SUATU CONTOH ADEGAN PERADILAN
ADAT ROTE
“ Suatu Serikat Peradilan” Hanya soal Sirih Pinang saja
Dibawah ini diceritakan
suatu kasus pemukulan seorang suami terhadap istrinya hanya gara-gara soal
sepele yaitu “Sirih Pinang”
dimana istrinya minta cerai dan persoalannya terpaksa ditangani oleh
penguasa-penguasa Adat Suku, yang terdiri dari Ketua adat, Temukung dan Kepala
Kampung, dalam suatu “Peradilan Adat Tradisional”.
Inilah salah satu contoh
dari sekian banyak penyelesaian kasus
yang timbul dalam masyarakat tradisional yang ditangani oleh para Penguasa Adat.
Ilustrasi tentang pengalaman suatu keluarga di
ceriterakan dalam adegan sbb :
“Bulan gelap tetapi
bintang-bintang bertaburan dilangit. Sungguh suatu suasana pemandangan yang
amat menakjubkan dan berkesan malam itu. Dengan hati berdebar-debar, saya duduk
bersimpuh di halaman rumah menantikan ayah pulang. Saya berpikir : beranikah ayah sendiri melawan
kelima iparnya yang berbadan kuat lagi tegap itu? Sedang saya berpikir-pikir, terdengarlah bunyi
tapak kuda dari belakang. Saya menoleh, lalu tampak ayah sedang menambatkan /
mengikatkan kudanya. Ayah tak berkata
sepatah katapun. Dibimbingnya tangan
saya lalu kami masuk kedalam rumah.
Disisi sebuah lampu
minyak yang suram cahayanya, ayah duduk sambil menopang dagunya.
Saya tahu ayah sedang
dalam kesedihan, sebab itu, saya tidak berani bertanya sesuatu. Mukanya yang selalu membayangkan cinta-kasih
itu menjadi muram.
Dahinya berkerut, lalu
air matanya pun meleleh. Dicobanya untuk berbicara, tetapi tak terucapkan
sepatah pun. Mengertilah saya bahwa telah terjadi suatu kejadian yang
menyedihkan. “Bibimu tidak mau kembali”, kata ayah dengan tiba-tiba.
Kenapa ayah? “Entah. Ia minta cerai dengan pamanmu”.Kemudian ayah diam, lalu mengajak saya pergi tidur. Saya selalu berpikir :
apakah yang akan terjadi besok? Dan ketika besok pagi, ayah berdiri diberanda,
saya melihat beberapa orang berjalan sambil bercakap-cakap menuju kerumah kami. Ada diantaranya yang saya kenal yaitu
Jermias ipar ayah. Dibelakangnya berjalan bibi Martha bersama seorang Ketua
Adat. Ayah masuk kedalam bilik mengenakan pakaiannya, lalu keluar pula
menyambut kedatangan mereka. Ayah
menyuruh bibi Martha mengedarkan sirih pinang untuk sekalian yang hadir lalu
mamahlah, mereka sambil bercakap-cakap tentang bahaya kelaparan yang mungkin
akan terulang lagi tahun itu.
Matahari makin tinggi,
makin bertambah pula para tamu yang datang. Diantaranya hadir pula paman Mulik, suami bibi
Martha beserta pamili-pamilinya. Mereka duduk bersimpuh diantara Kepala Kampung
dan Temukung, sedang bibi Martha duduk diantara ayah dan Ketua Adat. Paman
Mulik suami bibi Martha memeriksa tempat sirihnya, kemudian diberikan kepada
ayah. Saya lihat rupanya ayah marah
kepada paman. Mula-mula ayah enggan
menerima tempat sirih itu, tetapi kemudian diambilnya lalu di letakkannya
disisinya. Ayah mengambil tempat sirihnya lalu memamah. Sambil berkata :
“Kalau semua sudah hadir, baiklah kita mulai”. Bagaimana pendapat Ketua
Adat ?
“Ya kalau saudara pensiun (bekas tentara Knil Belanda) berkata
demikian, baiklah kita mulai saja karena semua telah hadir”. Mula-mula
terdengar suara Temukung (Kepala Kampung), bertanya kepada bibi Martha tentang sebab-musabab ia bertengkar dengan paman,
sampai ia meninggalkan rumahnya.
Sambil menangis bibi
Martha menceriterakan bahwa pertengkaran
dengan suaminya paman Mulik itu berpangkal pada “sepotong sirih”. Kata bersahut, lalu terjadilah pertengkaran
yang diakhiri dengan pemukulan.
Tiba-tiba bibi Martha terisak-isak.
Sekalian
yang hadir diam, tak berkata sepatah pun. Ayah terus memamah sirihnya, lalu
menyebur-nyeburkan ludahnya. Matanya merah dan mukanya masam. “Huh......, diusir seperti binatang”,
kata ayah dengan suara gemetar. “Ah
terlalu”. “Dan bagaimana saudara” ? Tanya
Ketua Adat kepada paman Mulik “Ya, benar
seperti
diceriterakannya”,
kata paman Mulik.
“Karena sangat marah, saya mengusir dia”.
“Tetapi
kedatangan saya sekarang hendak menjemput dia kembali kerumah”.
“Tidak, tidak ! saya tidak mau kembali”, teriak
bibi Martha. “Saya mau cerai”.
“Dia selalu suka memukuli saya, walaupun
hanya soal-soal sepele saja. Pokoknya saya mau cerai”. Mulai terdengar
suara-suara yang mempersalahkan paman Mulik, sedang famili paman Mulik juga
tidak tinggal diam; mereka membela paman Mulik.
Sekiranya Kepala Kampung tidak menegur berulang-ulang
kali, mungkin akan terjadi sesuatu. Ismail saudara sepupuku masuk kedalam rumah,
lalu mengambil bedil / senapan ayah. Tubuhnya gemetar, mukanya merah dan
keringatnya meleleh. Tetapi kemudian datanglah Kepala Kampung lalu mengambil
bedil / senapan itu lalu disimpannya. Suasana masih tegang, suara orang
sindir-menyindir masih terdengar.
Ketua Adat mulai tak
sabar, lalu berkata : “Kalau terus saja
ribut, kami pulang”. Tiba-tiba semua terdiam. Tak seorang pun berkata. Lalu Ketua Adat menyambung : “Bagaimana saudara Mulik” ? “Ya, saya sudah mengakui kesalahan saya. Apa
lagi yang kurang” ? “Jika demikian
saudari Martha harus kembali kerumahnya”. Bibi tunduk tak berkata, lalu
kata Temukung : “Tentu saudari Martha
akan pulang, kalau saudara Mulik telah membuktikan bahwa betul-betul ia
menyesali perbuatannya.
Ø “Ini buktinya”, kata paman Mulik sambil memberikan Uang perak Belanda f.25,- kepada
Ketua Adat sebagai denda adat.
Ø “Apa kata uang
ini” ? Tanya Ketua Adat.
Ø “Segala keretakan dan ketegangan
telah pulih kembali”, sahut paman Mulik.
Ø “Jika
demikian tak ada lagi yang akan kita bicarakan”, kata Kepala Kampung.
Ø “Dan
bagaimana pensiun” ? Tanya Ketua Adat kepada ayah.
Ø “Tak
ada yang akan saya bicarakan lagi”, sahut ayah.
Ø “Kalau
sudah beres, ya... sudahlah.
Ø Asal ingat, lain kali jangan suka memukul.
Ø Turunan kami bukan hewan / binatang”.
Paman
Mulik bangkit, lalu menyorongkan tangannya meminta maaf. Ayah menyambut tangan
paman lalu keduanya bersalaman. “Harus
bersalaman dengan istrimu juga”, kata
Ketua Adat. Tetapi ketika paman Mulik mengulurkan tangannya, bibi Martha
menampar tangan paman, lalu memalingkan mukanya sambil tertawa. Semua yang
hadir turut tertawa. Anak-anak paman juga turut tertawa lalu bertepuk-tepuk
tangan. Sambil melompat mereka berkata :“Ibu
tertawa, ibu tertawa. Ibu sudah baik dengan ayah, tentu ibu pulang”. Sesudah
bercakap-cakap sebentar, Ketua Adat serta Temukung minta diri hendak pulang.
Tetapi paman Mulik berkata :
“Maaf, pertemuan kita ini belum berakhir. Ada
lagi sambungannya”.
Kemudian
paman menoleh kebelakang sambil mengedipkan mata kirinya. Salah seorang
familinya bangkit, lalu mengeluarkan beberapa
botol arak/sopi (wisky orang Rote) dari dalam sebuah
keranjang. Arak asli buatan orang Rote yang disebut “sopi”
(minuman adat berakohol tinggi ), itu dituangkan kedalam sebuah gelas
kecil, lalu diberikannya kepada Ketua Adat, lalu diberikan kepada ayah dengan
gelas yang sama pula. Dalam adat orang Rote, hanya disediakan 1 sloky alat
minum untuk semua yang hadir atau minum
sopi secara adat dan bergantian memakai sloky yang sama). Ini menunjukkan
mereka itu satu dalam persaudaraan. Demikian arak itu diberikan kepada sekalian yang hadir. Sementara itu
beberapa famili paman Mulik yang datang, juga
membawa seekor biri-biri /
domba lalu disembelih, kemudian dipotong-potong dan dibakar. Sekalian diberi daging bakar, seorang mendapat sepotong. Kepada Ketua Adat,
Temukung dan Kepala Kampung, masing-masing diberikan sepotong daging kepala.
Dengan
suka cita makanlah mereka sambil minum arak. Ismail yang penaik darah itu
tampak mulai tersenyum-senyum, sambil menggigit sepotong tulang leher disudut
rumah. Ayah pun rupanya tiada marah lagi kepada paman Mulik. Diambillah tempat
sirih paman yang masih terletak disisinya lalu mamahlah ia. Kemudian
diberikannya tempat sirih kepada paman. Sambil mamah sirih, ayah dan paman
bercakap-cakap sangat mesrahnya. Suasana yang mula-mula penuh ketegangan telah
berubah menjadi suasana gembira. Bibi bercakap-cakap dengan Ketua Adat dan
Kepala Kampung sambil tertawa-tawa. Matahari mulai condong kebarat. Ketua Adat,
Temukung serta Kepala Kampung minta diri hendak pulang.
Demikinlah
pula paman Mulik serta famili-familinya. Tampak bibi berjalan diantara paman
dan anak-anaknya yang sedang melompat-lompat kegirangan. Inilah sekilas
contoh tentang suatu peradilan adat dengan denda adat, dalam cerita diatas.
Dalam setiap
peradilan Adat, atau suatu kesepakatan adat apa pun namanya, selalu berakhir
dengan suguhan minuman sopi /arak rote, dan pemotongan hewan untuk makan
bersama, merupakan syarat keharusan, maupun untuk keabsahan suatu masalah/peristiwa adat.
(Minggus Manafe, Aneka
Kehidupan di Pulau Roti, P.N. Balai Pustaka,
BP.No.2221,hal.43-48)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.