD.056 Pilar Pendekat No.TR.056 Antara TD.056-TD.056A Garis Pangkal Normal |
No. 481,482
1 : 200.000 WGS'84 |
39
|
Laut : Filipina
05°33′57″N 126°35′29″E |
P. Miangas
Titik Dasar No. TD.056A Pilar Pendekat No.TR.056 Jarak TD.056A-TD.057A=57.91 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 481, 482
1 : 200.000 WGS'84 |
40
|
Laut : Filipina
04°46′18″N 127°08′32″E |
P. Marampit
Titik Dasar No. TD.057A Pilar Pendekat No.TR.057 Antara TD.057A-TD.057 Garis Pangkal Normal |
No. 481
1 : 200.000 WGS'84 |
41
|
Laut : Filipina
04°45′39″N 127°08′44″E |
P. Marampit
Titik Dasar No. TD.057 Pilar Pendekat No.TR.057 Jarak TD.057-TD.058A = 7.10 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 481
1 : 200.000 WGS'84 |
42
|
Laut : Filipina
04°38′38″N 127°09′49″E |
P. Intata
Titik Dasar No. TD.058A Pilar Pendekat No.TR.058A AntaraTD.058A-TD.058 Garis Pangkal Normal |
No. 481
1 : 200.000 WGS'84 |
43
|
Laut : Filipina
04°37′36″N 127°09′53″E |
P. Kakarutan
Titik Dasar No. TD.058 Pilar Pendekat No.TR.058 Jarak TD.058-TD.059 = 55.63 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 481
1 : 200.000 WGS'84 |
44
|
Laut : Halmahera
03°45′13″N 126°51′06″E |
Tg. Tampida
Titik Dasar No. TD.059
Pilar Pendekat No.TR.059
Jarak TD.059-TD.060 = 122.75 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 480
1 : 200.000 WGS'84 |
45
|
Laut : Halmahera
02°38′44″N 128°34′27″E |
Tg. Sopi
Titik Dasar No. TD.060 Pilar Pendekat No.TR.060 Antara TD.060-TD.061A Garis Pangkal Normal |
No. 479
1 : 200.000 WGS'84 |
46
|
Laut : Halmahera
02°25′39″N 128°41′57″E |
Tg. Gorua
Titik Dasar No. TD.061A Pilar Pendekat No.TR.061 Jarak TD.061A-TD.062 = 50.97 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 482
1 : 200.000 WGS'84 |
47
|
Laut : Halmahera
01°34′44″N 128°44′14″E |
Tg. Lelai
Titik Dasar No. TD.062 Pilar Pendekat No.TR.062 Jarak TD.062-TD.063 = 56.55 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 479
1 : 200.000 WGS'84 |
48
|
Laut : Halmahera
00°43′39″N 129°08′30″E |
P. Jiew
Titik Dasar No. TD.063 Pilar Pendekat No.TR.063 Jarak TD.063-TD.065 = 96.05 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 478
1 : 200.000 WGS'84 |
49
|
Samudra : Pasifik
00°32′08″N 130°43′52″E |
P. Budd
Titik Dasar No. TD.065 Pilar Pendekat No.TR.065 Jarak TD.065-TD.066= 45.91 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 477
1 : 200.000 WGS'84 |
50
|
Samudra : Pasifik
01°05′20″N 131°15′35″E |
P. Fani
Titik Dasar No. TD.066 Pilar Pendekat No.TR.066 Antara TD.066-TD.066A Garis Pangkal Normal |
No. 477
1 : 200.000 WGS'84 |
51
|
Samudra : Pasifik
01°04′28″N 131°16′49″E |
P. Fani
Titik Dasar No. TD.066A Pilar Pendekat No.TR.066 Jarak TD.066A-TD.070 = 99.81 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 477
1 : 200.000 WGS'84 |
52
|
Samudra : Pasifik
00°20′16″S 132°09′34″E |
P. Miossu
Titik Dasar No. TD.070 Pilar Pendekat No.TR.070 Jarak TD.070-TD.070A = 15.77 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 476
1 : 200.000 WGS'84 |
53
|
Samudra : Pasifik
00°20′34″S 132°25′20″E |
Tg. Yamursba
Titik Dasar No. TD.070A
Pilar Pendekat No.TR.070A
Jarak TD.070A-TD.071 = 17.72 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 476
1 : 200.000 WGS'84 |
54
|
Samudra : Pasifik
00°21′42″S 132°43′01″E |
Tg. Wasio
Titik Dasar No. TD.071 Pilar Pendekat No.TR.071 Jarak TD.071-TD.072 = 122.74 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 476
1 : 200.000 WGS'84 |
55
|
Samudra : Pasifik
00°56′22″N 134°17′44″E |
P. Fanildo
Titik Dasar No. TD.072 Pilar Pendekat No.TR.072 Antara TD.072-TD.072A Garis Pangkal Normal |
No. 475
1 : 200.000 WGS'84 |
56
|
Samudra : Pasifik
00°55′57″N 134°20′30″E |
P. Bras
Titik Dasar No. TD.072A Pilar Pendekat No. TR.072 Jarak TD.072A-TD.074 = 97.28 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 475
1 : 200.000 WGS'84 |
57
|
Samudra : Pasifik
00°23′38″S 135°16′27″E |
P. Bepondi
Titik Dasar No. TD.074 Pilar Pendekat No. TR.074 Jarak TD.074-TD.076B = 39.41 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 474
1 : 200.000 WGS'84 |
58
|
Samudra : Pasifik
00°41′56″S 135°51′21″E |
Tg. Wasanbari
Titik Dasar No. TD.076B Pilar Pendekat No. TR.077 Jarak TD.076B-TD.077 = 38.90 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 474
1 : 200.000 WGS'84 |
59
|
Samudra : Pasifik
01°04′13″S 136°23′14″E |
Tg. Basari
Titik Dasar No. TD.077 Pilar Pendekat No. TR.077 Jarak TD. 077 -TD.078 = 95.45 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan
Nusantara
|
No. 473
1 : 200.000 WGS'84 |
60
|
Samudra : Pasifik
01°27′23″S 137°55′51″E |
Tg. Narwaku
Titik Dasar No. TD.078 Pilar Pendekat No. TR.078 Jarak TD.078-TD.079 = 47.61 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 472
1 : 200.000 WGS'84 |
61
|
Samudra : Pasifik
01°34′26″S 138°42′57″E |
P. Liki
Titik Dasar No. TD.079 Pilar Pendekat No. TR.079 Jarak TD.079-TD.080 = 97.06 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 472
1 : 200.000 WGS'84 |
62
|
Samudra : Pasifik
02°19′12″S 140°09′07″E |
Tg. Kamdara
Titik Dasar No. TD.080
Pilar Pendekat No. TR.080
Jarak TD.080-TD.080A = 28.56 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 471
1 : 200.000 WGS'84 |
63
|
Samudra : Pasifik
02°26′22″S 140°36′47″E |
Tg. Kelapa
Titik Dasar No. TD.080A Pilar Pendekat No. TR.080A Jarak TD.080A-TD.081 = 25.22 M Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara |
No. 471
1 : 200.000 WGS'84 |
64
|
Samudra : Pasifik
02°36′16″S 141°00′00″E |
Tg. Oinake
Titik Dasar No. TD.081 Pilar Pendekat No. TR.081 Antara TD.081-TD.082 Irian Jaya |
No. 471
1 : 200.000 WGS'84 |
2. Mengenai Hak Lintas Damai
Pasal 17-19 Konvensi Hukum Laut 1982 menjelaskan hak lintas damai (right of
innocent passage). Pasal 17 Konvensi mengatur bahwa kapal dari semuaNegara
baik Negara pantai maupun Negara tidak berpantai mempunyai hak lintas damai melalui laut territorial. Pasal 18 Konvensi memberikan pengertian lintas
(passage), yaitu berlayar
atau navigasi melalui laut territorial untuk tujuan melintasi laut tanpa
memasuki perairan
pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadsteads) atau fasilitas pelabuhan di luar
perairan pedalaman atau berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh
di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut. Lintas harus terus menerus, langsung
terus menerus dan secepat mungkin (continuous and expeditious), dan
lintas mencakup berhenti dan buang jangkar secara normal atau karena force majeur. Pasal 19
Konvensi menyebutkan bahwa lintas adalah damai selama tidak menggangu kedamaian, ketertiban
atau keamanan
Konvensi 1982 yang berisikan
ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai telah dituangkan ke dalam UU No. 6 Tahun 1996 yang diatur dalam Bab III
Pasal 11-17.[11] Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 21 Konvensi KHL 1982 bertujuan untuk mengatur
keselamatan pelayaran, pelestarian kekayaan hayati laut, pemeliharaan
lingkungan dan pencegahan polusi, penyidikan ilmiah dan pencegahan terhadap
pelanggaran-pelanggaran aturan kepabeanan, keuangan, imigrasi, dll. Pemerintah
juga telah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 2002 yang
mengatur hak lintas damai di perairan Indonesia.
3. Menganai Hak Lintas Transit
Hak lintas transit (right
of transit passage) diatur oleh Pasal 37-44
Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 37
menyatakan bahwa lintas transit (transit passage) berlaku pada selatselat
yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas (high seas) atau zona ekonomi
eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya, sedangkan
hak lintas transit itu sendiri terdapat dalam Pasal
38 Konvensi yang mengatakan bahwa semua kapal (ships) dan pesawat
udara (aircraft) mempunyai haklintas transit yang tidak boleh dihalangi.
Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran (freedom of
navigation) dan penerbangan (overflight) semata-mata untuk tujuan
transit terus-menerus langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut
lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi
eksklusif lainnya.
Pengaturan hak lintas damai
bagi kapal asing telah diatur dalam UU No. 6 Tahun
1996 yang diatur dalam Bab III Pasal
20 dan 21 mengenai hak lintas transit mengizinkan negara-negara yang
dipisahkan selat untuk membuat peraturan perundang-undangan mengenai lintas
transit melalui selat-selat berkaitan dengan keselamatan pelayaran, pencegahan
polusi, pengaturan penangkapan ikan, dll.
4. Penentuan Batas Perairan Pedalaman
Pasal 8 Konvensi Hukum Laut
1982 menyatakan bahwa : “… waters
on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the
internal waters of the State”, yaitu bahwa
perairan pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut
territorial merupakan
bagian perairan pedalaman negara tersebut.
Perairan pedalaman
Indonesia adalah sepenuhnya berada di bawah kedaulatan Negara Indonesia, sampai
saat ini Indonesia belum menetapkan wilayah perairan pedalaman, dengan
identifikasinya. Selain itu di perairan pedalaman tersebut terdapat pelabuhan
tempat bongkar muat barang ekspor-impor dari dan ke Indonesia. Dalam konteks
pembangunanekonomi nasional Indonesia, pelabuhan-pelabuhan yang ada di
Indonesia sudah seharusnya mempunyai standar internasional dan mampu bersaing
secara global dengan pelabuhanpelabuhan luar negeri.
Indonesia wajib memberikan
keamanan dan keselamatan pelayaran internasional sejalan dengan International Ship and Port
Facility
Security (ISPS) Code yang diadopsi oleh International Maritime Organization (IMO) tanggal 12 Desember 2002. Di samping itu, perairan
pedalaman Indonesia sering dijadikan tempat pembuangan limbah sehingga perairan
pedalaman di beberapa tempat di Indonesia sering tampak kotor, dan mungkin
terjadi pencemaran lingkungan laut dan perusakan habitatnya.
Apabila pemerintah
membiarkan keadaan tersebut di perairan pedalaman, maka dapat dianggap telah
melanggar kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut
sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 192
Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi : “States have the obligation to protect and
preserve the marine environment”. Kewajiban Indonesia di perairan pedalaman
adalah untuk kepentingan Indonesia, yaitu berupa kewajiban menjaga dan
melestarikan lingkungan hidup secara keseluruhan, walapun dalam konteks
lingkungan laut sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Laut yang merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Indonesia yang memiliki
laut sangat luas itu tampaknya tidak diimbangi dengan kesungguhan menjaga dan
memanfaatkannya, sehingga di perairan pedalaman saja terjadi penangkapan ikan
ilegal, pencemaran laut, dan perusakan terumbu karang yang dapat merugikan
masyarakat luas dan laut sendiri. Oleh karena itu Indonesia perlu menetapkan
batas wilayah perairan pedalaman di dalam perairan nusantara
(penetapan closing lines), serta peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh setiap sektor harus dilaksanakan dengan koordinasi baik,
sehingga laut di perairan pedalaman tidak rusak, apalagi pada era otonomi
daerah sekarang ini jangan sampai menambah kerusakan wilayah laut.
5. Zona Ekslusif Ekonomi
Indonesia mempunyai
hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban di zona ekonomi eksklusif karena sudah
terikat oleh Konvensi Hukum Laut 1985 dengan
UU No. 17/1985. Hak-hak, jurisdiksi, dan
kewajiban Indonesia pada Konvensi tersebut sudah ditentukan oleh Pasal 56 yang berbunyi sebagai berikut :
1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:
a. sovereign rights for the purpose of exploring
and exploiting, conserving and managing the natural resources, whether living
or non-living, of the waters superjacent to the seabed and of the seabed and
its subsoil, and with regard to other activities for the economic exploitation
and exploration of the zone, such as the production of energy from the water,
currents and winds;
b. jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this
Convention with regard to:
i. the establishment and use of artificial
islands, installations and structures;
ii. marine scientific research;
iii. the protection and preservation of the marine
environment;
2. In exercising its rights and performing its duties under this Convention
in the exclusive economic zone, the coastal State shall have due regard to the
rights and duties of other States and shall act in a manner compatible with the
provisions of this Convention.
Di zona ekonomi eksklusif
setiap Negara pantai seperti Indonesia ini mempunyai hak berdaulat untuk tujuan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola sumber daya alam baik hayati
maupun nonhayati di perairannya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta untuk
keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan
angin. Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona itu adalah jurisdiksi membuat dan
menggunakan pulau buatan, instalasi, dan bangunan, riset ilmiah kelautan,
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam melaksanakan hak berdaulat
dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif itu, Indonesia harus memperhatikan
hak dan kewajiban Negara lain.
Indonesia sudah dilengkapi
dengan UU No. 5 Tahun 1983 dan PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber
Hayati Laut di ZEE Indonesia. Sehubungan dengan zona ini banyak kegiatan tindak
lanjut yang harus dilakukan Indonesia seperti penetapan batas terluar ZEE
Indonesia dan menyimpankan copy peta-peta atau daftar koordinat-koordinatnya
kepada Sekretariat Jenderal PBB. Sesuai Pasal 62
Konvensi 1982, Indonesia harus memberitahukan mengenai pembangunan dan letak
pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya di ZEE.
Menurut Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menyatakan bahwa “dalam rangka
melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya itu, aparatur penegak hukum dapat
mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Oleh
karena itu, untuk menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di ZEE
Indonesia itu, Indonesia harus mempunyai kekuatan armada laut yang dapat
diandalkan, sehingga kekayaan di zona itu tidak diambil oleh kapal-kapal asing.
6. Landas Kontinen
Indonesia mempunyak hak
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumber daya alam di landas kontinen sebagaimana
diatur oleh Pasal 77 Konvensi Hukum Laut 1982,
tetapi di samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk menetapkan batas
terluar landas kontinen sejauh 350 mil dan
menyampaikan kepada Komisi Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental
Shelf) yang selanjutnya diatur oleh Lampiran (Annex) II Konvensi
Hukum Laut 1982.
Penentapan batas-batas
landas kontinen baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan salinannya
kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi yang relevan
seperti data geodetik dan peta-peta lainnya. Indonesia juga harus melakukan
negosiasi penetapan batas-batas landas kontinen dengan negara tetangga dan
jangan sampai terulang kasus Sipadan-Ligitan
yang semula tentang perundingan batas-batas landas kontinen antara Indonesia
dan Malaysia tersebut.
Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas
Kontinen yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 yang sudah barang tentu
sudah tidak relevan lagi, Landas kontinen menurut Pasal Undang- Undang No. 1 Tahun 1973 tersebut adalah sampai
kedalaman 200 meter yang berarti tidak
sesuai dengan Pasal 76 Konvensi Hukum Laut
1982. Oleh karena itu, Undang-Undang No. 1 Tahun
1973 harus diamandemen dengan sesuai dengan materi muatan Konvensi Hukum
Laut 1982, dan mengumumkan dan mendepositkan
batas landas kontinen tersebut pada sekjen PBB pada tahun
2009.
7. Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia
Negara pantai dengan
memperhatikan keselamatan pelayaran dapat mewajibkan kapal asing melaksanakan
hak lintas damai melalui laut territorial dengan menggunakanalur laut (sea
lanes) dan skema pemisah lalu lintas (traffic separation schemes)
sebagaimana diatur oleh Pasal 22 Konvensi
Hukum Laut 1982. Demikian juga pelayaran dengan menggunakan hak lintas transit
karena ketentuan Pasal 41 Konvensi Hukum
Laut 1982 yang mengatur alur laut dan skema
pemisah lintas transit, yaitu bahwa negara-negara yang berbatasan dengan selat
(states bordering straits) dapat menentukan alur laut (sea lanes)
dan skema pemisah pelayaran di selat-selat apabila diperlukan untuk
meningkatkan lintas
transit yang aman sesuai dengan peraturan internasional yang dibuat oleh
organisasiinternasional yang berkompeten, yaitu dalam hal ini IMO (Internattional
Maritime Organizations).
Indonesia telah memilki UU No. 6 Tahun 1996 yang juga berisikan ketentuan
penetapan lintas alur laut kepulaun seperti yang terdapat dalam Pasal 18 dan 19. Pada tahun 1996 Indonesia telah
mengusulkan kepada IMO penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di perairan
Indonesia.[12]
Menurut kesepakatan dengan
IMO, ALKI-ALKI itu akan mulai berlaku minimum enam bulan sejak diundangkannnya
oleh Indonesia. Pemerintah mengeluarkan PP No. 37
Tahun 2002 tentang 3 alur laut
kepulauan di perairan kepulauan Indonesia.
8. Pertambangan Dasar Laut
Kawasan dasar laut dan
tanah di bawahnya yang diatur oleh Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut tunduk pada rejim internasional,
yaitu common heritage of
mankind, yaitu warisan bersama umat manusia. Di Kawasan tidak boleh ada
negara yang mengklaim kedaulatan karena semua kekayaannya hanya untuk
kepentingan seluruh umat manusia yang dikelola oleh suatu badan internasional,
yaitu Badan Otorita Dasar Laut Internasional (International Sea-Bed
Authority-ISBA), sehingga pertambangan di Kawasan terutama yang dilakukan
oleh negara-negara maju yang mempunyai teknologi dan sumber daya manusia harus berdasarkan
persetujuan ISBA.
Kawasan yang berada di luar
jurisdiksi nasional dan berada di bawah pengelolaan Badan Otorita Dasar Laut
Internasional atau ISBA itu mempunyaistatus common heritage of mankind, yaitu semua
kekayaan di Kawasan adalah warisan bersama umat manusia. Oleh karena itu tidak
ada kewajiban khusus yang dimiliki oleh setiap Negara termasuk Indonesia.
Kewajiban Indonesia adalah berpartisipasi dalam eksplorasi dan eksploitasi
bekerja sama dengan Negara, organisasi internasional, atau perusahaan dalam
negeri atau asing.
Indonesia seharusnya
konsentrasi menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di laut baik
hayati maupun nonhayati yang berada di bawah kedaulatan dan jurisdiksi
Indonesia, seperti di perairan kepulauan, laut territorial, zona ekonomi
eksklusif, dan landas kontinen. Pemerintah Indonesia harus aktif mengikuti
sidang ISBA yang dilakukan setiap tahun, untuk mengikuti
perkembangan-perkembangan mengenai potensi pertambangan di dasar laut.
PENUTUP
Indonesia merupakan negara
kepulauan. Oleh karena itu, Indonesia ikut dalam merumuskan materi dari UNCLOS 1982. Ketentuan tentang negara kepulauan
mempunyai hubungan substansial dengan Deklarasi
Djoeanda yang dicetuskan pada tahun 1957.
Wawasan Nusantara yang
dalam status juridisnya adalah negara kepulauan (archipelagic states)
sudah diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya Konvensi Hukum Laut 1982 yang diatur dalam Bab IV Pasal 46. Negara
kepulauan adalah suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih
kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Kepulauan berarti suatu
gugusan pulau termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud
ilmiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat, sehingga pulau-pulau,
perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi,
ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang secara histories dianggap sebagai
demikian.
Sebagai negara yang
menandatangani dan kemudian telah meratifikasinya menjadi bagian dari tataran
hukum nasionalnya, maka Indonesia tentunya harus taat azas dengan berbagai
ketentuan hukum laut internasional dari UNCLOS 1982, termasuk tentang hak dan
kewajiban.
Daftar Pustaka
Buku:
Kusumaatmadja, Mochtar., Hukum Laut Internasional,
Binacipta, Bandung, 1978
Kusumaatmadja, Mochtar., Perlindungan Dan Pelestarian
Lingkungan Laut, Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, Jakarta,
1992.
Mauna, Boer., HUKUM INTERNASIONAL: Pengertian,
Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005.
Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional,
Edisi X, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional,
Edisi I, Unsri, Palembang, 2011
Tulisan:
Salam, Abdul Alim., Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka
Implementasi Konvesni Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia,
Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta, 2008.
Website:
http://www.dekin.kkp.go.id/yopi/index.php,
diakses pada tanggal 12 April 2011
http://www.topix.com/forum/world/indonesia,
diakses pada tanggal 12 April 2011
http://els.bappenas.go.id/upload/other,
diakses pada tanggal 12 April 2011
http://id.wikipedia.org/wiki, diakses
pada tanggal 14 April 2011
Perundang-undangan:
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
[1] Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL Pengertian
Peranan Dan Fungsi DalamEra
Dinamika
Global,
Edisi II, (Bandung: PT. Alumni, 2005, hlm. 304)
[2] ______, Perumusuan Kebijakan Sumber Daya
Maritim,
(http://www.dekin.kkp.go.id/yopi/index.php,
diakses pada tanggal 12 April 2011)
[3] Melda Kamil Ariadno, Ambalat Miliki Siapa?,
(http://www.topix.com/forum/world/indonesia,
diakses pada tanggal 12 April 2011). Melda
Kamil Ariadno, Pengajar
Hukum Laut Fakultas Hukum UI, Ketua Lembaga Pengkajian
Hukum Internasional (LPHI)
FHUI,
[4] Melda Kamil Ariadno, Ambalat Milik Siapa?, (http://www.topix.com/forum/world/indonesia,
diakses pada tanggal 12
April 2011).
[5] Soegito, Mempertahankan Ambalat dari NKRI,
(http://els.bappenas.go.id/upload/other,
diakses pada tanggal 12
April 2011).
[6] J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional,
Edisi X (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.
353)
[7] Negara kepuluan didefenisikan suatu
negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih
kepuluan yang dapat
mencakup pulau-pulau lain. J.G. Starke, Op.
cit.
[8] Mutatis mutandis berasal dari bahasa Latin yang artinya
kurang lebih adalah "perubahan
yang penting telah dilakukan". http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada
tanggal 14 April
2011.
[9] Sekarang yang berlaku adalah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun
2004-2009
[10] Lihat selengkapnya di http://id.wikisource.org/wiki
[11] Lihat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
Tentang Perairan Indonesia
[12] Lihat buku Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL Pengertian
Peranan Dan Fungsi
Dalam Era Dinamika Global, Edisi II (Bandung: PT.
Alumni, 2005, hlm. 398)
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.