Senin, 22 Juni 2009 | 08:04 WIB
Arif H. Oegroseno: Peta Malaysia Diprotes Banyak Negara
TEMPO/Arnold Simanjuntak
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Masuknya kapal perang Malaysia ke kawasan Ambalat pada 30 Mei lalu,
yang memicu sentimen anti terhadap negeri jiran (itu) tersebut, bukan
yang pertama. Sejak Januari 2009 saja, sedikitnya sembilan kali kapal
laut, sebuah heli, dan pesawat intai Malaysia menerabas wilayah Ambalat,
Laut Sulawesi.
Bahkan Malaysia memberikan konsesi kepada Shell, perusahaan minyak
Belanda, dan Petronas di Blok Y dan Z di kawasan kaya minyak dan gas itu
sejak 2003. Padahal perundingan batas laut di Laut Sulawesi antara
Indonesia dan Malaysia belum selesai.
Perundingan di antara dua
negara sangat alot dan butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. "Tiga
puluh tahun lagi," ujar Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Departemen Luar Negeri Arif Havas Oegroseno. Perundingan
batas laut, kata Havas, adalah salah satu perundingan yang paling sulit
di seluruh dunia.
Arif Havas, 46 tahun, adalah salah satu
orang yang turut dalam perundingan batas laut antara Indonesia dan
Malaysia. Ia berpengalaman dalam perundingan semacam itu. Empat kali ia
menjadi ketua delegasi perundingan, antara lain perundingan delimitasi
kelautan Indonesia-Singapura-Filipina. Sejak 1993, ia menjadi anggota
delegasi berbagai sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sehari sebelum
berbicara di panel Maritime Security di New York, Amerika Serikat, Havas
membeberkan seputar kasus Ambalat kepada Endri Kurniawati dari Tempo. Berikut ini kutipannya.
Bagaimana kelanjutan perundingan Indonesia-Malaysia soal Ambalat?
Masih lama, 30 tahun lagi.
Apa yang paling sulit?
Kita harus mencocokkan dulu geografinya. Harus melihat bentuk
pantainya. Harus melihat yurisprudensinya. Apa ada putusan Mahkamah
Internasional atau Arbitrase atau hukum internasional lain yang bisa
diterapkan di sana. Kita harus melihat segi hidrografinya,
oseanografinya. Elemennya banyak sekali. Dan kita harus memastikannya
satu per satu.
Perundingan batas laut adalah salah satu
perundingan yang paling sulit di seluruh dunia. Sehingga selalu
memerlukan proses yang lama sekali. Kalau kedua belah pihak nggak sabar,
ke Mahkamah Internasional. Tapi mayoritas dari sekitar 500 perjanjian
perbatasan yang dibawa ke Arbitrase atau Mahkamah Internasional itu
sangat kecil jumlahnya. Tidak sampai 20 kasus.
Kasus ini berpotensi ke Mahkamah Internasional?
Nggak. Kita membuat perjanjian khusus dengan Malaysia untuk tidak
menundukkan diri di bawah yurisdiksi Mahkamah Internasional. Kalau
Indonesia dan Malaysia mau membawanya ke Mahkamah Internasional atau
Arbitrase, harus melalui DPR dulu. Karena harus ada perjanjian
antarnegara, harus ada klausul bahwa menang-kalah harus menerima
putusan.
Kapok karena Sipadan-Ligitan?
"Main-main" di Mahkamah Internasional itu harus dipikir karena akan
berimplikasi hukum, tidak hanya ke masalah itu. Dari semua pakar
internasional yang pernah saya temui, tidak banyak yang menyarankan
penyelesaian persoalan ke Mahkamah Internasional. Mereka ke Mahkamah
Internasional berarti menyerahkan proses negosiasi politik ke
pengadilan.
Menyerahkannya ke tangan orang lain?
Ke tangan orang lain. Dan kita tidak akan punya kontrol lagi terhadap persoalan kita. Itu kunci utama.
Apa akar masalah ini?
Problem awal itu sebenarnya Malaysia mengeluarkan Peta 1979.
Pertanyaannya, mengapa mereka mengeluarkan peta itu, sedangkan
perundingan sudah akan selesai. Proses perundingan hukum laut dimulai
pada 1973. 1973, mereka mulai negosiasi batas laut. Pada 1980-an awal
diperkirakan sudah selesai. Tahun 1982 diperkirakan akan ada option.
Nah, pada 1979, dia (Malaysia) bikin peta.
Mengapa mereka mengeluarkan Peta 1979?
Menurut beberapa literatur yang saya baca, karena mereka ingin
mengantisipasi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea,
Hukum Laut Internasional). Ada beberapa hal dalam UNCLOS yang memperkuat
Indonesia dan memperlemah Malaysia. Juga memperkuat posisi negara
tetangga yang lain. Peta 1979 ini diprotes banyak negara. Persoalan
utamanya ada di situ, its the most crustal element.
Peta
itu menyangkut semua segmen. Di Selat Malaka dia mencampur aduk antara
ZEE (zona ekonomi eksklusif) dan landas kontinen. Di Selat Singapura,
dia memasukkan beberapa wilayah Singapura ke peta dia. Di dekat Laut
Cina Selatan, gambaran dia juga membuat masalah dengan banyak negara
tetangga kita. Di Laut Sulawesi bermasalah dengan kita dan dengan
Filipina. Di semua segmen dia bermasalah. Itu problem Peta 1979.
Negara-negara
ASEAN, Asia Tenggara, tidak ada yang mengeluarkan peta unilateral
selain dia (Malaysia). Ini lalu menjadikan problem utamanya. Itu satu.
Yang kedua, masalah perundingannya. Dalam Konvensi Hukum Laut disebutkan
dasar penyelesaian masalah batas laut itu ada tiga. Pertama, dengan
perdamaian, perjanjian, perundingan. Kedua, menggunakan hukum
internasional. Yang ketiga, ada elemen yang subyektif, yakni
memperhitungkan relevant circumstances. Hal-hal yang relevan ini kan
sifatnya subyektif. Di antara kedua negara tidak selalu sama.
Apa ukuran yang menguntungkan tiap-tiap pihak?
Ya. Kita harus menentukan elemen apa yang relevan dan elemen apa yang tidak relevan.
Apa dasarnya?
Kita ambil beberapa pasal dari hukum laut yang bisa dipakai. Pasal
mengenai masalah pemilihan based point, penarikan based line dan
treatment terhadap pulau. Itu complicated sekali. Pulau yang kecil tanpa
penghuni di-"diskon". Artinya, pulau itu tidak berdampak untuk menarik
wilayah terluar.
Apa lagi yang termasuk dalam "hal-hal relevan"?
Kita harus melihat yurisprudensi dan hasil-hasil putusan Arbitrase.
Apakah ada elemen-elemen di situ yang menjadi putusan hakim yang bisa
dipakai untuk rujukan. Nah, ketemu: geografi. Geografi (maksudnya)
bentuk konturnya, pantainya. Bentuk pantai bisa mempengaruhi garis.
Dalam beberapa putusan Mahkamah Internasional, bentuk pantai yang
landai, cekung, cembung mempengaruhi garis. Panjang pantai juga. Negara
yang pantainya panjang dengan negara yang garisnya pendek itu beda.
Garis lurus di atas peta dengan garis yang riil menempel di bumi itu
lain. Salah ngitung, bisa missed banyak sekali. Teknologi berkembang
terus, (terserah) kita mau pakai yang mana.
Proporsionalitas proyeksi wilayah juga berpengaruh. Dari segi matematika
beda. Berapa luas wilayahnya, dibanding panjang pantainya, berapa. Lalu
aspek hidrografi atau pasang-surut air. (Harus dilihat) apakah ada satu
feature, karang, misalnya, tenggelam atau tidak. Kalau memang
tenggelam, apa memang betul ia tenggelam. Itu harus dilihat, dihitung,
harus ada bukti empirisnya. Kemudian kartografi, ilmu membaca peta,
oseanografi.
Untuk menentukan peta bersama saja tidak mudah.
Salah satu kesulitannya, Indonesia punya peta sendiri, Malaysia punya
peta sendiri. Kan kita nggak mau pakai peta Malaysia, Malaysia juga
nggak mau pakai peta Indonesia. Kita harus menunjukkan peta yang menurut
kita independen.
Biasanya rujukannya pakai peta yang mana?
Masing-masing bawa sendiri. Kita bawa peta Inggris, harus cek dengan
peta Prancis, dan peta modern yang baru. Kita mesti melihat feature-nya
sama apa tidak, skalanya, elemen-elemennya sama atau tidak. Kalau sudah
sama semua, kita tidak bisa datang ke lapangan, kan.
Mengecek ke lapangan tidak diperlukan?
Ya, nggak bisa, laut, kok. Kalau tanah gampang, kalau laut kan sulit.
Jadi perundingan hanya berdasarkan peta?
Ya, di atas peta saja. Kita harus menentukan peta bersama. Menentukan
itu tidak mudah, harus verifikasi dulu peta bersama itu. Setelah
beberapa seri perundingan, kita sudah punya peta bersama itu. Peta
bersamanya pun sudah kombinasi dari beberapa peta pihak ketiga yang
independen. Kita combine dengan teknologi. Supaya kita bisa bekerja di
atas peta bersama itu.
Berapa lama menentukan peta bersama?
Lama, kira-kira setahun. Lebihlah. Sebab, kalau mereka (Malaysia)
mengajukan peta, kita kan harus verifikasi kepada pihak yang membuat
peta. Kita harus datang, cek teknologinya, harus survei lapangan (untuk
mengecek) benar nggak peta yang ini.
Peta bersama itu kira-kira menguntungkan kita?
Harus peta netral, yang mencerminkan keadaan di lapangan as it is.
Kalau peta itu peta lama bisa destortif, misleading. Contohnya tentang
kedalaman. Kita lihat peta 1980, kedalamannya 50 meter. Kita mesti cek
dulu, karena mungkin peta yang lain kedalamannya lain.
Pihak terkait harus mencari dan bikin kesepakatan sendiri?
Ya, kita harus punya kesepakatan tentang term of references (TOR)-nya.
TOR-nya berbeda-beda untuk segmennya karena tiap segmen punya kekhasan.
Tidak ada perundingan batas laut yang tiap segmennya identik, pasti
seluruhnya berbeda. Kita dengan Malaysia tentang Selat Malaka itu saja
semua berbeda.
Punya rujukan dari perjanjian-perjanjian sebelumnya?
Punya. Kita punya 16 perjanjian perbatasan. Tapi hampir semuanya dibuat
sebelum 1980-an. Sehingga referensi hukumnya berbeda. Case law tentang
batas laut itu baru mulai muncul pada 1982-1983. Jadi, setelah UNCLOS
diterima, baru banyak kasus. Half about 500 agreements, so far. So far
kita punya koleksi sekitar 500 perjanjian internasional tentang batas
laut. Itu terbitan sampai 2006. Tapi (hingga kini yang ada) masih banyak
lagi kan. Dan yang dibawa ke Mahkamah sekitar 25 (kasus), itu sued
semua.
Kita ambil yang mirip untuk dijadikan yurisprudensi?
Ya, yang mendekati (hampir sama) kita pakai. Membaca yurisprudensi tidak mudah. Kita ambil argumentasi-argumentasinya.
Sudah menemukan hal yang mendekati kasus Ambalat?
Sudah. Solidlah.... (Menangani sengketa batas laut adalah) suatu proses
yang mix, campur antara kerja akademisi dan praktis. Dari segi hukumnya
lebih banyak pekerjaan akademis. Dari segi non-hukumnya very practical.
Di lapangan dalam posisi menguntungkan? Lebih banyak jejak Indonesia di Ambalat daripada Malaysia?
Nah, itu (soal) hukum. Sebenarnya soal Sipadan-Ligitan, ada satu yang
kita sering lupa. Hakim Mahkamah Internasional mengatakan hanya akan
mengambil kegiatan-kegiatan Indonesia-Malaysia hingga 1969 (sebagai
bukti). Istilahnya cut of date.
Kenapa 1969?
Karena kita pertama kali bersengketa. Setelah 1969, Malaysia membuat
resor dan sebagainya itu dianggap tidak ada. Kalau Malaysia menang, itu
bukan karena Malaysia membuat resor. Itu kesalahan publik yang
terus-menerus kita lakukan. Yang dicari hakim itu kegiatan sebelum 1969.
Kalau mau jujur, Sabah baru masuk Malaysia pada 1963. Karena federasi
Malaysia konkret kan baru pada 1963. Dari 1963-1969 hakim tidak
menemukan kegiatan hukum dan nonhukum Malaysia di sana, Indonesia nggak
punya.
Tarik lagi ke belakang, mulai 1963 ke belakang.
Malaysia merdeka, nggak melakukan apa-apa. Tarik lagi ke belakang,
apakah Inggris pernah melakukan sesuatu? Ya. Inggris mempunyai
undang-undang, hukum, peraturan, legislasi, ruling, di bidang penyu,
burung, hutan. Belanda nggak punya.
Apa lagi yang dilakukan Indonesia?
Nggak ada. Ada satu lagi pertanyaan yang nggak bisa dijawab Indonesia
(di Mahkamah Internasional). Indonesia, yang mengaku sebagai negara
kepulauan dalam Deklarasi Djuanda 1958 dan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia,
Sipadan-Ligitan nggak masuk. Kenapa? Jawabannya kita nggak tahu. Itu
pertanyaan hakim yang nggak bisa kita jawab. Pertanyaan yang mencolok
adalah, kalau memang kita mengklaim, kenapa (Sipadan-Ligitan) tidak
dimasukkan dalam Deklarasi Djuanda?
Kalau Ambalat masuk dalam Peta Djuanda?
Ya, berbeda (dengan Sipadan-Ligitan). Perbedaan mencolok lainnya
adalah kita memberikan konsesi minyak di wilayah Laut Sulawesi. Saya
nggak terlalu senang menyebut Ambalat karena hanya sebagian kecil dari
yang kita rundingkan. Jadi, kalau orang mengatakan wilayah Ambalat
bagian dari Indonesia, kita rugi besar. (Ambalat) itu hanya sebagian
kecil (dari wilayah Laut Sulawesi). Kita berunding tentang Laut
Sulawesi.
Dengan Peta 1979, Malaysia juga bermasalah dengan negara tetangga lain?
Ada, banyak. Dengan Singapura masih berlangsung.
Sengaja untuk memperluas wilayah?
Asal mengklaim saja. So far wilayah suatu negara hanya bisa didapatkan
hanya dengan perundingan. Tidak bisa dengan unilateral, nggak ada di
dunia (yang seperti) itu. Semua harus dengan perundingan. Indonesia pun
begitu. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa wilayah kita didapat dari
perundingan. Bukan dari bedil.
Relevant circumstances berpotensi memicu konflik?
Ya, memang potensi konflik itu (menentukan) batas laut.
Kalau perundingan belum final, kenapa Malaysia berani bikin kontrak dengan asing?
Itu bagian dari itu (proses perundingan). Yang membuat kita kecewa
terhadap Shell (perusahaan minyak Belanda yang memiliki kontrak dengan
Petronas di Ambalat) itu drilling di sumur Bougenville, Ambalat dengan
kita pada 1998. Drilling. Tapi dia hit dry well, kosong. Sehingga
(karena) nggak ada minyaknya, selesai, lalu dikembalikan ke pemerintah.
Kemudian kita jual ke perusahaan lain. Sekarang Shell nggak beroperasi
di situ, malah assigned agreement di Ambalat (dengan Petronas).
Apa yang kita lakukan?
Ya biarin aja. Saya bilang, kalau Shell eksplorasi, kita akan
melakukan tindakan tegas terhadap properti Shell. Itu kami sampaikan
dengan surat resmi ke Shell, Petronas, Malaysia.
Apa jawaban Shell?
Mereka tidak akan melakukan apa pun sebelum ada hasil perundingan.
Kalau Malaysia?
Ya, berunding aja, udah. Kalau Malaysia tidak secara resmi membalas
karena saya kirim (surat) ke Shell dan Petronas, tembusannya ke
Malaysia. Mereka nggak jawab.
Kenapa nggak mengirim surat resmi ke Malaysia?
Lain, dong. Yang assign kan Petronas, ini masalah hukum. Politiknya kita tetap mengirim nota diplomatik.
Arif Havas Oegroseno
Lahir: Semarang, 1963, Istri: Sartika, dengan dua anak
Pendidikan:
- Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1986
- Harvard Law School, 1992
- Program Negosiasi Harvard Law School, 2007
Pekerjaan: Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri
Karier:
- Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri (2002)
- Membuka kembali Kedutaan Besar Republik Indonesia di Portugal
setelah tutup 30 tahun, menjadi penjabat Hubungan Media (1999-2002)
- Kepala Seksi Bidang Humaniter Direktorat Organisasi Internasional (1997-1998)
- Foreign Lawyer pada Bracewell & Paterson Law Firm, Houston, Amerika Serikat (1992-1993)
- Pejabat junior pada Direktorat Timur Tengah (1988-1990)
http://www.tempo.co/read/news/2009/06/22/063183050/Arif-H-Oegroseno-Peta-Malaysia-Diprotes-Banyak-Negara
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.