MASALAH PERBATASAN WILAYAH
SELATAN INDONESIA
PERJUANGAN PRNGEMBALIAN PULAU PASIR DARI
AUSTRALIA & MIGAS DI CELAH TIMOR
Pengantar
Pada bagian ini kami sajikan berbagai
tulisan, pendapat, sejarah, maupun Peta, tentang Posisi Gugusan Pulau Pasir
(Ashmore Reef), Celah Timor – Laut Timor yang bertalian dengan Australia maupun
dengan Timor Leste yang sangat merugikan Indonesia dan berbagai perjuangan dari
berbagai kalangan dapat diikuti sbb :
Lembaga ini
merupakan lembaga Non Pemerintah di Indonesia (NOG) yang menyuarakan tentang
: Berbagai “Hak dan Kepentingan”
masyarakat Indonesia yang diabaikan, baik secara Nasional maupun Internasional
di Laut Timor, termasuk memperjuangkan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) kembali ke
wilayah Indonesia dari pihak Australia.
Yayasan ini
didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No.54 / SKEP
/ HK / 200l tertanggal 18 Mei 200l.
Berdasarkan Rekomendasi
DPR Propinsi Nusa Tenggara Timur, maka Gubernur Nusa Tenggara Timur membentuk
Tim Kerja Pengkajian dan Perumusan Berbagai Aspek Strategis di Celah Timor
Propinsi Nusa Tenggara Timur yang
dikenal dengan sebutan “Pokja Celah Timor” (Yayasan Peduli Timor Barat) disingkat (YPTB) yang di-ketuai oleh Ferdi Tanoni yang berkantor di
Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kegiatan-kegiatannya
yang diketahui antara lain :
Ø
Berbagai pertemuan dengan
Masyarakat Adat Suku Rote,
Ø
Pemerintah Daerah
Propinsi Nusa Tenggara Timur,
Ø
Pemerintah Kabupaten,
Ø
Instansi Pemerintah
lainnya,
Ø
Pemerintah Timor Leste,
DPRD Prov Nusa Tenggara Timur,
Ø
Pemerintah Tingkat Pusat
maupun dengan Lembaga-lembaga Internasional lainnya.
Khusus
Perjuangannya dalam merebut kembali Pulau Pasir (Ashmoro Reef), “YPTB”telah
melakukan berbagai penelitian dan pengkajian serta menyampaikan aspirasi
tertulis ke ,
Ø
Pemerintah Daerah,
Ø
Presiden Megawati
Soekarnoputri,
Ø
Wakil Presiden RI,
Ø
Kalangan Legeslatif di
Tingkat Kabupaten / Kota NTT,
Ø
Hingga DPR / MPR RI,
Ø
PM.Australia,
Ø
Ketua Oposisi Australia,
Ø
Pemerintah Transisi TIM-TIM
UNTAET,
Ø
Hingga Presiden Timor
Leste, Xanana Gusmao.
Perjuangan
YPTB ini, adalah juga perjuangan seluruh Bangsa dan Rakyat Indonesia; mari kita
dukung baik, jiwa maupun raga jika
memang kondisi dan situasi menghendaki demikian. Perjuangan Ketua YPTB hingga
saat ini terus berjuang baik di NTT, di tingkat nasional maupun di tingkat
internasional dengan gigih tentang hak Masyarakat Timur Barat atas Pulau Pasir
mapun aset minyak dan gas bumi di Celah Timor. Tentang perjuangannya, dapat
diketahui dari berbagai media massa yang banyak kami kutip di
BAGIAN SETERUSNYA.
Pulau Pasir (Ashmore
Reef) Masuk Wilayah Hindia Belanda
Berdasarkan Peta Asli Hindia Belanda Dan Peta
Asli Amerika Serikat
Oleh
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Dengan demikian berdasarkan data-data
yang kami kemukakan tersebut dapat dipakai sebagai dasar Hukum memperjuangkan
kembalinya Pulau Pasir ke Indonesia. Untuk kepentingan itu, Presiden SBY dan
Menlu RI, segera mengambil langkah untuk membuka kembali Perundingan Indonesia
dan Australia guna menyelesaikan
Perbatasan kedua Negara secara damai.
Bila
dalam perundingan tidak terdapat penyelesaian yang baik maka, Persoalan
Pulau Pasir perlu dilanjutkan ke Mahkamah Internasional. Banyak kalangan termasuk Deplu RI, Staf AL,
dan beberapa pakar lainnya malahan berbicara sebagai terompet membela Australia
mati-matian bahwa Pulau Pasir adalah milik Australia. Dan lebih konyol lagi
pihak Deplu RI menyatakan bahwa Indonesia tidak pernah mengklaim Pulau Pasir.
Kalau kenyataannya Pulau Pasir milik Indonesia, apakah perlu diklaim lagi? Oleh
karena itu ikuti data-data Peta asli Hindia Belanda dan Amerika Serikat yang
kami utarakan dihalaman-halaman berikutnya sebagai bukti autentik yang tidak
dapat dibantah lagi oleh Australia.Seperti dijelaskan di atas, bahwa Luas
Wilayah Perairan Indonesia, termasuk Pulau Pasir sudah bersifat FINAL yaitu berdasarkan
Sejarah Perolehan (Ex. Wilayah Hindia Belanda), dan tidak terpengaruh oleh
pasal UNCLOS 1982, yang mengatur kembali Garis Batas Perairan berdasarkan
“Dasar Kontinen” yang baru diberlakukan kemudian setelah UNCLOS 1982.
AP/AFP/OKI, --Kompas, 8-4-2006
Tension builds over Ashmore Reef: Is
it Indonesia's or Australia's?
Opinion and
Editorial - December 19, 2005
Ashmore reef
(a.k.a. Pulau Pasir) is currently being disputed by Indonesia and Australia.
If we talk
about an island/reef/islet, we are talking about sovereignty. In dealing with
sovereignty we do not consider distance.
If we talk
about a state authority in the sea territory, we are dealing with sovereign
rights, not sovereignty. Distance becomes the key issue as it depends on the
distance measured from the baseline, commonly the coastline depicting the low
water line. With regards to this, it is true that we need to consider maritime
zones and boundary issues.
Whose reef is
Pulau Pasir (Ashmore anyway)?
The
sovereignty over a reef should be carefully decided. It does not depend on its
distance to a state's mainland. It is a legal issue.
A website in
the Netherlands reveals that Pulau Pasir (Ashmore Reef) was annexed by Britain
in 1878. Together with Cartier Island, Pulau Pasir (Ashmore) was transferred to
Australia on July 23, 1931 and is then part of the Northern Territory of
Australia (1938-1978). A CIA website, one of the resources people may trust,
reveals similar facts. CIA's World Fact Book confirms that Ashmore reef is
under Australian sovereignty. Further support also comes from GEsource, an
academic website in the UK.
By plotting the
coordinates of Pulau Pasir (Ashmore Reef) (120 13.98' S, 1230 4.98' E) in the
Indonesia-Australia EEZ boundary map, it is clear that Pulau Pasir (Ashmore
Reef) lies within the Australian EEZ. This, implicitly, implies that Indonesia
has acknowledged Australian sovereignty over the reef.
From a
historic point of view, it is true that the ancestors of the Timorese people
had been coming to Pulau Pasir (Ashmore Reef) since the 1630s. However, Rais
and Tamtomo (Kompas, April 11, 2005) assert that the Netherlands never secured
the reef in its colonial territory and the government administering the reef
was Britain. Indonesia cannot claim Ashmore Reef (Pulau Pasir) just because its ancestors came there,
conducted economic activities and died on the reef provided that the government
administering the reef was not the colonial administration in Indonesia (the
Netherlands)?
It is indeed
ironic that Indonesians (Timorese and others) who have been visiting and
carrying out activities on Pulau Pasir (Ashmore Reef) for hundreds of years are
not entitled to own the reef, while Britain (Australia), who
"discovered" Pulau Pasir (Ashmore) in the nineteenth century, secures
stronger rights.
It is worth
noting that modern law emphasizes a legal claim rather than visits and
activities. If it is true that Britain legally claimed and administered Pulau
Pasir (Ashmore Reef) and the Netherlands did not protest, its sovereignty would
obviously be Australia's.
By contrast,
Tanoni states that there is strong evidence that Pulau Pasir (Ashmore Reef) was
part of the Netherlands during the colonial era, (see Nederlands Map—resources
- Insklopedi Indonesia Edisi Khusus,
yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects
2 Uitrgeverij W.van Hoeve B.V. Buku 4 halaman 2402)—Peta Hindia Belanda dibawah
ini.
He asserts
that the implementation of a regulation regarding sea cucumber and other marine
biota collection around Pulau Pasir (Ashmore Reef) is convincing evidence for
its claim over the reef. Unfortunately he did not specify the document he
referred to. However, if this is true, it could possibly invalidate Britain's
claim over the reef in the eighteenth century.
Agreements
between Indonesia and Australia
In 1971/1972,
Indonesia and Australia agreed on a seabed boundary. Some experts opined that
it was not an equitable boundary, as the line lies closer to Indonesia. The
Australian argument emphasizes the principle of natural prolongation (seabed
geomorphology). It suggested that the natural break of the Australian
Indonesian continents exists close to Timor Island, so that the seabed boundary
lies far from the median line favoring Australia.
This practice
was supported by legal developments at that time. The International Court of
Justice's decision on Feb. 20, 1969 regarding The North Sea seabed case between
Germany and Denmark, for instance, gave the principle of natural prolongation
considerable significance. In other words, Australia's argument was supported
by jurisprudence. However, the post-UNCLOS (1982) development tends to give
less consideration to seabed geomorphology. In the case of Libya and Malta
(1985), for example, the ICJ decided that within 200 nautical miles, seabed
geomorphology is irrelevant and the court's judgment was based on the distance
principle.
It might be
true that the seabed boundary between Indonesia and Australia is inequitable.
However, it is worth noting that the decision was with regards to the positive
law applicable at that time. If necessary, Indonesia may renegotiate the
boundary, provided that Australia agrees to do so. However, it is unlikely that
Australia would want renegotiation. Another agreement requiring attention is
the 1997 EEZ boundary. Unlike the seabed boundary, this is much more equitable
as the border lies in the median line between the two states. Unfortunately,
Indonesia has not ratified the agreement in its internal law. Regarding Pulau
Pasir (Ashmore Reef), there is an MOU in 1974/75 allowing Indonesian
traditional fishermen to fish around (Pulau Pasir (Ashmore Reef). Surprisingly,
there were reports that Australia restricted Indonesian fishermen from fishing
in the area due to environmental reasons. This must have caught the attention
of the Indonesian government and it should clarify this as it deals with the
lives of Indonesian fishermen.
Undoubtedly,
it is Indonesia's obligation to keep the archipelago intact and united.
However, clear understanding regarding the legal, technical and scientific
aspects are essential. Everybody should carefully analyze and be more critical
of every single issue regarding border conflict.
A wrong
decision may lead Indonesia to huge material losses as well as a decline in its
reputation as it might be considered as an emotional and irrational society.
The available
legal evidence, so far, suggests that Pulau Pasir (Ashmore Reef) is under
Australian sovereignty. However opinions and arguments suggesting the opposite
are seriously worth considering. Let's do our part and let the governments do
their best to achieve an equitable solution.
The writer is
a lecturer in the Department of Geodetic Engineering, University of Gadjah Mada
and is currently studying the technical aspects of maritime boundaries at the
University of New South Wales, Australia The (Jakarta Post)
AUSTRALIA
Dibawah ini beberapa judul tentang Pulau
Pasir (Ashmore Reef) hubungannya dengan
Australia
Pulau Pasir (Ashmore Reef) Masuk Wilayah
Hindia Belanda
Berdasarkan Peta Asli Hindia Belanda Dan Peta
Asli Amerika Serikat
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Faktor Jarak
Berdasarkan
data-data yang ada memperlihatkan, bahwa jarak Pulau Pasir (Ashmore Reef)
dengan Indonesia - Australia dapat
dikethui sebagai berikut :
1). Jarak
Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan Darwin di wilayah Australia utara adalah 840
km.
2).Jarak
antara Pulau Pasir dengan Pantai Utara Australia Barat (Broome) adalah 610 Km, sedang,
3). Jarak
Pulau Pasir dengan Pulau Rote adalah 170 Km.
Luas Pulau
Pasir 583 km2.
Orang Barat
Pertama Yang Menemuka Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur
Orang Barat
Pertama yang menemukan Pulau Rote/Roti, di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1522, adalah Pelaut Portugis,
Antonio Pigafetta, salah seorang rombongan Magelhans Pengeliling Dunia, Dialah
yang menamakan Pulau itu dengan sebutan Rotty, sesuai nama seorang nelayan
tradisional yang ditemuinya di Pelabuhan
Papela Rote Timur, Nusa Tenggara Timur.
Pada tahun
1778, atau 256 tahun kemudian dari tahun 1522, Kapten Cook baru menemukan
Pantai Timur Australia. Sedang Kapten Ashmore pada tahun 1811 atau 289 tahun kemudian dari tahun 1522 baru
menemukan Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef).
Namun Masyarakat Adat Suku Rote, Nusa Tenggara Timur telah lebih dahulu menemukan Gugusan Pulau
Pasir (Ashmore Reef) jauh sebelum tahun 1522 oleh seorang Tokoh Masyarakat Rote bernama Dato,
yang kemudian pulau-pulau tersebut diberi nama sesuai namanya, yaitu Pulau Dato
I, Pulau Dato II, dan Pulau Dato III. Tetapi kemudian pulau-pulau tersebut
lebih dikenal dengan sebutan Solokaek dan terakhir bernama Pulau Pasir.
Gugusan
pulau-pulau itu dijadikan sebagai ladang perikanan mereka sepanjang tahun
secara turun temurun, dan bukan sebagai pulau hunian, melainkan sebagai tempat
beristirahat dan tempat berlindung jika terjadi badai. Bahwa Pulau Pasir ini
sudah sejak dulukala telah dilayari oleh
hampir semua nelayan tradisional di Indonesia Bagian Timur, khususnya, para nelayan yang berasal
dari Pulau Rote, Bugis- Makassar, Madura, dan Buton, Alor, dan Flores secara
turun-temurun hingga masuknya Penjajah Belanda di Nusantara ini.
Dalam Atlas
Semesta Dunia “Jambatan – Jakarta, 1952 : 150.
terdapat uraian penjelasannya dalam peta (Atlas) tersebut menyebutkan
dengan ejaan lama dikutip sebagai berikut :
”Bahwa
sebeloem kedatangan orang-orang Barat ke Benua Australia, sudah banjak kali
dikundjungi pedagang--pedagan Indonesia.
Pelajar-pelajar/pelaut
Bugis menamakan benua (pulau) ini, dengan sebutan “MARAGE” = (hitam pekat).
Dengan
demikian menurut sejarah, sebenarnya yang menemukan Benua Australia pertama
kali, adalah orang atau para nelayan tradisional Bangsa Indonesia, dan bukan
orang atau Bangsa Barat. Jika Ingris atau sekarang Australia menyatakan pertama
kali menemukan Australia dan Gugusan Pulau Pasir sehingga mengklaim sebagai
miliknya, adalah tidak benar, apabila kita bandingkan dengan tahun-tahun
penemuan pertama seperti yang disebutkan di atas. Perlu diketahui pula bahwa
VOC pada tahun 1613, telah menguasai
wilayah Nusa Tenggara Timur, termasuk Pulau Rote.
Adapun
Perjanjian Dagang antara VOC dengan Raja-raja Pulau Rote sudah berlangsung
sejak tahun 1662, 1690, 1700, dan tahun 1756 khusus dalam perdagangan kopra.
Oleh karena kerjasama yang baik antara VOC dengan Raja-raja di Pulau Rote,
maka, salah seorang raja dari kerajaan Tie, bernama Poura Messa dianugrahi sebuah Tongkat
kebesaran tanda jasanya, yang bertuliskan VOC bertahun 1720 (lihat Gambar di
bawah ini).
Pada
tahun-tahun tersebut Pemerintah Hindia Belanda sudah menguasai Gugusan Pulau
Pasir.
Foto : Raja
kerajaan Tie-Rote, NTT, yang buta Jerimias Mesakh, sedang memegang tongkat
Jabatan yang bertuliskan nama Raja Poura Messa – bertahun 1720 dengan lambang
VOC sebagai tanda kebesaran–yang diberikan VOC--Hindia Belanda, , kepada leluhur Raja Poura Messa. Pada
tahun-tahun sebelum 1720 Nelayan tradisional asal Pulau Rote telah menguasai
Pulau Pasir dan merupakan wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1720, Kapten Cook
belum menemukan Australia dan baru tahun
1788.
Sumber :
“TIMOR BOOK” 1744 hal.96-103 yang dikutip
oleh Geoffrey Parker dalam bukunya The
World an Illustrated History, hal.148, seperti terlihat pada foto. Ia adalah
Raja Rote pertama yang dibabtis menjadi Kristen di Betawi (sekarang Jakarta) l743.
Repro : Drs.Simon Arnold Julian Jacob.(Penulis).
Sejak
tahun-tahun tersebut di atas, setiap nelayan tradisional yang hendak mencari
biota laut di Pulau Pasir, diberikan Surat Izin Berlayar oleh Pemerintah Hindia
Belanda yang berkedudukan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang oleh nelayan
setempat lebih dikenal dengan sebutan “Surat Pas Berlayar”. Tujuannya adalah,
bila terjadi badai atau angin topan,
sehingga terdampar hingga Australia, maka diharapkan mendapat bantuan
seperlunya dari pihak Keamanan Pantai Australia dan bukan sebagai pelanggar
batas ilegal. Ijin berlayar ke Pulau
Pasir (Ashmore Reef) tersebut masih dijalankan hingga tahun 1950-an. Sebelum
tahun 1950-an, pencarian ikan, teripang oleh para nelayan tradisional Indonesia
di sekitar Pulau Pasir tidak pernah dipermasalahkan oleh pihak Australia. Itu
membuktikan bahwa Pulau Pasir adalah milik Pemerintah Hindia Belanda dan
sekarang setelah Indonesia Merdeka adalah milik Indonesia. (berdasarkan
“Sejarah Perolehannhya”) Pulau Pasir
adalah wilayah Kabupaten Rote Ndao paling Selatan yang berbatasan langsung
dengan Australia. Oleh karena itu Batas Perairan Indonesia Paling Selatan,
bukan di Pulau Ndana seperti tertera di
Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002, melainkan di Pulau Pasir (Ashmore Reef)
perlu ditinjau kembali.
PETA ZAMAN HINDIA BELANDA DAN PETA AMERIKA SERIKAT
Berikut ini
kami memuat Peta-peta zaman Hindia Belanda doeloe dan Peta-peta buatan Amerika
Serikat yang menunjukkan bahwa Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah milik Hindia
Belanda, seperti pernyataan Ferdi Tanoni
sbb :
Tanoni states,
that there is strong evidence that Pulau Pasir (Ashmore Reef) was part of the
Netherlands during the colonial era (see Nederlands Map—sources - Insklopedi
Indonesia Edisi Khusus, yang diterbitkan
oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects 2 Uitrgeverij
W.van Hoeve B.V. Buku 4 halaman 2402 ) sebagai berikut :
Peta 2. (Peta
Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao).
Perhatikan
Garis Pembatas territorial Indonesia dan Australia berwarna MERAH, menunjukkan
Pulau Pasir (Ashmore Reef) terletak jauh di Utara garis Merah, masuk wilayah
Kabupaten Rote Ndao, NTT (Indonesia). Peta ini sebelum Indonesia Merdeka 17 – 8
-1945, adalah wilayah Kolonial Hindia Belanda. Jadi semua argumentasi
Australia, yang mengatakan milik Inggris yang kemudian diserahkan kepada
Australia adalah tidak benar Jarak Pulau
Rote dengan Pulau Pasir hanya 140 Km.
Dengan adanya
Peta Asli ini sekaligus menggugurkan semua argumentasi Australia yang
mengatakan adalah milik Inggris yang kemudian diserahkan kepada Australia.
Dengan adanya Peta-peta Asli ini
merupakan bukti Austentik yang lebih dipercaya keabsahannya, hingga ke
Mahkamah Internasional sekalipun.
(Sumber Peta
: Insklopesi Khusus Buku 4 hal.2403)
Peta 3. Peta
Provinsi NTT, dan sebagian Australia Utara, memperlihatkan Gugusan Pulau Pasir (Ashmote Reef) milik
Indonesia. Lihat Garis Pembatas Berwarna
Merah Letaknya di Selatan Pulau Pasir.
(Sumber
Peta :
Insklopedi Indonesia Edisi
Khusus, yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing
Projects 2 Uitrgeverij W.van Hoeve B.V. Buku 4 halaman 2402 ).
Peta 4
Peta 4. Peta
Gugusan Pulau Ashmore Reef (P.Pasir) dan P.Cartier di Selatan P.Roti
(Rote) adalah cuplikan dari peta-peta
tersebut diatas dan dibuat lebih besar agar nampak lebih jelas Gugusan Pulau
Pasir (Ashmore Reef, adalah Wilayah Kabupaten Rote Ndao, NTT (Indonesia) yang
terletak di Atas/Utara Garis Batas Warna Merah (sebagai pembatas perairan
teritorial Indonesia – Australia)
seperti pada peta 2 dan Peta 3,
(Sumber Peta
: Insklopedi Indonesia Edisi Khusus, yang diterbitkan oleh Ichtiar
Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects 2 Uitrgeverij W.van Hoeve
B.V. Buku 4 halaman 2402 ).
Pulau Pasir (Ashmore Reef)
(Lihat dalam
Lingkaran Hitam (Gugusan Pulau Pasir) adalah wilayah Hindia Belanda dulu (Peta
3)
Letak
Pulau Pasir 140 Km di Selatan Pulau Rote, NTT.
Pulau
Pasir (Ashmore Reef) is located in the Timor Sea about 840
kilometres west of Darwin and 610 kilometres
north of Broome. It is part of the Australian External Territory of Ashmore and
Cartier Islands and comprises a shelf-edge reef system of approximately 583 square kilometres, rising from the westward limit
of the Sahul Shelf. Three small islands and a number of shifting sand cays lie
within the reef rim. The combined area of the islands is 112 hectares, the largest being about one kilometre
long. The plant communities are mainly shrubland and herbland, and the
luxuriant growth of the wet season is in sharp contrast to the dry season when
there is a layer of dead plant material over much of the islands.
The Ashmore
islands and the sand cay on Cartier reef are the only permanently dry land
areas in the north-eastern Indian Ocean.
Its location
and range of habitats makes Ashmore Reef of great conservation significance,
lying as it does in the path of the Indonesian Throughflow. This is a westerly
current transporting an immense volume of water from the Pacific Ocean, which
passes along the northern coast of New Guinea and then moves down through the
Indonesian archipelago and into the Indian Ocean. Ashmore materially benefits
from these low-salinity waters bathing the reef, through larval recruitment
from reef systems to the north contributing to the maintenance of gene
diversity. The reefal waters are also enriched by the South-east Trade winds,
which generate a surface current from the Arafura and Timor Seas, thereby
transporting marine organisms to Ashmore from eastern waters.
These
influences have brought about an unusually high species diversity in and around
the reef. Of these, perhaps most interesting is the presence of fourteen
varieties of sea snake in the waters of Ashmore, two of which may be endemic to
the Ashmore/Scott Reef area. This is the greatest number of species ever
recorded for any one area. Over 255 varieties of
coral, 433 species of mollusc and 70 fish species have been identified, and further
research is expected to increase these figures. The islands are significant
marine turtle nesting areas, while dugong, various cetacions and whale sharks
are sighted regularly around the reef.
It is not
surprising that the Australian Government sought to protect this significant
reef by declaring it to be a National Nature Reserve in 1983.
Ashmore's
extensive tidal sand flats provide a major staging and feeding habitat for
migratory birds, and the three islands provide sites for a high concentration
of nesting seabirds. A total of 88 bird species have been recorded from the
Ashmore Reef, including a number of Indonesian species not found elsewhere in
Australia. A total of twenty bird species breed on the islands, an unusually high
figure in comparison with other off-shore seabird nesting islands.
Many
Indonesian fishermen from islands to the immediate north, call in at Ashmore
each year under the provisions of a Memorandum of Understanding signed by the
Australian and Indonesian Governments. This agreement allows the fishermen to
utilise areas of the sea which they have accessed traditionally for centuries,
although there are now restrictions placed on all fishing and access by the
general public within the Nature Reserve. These are aimed at the protection and
preservation of the wide range of wildlife resident on this outstanding reef.
Much of the
reef including East and Middle Islands has been closed to visitors, in order to
protect the seabird breeding colonies and the environment within the reef rim.
Visiting vessels may access the West Island lagoon for shelter, and may go
ashore on West Island in order to obtain water, but it is not considered to be
potable and may become brackish towards the end of the dry season. The access
restrictions apply to Indonesian fishermen and all other visitors.
Views
Ashmore and
Cartier Islands
Hibernia Reef
(NASA satellite
image
The Territory
of Ashmore and Cartier Islands are two groups of small low-lying uninhabited
tropical islands
in the Indian Ocean
situated on the edge of the continental
shelf north-west of Australia and south of the Indonesian
island of Roti
at 12°14′S
123°5′E / -12.233,
123.083.
[edit] Geography
Ashmore Reef
in satellite-image (NASA)
The territory
includes Ashmore Reef (West, Middle, and East Islets) and Cartier
Island (70 km east) with, a total
area of 199.45 km² within the reefs and including the lagoons,
and 114,400 m² of dry land. While they have a
total of 74.1 km of shoreline, measured along
the outer edge of the reef, there are no ports or harbors, only offshore
anchorage. Nearby Hibernia Reef, 42 km Northeast
of Pulau Pasir (Ashmore Reef), is not part of the territory. It has no
permanently dry land area, although large parts of the reef become exposed
during low tide.
Ashmore Reef 155.40 km² area within reef (including lagoon)
West Islet, 51,200 m² land area;
Middle Islet,
21,200 m² land area;
East Islet, 25,000 m² land area;
Cartier Reef
(44.03 km² area within reef (including lagoon)
Cartier
Island, 17,000 m² land area;
There is an
automatic weather station on West Islet.(Sumber : Google – Internet).
Catatan
Penulis : Australia menjadikan Pulau Pasir
(Ashmore Reef) sebagai National Nature
Reserve in 1983, setelah ditandatanganinya MOU 1974. antara Indonesia dan Australia, padahal Nelayan
Indonesia telah menguasai Pulau Pasir jauh
sebelum tahun 1522. ketika Antonio Pigafetta menemukan Pulau Rote, di Nusa
Tenggara Timur. Dalam pelayarannya dari Pulau Rote kembali ke Eropa, melalui
Tangjung Harapan di Afrika Selatan.
(Lihat Peta,
Rute Pelayarannya pada halaman lainnya).
Peta 5. Peta
Asli Australia dizaman Hindia Belanda, Tidak Termasuk Pulau Pasir yang letaknya
jauh di Utara dan Tidak Tampak Dalam Peta ini.
Peta Asli
Auistralia dalam Peta Dunia Buatan Hindia Belanda.
Dalam Peta
ini, Perabatasan Australia paling Uatara,
tidak termasuk Pulau Pasir (Ashmore Reef). Pulau-pulau kecil paling
Utara milik Australia, adalah hanya
beberapa gugusan pulau-pulau kecil yang letaknya disekitar : Tanjung
Bougainville, di Tanjung Londonderrry, dan
Pulau Melville
(Sumber Peta Dunia ini, yang dibuat oleh Belanda pada zaman
Hindia Belanda yaitu oleh:
NV.Cartografisch Instituut Bootsma—Falkplan di ‘s-
Gravenhage---N.V.Boek–En
Kunstdrukkerij V/H Mouton & Co di
‘sGravenhage—Belanda,
yang di kutip oleh (Atlas Semesta Dunia
“Jambatan-Jakarta,
1952 :150).
Dengan peta ini, Australia tidak dapat
menyatakan lagi bahwa Pulau Pasir adalah masuk wilayah Inggris sejak tahun 1878 yang diwariskan ke Australia adalah tidak benar.
Dan lihat pula Peta Dunia buatan AS, di bawah ini, yang berjudul :
Coral
Sea Islands Territory, tidak terdapat nama Pulau
Pasir (Ashmoro Reef). Dengan demikian jelas Pulau Pasir adalah wilayah Hindia
Belanda, sekarang Indonesia adalah wilayah Pulau Rote paling Selatan berbatasan
langsung dengan Australia.
Penjelasan
Peta :
Pulau-pulau
kecil milik Australia paling utara dalam peta asli tersebut diatas, adalah
hanya beberapa gugusan pulau-pulau kecil yang letaknya disekitar : Tanjung Bougainville, di Tanjung Londonderry, dan Pulau Melville (lihat peta) Peta Asli
Australia ini harus tetap dipegang
sebagai bukti autentik oleh Pemerintah Indonesia, dalam memperjuangkan
kembali Pulau Pasir ke Wilayah Indonesia. Apakah Menlu RI dan Instansi terkait
lainnya memiliki Peta ini atau tidak, sebagai dasar pembuatan Perjanjian MOU 1974? Saat itu Mantan Menlu RI Ali Alatas membuat MOU 1974 hanya dari Belakang Meja saja, atau karena
mendapat tekanan dan di dikte oleh Australia? Perlu dipertanyakan.
Mengapa
hingga saat ini Pemerintah Pusat cq Menteri Luar Negeri RI diam saja? Inilah
kesalahan fatal yang dilakukan oleh Mantan Menlu RI Ali Alatas sehingga
akhirnya Pulau Pasir beralih menjadi milik Australia.Namun sekarang Pemerintah
Pusat harus segera mengambil inisiatif
berdasarkan data Peta-peta Lama ini,
sebagai dasar membuka kembali perundingan RI – Australia membicarakan kembali
kepemilikan Indonesia atas Pulau Pasir (Ashmore Reef). Di peta ini Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak nampak, oleh karena masih sangat jauh
jaraknya dari Australia Utara, oleh
karena pada saat itu memang Pulau Pasir
(Ashmore Reef) adalah wilayah Kabupaten Rote Ndao, NTT, Indonesia, dan tidak termasuk wilayah Australia.
Coral
Sea Islands Territory Coral Sea Islands Territory
Pulau Pasir
(Ashmore Reef) Dalam Peta Dunia (Amerika Serikat),
Terletak
Diluar Teritorial Australia. Pulau-pulau
pulau karang milik Australia, di Peta dengan Judul : “Coral
See Islands Territory”(Lihat Peta 8)
Kalau kita
memperhatikan Peta Australia, dalam Peta Dunia, khususnya Australia Barat
(Western Australia, Luasnya = 975.920 sq.ml)
dan, Australia Utara (Northen Terittory,
Luasnya = 520.280 sq ml), pada Peta Dunia
terbitan “HAMMOND
Standard World Attalas, Copyright
MCMLXXIX By Hammond Incoporated Maplewood, New Jersey, Printed In USA”,
ternyata, Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak
termasuk wilayah teritorial Australia.
Pulau-pulau
karang (Reef) paling Utara yang masuk wilayah Australia, disebutkan dengan
sangat jelas pada peta tersebut
dihalaman 88 secara terperinci, dibawah
judul :
“Coral
Sea Islands Territory :
Bougainvile
(reef),…H3
Cato
(isl.)……………K4
Coral
(sea)…………..H2
Coringa
(islets)… H3
Great
Barrier (reef) H3
Holmes
(reef)…… ..H3
Lihou
(reef andcay ).J3
Magdelaine
(cays) J3
Saumares
(reef)… . J4
Willis
(islets)…… ... H3
Demikian
pula pada peta Australia Barat (Westen Australia, hal.92 ) maupun Northen Territory, hal.93), ternyata
Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak termasuk dalam daftar peta (atau terletak diluar batas teritorial
Australia). Ini berarti, memang benar Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dan Cartier Island (Reef),Scot Reef, termasuk Ex wilayah Jajahan Hindia Belanda,
yaitu bagian dari wilayah Pulau Rote,
Provinsi NTT ( Indonesia).
Peta
6. Australia Dalam Peta Dunia, Terbitan Amerika Serikat . (Peta Lama).
Peta 7
Peta 8. Peta
Pulau-Pulau Karang milik Australia, berjudul : “Coral See Islands
Territory” tidak tercantum Pulau Pasir (Ashmore Reef). Lihat Panah.
(Sumber
Peta : “HAMMOND Standard World Attalas, Copyright MCMLXXIX By Hammond Incoporated Maplewood,
New Jersey, Printed In USA).
Pulau-pulau
karang milik Australia dengan judul :
“Coral Sea Islands Territory”, tidak
ternapat nama Pulau Pasir (Ashmore Reef).
Dengan
demikian benar sejak Hindia Belnada Pulau Pasir milik Hindia Benlda dan bukan
milik Australia.
Peta 9. Peta
Rekayasa Australia
Ini adalah
Peta Rekayasa Australia secara sepihak
setelah MOU 1974 Yang
bertentangan dengan Garis Batas Perairan RI – Australia seperti pada
Peta-peta Asli Hindia Belanda dan AS di atas dianggap Tidak Syah.
Garis Batas
Perairannya Tidak Lurus ketika sampai di
Pulau Pasir (Ashmore Reef) dibuat setengah lingkaran kearah Utara untuk memblok
Pulau Pasir menjadi milik Australia dan
bertentangan dengan UNCLOS 1982 Tentang Garis Batas Perairan
antarnegara. Lihat Peta Terbaru Rekayasa Australia Sepihak seperti tertera
dibawah ini.
Peta Baru
hasil rekayasa sepihak oleh Australia, yaitu Peta 9 setelah 1974 (sangat
berbeda jauh dengan Peta Asli Buatan Hindia Belanda yaitu (Peta 2 -
5 dan Peta Dunia buatan Amerika Serikat yaitu peta 6 – 7 -8). Apabila garis merah putus-putus
tersebut ditarik lurus dan menyatu, maka jelas Gugusan Pulau Pasir tetap masuk
Indonesia, tetapi karena garis tersebut dibuat setengah lingkaran ke utara,
untuk memblok pulau Pasir supaya masuk wilayah Australia dan hal tidak syah
perlu diperjuangkan kembali oleh Indonesia. Harus menerapkan Batas sesuai
UNCLOS 1982.
Sumber Peta :
MOU BOX . Dalam membuat peta Perbatasan RI – Asustralia yang baru, maka Peta
Rekayasa Australia ini TIDAK BERLAKU. (Penulis).
Dalam Peta
baru (1974) Rekayasa Australi secara
sepihak, terdapat 3 jenis Petunjuk Garis
Pembastasan masing-masing adalah :
1).
Garis-garis Miring dalam Kotak (Area of fishing);
2).
Garis-garis merah putus-putus (Provisional Fisheries Line);
3). Gais
Merah horizontal (Indonesia/Australia
Seabed Boundary.
Penjelasan
1).Garis-garis
miring merah dalam kotak, menunjukkan
zona yang memperbolehkan nelayan tradisinal Indonesia mencari ikan dan
biota laut.
2).
Garis-garis putus merah ketika sampai di
pulau Pasir (Ashmore Reef), dibuat setengah lingkaran ke Utara, guna memblokir
Pulau Pasir menjadi milik Australia.. Jika garis-garis merah tersebut dibuat Lurus, maka Pulau Pasir masuk
Indonesia. Pembuatan garis setengah lingkaran ini bertentangan dengan UNCLOS
1982.
3). Gais
Merah sebagai garis pembatas perairan Indonesia – Australia bertentangan dengan Garis merah pembatas
Indonesia – Australia pada peta Hindia Belanda dan Peta AS seperti tertera di
Peta 2 - peta 8 tersebut di atas.
Peta buatan
sepihak Australia ini dianggap tidak syah
perlu dibicarakan kembali batas-batas Indonesia – Australia dikembalikan
seperti pada Peta Hindia Belanda dan Peta AS
Tujuan
rekayasa peta buatan Australia ini
adalah karena ingin mencaplok dan
menguasai sendiri secara paksa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dan Laut
serta Celah Timor yang kaya cadangan MIGAS Sedang pada peta Hindia Belanda dan
AS Pulau Pasir adalah jelas-jelas masuk wilayah Kabupaten Rore Ndao, NTT
(Indonesia) lihat Batas Garis Merah di Peta Belanda dan Garis Batas Warna
Merah di Peta Australia yang telah digeser
makin ke Utara memasuki Laut Timor dan Laut Arafuru sehingga Indonesia
kehilangan wilayah laut seluas 85 persen. Oleh karena itu dari peta-peta 2 – 8, ini menjadi bukti asli dan
autentik sebagai Dasar Perjuangan
Indonesia mengembalikan Gugusan Pulau Pasir ke Indonesia.
Peta
Lama Asli Belanda dan AS tersebut di
atas, mungkin tidak dimiliki oleh Departemen Luar Negeri RI, sehingga saat
pembuatan MOU 1974, hanya berdasarkan keterangan dan argumentasi sepihak dari
Australia saja.
Ini adalah
kesalahan besar dari Mantan Menlu RI, Ali Alatas dalam pembuatan MOU 1974 hanya
dari belakang meja saja, tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan Pemerintah
Provinsi NTT maupun dengan Masyarakat Adat Suku Rote tentang Status Pulau Pasir
(Ashmore Reef) yang sebenarnya.
(Sumber
Peta : MOU BOX).
Dengan demikian
Persoalan Pulau Pasir “BELUM TUTUP
BUKU”.
Dari MOU BOX
dikutip sebuah kalimat sbb : From a historic point of view, it is true that the
ancestors of the Timorese people had been coming to Pulau Pasir (Ashmore Reef)
since the 1630s.
Penulis :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Alamat :
Jln.Jambon I No.414J, RT/RW :10/03 – Kricak – Jatimulyo – Jogjakarta. Telp.
0274.588160 – HP. 082135680644 - Email :
saj_jacob1940@yahoo.co.id
Penjelasan :
Di
Pulau Pasir (Ashmoro Reef) ini, terdapat
:
1).
2 sumur yang digali oleh Nelayan Tradisional
asal Pulau Rote, untuk sumber air minum mereka,dan hingga saat ini sumur
tersebut masih ada, bukan buatan Australia.
2).
juga terdapat pohon kelapa dan pohon
asam yang ditanam disana oleh nelayan tradisional asal Indonesia, bukan ditanam
oleh Australia
3).Terdapat
pula sekitar 600 kuburan nenek moyang mereka sudah sejak berabat-abat yang
lalu, yang mati selama pencarian hasil laut, oleh karena terkena angin topan
menyebabkan perahunya tenggelam dan meninggal di perairan Pulau Pasir.
4).
Juga terdapa Harak, yaitu semacam ladang perikanan di sekitar pantai.
5).
Terdapat pula berbagai hasil peninggalan sejarah berupa pecahan gerabah, tungku, dll, yaitu
hasil suatu penelitian oleh seorang antropolog asal Australia, yang mengidentifikasi
sebagai hasil peninggalan nelayan asal Indonesia.
Semua
data-data ini membuktikan bahwa sebelum Kapten Cook menemukan Benua Australia
pada Tahun 1778 dan sebelum Kapten Ashmoro
menemukan Gugusan Pulau Pasir pada Tahun 1811,
para nelayan tradisional asal Indonesia
telah menguasai Pulau Pasir (Ashmore Reef), bahkan sebelum Pelaut Portugis Antonio Pigafetta menemukan
Pulau Rote pada Tahun 1522 dan sebelum VOC menguasai Pulau Rote pada Tahun 1613 dan tahun-tahun sesudahnya.
Dengan
demikian diharapkan semua data-data ini
perlu diangkat ke Forum-forum Resmi dalam berbagai Seminar Nasional baik
oleh Lembaga DPR RI, pakar-pakar politik
, Universitas, maupun dibahas oleh berbagai Media Massa dalam memperjuangkan
kembalinya Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) ke Indonesia.Namun saat ini
terkesan seolah-oleh Presiden SBY dan Menlu RI, maupun pakar lainnya, tidak bersemangat lagi membicarakan Status
Pulau Pasir dengan Australia. Mantan Menlu RI, Hassan Wirayudha, pernah
menyatakan bahwa Persoalan Pulau Pasir sudah “TUTUP BUKU?”.
Karena Takut
PERANG?
Kalau Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan bisa diperkarakan hingga ke Mahkamah Internasional,
mengapa persoalan Pulau Pasir Tidak Bisa?
Nyali dan
keberanian Diplomasi Polilitik Luar Negeri
dari Presiden SBY dan Menlu RI, diuji keseriusannya dalam penyelesaian
SENGKETA Pulau Pasir.
Istilah Hukum
dalam kata-kata, Indonesia, “Menyerahkan Pulau Pasir” kepada Australia,
mengandung pengertian bahwa benar Gugusan Pulau Pasir adalah semula milik Indonesia. Suatu penyerahan wilayah
Indonesia kepada negara manapun adalah bertentangan dengan kedaulatan Indonesia
dan UUD 1945. Soeharto dan Ali Alatas yang paling bertanggung jawab atas
penyerahan Gugusan Pulau Pasir ke Australia, merupakan suatu penghianatan
kenegaraan yang tidak dapat ditolirir
oleh hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Penyerahan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) kepada
Australia semula bukan karena berdasarkan Landas Kontinen melainkan sebagai Konpensasi Politik Timor Timur. Penyerahan Pulau Pasir ke
Australia, tidak lain sebagai suatu konpensasi politik atas pengakuan Australia
terhadap integrasinya Timor-Timur kedalam wilayah Indonesia. Tetapi justru
akhirnya Australia juga merupakan salah satu bidan yang melahirkan dan membantu
Timor Timur memperoleh kemerdekaannya. Timur Timur saat ini telah memperoleh
kemerdekaannya, maka telah terjadi suatu perubahan politik, yang mengharuskan
segala MOU yang ditandatangi RI—Australia, sudah saatnya ditinjau kembali dan
MOU tersebut batal dengan sendirinya.
Sayangnya Deplu RI dianggap sangat lemah dalam politik luar negeri
sehubungan dengan masalah perbatasan, terutama menyangkut Pulau Pasir. Malahan
berkeras membela kepentingan Australia terhadap Pulau Pasir. Mungkin karena
tidak mengetahui sejarah dan Peta Pulau Pasir?
Lepasnya
pulau Sipadan dan Ligitan merupakan Tragedi Politik Luar Negari RI dalam hal
perbatasan. Jika seandainya saat itu
Indonesia berkeyakinan bahwa pulau Ligitan dan
Pulau Sipadan milik Indonesia maka, seharusnya
segera menerjunkan pasukan TNI kelokasi
tersebut dan mempertahankannya dari tuntutan Malaysia.
Namun Presiden Soeharto diam saja dan tidak berbuat sesuatu tindakan keamanan
atas kedua pulau tersebut dan hanya mengandalkan meja perundingan yang hasil
akhirnya Indonesia dikalahkan oleh Mahkamah Internasional.
Oleh karena
penyerahan gugusan Pulau Pasir tidak memiliki dasar hukum yang syah menurut UUD
1945, maka semua MOU yang telah ditandatangani harus batal dengan sendirinya
dan kembali ke Indonesia secara otomatis tanpa bersyarat apapun.Penyerahan
gugusan Pulau Pasir kepada Australia adalah suatu bentuk “Penghianatan Bangsa”
dari pemerintahan Orde Baru, pimpinan Soeharto melalui Menteri Luar Negeri Ali
Alatas tanpa persetujuan dan ratifikasi DPR/MPR. MOU 1974, hanya ditandatangani
Pegawai Rendahan Australia dan bukan oleh Pejabat Tinggi Australia yang
berwewenang, sehingga dianggap Tidak Syah
dan belum berlaku dan mengikat bagi RI – Australia dan juga belum
diratufikasi kedua Negara.
Kini 250 juta rakyat menuntut Australia segera
mengembalikan Gugusan Pulau Pasir ke Indonesia secara damai, dengan berpatokan
pada berbagai sejarah kepemilikan Pulau Pasir oleh masyarakat Adat Suku Rote
yang kami jelaskan di atas, maupun peta Auastralia di zaman Hindia Belanda.
Jika tidak, maka seluruh rakyat Indonesia akan menempuh langkah-langkah lain
dengan resiko apapun dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia dan amat UUD
1945. Keabsahan pemilikan Indonesia atas Pulau Pasir, berdasarkan sejarah dan
Hukum Adat masyarakat suku Rote dan pulau-pulaunya perlu dicermati dengan
sungguh-sungguh yang disajikan dalam buku ini serta meneliti peta Asli
Australia tersebut di atas, tidak akan membohongi siapapun.
Jika,-Pemerintahan
SBY-YK—Menlu RI, tidak memperjuangkan
kembalinya gugusan Pulau Pasir, maka mereka dapat di tuntut dimuka Pengadilan
karena menyerahkan sebagian dari wilayah Indonesia kepada negara lain
(Australia) yang bertentangan dengan UUD 1945. Hukum Laut PBB
1982, juga tidak berhak merubah Wilayah suatu Negara yang diperolehnya berdasarkan
“SEJARAH PEROLEHANNYA” yaitu meliputi
seluruh wilayah Ex Jajahan Hindia
Belanda yang didalamnya mencakup Pulau Pasir (Ashmoro Reef)..
Apalagi
seperti kami utarakan diatas tentang gugusan Pulau Pasir,, adalah masalah politik, dimana Indonesia didorong
untuk memasuki Timor Timur, dan sebaliknya Indonesia menukarnya dengan gugusan
Pulau Pasir kepada Australia. Namun
Timor Timur kini telah menjadi Negara merdeka yang notabene didukung Australia,
maka semua MOU yang ditandatangani gugur secara otomais. Oleh karena itu perlu
dilakukan perjanjian baru Indonesia – Australia guna membicarakan kembali
cadangan minyak dan gas bumi di Laut dan Celah Timor, serta status Pulau Pasir.
Jadi sejarah
perpindahan hak pemilikan Pulau Pasir, dari Indonesia kepada Australian pada
awalnya bukannya karena alasan dasar
kontinen semata, melainkan sebagai hasil
konpensasi politik agar Australia secara de fakto dan de jure mengakui
integrasi Timor Timur ke Indonesia.
Tidak ada
satu negara di dunia yang dengan begitu mudahnya menghadiahkan sebagian wilayahnya ke negara
tetangganya. Apabila pemerintah Indonesia cq Menteri Luar Negeri Indonesia,
tetap tidak memperjuangkan kembalinya gugusan Pulau Pasir ke Indonesia, maka
membuka peluang untuk memperkarakannya ke depan Pengadilan dengan alasan tanpa hak
menghadiakan
gugusan Pulau Pasir ke Australia. DPR RI perlu mempergunakan Hak Angketnya
untuk mempertanyakan mengapa lepasnya Gugusan Pulau Pasir ke Australia?
Mengapa Menlu
RI sekarang ini enggan memperjuangkan kembali Pulau Pasir, karena kemungkinan
takut kehilangan muka, oleh kesalahan atasnya dulu yaitu Menlu Ali Alatas yang
buru-buru menanda tangani MOU 1974 tanpa dasar hukum yang kuat. Hingga kinipun
Perjanjian tersebut belum dirativikasi oleh DPR RI maupun Australia sedang MOU
1974 itu hanya ditandatangani oleh seorang pegawai rendahan sehingga belum
memiliki dasar hukum yang kuat.
(Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob—Asal Pulau Rote-NTT,
Tinggal
di Jln.Jambon I, No.414 J, RT/RW.10/03-Kricak, Jogjakarta-
Telp.0274.588160—HP.082135680644.
E-Mail :
saj_jacob1940@yahoo.co.id
Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef)
Adalah Pulau Sengketa
di Selatan NKRI Antara Indonesia - Australia
Di Indonesia
hanya terdapat 1 (satu) Gugusan Pulau
Sengketa dibelahan Selatan Indonesia,
yaitu Pulau Pasir (Ashmore Reef) milik Indonesia yang dicaplok oleh Australia
secara sepihak, sedang pulau-pulau dibelahan Utara Indonesia Bebas dari
Sengketa oleh karena pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar tersebut telah memiliki status hukum yang
kuat yang telah diatur dalam berbagai PP, Keppres, dan Ketentuan dan telah
ditanda tangani oleh Presiden RI. .
Mengapa Pulau
Pasir sebagai Pulau Sengketa, karena
menurut sejarah dan Peta Dunia zaman Hindia Belanda dan Peta Dunia zaman dulu
buatan Amerika Serikat memperlihatkan
bahwa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) terletak di Utara Garis Batas berwarna
Merah, Perairan Indonesia dan Australia.
Penulis dapat
membuktikan peta-peta tersebut seperti tertera dihalaman-halaman di atas, dan
Peta-peta tersebut dapat dipakai guna perjuangan kembalinya Gugusan Pulau Pasir
ke Indonesia.
Adapun peta
rekayasa Australia secara sepihak sesudah tahun 1974,
menunjukkan bahwa Garis Batas Indonesia – Australia digeser makin ke Utara dan
ketika sampai di Gugusan Pulau Pasir, Garis Batas itu dibuat setengah lingkaran
ke Utara, guna memblok Pulau Pasir sebagai milik Australia.
Demikianlah
sekelumit pendapat dan pikiran penulis tentang nasib pulau-pulau perbatasan dan
pulau-pulau terluar yang hingga kini
masih terkatung-katung…
Semoga
menjadi bahan Pertimbangan untuk para pengambil keputusan di Perintah
Pusat, jalan mana yang terbaik.”SEMOGA”
Menurut Pasal
47, Ayat (1) UNCLOS,-Negara Kepulauan berhak
menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar
pengukuran wilayah perairannya dari
titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya.
Penarikan
garis tersebut mencakup,
Lebar (batas)
Laut teritorial,
Zona
Tambahan,
Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), dan
Landas
Kontinen.
Garis pangkal
kepulauan merupakan. garis
pangkal lurus yang ditarik,
menghubungkan
titik-titik terluar dari pulau-pulau dan karang-karang terluar, yang digunakan
untuk menutup seluruh atau sebagian dari negara kepulauan Penarikan garis pangkal
lurus kepulauan dilakukan dengan memperhatikan, tatanan letak kepulauan atau
kelompok pulau-pulau yang letaknya berurutan dan bersambungan secara beraturan.
Maka, penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat dilakukan menyimpang
dari arah konfigurasi umum kepulauan.
Pengertian konfigurasi umum kepulauan merupakan pengertian yang
tujuannya identik dengan pengertian arah umum pantai dan dimaksudkan untuk
mencegah perluasan laut teritorial suatu negara dengan cara yang tidak
sewajarnya. Citra satelit Landsat-ETM
(Enhanced Thematic Mapper) yang direkam pada 2 April 2002 digunakan untuk
menentukan batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura. Patut
disyukuri ketika keluar Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang adanya upaya
pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau terluar. Terjalin sinergi antar
berbagai departemen dan lembaga non departemen yang bahu membahu memperhatikan
dan mengelola terutama PPKT. Tentu saja dengan tugas pokok dan fungsi
masing-masing sesuai dengan kapasitasnya. Beberapa program pembangunan harus dicanangkan
dan berkelanjutan terhadap PPKT. Untuk PPKT yang berpenghuni dapat dilakukan
pengembangan pariwisata, eksplorasi sumber daya perikanan, peningkatan
aktifitas perdagangan, pembangunan infrastruktur, dan penguatan kelembagaan. Sedangkan untuk pulau yang tidak berpenghuni
lebih diarahkan pada pengembangan konservasi dan taman nasional laut,
laboratorium alam, wisata bahari, dan menjadikan pulau sebagai wilayah
persinggahan Lepasnya dua PPKT yakni Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia
menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Walaupun menurut perjanjian Inggris
dan Belanda, kedua pulau tersebut masuk wilayah Indonesia, tetapi Mahkamah
Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di
Sipadan-Ligitan.
Tiga
aspek utama yang dijadikan alasan Mahkamah
Internasionalmemenangkan
Malaysia yakni :
1.keberadaan secara terus
menerus (continuous presence),
2.penguasaan efektif
(effective occupation),
3.dan pelestarian ekologis
(ecology preservation).
Indonesia
lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.
Kekhawatiran
terhadap keberadaan pulau kecil terluar tidak terbatas pada lepasnya pulau ke
negara lain. Letaknya yang berhadapan langsung dengan 10 negara tetangga
(Singapura, Malaysia, Thailand, India, Vietnam, Palau, Papua Nugini, Australia,
Philipina, dan Timor Leste) berpotensi rawan terhadap pengaruh ideologi,
ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan.
Lingkungan
alam juga dapat terancam karena sebagian besar pulau berhadapan langsung dengan
lautan bebas, contohnya abrasi yang dapat menghilangkan titik dasar. Dari 92
PPKT yang tersebar di 20 Provinsi, terdapat 12 pulau yang menjadi perhatian
khusus yakni Pulau Rondo, Sekatung, Nipa, Berhala, Marore, Miangas, Marampit,
Batek, NDana, Fani, Fanildo, dan Pulau Bras.
Contoh kasus,
proyek reklamasi pantai Singapura yang berlangsung sejak Tahun 1960
dikawatirkan berdampak negatif terhadap lingkungan dan sumberdaya perikanan.
Kekhawatiran dari sejumlah pihak akan terusiknya kedaulatan negara akibat
reklamasi juga patut dicermati. Persoalan semakin kompleks ketika pasir untuk
keperluan reklamasi Singapura diambil dari wilayah perairan Kepulauan Riau.
Beberapa pulau di kawasan ini dikhawatirkan tenggelam.
Di
sisi lain, luas daratan Singapura meningkat dalam kurun waktu tertentu.
Tercatat pada
tahun 1960 luas asli
Singapura sebesar 580
km2.
Bertambah
menjadi 660
km2 sampai tahun 1999,
Bahkan
peningkatan drastis terjadi pada tahun 2002 menjadi 680 km2.
Diperkirakan
luas Singapura di penghujung 2006 sampai 760 km2.
Apakah dengan
bertambahnya daratan Singapura berpengaruh pada masalah perbatasan?
Bagaimana
nasib pulau kecil di wilayah perbatasan di Kepulauan Riau terkait ekspor pasir?
Siapa yang
dapat menjamin keutuhan wilayah kedaulatan?
Dibutuhkan
kajian detil untuk menjawabnya.
Kalau dahulu pasir Pulau Nipah dijual ke Singapura mengakibatkan pulau ini hampir tenggelam, dan
untuk menyelamatkan
pulau ini terpaksa pemerintah harus mengeluarkan miliar rupiah untuk
menanaminya dengan pohon bakau. Sebuah
bisnis yang merugikan. Ini salah siapa?
Ada juga
kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan
kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pengaturan demikian,
telah dan akan melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang
berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir. Berdasarkan hasil review
terhadap perundang-undangan dan konvensi yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka
dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial, yaitu:
---Konflik
antar Undang-Undang;
---Konflik
antara UU dengan Hukum Adat;
---Kekosongan
Hukum; dan
---Konflik
antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut.
Di dalam UU
No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur
secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999
tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh
12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan
kabupaten/kota. Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan
status kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996
tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir
dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).
Sebaliknya,
masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak
ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum
berdirinya Negara Indonesia. Ketidakpastian hukum yang terjadi pada bidang
penguasaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam
UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA) hanya
diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang, ada
ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi
baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
---Ketiga
masalah krusial tersebut, bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik
kewenangan, dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumberdaya pesisir.
---Ketiga
masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya pun harus
terpadu melalui undang-undang baru yang mengintegrasi pengelolaan wilayah
pesisir. Saat ini, Pemerintah dalam proses menyusun RUU Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan akan mengusulkannya ke DPR RI tahun 2003 ini.
Pulau Pasir (Ashmoro Reef) dicaplok
Australia. Pulau Jemur, Mangudu, Dana Rote, Batek dalam incaran.
Sengketa
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di berbagai tempat merupakan
peringatan bagi wilayah perbatasan lainnya di Indonesia. Perlu ada keseriusan
pemerintah dalam menyikapi persoalan tsb, jangan sepelekan persoalan klaim
beberapa pulau oleh Malaysia, dengan dalih sedang ada perundingan atau
diplomasi. Karena ketidaktegasan ini akan berdampak pada perbatasan lain di
Indonesia. Dalam konteks wilayah perbatasan, beberapa pulau di perbatasan
sangat rentan terhadap gangguan keamanan dan rawan dicaplok negara lain.
Misalnya posisi NTT cukup rawan karena sejumlah pulau terluarnya juga
berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia yang tidak tertutup
kemungkinan diklaim sebagai bagian teritori negara tetangga.
Lalu, Pulau
Pasir yang merupakan ladang kehidupan para nelayan tradisional Indonesia,
akhirnya jatuh ke tangan Australia karena lemahnya diplomasi Indonesia dalam
mengklaim wilayah teritorinya. Lepasnya Pulau Pasir ini luput dari
perhatian publik. Selain itu, Pulau Batek di wilayah Amfoang Utara,
kabupaten Kupang yang berbatasan langsung dengan wilayah kantong Timor Leste,
Oecusse, juga sempat diklaim oleh Timor Leste sebagai teritorinya karena
jaraknya cukup dekat dengan Oecusse. Gugusan pulau kecil itu sedang dalam
pengamanan aparat TNI dari Yonif 744/ Satya Yudha Bhakti ( SYB ), pasukan
organik milik Korem 161/ Wirasakti, Kupang.
Pulau Batek,
kabupaten Kupang, yg sempat diklaim Timor Leste. Tidak hanya Malaysia saja yg
tergiur mencaplok wilayah Indonesia, Australia dan Timor Leste juga.Pengamanan
yang sama juga dilakukan TNI atas Pulau Mangudu di Sumba timur,
serta Pulau NDana Rote di kabupaten Rote Ndao yang sempat dikelola
menjadi pulau wisata oleh pengusaha pariwisata dari Australia. Kabar terbaru
adalah klaim Malaysia atau Pulau Jemur di kawasan Rokan Hilir,
Riau.Mengapa negara tetangga begitu gemar mencaplok wilayah kita ? Karena kita
tidak mau mengurus dan mengelola dengan baik maka pulau2 yang berpotensi kekayaan
alam dan obyek wisata tsb akan tetap menjadi incaran negara tetangga. Untuk
itu, jangan sampai kita terlena dan cukup menerima permintaan maaf dari negara
tetangga yang telah menginjak-injak martabat dan kedaulatan bangsa. Jadikanlah
ini peringatan dan introspeksi bangsa bahwa sesungguhnya ketidakmampuan kitalah
yang membuat negara tetangga selalu merongrong dan melecehkan kita. ( Slamet
Subagyo/ PR, 7/9/2009 )
Komen A.Savitri
:
Tiga (3)
tulisan di atas ( penjualan pulau di internet, tidak/ kurang enak hidup di luar
kota, dan klaim pulau oleh negara tetangga ) berkaitan erat. Sumarni
mengeluhkan dianaktirikan warga luar kota. Bayangkan jika ia di luar pulau Jawa
atau bahkan pulau-pulau yang jauh,
berbatasan dengan negara tetangga. Ketimpangan perhatian akan kian terasa. Saya
melihat tayangan di televisi, warga pesisir di utara Sulawesi lebih intens
berhubungan dengan koleganya di Filipina. Keluar masuk perbatasan bukan hal
yang aneh. Mereka pun merasa hajat hidupnya lebih terurus di negeri seberang
daripada negeri sendiri.
Anda bisa
bayangkan hal itu juga terjadi pada warga Sipadan Ligitan sebelum akhirnya
mereka direngkuh Malaysia, nyaris tanpa hambatan psikologis sebagai bangsa
Indonesia yang berkewajiban menjaga keutuhan NKRI. Toh, tak ada manfaat yang
mereka peroleh dari negeri sendiri selama ini, pikir mereka pragmatis. Perut
lapar, ngurus KTP susah.
Bagaimana
otak bisa diisi dengan ilmu kebangsaan dan ketrampilan hidup ? Sekolah juga
susah, jauh, mahal, tak terjangkau. Lembaga pelatihan dan lapangan kerja tidak
ada. Simbol negara dan perhatian pemerintah juga sangat kurang di daerah
mereka. So ? Good bye. Pemerintah Australia,
seingat saya, pernah mendorong warganya juga para migran untuk tinggal di
wilayah-wilayah yang selama ini tak berpenghuni. Mereka menyediakan
infrastruktur dan sarana standar yang diperlukan untuk hidup di wilayah-wilayah
terpencil itu. Mereka ingin menjaga keamanan wilayahnya dari susupan asing,
baik itu teroris, perompak, pelintas batas/ imigran gelap, dsb. Saya pikir, pemerintah
Indonesia bisa melakukan hal semacam itu.
Kirim lulusan
pertanian, perhotelan, arsitektur, perguruan, broadcasting, agama, militer,
kedokteran, dsb, ke pulau2 terluar Indonesia itu untuk magang selama 5 tahun,
sepertihalnya dokter muda magang di puskesmas2 sebelum diijinkan membuka
praktek sendiri. Sediakan infrastruktur dan sarana standar di sana.
Para eks
tapol Pulau Buru ( tahun 1969-1976 ), seperti Soekiman ( mantan pendeta ),
Hersri Setiawan ( pengarang ), A.Solihin ( petani ), Dariun ( aktivis buruh ),
yang telah berjasa mengubah rawa menjadi lahan pertanian yang subur, gudang
beras bagi Maluku, akan senang bisa membantu generasi muda, sekaligus
direhabilitasi nama baiknya. Menurut mereka, sampai sekarang tidak ada ucapan
terima kasih dari negara yang telah salah menangkap mereka. Banyak rekan mereka
tewas dalam kelaparan, penembakan dan penyiksaan.
( “Cerita
Kelabu Pulau Buru”, Metro Files, MetroTV, 6/9/2009 )
ik terluar
Persoalkan Perlakuan Australia
terhadap Nelayan RI
Perlakuan
tidak manusiawi yang dilakukan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia
dipersoalkan oleh Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni.
Menurut dia, hal itu patut dibahas dalam agenda pertemuan trilateral antara
Menlu Indonesia, Australia dan Timor Leste di New York. “Masalah
kemanusiaan ini patut dibicarakan dalam agenda pertemuan trilateral tersebut,
karena persoalannya tidak jauh beda dengan “Balibo Five” 1975 yang diungkit
Australia,” katanya.
Menlu
Australia, Stephen Smith dalam pernyataan persnya di Brisbane, Australia, Senin
(21/9) mengatakan, pertemuan trilateral antara dirinya dengan Menlu Indonesia
Hassan Wirajudha dan Menlu Timor Leste Zacarias da Costa akan berlangsung di
sela pertemuan sesi ke-64 Majelis Umum PBB di New York, pekan ini. Smith
mengatakan, berbagai isu regional yang menjadi kepentingan bersama ketiga
negara akan dibahas dalam pertemuan trilateral yang merupakan bagian dari
agenda kegiatannya selama di New York dari 19-26 September.
Selain
perlakuan tidak manusiawi yang ditunjukkan Australia terhadap nelayan
tradisional Indonesia yang mencari nafkah di Laut Timor, kata Tanoni, masalah
batas maritim antara Indonesia-Australia-Timor Leste juga perlu dibahas oleh
ketiga Menteri Luar Negeri tersebut. “Masalah batas maritim juga merupakan isu
regional yang patut dibahas, selain perlakuan tidak manusiawi terhadap nelayan
tradisional Indonesia oleh Australia,” kata penulis buku “Skandal Laut Timor,
Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta” itu.
Tanoni
mengatakan, nelayan tradisional Indonesia yang melakukan aktivitas di Laut
Timor dengan mencari ikan dan biota laut lainnya, sudah sejak 450 tahun yang lalu
secara turun-temurun. Sementara, batas maritim setelah Timor Timur lepas dari
pangkauan NKRI melalui referendum pada 30 Agustus 1999, hingga kini tidak
pernah jelas, namun secara ekonomis hanya menguntungkan Australian dan Timor
Leste, karena adanya migas di Celah Timor. “Ini persoalan krusial dan merupakan
isu regional yang menjadi kepentingan bersama ketiga negara bertetangga itu.
Karena itu, masalah tersebut patut dibahas, bukan `Balibo Five` yang
digelindingkan Polisi Federal Australia (AFP) saat ini untuk mengusut kematian
lima orang wartawan Australia di Balibo pada 1975,” katanya menegaskan.
Sehubungan dengan rencana pertemuan trilateral tersebut, Tanoni mengharapkan
Menlu Hassan Wirajudha dapat memberanikan diri memasukkan agenda batas maritim
RI-Australia-Timor Timur di Laut Timor dan perlakuan tidak manusiawi Australia
terhadap nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor.
“Hal ini
sangat penting untuk dibicarakan, karena sudah merupakan sebuah pelecehan
terhadap harga diri, martabat dan kedaulatan NKRI,” katanya dan menambahkan,
seluruh perjanjian bilateral tentang batas maritim antara RI-Australia di Laut
Timor yang dibuat sejak 1971-1997 harus dibatalkan. Menurut mantan agen
imigrasi Kedutaan Besar Australia ini, perundingan kembali tersebut, karena
Timor Leste telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat di tepian
Laut Timor, setelah 23 tahun berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi.
“Semua
perjanjian bilateral yang dibuat oleh Indonesia dan Australia sejak 1971-1997,
harus dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral oleh ketiga negara
dengan menggunakan prinsip garis tengah (median line) sesuai dengan hukum
internasional yang berlaku,” katanya. “Masalah-masalah ini, kita harapkan dapat
disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajudha dalam pertemuan trilateral bersama
sahabatnya Stephen Smith dari Australia dan Zacarias da Costa dari Timor Leste
di New York dalam pekan ini,”kata Ferdi Tanoni.* Popularity: 2% [?]
3 posts •
Page 1 of 1
by ouwehoer
at ... » Wed Apr 07, 2004 6:47 Pm Khusus untuk Dirty (mind) Harry A. yang
menganggap "Ostrali warga dunia yang terhormat"
Kamis, 8
April 2004
SUARA
PEMBARUAN DAILY
Seorang
Nelayan Indonesia Tewas Setelah Ditahan di Australia Pemerintah Indonesia
Harus Membentuk Tim Khusus untuk Menyelesaikannya
JAKARTA - Seorang nelayan asal Indonesia yang diketahui bernama Mansur La Ibu, pekan lalu, tewas saat dalam tahanan pihak ke- amanan Australia. Mansur ditahan bersama sejumlah nelayan Indonesia lainnya karena kapal yang digunakannya terdampar di Perairan Australia bagian Utara.
JAKARTA - Seorang nelayan asal Indonesia yang diketahui bernama Mansur La Ibu, pekan lalu, tewas saat dalam tahanan pihak ke- amanan Australia. Mansur ditahan bersama sejumlah nelayan Indonesia lainnya karena kapal yang digunakannya terdampar di Perairan Australia bagian Utara.
Kematian
nelayan asal Indonesia tersebut diungkapkan Yayasan Peduli Timor Barat
(YPTB) dalam keterangan tertulisnya kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa
(6/4). Berkaitan dengan hal itu, YPTB mengutuk perlakuan
sewenang-wenang dan tindak kekerasan yang dilakukan pihak keamanan
Australia terhadap nelayan Indonesia yang terdampar di wilayahnya.
YPTB juga mendesak Pemerintah Indonesia segera membentuk tim khusus untuk menyelesaikan klaim sepihak Australia, dan membantu para nelayan RI yang saat ini ditahan.
sewenang-wenang dan tindak kekerasan yang dilakukan pihak keamanan
Australia terhadap nelayan Indonesia yang terdampar di wilayahnya.
YPTB juga mendesak Pemerintah Indonesia segera membentuk tim khusus untuk menyelesaikan klaim sepihak Australia, dan membantu para nelayan RI yang saat ini ditahan.
Dalam
keterangan tertulisnya, Ketua YPTB, Ferdi Tanoni mengungkapkan,
pihak keamanan Australia te-lah bertindak sewenang-wenang terhadap para
nelayan Indonesia yang ditahan di Pelabuhan Darwin, Australia Utara.
YPTB
melaporkan, petugas Imigrasi Pemerintah Federal Australia telah bertindak di luar batas kewajaran kemanusiaan, dengan menyekap tujuh nelayan Indonesia selama beberapa minggu, dalam sebuah perahu nelayan kecil tanpa dilengkapi fasilitas yang layak.
melaporkan, petugas Imigrasi Pemerintah Federal Australia telah bertindak di luar batas kewajaran kemanusiaan, dengan menyekap tujuh nelayan Indonesia selama beberapa minggu, dalam sebuah perahu nelayan kecil tanpa dilengkapi fasilitas yang layak.
YPTB juga
memastikan seorang nelayan Indonesia, Mansur La Ibu, pekan lalu
tewas akibat perlakuan tersebut.
tewas akibat perlakuan tersebut.
"Tindakan
tidak manusiawi tersebut seperti tidak adanya perlindungan dan
fasilitas layak bagi nelayan dan tidak boleh meninggalkan kapal kecil mereka yang berukuran 13,5 meter selama berminggu-minggu. Sementara cuaca buruk dan badai tropis sering melanda kawasan Australia Utara. Laporan yang kami terima dipastikan satu orang nelayan telah tewas," tegasnya.
fasilitas layak bagi nelayan dan tidak boleh meninggalkan kapal kecil mereka yang berukuran 13,5 meter selama berminggu-minggu. Sementara cuaca buruk dan badai tropis sering melanda kawasan Australia Utara. Laporan yang kami terima dipastikan satu orang nelayan telah tewas," tegasnya.
Tinjau Ulang Ferdi
Tanoni menjelaskan, kepastian kematian Mansur La Ibu diperoleh dari salah
seorang petugas pemeriksa mayat Australia Utara di Darwin,
Greg Cavanagh. Ferdi, mengutip pernyataan Greg, mengatakan, Otorita
Manajemen Perikanan Australia harus meninjau kembali tentang penahanan
nelayan-nelayan ilegal, termasuk dari Indonesia. Berkaitan dengan
itu, Greg juga mengimbau Departemen Imigrasi Australia bersama Konsulat
Republik Indonesia di Darwin, untuk mencari sebuah solusi terbaik terhadap
nasib nelayan Indonesia yang ditahan Australia Seperti diketahui, para
nelayan dikenai tuduhan memasuki dan menangkap ikan di perairan Australia
secara ilegal. Mereka yang terdampar dan ditahan pihak Australia tersebut
tidak diperkenankan meninggalkan kapal kecil miliknya. Proses hukum
ataupun upaya pemulangan ke Indonesia juga tidak dilakukan oleh pemerintah
setempat.
Sementara itu
Menteri Perikanan Australia Ian Macdonald, Senin (5/4) di
Sydney, mengatakan, kapal-kapal ilegal tersebut ditahan karena memasuki
perairan Australia Utara secara ilegal. Jumlah kapal yang ditangkap tersebut mencapai 131 buah pada 2003 atau meningkat 10 kapal dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, pihaknya telah memulangkan sebagian nelayan dan beberapa nelayan masih ditahan dan sedang diproses hukum YPTB mendesak Departemen Luar Negeri RI untuk segera membentuk sebuah tim independen dengan mengikut sertakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan berbagai pihak independen terkait, baik dari Indonesia maupun Australia untuk menginvestigasi kasus tersebut. (H-12)
Sydney, mengatakan, kapal-kapal ilegal tersebut ditahan karena memasuki
perairan Australia Utara secara ilegal. Jumlah kapal yang ditangkap tersebut mencapai 131 buah pada 2003 atau meningkat 10 kapal dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, pihaknya telah memulangkan sebagian nelayan dan beberapa nelayan masih ditahan dan sedang diproses hukum YPTB mendesak Departemen Luar Negeri RI untuk segera membentuk sebuah tim independen dengan mengikut sertakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan berbagai pihak independen terkait, baik dari Indonesia maupun Australia untuk menginvestigasi kasus tersebut. (H-12)
Penyelesaian Sengketa Nelayan
Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia
Penyelesaian
Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia
Oleh : Akhmad Solihin
Oleh : Akhmad Solihin
Sebagai
negara yang tambahan jika nelayan Indonesia yang sudah pernah ditangkap kembali
tertangkap karena perbuatan yang sama," ujar Anakaka. (*/lpk)
berbatasan langsung dengan Australia di Laut Timor, hubungan Pemerintah
Indonesia dengan negara kangguru tersebut senantiasa dihadapkan pada pelanggaran
kedaulatan baik oleh warga negaranya maupun oleh institusi yang mewakili
negaranya itu sendiri. Pelanggaran kedaulatan tersebut kerap berujung pada
terciptanya ketegangan hubungan diplomatik kedua negara.
Ada tidaknya
pelanggaran yang dilakukan oleh kedua negara dalam hal realisasi kedaulatan
bukanlah faktor utama penyebab ketegangan, akan tetapi rambu-rambu hubungan
internasional yang pernah berlangsung tidak bisa diabaikan. Salah satu
pelanggaran kedaulatan yang kerap dilakukan oleh warga negara indonesia di wilayah
kedaulatan Australia adalah aktivitas illegal yang dilakukan oleh
nelayan-nelayan tradisional Indonesia, seperti melakukan tindakan penangkapan
satwa-satwa atau binatang yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan
Australia (Thontowi, 2002). Adapun nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang
sering berkunjung ke wilayah perairan Australia, khususnya Pulau Pasir (Ashmore
Reef) adalah berasal dari daerah Pulau Rote, Flores, Buton, Sabu, Timor, Alor,
Sulawesi dan Maluku (YPTB, 2005). Dengan demikian, adanya kebiasaan yang
dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia sejak berabad-abad tahun
yang lalu ini merupakan peluang yang besar bagi terjadinya konflik antara
Indonesia dan Australia, sebagai negara-negara yang masing-masing memiliki kedaulatan.
Selanjutnya
Thontowi menjelaskan bahwa, bagi Pemerintah Australia, pelanggaran kedaulatan
yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional indonesia tersebut menimbulkan
tingginya beban ekonomi bagi Pemerintah Australia. Hal ini dikarenakan, Pemerintah
Australia bertanggung jawab dalam penyediaan tempat tinggal sewaktu ditahan
serta pemulangan nelayan tradisional Indonesia yang tertangkap. Oleh karena
itu, kasus pelanggaran kedaulatan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia
harus menjadi perhatian bersama untuk segera dituntaskan.
Mengingat,
kasus ini bukan hanya merugikan Pemerintah Australia secara finansial, akan
tetapi juga mengganggu kelancaran hubungan baik kedua negara. Contoh kasus
terganggunya hubungan baik kedua negara adalah pada tahun 2005, dimana pada
operasi pemberantasan illegal fishing di perairan Australia yang dinamakan
“Clean Water Operation” yang berlangsung pada tanggal 12-21 April 2005, aparat
keamanan Australia berhasil menangkap sekitar 30 kapal nelayan Indonesia dengan
272 ABK. Masalah semakin mencuat ketika Muhammad Heri (Kapten kapal KM Gunung
Mas Baru) meninggal dunia dalam masa penahanan di Darwin, Australia pada
tanggal 28 April 2005.
Perjanjian
Bilateral
Pentingnya
penuntasan masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
tradisional Indonesia ini mendorong Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Australia untuk duduk bersama dalam mengatur kegiatan nelayan tradisional
Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan Australia. Pengaturan tersebut bertujuan
agar dapat menjamin kelangsungan hak-hak perikanan tradisional (traditional
fishing rights) di satu sisi dan dapat melindungi kepentingan-kepentingan
Australia di sisi lain.
Kesepakatan
atau perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia untuk menutaskan
masalah ini telah dilakukan tiga kali, yaitu:
(1) pada
tahun 1974 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the
Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia
Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the
Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” atau yang dikenal
dengan istilah MOU BOX 1974;
(2) pada
tahun 1981 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Republic
of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of
Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement Arrangement”; dan
(3) pada
tahun 1989 yang menghasilkan “Agreed Minutes of Meeting Between officials of
Indonesian and Australia on Fisheries”.
Salah satu
substansi yang dimuat dalam ketiga perjanjian tersebut di atas, adalah tentang
jaminan bagi adanya hak-hak perikanan tradisional Indonesia.
Dalam konteks
hukum perjanjian internasional, MOU BOX 1974 merupakan perjanjian pertama dan
semata-mata mengatur tentang hak perikanan tradisional. Oleh karena itu, maka
baik MOU 1981 maupun Agreed Minutes 1989 hanyalah merupakan penegasan kembali
disertai petunjuk pelaksana terhadap MOU BOX 1974.
Memorandum of
Understanding (MOU) biasanya dipakai dalam perjanjian internasional untuk
memberi nama kepada catatan mengenai pengertian yang telah disepakati para
pihak, yang kemudian digunakan sebagai dasar persetujuan yang akan dibuat atau
sebagai dasar persetujuan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari
perjanjian induk. Sedangkan Agreed Minutes (notulen yang disetujui) digunakan
untuk menyebut hal-hal yang disetrujui dalam konferensi, tetapi baru akan
menjadi perjanjian internasional kalau syarat-syarat yang ditentukan terwujud,
termasuk kemauan para pihak untuk terikat (Tsani 1990).
Ketiga
perjanjian tersebut di atas juga merupakan hal yang diamanatkan oleh Pasal 51
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), bahwa sebagai
negara kepulauan yang berbatasan dengan negara lain, setiap negara harus mengakui
hak-hak perikanan tradisional suatu negara yang telah berlangsung lama. Namun,
syarat untuk melaksanakan hak-hak perikanan tradisional tersebut adalah
perundingan dengan negara-negara tetangga yang bersangkutan.
Adapun bunyi
Pasal 51 secara lengkapnya adalah “Tanpa mengurangi arti pasal 49, negara
kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus
mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga
yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan
kepulauan.
Syarat dan
ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang
lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan
salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral
antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara
ketiga atau warga negaranya”.
Pelanggaran
Kedaulatan
Meski
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah melakukan perjanjian
bilateral untuk mengatasi masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan
nelayan-nelayan tradisional Indonesia, namun di lapang ternyata masih saja
terjadi pelanggaran. Hal ini tercermin dari data tertangkapnya nelayan-nelayan
Indonesia, baik tradisional maupun modern oleh aparat Pemerintah Australia.
Menurut Adhuri (2005), paling tidak ada beberapa isu utama yang harus kita
pahami untuk mengerti konflik atau pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh
nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu:
1.Conflicting
Claims
Meskipun Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Australia telah melakukan perjanjian-perjanjian, namun
masyarakat nelayan, khususnya masyarakat nelayan dari Nusa Tenggara Timur
menganggap bahwa fishing ground tertentu, khususnya Pulau Pasir (Ashmore Reef)
adalah wilayah mereka. Adapun berbagai perjanjian yang telah dilakukan oleh
kedua negara diantaranya yaitu: (1) perjanjian mengenai batas Landas Kontinen
yang ditandatangani pada tanggal 18 Mei 1971 dan 9 Oktober 1972;
(2)
perjanjian mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif yang ditandatangani tanggal 14
Maret 1997; dan
(3)
perjanjian mengenai traditional fishing rights sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya (tahun 1974, tahun 1981, dan tahun 1989).
Usaha klaim
masyarakat nelayan dari Nusa Tengara Timur tidak hanya ditunjukan dengan
aktivitas penangkapan ikan di Pulau pasir, akan tetapi juga telah dilakukan
secara politis, dimana Dewan Raja-raja di daratan Timor, Rote, Sabu dan Alor
pada bulan April 2003 telah memberikan mandat kepada Kelompok Kerja (Pokja)
Celah Timor dan Pulau Pasir untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka
di Laut Timor, termasuk Celah Timor dan Pulau Pasir.
Klaim mereka
terhadap Pulau Pasir didasarkan pada sejarah panjang aktivitas nelayan-nelayan
Nusa Tenggara di pulau ini. Menurut sejarah, jauh sebelum Kapten Ashmore
menemukan Pulau Pasir dan Inggris mengklaimnya pada tahun 1878,
sejak tahun 1609
masyarakat nelayan Indonesia secara de facto menguasai Pulau Pasir, karena
pulau ini tempat mencari nafkah sekaligus tempat perisitirahatan.
Selain itu,
kepemilikan Indonesia atas Pulau Pasir diperkuat juga oleh hasil kajian YPTB
yang menemukan studi Mcknight (1976), bahwa
menurut arsip Belanda diberitakan sesorang saudagar Tionghoa
diberi izin pada tahun 1751 untuk mencari kulit penyu dari gugusan
Pulau Pasir yang ada di selatan Pulau Timor. Dengan demikian, jelas sudah bahwa
kegiatan-kegiatan perekonomian masyarakat Indonesia jauh lebih dulu
dibandingkan dengan kedatangan Kapten Ashmore.
2.
Pasar Internasional Sumberdaya Laut
Tidak dapat dipungkiri
bahwa faktor keberadaan pasar internasional ikut andil dalam mendorong
aktivitas nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia.
Mengingat, sumberdaya yang ditangkap seperti teripang, trochus, dan sirip hiu
bukan lah komoditas yang dikonsumsi secara langsung oleh mereka, melainkan
untuk dijual ke luar negeri, yaitu pasar Cina.
Adapun
bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional
Indonesia tersebut diantaranya, yaitu (Songa, 2000):
1.
Pelanggaran terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MOU BOX 1974 dan Agreed minutes 1989. Pelanggaran ini
merupakan pelanggaran terbanyak yang dilakukan oleh para nelayan tradisional
Indonesia. Hal ini dikarenakan, sebagai akibat dari berubahnya peta wilayah
kegiatan para nelayan tradisional Indonesia yang semula tunduk pada MOU BOX 1974 Pulau Pasir (Ashmore Reef), Cartier Islet, Scott
Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet) berubah sesuai dengan Agreed Minutes
1989 (Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet). Dengan kata lain,
Ashmore Reef dan Cartier Islet dilarang untuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam hayati.
2.
Pelanggaran terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya
alam hayati sesuai dengan kesepakatan, baik sesuai MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989.
Salah satu jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh para nelayan
tradisional Indonesia adalah pengambilan jenis-jenis biota laut tertentu
sebagai bagian dari sumberdaya alam hayati yang dilarang, seperti pengambilan
penyu dan burung beserta telurnya.
3.
Pelanggaran terhadap penggunaan fasilitas yang digunakan dalam kegiatan
penangkapan ikan, dimana fasilitas tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan melalui MOU BOX 1974 dan Agreed
Minutes 1989. Dalam kenyataan pelanggaran
seperti ini terlihat dalam bentuk: melakukan kegiatan penangkapan dengan
menggunakan perahu yang digerakkan oleh mesin (motor), menggunakan alat-alat
penangkapan yang tergolong modern, bahkan menangkap ikan hiu dengan menggunakan
gillnet.
4. Pelanggaran yang dilakukan
berhubungan dengan masalah lingkungan hidup. Hal ini dapat terlihat antara lain
dari tindakan para nelayan yang dapat menimbulkan kebakaran karena lalai
memadamkan api setelah memasak atau membuang puntung rokok tanpa dimatikan
terlebih dahulu apinya, ataupun kegiatan lain yang menyebabkan
terkontaminasinya sumber-sumber air minum pada tempat-tempat dimana para
nelayan diperbolehkan untuk mengambil air minum.
5.
Pelanggaran lain yang juga sering dilakukan adalah pemanfaatan kegiatan
penangkapan ikan ini sebagai sarana untuk mengantar dan memasukan imigran gelap
ke Australia.
Adapun
faktor-faktor terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
tradisional Indonesia, yaitu (Songa, 2000):
1.Pengertian
nelayan terhadap MOU BOX 1974 maupun Agreed
Minutes 1989 masih kurang. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan mereka
yang masih relatif rendah, sehingga sangat besar kemungkinan mereka tidak dapat
membaca peta dan karenanya tidak dapat mengenali dengan tepat wilayah
operasinya.
2. Nama pulau dan daerah yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989, mungkin saja berbeda dengan nama yang dikenal sehari-hari oleh nelayan tradisional Indonesia. Seperti Pulau Pasir yang dinamakan Australia sebagai Ashmore Reef, Pulau Baru dinamakan Cartier Islet, dan Pulau datu dinamakan Seringapatam Reef.
3. Para
nelayan tradisional Indonesia kurang mengetahui batas wilayah yang disebut
dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 secara pasti. Hal ini terjadi
karena, selain para nelayan tradisional tidak dapat mengerti/membaca peta
tetapi juga karena tidak terdapat tanda-tanda yang jelas yang menunjukan
batas-batas sebagaimana yang dimaksudkan oleh MOU 1974 maupun Agreed Minutes
1989. Sementara para nelayan tradisional pada umumnya tidak dilengkapi dengan
peralatan navigasi yang memadai.
4. Hasil yang
diperoleh dari usaha penangkapan cukup banyak atau cukup memuaskan sehingga
para nelayan tidak ingin untuk melakukan kegiatan di bidang usaha lain.
5. Pengaruh
faktor sosial dan budaya, dimana keluarga-keluarga tertentu dari masyarakat
nelayan tradisional Indonesia asal Papela – Rote,
setiap tahunnya mengadakan kunjungan ke makam leluhurnya yang meninggal dan
dikuburkan di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Saat
mengunjungi makam ini biasanya dilakukan bersama-sama dengan mencari
hasil-hasil laut sebagaimana dilakukan oleh nenek moyangnya sejak beratus-ratus
tahun yang lalu. Konsekuensinya dari kegiatan ini adalah bahwa mereka (para
nelayan tradisional Indonesia) pasti memasuki wilayah konservasi alam Ashmore
Reef, yang seyogyanya dilarang.
Tugas
Pemerintah
Hingga saat
ini, paling tidak ada dua cara yang dilakukan untuk mengatasi pelanggaran
kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu
penanganan secara hukum dan pendekatan persuasif (Adhuri, 2005). Penanganan
secara hukum yang dilakukan berdasarkan hukum Australia kurang efektif, karena
masih banyak nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang melakukan pelanggaran.
Sedangkan
cara yang kedua adalah alternative livelihood atau pengalihan mata pencaharian
yang dilakukan melalui gerakan dari Australian National University dengan
disponsori beberapa lembaga negara maupun LSM dari Australia. Beberapa usaha
alternatif yang dikembangkan adalah budidaya rumput laut, usaha pembesaran ikan
kerapu, dan budidaya sponges. Tujuan dari program ini adalah menurunnya
aktivitas pelanggaran kedaulatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia di
wilayah perairan Australia.
Kritikan bagi cara-cara yang dilakukan selama ini sebagaimana yang disebutkan di atas adalah:
Kritikan bagi cara-cara yang dilakukan selama ini sebagaimana yang disebutkan di atas adalah:
1. Penanganan secara Hukum
Penyelesaian
hukum yang kerap mengusik rasa keadilaan yang menyebabkan ketersinggungan dan
menyulut emosi kebangsaan, maka Pemerintah Indonesia dan Australia harus duduk
bersama guna mendapatkan penyelesaian yang sifatnya win-win solution.
Penyelesaian kasus nelayan tradisional Indonesia selama ini diselesaikan dengan
proses peradilan telah menyebabkan pasang-surut hubungan Indonesia-Australia.
Ada dua fenomena penting yang menarik mengenai penyelesaian persoalan nelayan
Indonesia di perairan Australia, yaitu:
Pertama,
bahwa putusan hakim Australia kurang efektif karena para nelayan Indonesia
tidak jera untuk menghentikan kegiatannya dalam jurisdiksi teritorial
Australia, dan
Kedua,
Pemerintah Australia mengklaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan Indonesia telah
merugikan Pemerintah Australia dan orang asli aborigin (Thontowi, 2002).
Oleh karena
itu, untuk menuntaskan sengketa ini perlu mengedepankan penyelesaian secara
damai guna menciptakan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan yang
diamanatkan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, yaitu negosiasi, penyelidikan, dengan
peraturan, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui
badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang
dipilihnya sendiri. Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan Indonesia,
Jawahir Thontowi menyarankan alternatif penyelesaiannya melalui non-peradilan
yang dalam hal ini adalah komisi arbitrase yang diharapkan mampu mengambil
tanggung jawab bersama, sehingga baik secara moral maupun secara hukum
internasional, kedua negara harus berusaha untuk menegakkan ketertiban dunia.
Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam penyelesaian pelanggaran diyakini
dapat menciptakan rasa keadilan dan menjauhkan ketersinggungan, mengingat kedua
negara diwakili oleh masing-masing wasit.
Meskipun
bukan satu-satunya solusi alternatif, namun penyelesaian non-peradilan melalui
komisi arbitrase Indonesia – Australia akan lebih akomodatif dan relevan serta
mencerminkan kepentingan dua negara. Hal ini dikarenakan, komisi arbitrase
dapat berperan dalam mengeliminir tumpang tindih ketentuan hukum laut yang
selama ini belum dapat dirumuskan.
Tumpang
tindih ketentuan hukum tersebut, yaitu perjanjian batas Landas Kontinen
Indonesia Australia yang berdasarkan pada Konvensi Jenewa Tahun 1958 sedangkan
perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif yang berdasarkan pada UNCLOS 1982.
Perbedaan penggunaan dasar aturan inilah yang menimbulkan tumpang tindih zona sehingga
dikhawatirkan menimbulkan konflik dikemudian hari. Memang, dalam UNCLOS 1982
wilayah ZEE dan Landas Kontinen tunduk pada aturan yang berbeda sesuai dengan
rezim hukumnya masing-masing. Namun, dalam perkembangan yang baru, penyelesaian
batas maritim antara ZEE dan Landas Kontinen cenderung satu garis.
2. Alternative Livelihood
Mengenai
kebijakan alternative livelihood yang ditawarkan Australia perlu disikapi
secara seksama, mengingat pengalihan mata pencaharian nelayan-nelayan
tradisional dari status sebagai nelayan menjadi pembudidaya ikan dapat
melemahkan eksistensi hak-hak perikanan tradisional. Padahal, status hak-hak
perikanan tradisional sudah diakui dalam hukum internasional.
Oleh
karenanya, yang harus dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam hal menjalin
kerjasama, bukanlah bertujuan mengalihkan kegiatan para nelayan, melainkan
memelihara dan melestarikannya sebagai suatu hak yang telah diakui oleh hukum
internasional. Untuk itu, agar tidak terjadi pelanggaran, maka kegiatan yang
seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Australia adalah pengadaan fasilitas
berupa alat navigasi dan fasilitas lain yang dapat membantu kegiatan para
nelayan tradisional.
Apabila ini
tidak dibangun, dan Pemerintah Australia hanya memfokuskan pada pengalihan mata
pencaharian, berarti Pemerintah Australia bermaksud menghilangkan hak-hak
perikanan tradisional nelayan-nelayan Indonesia.
Dengan
demikian, di samping menuntut dibentuknya Komisi Arbitrasi untuk menyelesaikan
kasus hukum pelanggaran kedaulatan, Pemerintah Indonesia harus menuntut
pembangunan fasilitas navigasi agar tidak terjadi pelanggaran nelayan-nelayan
tradisional Indonesia dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah yang
diperjanjikan. Hal lain yang juga diperhatikan Pemerintah Indonesia adalah pembahasan
ulang perjanjian mengenai hak perikanan tradisional. Pada perjanjian MOU 1981
dan Agreed Minutes 1989,
Pemerintah
Australia secara sepihak merubah sebagian isi perjanjian MOU 1974, yaitu
perubahan status Ashmore Reef sebagai kawasan pelestarian taman nasional sejak
tahun 1983 serta pembatasan tangkapan biota laut. Hal ini dikarenakan, para
ahli hukum dan Konvensi Wina tahun 1969 mengisyaratkan harus ada kesekapatan
para pihak dalam melakukan perubahan terhadap isi perjanjian yang telah
disepakati.
Selain itu,
dalam pembahasan ulang perjanjian tersebut harus menuntaskan pengertian nelayan
tradisional, karena ketidakjelasan pengertian ini menyebabkan perbedaan
penafsiran. Bruce dan Wilson dalam Thontowi (2002) menyatakan bahwa rumusan
nelayan
tradisional
itu tidak tepat oleh karena mengandung kelemahan konseptual.
Menurut
pengertian hak perikanan tradisional, ada empat yang harus diperhatikan, yaitu:
nelayan-nelayan
yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap
ikan
di suatu perairan tertentu;
(2)
nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara
tradisional;
(3)
hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu; dan
(4)
nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang
secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut (Djalal,
1988).
Namun,
ternyata kriteria di atas juga menyimpan masalah yang menimbulkan
ketidakjelasan, misalnya perbedaan istilah nelayan tradisional di Indonesiaa
dengan di Australia. Apakah yang dikategorikan nelayan tradisional itu sama
dengan nelayan kecil yang kapal penangkap ikannya harus bermesin dalam
(inboard) berukuran 5 GT ke bawah atau perahu
bercadik yang hanya menggunakan angin untuk pergerakannya. Ironisnya, ketidakjelasan
istilah ini pun terjadi dalam peraturan perundang-undangan kita, misalnya pada
Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Disebutkan,
bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sungguh pengertian yang sangat
tidak jelas, sehingga sangat wajar muncul gerakan ketidakpuasan yang berujung
penuntutan agar UU No. 31 Tahun 2004 segera diamandemen.
Dengan tidak
jelasnya istilah nelayan tradisional tersebut, maka setiap saat nelayan
tradisional Indonesia selalu ditangkapi oleh aparat keamanan Australia.
Sehingga
istilah “sudah jatuh tertimpa tangga” lebih tepat bagi nelayan tradisional,
karena di satu sisi, mereka tidak terperhatikan oleh Pemerintah Indonesia yang
terlalu berkonsentrasi pada kapal asing yang lebih menggiurkan. Sementara di
sisi lain, nelayan tradisional diposisikan sama dengan pencuri oleh Pemerintah
Australia.
Tinjauan
Pustaka
Adhuri, Dedi
S (Ed). 2005. Fishing In, Fishing Out: Memahami Konflik-konflik Kenelayanan di
Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Lipi Press. Jakarta.
Djalal,
Hasjim. 1988. Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut
Internasional. Makalah Terbatas Lemhanas.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
Songa,
Wilhelmus Wetan. 2000. Pelaksanaan Perjanjian Antara Indonesia dan Australia
tentang hak Perikanan Tradisional Dikaitkan dengan Nelayan Asal Nusa Tenggara
Timur (Tidak Dipublikasikan). [Tesis]. Bandung. Program Studi Ilmu Hukum.
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Tsani,
Muhamad Burhan. 1990. Hukum dan Hubungan Internasional. Liberty.
Yogyakarta.Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Nasional
Menteri Luar Negeri: Tak Ada Pulau
Lain yang Berstatus Sengketa
15 Januari
2003
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Menteri Luar
Negeri Hasan Wirajudha menyatakan, tidak ada lagi pulau-pulau lain di nusantara
yang berstatus sengketa dengan negara lain. Pernyataan ini dikeluarkan dalam
konferensi pers usai mengadakan pertemuan dengan Dewan Maritim Indonesia di
Departemen Luar Negeri, Rabu (15/1), menanggapi keprihatinan beberapa kalangan
masyarakat tentang masalah perbatasan wilayah laut Indonesia dengan beberapa
negara tetangga di pulau-pulau jauh dan terpencil.
Menurut
Wirajudha, yang perlu diperhatikan adalah bahwa permasalahan pulau-pulau di
Indonesia bukan menyangkut kepemilikan atas pulau tersebut tetapi hanya masalah
perbatasan yang belum jelas. Masalah ini akan dibicarakan lebih lanjut dengan
negara yang bersangkutan. Mengenai berapa jumlah pulau yang masih belum
jelas batas-batasnya, Wirajudha belum bisa memperkirakan karena banyaknya pulau
yang dimiliki Indonesia. Tetapi pada dasarnya ada lima pulau terluar yang sudah
jelas mempunyai masalah perbatasan.
Pertama,
Pulau Nipah. Pulau yang terletak di Barat Laut Pulau Batam ini berbatasan
langsung dengan Singapura. Masalah yang dihadapi adalah risiko tenggelam karena
abrasi akibat penambangan pasir di pulau tersebut. Namun, tenggelamnya Pulau
Nipah tidak akan mempengaruhi perjanjian batas wilayah RI-Singapura tahun 1973
yang telah disepakati bersama antara kedua negara.
Kedua adalah Pulau Miangas, yang terletak di utara Pulau Kalimantan. Sengketa kepemilikan atas pulau Miangas antara AS dengan Belanda telah diselesaikan oleh Mahkamah Abritase pada 1928. Putusannya, Pulau Miangas adalah wilayah dari Belanda yang berarti milik Indonesia, dan Filipina sudah mengetahui kepemilikan Indonesia atas pulau tersebut. Hal itu juga tertuang dalam protokol persetujuan ekstradisi RI-Filipina 1976. Kedua negara akan melakukan pertemuan pada Februari 2003 untuk membahas masalah ini.
Ketiga adalah Pulau Mapia, yang terletak di perairan sebelah utara Papua. Wirajudha menjelaskan, menurut PP No.38 tahun 2002, Pulau Mapia bukan pulau terluar, karena di sebelah utara pulau itu masih terdapat Pulau Bras. Tetapi, menurut dia, telah ada kesepakatan mengenai batas laut antara Indonesia dengan Papua Nugini. “Sehingga sudah jelas, pulau Mapia milik kita,” kata dia.
Keempat
adalah Pulau Batek, yang terletak di Pulau Timor. Berdasarkan Peta Laut Hindia
Belanda No.117, Nusa Tenggara (kleinae soenda
einlenden enaangrenzende vaarwaters blad V) terbitan tahun 1925 menggambarkan kepemilikan pulau-pulau di wilayah
sekitar pulau Timor. “Dan peta tersebut tidak mencantumkan Pulau Batek sebagai
milik Portugis,” kata dia. Peta menggambarkan wilayah milik Portugis adalah
Oikoesi, Timor Portuguese, Pulau Jako, dan Pulau Kambing. Selain itu, lanjut
Wirajudha, pada Januari 2002, Direktoran
Navigasi dari Ditjen Perhubunga Laut Departemen Perhubungan RI, telah membangun
Menara Suar di Pulau tersebut dan sampai sekarang masih berlangsung
pelaksanaannya. Mercusuar ini baru akan beroperasi awal tahun ini. Untuk
masalah ini, pada November tahun lalu telah diadakan pertemuan join venture comission
antara RI-Timor Leste dan Australia. “Sudah jelas masalah Timor Gap bukan
masalah Indonesia lagi. Jadi, kita hanya berkonsentrasi pada perbatasan antar
Indonesia dengan Timor Leste,” katanya.
Kelima,
Pulau asir (ashmore reef).
Pulau ini
terletak sekitar 320
km di sebelah utara pantai barat Australia dan 170 km di sebelah selatan
pulau Rote. Kepemilikan pulau ini dimiliki Australia karena diwarisi dari
Inggris yang menetapkan wilayah itu sebagai koloninya pada 1878.*)
Menurut Wirajudha, terdapat tiga kesepekatan antara RI Australia menyangkut
ashmore reef, yaitu MOU operasi nelayan tradisional Indonesia di wilayah
perikanan dan landas kontinen Indonesia 7 November 1974,
yang intinya memberikan hak kepada nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap
ikan di wilayah marimtim, termasuk di ashmore reef. Yang kedua MOU tentang
provisional fishseries surveilance dan enforceline, Oktober 1981 yang berisi
ketentuan tentang tidak terpengaruhnya hak tradisional Indonesia di pulau
karang tersebut. Yang ketiga, persetujuan tentang petunjuk teknis bagi
implementasi MOU 1974
di atas Mei 1989.
Menlu juga
menambahkan, masih ada beberapa masalah perbatasan di beberapa wilayah pulau
Indonesia, seperti di Pulau Rondo, Aceh. “Pulai Rondo itu milik kita, tetapi,
hanya perlu dibicarakan mengenai batas-batas lautnya lebih lanjut dengan
Malaysia," ujarnya. Kemudian, pulau terluar Indonesia lain, yaitu Pulau
Natuna, yang terletak diantara Indonesia dan Malaysia telah menjadi milik
Indonesia sepenuhnya. Pada 1984 antara Indonesia dan Malaysia telah ada
pembicaraan mengenai batas laut dan udara di atas pulau tersebut. (D.A.
Chandraningrum-Tempo News Room)
*)
Catatan Penulis
(Suatu
Tanggapan)
Keterangan
Menlu RI tersebut menyatakan bahwa
kepemilikan Asutralia atas Pulau Pasir
(Ashmoro Reef) yang diwariskan oleh
Inggris tahun 1878 itu hanya suatu rekaysa saja dan tidak benar.
Jika kita melihat Peta Australia di zaman Kolonial Belnada, wilayah Australia
tidak termassuk Pulau Pasir karena pulau itu milik Hindia Belanda. Hal ini
dapat dibuktikan dengan Peta Asli Australia yang seperti dimuat oleh Penulis dalam
halaman-halaman sebelumnya di atas.
Peta inilah
menjadi saksi autentik yang akurat dan tidak bisa dibantah oleh Austyralia
sekalipun. Demikian dalam Peta buatan AS, juga Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak
terdaftar dalam Peta Asli Australia tersebut. Jika Inggris mengakui Pulau Pasir
masuk wilayahnya maka harus dibuktikan dengan Dokumen tertulis bertahun 1878,
dimana terdapat tulisan yang mencantumkan nama Pulau Pasir (Ashmore Reef) sebagai wilayah Inggris sekarang Australia.
Jika hal ini tidak dapat dibuktikan, maka semua keterangan hanya berupa
rekayasa saja, maka siapapun tidak dapat mengatakan bahwa Pulau Pasir itu milik
Australia.
Perlu
ditambahkan bahwa Kapten Cook tahun 1778 baru menemukan Pantai Timur Benua Australia, dan
status dari Kapten Cook adalah seorang pelaut biasa dan bukan sebagai seorang wakil Pemerintah
Inggris saat itu yang berhak menyatakan bahwa Pulau Pasir (Ashmoro Reef) adalah
milik Inggris. Yang menemukan Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah Kapten
Asmore pada tahun 1811. Saat itu Benua Australia masih milik Suku
Aborigin dan belum berstatus sebagai koloni Inggris. Dengan demikian pemerintah
Australia telah merekayasa sejarah untuk membenarkan argumentasinya dalam
mencaplok Pulau Pasir secara sepihak.. Sedang jauh sebelum pelaut Portugis Antonio Pigafetta menemukan pulau Rote tahun 1522, Pulau Pasir sudah dikuasai para Pelaut atau nelayan tradisional asal
Pulau Rote. Para nelayan tradisinal asal
Indonesia jauh sebelum 1522, telah berlayar
hingga Australia dan mereka menakan Benua itu
„Pulau Marege“ karena penduduknya
kulitnya Hitam Pekat. Marege = Hitam Pekat. (Sumber : Peta Dunia Jermbatan Jakarta 1952)-Penulis.
Jadi dasar
hukum yang kuat ialah berdasarkan Peta Australia yang yang tertera dihalaman di
atas adalah milik Hindia Belanda. Di Peta baru buatan Australia setelah tahun 1974, sebenarnya Pulau Pasir
tetap masuk Indonesia apabila Garis Perbatasan Laut Indonesia – Australia DI
TARIK LURUS, dan bukan dibuat Garis Setengah Lingkaran yang
mrmblokir Pulau Pasir. Kemudian guna menguasai Pulau Pasir, Australia sengaja
menjadikan Taman Suaka Australia yang katanya untuk tidak dirusak oleh para
nelayan tradisional asal Indonesia.
Tetapi
kenyataannya lingkungan laut tercemar oleh perusahan Minyak yang tumpah di Laut
Timor. dan merugikan para nelayan di
Nisa Tenggara Timur. Jadi menjadikan
Taman Suaka, itu hanya sebagai kedok saja dalam menguasai Pulau Pasir karena
dilokasi tersebut terdapat sumber
cadangan migas yang melimpah untuk dikuasainya sendiri.
Jadi jelasnya Menlu RI jangan terlena hanya percaya dengan keterangan sepihak
dari Asutralia saja dan jangan menjadi trompet yang membela kepentingan
Australia di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Kita masih banyak menyimpan data dari
berbagai sumber berupa sejarah, peta dan
kepustakaan lainnya untuk menyanggah argumentasi Australia yang berat sebelah.
Ke-dua
: Menlu RI mengatakan : Timor Gap bukan masalah Indonesia lagi. Jadi, kita
hanya berkonsentrasi pada perbatasan antar Indonesia dengan Timor Leste,”
katanya. Sesungguhnya luasnya Laut Timor mulai dari batas Laiut Arafuru hingga Auastralia. Dengan
demikian yang memiliki Laut Timor, bukan saja Timor Leste dan Australia saja
tetapi juga masyarakat Nusa Tenggara Timur (Indonesia).
Pertanyaannya
: Atas dasar argumentasi apa dan dasar
hukum mana yang meniadakan hak masyarakat NTT atas Laut Timor dan Celah Timor
atas sumber Migas yang terkandung didalamnya, dan yang
menikmati hasilnya hanya Timor Leste dan Australia saja? Indonesia NOL BESAR?
Ini
jelas Lemahnya Diplomasi Luar Negeri
yang konyol dan menyerahkan 100 %
hasil migas di Laut dan Celah Timor kepada Timor Leste dan Australia,
tanpa merasa Bertdosa pada Bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu dibuka
kembali masalah Laut Timor dan Celah Timor
dengan Timor Leste dan Australia, karena tidak adil. Seperti apa yang dijelaskan pada Bab-bab
sebelumnya tentang Perjuangan Pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar
NKRI, ternyata Indonesia selalu dipihak
yang KALAH atau MENGALAH dalam
diplomasi Luar Negeri. ANEH TAPI NYATA.
(Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Telp.0274.588160
– HP.082135680644.
www.muchrojimahmad.blogspot.com
|
Penyelesaian Sengketa Antara
Indonesia dengan Australia Atas Kepemilikan Gugusan Pulau Pasir di Laut Timor
Bibliografi
Author: Friskawati, Yanti (Advisor); Kumoro,
Puri Andini Larasati
|
Bahasa: (ID )
|
Penerbit: Fakultas
Hukum Unika Atma Jaya Tempat
Terbit: Jakarta Tahun Terbit: 2006
|
Jenis: Theses - Undergraduate
Theses
|
Fulltext: Puri Andini Larasati Kumoro's
Undergraduated Theses.pdf (203.0KB; 2 download)
|
Ketersediaan
Perpustakaan
Pusat
Nomor
Panggil: FH-1845
Non-tandon: tidak
ada
Tandon: 1
|
Abstract
Ashmore
Reef ( gugusan Pulau Pasir di Laut Timor ), terletak sejauh 320 km dari pantai barat-utara Australia, dan hanya 170 km di sebelah selatan Pulau Rote. Menurut
sejarah, jauh sebelum zaman kolonial, Ashmore Reef merupakan bagian integral
dari bangsa Indonesia. Nelayan-nelayan tradisional Indonesia sudak sejak lama
beroperasi di sekitar gugusan Pulau Pasir sampai ke daratan Broome,
Australia. Pulau Pasir ini biasa digunakan sebagai semacam tempat transit
bagi para nelayan Indonesia yang berlayar jauh ke selatan. Hal ini terbukti
dengan ditemukannya kuburan-kuburan para leluhur Rote dan bermacam artefak
lain.
Kini
Ashmore Reef berada di bawah kedaulatan Australia, hal ini mengacu pada
ditandatanganinya sebuah MOU oleh kedua belah pihak pada tahun 1974, yang
pengaturannya sangat merugikan Indonesia. Oleh karena itu Indonesia harus
melakukan sesuatu untuk memperoleh kembal haknya atas gugusan Pulau Pasir.
Penyelesaian kasus ini dapat dilakukan, baik melalui pengadilan maupun diluar
pengadilan.
Hal ini
juga sesuai dengan apa yang tercantum dalam UNCLOS 1982. Kasus
Sipadan-Ligitan dapat dijadikan dasar sebagai pedoman agar Indonesia dapat
memenangkan kasus ini. Media yang terbaik untuk menyelesaikan kasus ini
menurut penulis ialah arbitrase, karena selain untuk menghemat biaya, proses
arbitrase tidak memakan waktu yang terlalu lama, dan memiliki kaputusan yang
bersifat mutlak dan mengikat.
|
14/07/2008 21:03
Skandal Laut Timor Diluncurkan
Buku “Skandal
Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta” diluncurkan di
Kupang, Senin (14/07-2008).
Buku yang
ditulis oleh Ketua Pokja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir, Ferdi Tanoni ini
diluncurkan di kediaman resmi Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang,
ditandai dengan penyerahan secara simbolis kepada Pemerintah Indonesia melalui
Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Piet Alexander Tallo,SH dan kepada bangsa
Indonesia melalui Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara
Timur Drs.Melkianus Adoe.
Dalam kata
pengantarnya Ferdi Tanoni menyampaikan bahwa 80 % isi dari Buku Skandal Laut
Timor adalah merupakan fakta dan data tentang berbagai kejanggalan dalam
perjanjian RI-Australia di Laut Timor yang sangat menguntungkan
Australia,sementara 20 % dari isi buku tersebut adalah improvisasi dari penulis
tentang harapan-harapan yang ingin dicapai.
Buku yang
berisi 173 halaman tersebut berisi 8 bab dengan prolognya oleh Gubernur
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kata Pengantarnya dari K.H.Abdurrachman Wahid
(Gus Dur). Sementara epilognya dari DR.Chandra Motik Yusuf. Acara peluncuran
buku tersebut dihadiri oleh pejabat terkait tingkat Provinsi Nusa Tenggara
Timur yakni Ketua Sekretaris Daerah Provinsi, Bappeda, Kepala Dinas
Pertambangan, Kakanwil Depkum dan HAM, Kepala Biro Sarana Perekonomian Daerah,
Bapedalda, Asisten I Setda NTT, Kepala Biro Hukum dan Kepala Biro Humas Setda
NTT serta tokoh masyarakat.
Dalam
sambutannya Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur menyampaikan harapannya agar
sekiranya Buku Skandal Laut Timor ini bisa dijadikan sebagai salah satu
referensi Pemerintah dan menyampaikan terima kasih kepada Ferdi Tanoni dan
teman-temannya yang telah memberikan nilai yang positif bagi bangsa dan Negara
khususnya masyarakat dan Pemerintah Nusa TenggaraTimur. Sementara Ketua DPRD
Provinsi Nusa Tenggara Timur Melkianus Adoe dalam sambutannya juga menyampaikan
terima kasih kepada Ketua Pokja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir Ferdi
Tanoni atas kekonsistenan dan keteguhan tanpa mengenal lelah dalam
memperjuangkan berbagai hak dan kepentingan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang
terabaikan di Laut Timor.
Secara
kelembagaan kata Melkianus Adoe,DPRD Provinsi NTT akan menggunakan buku
tersebut sebagai referensi untuk melakukan kajian yang lebih dalam lagi tentang
berbagai hak dan kepentingan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang terabaikan di
Laut Timor untuk kemudian disampaikan kepada Pemerintah.
Menurut Ferdi
Tanoni bahwa Buku Skandal Laut Timor ini akan segera dikirimkan kepada,
---Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Ban Kie Moon,
---Perdana
Menteri Australia Kevin Rudd dan
---Presiden
Timor Timur Jose Ramos Horta untuk menggugah mereka agar mau meninjau kembali
seluruh perjanjian RI-Australia di Laut Timor yang sangat merugikan interes
nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Buku Skandal
Laut Timor ini baru akan beredar di Toko Buku pada akhir bulan Juli 2008.
YAYASAN
PEDULI TIMOR BARAT
(West Timor
Care Foundation)
Jalan Perwira
33
Kupang-Timor
Barat
Phone/Fax:
+62380830191
Westti
HYPERLINK
"mailto:morcarefoundation@yahoo.com.au"
morcarefoundation@yahoo.com.au
-Internet.
24/07/2008
Penulis
: Drs.Simon arnold Julian Jacob
Perjanjian Timor Gap Digugat Ke Pengadilan
Canberra,
Kamis
Kewenangan
Australia menandatangani Perjanjian Celah Timor (Timor Gab) tahun l989 bakal
digugat, menyusul keputusan pengadilan tinggi Australia hari Kamis (9/l2) yang
mengizinkan kasus ini diajukan ke pengadilan. Masalah ini menjadi hangat
setelah digugat warga Timor-Timur yang kini mengasingkan diri ke
Australia. Jubir pengadilan
mengemukakan, tanggal menghimpun keterangan soal kasus ini telah ditetapkan
bulan Agustus l994, dan diperkirakan berlangsung tiga hari. Kasus ini terutama
menggugat kewenangan Australia menyepakati dan, menandatangani Perjanjian Celah
Timor dengan Indonesia,” ujarnya.
Perjanjian
Timor Gap yang ditandatangani Menlu Ali Alatas dan Menlu Australia Garreth
Evans pada dasarnya, mengeksploitasi secara bersama kandungan minyak bumi di
dasar laut yang terletak di Laut Timor, yang membelah Pulau Timor dan Australia.Alatas kepada pers
beberapa saat seusai penandatanganan Perjanjian CelahTimor mengemukakan, :
Indonesia puas dengan tercapainya kesepakatan tentang zona kerja sama Celah
Timor, yang merupakan “pengakuan de jure” terhadap “integrasi Timor-Timur” ke Indonesia (Kompas, 28/l0/l989).
Namun
pengakuan” de jure Australia” ini justru yang membuat kasus ini
menghangat. “Tindakan Australia dan
Indonesia menyetujui suatu perjanjian eksploitasi mineral di Celah Timor
adalah, iligal, karena berdasarkan hukum internasional, tidak ada suatu negara pun
berdaulat atas kawasan itu, Ujar jubir warga Timor-Timur di Australia
Pemerintah Didesak Selesaikan Batas
Wilayah Laut Timor
Jakarta,
Sinar Harapan Timor Gap and Pulau Pasir (Ashmore Reef Task Force) mendesak
Pemerintah untuk segera menyelesaikan tiga masalah utama di Laut Timor yang
dinilai sangat merugikan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Belum selesainya
batas wilayah Laut Timor ini membuat nelayan Pulau Rote menghadapi kendala
karena ditangkap Angkatan Laut Australia. Demikian dikatakan Ketua Pelaksana
Timor Gap and Ashmore Reef Task Force Ferdi Tanoni kepada SH, Kamis (12/6).
Tiga
masalah yang dimaksud Ferdi adalah :
1).
Penyelesaian garis batas wilayah Laut Timor yang resmi antara RI, Australia,
dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).
2). Masalah
kedua, penetapan batas-batas dasar laut antara RI dan Australia pada tahun 1971
dan 1972 di Laut Timor dan Laut Arafura yang sangat merugikan masyarakat NTT,
yaitu perjanjian kerja sama RI dan Australia tentang Celah Timor tahun 1989,
penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batas-batas dasar laut tertentu
1997.
3). Masalah
ketiga adalah adanya pertukaran nota diplomatik antara Departemen Luar Negeri
RI dan Australia pada tanggal 1 Juni 2000 yang menggugurkan seluruh hak,
termasuk hak tradisional (hak adat) dan kepentingan masyarakat NTT di Laut
Timor.
Ferdi
menegaskan batas wilayah Laut Timor dan Australia harus dirundingkan kembali.
Penguasaan Australia atas potensi minyak atas gas bumi di Laut Timor yang
mencakup Celah Timor dan Gugus Pulau Pasir adalah tidak sah karena penarikan
garis latar antara Laut Timor dan Australia pada tahun 1972 tidak pernah
diratifikasi oleh Republik Indonesia, ujarnya.
Ferdi Tanoni
menjelaskan untuk menentukan kedaulatan masing-masing negara dengan menggunakan
argumen landas kontinental berdasarkan konvensi hukum laut PBB 1958 adalah
cacat hukum. RI tidak pernah
meratifikasinya penarikan garis latar kontinental itu, katanya. ”Walau tidak
ada bukti otentik, namun Deplu RI menerima alasan yang mengatakan bahwa
Australia mempunyai wilayah bawah laut yang dekat dengan wilayah Timor. Hal ini
antara lain yang telah mengakibatkan Republik Indonesia harus kehilangan 85%
dari wilayah Laut Timor pada Australia,” lanjutnya.
Kapal
Dibakar (Lihat Gambar pada bagian lainnya)
Menurut
petugas perikanan Pulau Rote, Paul Dae Pane, sudah semenjak tahun 2000, nelayan
Indonesia dari Pulau Rote yang mencari ikan di Celah Timor (Timor Gap)
menghadapi kesulitan karena ditangkap oleh angkatan Laut Austalia. Ia
menjelaskan bahwa pada bulan November 2000, beberapa orang nelayan ditangkap di
antara. Pulau Datu dan Pulau Bersland, setelah terombang-ambing selama tiga
hari di sekitar kepulauan Gugus Pasir karena gangguan navigasi.
Sebuah kapal
Perang Australia menangkap mereka karena menganggap para nelayan melanggar
batas perairan Australia dan lewat dari batas 20 mil dari tepi pantai. Menurut
kesaksian salah seorang nelayan, Sadli H. Ardani, kapal mereka diberondong
senjata kemudian dibakar dan diledakkan di tengah laut. Enam orang nelayan
dibawa ke Broome, Australia Barat. Di sana mereka diadili dan dipenjara selama
2 tahun. Mereka adalah Sadli, Sudarmin, Idris, Rinto, Adrianus dan Baba,
nelayan yang berasal dari Pepela, Rote Timur.
Ferdi Tanoni
menjelaskan bahwa sampai sekarang tidak ada kejelasan soal batas wilayah NKRI
di sekitar Timor Gap itu.
”Sampai
sekarang kalau ada nelayan yang ditangkap dan di bawa ke Australia,
pemerintahan RI tidak pernah mengurus mereka,” katanya. Ia melanjutkan bahwa
pihaknya sudah menyurati pihak RI, Australia, dan Pemerintah Republik
Demokratik Timor Leste (RDTL) untuk duduk bersama membahas kembali masalah
batas ini, tapi tidak ada tanggapan dari pemerintahn RI dan Australia.
”Justru
Presiden Timor Leste Xanana Gusmao yang merespon secara posistif. Ia bersedia
duduk bersama membicarakan hal ini,” jelas Ferdi Tanoni. Pemerintah RI menurut
Ferdi Tanoni seharusnya mengurus semua dampak yang disebabkan ketidakjelasan
batas di Celah Timor ini. Nelayan yang hidupnya sudah susah seharusnya dilindungi,
bukannya dibiarkan. Sudah waktunya Pemerintah RI duduk berunding lagi dengan
pemerintahan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dan Pemerintahan Australia.
(we b)Internet.
Deklarasi PBB Dukung Hak Adat
Indonesia Atas Laut Timor
Kupang, CyberNews.
Yayasan
Peduli Timor Barat (YPTB) menyatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengeluarkan deklarasi yang isinya mengukuhkan hak-hak masyarakat adat atas
tanah dan laut tempat mereka tinggal.
Deklarasi ini
membuka peluang besar bagi masyarakat adat Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk
mengambil kembali kepemilikan Laut Timor dari tangan Australia.
"Masyarakat
adat pemilik Laut Timor yang di dalamnya tercakup Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro
Reef) dan Celah Timor sekarang berhak untuk melakukan klaim atas kawasan
tersebut sehubungan dengan telah diadopsinya Deklarasi Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) tentang hak-hak masyarakat adat (United Nations Declaration on the
Rights Of Indigenous Peoples)," tegas Ketua Pokja Celah Timor dan Gugusan
Pulau Pasir Ferdi Tanoni, Sabtu (31/05/08). Perjuangan Pokja Celah Timor dan
Gugusan Pulau Pasir serta Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) pimpinan Ferdi
Tanoni yang selama ini secara lantang dan konsisten meyuarakan tentang berbagai
hak dan kepentingan masyarakat adat di Laut Timor yang telah dirampas oleh
Australia sepertinya mendapat pengukuhan langsung dari PBB.
Sebuah draft
(konsep) Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat yang pernah diajukan
untuk diadopsi dua puluh (20) tahun silam, secara resmi telah diadopsi dalam
Sidang Umum (SU) PBB pada sesi ke 61 pada hari Kamis, 13 September 2007,dengan
dukungan 144 suara, 4 suara menentang dan 11 suara abstain. "Deklarasi ini
merupakan langkah baru dalam sejarah kehidupan manusia semesta dan langkah
bersejarah bagi masyarakat adat sedunia khususnya di Laut Timor," kata
Tanoni, yang sejak tahun 2003 silam dikukuhkan masyarakat adat Timor Barat,
Rote Ndao, Sabu dan Alor sebagai pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat di
Laut Timor.
Dengan
Deklarasi PBB ini, Tanoni mendesak DPR RI untuk segera meratifikasinya agar
perjuangan tentang berbagai hak dan kepentingan masayarakat Indonesia di Laut
Timor yang telah dirampas oleh Australia selama ini dapat segera dikembalikan
demi kesejahteraan Bangsa dan keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia."Perjuangan yang kami lakukan selama ini cukup panjang, berat
dan sangat melelahkan. Namun dasar perjuangan dan tuntutan kami selama ini dan
seterusnya dilakukan dengan hati yang jernih, tulus dan ikhlas hingga kami
meraih tuntutan kebenaran yang disuarakan selama ini demi kesejahteraan seluruh
masyarakat yang mendiami Pulau Timor, Alor, Rote, Sabu dan Australia
Utara," katanya.
"Makanya
kami sangat yakin bahwa perjuangan yang besar ini senantiasa dituntun oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa," ucap Ferdi Tanoni dengan nada gemetar dan mata
berkaca-kaca. Mulai saat ini, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
diharapkan tidak lagi menghalang-halangi berbagai upaya masyarakat Indonesia
yang sejak 500 tahun silam merupakan bagian dari Laut Timor untuk
memperjuangkan berbagai hak dan kepentingan mereka yang telah dirampas
Australia (MH Habib Shaleh /CN08) –Internet.
24/07/2008
12:13 wib - Nasional Aktual
YPTB Usulkan Australia-Indonesia
Joint Fishing Zone
Kupang,
CyberNews. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni mengecam
pasukan keamanan Australia yang menangkap dan memperlakukan para nelayan
tradisional Indonesia yang beroperasi di Laut Timor secara sewenang-wenang.
Untuk itu, Ferdi Tanoni menyurati Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung Australia
Utara Dr Christopher Bruce Burns, MLA. “Sebagai sahabat lama atas nama
rekan-rekan yang tergabung dalam YPTB dan Pokja Celah Timor dan Gugusan Pulau
Pasir kami menyampaikan salam kepada Pemerintah Australia Utara, dan atas nama
pribadi menyampaikan salam hangat untuk Christopher Bruce Burns dan
keluarganya,” tulis Ferdi mengawali suratnya. Alasan ia menulis surat ini
sehubungan dengan meningkatnya kejadian penangkapan nelayan tradisional
Indonesia di Laut Timor oleh aparat keamanan Australia.
“Kita semua
sadar bahwa ada Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan
Australia yang dibuat pada tahun 1974 tentang aktifitas nelayan tradisional
Indonesia yang beroperasi di wilayah yang diklaim Australia sebagai Zona
Perikanan Australia,” kata mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini.
Ferdi dengan tegas menolak berbagai bentuk intimidasi aparat keamanan
Australia, dengan alasan apapun, terhadap nelayan tradisional Indonesia yang
mencari nafkah di Laut Timor. "Saya percaya bahwa kita semua sepakat untuk
mengutuk dengan keras bahkan melakukan perlawanan terhadap berbagai aktivitas
nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor yang berkaitan dengan kegiatan
kejahatan transnasional," katanya.
"Tapi
tindakan intimidasi, seperti memaksa menggiring para nelayan Indonesia yang
sedang beroperasi di perairan Nusantara masuk jauh ke dalam wilayah 12 mil
Australia, kemudian dituduh sebagai pelaku illegal fishing, dijatuhi hukuman
dan hingga memusnahkan perahu mereka, adalah sebuah tindakan tidak terpuji dan
melanggar hukum," kritik Tanoni.
Tanoni
kemudian memberi solusi dengan usul pembentukan sebuah Zona Perikanan Bersama
yang disebut dengan "Australia-Indonesia Joint Fishing Zone".
"Ini
usul lama dan berulang kali saya menyampaikan proposal ini kepada Pemerintah
Indonesia dan Australia," katanya. Menurut Ferdi Tanoni, secara geografis
letak wilayah Indonesia sangat berdekatan, antara satu dengan lainnya.
"Sedang secara histories, berabad lalu nenek moyang kita bisa bekerjasama
dan saling saling melengkapi satu dengan lainnya tanpa menghancurkan
kepentingan masing-masing," tandas Tanoni. (MH Habib Shaleh
/CN08)-Internet.
*SBY Tiba ada di Selandia Baru
Disesalkan, Tidak Singgung Celah Timor
Senin
06/04/2005 13:21:55
HYPERLINK
"http://www.surabayapost.info/detail.php?cat=1&id=8182"
Kupang –
Surabaya Post
Hari ini,
Rabu (6/4), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan rombongan disambut
dengan upacara kenegaraan dan penyambutan tradisional suku Maori (suku asli
Selandia Baru) di Wellington. Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Helen Clark,
Sekjen Deplu dan Perdagangan Simon Mudoch, dan Dubes Selandia Baru untuk
Indonesia, Christopher John Elder menyambutnya.
Di hari
pertama kunjungannya ke Selandia Baru ini SBY antara lain akan melakukan
kunjungan kehormatan kepada Gubernur Jenderal Selandia Baru Dame Silvia
Cartwright dan melakukan pertemuan bilateral dengan PM Helen Clark. Keesokan
harinya, setelah mengunjungi Museum Nasional Te Papa, siang harinya SBY bertemu
masyarakat Indonesiadi sana. Namun, di antara kunjungan yang tampak mulus ini,
ada “cacat” yang ditinggalkan SBY dalam kunjungannya ke Australia. “Cacat” itu
adalah kealpaan SBY mengangkat masalah kepemilikan Celah Timor untuk
dibicarakan secara trilateral antara Indonesia, Timor Leste, dan Australia.
"Seharusnya SBY berani mempersoalkan masalah Celah Timor karena secara de
jure, sebagian besar kandungan minyak di sana berada di perairan
Indonesia," kata Direktur Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni.
"Yang
patut disayangkan juga adalah mengapa nelayan Indonesia sudah berulang kali
ditangkap di Laut Timor, disiksa, dan perahu mereka dihancurkan, namun SBY
tidak mempersoalkan masalah ini," kata Tanoni. Menurut Tanoni, mestinya
Indonesia mendesak dilakukannya peninjauan semua perjanjian menyangkut
kepemilikan Celah Timor dan mengatur kembali median line sehingga Indonesia
mendapat bagian dalam eksplorasi minyak yang ada di sana. “Ketiga negara perlu
memberlakukan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 yang isinya
mengatur tentang batas maritime,” lanjutnya.
"Jangan
hanya Ambalat yang dipersoalkan. Laut Timor juga harus diperjuangkan karena
Indonesia juga memiliki hak untuk mendapat sebagian kekayaan minyak dan gas di
wilayah itu."Selain itu, menurut Tanoni, Pulau Pasir juga harus
diperjuangkan meski secara de jure Australia telah mengklaimnya. "Pulau
itu secara de facto milik Indonesia karena ada kuburan nenek moyang orang
Indonesia di sana," tandasnya. Dipuji Namun, di Australia pula SBY mendapat
pujian atas sikapnya. Redaktur senior The Australian, Greg Sheridan memuji SBY
sebagai sosok yang tulus dan berempati. Hal itu terlihat kala SBY bertemu satu
persatu dengan anggota keluarga prajurit Australia yang meninggal dalam
kecelakaan helicopter saat membantu korban gempa di Nias, beberapa hari lalu.
"Ketika
saya bertanya bagaimana perasaannya saat bertemu sanak famili para prajurit
yang gugur itu, beliau mencoba menjawab namun tak kuasa. Kemudian ia terdiam
sebelum berupaya mengontrol perasaannya," kata Sheridan. Lantas, Presiden
Yudhoyono menjawab: "Itu merupakan pertemuan yang teramat menyedihkan.
Sejak waktu musibah itu terjadi, saya terus mengikuti keadaan secara seksama.
Saya putuskan
saat itu, kalau ada konfirmasi bahwa sembilan serdadu Australia yang baik ini
gugur dalam misi kemanusiannya, (maka) Pemerintah Indonesia wajib menganugrahi
mereka medali kehormatan." SBY lalu melanjutkan, “Betapa kami sangat
berduka atas gugurnya prajurit-prajurit itu, dan saya harus menghormati dan
menghargai semua prajurit yang gugur dan telah memperlihatkan keberanian luar
biasa, perngorbanan, dan dedikasi yang tinggi untuk menolong saudara-saudari
mereka di Nias, Indonesia." Sheridan mengatakan, "Jarang ada Presiden
Indonesia yang memanggil orang-orang Australia sebagai saudara dan saudari
(brothers and sisters), namun panggilan itu datang dari Presiden Yudhoyono.
(Ntr, INS) Internet.
Laut Timor Penguasaan Oleh Australia
Harus Terus Dipersoalkan
Dominasi
Australia di perairan Laut Timor, baik melalui batas zona ekonomi eksklusif
(ZEE) maupun landas kontinen---harus dipersoalkan, tak saja oleh Timor Leste
dan Indonesia, tetapi juga oleh dunia internasional. Penguasaan wilayah
perairan itu selama ini oleh Australia telah merugikan kedua negara tersebut.
Itu diungkap, pakar hukum internasional Universitas Nusa Cendana, Kupang NTT,
Wilhem Wetan Songa dan, Ketua Kelompok Kerja Laut Timor di Kupang, Ferdi
Tanoni, Senin (7/11-2005).
Wilhem Wetan
mengkaji secara khusus hak perikanan tradisional Laut Timor melalui tesis
magisternya “Perjanjian antara Indonesia-Australia tentang Hak Perikanan
Tradisional.”Keduanya berkomentar, bukan saja menanggapi terus berlanjutnya penangkapan nelayan
Indonesia di Laut Timor oleh Pemerintah Australia, tetapi juga pengeboran migas
yang belakangan ini berdampak pada
kerusakan lingkungan laut.
Ferdi
menegaskan, pencemaran Laut Timor akibat kebocoran pipa gas metana sudah
mengkhawatirkan, yang mengherankan, sampai kini Australia masih terus
mengembangkan dan, mempertahankan pendangannya bahwa Pulau Timor dan Australia
berada dalam dua landas kontinen berbeda.
Sejak awal tahun l970-an, Australia menegaskan, Terusan Timor (Timor
Through) merupakan representasi fisik bagian utara dari landas kontinen
Australia.
“Dengan openi
itu, yang kemudian dipertegas pembagian wilayah berdasarkan landas kontinen
dan, juga Zona Economi Eksklusif (ZEE), Australia menguasai sekitar 85 persen
wilayah perairan Laut Timor. Dampaknya, Indonesia (dan kemudian juga Timor
Leste) kehilangan lebih separuh wilayah perairan,” kata Ferdi. Contoh nyata,
dari dampak “kehilangan wilayah perairan itu ujar Ferdi, masih terjadinya
penangkapan nelayan tradisional Indonesia oleh Australia. Negara itu juga
meraup sebagian besar migas, yakni 70-80 persen, dan Timor Leste malah hanya mendapat 20-30 persen. Sementara
Indonesia nol persen.
Wilhem
membenarkan bahwa, dominasi Australia atas perairan Laut Timor harus
dipersoalkan dan dibahas lagi, tidak saja oleh Indonesia dan, Timor Leste,
tetapi perlu dukungan dunia internasional. Dari berbagai analisis, dan
penelitian geologis terakhir, Pulau Timor dan Australia justru berada dalam
satu landas kontinen yang sama, bukan dua landasan kontinen terpisah. Artinya kata Wilhem dan Fredi, batas wilayah
maritim harus ditentukan berdasarkan median line (garis tengah) seperti diatur
Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982. Terutama untuk negara yang pantainya
berhadapan seperti Indonesia-Australia,”ujarnya. Setelah Timor Leste menjadi
negara merdeka, sebenarnya ada peluang baru bagi Indonesia untuk membahas
kembali soal batas wilayah Laut Timor,
Kata Ferdi, Australia berhak dapat 20-25
persen saja (bukan 70-80
persen), Indonesia 40-45
persen, dan Timor Leste 25-30
persen) dari total produksi migas Laut Timor. Persoalan itu, ujar Wilhem, baru
dari aspek hukum. Dari aspek sejarah
secara sistematis Australia diduga akan menghilangkan jejak sejarah nenek
moyang pelaut Indonesia di perairan itu. Indonesia harus berjuang supaya
batas...
SHAPE
\* MERGEFORMAT
Gambar
dibawah ini : Perahu-perahu Nelayan Indonesia
yang berasal dari
Pelabuhan
Papela Rote Timur-NTT, di bakar oleh petugas keamanan
penjaga
Pantai di Darwin, karena dianggap melanggar perairan Australia.
(Sumber
:Internet).: Location of permitted areas of access for Indonesian
fishermen in
the Australian Fishing Zone under the 1974 Memorandum of
Understanding.
Plate 5-2:
Navy officers inspecting the catch of the Wisma Jaya, 1990.
Source:
Western Australian Fisheries Department. Internet
Traditional
fishermen were defined in the MOU as ‘fishermen who
have
traditionally.
Plate 5-3:
Bajo crew confined to their perahu lambo in Darwin Harbour.
Plate
5-4: Confiscated perahu lambo driven into the embankment in Darwin
Darwin. Perahu para nelayan Indonesia ditangkap oleh
Keamanan Australia di Darwin yang kemudian di baker.
Plate 5-5:
Boats dragged out of the water onto the
l
and.
Plate
5-6: Boats destroyed by
burning.
Policy
Reviews in the Mid-1990s Intrernet
Perahu
nelayan tradisional asal Pulau Rote di bakar oleh petugas Keamanan Laut
Australia di Darwin.
The Village of Pepela, Roti
Island, East Tenggara Timur
(HOW TO GET)
can be reached within two hours with the daily inter-island fast ferry from
Kupang on West Timor. From Ba'A it is another
two hours by public transport to Nemberala village.
A passenger
ferry operates daily between Kupang and Pantai Baru,
a small mangrove fringed bay on the northwestern side of Roti. A motor boat also travels twice a week between
Pepela and the village of Namosain in Kupang. The trip takes around six hours
depending on the weather conditions
Gambar :
Pelabuhan Nelayan Tradisional “Papela” – Kecamatan Rote Timur—NTT
merupakan pangkalan utama para nelayan
tradisional asal Pulau Rote, Sulawesi Setan, Bajo, Boton, Madura, dan Jawa
Timur lainnya, mencari biota laut ke
Pulau Pasir =Ashmore Reef (Tanah Hak Ulayat Masyarakat Suku Rote) sepanjang
tahun sejak ratusan tahun silam sebelum tahun 1522.
Di Pelabuhan
ini, Antonio Pigafetta, asal Portugis rombongan
Magelhaens dengan kapalnya “Victory”nya berlabuh dan bertemu dengan
sorang nelayan tradisional bernama “Rotte” pada tanggal 30-04-1522, yang berlayar dari Filipina,
dan meneruskan pelayarannya menuju Tanjung Harapan di Afrika Selatan,
balik ke Eropa. Perahu para nelayan Papela,
selalu ke Pulau Pasir (Ashmore Reef) Tanah Adat Hak Ulayat Masyarakat Suku Rote
jauh sebelum kedatangan Antoni Pegafitta
pada tahun 1522, dan jauh sebelum,
Inggris menemukan Benua Australia pada tahun 1788.
Walaupun Keamanan Australia menagkap para nelayan tradisonal Indonesia
khususnya asal Pulau Rote, namun tetap saja mereka mencari biota laut di Pulau
Pasir, oleh karena mereka masih tetap merasa Pulau
Pasir (Ashmore Reef) adalah milik
Masyarakat Suku Rote berabad-abat hingga
saat ini. (Sumber Gambar : Internet).
The
island of Roti (Rote) is located in the Timor
Sea, southwest of Kupang, the capital of
West Timor. It is the southernmost inhabited island of Indonesia.
Administratively it is part of the province of Nusa Tenggara Timor (East Nusa
Tenggara). The capital of Roti is Ba'a, which is
located on the western side of the island. The village of Pepela is located on the northeastern end of Roti and on the southern side of a large sheltered
bay (see Map 2-3). The bay is fringed by sandy beaches and mangroves, while
coral reefs are located in its centre. At the settlement of Pepela, the sandy
beach drops away steeply providing a deep-water anchorage close inshore. The
bay is very attractive and provides year round shelter from the strong easterly
and westerly monsoonal winds.
Dusun
Pepela is officially part of Desa Londalusi, within Kecamatan Rote Timur, whose
capital is Eahun (about 9 km inland from Pepela). In 1994, the total population of Londalusi was 2765 and
the population of Pepela was approximately 800. The ethnic composition of
Pepela is mixed, comprising native Christian Rotinese, descendants of Muslim
Butonese immigrants from other islands (Fox 1998: 127),
Bugis from Southeast Sulawesi, and Bajo from the Tukang Besi Islands. The
economy of the inhabitants of Pepela is based on fishing in the Timor Sea and
associated trade in marine products. Most land is owned by the native Rotinese,
so the Muslim inhabitants are dependent on the sea for their income.
The
native Christian population engages in agricultural
activity, local strand collecting, and inshore fishing in small boats. They are
‘not noted for their open sea sailing traditions’ (Fox 1998: 126). The history
of the settlement of Muslim maritime people at Pepela has not been documented,
but Pepela was traditionally a port for the eastern part of Roti (ibid.: 127).
Roti
was important in the maritime trading network in the nineteenth century
because the Rotinese produced cloth sails made from the gewang fan leaf palm
(Corypha elata) for their own small boats and for sale
(ibid.: 126). A sketch of a Macassan perahu off Raffles Bay in north Australia
that was drawn by Le Breton in 1839 illustrates the
traditional sails produced and traded by the Rotinese (see Macknight
1976, Plate 33). The Rotinese were also renowned for their cakes of
crystallised sugar made from the juice of the lontar
palm (Borassus sp.) (Fox 1977b). Bajo and Pepela residents state that,
in the past, Binongko sailors from the Tukang Besi Islands regularly visited
Pepela to purchase lontar palm sugar, which was then traded throughout the
Indonesian archipelago. This trade continues to the present day, but vessels
from Roti also sail to the Tukang Besi Islands to sell palm sugar directly to
the Bajo.
This kind of
maritime trading activity would account for some Muslim settlement in Pepela,
possibly commencing in the early twentieth century but most probably after the 1920s. Subsequent settlement by other Muslim groups
appears to be the result of fishing activity undertaken in the Timor Sea. Today
the fishing population of Pepela is largely made up of migrants from other
islands or their descendants, though many have intermarried with the local
Rotinese population. The islands of origin most commonly mentioned by Pepela
residents are Sulawesi, Buton, Binongko, Alor, Pantar, Flores and Java. [9]
The
settlement of Pepela stretches inland from the coast for approximately one
kilometre. A pier dominates the harbour and from here a road leads through the
centre of the village up the hill. Most of the settlement is on the western
side, but to the east of the main residential area is an area called Kampung
Baru (New Village), which is a cluster of Bajo houses. Further to the east, and
situated at the base of a ridge, is a coconut plantation and cemetery. The main
Bajo settlement is located away from the main part of the village on Tanjung
Pasir (Sand Spit/Point), called Tanjung for short. There is a handful of small
shops along the main road. There are one or two wells in the village, but most
water is collected in jerry cans from a small lake and well to the west (about
1 km from the pier) and then transported in wooden carts. Houses are
mainly of brick construction although a few are made from thatched palm leaf
panels.
On the other
side of the bay is the Christian settlement of Suoi
(Dusun Suoi, Desa Dai Ama). In recent years some of the males from Suoi have
joined Pepela perahu in fishing activities in the Timor Sea. To the east of
Pepela is a small Rotinese settlement, Dusun Haroe (Desa Hundi Hopo), the last
point that boats pass by before sailing into the Timor Sea.
A
passenger ferry operates daily between Kupang and Pantai Baru, a small mangrove
fringed bay on the northwestern side of Roti. A motor boat also travels twice a
week between Pepela and the village of Namosain in Kupang. The trip takes
around six hours depending on the weather conditions. By Jess
Halliday-Internet.
Map of the islands of East Nusa
Tenggara, including Rote.
Rote
Island (Indonesian: Pulau Rote, also spelled Roti)
is an island
of Indonesia,
part of the East Nusa Tenggara province of the Lesser Sunda Islands. It has an area of 1200 km². It lies 500
km northeast of the Australian coast and 170 km
northeast of the Pulau Pasir (Ashmore and Cartier Islands). The
island is situated to the southwest of the larger island of Timor.
To the north is the Savu Sea, and to the south is the Timor Sea.
To the west is Savu
and Sumba.
The uninhabited Dana Island (also called Ndana), just south of Rote, with an
area of 14 km², is the southernmost island of Indonesia. Along with some other
nearby small islands, such as Ndao, it forms the kabupaten (regency) of Roti Ndao, which in 2005
held an estimated population of 108,615.
The main
town, called Ba'a, is located in the north of the
island. It has a good surf
area in the south around the village of Nembralla. There is a daily ferry to the island from Kupang,
the provincial capital on West Timor,
which brings tourists. Rote has many historical relies
including fine antique Chinese
porcelains, as well as ancient arts and traditions. Many prominent Indonesia
nationalist
leaders were born here. A popular music instrument Sasando, which is made of palm leaves.
According
to legend, this island got its name accidentally when a lost Portuguese
(Antonio Pigafetta) (1522) sailor arrived and asked a farmer where he was. The
surprised farmer, who could not speaking Portuguese, introduced himself,
"Rote".
Rote just off
the southern tip of Timor Island consists of rolling hills,
terraced plantations, and acacia palm, savanna and some forests. The Rotinese depend, like the Savunese, on lontar palm for basic
survival, but also as the supplement their income with fishing and jewelry
making.
Agriculture
is the main form of employment. Fishing is also important, especially in the
eastern village of Papela, which has led to disputes with
Australia over the water between them.[1]
(MOU BOX-Internet)
Sejarah dan Peta Jalur Pelayaran Bahari
Bangsa-Bangsa
Barat Mengelilingi Dunia
Jalur
Pelayaran Antonio Pigafetta (Pelaut Portugis-rombongan Magelhan) mengambil Rute
pelayaran terakhir dari Asia melewati Pelabuhan nelayan Papela Rote Timur Di
NTT menuju Tanjung Harapan di Afrika Selatan balik ke Eropa (30 -04 – 1522).
Inilah Peta Pelayarannya, Sumber : Geoffrey Parker, World IIIustrated History,
Peta 1,
|
Gambar. Jenis
Kapal rombongan Magelhans (Antonio Pigafetta) yang menyinggahi Pelabuhan Papela
Rote Timur – NTT, 30 – 4 - l522 menuju Tanjung Harapan, balik ke Eropa.
Daftar Tahun-tahun Pelayaran Pelaut-pelaut (Eropa) mengelilinggi Dunia. Lihat daftar pelayaran Nomor Urut 14 rombongan Magelhan tahun l519
– 1522. (Sumber : Geoffrey Parker, World Illustrated History, hal.188).
Daftar
Nama-nama orang Barat Pengeliling Dunia sejak Abad ke 15 – Lihat Nomor 14
adalah salah satu rombongan Magelhan yaitu Antonio Pigafetta, tiba di Papela
Pulau Rote 1522 setelah dari Filipina
akan melanjutkan pelayarannya dari Pulau Rote ke Tanjung Harapan di Afrika
Selatan (lihat peta ditandai dengan jalur merah Peta di atas). (Sumber, Geoffrey Parker, The World An Illustrated History,
:1 88).
Gambar : Buku “The World An Illustrated History oleh Geoffrey Parker,
antara lain memuat sejarah berbagai rute pelayaran dunia, dan salah satu
Rombongan Magelhaans, pengeliling dunia
yaitu Antonio Pigafetta yang pada
30-4-l522 menyinggahi Pulau Roti dan Pulau Ndao (NTT) untuk melanjutkan
pelayarannya ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan balik ke Eropah. Lihat jalurnya pada peta di halaman
sebelumnya dan jenis kapal yang dipergunakan.
Dalam
buku ini dimuat pula sejarah “Perjanjian
Kontrak Dagang VOC dengan raja-raja di Pulau Rote pada tahun 1662, 1690, 1700,
1756,.
(Sumber: Buku
milik Benyamin Messakh, Oebatu – TiE –
Kabupaten Rote Ndao NTT.27-7-2006) Foto : Repro oleh : Drs.Simon Arnold Julian
Jacob (penulis).
Foto : Raja
kerajaan Tie-Rote, NTT, yang buta Jerimias Mesakh, sedang memegang tongkat
Jabatan yang bertuliskan nama Raja Poura Messa – bertahun 1720 dengan lambang
VOC sebagai tanda kebesaran – yang
diberikan VOC--Hindia Belanda, , kepada
leluhur Raja Poura Messa.
Sumber : “TIMOR BOOK” 1744 hal.96-103 yang dikutip oleh Geoffrey Parker dalam
bukunya The World an Illustrated History, hal.148, seperti terlihat pada
foto. Ia adalah Raja Rote pertama yang dibabtis menjadi Kristen di Betawi (sekarang Jakarta) l743.
Repro :
Drs.Simon Arnold Julian Jacob.(Penulis).
Let's kill
the boredom and share ideas!!! -FJM-
KELAUTAN INDONESIA: SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN
Posted
on September 15, 2009 by FJM
6 Votes
Undang Undang
No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (“UU Wilayah Negara”) pasal 1 ayat 1
mengatakan “wilayah negara…merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan
pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah
dibawahnya, serta ruang udara diatasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya”, sementara Undang Undang No. 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”) pasal 2 ayat 2 mengatakan “segala
perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau atau bagian pulau
pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia…merupakan
bagian integral dari wilayah daratan
sehingga…berada
di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.
Nyatalah
sudah betapa pentingnya arti kelautan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Tonggak penting rezim hukum laut bagi Indonesia itu sendiri sesungguhnya
terdiri 2 (dua) hal utama, yaitu: Deklarasi Juanda tertanggal 13 Desember 1957
yang melahirkan konsepsi wawasan nusantara dan lahirnya United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai rezim internasional
hukum laut.
Indonesia
merupakan Negara Kepulauan berdasarkan Deklarasi Juanda dan pasal 2 ayat 1 UU
Perairan Indonesia, yang berbatasan secara darat maupun maritim dengan 10 (sepuluh)
negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina,
Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste, dimana ketidakjelasan batas
darat dan maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga tersebut dapat
mengakibatkan konflik yang sepatutnya bisa kita hindari. Artikel inipun dibuat
secara sederhana untuk sedikitnya memahami 2 (dua) isu utama dalam konteks
maritim yang sering menjadi wacana dalam kehidupan kita dengan negara tetangga
yaitu isu Kedaulatan – Hak Berdaulat dan Isu Landas Kontinen.
Kedaulatan
vs. Hak Berdaulat
Kedaulatan
(Sovereignty) merupakan suatu wewenang tertinggi yang dapat dilakukan suatu
negara untuk melaksanakan kekuasaanya terhadap suatu wilayah dan/atau
masyarakatnya. Dalam hal pelaksanaan kedaulatan, suatu negara tidak perlu
meminta ‘izin’ terhadap negara lain untuk menjalankan kekuasaannya. Kedaulatan
ini jika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia meliputi daratan,
perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters),
dan laut territorial (territorial sea).
Sedangkan Hak
berdaulat merupakan kewenangan suatu negara terhadap suatu wilayah tertentu
dimana pelaksanaannya haruslah tunduk pada aturan hukum yang berlaku bagi
masyarakat internasional. Yang artinya adalah, hak berdaulat suatu negara
haruslah merupakan konsensus dan mendapat persetujuan dari negara lain. Hak
berdaulat umumnya mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam dan/atau laut
pada kawasan tertentu yang tidak tercakup dalam wilayah Kedaulatan negara
sebagaimana tersebut diatas.
Untuk dapat
lebih memahami perbedaan diantara keduanya, perlu kiranya untuk mencermati
beberapa contoh berikut:
a. Sengketa
Pulau Pasir (Ashmore Reef) merupakan isu Kedaulatan yang diperdebatkan sebagai
pulau Indonesia dengan alasan pulau tersebut berada lebih dekat dengan
Indonesia. Kecil kemungkinan pulau ini sebagai pulau Indonesia dengan alasan
‘kedekatan’ tersebut, hal ini dipatahkan pihak Australia dengan alasan batas
maritim dan historis dimana Australia memiliki bukti bahwa pulau ini dahulunya
merupakan pulau kepemilikan Inggris yang diserahkan kepada Australia ketika
merdeka.
Namun
berkembang wacana lain bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau jajahan
Belanda dimana Belanda memberlakukan peraturan mengenai pengumpulan teripang di
atas pulau ini. Hal ini merupakan suatu kajian menarik yang ‘bisa’
diperdebatkan Indonesia terhadap klaim kedaulatan Australia atas pulau ini.
b. Kewenangan
untuk mengelola dan menguasai kekayaan alam dan/atau laut yang terdapat dalam
Pulau Miangas dan perairan Indonesia di sekitarnya (laut territorial, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman – lihat pasal 1 ayat 4 UU Perairan Indonesia)
merupakan isu kedaulatan. Hal ini dikarenakan karena klaim kedaulatan atas
pulau Miangas secara hukum internasional adalah mutlak milik Indonesia yang
bersumber pada putusan Mahkamah Arbitrase pada tanggal 14 April 1928 oleh hakim
Max Huber dalam sengketa antara United States dan Belanda (sebagai predecessor
state dari Indonesia dan Filipina) yang memutuskan Pulau Miangas berada dalam
jurisdiksi pemerintah kolonial Belanda. Indonesia dalam hal ini dapat
menggunakan asas Uti Possideti Juris bahwa wilayah kolonial menjadi wilayah
berdaulat Negara tersebut ketika Negara tersebut merdeka dari Negara
kolonial/penjajahnya.
c.Namun,
untuk kekayaan alam dan/atau laut di selatan Pulau Jawa yang terletak lebih
dari 12
mil laut dari garis pangkal merupakan hak berdaulat bagi Indonesia. Untuk
memanfaatkannya, Indonesia tidak dapat melaksanakan hukum nasional dan hak
kedaulatannya disini tanpa mematuhi dan bekerja sama dengan negara lain sesuai
dengan rezim UNCLOS yang berlaku.
Jadi, jika
terjadi perebutan kepemilikan atas pulau dan /atau klaim penguasaan sumber daya
alam dan/atau laut dalam wilayah 12
mil laut dari garis pangkal, maka ini adalah konflik kedaulatan dan apabila
terjadi konflik atas pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan/atau laut di
luar 12 mil
laut dari garis pangkal, maka hal itu merupakan konflik hak berdaulat antar
negara.
Untuk kasus
sipadan ligitan (dimana pendekatan historis dan rantai hak (chain of title)
dipatahkan dengan asas penguasaan effective) merupakan isu kedaulatan yang
berujung kepada hak berdaulat. Apa maksudnya? Indonesia sempat menggunakan
kedua pulau ini sebagai titik pangkal dalam penarikan garis pangkalnya, dimana
ketika Mahkamah Internasional menjatuhkan kepemilikan pulau ini kepada Malaysia
maka berubahlah penetapan titik pangkal dan garis pangkal wilayah Indonesia
(‘isu Kedaulatan’) yang tentunya berakibat pula pada berubahnya batas maritim
kedua negara tersebut atas Laut Sulawesi.
Penentuan
batas maritim ini hingga sekarang masih dalam proses negosiasi antara Indonesia
dan Malaysia. Nah, belum selesainya penentuan batas maritim inilah yang
mempunyai implikasi langsung terhadap sengketa Blok Ambalat yang merupakan
kawasan dasar laut (sea bed) yang kaya akan sumber daya alam dan/atau laut yang
berada diluar wilayah 12 mil laut dari masing masing garis pangkal Indonesia
dan Malaysia (‘ isu Hak Berdaulat’ dimana Ambalat terletak ± 60 mil laut kearah
timur dari garis pangkal pulau Kalimantan). Jadi secara singkat, isu Sipadan
Ligitan yang merupakan isu Kedaulatan bersinggungan dengan isu Ambalat yang
merupakan isu Hak Berdaulat, sehingga, kuranglah tepat apabila kita
mengkampanyekan ‘Perang’ terhadap Malaysia karena isu Ambalat BUKANLAH
KEDAULATAN Indonesia.
Isu
Kedaulatan dan Hak Berdaulat lain yang patut menjadi perhatian kita adalah isu
penentuan batas darat Indonesia-Timor Leste yang belum selesai dan isu Celah
Timor antara Timor Leste- Australia dimana untuk isu yang terakhir (Celah
Timor), adalah baik kiranya untuk kita beri sedikit perhatian ekstra agar
‘saudara’ kita, Timor Leste, tidak ‘terlalu’ terzalimi oleh Australia).
Landas
Kontinen
Pasal 1 ayat
9 UU Wilayah Negara kurang lebih mengatakan landas kontinen adalah wilayah
dasar laut dan tanah dibawahnya dengan jarak 200 mil
laut dari garis pangkal atau paling jauh 350 mil laut dari garis
pangkal.
Perlu
dicermati lebih lanjut, di dalam Pasal 76 UNCLOS ditegaskan bahwa landas
kontinen adalah ‘hanya’ berjarak 200
mil laut dari garis pangkal, sedangkan
350 mil laut dari
garis pangkal adalah batas terluar landas kontinen (Extended Continental Shelf
atau “ECS”). Mengapa ini menarik? Hal ini menarik karena 350 mil laut
merupakan hak yang dapat di klaim oleh negara atas landas kontinennya sepanjang
memenuhi beberapa kriteria tertentu.
Kriteria
tersebut terbagi atas criteria yang membolehkan (formulae) dan criteria yang
membatasi (constrainst).
Kriteria yang
membolehkan adalah:
a. batas
terluar ECS adalah titik terluar landas kontinen dengan ketebalan batu sedimen 1% dari
ketebalan sedimen kaki lereng kontinen yang merupakan titik kelanjutan garis
landas kontinen 200
mil laut dari garis pangkal. Garis ini biasa disebut dengan Gardiner Line.
b. Batas
terluar ECS dapat ditentukan dengan menarik garis berjarak 60 mil laut dari
kaki lereng kontinen (hedberg line) ke laut lepas (high sea),
sedangkan
criteria yang membatasi adalah:
a. Batas
terluar ECS tidak boleh melebihi 350 mil
laut dari garis pangkal.
b. Batas terluar ECS tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman 2500 meter isobaths.
b. Batas terluar ECS tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman 2500 meter isobaths.
Kemudian,
untuk mengajukan hak atas ECS ini dapat dilakukan dengan mengajukan klaim yang
telah memenuhi criteria tersebut diatas kepada Commission on the Limits of Continental
Shelf (“CLCS”) malalui Sekretaris Jenderal PBB dengan deadline untuk claim
submission tersebut adalah paling lambat 13 Mei 2009.
Masalah ECS
ini menjadi menarik karena Indonesia memiliki 3
(tiga) potensi landas kontinen yang bisa kita ajukan batas terluarnya dari 200 mil
laut menjadi 350 mil laut dari garis pangkal, yaitu di
sebelah barat sumatera, di sebelah selatan pulau jawa, dan di sebelah utara
Papua. Dalam hal ini, Indonesia sudah mengajukan claim ECS tersebut pada tahun
2008 dan kini tengah menunggu review CLCS. Catatan kaki yang juga menjadi
perhatian kita adalah, selain Indonesia, ada beberapa negara lain yang turut
mengajukan ECS yaitu: Rusia, Perancis, Brazilia, Australia, Irlandia, Selandia
Baru, Norwegia
Kisah
Klasik Untuk Masa Depan?
Isu isu
tersebut diatas adalah sebenarnya merupakan kisah klasik perjuangan diplomasi
Indonesia yang harus terus menerus menjadi perhatian kita. Terdapat 2 (dua)
kesimpulan sederhana atas hal tersebut yaitu:
a. Negara
kepulauan, maritim, maupun negara pantai dengan interaksi hubungan
internasional dan politik luar negerinya dengan negara lain sangatlah penting
untuk memiliki batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas dan baik. Hal ini
akan membantu dalam memudahkan isu isu sensitive seperti isu keamanan, akses
dan pengelolaan sumber daya laut, keseimbangan antara hak dan kewajiban antar
negara yang bersangkutan.
b.
Delimitasi/kejelasan batas maritim dapat menghilangkan potensi konflik antar
negara negara bertetangga, sehingga, dalam hal ini, Indonesia sebagai motor
penggerak dalam pembentukan ASEAN Community harus memberi perhatian lebih untuk
menciptaan kejelasan batas maritim dengan negara tetangga sebagai suatu
‘situasi prakondisi’ demi terwujudnya ASEAN Community yang damai, sejahtera,
bersatu, dan saling menghormati kedaulatan, hak berdaulat, dan batas “maksimal”
landas kontinen antar negara anggotanya sebagai suatu kesatuan komunitas yang
selaras dan harmoni.
Sungguh,
kelautan Indonesia adalah kisah klasik untuk masa depan…yang lebih baik…
PS: Kritik
dan masukan dibuka untuk pemahaman Hukum Laut yang lebih baik…..untuk
Indonesia!!
-FJM-
MONDAY, SEPTEMBER
6, 2010
Celah Timor: Apakah Itu Mimpi di
Siang Bolong
Oleh P Gregor
Neonbasu SVD, Ph.D
Ketua Komisi
Sosial Budaya Dewan Riset Daerah NTT
Christine Mason, seorang penasehat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Bond di wilayah Robina, Gold Coast - Queensland (Brisbane) memberi apresiasi yang sangat manusiawi terhadap melodi nyanyian sunyi di Laut Timor. Dia yang alumni The Australian National University (ANU) Canberra ini siap berjalan bersama anggota koor di Timor Barat untuk secara cerdas mendengar, tidak saja desiran ombak Laut Timor yang semakin mengganas, melainkan terlebih melerai dendang sunyi senyap nasib para penyanyi yang dengan isak-tangis berteriak dari hempasan dan amukan Laut Timor.
Di Mana
Jendela Persoalan Bilakah persoalan sekitar Celah Timor akan berakhir? Ia bagai
benang kusut, oleh karena argumentasi politik kita yang tidak terkoordinir
secara baik. Koordinasi kita tidak saja sebatas data, melainkan komitmen yang
murni dan perhatian jujur bagi penderitaan masyarakat kecil. Kapankah Gugusan
Pulau Pasir kembali ke pemilik aseli?
Pertanyaan
ini kini dibedah dalam perspektif yang multi-dimensi. Untuk kita Indonesia,
tidak saja dibutuhkan keberanian berpolitik, melainkan secara perkasa
meyakinkan lawan bicara untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan dengan itu
mereka memiliki respek yang tulus akan hak-hak dasar orang lain untuk hidup
secara lebih beradab. Informasi yang lengkap mengenai di mana dan siapa pemilik
sah Gugusan Pulau Pasir dan seperti apakah persoalan Laut Timor dan celah
Timor, anda bisa menemukan informasi lengkap pada terbitan-terbitan yang
disebut dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Dua terbitan
dalam bahasa Indonesia: Skandal Laut Timor (STL 2008)
dan Perairan Sengketa, Batas Tapal Batas dan Hak Milik Laut
Timor (2005).
Buku yang
kedua merupakan terjemahan dari Troubled Waters, Bonders, boundaries and
possession in the Timor Sea karya Ruth Balint dari University of Sydney.
Karya yang sangat menyentuh persoalan laut Timor ini kemudian diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh Prof. M. A. Noach dan Dr Y. L. Henuk. Berbagai
rahasia dari nyanyian sunyi yang didendang selama ini, akarnya dapat ditemukan
dalam karya-karya ini. Dua karya akademik ini mengambil saripati dari beberapa
penulis luar negeri mengenai harta karun di laur Timor. Mari kita berlangkah ke
depan untuk melihat kandungan Gugusan Pulau Pasir, yang ternyata milik
Indonesia.
Secara
tradisional para nelayan Indonesia telah menempati pulau karang ini semenjak
abad-abad awal temuan kawasan timur Indonesia ke arah selatan dan tenggara. Dan
inilah ladang laut bagipara nelayan tradisional Nusantara. Gugusan Pulau Pasir
disebut Ashmore Reef – Karang Ashmore – sesuai nama penemu pulau itu Kapten
Samuel Ashmore dari Divisi Hibernia (Inggeris) pada tahun 1811, yang pada tahun 1938 dimasukkan dalam wilayah
hukum administrasi Australia Utara (Northern Territory, NT), dan selanjutnya
tahun 1978 NT diberi kuasa penuh untuk memiliki
kawasan tersebut.
Kemudian
dibentuk Territory External bagi gugusan pulau-pulau itu menjadi Territory
Ashmore dan Territory Cartier Island yang langsung dikontrol oleh Pemerintahan
Federal Australia (Campbell and Wilson 1993:119, Balint 2005).
Seawalnya
sesuai catatan yang diabadikan Crawford (1969) dan Stacey (1999), pulau-pulau
karang itu belum merupakan milik Australia. Baru mulai 1 Januari 1901 ketika Australia membentuk Negara Federal maka
secara faktual semua pulau karang yang terpencar di Laut Timor menjadi milik
Australia.
Prof Mia Noach mengutip Marston (1987), ketika mengatakan bahwa peran Inggeris mulai nampak di pulau-pulau karang ini saat ia mulai merasa tertantang oleh Perancis di Vietnam Selatan, terhadap Spratly atau Storm Island di Laut Cina Selatan, dan Jepang yang ingin memperluas wilayahnya ke arah yang sama. Peristiwa ini mendorong Inggeris untuk segera mendata semua hasil koleksi pulau-pulaunya di seluruh dunia termasuk Gugusan Pulau Pasir yang dimasukkan ke dalam Persemakmuran Inggeris.
Prof Mia Noach mengutip Marston (1987), ketika mengatakan bahwa peran Inggeris mulai nampak di pulau-pulau karang ini saat ia mulai merasa tertantang oleh Perancis di Vietnam Selatan, terhadap Spratly atau Storm Island di Laut Cina Selatan, dan Jepang yang ingin memperluas wilayahnya ke arah yang sama. Peristiwa ini mendorong Inggeris untuk segera mendata semua hasil koleksi pulau-pulaunya di seluruh dunia termasuk Gugusan Pulau Pasir yang dimasukkan ke dalam Persemakmuran Inggeris.
Seperti
Belanda yang menjajah Indonesia, Inggeris yang menjajah Australia dan New
Zealand tak pernah peduli dengan penduduk Aseli Aborigin (Australia) dan Maori
(Selandia Baru). Inggeris dan Australia tidak pernah perduli akan Orang
Indonesia yang sudah ratusan tahun menetap di Gugusan Pulau Pasir dan mencari
nafkah di sana (bdk tulisan kami sebelumnya “Gugusan Pulau Pasir: Riwayatmu
Doeloe” (2/9).
Memang
sedari doeloe kala semenjak abad akhir abad 13, lalu abad 14-15 sampai tahun 1972
dan 1974 kawasan itu ditempati nelayan tradisional Indonesia. Baru kemudian
nelayan Indonesia (Rote) mulai diterjang keluar dari Laut Timor dan dicap
penangkap ikan liar (illegal fishing) hanya karena Agreed Seabed Boundary yang
telah ditanda-tangani Australia dan Indonesia pada tahun 1972 dan tahun 1974.
Banyak
nelayan yang sudah gugur sebagai pahlawan di Laut Timor oleh karena mereka
ditangkap, diadili dan bahkan dibunuh. Yang lain tewas oleh karena dilarang
menggunakan alat penangkap ikan modern dan mereka hanya mengandalkan alat
penangkap ikan tradisional.
Tidak ada orang yang rela memperhatikan nasib para nelayan tradisional, kecuali membiarkan penjajahan nilai-nilai kemanusiaan terus berlangsung hanya karena mentaati sebuah perjanjian–yang penuh rekayasa politis–dan jelas-jelas salah.
Akankah suatu
waktu yang baik bakal terbit di ufuk kehidupan, setelah sebuah sejarah
dibengkokkan untuk memenuhi rasa haus politik untuk merampas hak orang lain
yang tidak berdaya? Kita tunggu sejarah baru, namanya sejarah kemanusiaan!
Timor Gap (Celah Timor)
Perjanjian
Celah Timor yang dibuat secara bilateral antara Indonesia dan Australia serta
ditanda tangani 11 Desember 1989 itu merupakan sebuah kesepakatan mengenai
potensi minyak dan gas di Laut Timor. Wilayah minyak itu disebut Timor Gap yang
dibagi atas tiga Zona yang dinamakan Zona A (tengah), Zona B dekat pantai utara
Australia, dan Zona C dekat pantai selatan Pulau Timor.
Menurut
beberapa pakar, antara lain Prof Herman Johannes (alm.) yang mantan Rektor UGM,
pembagian zona-zona itu tidak arif, jauh dari realitas dan kondisi di laut
Timor berkenaan dengan aturan, baik internasional, regional, nasional dan
lokal. Pembagian tersebut justeru lebih menguntungkan Australia, dan itu semata
karena kelalaian politik dari pihak Indonesia, atau tersebab oleh karena
Indonesia meremehkan potensi laut. Padahal berkali-kali Indonesia selalu
mengumandangkan ambisinya untuk mengarahkan dinamika pembangunan ke arah laut
dengan kata-kata pilihan “negara kepulauan”.
Indonesia
kebobolan dengan Agreed Seabed Boundary (1972) di mana garis batas
mestinya mengikuti Median Line (garis tengah) dan bukan mengikuti batas yang
dihitung mulai dari Gugusan Pulau Pasir (GPP) dan selatan Pulau Rote. Mengapa
harus digunakan garis tengah, oleh karena menurut Konvensi Hukum Laut PBB
(UNCLOS) bagi dua Negara yang terletak di atas pelana satu kontinental maka garis
tengah itulah yang harus digunakan.
Kecerdikan
Australia untuk mengatakan bahwa Laut Timor dan Australia tidak terlatak di
atas sebuah kontinental oleh karena dipisahkan oleh Palung Timor. Sikap
Australia menyalahi fakta-fakta geologis, geomorfologis di Laut Timor serta
prinsip-prinsip Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the
Law of the Sea, UNCLOS) yang terakhir tahun 1982.
Antara
lain data geologi justeru menggarisbawahi Pulau Timor dan benua Australia
berada dalam satu landas kontinen yang disebut landas Kontinen Australia, yang
tidak saja meliputi Pulau Timor melainkan seluruh kawasan Papua dan sekitarnya.
Nampaknya ada
perbedaan perspektif yang sangat tajam antara pihak Indonesia dan Australia
dalam soal ini. Australia tetap pada posisi bahwa Palung Timor inilah yang
memisahkan Pulau Timor dan Benua Australia sehingga keduanya berada pada
lempeng (kontinen) berbeda. Bahkan Palung Timor dilihat sebagai sebuah parit
yang seakan memisahkan Pulau Timor pada lempeng yang satu dan benua Australia
pada lempeng yang lainnya.
Pasal 6.1
Konvensi Jenewa 1958 mengenai Landas Kontinen berbunyi: Penentuan batas-batas
internasional, wilayah dari dua atau lebih negara yang berdekatan berada di
Landas Kontinen yang sama, pesisirnya berhadapan satu sama lain, maka
batas-batas pada Landas Kontinen yang menjadi bagian dari Negara-negara itu
ditentukan melalui persetujuan antara mereka.
Jika
tidak ada persetujuan maka kecuali kalau batas lain bisa dijustifikasi atau
keadaan-keadaan tertentu, garis perbatasan adalah garis median, setiap titik
pada garis itu sama jauhnya dari titik terdekat pada garis dasar dari mana
lebar laut wilayah dari setiap Negara diukur. (SLT 2008: 29-33).
Karena
itu sudah seharusnya perjanjian RI-Australia yang dibuat pada tahun 1972 itu
dikaji ulang. Sekali lagi, identitas geologis Palung Timor (Timor Through)
sebagai garis pemisah kontinen Timor dan kontinen Australia tidak dapat
dibuktikan secara tekhnis, yang menurut mantan Menlu RI Dr Mochtar
Kusumaatmadja, Australia tidak jujur mengatakan hal yang sebenarnya (STL:41).
Perlu Perjanjian Trilateral dan Koordinasi
Secara hukum,
ketika diterbitkannya TAP MPR V/MPR 1999 yang isinya menerima hasil jajak
Pendapat di Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, sekaligus mencabut TAP
MPR VI/MPR/1978 tentang Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kemudian berdasarkan Resolusi Dewan kemanan PBB No 1272
tanggal 25 Oktober 1999, maka Timor Timur berada di bawah administrasi PBB
(United Nations Transitional Administration on East Timor – UNTAET).
Oleh karena
itu secara iuridis kedaulatan dan kewenangan Republik Indonesia atas Timor
Timur dianggap telah berakhir.
Semenjak
saat itu, hilanglah segala-gala termasuk harapan untuk melobi secara bilateral
terhadap kekayaan di Laut Timor. Ternyata masih ada celah, dan masih terbuka
lorong sangat luas bagi Indonesia. Posisi Laut Timor berdasarkan kajian
kontinental akan harus dimajukan lagi dalam meja perundingan, dan kali ini
tidak saja antar dua Negara, melainkan tiga Negara: Indonesia, Timor Leste dan
Australia.
Bagai
pokok sebuah pohon yang memiliki ranting, atau sebuah sumber air yang memberi
air ke parit-parit yang meneruskan aliran air tersebut, maka potensi minyak
yang berada di Laut Timor juga memiliki jejaringnya yang sangat istimewa: yang
satu ke Masin Lulik (Belu Selatan) dan Niola (TTU) dan yang lainnya ke Laclubar
dan Ailiambata di Viqueque (Timor Leste). Ada beberapa palungan di sekitar
Timor Barat yang sedang dieksplorasi. Kita tunggu saja, waktu akan terpenuhi,
dan sumber minyak itu akan kembali mengalir ke kawasan penduduk yang secara
alamiah adalah pemiliknya.
Jika
tidak sampai ada kesepakatan, dalam arti tidak ada titik temu untuk merevisi
kembali perjanjian-perjanjian tahun 1972, 1974, 1999, maka secara hukum
Indonesia yang dirugikan itu dapat mengambil inisiatif untuk memprakarsai agar
diadakannya pertemuan trilateral. Pertemuan ini dapat diadakan dibawah
pengawasan PBB untuk mencari kebenaran. Sesuai sumber yang dipublikasi selama
ini – baik luar maupun dalam negeri – maka yang berhak mengolah kandungan Laut
Timor adalah Indonesia dan Timor Leste. Itu pun kalau dua hal berikut
disepakati:
(1)
posisi Gugusan Pulau Pasir, itu harus menjadi milik Indonesia, dan
(2)
keberadaan laut Timor dan Australia hanya pada satu lempeng.
Pertama,
usaha untuk mengklaim kepemilikan Gugusan Pulau Pasir hanya bisa berangkat dari
pembuktian sejarah, kebiasaan leluhur nenek moyang, dan mencari dokumentasi
Belanda (Indonesia) dan Inggeris (Australia dan New Zealand). Beberapa penulis
dan peneliti Australia sendiri sudah dengan jujur dan teruka membuktikannya
bahwa pulau itu sudah didiami oleh para nelayan dari Nusantara, yang kemudian
diikuti dengan bukti-bukti ekologi di kawasan itu.
Kedua,
argumentasi Australia terpusat pada analisis mengenai identifikasi yang keliru
mengenai keberadaan Palung Timor yang bukan sebuah parit raksasa yang
memisahkan lempeng Laut Timor dan lempeng Benua Australia secara terpisah.
Palung Timor merupakan sebuah belahan biasa –bagai kubangan– yang berada di
atas lempengan besar, yang itulah kontinen Australia yang di atasnya terletak
Pulau Timor dan Benua Australia.
Dari
kecenderungan aliran minyak yang ada di atas daratan, dan berdasarkan
bukti-bukti di Timor Barat (Masin Lulik, Niola, Kolbano) dan Timor Timur
(Laclubar, Ailiambata) maka hampir pasti bahwa Australia tidak mempunyai
kepentingan dalam proses ekspolitasi potensi minyak di Celah Timor. Tergantung
sekarang pembuktian ilmiah dari proses penelitian-penelitian geologik yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Mestinya
sementara menjadi ajang diskusi dan perdebatan seperti ini, maka sangat bagus
apabila pelbagai kegiatan di sekitar Laut Timor dihentikan sementara, sampai
tercapainya bukti-bukti yang dapat diterima oleh pelbagai pihak secara luas.
Para peneliti yang terlibat di dalam proses pembuktian itu juga harus memiliki
komitmen untuk mencintai ilmu dan setia menjunjung tinggi kebenaran.
Dua
tokoh terkemuka yang sangat kesal dengan berbagai pertemuan bilateral mengenai
Laut Timor adalah Prof Herman Johannes dan mantan Menlu RI Dr Mochtar
Kusumaatmadja. Tentu ada jutaan protes mengenai kebenaran yang diutak-atik
bertepatan dengan mengidentifikasi kepemilikan harta karun di Celah Timor.
George
J. Aditjondro, yang tidak saja berkecimpung di bidang politik, melainkan
pemerhati masyarakat kecil pernah menulis dengan sikap kritis mengenai Laut
Timor ketika ia menulis Tangan-Tangan Berlumuran Minyak. Ia berhasil membagi
sejarah eksplorasi minyak di Laut Timor (darat dan laut sekaligus) dengan
membuka tabir harta karun yang tidak tertandingi di peringkat dunia.
Pertama,
sekitar tahun 1861 Alfred Russel Wallace bertemu seorang insinyur pertambangan
berkebangsaan Inggeris yang melakukan eksplorasi di Timor Portugis. Selain itu
Dr Sellhorst yang menulis tentang laporan ekspedisi geologi di Pulau Timor,
yang kemudian disambung dengan W.A. Duff yang memimpin pengeboran minyak di
Laclubar dan Viqueque di Timor Leste. Tahapan awal ini beakhir pada masa
sebelum Perang Dunia II, di mana terjadi silat politik dengan mengatas-namai
potensi minyak dan gas bumi (akan dilanjutlan dalam tulisan-tulisan mendatang
pada media ini).
Kedua,
masa setelah Perang Dunia II sampai Perjanjian Celah Timor yang masih
meninggalkan persoalan hingga hari ini. Catatan menarik yang diberi Aditjondro
adalah hubungan negosiasi minyak dan gas bumi dengan kepentingan politik di
peringkat nasional. Secara sangat cerdik, Australia menghadang itikad politis
Jepang yang sesungguhnya merasa tertarik di kawasan Timor, di mana kebijakan
Negara Matahari Terbit itu atas Pasifik Barat dimasukan ke dalam Tai Nan’yo
Hosaku Kenkyu Iinkai (Komite Studi Kebijakan untuk daerah Laut Selatan)
semenjak tahun 1935.
Komentar yang
dapat dipetik dari berbagai catatan mengenai Celah Timor, betapa Palung Timor
menyimpan banyak potensi minyak dan gas bumi. Jarak waktu antara PD I dan PD
II, dan terlebih setelah PD II, banyak perusahaan minyak dari berbagai Negara
yang berebutan mengadu nasib untuk mencari minyak dan gas bumi di kawasan
tersebut.
Sekarang,
pertanyaan masih tertinggal di benak kita: masih mungkinkah kita meng-klaim
kembali Gugusan Pulau Pasir dan merevisi kembali Perjanjian Celah Timor dengan
mendobrak kapling ladang minyak di Celah Timor atas Zona A, B dan C? Memang
usaha tersebut bukan suatu mimpi di siang bolong, jika kita memahami struktur
persoalan Celah Timor semenjak awal. Memang, tentang Celah Timor, itu bukanya
mimpi hampa, tapi usaha yang cukup beralasan. Persoalan kita adalah membangun
komitmen untuk menyamakan persepsi.
Sumber: Timor
Expres, 7 September 2010
POSTED
BY ANSEL DERI, JURNALIS DAN PENULIS LEPAS AT 3:40 AM
DASAR PERJUANGAN
“CELAH TIMOR (TIMOR GAP) & PULAU PASIR (ASHMORE REEF)” SETELAH TIMOR TIMUR LEPAS DARI RI
A.Mengenai Traktat Celah Timor (Timor Gap), sesuai dengan norma
hukum internasional dan hukum nasional (Pasal 24 UU 24/2000 tentang Perjanjian
Internasional),
apabila obyek dari suatu perjanjian berubah, maka
perubahan
tersebut dapat dijadikan dasar oleh kedua pihak, untuk
menghentikan
perjanjian melalui prosedur yang disepakati, sesuai praktek dan kelaziman yang
berlaku dalam penghentian sebuah perjanjian
internasional.
Dalam
hubungannya dengan Celah Timor, obyek perjanjiannya bahkan telah tidak ada lagi
sehingga berakhirnya Traktat Celah Timor yang ditandatangani pada tahun 1989
merupakan konsekuensi yuridis atas perubahan status Timor-Timur (Timtim) yang
tidak lagi menjadi bagian dari wilayah NKRI menyusul hasil jajak pendapat 31
Agustus 1999.
Sebagai
konsekuensi yuridis, MPR-RI telah melakukan tindak lanjut hukum, guna
mengakhiri kedaulatan NKRI atas Timtim serta kewenangan pengelolaan Pemerintah
RI terhadap Celah Timor, yaitu dengan TAP MPR No.V/MPR/1999 yang menerima hasil
jajak pendapat dan sekaligus mencabut TAP MPR No.VI/MPR/1976 tentang integrasi
Timtim ke dalam wilayah RI. Atas dasar itu, Pemerintah RI melalui Menteri Luar
Negeri telah melakukan pertukaran surat (exchange of letters) dengan Menteri
Luar Negeri Australia tentang pengakhiran Traktat Celah Timor, yang mulai
berlaku sejak tanggal 1 Juni 2000. Sementara itu Dewan Keamanan PBB pada
tanggal 25 Oktober 1999 juga telah mengeluarkan resolusi No.1272 yang
menetapkan Timtim sebagai wilayah di bawah administrasi PBB.
Berdasarkan
ini maka, semua MOU RI-Australia dalam bentuk
apapun yang pernah disetujui sebelumnya,
“Batal Dengan Sendirinya” dan memulai perundingan baru lagi.
B.
Faktor lainnya yang dapat menjadi celah untuk mempermasalahkan kembali Pulau
Pasir adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia dan menjadi sebuah negara
berdiri sendiri. Dalam hukum internasional berlaku asas rebus sic stantibus
yang berarti, jika ada perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri salah
satu pihak yang menandatangani perjanjian, maka pihak tersebut dapat menarik
diri dari ikatan perjanjian tersebut.
"Lepasnya Timor Timur dari Indonesia merupakan kenyataan adanya
perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri dari salah satu pihak."
Dengan adanya berbagai fakta historis dan fakta hukum tersebut, menurut Chandra
Motik, sudah selayaknya jika perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai
Pulau Pasir, patut segera dibatalkan.
Sebutan Wilayah Perbatasan NKRI Yang Paling
Lengkap
Dari “PULAU
RONDO” Di Pulau We Propinsi Nanggro Aceh, Sampai ke “MERAUKE” Di Papua Barat Dan Dari “PULAU MIANGAS” Di Provinsi Sulawesi Utara,
Sampai “PULAU PASIR (Kabupaten Rote
Ndao)” di Provinsi NTT
ATAU DARI PULAU RONDO
SAMPAI MARAUKE DAN DARI PULAU MIANGAS SAMPAI
ke PULAU PASIR DI KABUPATEN ROTE NDAO
Sedangkan
pada umumnya hingga saat ini, masyarakat Indonesia termasuk Pimpinan-Pimpinan
Negara baik di Pusat maupun di Daerah hanya mengenal Batas bagian “Barat” dan bagian “Timur”
Wilayah Indonesia dengan sebutan : Dari “SABANG”
sampai “MERAUKE” saja dan Batas Utara dan
Selatan Tidak Pernah disebut, karena tidak pernah diketahui.
Jika
sebutannya hanya Dari SABANG sampai
MERAUKE saja, maka pulau perbatasan
paling Utara NKRI yaitu Pulau Miangas dapat diklaim oleh Fhilipina, sebagai miliknya, sedang pulau perbatasan
paling Selatan yaitu Pulau Pasir di Kabupaten Rote Ndao, diklaim Australia
sebagai
teritorialnmya.
Karena
hingga kini kurang dipopulerkan batas Utara dan batas Selatannya, maka Filipina hingga saat ini tetap mengklain
Pulau Miangas sebagai miliknya, sedang Pulau Pasir di klaim Australia sebagai teritorialnya.
Ini
membuktikan bahwa bukan saja rakyat awam buta peta NKRI tetapi juga para
pejabat negarapun Buta Peta dan Buta Sejarah Perbatasan Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Kalau
dari dulu setelah Kemerdekaan RI sebutan
perbatasan .lengkap seperti yang kami sebutkan di atas, maka hingga kini
tidak ada masalah perbatasan Pulau Pasir
dengan Australia.
.Pada
saat kampanye Pilpres dan Wapres, 2009-2014,
Sebutan Batas Wilayah Indonesia dalam sebuah nyanyian kampanye SBY,
untuk pertama kalinya menyebut Batas Wilayah Indonesia yaitu : Dari “”SABANG”
sampai “MERAUKE” dan dari “PULAU MIANGGAS” sampai “PULAU ROTE”.
Namun
sebutan batas Selatannyapun masih keliru, karena masih ada wilayah/pulau
Kabupaten Rote Ndao paling selatannya,
masih ada pulau-puilau kecil, selain Pulau Ndana terdapat satu gugusan
pulau paling selatan adalah “PULAU PASIR /Ashmore Reef” yang hingga kini masih
sedang giat-giatnya diperjuangkan untuk pengembaliannya dari Australia, dan
statusnya sebagai “PULAU SENGKETA.
Tetapi
sebutan yang paling benar adalah seperti yang tertera di atas perlu
disosioalisasikan kepada semua anak Bangsa.. (Penulis).
Nusa Tenggara Timur,
Celah Timor dan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) Juga Rawan Sengketa
Pemerintah
pusat diminta serius menangani masalah garis batas maritim di Celah Timor dan
Pulau Pasir karena akan kawasan tersebut rawan timbulkan sengketa. Karena itu
perlu ada pembicaraan trilateral antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di
perairan Celah Timor serta meratifikasi perjanjian kerjasama eksplorasi minyak
dan gas bumi di tiga zona eksplorasi di wilayah itu.
Desakan ini
disampaikan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni, melalui siaran
pers, Selasa (8/3). Yayasan ini, tidak ingin masalah Celah Timor dan Pulau
Pasir menjadi sengketa seperti Ambalat, atau bahkan berhasil diklaim negara
lain, seperti Sipadan-Ligitan.
Menurut
Yayasan, pemerintah pusat terkesan tidak memperdulikan wilayah maritim laut di
Celah Timor yang kaya akan sumber daya alam dan seolah-olah menyerah kepada
Australia dan Timor Leste untuk mengambil alih sebagian dari wilayah laut
Indonesia itu. "Mengapa dalam kasus Ambalat pemerintah mengerahkan
pasukan, tapi Celah Timor yang sudah lama dibicarakan, didiamkan dan
seolah-olah tidak ada persoalan disana," katanya.
Karena itu,
Komisi I DPR RI dan pemerintah harus segera melakukan berbagai upaya diplomasi
maupun jalur hukum untuk mendapatkan kembali hak bangsa yang telah dicaplok
oleh Australia dan Timor Leste.
Klaim atas
Celah Timor dan gugusan Pulau Pasir serta sikap diam Indonesia, lanjut Tanoni,
bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention on
the Law in Sea atau UNCLOS 1982). Akibatnya, 85 persen wilayah laut Timor
Indonesia menjadi bagian Australia.
"Penetapan hak kepemilikan atas Celah
Timor yang berlaku saat ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum
karena dalam UNCLOS 1982 dikatakan bila jarak dua negara kurang dari 400 mil
laut maka yang digunakan adalah median line. Dalam kenyataanya jarak antara
Australia, Timor Leste dan Indonesia kurang dari 400 mil sehingga sepatutnya
Indonesia harus mendapat hak yang sama di Laut Timor," lanjutnya. Jems de Fortuna
Selasa, 08 Maret 2005 | 15:36 WIB
TEMPO Interaktif, Kupang:
SENGKETA
PULAU PASIR
RABU, 17 SEP
2008, | 602
Tuntutan Kepemilikan Pulau Pasir
(Ashmoro Reef)
Oleh : Yanto
M.P. Ekon, SH, M.Hum
Akhir-akhir
ini Pemerintah Australia sering melakukan penangkapan terhadap para nelayan
Indonesia karena mereka dituduh melakukan penangkapan ikan secara ilegal
(illegal fishing) di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir yang
merupakan...Pulau Pasir yang oleh orang Rote disebut ”Nusa Solokaek“ merupakan
salah satu pulau yang terletak di sebelah Selatan Pulau Rote dengan jarak
kurang lebih 78 mil laut. Pulau ini telah dijadikan tempat untuk mencari nafkah
oleh nelayan Indonesia, khususnya asal Rote kurang lebih sejak 500-an tahun
yang lalu, bahkan terdapat pula orang Rote yang meninggal dan dikuburkan di
pulau tersebut. Namun akhir-akhir ini Pemerintah Australia sering
melakukan penangkapan terhadap para nelayan Indonesia karena mereka dituduh
melakukan penangkapan ikan secra ilegal (illegal fishing) di wilayah perairan
sekitar Pulau Pasir yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan
Australia.
Harian Timor
Express 12 Juli 2006 memberitakan bahwa nelayan Indonesia khususnya yang
berasal dari NTT yang tertangkap melakukan penangkapan ikan secara ilegal di
perairan laut Australia dan telah dideportasi dari Darwin, melalui Bandara El
Tari Kupang selama tahun 2006 telah berjumlah 1414 orang. Jumlah ini
bukanlah jumlah yang sedikit bahkan jika dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya, nelayan Indonesia yang ditangkap oleh Pemerintah Australia
menunjukkan angka yang cenderung meningkat.
Kondisi ini
telah mendorong tokoh-tokoh intelektual NTT untuk memperjuangkan hak-hak
nelayan Indonesia dalam hal ini melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan
sekitar Pulau Pasir.
Salah satu
tokoh intelektual tersebut tidak lain adalah Dr. Yusuf Leonard Henuk yang
memperjuangkan hak nelayan Indonesia dalam melakukan penangkapan ikan di
wilayah perairan sekitar Pulau Pasir dengan cara menerbitkan semua tulisannya
di media cetak dan media internet terkait Pulau Pasir dalam buku berjudul:
”Pulau Pasir: Nusa Impian Orang Rote – Pasir Island: Dream Island of Rotenese
People“ (ISBN: 978-979-16445-7-0).
Penulis
ditunjuk untuk membedah buku ini dari aspek hukum internasional dalam acara
bedah buku ini yang telah dilaksanakan di Badan Perpustakaan Provinsi NTT pada
tanggal 15 September 2008 (Yusuf L. Henuk: “Tesis, Buku, Laut Timor dan Pulau
Pasir“, Timor Express, 5 Agustus 2008: 4; “Ada Bukti Historis di Pulau Pasir –
Bedah Buku: “Pulau Pasir: Nusa Impian Orang Rote”,
Timor
Express, Selasa, 16 September 2008: 1 & 7).
Penerapan
kedaulatan Australia atas Pulau Pasir sampai dengan sekarang ini tidak pernah
dipermasalahkan oleh Pemerintah RI, bahkan RI secara terang-terangan mengakui
Pulau Pasir berada dalam kedaulatan atau milik Australia melalui pembentukan
dan pelaksanaan MoU 1974 tentang penangkapan ikan oleh nelayan tradisional
Indonesia di zona perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia.
Pihak yang selalu mempermasalahkkedaulatan/kepemilikan Australia atas Pulau
Pasir antara lain Komite Nasional Pulau Pasir (KNPP) dan Kelompok Kerja (Pokja)
Celah Timor dan Pulau Pasir, termasuk di dalamnya adalah seorang pakar ilmu
peternakan dari Universitas Nusa Cendana, Dr. Yusuf Leonard Henuk (penulis buku
yang dibedah ini). Dasar tuntutan kepemilikan Pulau Pasir oleh KNPP dan
Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir sesuai yang dipaparkan dalam buku yang
dibedah ini, antara lain:
(1) Surat
Register Gubernur Jenderal VOC tahun 1751 yang membuktikan bahwa Gugusan Pulau
Pasir sudah 400 tahun lampau dikelola oleh orang Rote, NTT,
(2) Nelayan
Indonesia telah ratusan tahun mencari ikan, tripang dan biota laut lainnya di
sekitar Pulau Pasir,
3) Kuburan
orang Rote yang berada di Pulau Pasir sebanyak 161 buah,
(4) Pulau
Pasir milik Kerajaan Rote dan sejak abad 15 sudah berada dibawah pengelolaan
Hindia Belanda. Hal ini dapat dibuktikan melalui prasasti Raja Thie ke-5 (FoE
Mbura: 1729-1746) di Pulau Pasir yang dibuat pada saat raja ini terdampar di
pulau tersebut pada tahun 1729,
(5) Kedekatan
wilayah Pulau Pasir dengan Rote, Indonesia (78 mil laut), sedang jarak dari
Pantai Barat Australia sejauh 190 mil,
(6) Keputusan
Mahkamah Internasional tentang sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan yang
memenangkan Malaysia, karena penduduk Malaysia terbukti melakukan aktivitas
secara berkelanjutan di kedua pulau tersebut.
Pada umumnya,
arah perjuangan masyarakat NTT atas Pulau Pasir sebagaimana yang terbaca dalam
buku ini tidak tepat dan saya berada pada posisi yang berseberangan jauh dengan
mereka (termasuk dengan penulis buku ini) jika diarahkan pada perjuangan untuk
memiliki kedaulatan atas Pulau Pasir oleh Indonesia sebab Indonesia tidak
memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengklaim pulau tersebut.
Catatan
Penulis :
Dasar
Hukumnya adalah Hukum Adat Hak Ulayat
Masyarakat Suku Rote, atas Pulau Pasir jauh sebelum Pelaut Portugis Antonio Pigafetta rombongan Magelhans
menemukan pulau Rote tahun 1522, (Sejarah
NTT)………
Wujud
perjuangan atau tuntutan yang paling tepat adalah tuntutan untuk melakukan
amandemen terhadap Memorandum of Understanding (MoU) 1974 antara Pemerintah
Indonesia dan Australia mengenai penangkapan ikan oleh nelayan tradisional
Indonesia di zona perikanan eksklusif dan landas kontinen
Australia. Penulis buku ini telah melakukan suatu terobosan yang baik
sekali dalam salah satu tulisan bersama kelompoknya (Kelompok Pencari Keadilan
bagi Orang Timor dan Orang Rote di Laut Timor) yang telah
dipresentasikan
di Konferensi Warisan Otoritarianisme Demokrasi dan Tirani Modal di FISIP UI, 5
– 7 Agustus 2008, berjudul: “MoU 1974
(Indonesia –
Australia): Warisan Otoritarianisme Indonesia di Laut Timor yang Merugikan
Orang Timor dan Orang Rote di Provinsi Nusa Tenggara Timur“. Ketentuan MoU
tersebut yang perlu diamandemen adalah ketentuan yang menetapkan larangan bagi
nelayan tradisional Indonesia untuk mengambil air tawar, melakukan penangkapan
penyu dan telur-telurnya serta larangan penangkapan burung dan telur-telurnya
disekitar perairan laut atau pantai Pulau Pasir (Ashmore Reef). Ketentuan
mengenai semua larangan tersebut justru bertentangan dengan hak tradisional
nelayan Indonesia yang menurut hukum kebiasaan internasional yang kemudian
dikodifikasi dalam Pasal 51 Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations
Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 wajib memperoleh penghormatan dan
perlindungan dari Pemerintah Australia meskipun wilayah Pulau Pasir dan
sekitarnya tunduk di bawah kedaulatan Australia.
(Artikel yang
lengkap -- Tambahan dari Penulis).
Article51
Existing
agreements, traditional fishing rights
and existing
submarine cables
1. Without
prejudice to article 49, an archipelagic State shall respect existing
agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and
other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in
certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for
the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and
the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States
concerned, be regulated by bilateral agreements between them. Such rights shall
not be transferred to or shared with third States or their nationals.
2. An
archipelagic State shall respect existing submarine cables laid by other States
and passing through its waters without making a landfall. An archipelagic State
shall permit the maintenance and replacement of such cables upon receiving due
notice of their location and the intention to repair or replace them (Penulis).
Apalagi
penulis buku ini telah mengangkat adanya ketentuan universal baru dalam bukunya
juga bahwa kini telah berlaku Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang
Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007 yang menjamin hampir semua
masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim wilayah daratan dan wilayah
kelautan yang telah lama mereka diami jauh sebelum para penjajah datang menjajah
dan mencaplok wilayah-wilayah mereka.
Apabila
Australia menolak untuk melakukan amandemen terhadap MoU 1974, maka terdapat
dua kemungkinan yang harus ditempuh oleh Pemerintah Indonesia, yakni :
---Menarik
kembali MoU RI-Australia 1974 atau
---Mengajukan
persoalan tersebut kepada Mahkamah Internasional (International Court of
Justice) atau Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal For The
Law Of The Sea).
Jika
pengakhiran MoU yang ditempuh Indonesia, maka akibat hukumnya, MoU 1974 ini
menjadi berakhir dan hak nelayan Indonesia dikembalikan kepada kedudukan
sebelumnya yakni seperti yang dilakukan nenek moyang Indonesia sejak ratusan
tahun yang silam. Sebaliknya jika persoalan ini di bawah ke salah satu
peradilan internasional, maka hak nelayan Indonesia di sekitar Pulau Pasir
memiliki peluang untuk dipulihkan kembali sebab kewajiban penghormatan terhadap
hak nelayan tradsional secara turun-temurun telah memperoleh pengakuan secara
yuridis dalam UNCLOS 1982 maupun Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang
Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous
Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007.
Selamat
kepada Dr. Yusuf Leonard Henuk yang membidangi ilmu peternakan di Unversitas
Nusa Cendana, tetapi telah berhasil menerbitkan buku ini di luar bidang ilmunya
untuk dipresembahkan khusus kepada masyarakat nelayan tradisional Rote Ndao
untuk mereka gunakan dalam merebut hak adat mereka di Gugusan Pulau Pasir yang
telah lama dicaplok oleh Australia.
Penulis :
Dosen Hukum Internasional, FH UKAW, Kupang
PULAU SENGKETA DI NTT
Pulau Pasir (Ashmoro Reef) Belum Sah
Milik Australia
Kepala Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Universitas Nusa Cendana
Kupang, Yusuf Leonard Henuk, mengatakan, Indonesia masih bisa memperdebatkan
status Pulau Pasir di tingkat Mahkamah Internasional, karena gugusan pulau
tersebut belum sah menjadi milik Australia. Dari segi hukum internasional, kata
Henuk di Kupang, Senin (18/12), kepemilikan Australia atas pulau seluas 583 km2
itu diwariskan oleh Inggris yang melakukan "klaim sepihak oleh Kapten
Semuel Ashmore pada 1878" dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya.
"Namun, perlu dicatat bahwa nelayan tradisional Indonesia asal Pulau Rote dan
wilayah lainnya di negeri ini telah mengolah dan melakukan aktivitas secara
terus-menerus di Pulau Pasir hingga saat ini sejak 500 tahun yang lampau
sebelum kedatangan para penjajah di Bumi Nusantara," tegas Yusuf. Ia
mengemukakan hal ini berkaitan dengan "surat protes" dari Direktur
Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, Eddy
Pratomo atas pernyataannya di media massa beberapa waktu lalu yang menyebut
Pulau Pasir adalah milik sah orang Rote. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di
sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan di sebagian kecil
kalangan masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut jika
dilihat dari kedekatan geografis (geographical proximity) maupun klaim
historis. Henuk menjelaskan, dari segi hukum internasional, kepemilikan
Australia atas Pulau Pasir itu masih bisa diperdebatkan Indonesia di tingkat
Mahkamah Internasional, karena Inggris memasukan pulau itu ke dalam wilayah
otorita "Commonwealth of Australia" melalui "Ashmore and Charter
Acceptance Act 1933". Pada 1942, jelasnya, wilayah tersebut berada di bawah
administrasi Negara Bagian Australia Barat yang kemudian menjadi Northern
Territory hingga 1978. Setelah 1978, wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari
yuridiksi langsung Negara Federal Australia.
Ia
menambahkan, nelayan tradisional Indonesia sendiri baru mulai mengenai Pulau
Pasir pada pertengahan abad ke-18, sekitar 1742 dan 1750, yang
menurut arsip pemerintah Belanda, penduduk lokal Pulau Rote, Nusa Tenggara
Timur secara tidak sengaja menemukan Pulau Pasir
(Ashmoro Reef) pada 1729 yang
digunakan sebagai tempat bersandar untuk mengambil air tawar atau pada saat
keadaan darurat. Nelayan tradisional Indonesia sendiri, kata Henuk,
diperkirakan telah mengenal Pulau Pasir itu pada
zaman Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
ketika tiba di Pulau Timor pada 1602. Menurut catatan arsip Belanda,
pada akhir 1750-an
pengumpulan teripang dan biota laut lainnya dari gugusan Pulau Pasir telah
diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif.
Banyak perahu dari Makassar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa
serta kelengkapan surat-surat izin resmi dari Belanda yang memperbolehkan
mereka mengumpulkan teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di gugusan
Pulau Pasir.
"Kenyataan
ini juga membuktikan bahwa gugusan Pulau Pasir merupakan wilayah jajahan
Belanda yang seharusnya diwariskan kepada Indonesia," katanya dan
menambahkan, Belanda sendiri tidak pernah mempermasalahkan kegiatan Inggris di
Pulau Pasir sejak abad ke-18 atau mempersengketakan status kepemilikan Pulau
Pasir. Oleh karena itu, Indonesia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai
Belanda, dan Australia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Inggris juga
tidak pernah mempunyai sengketa kedaulatan atas Pulau Pasir. "Di sinilah
titik temu kita bahwa sudah seharusnya kita Bangsa Indonesia berhak untuk
mempertanyakan kepada Belanda, Inggris dan Australia tentang fakta-fakta
sejarah tersebut, jika perlu di bawa ke Mahkamah
Internasional untuk diselesaikan," katanya. Ia menambahkan, sudah
sangat jelas bahwa gugusan Pulau Pasir pernah diregulasi oleh penjajah Belanda
sehingga sama artinya bahwa wilayah tersebut harus diwariskan kepada Indonesia,
bukan kepada Inggris apalagi Australia. [TMA, Ant] Kupang, 18 Desember
2006 11:58
Penulis
: Bahwa Peta Pulau Pasir (Ashmoro Reef)
buatan Hindia Belanda dan Peta Lama AS yang disebutkan di atas telah terbukti bahwa Pulau Pasir adalah
wilayah Hindia Belanda dan karena itu
Australia tidak memiliki dasar apapun
untuk mencapliok Pulau Pasir dari Indonesia.
Dasar Hukum atas Pemilikan Suku Rote
terhadap
Gugusan Pulau Pasir.
Sekarang ini
banyak pejabat pemerintah, termasuk Staf Angkatan Laut, Menteri Luar Negeri RI
dan pejabat-pejabat lainnya, melihat status Pulau Pasir (Ashmore Reef) hanya berdasarkan data dari Pemerintah
Australia saja tentang dasar-dasar hukum yang disodorkan Australia
sehingga ikut mendukung bahwa Gugusan pulau Pasir adalah benar milik Australia.
Ada lagi yang menyatakan bahwa pulau Pasir tidak pernah diklaim Indonesia.
Akan tetapi,
para pejabat pusat lupa, bahwa sebelum
bangsa Barat menjajah Indonesia maupun Benua Australia, di Nusatara ini telah
memiliki Hukum Adat sendiri yang dikenal dengan Hukum Adat atas Tanah, (Hak
Tanah Ulayat) yang berlaku dimasing-masing di seluruh Nusantara.
Hukum Adat
ini sama kekuatannya dengan Hukum Tertulis Bangsa Barat. Hukum Agraria kita
juga berdasarkan dasar-dasar Hukum Adat Atas Tanah.
(Pada bagian
lain akan diperlihatkan 3 (tiga) buah
Peta zaman Belanda yang memperlihatkan bahwa Pulau Pasir (Ashmoro Reef) tidak
termasuk territorial Australia).
Hukum
di Indonesia ditinjau dari bentuknya, maka hukum dapat dibagi
dalam
:
a.Hukum
Tertulis : a). yang dikodifikasikan dan b) yang tidak
dikodifikasikan
b.Hukum
Tak Tertulis (Hukum Kebiasaan);
Di
Indonesia Hukum Kebiasaan (Common Law) disebut Hukum Adat (Adat Law). (Sumber :Drs.C.S.T.Kansil,SH, Pengantar Ilmu
Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hal.79-80).
Penguasaan
Suku Rote terhadap gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) berdasarkan Hukum Adatnya, paling tidak
sebagai patokan data tahun tertulis, adalah jauh sebelum tahun 1522,
ketika Antonio Pigafetta, Pelaut Portugis (Rombongan
Magelhan sebagai orang Barat
pertama yang menemukan Pulau Rote (1522), yang
berlayar dari Filipina menuju Tanjung Harapan di Afrika selatan, balik ke
Eropa.
Pada tahun 1778 bukan
seorang Administrator Pemerintah Inggris yang menemukan Benua Australia,
melainkan oleh seorang pelaut Inggris biasa yang bernama Kapten COOK dalam
pelayaran keliling dunianya.
Perlu
diketahui bahwa pada tahun itu status Benua Australia masih milik bangsa
pribumi yaitu Suku Aborigin. Jadi tidak benar pada tahun 1778 Benua Australia telah dikuasai Inggris. Demikian
pula Kapten Ahsmore (bangsa Inggris) dalam pelayarannya menemukan Gugusan Pulau
Pasir pada tahun 1811, bukan juga
berstatus sebagai mewakili Pemerintah Inggris yang secara otomatis menjadikan
Gugusan Pulau Pasir itu sebagai koloni Ingris. Kapten Ashmore hanya pelaut
biasa saja sebagai pengeliling dunia. Sebelum tahun-tahun 1778 dan tahun 1811, Gugusan Pulau Pasir sudah dikuasai secara Adat oleh Masyarakat Adat Suku Rote dan telah diberi nama dengan sebutan Pulau Dato I, Pulau Dato II dan Pulau Dato
III, sesuai nama seorang tokoh masyarakat Rote yang pertama menemukan Gugusan Pulau Pasir jauh
sebelum, Pelaut Portugis Antonio Pegafetta menemukan pulau Rote/Roti pada tahun
1522.
Namun gugusan
Pulau Pasir itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan SOLOKAEK. Dengan demikian menurut sejarah, pada
tahun-tahun 1788 dan tahun 1811,
Inggris belum menguasai Benua Asutralia seperti yang digembar-geborkan
Australia selama ini. Kapten Ashmore
kemudian memberi nama baru untuk Gugusan Pulau Pasir dengan sebutan
Ashmore Reef oleh karena pada saat
itu Kapten Ashmore tidak mengetahui
bahwa Gugusan pulau itu sudah ada pemiliknya
(Masyarakat Pulau Rote) dan juga sudah memiliki nama Solokaek.
Bahwa
penguasaan bangsa Inggris atas Benua
Australia itu adalah setalah Benua itu dijadikan sebagai daerah pengasingan
atau pembuangan para penjahat Inggris
pada tahun-tahun setelah tahun 1811.
Apabila
dilihat dari tahun-tahun tersebut di atas maka, Benua Australia baru
diketemukan oleh (Kapten Cook) pada tahun 1778 atau
256
tahun kemudian setelah Antonio Pigafetta menemukan pulau Rote. (1522).
Demikian pula Kapten Ahsmore menemukan
Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1811 atau
289
tahun kemudian ketika Antonio Pigaffeta menemukuan Pulau Rote pada tahun 1552.
Pada hal Masyarakat Adat Suku Rote
sebelum tahun 1522, telah
menjadikan Gugusan Pulau Pasir sebagai ladang perikanan mereka.
Itu
berarti Masyarakat suku Rote telah memanfaatkan Gugusan Pulau Pasir lebih dari
500 tahun sebelum kedua pelaut Inggris
itu menemukan Benua Australia. Bahwa jarak Inggris dengan Benua Australia lebih
dari ribuan mil laut jauhnya, dapat
ditemukan oleh Kapten Cook, maka adalah
tidak mustahil bahwa Suku Rote telah memanfaatkan Pulau Pasir yang jaraknya hanya 60 mil laut dari Pulau Rote.
Jika dilihat
dari hubungan perdagangan Raja-raja Rote dengan VOC pada tahun 1613,
atau 165 tahun kemudian, baru
Inggris menemukan Benua Australia (1788), dan sejak itu Pulau Pasir telah menjadi Tanah
Hak Ulayat Suku Rote. Dari berbagai perbedaan tahun-tahun tersebut di atas
telah membuktikan bahwa sebelum Inggris menemukan Benua Australia, Gugusan
Pulau Pasir sudah dikuasai oleh masyarakat Adat Rote.
Didalam
sejarah para pelaut pengeliling dunia Bangsa Eropa sekitar tahun 1400-an dan sesudahnya, tidak pernah tercatat bahwa
setiap mereka menemukan sesuatu daerah, atau pulau akan langsung diakui atau lansung dijadikan
sebagai wilayah koloni dari Negara asalnya.
Contoh
Colombus menemukan Benua Amerika, namun tidak diklaim sebagai daerah koloni
bangsanya. Dengan demikian pula ketika
Cook menemukan pantai Timur Australia tahun 1788 dan
Ashmore menemukan Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1811,
tidak otomatis Inggris mengklaim sebagai
wilayah koloninya. Para penemu pulau-pulau tersebut adalah pelaut biasa dan
mereka bukan pula sebagai seorang Administrator Pemerintah Inggris yang
langsung menetapkan bahwa setiap daerah baru
temuannya adalah kolononinya.
Memang diakui bahwa setelah sekian puluh tahun kemudian setelah tahun 1811 baru
Benua Australia dijadikan koloni Inggris. Pernyataan Australia itu adalah hanya
suatu rekayasa sejarah dan menyesatkan dan menyatakan seolah-olah pada tahun 1778
dan tahun 1811 Inggris
telah menguasai Australia termasuk Pulau Pasir (Ashmoro Reef).
Dengan
demikian, jangan ada dari sementara pihak-pihak tertentu, yang menganggap bahwa
pemelikan oleh suku Rote itu tidak tertulis, sehingga kurang memiliki dasar
hukum yang kuat. Karena seperti disebutkan di atas Hukum Adat adalah hukum
tidak tertulis, yang telah dianut secara
turun temurun. Hukum Adat itu ada dan berlaku, ketika sekelompok orang atau
masyarakat menempati sesuatu wilayah,
yang disebut wilayah Adat baik sebagai daerah hunian meupun bukan sebagai
tempat hunian. Hukum Adat ini berlaku turun temurun dari nenek moyangnya hingga
generasi sekarang dan tidak akan terputus-putus masa berlakunya.
Hal yang sama
berlaku untuk seluruh wilayah Nusantara secara tradisional, sebelum Penjajah
Barat datang ke negeri ini dengan mebudayakan Hukum Tertulis.
Memang
diakui, bahwa sebelum ada penjajah Belanda menguasai Nusantara, belum mengenal
budaya tulis-menulis, untuk
mendokumentasikan
secara tertulis Hukum Adat masing-masing Daerah. Namun
secara tradisional Hukum Adat telah
dianut dan dijalankan secara ketat, oleh masyarat adatnya sejak dulu kala.
Dengan mengungkapkan tahun-tahun tersebut di atas maka menurut Hukum Adat Suku
Rote telah lebih dahulu menguasai dan memanfaatkan dan diberlakukan secara
syah atas Gugusan Pulau Pasir(Ashmore
Reef)
Selain itu,
jauh sebelum Inggris menemukan Benua Australia, Nelayan tradisional Suku Rote
dan para nelayan tradisional suku bangsa Bugis
telah menemukan Benua itu dengan di beri nama Pulau MAREGE, karena
penduduknya berkulit marege (hitam pekat). Dengan dasar hukum kepemilikan
secara Hukum Adat adalah syah dan kekuatan hukumnya sama dengan Hukum Tertulis.
Oleh karena
itu para pejabat Negara maupun oleh pihak lain, bukan saja hanya mau menuruti
Tahun berdasarkan Hukum Tertulis yang dimiki pihak Australia, tetapi juga harus
melihat Tahun Kepemilikan oleh Suku Rote sesuai Hukum Adat yang disebutkan di
atas.
Hukum
Adat atas Tanah di Indonesia dikenal dengan beberapa sebutan adat misalnya,
---Tanah
Hak Ulayat,
---Tuan
Tanah,
---Tuo
adat,
---deo
tanah,
---nusak,
dll.
Perlu
ditambahkan pula bahwa kegiatan nelayan
tradisional suku Rote, dan suku Bugis dan Bajo
(Sulawesi), di gugusan Pulau Pasir sampai tahun-tahun sebelum tahun 1974, tidak pernah dipermasalahkan
oleh pihak Australia, karena memang
diketahui bahwa gugusan pulau Pasir adalah milik Indonesia (atau sebelumnya adalah milik
Hindia Belanda). Para nelayan tradisional Indonesia baru menjadi masalah bagi
Australia setelah MOU 1974 ditandatangani Indonesia-Australia.
Selain
itu, ada hubungannya dengan masalah Timor-Timur waktu itu, dimana Indonesia didorong oleh Australia untuk
masuk dan memiliki Timor-Timur. Dan
setelah berhasil Timor-Timur integrasi dengan Indonesia, maka sebagai
konpensasi politik Indonesia menyerahkan Pulau Pasir kepada Australia pada masa
Pemerintahan Soeharto. Sebagai bukti, adalah setelah penandatanganan Perjanjian
Celah Timor, Menteri Luar Negeri Ali Alatas
menyampaikan kepada pers, bahwa Indonesia (Ali Alatas) menyatakan
“merasa puas, bahwa secara de facto dan
de jure Australia mengakui Intergrasi
Timur-Timur ke dalam wilayah Indonesia”.
Jadi
sebagai kompensasi politik, dimana Indonesia memiliki Timor-Timur dan Pulau
Pasir di serahkan kepada Australia. Inilah sebenarnya inti permasalahannya,
mengapa Pulau Pasir jatuh ketangan Australia.
Tetapi
penyerahan itu cacat hukum, karena tidak pernah diratifikasi dan tidak pernah
minta persetujuan DPR RI dan MPR RI dan melanggar UUD 1945. Maka dalam menentukan batas antara Indonesia dan
Australia bukan dengan Pulau Ndana di selatan pulau Rote akan tetapi adalah di
Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang masih wilayah Kabupaten Rote Ndao. Jika pemerintah SBY, dan Presiden sesudah
Pemilu 2014 tidak menyelesaikan persoalan
Pulau Pasir, maka Masyarakat Rote dan Masyarakat NTT maupun seluruh
bangsa Indonesia akan menggugat pemerintah (Presiden) ke muka Pengadilan,
sebagai menggelapkan atau menjual/menyerahkan tanpa hak pulau Pasir ke
Australia.
---Gugusan
Pulau Pasir (Ashmore Reef) hingga sekarang masih sedang diperjuangkan oleh
berbagai lembaga untuk kembali ke Indonesia. (Lihat uraian dan pendapat berbagai pihak dan para
pakar tentang Gugusan Pulau Pasir pada Bagian tersendiri di buku i
---Oleh
karena itu Peraturan Presiden No.78 Tahun 2005 yang ditanda tangani tanggal 29
Desember 2005, perlu ditinjau kembali. Hal ini dikarenakan penyerahan Gugusan
Pulau Pasir kepada Australia,
bertentangan dengan UUD 1945 tanpa persetujuan DPR RI dan MPR. Ini
adalah kesalahan besar diplomasi Menteri Luar Negeri Ali Alatas yang konyol, ketika membuat MOU RI-Australia.
Paling
tidak Gugusan Pulau Pasir sementara dinyatakan sebagai Pulau Sengketa
RI--Australia yang diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag-Belanda.
Nampaknya Presiden SBY-Boediono, begitu saja menyerah atas tekanan Australia
sehingga seolah-olah tidak berdaya untuk merundingkan lagi Gugusan Pulau Pasir
yang kaya dengan sumber daya alam (minyak dan gas bumi), Bagi Masyarakat NTT, pulau paling selatan
Indonesia bukan pulau Ndana (dalam daftar no.20) melainkan Pulau Pasir).
Pertanyaannya
:
1.Mengapa
Pemerintah Indonesia begitu gampang menyerahkan Pulau Pasir (Ashmore Reef) kepada Australia?
Karena Takut
Perang…..? Indonesia cukup bukti untuk
memperjuangkan kembali Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) tersebut. Bacalah buku ini, banyak bukti yang dapat diketemukan.
Mengapa persoalan Pulau Sipadan dan Lenggitan dapat diajukan ke Mahkamah
Internasional, tetapi Pulau Pasir (Ashmore Reef ) pemerintah Indonesia tidak
berani?
2. Pertanyaan ke-2 :
Mengapa
Pihak Menteri Luar Negeri Indonesia ogah memperjuangkan kembali Pulau Pasir?
Jawabnya
: adalah karena takut kehilangan muka, karena bekas pimpinan mereka
sebelumnya yaitu Menlu Ali Alatas telah
terlanjur salah langkah dalam pembuatan MOU 1974 yang telah
mengorbankan/menyerahkan Pulau Pasir
tanpa dasar hukum yang kuat disamping mendapat tekanan dari pihak Australia,
sehingga pelaksanaannya secara terburu-buru dari belakang merja saja tanpa
suatu studi lapangan yang cermat, dan
tanpa berkonsultasi lebih dahulu
dengan Pemerintah Provinsi NTT atau dengan Masyarakat Pulau Rote yang memiliki
weiayah hingga Pulau Pasir tersebut.
Bahwa
penyerahan Pulau Pasir kepada Australia merupakan dosa besar dari Presiden
Soeharto dan Menlu Ali Alatas, inilah salah satu alasan mengapa Menlu RI saat
ini enggan merundingkan kembali Pulau Pasir, Celah Timor dan Laut Timor dengan
Asutralia.
(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob).
Alamat :
Jln.Jambon I, No.414J, Rt.10-Rw.03
Kricak-Jatimulyo
Jogjakarta-Telp.0274.588160 – HP.082135680644.
Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.
Blog
: ROTE PINTAR Klik : sajjacob.blogspot.com
SENGKETA PULAU PASIR
Ketika Bangsa Bahari Tak Peduli Laut
Ketika Bangsa Bahari Tak Peduli Laut
HARI Kamis
(7-4-2005),
Ahmad Pelo
(29), nelayan asal Papela, Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara
Timur, melaut bersama lima awak kapal layar Titian II di Laut Timor. Akan tetapi,
baru saja berlayar l mil meninggalkan Pulau Pasir menuju Borselan (9/4),
datanglah kapal perang Angkatan Laut Australia.
Mereka
ditangkap karena dituduh memasuki perairan zona ekonomi eksklusif Australia.
Perahu mereka ditarik kedekat Darwin Australia Utara, dan disana sudah ada dua
perahu dengan l8 awak. Menurut Pelo ketiga perahu itu dibakar oleh petugas
perikanan Australia (Australian Fisheries Managemen Outhority/AFMA), yang
menyebabkan Hok Soen Heng, salah seorang pemilik kapal yang saat itu berada
didalam kapal, menderita luka bakar.
Namun, tiap
AFMA ketika dimintai klarifikasi oleh Kedutaan Besar RI di Canbera menyangkal
semua itu. Menurut pihak AFMA, aparat Australia tidak terlibat dalam kegiatan
pembakaran atas tiga kapal itu. Malah kapal Sundi Jaya yang dinakodai Hok Soen
Heng hingga kini masih berlabu dipelabuhan Darwin. Konsulat RI di Darwin telah
melakukan verifikasi dipelabuhan Darwin dan menyaksikan kapal Sundi Jaya masih
dalam keadaan baik serta tidak memiliki tanda-tanda kebakaran.
Demikian
siaran pers Kedutaan Besa RI di Canbera, Australia hari kamis (26/5). Pelo
bersama nelayan lainnya dideportasi, kembali ke kampungnya melalui Denpasar dan
Kupang, ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pengalaman ditangkap petugas
Australia saat mencari ikan di Laut Timor itu merupakan pengalaman yang ketiga
kalinya.
Pertama,
terjadi pada tahun 2002 dan kedua tahun 2003. “Tetapi pengalaman paling tragis
bagi saya justru terjadi pada penangkapan yang ketiga ini”, operasi penangkapan
nelayan tradisional Indonesia di laut Timor oleh Australia atas tuduhan
memasuki zone ekonomi eksklusif (ZEE)” negara itu sebenarnya sudah memasuki
usia 31 tahun. Penangkapan besar-besaran yang dimulai l974 itu masih terus
berlangsung hingga hari ini. Diperkirakan sudah ribuan nelayan ditahan,
disekap, dan dipenjara, lalu dideportasi.
Masalah
penangkapan nelayan oleh patroli Australia, menurut kajian pemerintah bisa
disebabkan 3 faktor.
Pertama, ada
persoalan ekonomi dibalik kegiatan nelayan Indonesia yang memasuki wilayah
negara itu, serta ada cukong-cukong yang membiayai dengan iming-iming
pendapatan yang besar.
Kedua,
nelayan-nelayan itu memang tidak tahu dimana batas-batas wilayah laut Indonesia
karena umumnya kapal-kapal nelayan tradisional tidak dilengkapi perangkat
petunjuk posisi atau Global Positioning System (GPS), Sonar, dan sebagainya.
Ketiga,
kemungkinan karena bencana alam, seperti badai sehingga mereka terbawa
kewilayah perairan Australia.
Dari ketiga
faktor itu, menurut juru bicara Luar Negeri Yuri Thamrin, kebanyakan kapal yang
ditangkap bukan kapal nelayan tradisional meski kapal mereka tidak dilengkapi
GPS seperti umumnya kapal nelayan tradisional.
Setelah ditelusuri lebih jauh, diduga kuat ada motif-motif ekonomi yang
membuat beberapa nelayan, “ memasuki wilayah laut Australia”. Umumnya ikan yang
menjadi buruan nelayan-nelayan itu adalah ikan hiu yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi. Ikan jenis-jenis ini memang lebih banyak terdapat diwilayah
perairan Australia. “Pulau Pasir atau Ashmore Reef itu dalam catatan kita sejak
zaman Belanda pun adalah milik Inggris, tidak pernah menjadi milik kita”, tutur
Yuri menjelaskan.
Komentar
Penulis, (Sdr: Yuri : Anda hanya punya
pengetahuan
berdasarkan
data sepihak dari pihak Australia saja,
tetapi supaya
pemberitaannya
seimbang , maka telusuri juga sejarah orang Rote dengan Pulau Pasir baru
bicara—jangan menjadi terompet Australia dong).
Katanya
penjelasan mengenai batas-batas wilayah itu sudah dilakukan oleh Departemen
Kelautan dan Perikanan dengan dukukngan dari Depatemen Luar Negeri. Namun,
diduga kuat atas sejumlah cukong yang “memperalat” para nelayan, membiayai
mereka untuk berburu hiu hingga keselatan laut Timor. Dalam beberapa pertemuan
awal, pihak Australia sudah menghasilkan suatu kegiatan bersama RI-Australia
dalam penyebarluasan informasi mengenai wilayah-wilayah kedua negara dan
menyediakan mata pencaharian alternatif bagi nelayan, sehingga tidak “berjudi”
mencari hiu hingga ke wilayah Australia. Namun, hingga kini belum ada upaya
perlindungan terhadap nelayan tersebut.
“Penangkapan
para nelayan itu sekaligus juga mengesankan kita tidak serius menangani
persoalan perbatasan”, kata Bernando Seran, putra kelahiran Timor Barat,
Kandidat Doktor pada program studi Ilmu Hukum Internasional di Universitas
Gajah Mada, Jogjakarta. Hal yang sama diungkapkan Dhey Wego Tadeus, Master Ilmu
Hukum Internasional di Universitas Nusa Cendana Kupang.
Dilihat dari
Konvensi Hukum Laut Internasional, sebenarnya tidak ada larangan bagi nelayan
tradisional mencari ikan di laut lepas, termasuk dilaut Timor. BATAS wilayah
negara sebenarnya sudah ditetapkan saat kita memperjuangkan Wawasan Nusantara
pada l957-l982.Setelah Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Covention on The
Law of The Sea/ UNCLOS) berlaku karena jumlah negara yang meratifikasi sudah
mencapai 60 negara pada tahun l994, Indonesia justru kendur.
“Yang
sekarang kerap menjadi masalah bukan batas wilayah, kecuali dengan Timor Leste,
batas-batas laut wilayah/teritorial kita sudah jelas, tetapi batas hak-hak berdaulat
“, ungkap ahli Hukum Laut Internasional, Prof.DR.Hasyim Djalal. Dengan
Australia ada masalah-masalah batas-batas atas hak berdaulat atas kekayaan alam
dan pemeliharaan lingkungan laut.
Terdapat dua
aspek yang terkait dengan hak-hak tersebut, yakni,
---batas
dasar laut dan
---batas zona
ekonomi eksklusif.
Penentuan
batas dasar laut dengan Australia sudah diselesaikan tahun l970-an dan sudah
diratifikasi. Batas laut ini lebih menjorok kewilayah pantai Indonesia karena
keadaan topografi, geologi, dan geomorfologi dasar laut yang memang lebih
menguntungkan Australia.
Setelah
Timor-Timur berintegrasi ke Indonesia, batas Australia dengan Timor-Timur yang
ketika itu menjadi bagian dari Indonesia sempat dipersengketakan, kemudian
dijadikan zona pengembangan bersama. Setelah Timor-Timur berdiri sebagai
negara, sampai saat ini kawasan di Celah Timor itu masih dipersengketakan
Australia dengan Timor-Timur.
Ketika batas
dasar laut Indonesia dengan Australia ditetapkan, ZEE belum dikenal dalam hukum
internasional. ZEE baru ada setelah konvensi PBB tentang Hukum Laut l982
diratifikasi. Masalahnya sampai saat
ini belum ada batas-batas ZEE bilateral
Indonesia dengan negara-negara tetangga yang diratifikasi. Satu-satunya batas
ZEE yang sudah selesai dirundingkan adalah dengan Australia. Ironisnya, meski
batas ZEE dengan Australia sudah disepakati tahun l974, Indonesia belum
meratifikasi kesepakan itu dengan aturan didalam negeri sahingga berketetapan
hukum. Dengan Malaysia, Thailand dan negara-negara tetangga lainnya, ZEE bahkan
belum dirundingkan.” Batas ZEE menyangkut kewenangan atas kekayaan alam, bukan
wilayah, sehingga seharusnya bisa diratifikasi tanpa perlu dibawa ke DPR.
Misalnya cukup dengan Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah”, ujar
Hasyim Djalal.
Kesepakatan
PBB tentang Perikanan di laut bebas tahun l995 juga sudah ditanda tangani,
tertapi juga belum diratifikasi. Akibatnya secara legal teknis, juridis,
mestinya kesepakatan itu belum berlaku namun, secara poletis dalam konteks
hubungan baik bertetangga, diharapkan kesepakatan itu tentu menjadi
pertimbangan dan diperhatikan. “ Ibarat pasangan yang sudah bertunangan tetapi
belum meresmikan hubungan melalui pernikahan, sehingga belum diikat secara
legal.
Saya
prihatin. Kenapa belum diratifikasi walaupun sudah bertahun-tahun
ditandatangani”, katanya. Kenapa perundingan batas ZEE dan ratifikasi yang
merupakan kelanjutan dari kesepakatan hasil perundingan tak kunjung dilakukan
Indonesia ? Hambatan prosedur admisitratif sering jadi alasan siapa yang harus
mengurus dan memulai proses ratifikasi?
---Sekretariat
Negara,
---Departemen
Luar Negeri, Atau
---Departemen
Teknis yang terkait ?
Bagaimana
prosesnya, apakah cukup pemerintah saja atau harus dibawa ke DPR.
Sekarang ada
UU tentang Perjanjian Internasional No.24 tahun 2000. Negara ini dikelilingi
oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, tetapi negeri ini tidak ikut aktif
dalam konvensi regional yang merupakan pengejawantahan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut tahun l982. Dalam Komisi Tuna di Samudra Hindia, Malaysia, China,
Korea Selatan, Thailand, bahkan Uni Eropa menjadi anggota, sementara Indonesia
hanya jadi peninjau.
Konvensi
Regional di Samudra Pasifik yang tidak diikuti Indonesia, sementara
negara-negara lain berusaha keras ikut mengatur laut orang lain, kita bahkan
tidak mengurus laut kita sendiri”.
Negeri ini
pernah sangat gigih memperjuangkan Wawasan Nusantara agar diakui dunia
internasional. Namun, begitu didapat, kita tidak gigih lagi untuk memelihara
dan memanfaatkannya. Memang menyakitkan kalau dikatakan begitulah kerakter
bangsa ini. (CAL/OKI/DAY?DMU-Kompas, 28-05-2005)
DPD-RI Masih
Persoalkan Status Pulau Pasir
Kupang, 1
Desember 2005 14:00
Panitia Ad
Hoc I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) menyoal status Pulau
Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim Australia sebagai bagian dari teritorinya.
"Kami
masih mengumpulkan bukti-bukti tentang sejarah Pulau Pasir, sehingga klaim
Australia atas pulau itu kami belum terima sepenuhnya," kata ketua tim PAH
I DPD-RI, Harun Al Rasyid di Kupang, Kamis. Ia menegaskan, pihak-pihak yang
menandatangani dokumen tentang kepemilikan Pulau Pasir itu bukan pejabat negara
yang memiliki otoritas untuk itu, tetapi pegawai rendahan di Departemen Luar
Negeri Indonesia dan Australia.
Mantan
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menegaskan, Memorandum of Understanding
(MoU) yang ditandatangani oleh pegawai rendahan kedua negara pada 1974 itu,
belum cukup kuat dijadikan sebagai bukti hukum atas kepemilikan Pulau Pasir
oleh Australia.
"Saya
tetap yakin bahwa Pulau Pasir adalah bagian dari wilayah Nusantara, karena para
nelayan kita lebih dahulu melakukan aktivitas di pulau itu, jauh sebelum
penandatanganan MoU pada 1974," tegasnya.
Dalam
hubungan dengan itu, pihaknya akan meminta pertanggungjawaban Jakarta dan
Canberra untuk meratifikasi kembali MoU 1974 yang secara implisit menyerahkan
Pulau Pasir ke dalam teritori Australia. "Kami menghendaki adanya
peninjauan kembali atas MoU tersebut, karena hal itu tidak bisa dijadikan
landasan hukum untuk menyerahkan Pulau Pasir ke tangan Australia. Australia
punya kepentingan atas pulau itu karena kawasan di sekitarnya banyak terdapat
sumur minyak," katanya. "Perjuangan untuk mendapatkan kembali Pulau
Pasir belum berakhir. Jangan biarkan Australia dengan mudah memiliki Pulau
Pasir yang lebih dahulu diduduki rakyat Indonesia melalui aktivitas para
nelayan tradisional," tambahnya.
Tak
sependapat
Harun Al
Rasyid menegaskan, DPD-RI tidak sependapat dengan pandangan Kepala Staf
Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Slamet Subijanto yang menyatakan bahwa Pulau
Pasir sudah menjadi milik Australia.
KSAL merujuk
pada pengakuan Departemen Luar Negeri (Deplu) RI yang menyatakan bahwa Pulau
Pasir itu merupakan milik Australia dimana secara historis ditemukan oleh Kapten
Samuel Ashmore pada tahun 1811.
Kemudian pada tahun 1968 Pemerintah Australia telah menetapkan batas garis perikanan (Australia Fishing Zone) selebar 12 mil dari garis dasar.
Kemudian pada tahun 1968 Pemerintah Australia telah menetapkan batas garis perikanan (Australia Fishing Zone) selebar 12 mil dari garis dasar.
Meskipun
secara geografis jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT)
hanya 80 mil sedangkan ke wilayah Australia Utara (North Queensland) 400 mil.
Hal itu
mempengaruhi kegiatan nelayan tradisional Indonesia sehingga pada tahun 1974
disepakati nota kesepaham atau Memorandum of Understanding (MoU) yang intinya
mengizinkan nelayan Indonesia untuk menangkap ikan dengan alat/perahu
tradisional.
Selanjutnya
pada tahun 1983, Australia mengumumkan "Ashmore Reff" sebagai cagar
alam nasional dan sejalan dengan itu telah dibuatkan pengaturan untuk membatasi
kegiatan nelayan Indonesia di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir. Pada tahun
1986, Australia kembali mengusulkan sebuah rancangan kesepakatan yang baru
untuk menggantikan MoU tahun 1974, namun usul tersebut ditolak Pemerintah
Indonesia.Sebaliknya Indonesia mengusulkan agar dilakukan perundingan untuk
menentukan cara-cara terbaik dalam melaksanakan MoU 1974 (Practical Guidelines
for Implementing 1974 MoU).
Australia merespons usulan Indonesia sehingga pada tahun 1989 terjadi kesepakatan antara Indonesia dan Australia menyangkut MoU 1974 yang dituangkan dalam "Agreed Minutes" yakni tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia menangkap dan mengambil hasil laut di wilayah tersebut. [TMA, Ant] Sumber ; Arsip Politik Nasional 01-12-2005
DPD-RI Perjuangkan Lembaga Otorita
Perbatasan NTT
Kamis, 01
Desember 2005 13:00:00
Kapanlagi.com -
Panitia Ad Hoc (PAH) I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI)
sedang memperjuangkan adanya lembaga otorita perbatasan yang bekerja khusus
menangani kawasan perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Timur dan
Australia. "Kami sudah berkoordinasi dengan pimpinan instansi terkait di
bidang keamanan tentang prospek pengembangan kawasan perbatasan NTT.
Untuk
menggapai harapan itu, memang perlu adanya lembaga otorita perbatasan,"
kata Wakil Ketua PAH I DPD-RI, Drs Jonatan Nubatonis, di Kupang, Kamis, usai
mengadakan pertemuan dengan Wakil Gubernur NTT, Drs Frans Lebu Raya.
Pertemuan
antara PAH I DPD-RI dengan Wagub Lebu Raya yang juga Ketua Komisi Bersama
Perbatasan (Boorder Leasion Commite (BLC) NTT itu khusus membahas
masalah-masalah aktual di perbatasan NTT dengan Timtim dan Australia.
Hadir dalam pertemuan itu para pimpinan TNI dan Polri serta empat bupati di
daratan Timor bagian barat NTT yang wilayahnya berbatasan langsung dengan
Timtim.Nubatonis mengatakan, DPD sedang menyusun konsep otorita perbatasan NTT
berdasarkan masukan dari berbagai pihak dan hasil tinjauan lapangan yang
melibatkan lima orang anggota DPD dari sejumlah daerah perbatasan.
Tim PAH I
DPD-RI ini dipimpin anggota DPD asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang juga mantan
Gubernur NTB, Harun Al Rasyid. "Setelah kunjungan ini, kami akan bahas
lebih mendalam tentang konsep otorita perbatasan NTT. Diperkirakan dua pekan
lagi atau pada pertengahan Desember mendatang sudah dapat disampaikan kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat rutin dengan DPD," katanya.
Dia mengakui, PAH I DPD gencar memperjuangkan pembangunan kawasan
perbatasan termasuk NTT setelah mendapat dukungan langsung dari Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
"Saat
pertemuan DPD dengan Presiden Yudhoyono pada 16 Agustus lalu, Presdien
menghendaki DPD harus terlibat aktif dalam penanganan masalah-masalah
perbatasan. Apalagi telah dialokasikan anggaran sebesar Rp2 triliun untuk
pembangunan seluruh kawasan perbatasan dalam wilayah NKRI," katanya. Ia
menjelaskan, otorita perbatasan NTT hanya boleh dikelola secara terpadu unsur
pimpinan instansi terkait seperti Komandan Korem (Danrem) 161/Wirasakti,
Komandan Pangkalan Utama (Danlantamal) IX/Kupang, Kapolda NTT dan Gubernur NTT
selaku kepala wilayah.
Maksudnya
agar pola pembangunan kawasan perbatasan NTT yang selalu disertai aspek
pertahanan dan keamanan wilayah dapat
diterapkan
secara baik tanpa memunculkan permasalahan baru, katanya. (*/rit)
Sumber ;
Arsip Politik Nasional 01-12-2005
History of Cartier Island Versi Australia
The Territory
of Pulau Pasir (Ashmore) and Cartier Islands comprises the West, Middle and
East Islands of Pulau Pasir (Ashmore Reef), Cartier Island and the 12 nautical
mile territorial sea generated by those islands. These areas are indicated on
the lower map by the two enclosing boundary lines. The islands are uninhabited,
small, low and composed of coral and sand, with some grass cover.
The Territory
is located on the outer edge of the continental shelf in the Indian Ocean
approximately 320 km off Australia's north-west coast and 170 kilometers south
of the Island of Roti, East Nusa Tenggara, Indonesia (123°33' East, 12°31' South). The Jabiru and
Challis oil fields are adjacent to the Territory.
The proximity
of the Territory to Indonesia has been the subject of joint official
discussions in recent years. In 1997, a Treaty aimed at settling a number of
maritime boundaries between the two countries was signed.
Ashmore Reef
(Pulau Pasir) is located in the Timor Sea about 840 kilometres west of Darwin
and 610 kilometres north of Broome. It is part of the Australian External
Territory of Ashmore and Cartier Islands and comprises a shelf-edge reef system
of approximately 583 square kilometres, rising from the westward limit of the
Sahul Shelf. Three small islands and a number of shifting sand cays lie within
the reef rim. The combined area of the islands is 112 hectares, the largest
being about one kilometre long.
Pulau Pasir (Ashmore Reef) Belongs
to Indonesia:
Timor Gap Teamwork Chairman;
Received from
Joyo Indonesia News
KUPANG, E
Nusa Tenggara, Jan 6 Asia Pulse/Antara - Chairman of Timor Gap Teamwork Ferdi
Tanoni has insisted that Pulau Pasir ( Ashmore Reef), 60 miles south of Rote
island, belongs to Indonesia. Tanoni made the statement written by the
Indonesian Foreign Affairs Ministry's political and security official, Donnilo
Anwar, at a press briefing at the weekend. He said the fact that the island was
handed over to Australia by the United Kingdom in 1878 was something
unreliable. In the press briefing, Donnilo, accompanied by Foreign Affairs
Ministry spokesman Marty Natalegawa, said Ashmore Reef (Pulau Pasir) had been dominated by the United Kingdom
until it was handed over to Australia in 1878.
"The
question is that which source of history did the foreign ministry official find
the information about the status of Ashmore Reef," Tanoni asked.
Tanoni said
the Timor Gap Teamwork and West Timor Care Foundation [YPTB] had reliable
evidence indicating that Ashmore Reef, located 60 miles south of Indonesia's
Rote island and 500 miles west of Darwin, belongs to Indonesia.
"Thus,
the Indonesian Foreign Affairs Ministry has no reason to recklessly give the
island up to Australia," Tanoni said. According to Australian literature,
the Australians discovered Ashmore Reef in
1826 and in 1855 Australia conducted research on the island where they
later built a satellite city. According to Tanoni, the United Kingdom handed
over the Ashmore Reef (Pulau Pasir)
administration to Australia in 1933.
Quoting Dr
Damian Kingbury, a senior lecturer of International Relations Development at
Deakin University in Melbourne, Tanoni said Australia started controlling the
island in 1931. Meanwhile, the traditional history of Rote islanders from
generation to generation proved that Ashmore Reef, originally known as
"Pulau Pasir" (Sand Island) is part of Indonesian territory, Tanoni
said.
The
traditional history suggested that Ashmore Reef, consisting of three small
islands, was for the first time discovered by Rotemen of the Dato family in
1700.
"
That is why
following the discovery the three islands were named after Dato I, Dato II and
Dato III. That is the historical fact that nobody can deny," Tanoni said.
He said Rote island's forerunners had long roamed the three tiny islands before
the signing of a memorandum of understanding in 1974 between Indonesia and
Australia to allow Indonesian fishermen to fish there.
"Based
on these historical facts, Indonesia has the right to the island but because of
our weak diplomacy in the international forum, we handed it over to Australia
through the Exclusive Economic Zone [EEZ] agreement on March 1977," Tanoni
lamented. "We will continue to urge Jakarta to discuss again the status of
Pulau Pasir (Ashmore Reef) with Canberra," he added.Tanoni said the
inconsiderate submission of Pulau Pasir (Ashmore Reef) to Australia without any
diplomatic strive in the international forum would adversely affect the people
of East Nusa Tenggara.(Internet)
23 Maret
2003 8:48:00
Sengketa Soal Celah Timor dan Pulau
Pasir,
Australia jangan Kekanak-kanakan
Kupang-RoL--Ketua
Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir (Ashmore Reef), Ferdi Tanoni mengharapkan
Australia tidak bertindak "kekanak-kanakan" dengan mengeluarkan
kebijaksanaan sepihak untuk melindungi kepentingannya di Celah
Timor. Sebab, awal tahun 2003 ini, Australia seperti "dikejar
setan" dalam mengeluarkan kebijaksanaan, baik persetujuan bagi hasil di
Celah Timor dengan Negara Timor-Timur maupun kebijaksanaan menutup kawasan
Pulau Pasir (Ashmore Reef) dari semua kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan
Indonesia.
Hal itu dikemukakan Ferdi Tanoni, di Kupang, Minggu, menanggapi berbagai kebijaksanaan Australia terhadap kawasan Celah Timor hingga ke Pulau Pasir yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan negara yang berbatasan, terutama Indonesia. Pemerintah Australia, kata Tanoni telah mengumumkan kebijaksanaannya bahwa mulai 3 Juli 2003 menutup kawasan gugusan Pulau Pasir dari semua kegiatan penangkapan ikan nelayan tradisional Indonesia dengan alasan pelestarian lingkungan. Kebijaksanaan itu sepihak sehingga menimbulkan reaksi protes dari Indonesia sebab negara tetangga yang sangat berkepentingan dengan nasib para nelayan tradisional yakni Indonesia tidak diajak berunding. Gugusan Pulau Pasir terletak di Samudera India dengan jarak hanya 60 mil laut dari Pulau Rote, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Sedangkan
jarak terdekat dengan Australia yakni Darwin mencapai 500 mil laut. Dari
berbagai ketentuan internasional yang ada, tidak satupun yang dapat mendukung
Australia yang mengklaim bahwa Pulau Pasir itu adalah miliknya. Mengacu
pada ketentuan internasional tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut,
Pulau Pasir masuk dalam wilayah Indonesia. Namun, bila Australia tetap ngotot
mengklaim pulau tersebut sebagai miliknya, maka Pulau Pasir masuk dalam wilayah
tumpang tindih dua negara Australia dan Indonesia.
Bila itu yang
terjadi, maka Australia tidak boleh secara sepihak menerapkan kebijaksanaan di
kawasan gugusan Pulau Pasir, melainkan seluruh kebijaksanaannya harus melalui
pembicaraan dua negara Australia-Indonesia, karena wilayah itu harus dikelola
secara bersama. Sebab, selama ini kawasan gugusan Pulau Pasir merupakan
tempat nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan, teripang dan biota laut bernilai
ekonomi tinggi lainnya.
Menurut
Tanoni, Australia sangat melindungi Pulau Pasir dengan
menetapkannya
sebagai Taman Nasional kemudian Juli mendatang menutup kawasan tersebut, bukan
karena kawasan itu adalah wilayah konservasi dan harus melindungi biota laut
dan darat dari kepunahan. Itu hanya alasan yang dicari-cari untuk
pembenaran dari kebijaksanaan mereka, namun yang utama sebenarnya adalah
berusaha mempertahankan Pulau Pasir sebagai miliknya untuk melindungi
"keserakahan" mereka memiliki dan menguasai potensi minyak bumi di
kawasan Celah Timor, termasuk kawasan perairan di gugusan Pulau
Pasir. Jadi merupakan kebohongan besar mengatasnamakan konservasi atau
pelestarian lingkungan lalu menutup kawasan Pulau Pasir, sebab dibalik itu
semua sebenarnya adalah keserakahan menguasai minyak bumi, kata Tanoni.
Agar Celah Timor dan Pulau Pasir tidak berkembang menjadi
Agar Celah Timor dan Pulau Pasir tidak berkembang menjadi
permasalahan
internasional yang rumit, maka sangat layak bila Australia membuka diri untuk
meninjau kembali perjanjian Celah Timor dan menentukan batas melalui cara yang
paling adil yakni pola garis tengah (middle line). Setelah itu,
perjanjian bagi hasil atas kekayaan di Celah Timor dibicarakan kembali dengan
negara berbatasan Australia-Indonesia-Timtim, sebab di Celah Timor ada hak dan
kepentingan masyarakat Timor bagain barat NTT yang juga secara adat adalah
pemilik Laut Timor, sebab menyentuh langsung kawasan Pulau Timor secara
umum. Ferdi Tanoni mengingatkan Australia, bahwa Pulau Pasir bila nanti
berkembang menjadi pulau yang diperebutkan antara Australia dan Indonesia, maka
hal itu tidak akan sama kasusnya dengan Pulau Sipadan-Ligitan antara
Indonesia-Malaysia. Sebab, bukti apapun yang dimajukan ke Mahkamah
Internasional nanti, Indonesia memiliki peluang besar memenangkan, sebab bila
menggunkan ketentuan ZEE atau garis tengah maka Pulau tersebut masuk dalam
wilayah Indonesia, serta didukung fakta sejarah dan bukti-bukti yang ada di
Pulau Pasir serta peta Hindia Belanda.
PULAU PASIR BELUM SAH MENJADI MILIK AUSTRALIA
Tanggal: Senin, 18 Desember 2006
Topik: Berita Umum
Topik: Berita Umum
Kupang, 18/12
(ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Universitas
Nusa Cendana (Undana) Kupang, Ir Yusuf Leonard Henuk, M.Rur.Sc.Ph.D mengatakan,
Indonesia masih bisa memperdebatkan status Pulau Pasir di tingkat Mahkamah
Internasional, karena gugusan pulau tersebut belum sah menjadi milik
Australia. Dari segi hukum internasional, kata Henuk di Kupang, Senin,
kepemilikan Australia atas pulau seluas 583 km2 itu diwariskan oleh Inggris
yang melakukan "klaim sepihak oleh Kapten Semuel Ashmore pada 1878"
dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. "Namun, perlu dicatat
bahwa nelayan tradisional Indonesia asal Pulau Rote dan wilayah lainnya di
negeri ini telah mengolah dan melakukan aktivitas secara terus-menerus di Pulau
Pasir hingga saat ini sejak 500 tahun yang lampau sebelum kedatangan para
penjajah di Bumi Nusantara," katanya menegaskan.
Ia mengemukakan hal ini berkaitan dengan "surat protes" dari Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, Eddy Pratomo atas pernyataannya di media massa beberapa waktu lalu yang menyebut Pulau Pasir adalah milik sah orang Rote. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan di sebagian kecil kalangan masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut jika dilihat dari kedekatan geografis (geographical proximity) maupun klaim historis. Henuk menjelaskan, dari segi hukum internasional, kepemilikan Australia atas Pulau Pasir itu masih bisa diperdebatkan Indonesia di tingkat Mahkamah Internasional, karena Inggris memasukan pulau itu ke dalam wilayah otorita "Commonwelath of Australia" melalui "Ashmore and Charter Acceptance Act 1933".
Pada 1942,
jelasnya, wilayah tersebut berada di bawah administrasi Negara Bagian Australia
Barat yang kemudian menjadi Northern Territory hingga 1978. Setelah 1978,
wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara
Federal Australia. Ia menambahkan, nelayan tradisional Indonesia sendiri
baru mulai mengenai Pulau Pasir pada pertengahan abad ke-18, sekitar 1742 dan
1750, yang menurut arsip pemerintah Belanda, penduduk lokal Pulau Rote, Nusa
Tenggara Timur (NTT) secara tidak sengaja menemukan Pulau Pasir pada 1729 yang
digunakan sebagai tempat bersandar untuk mengambil air tawar atau pada saat
keadaan darurat.
Nelayan
tradisional Indonesia sendiri, kata Henuk, diperkirakan telah mengenal Pulau
Pasir itu pada zaman "Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)" ketika
tiba di Pulau Timor pada 1602. Menurut catatan arsip Belanda, pada akhir
1750-an pengumpulan teripang dan biota laut lainnya dari gugusan Pulau Pasir
telah diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif. Banyak perahu dari
Makassar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa serta kelengkapan
surat-surat izin resmi dari Belanda yang memperbolehkan mereka mengumpulkan
teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di gugusan Pulau
Pasir. "Kenyataan ini juga membuktikan bahwa gugusan Pulau Pasir
merupakan wilayah jajahan Belanda yang seharusnya diwariskan kepada Indonesia,"
katanya dan menambahkan, Belanda sendiri tidak pernah mempermasalahkan kegiatan
Inggris di Pulau Pasir sejak abad ke-18 atau mempersengketakan status
kepemilikan Pulau Pasir.
Oleh karena
itu, Indonesia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Belanda,
dan Australia
yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Inggris juga tidak pernah
mempunyai
sengketa kedaulatan atas Pulau Pasir.
"Di
sinilah titik temu kita bahwa sudah seharusnya kita Bangsa Indonesia berhak
untuk
mempertanyakan kepada Belanda, Inggris dan Australia tentang fakta-fakta
sejarah tersebut,
jika perlu di bawa ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan,"
katanya. Ia menambahkan, sudah sangat jelas bahwa gugusa Pulau Pasir
pernah diregulasi oleh penjajah
Belanda sehingga sama artinya bahwa wilayah tersebut harus diwariskan kepada
Indonesia, bukan kepada Inggris apalagi Australia.
Sumber :
Antara
Let's kill
the boredom and share ideas!!! -FJM-
KELAUTAN INDONESIA: SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN
Posted
on September 15, 2009 by FJM
Undang Undang
No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (“UU Wilayah Negara”) pasal 1 ayat 1
mengatakan “wilayah negara…merupakan satu
kesatuan
wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial
beserta dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang udara diatasnya termasuk
seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya”, sementara Undang Undang
No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”) pasal 2
ayat 2 mengatakan “segala perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan
pulau atau bagian pulau pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia…merupakan
bagian integral dari wilayah daratan
sehingga…berada
di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.
Nyatalah
sudah betapa pentingnya arti kelautan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Tonggak penting rezim hukum laut bagi Indonesia itu sendiri sesungguhnya
terdiri 2 (dua) hal utama, yaitu: Deklarasi Juanda tertanggal 13 Desember 1957
yang melahirkan konsepsi wawasan nusantara dan lahirnya United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai rezim internasional
hukum laut.
Indonesia
merupakan Negara Kepulauan berdasarkan Deklarasi Juanda dan pasal 2 ayat 1 UU
Perairan Indonesia, yang berbatasan secara darat maupun maritim dengan 10
(sepuluh) negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam,
Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste, dimana
ketidakjelasan batas darat dan maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga
tersebut dapat mengakibatkan konflik yang sepatutnya bisa kita hindari. Artikel
inipun dibuat secara sederhana untuk sedikitnya memahami 2 (dua) isu utama
dalam konteks maritim yang sering menjadi wacana dalam kehidupan kita dengan
negara tetangga yaitu isu Kedaulatan – Hak Berdaulat dan Isu Landas Kontinen.
Kedaulatan
vs. Hak Berdaulat
Kedaulatan
(Sovereignty) merupakan suatu wewenang tertinggi yang
dapat
dilakukan suatu negara untuk melaksanakan kekuasaanya terhadap suatu wilayah
dan/atau masyarakatnya. Dalam hal pelaksanaan kedaulatan, suatu negara tidak
perlu meminta ‘izin’ terhadap negara lain untuk menjalankan kekuasaannya.
Kedaulatan ini jika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia meliputi
daratan, perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic
waters), dan laut territorial (territorial sea).
Sedangkan Hak
berdaulat merupakan kewenangan suatu negara terhadap suatu wilayah tertentu
dimana pelaksanaannya haruslah tunduk pada aturan hukum yang berlaku bagi
masyarakat internasional. Yang artinya adalah, hak berdaulat suatu negara
haruslah merupakan konsensus dan mendapat persetujuan dari negara lain. Hak
berdaulat umumnya mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam dan/atau laut
pada kawasan tertentu yang tidak tercakup dalam wilayah Kedaulatan negara sebagaimana
tersebut diatas. Untuk dapat lebih memahami perbedaan diantara keduanya, perlu
kiranya untuk mencermati beberapa contoh berikut:
a. Sengketa
Pulau Pasir (Ashmore Reef) merupakan isu Kedaulatan yang diperdebatkan sebagai
pulau Indonesia dengan alasan pulau tersebut berada lebih dekat dengan
Indonesia. Kecil kemungkinan pulau ini sebagai pulau Indonesia dengan alasan
‘kedekatan’ tersebut, hal ini dipatahkan pihak Australia dengan alasan batas
maritim dan historis dimana Australia memiliki bukti bahwa pulau ini dahulunya
merupakan pulau kepemilikan Inggris yang diserahkan kepada Australia ketika
merdeka. Namun berkembang wacana lain bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau
jajahan Belanda dimana Belanda memberlakukan peraturan mengenai pengumpulan
teripang di atas pulau ini. Hal ini merupakan suatu kajian menarik yang ‘bisa’
diperdebatkan Indonesia terhadap klaim kedaulatan Australia atas pulau ini.
b. Kewenangan
untuk mengelola dan menguasai kekayaan alam dan/atau laut yang terdapat dalam
Pulau Miangas dan perairan Indonesia di sekitarnya (laut territorial, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman – lihat pasal 1 ayat 4 UU Perairan Indonesia)
merupakan isu kedaulatan. Hal ini dikarenakan karena klaim kedaulatan atas
pulau Miangas secara hukum internasional adalah mutlak milik Indonesia yang
bersumber pada putusan Mahkamah Arbitrase pada tanggal 14 April 1928 oleh hakim
Max Huber dalam sengketa antara United States dan Belanda (sebagai predecessor
state dari Indonesia dan Filipina) yang memutuskan Pulau Miangas berada dalam
jurisdiksi pemerintah kolonial Belanda. Indonesia dalam hal ini dapat
menggunakan asas Uti Possideti Juris bahwa wilayah kolonial menjadi wilayah
berdaulat Negara tersebut ketika Negara tersebut merdeka dari Negara
kolonial/penjajahnya.
c.Namun,
untuk kekayaan alam dan/atau laut di selatan Pulau Jawa yang terletak lebih
dari 12
mil laut dari garis pangkal merupakan hak berdaulat bagi Indonesia. Untuk
memanfaatkannya, Indonesia tidak dapat
melaksanakan
hukum nasional dan hak kedaulatannya disini tanpa mematuhi dan bekerja sama
dengan negara lain sesuai dengan rezim
UNCLOS yang
berlaku.
Jadi, jika
terjadi perebutan kepemilikan atas pulau dan /atau klaim penguasaan sumber daya
alam dan/atau laut dalam wilayah 12 mil laut dari garis pangkal, maka ini
adalah konflik kedaulatan dan apabila terjadi konflik atas pengelolaan kekayaan
sumber daya alam dan/atau laut di luar 12 mil laut dari garis pangkal, maka hal
itu merupakan konflik hak berdaulat antar negara.
Untuk kasus
sipadan ligitan (dimana pendekatan historis dan rantai hak (chain of title)
dipatahkan dengan asas penguasaan effective) merupakan isu kedaulatan yang
berujung kepada hak berdaulat. Apa maksudnya? Indonesia sempat menggunakan
kedua pulau ini sebagai titik pangkal dalam penarikan garis pangkalnya, dimana
ketika Mahkamah Internasional menjatuhkan kepemilikan pulau ini kepada Malaysia
maka berubahlah penetapan titik pangkal dan garis pangkal wilayah Indonesia
(‘isu Kedaulatan’) yang tentunya berakibat pula pada berubahnya batas maritim
kedua negara tersebut atas Laut Sulawesi. Penentuan batas maritim ini hingga
sekarang masih dalam proses negosiasi antara Indonesia dan Malaysia.
Nah, belum
selesainya penentuan batas maritim inilah yang mempunyai implikasi langsung
terhadap sengketa Blok Ambalat yang merupakan kawasan dasar laut (sea bed) yang
kaya akan sumber daya alam dan/atau laut yang berada diluar wilayah 12 mil laut
dari masing masing garis pangkal Indonesia dan Malaysia (‘ isu Hak Berdaulat’
dimana Ambalat terletak ± 60 mil laut kearah timur dari garis pangkal pulau
Kalimantan). Jadi secara singkat, isu Sipadan Ligitan yang merupakan isu
Kedaulatan bersinggungan dengan isu Ambalat yang merupakan isu Hak Berdaulat,
sehingga, kuranglah tepat apabila kita mengkampanyekan ‘Perang’ terhadap
Malaysia karena isu Ambalat BUKANLAH KEDAULATAN Indonesia.
Isu
Kedaulatan dan Hak Berdaulat lain yang patut menjadi perhatian kita adalah isu
penentuan batas darat Indonesia-Timor Leste yang belum selesai dan isu Celah
Timor antara Timor Leste- Australia dimana untuk isu yang terakhir (Celah
Timor), adalah baik kiranya untuk kita beri sedikit perhatian ekstra
Landas
Kontinen
Pasal 1 ayat
9 UU Wilayah Negara kurang lebih mengatakan landas kontinen adalah wilayah
dasar laut dan tanah dibawahnya dengan jarak 200 mil laut dari garis pangkal
atau paling jauh 350 mil laut dari garis pangkal.
Perlu
dicermati lebih lanjut, di dalam Pasal 76 UNCLOS *) ditegaskan bahwa landas
kontinen adalah ‘hanya’ berjarak 200
mil laut dari garis pangkal, sedangkan 350 mil laut dari garis pangkal adalah
batas terluar landas kontinen (Extended Continental Shelf atau “ECS”). Mengapa
ini menarik? Hal ini menarik karena 350
mil laut merupakan hak yang dapat di klaim oleh negara atas landas kontinennya
sepanjang memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria tersebut terbagi atas
criteria yang membolehkan (formulae) dan criteria yang membatasi (constrainst).
Kriteria yang membolehkan adalah:
batas terluar
ECS adalah titik terluar landas kontinen dengan ketebalan batu sedimen 1% dari
ketebalan sedimen kaki lereng kontinen yang merupakan titik kelanjutan garis
landas kontinen 200
mil laut dari garis pangkal.Garis ini biasa disebut dengan Gardiner Line.
a. Batas
terluar ECS dapat ditentukan dengan menarik garis berjarak 60
b.mil laut
dari kaki lereng kontinen (hedberg line) ke laut lepas (high sea),
sedangkan
criteria yang membatasi adalah:
a. Batas
terluar ECS tidak boleh melebihi 350
mil laut dari garis pangkal.
b. Batas terluar ECS tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman 2500
b. Batas terluar ECS tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman 2500
meter
isobaths.
Kemudian,
untuk mengajukan hak atas ECS ini dapat dilakukan dengan mengajukan klaim yang
telah memenuhi criteria tersebut diatas kepada Commission on the Limits of
Continental Shelf (“CLCS”) malalui Sekretaris Jenderal PBB dengan deadline
untuk claim submission tersebut adalah paling lambat 13 Mei 2009.
Masalah ECS
ini menjadi menarik karena Indonesia memiliki 3 (tiga) potensi landas kontinen
yang bisa kita ajukan batas terluarnya dari 200
mil laut menjadi 350
mil laut dari garis pangkal, yaitu di sebelah barat sumatera, di sebelah
selatan pulau jawa, dan di sebelah utara Papua. Dalam hal ini, Indonesia sudah
mengajukan claim ECS tersebut pada tahun 2008 dan kini tengah menunggu review
CLCS. Catatan kaki yang juga menjadi perhatian kita adalah, selain Indonesia,
ada beberapa negara lain yang turut mengajukan ECS yaitu: Rusia, Perancis,
Brazilia, Australia, Irlandia, Selandia Baru, Norwegia
Kisah
Klasik Untuk Masa Depan?
Isu isu
tersebut diatas adalah sebenarnya merupakan kisah klasik perjuangan diplomasi
Indonesia yang harus terus menerus menjadi perhatian kita. Terdapat 2 (dua)
kesimpulan sederhana atas hal tersebut yaitu:
a. Negara
kepulauan, maritim, maupun negara pantai dengan interaksi hubungan
internasional dan politik luar negerinya dengan negara lain sangatlah penting
untuk memiliki batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas dan baik. Hal ini
akan membantu dalam memudahkan isu isu sensitive seperti isu keamanan, akses
dan pengelolaan sumber daya laut, keseimbangan antara hak dan kewajiban antar
negara yang bersangkutan.
b.
Delimitasi/kejelasan batas maritim dapat menghilangkan potensi konflik antar
negara negara bertetangga, sehingga, dalam hal ini, Indonesia sebagai motor
penggerak dalam pembentukan ASEAN Community harus memberi perhatian lebih untuk
menciptaan kejelasan batas maritim dengan negara tetangga sebagai suatu
‘situasi prakondisi’ demi terwujudnya ASEAN Community yang damai, sejahtera,
bersatu, dan saling menghormati kedaulatan, hak berdaulat, dan batas “maksimal”
landas kontinen antar negara anggotanya sebagai suatu kesatuan komunitas yang
selaras dan harmoni. Sungguh, kelautan Indonesia adalah kisah klasik untuk masa
depan…yang lebih baik…
PS: Kritik
dan masukan dibuka untuk pemahaman Hukum Laut yang lebih baik…..untuk
Indonesia!!
-FJM-
*) UNCLOS
1982 ( Penulis Melengkapi dasar hukum yang disebutkan dalam artikel di atas agar
lebih jelas sbb) :
CONTINENTAL
SHELF
Article76
Definition of
the continental shelf
1. The
continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the
submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural
prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin,
or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the
breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the
continental margin does not extend up to that distance.
2. The
continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits
provided for in paragraphs 4 to 6.
3. The continental
margin comprises the submerged prolongation of the land mass of the coastal
State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the slope and the
rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges or the
subsoil thereof.
4. (a) For
the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the outer
edge of the continental margin wherever the margin extends beyond
200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the
territorial sea is measured, by either:
(i) a line
delineated in accordance with paragraph 7 by reference to the outermost
fixed points at each of which the thickness of sedimentary rocks is at least
1 per cent of the shortest distance from such point to the foot of
the continental slope; or
(ii) a line
delineated in accordance with paragraph 7 by reference to fixed points not
more than 60 nautical miles from the foot of the continental slope.
(b) In the
absence of evidence to the contrary, the foot of the continental slope shall be
determined as the point of maximum change in the gradient at its base.
5. The fixed
points comprising the line of the outer limits of the continental shelf on the
seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either
shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the
breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed
100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line
connecting the depth of 2,500 metres.
6.
Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the
outer limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles
from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.
This paragraph does not apply to submarine elevations that are natural components
of the continental margin, such as its plateaux, rises, caps, banks and spurs.
7. The
coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf, where
that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which
the breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not exceeding
60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by
coordinates of latitude and longitude.
8.
Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical
miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is
measured shall be submitted by the coastal State to the Commission on the
Limits of the Continental Shelf set up under Annex II on the basis of
equitable geographical representation. The Commission shall make
recommendations to coastal States on matters related to the establishment of
the outer limits of their continental shelf. The limits of the shelf
established by a coastal State on the basis of these recommendations shall be
final and binding.
9. The
coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United Nations
charts and relevant information, including geodetic data, permanently
describing the outer limits of its continental shelf. The Secretary-General
shall give due publicity thereto.
10.
The provisions of this article are without prejudice to the question of
delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent
coasts.(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.