West
Timor Care Foundation
Message
1 of 1 , Dec 11 2:05 AM
View Source
Kupang, 11 Desember 2006.
Nomor : ------
Lampiran : 5 lembar
Nomor : ------
Lampiran : 5 lembar
Perihal
: Tanggapan Atas Surat Saudara Eddy
Pratomo
Pratomo
yang Menanggapi
Wawancara
Saya di Harian Pos Kupang berjudul:
”Pulau Pasir Milik Orang Rote” (Pos
Kupang, 20 November 2006: 6 –
terlampir)
Kepada Yth. Saudara Eddy Pratomo (NIP. 020003709)
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia
di-
J A K A R T A
Dengan hormat,
Bersama ini, ijinkanlah Saya (b) menanggapi surat Saudara Eddy Pratomo (a) sebagaimana pada perihal tersebut di atas seperti yang tertuang dalam suratnya
bernomor: 427/PO/XII/59/09 tanggal 5 Desember 2006 (terlampir), tanggapan Saya butir per butir sebagai berikut:
1. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a):
a. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan di sebagian kecil kalangan masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut dilihat dari kedekatan geografis (geographical proximity) maupun klaim historis. Kesalahpahaman persepsi ini perlu diluruskan guna menghindari reaksi yang tidak
proporsional dan kebijakan yang kurang tepat.
b. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan BUKAN
saja oleh sebagian kecil tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa Indonesia lebih berhak atas Gugusan Pulau itu jika dilihat dari kedekatan geografis maupun historis. Tidak ada kesalahpahaman persepsi yang sebenarnya perlu diluruskan guna menghindari reaksi yang tidak proporsional dan kebijakan yang kurang tepat.
Status Hukum Pulau Pasir
2. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Dari segi hukum internasional, kepemilikan Australia atas Pulau seluas 583 km2 ini diwarisi dari Inggris yang menetapkan wilayah itu sebagai koloninya pada 1878. Inggris memasukan Pulau ini ke dalam wilayah otorita Commonwelath of Australia melalui Ashmore and Charter Acceptance Act 1933. Pada tahun 1942, wilayah tersebut berada di bawah administrasi Negara Bagian Australia Barat, yang kemudian menjadi Northern Territory hingga 1978. Setelah 1978, wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal Australia.
b. Dari segi hukum internasional, kepemilikan Australia atas Pulau Pasir seluas 583 km2 ini diwarisi dari Inggris yang melakukan KLAIM SEPIHAK OLEH KAPTEN SEMUEL ASHMORE PADA TAHUN 1878 dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya.Namun perlu DICATAT bahwa nelayan tradisional yang berasal dari
Pulau Rote dan wilayah lainnya di Indonesia telah mengelola dan melakukan aktivitas secara terus-menerus hingga saat ini di Pulau Pasir sejak kurang lebih 500 tahun yang lalu sebelum kedatangan para penjajah di Indonesia. Akibatnya, kepemilikan Gugusan Pulau Pasir belum sah menjadi milik Australia sehingga masih bisa
diperdebatkan pada tingkat Mahkamah Internasional.
Alasan Sejarah
3. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Nelayan tradisional Indonesia sendiri diperkirakan baru mulai mengenal Pulau Pasir pada pertengahan abab ke-18, sekitar tahun 1742 dan 1750. Menurut catatan
arsip Belanda, penduduk lokal Pulau Rote secara tidak sengaja menemukan Pulau Pasir pada tahun 1729 yang digunakan sebagai tempat bersandar untuk mengambil air tawar atau dalam keadaan darurat.
b. Nelayan tradisional Indonesia sendiri diperkirakan telah mengenal Pulau Pasir tidak hanya pada pertengahan abab ke-18, sekitar tahun 1742 dan 1750,
tetapi berdasarkan catatan sejarah bahwa nelayan tradisional Indonesia yang menemukan pertama Gugusan Pulau Pasir dan memanfaatkannya sejak Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) tiba di Timor tahun 1602. Menurut catatan arsip Belanda, pada akhir tahun 1750-an pengumpulan teripang dan biota laut lainnya
dari Gugusan Pulau Pasir telah diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif. Banyak perahu dari Makasar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa serta
kelengkapan surat-surat ijin resmi dari Belanda yang memperbolehkan mereka mengumpulkan teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di Gugusan Pulau Pasir. Kenyataan ini membuktikan bahwa Gugusan Pulau Pasir merupakan wilayah JAJAHAN BELANDA yang seharusnya diwariskan kepada Indonesia.
4. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Belanda sendiri tidak pernah mempermasalahkan kegiatan Inggris di Pulau Pasir sejak abad ke-18 atau mempersengketakan status kepemilikan Pulau Pasir tersebut. Oleh karena itu, Indonesia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai oleh Belanda, dan Australia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai oleh Inggris juga tidak pernah mempunyai sengketa kedaulatan atas Pulau Pasir. Selain itu, Deklarasi Djuanda tahun 1957 dan Garis Pangkal Indonesia (1960 atau 2000) tidak pernah mencantumkan Pulau Pasir sebagai milik RI.
b. Belanda sendiri memang tidak pernah mempermasalahkan kegiatan Inggris di Pulau Pasir sejak abad ke 18 atau mempersengketakan status kepemilikan
Pulau Pasir tersebut. Justeru disinilah titik temu kita bahwa SUDAH SEHARUSNYA KITA SELURUH BANGSA INDONESIA (maaf, bukan hanya pejabat Departemen Luar
Negeri RI saja, lho!) BERHAK untuk mempertanyakan
kepada Belanda, Inggris dan Australia tentang fakta-fakta sejarah pada butir (3) tersebut di atas, jika perlu di bawa ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan. Apalagi, sudah sangat jelas bahwa Gugusan Pulau Pasir pernah diregulasikan oleh Penjajah Belanda sehingga sama artinya bahwa wilayah tersebut HARUS DIWARISKAN KEPADA INDONESIA bukan kepada Inggris apalagi Australia. Selain itu, Deklarasi Djuanda tahun 1957 dan Garis Pangkal Indonesia (1960-2000) tidak
pernah mencantumkan Pulau Pasir sebagai milik RI, karena memang pada waktu pembuatan Deklarasi Djuanda tahun 1957 tidak ada seorang warga negara Indonesia
yang mempermasalahkannya dan berkaitan dengan garis pangkal Indonesia (1960-2000) sesungguhnya harus dibuat ulang karena khususnya di kawasan Laut Timor
hampir seluruh garis pangkal yang ditetapkan tidak objektif karena tidak sesuai dengan Prinsip-Prinsip Hukum Laut Internasional maupun fakta geologi yang ada
sehinga HARUS ditetapkan kembali oleh Sebuah Lembaga Internasional yang Independen.
5. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Belanda dan Indonesia tidak pernah mengklaim Pulau Pasir, karena sangat jelas bahwa berdasarkan prinsip hukum internasional, uti possidetis juris, Australia
diwarisi Pulau Pasir dari koloninya yaitu Inggris. Dapat Disampaikan bahwa dengan prinsip hukum internasional yang sama, Indonesia juga diwarisi Pulau Batek dari koloni Belanda.
b. Indonesia belum/tidak mau mengklaim Pulau Pasir, tetapi yang jelas Belanda pernah menguasai bahkan memberlakukan sebuah regulasi di Pulau Pasir, sehingga
jelas bahwa baik langsung maupun tidak, Belandalah yang menjajah Pulau Pasir bukan Inggris. Berdasarkan prinsip inilah bangsa Indonesia perlu mempertanyakan
kepada dua bangsa kulit putih ini secara Hukum Internasional pula bahwa apa sesungguhnya yang telah terjadi atas Pulau Pasir?.
6. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Sebagai informasi, Pulau Batek yang diwarisi Indonesia dari Pemerintah kolonial Belanda berdasarkan prinsip uti possidetis juris, pernah diklaim oleh sebagian kalangan di Timor Leste sebagai milik mereka, karena alasan historis dan karena adanya kegiatan tradisional masyarakat Timor Leste di pulau tersebut. Namun klaim ini gugur dengan sendirinya karena bertentangan dengan hukum internasional.
b. Soal kepemilikan Pulau Batek tidak usah dipersoalkan lagi karena pulau kecil yang terletak pada koordinat 09° 15’ 33’’ LS– 123° 59’ 15’’ BT sudah merupakan milik Indonesia yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kupang, Provinsi NTT.
Alasan Kedekatan Geografis
7. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Sebagaimana diketahui, Pulau Pasir yang terletak 140 km dari Pulau Rote dan 320 km dari Australia kerap memunculkan anggapan di sebahagian kecil kalangan
masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut dilihat dari kedekatan geografis. Kesalahpahaman persepsi ini perlu diluruskan guna menghindari reaksi yang tidak proporsional dan kebijakan yang kurang tepat karena antara lain
walaupun fakta geografis menunjukkan kedekatan, namun fakta yuridis memperlihatkan bahwa faktor jarak tidak relevan sama sekali untuk menentukan status kepemilikan suatu negara. Apabila faktor kedekatan geografis dianggap sebagai dasar kepemilikan pulau, maka semua pulau-pulau yang dekat dengan negara tetangga seperti Batam dan Bintan, misalnya, dapat diklaim oleh negara tetangga.
b. Jelas Saudara sangat keliru dan terjebak disini atau mungkin sengaja mempertentangkan persepsi untuk membenarkan argumentasi Saudara. Jelas bahwa masalah Pulau Batam dan Pulau Bintan atau pulau-pulau lainnya yang berdekatan dengan negara tetangga, kasusnya TIDAK SAMA SEPERTI kasus Pulau Pasir ini.
Saya di Harian Pos Kupang berjudul:
”Pulau Pasir Milik Orang Rote” (Pos
Kupang, 20 November 2006: 6 –
terlampir)
Kepada Yth. Saudara Eddy Pratomo (NIP. 020003709)
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Departemen Luar Negeri
Republik Indonesia
di-
J A K A R T A
Dengan hormat,
Bersama ini, ijinkanlah Saya (b) menanggapi surat Saudara Eddy Pratomo (a) sebagaimana pada perihal tersebut di atas seperti yang tertuang dalam suratnya
bernomor: 427/PO/XII/59/09 tanggal 5 Desember 2006 (terlampir), tanggapan Saya butir per butir sebagai berikut:
1. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a):
a. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan di sebagian kecil kalangan masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut dilihat dari kedekatan geografis (geographical proximity) maupun klaim historis. Kesalahpahaman persepsi ini perlu diluruskan guna menghindari reaksi yang tidak
proporsional dan kebijakan yang kurang tepat.
b. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan BUKAN
saja oleh sebagian kecil tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa Indonesia lebih berhak atas Gugusan Pulau itu jika dilihat dari kedekatan geografis maupun historis. Tidak ada kesalahpahaman persepsi yang sebenarnya perlu diluruskan guna menghindari reaksi yang tidak proporsional dan kebijakan yang kurang tepat.
Status Hukum Pulau Pasir
2. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Dari segi hukum internasional, kepemilikan Australia atas Pulau seluas 583 km2 ini diwarisi dari Inggris yang menetapkan wilayah itu sebagai koloninya pada 1878. Inggris memasukan Pulau ini ke dalam wilayah otorita Commonwelath of Australia melalui Ashmore and Charter Acceptance Act 1933. Pada tahun 1942, wilayah tersebut berada di bawah administrasi Negara Bagian Australia Barat, yang kemudian menjadi Northern Territory hingga 1978. Setelah 1978, wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal Australia.
b. Dari segi hukum internasional, kepemilikan Australia atas Pulau Pasir seluas 583 km2 ini diwarisi dari Inggris yang melakukan KLAIM SEPIHAK OLEH KAPTEN SEMUEL ASHMORE PADA TAHUN 1878 dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya.Namun perlu DICATAT bahwa nelayan tradisional yang berasal dari
Pulau Rote dan wilayah lainnya di Indonesia telah mengelola dan melakukan aktivitas secara terus-menerus hingga saat ini di Pulau Pasir sejak kurang lebih 500 tahun yang lalu sebelum kedatangan para penjajah di Indonesia. Akibatnya, kepemilikan Gugusan Pulau Pasir belum sah menjadi milik Australia sehingga masih bisa
diperdebatkan pada tingkat Mahkamah Internasional.
Alasan Sejarah
3. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Nelayan tradisional Indonesia sendiri diperkirakan baru mulai mengenal Pulau Pasir pada pertengahan abab ke-18, sekitar tahun 1742 dan 1750. Menurut catatan
arsip Belanda, penduduk lokal Pulau Rote secara tidak sengaja menemukan Pulau Pasir pada tahun 1729 yang digunakan sebagai tempat bersandar untuk mengambil air tawar atau dalam keadaan darurat.
b. Nelayan tradisional Indonesia sendiri diperkirakan telah mengenal Pulau Pasir tidak hanya pada pertengahan abab ke-18, sekitar tahun 1742 dan 1750,
tetapi berdasarkan catatan sejarah bahwa nelayan tradisional Indonesia yang menemukan pertama Gugusan Pulau Pasir dan memanfaatkannya sejak Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) tiba di Timor tahun 1602. Menurut catatan arsip Belanda, pada akhir tahun 1750-an pengumpulan teripang dan biota laut lainnya
dari Gugusan Pulau Pasir telah diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif. Banyak perahu dari Makasar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa serta
kelengkapan surat-surat ijin resmi dari Belanda yang memperbolehkan mereka mengumpulkan teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di Gugusan Pulau Pasir. Kenyataan ini membuktikan bahwa Gugusan Pulau Pasir merupakan wilayah JAJAHAN BELANDA yang seharusnya diwariskan kepada Indonesia.
4. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Belanda sendiri tidak pernah mempermasalahkan kegiatan Inggris di Pulau Pasir sejak abad ke-18 atau mempersengketakan status kepemilikan Pulau Pasir tersebut. Oleh karena itu, Indonesia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai oleh Belanda, dan Australia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai oleh Inggris juga tidak pernah mempunyai sengketa kedaulatan atas Pulau Pasir. Selain itu, Deklarasi Djuanda tahun 1957 dan Garis Pangkal Indonesia (1960 atau 2000) tidak pernah mencantumkan Pulau Pasir sebagai milik RI.
b. Belanda sendiri memang tidak pernah mempermasalahkan kegiatan Inggris di Pulau Pasir sejak abad ke 18 atau mempersengketakan status kepemilikan
Pulau Pasir tersebut. Justeru disinilah titik temu kita bahwa SUDAH SEHARUSNYA KITA SELURUH BANGSA INDONESIA (maaf, bukan hanya pejabat Departemen Luar
Negeri RI saja, lho!) BERHAK untuk mempertanyakan
kepada Belanda, Inggris dan Australia tentang fakta-fakta sejarah pada butir (3) tersebut di atas, jika perlu di bawa ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan. Apalagi, sudah sangat jelas bahwa Gugusan Pulau Pasir pernah diregulasikan oleh Penjajah Belanda sehingga sama artinya bahwa wilayah tersebut HARUS DIWARISKAN KEPADA INDONESIA bukan kepada Inggris apalagi Australia. Selain itu, Deklarasi Djuanda tahun 1957 dan Garis Pangkal Indonesia (1960-2000) tidak
pernah mencantumkan Pulau Pasir sebagai milik RI, karena memang pada waktu pembuatan Deklarasi Djuanda tahun 1957 tidak ada seorang warga negara Indonesia
yang mempermasalahkannya dan berkaitan dengan garis pangkal Indonesia (1960-2000) sesungguhnya harus dibuat ulang karena khususnya di kawasan Laut Timor
hampir seluruh garis pangkal yang ditetapkan tidak objektif karena tidak sesuai dengan Prinsip-Prinsip Hukum Laut Internasional maupun fakta geologi yang ada
sehinga HARUS ditetapkan kembali oleh Sebuah Lembaga Internasional yang Independen.
5. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Belanda dan Indonesia tidak pernah mengklaim Pulau Pasir, karena sangat jelas bahwa berdasarkan prinsip hukum internasional, uti possidetis juris, Australia
diwarisi Pulau Pasir dari koloninya yaitu Inggris. Dapat Disampaikan bahwa dengan prinsip hukum internasional yang sama, Indonesia juga diwarisi Pulau Batek dari koloni Belanda.
b. Indonesia belum/tidak mau mengklaim Pulau Pasir, tetapi yang jelas Belanda pernah menguasai bahkan memberlakukan sebuah regulasi di Pulau Pasir, sehingga
jelas bahwa baik langsung maupun tidak, Belandalah yang menjajah Pulau Pasir bukan Inggris. Berdasarkan prinsip inilah bangsa Indonesia perlu mempertanyakan
kepada dua bangsa kulit putih ini secara Hukum Internasional pula bahwa apa sesungguhnya yang telah terjadi atas Pulau Pasir?.
6. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Sebagai informasi, Pulau Batek yang diwarisi Indonesia dari Pemerintah kolonial Belanda berdasarkan prinsip uti possidetis juris, pernah diklaim oleh sebagian kalangan di Timor Leste sebagai milik mereka, karena alasan historis dan karena adanya kegiatan tradisional masyarakat Timor Leste di pulau tersebut. Namun klaim ini gugur dengan sendirinya karena bertentangan dengan hukum internasional.
b. Soal kepemilikan Pulau Batek tidak usah dipersoalkan lagi karena pulau kecil yang terletak pada koordinat 09° 15’ 33’’ LS– 123° 59’ 15’’ BT sudah merupakan milik Indonesia yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kupang, Provinsi NTT.
Alasan Kedekatan Geografis
7. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Sebagaimana diketahui, Pulau Pasir yang terletak 140 km dari Pulau Rote dan 320 km dari Australia kerap memunculkan anggapan di sebahagian kecil kalangan
masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut dilihat dari kedekatan geografis. Kesalahpahaman persepsi ini perlu diluruskan guna menghindari reaksi yang tidak proporsional dan kebijakan yang kurang tepat karena antara lain
walaupun fakta geografis menunjukkan kedekatan, namun fakta yuridis memperlihatkan bahwa faktor jarak tidak relevan sama sekali untuk menentukan status kepemilikan suatu negara. Apabila faktor kedekatan geografis dianggap sebagai dasar kepemilikan pulau, maka semua pulau-pulau yang dekat dengan negara tetangga seperti Batam dan Bintan, misalnya, dapat diklaim oleh negara tetangga.
b. Jelas Saudara sangat keliru dan terjebak disini atau mungkin sengaja mempertentangkan persepsi untuk membenarkan argumentasi Saudara. Jelas bahwa masalah Pulau Batam dan Pulau Bintan atau pulau-pulau lainnya yang berdekatan dengan negara tetangga, kasusnya TIDAK SAMA SEPERTI kasus Pulau Pasir ini.
Bila kita mau mengacu pada putusan Mahkamah Internasional tentang sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai jurisprudensi, maka jelas PULAU PASIR MILIK ORANG ROTE. Mengapa? Karena secara Juridis Pulau Sipadan dan Ligitan adalah milik Indonesia namun yang melakukan aktivitas secara terus-menerus disana adalah Malaysia sehingga Malaysialah yang berhak atas Sipadan dan Ligitan bukan Indonesia. Kasus yang sama pula terjadi pada Pulau Pasir bila secara juridis adalah milik Inggris namun yang melakukan aktivitas selama ini bahkan hingga saat ini adalah nelayan tradisional Indonesia bukan Australia.
Kesepakatan RI-Australia Berkenaan dengan Kegiatan Tradisional di Sekitar
Pulau Pasir
8. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy Pratomo (a) :
a. Indonesia tidak memiliki kedaulatan atas Pulau Pasir. Namun, untuk menampung aspirasi masyarakat Nusa Tenggara Timur untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
tradisional mereka di kawasan Pulau Pasir, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah menyepakati 3 (tiga) kesepakatan, yaitu:
a1. MoU tentang Operasi Nelayan Tradisional Indonesia di Wilayah Perikanan dan Landas Kontinen Australia, 7 November 1974, yang intinya memberikan hak kepada
nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di 5 (lima) wilayah maritim, termasuk di Pulau Pasir.
a2. MoU tentang Provisionel Fisheries, Surveillance and Enforcement Line, Oktober 1981, yang antara lain berisi ketentuan tentang tidak terpengaruhnya hak tradisional nelayan Indonesia di pulau karang tersebut.
a3. Persetujuan tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MoU 1974 di atas, Mei 1989.
b. Saya pribadi tidak terlalu serius menanggapi tanggapan Saudara ini karena 3 buah perjanjian yang disebutkan oleh Saudara di atas memang pernah ada namun sangat diragukan sekali KEABSAHANNYA. Buktinya, “There were also fears [from Australia] that Indonesia might retaliate by querying the legitimacy of the original 1972 border treaty with Australia, and demand its own renegotiated boundary according to the principle of equidistance” – “Ada ketakutan dari Australia bahwa Indonesia mungkin melakukan retaliasi lewat menuntut legitimasi perjanjian asli tahun 1972 menyangkut perjanjian perbatasan dengan Australia, dan meminta negosiasi ulang perbatasan menurut prinsip sama jauh/kesetaraanjarak” (Balint, 2005: 45-46).
Kesepakatan RI-Australia Berkenaan dengan Kegiatan Tradisional di Sekitar
Pulau Pasir
8. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy Pratomo (a) :
a. Indonesia tidak memiliki kedaulatan atas Pulau Pasir. Namun, untuk menampung aspirasi masyarakat Nusa Tenggara Timur untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
tradisional mereka di kawasan Pulau Pasir, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah menyepakati 3 (tiga) kesepakatan, yaitu:
a1. MoU tentang Operasi Nelayan Tradisional Indonesia di Wilayah Perikanan dan Landas Kontinen Australia, 7 November 1974, yang intinya memberikan hak kepada
nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di 5 (lima) wilayah maritim, termasuk di Pulau Pasir.
a2. MoU tentang Provisionel Fisheries, Surveillance and Enforcement Line, Oktober 1981, yang antara lain berisi ketentuan tentang tidak terpengaruhnya hak tradisional nelayan Indonesia di pulau karang tersebut.
a3. Persetujuan tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MoU 1974 di atas, Mei 1989.
b. Saya pribadi tidak terlalu serius menanggapi tanggapan Saudara ini karena 3 buah perjanjian yang disebutkan oleh Saudara di atas memang pernah ada namun sangat diragukan sekali KEABSAHANNYA. Buktinya, “There were also fears [from Australia] that Indonesia might retaliate by querying the legitimacy of the original 1972 border treaty with Australia, and demand its own renegotiated boundary according to the principle of equidistance” – “Ada ketakutan dari Australia bahwa Indonesia mungkin melakukan retaliasi lewat menuntut legitimasi perjanjian asli tahun 1972 menyangkut perjanjian perbatasan dengan Australia, dan meminta negosiasi ulang perbatasan menurut prinsip sama jauh/kesetaraanjarak” (Balint, 2005: 45-46).
Anehnya lagi, Pemerintah Indonesia membiarkan saja Pemerintah Australia melanggar semua perjanjian tersebut, bahkan Pemerintah Australia melakukan
tindakan-tindakan diluar batas-batas perikemanusiaan terhadap nelayan tradisional Indonesia sama seperti ketika mereka memperlakukan orang-orang Aborigin
(penduduk asli Australia) tempo dulu dan mungkin masih sampai kini. Bahkan pemahaman Saya selama ini, “Australia is committed several crimes towards
Indonesian fishermen (i.e. Rotenese fishermen) by caught and beaten them, burned and sunk their boats and ‘tried’ them unfairly when they found fishing in the area of Ashmore Reef” – “Australia telah melakukan beberapa tindakan kriminal terhadap nelayan Indonesia (nelayan Rote) ketika menangkap dan memukul mereka, membakar dan menenggelamkan perahu mereka dan bertindak tidak adil bila mereka ditemukan mencari ikan di sekitar Pulau Pasir”.
Jadi sesungguhnya apa yang dirasakan nelayan tradisional Indonesia sejak penandatanganan MoU 1974 antara RI-Australia tersebut bukannya membawa
kebaikan bagi para nelayan tradisional Indonesia, tetapi malah justeru MEMBAWA MALAPETAKA BESAR BAGI MEREKA SEMUA hingga saat ini.
9. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Permasalahan utama yang sebetulnya merugikan nelayan Indonesia adalah adanya nelayan asal luar NTT yang menggunakan kapal modern lengkap dengan GPS dan
lemari pendingin dari pemodal besar yang mencuri ikan di kawasan hak nelayan tradisional, serta tidak mengindahkan tata cara penangkapan ikan yang mengedepankan unsur-unsur perlindungan lingkungan yang selama ini secara turun-temurun dilakukan oleh nelayan tradisional NTT. Hal ini selain telah merugikan citra nelayan tradisional juga pada akhirnya merugikan pula kegiatan budaya nelayan tradisional NTT.
b. Saya pribadi tidak terlalu serius lagi menanggapi tanggapan Saudara ini karena bagaimanapun juga tidakakan bisa menyelesaikan masalah Pulau Pasir. Jelas-
jelas sudah ada perjanjian saja dilanggar berulang-kali oleh Pemerintah Australia, namun didiamkan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia, terus upaya apa lagi yang bisa dilakukan? Perlu ada kejujuran dan ketulusan hati disini dalam mengatur
bangsa dan negara ini Pak Eddy.
kebaikan bagi para nelayan tradisional Indonesia, tetapi malah justeru MEMBAWA MALAPETAKA BESAR BAGI MEREKA SEMUA hingga saat ini.
9. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Permasalahan utama yang sebetulnya merugikan nelayan Indonesia adalah adanya nelayan asal luar NTT yang menggunakan kapal modern lengkap dengan GPS dan
lemari pendingin dari pemodal besar yang mencuri ikan di kawasan hak nelayan tradisional, serta tidak mengindahkan tata cara penangkapan ikan yang mengedepankan unsur-unsur perlindungan lingkungan yang selama ini secara turun-temurun dilakukan oleh nelayan tradisional NTT. Hal ini selain telah merugikan citra nelayan tradisional juga pada akhirnya merugikan pula kegiatan budaya nelayan tradisional NTT.
b. Saya pribadi tidak terlalu serius lagi menanggapi tanggapan Saudara ini karena bagaimanapun juga tidakakan bisa menyelesaikan masalah Pulau Pasir. Jelas-
jelas sudah ada perjanjian saja dilanggar berulang-kali oleh Pemerintah Australia, namun didiamkan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia, terus upaya apa lagi yang bisa dilakukan? Perlu ada kejujuran dan ketulusan hati disini dalam mengatur
bangsa dan negara ini Pak Eddy.
Pada butir ini juga, tersirat Saudara cenderung memberikan vonis kepada
nelayan tradisional Indonesia yang salah dan membenarkan Australia. Terpenting lagi, sangatlah berbahaya ketika Saudara menciptakan sebuah terminologi baru yang disebut NELAYAN ASAL LUAR NTT. Ini saja, (mohon maaf bila keliru) telah tergambar
dengan jelas bahwa Saudara telah memulai membedakan suku, bangsa dan latar belakang masyarakat Indonesia yang heterogen ini. Hati-hati agar kita tidak terjebak
dengan permainan Pemerintah Australia selama ini yang bisa memecah belah kita.
10. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, pemikiran-pemikiran dan upaya-upaya untuk mempermasalahkan status kepemilikan Pulau Pasir atas alasan-alasan tersebut di atas, justru sangat berbahaya dan berpotensi mengancam kesatuan NKRI
karena banyak pulau-pulau kecil milik RI secara geografis dan historis memiliki hubungan dengan negara-negara tetangga. Dapat saja negara tetangga Indonesia melakukan klaim serupa dengan menggunakan argumentasi yang sama. Karena itu, upaya menciptakan preseden klaim kewilayahan berdasarkan hal-hal tersebut justru membahayakan kesatuan NKRI.
b. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, pemikiran-pemikiran dan upaya Saudara untuk meyakinkan bangsa Indonesia bahwa Pulau Pasir adalah milik
Inggris yang diwariskan kepada Australia, maka terlebih dahulu harus dikaji dan dikaji lebih mendalam lagi kepemilikan Pulau Pasir barulah dibuat berbagai
perjanjian dengan Pemerintah Australia.
11. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Terkait dengan permasalahan hak tradisional nelayan Indonesia, perlu dicarikan suatu upaya dan solusi yang tepat dalam menghadapi masalah ini melalui antara lain
pemberdayaan bagi masyarakat nelayan setempat daripada upaya-upaya atau pemikiran untuk mengklaim Pulau Pasir yang secara hukum tidak dimungkinkan lagi.
b. Terkait dengan permasalahan hak tradisional nelayan Indonesia di Pulau Pasir yang dilindungi pula oleh Konvensi Hukum PBB, sehingga tidak perlu di cari-cari
solusi yang tepat dan upaya lagi. Namun pertanyaannyaadalah: APAKAH DEPARTEMEN LUAR NEGERI RI MAMPU MEMINTA PEMERINTAH AUSTRALIA UNTUK MEMATUHI KONVENSI HUKUM PBB??????
12. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Oleh karena itu, sikap dan pemikiran yang mengatasnamakan demi kepentingan nasional Indonesia namun tidak berlandaskan pada proses panjang fakta-fakta hukum dan bertentangan dengan hukum internasional dan praktek antar negara yang berlaku justru akan bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
b. Oleh karena itu, sikap dan pemikiran Saudara yang mengatasnamakan Departemen Luar Negeri RI tidak sejalan dengan kepentingan Nasional Bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak? Apa yang telah Saudara buat selama ini untuk melindungi nelayan tradisional Indonesia yang telah menerima perlakuan
intimidasi oleh Pemerintah Australia yang tidak berperikemanusiaan itu terus saja terjadi setiap hari di Laut Timor sejak penandatanganan MoU 1974 yang Saudara bangga-banggakan itu?
Atas perhatian dan kerjasama Saudara dalam memahami
tanggapan Saya, diucapkan terima kasih.
yusufhenuk
Ir. Yusuf Leonard Henuk, M.Rur.Sc.,Ph.D
NIP. 131 576 780 – Mobile/HP: 62-0380-8080430
62-081361641496
nelayan tradisional Indonesia yang salah dan membenarkan Australia. Terpenting lagi, sangatlah berbahaya ketika Saudara menciptakan sebuah terminologi baru yang disebut NELAYAN ASAL LUAR NTT. Ini saja, (mohon maaf bila keliru) telah tergambar
dengan jelas bahwa Saudara telah memulai membedakan suku, bangsa dan latar belakang masyarakat Indonesia yang heterogen ini. Hati-hati agar kita tidak terjebak
dengan permainan Pemerintah Australia selama ini yang bisa memecah belah kita.
10. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, pemikiran-pemikiran dan upaya-upaya untuk mempermasalahkan status kepemilikan Pulau Pasir atas alasan-alasan tersebut di atas, justru sangat berbahaya dan berpotensi mengancam kesatuan NKRI
karena banyak pulau-pulau kecil milik RI secara geografis dan historis memiliki hubungan dengan negara-negara tetangga. Dapat saja negara tetangga Indonesia melakukan klaim serupa dengan menggunakan argumentasi yang sama. Karena itu, upaya menciptakan preseden klaim kewilayahan berdasarkan hal-hal tersebut justru membahayakan kesatuan NKRI.
b. Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, pemikiran-pemikiran dan upaya Saudara untuk meyakinkan bangsa Indonesia bahwa Pulau Pasir adalah milik
Inggris yang diwariskan kepada Australia, maka terlebih dahulu harus dikaji dan dikaji lebih mendalam lagi kepemilikan Pulau Pasir barulah dibuat berbagai
perjanjian dengan Pemerintah Australia.
11. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Terkait dengan permasalahan hak tradisional nelayan Indonesia, perlu dicarikan suatu upaya dan solusi yang tepat dalam menghadapi masalah ini melalui antara lain
pemberdayaan bagi masyarakat nelayan setempat daripada upaya-upaya atau pemikiran untuk mengklaim Pulau Pasir yang secara hukum tidak dimungkinkan lagi.
b. Terkait dengan permasalahan hak tradisional nelayan Indonesia di Pulau Pasir yang dilindungi pula oleh Konvensi Hukum PBB, sehingga tidak perlu di cari-cari
solusi yang tepat dan upaya lagi. Namun pertanyaannyaadalah: APAKAH DEPARTEMEN LUAR NEGERI RI MAMPU MEMINTA PEMERINTAH AUSTRALIA UNTUK MEMATUHI KONVENSI HUKUM PBB??????
12. Tanggapan Saya (b) terhadap surat Saudara Eddy
Pratomo (a) :
a. Oleh karena itu, sikap dan pemikiran yang mengatasnamakan demi kepentingan nasional Indonesia namun tidak berlandaskan pada proses panjang fakta-fakta hukum dan bertentangan dengan hukum internasional dan praktek antar negara yang berlaku justru akan bertentangan dengan kepentingan nasional Indonesia.
b. Oleh karena itu, sikap dan pemikiran Saudara yang mengatasnamakan Departemen Luar Negeri RI tidak sejalan dengan kepentingan Nasional Bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tidak? Apa yang telah Saudara buat selama ini untuk melindungi nelayan tradisional Indonesia yang telah menerima perlakuan
intimidasi oleh Pemerintah Australia yang tidak berperikemanusiaan itu terus saja terjadi setiap hari di Laut Timor sejak penandatanganan MoU 1974 yang Saudara bangga-banggakan itu?
Atas perhatian dan kerjasama Saudara dalam memahami
tanggapan Saya, diucapkan terima kasih.
yusufhenuk
Ir. Yusuf Leonard Henuk, M.Rur.Sc.,Ph.D
NIP. 131 576 780 – Mobile/HP: 62-0380-8080430
62-081361641496
Tembusan kepada:
E-mail: yusufhenuk@...
1. Yth. Bapak Presiden RI – Jakarta;
2. Yth. Ketua MPR-RI – Jakarta;
3. Yth. Bapak Ketua DPR-RI – Jakarta;
4. Yth. Duta Besar Australia – Jakarta;
5. Yth. Koordinator Ocean Watch – Jakarta;
6. Yth. Ketua Komite Nasional Pulau Pasir –
Jakarta;
7. Yth. Bapak Gubernur Provinsi NTT – Kupang;
8. Yth. Ketua DPRD Provinsi NTT – Kupang;
9. Yth. Bapak Rektor Undana – Kupang;
10. Yth. Bupati Rote Ndao – Ba’a;
11. Yth. Ketua DPRD Kabupaten Rote Ndao –
Ba’a;
12. Yth. Ketua Pokja Laut Timor dan Pulau Pasir
– Kupang;
13. Yth. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat –
Kupang;
14. Yth. Kantor Berita Antara – Kupang;
15. Yth. Pimpinan Redaksi Pos Kupang dan media cetak
lokal lainnya di NTT;
16. Arsip.
Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com
Penulis : Drs.Simon Arnold julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.