alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 14 April 2015

SUATU CONTOH ADEGAN PERADILAN ADAT DI ROTE

SUATU  CONTOH ADEGAN  PERADILAN  ADAT  ROTE

 “ Suatu Serikat Peradilan” Hanya soal Sirih Pinang saja


Dibawah ini diceritakan suatu kasus pemukulan seorang suami terhadap istrinya hanya gara-gara soal sepele yaitu “Sirih Pinang” dimana istrinya minta cerai dan persoalannya terpaksa ditangani oleh penguasa-penguasa Adat Suku, yang terdiri dari Ketua adat, Temukung dan Kepala Kampung, dalam suatu “Peradilan Adat Tradisional”.
Inilah salah satu contoh dari sekian banyak penyelesaian  kasus yang timbul dalam masyarakat tradisional yang ditangani oleh para Penguasa Adat.

Ilustrasi tentang pengalaman suatu keluarga di ceriterakan  dalam adegan sbb :

“Bulan gelap tetapi bintang-bintang bertaburan dilangit. Sungguh suatu suasana pemandangan yang amat menakjubkan dan berkesan malam itu. Dengan hati berdebar-debar, saya duduk bersimpuh di halaman rumah menantikan ayah pulang.  Saya berpikir : beranikah ayah sendiri melawan kelima iparnya yang berbadan kuat lagi tegap itu?  Sedang saya berpikir-pikir, terdengarlah bunyi tapak kuda dari belakang. Saya menoleh, lalu tampak ayah sedang menambatkan / mengikatkan kudanya.  Ayah tak berkata sepatah katapun.  Dibimbingnya tangan saya lalu kami masuk kedalam rumah.
Disisi sebuah lampu minyak yang suram cahayanya, ayah duduk sambil menopang dagunya. 

Saya tahu ayah sedang dalam kesedihan, sebab itu, saya tidak berani bertanya sesuatu.  Mukanya yang selalu membayangkan cinta-kasih itu menjadi muram.
Dahinya berkerut, lalu air matanya pun meleleh. Dicobanya untuk berbicara, tetapi tak terucapkan sepatah pun. Mengertilah saya bahwa telah terjadi suatu kejadian yang menyedihkan. “Bibimu tidak  mau kembali”, kata ayah dengan tiba-tiba.
 Kenapa ayah?  “Entah. Ia minta cerai dengan pamanmu”.Kemudian ayah diam, lalu mengajak saya pergi tidur. Saya selalu berpikir : apakah yang akan terjadi besok? Dan ketika besok pagi, ayah berdiri diberanda, saya melihat beberapa orang berjalan sambil bercakap-cakap menuju kerumah kami. Ada diantaranya yang saya kenal yaitu Jermias ipar ayah. Dibelakangnya berjalan bibi Martha bersama seorang Ketua Adat. Ayah masuk kedalam bilik mengenakan pakaiannya, lalu keluar pula menyambut kedatangan mereka.  Ayah menyuruh bibi Martha mengedarkan sirih pinang untuk sekalian yang hadir lalu mamahlah, mereka sambil bercakap-cakap tentang bahaya kelaparan yang mungkin akan terulang lagi tahun itu.

Matahari makin tinggi, makin bertambah pula para tamu yang datang.  Diantaranya hadir pula paman Mulik, suami bibi Martha beserta pamili-pamilinya. Mereka duduk bersimpuh diantara Kepala Kampung dan Temukung, sedang bibi Martha duduk diantara ayah dan Ketua Adat. Paman Mulik suami bibi Martha memeriksa tempat sirihnya, kemudian diberikan kepada ayah.  Saya lihat rupanya ayah marah kepada paman.  Mula-mula ayah enggan menerima tempat sirih itu, tetapi kemudian diambilnya lalu di letakkannya disisinya. Ayah mengambil tempat sirihnya lalu memamah.  Sambil berkata :

“Kalau semua sudah hadir, baiklah kita mulai”. Bagaimana pendapat Ketua Adat ?
 “Ya kalau saudara pensiun (bekas tentara Knil Belanda) berkata demikian, baiklah kita mulai saja karena semua telah hadir”. Mula-mula terdengar suara Temukung (Kepala Kampung), bertanya kepada bibi Martha tentang sebab-musabab ia bertengkar dengan paman, sampai ia meninggalkan rumahnya.  
Sambil menangis bibi Martha menceriterakan bahwa pertengkaran dengan suaminya paman Mulik itu berpangkal pada “sepotong sirih”.  Kata bersahut, lalu terjadilah pertengkaran yang diakhiri dengan  pemukulan. Tiba-tiba bibi Martha terisak-isak.

Sekalian yang hadir diam, tak berkata sepatah pun. Ayah terus memamah sirihnya, lalu menyebur-nyeburkan ludahnya. Matanya merah dan mukanya masam. “Huh......, diusir seperti binatang”, kata ayah dengan suara gemetar. “Ah terlalu”. “Dan bagaimana saudara” ?  Tanya Ketua Adat kepada paman Mulik  “Ya, benar seperti
diceriterakannya”, kata paman Mulik.

“Karena sangat marah, saya mengusir dia”.
“Tetapi kedatangan saya sekarang hendak menjemput dia kembali kerumah”.
 “Tidak, tidak ! saya tidak mau kembali”, teriak bibi Martha. “Saya mau cerai”.
“Dia selalu suka memukuli saya, walaupun hanya soal-soal sepele saja. Pokoknya saya mau cerai”. Mulai terdengar suara-suara yang mempersalahkan paman Mulik, sedang famili paman Mulik juga tidak tinggal diam; mereka membela paman Mulik.  Sekiranya Kepala Kampung tidak menegur berulang-ulang kali, mungkin akan terjadi sesuatu. Ismail saudara sepupuku masuk kedalam rumah, lalu mengambil bedil / senapan ayah. Tubuhnya gemetar, mukanya merah dan keringatnya meleleh. Tetapi kemudian datanglah Kepala Kampung lalu mengambil bedil / senapan itu lalu disimpannya. Suasana masih tegang, suara orang sindir-menyindir masih terdengar.
Ketua Adat mulai tak sabar, lalu berkata : “Kalau terus saja ribut, kami pulang”. Tiba-tiba semua terdiam.  Tak seorang pun berkata. Lalu Ketua Adat menyambung : “Bagaimana saudara Mulik” ?  “Ya, saya sudah mengakui kesalahan saya. Apa lagi yang kurang” ? “Jika demikian saudari Martha harus kembali kerumahnya”. Bibi tunduk tak berkata, lalu kata Temukung : “Tentu saudari Martha akan pulang, kalau saudara Mulik telah membuktikan bahwa betul-betul ia menyesali perbuatannya.

Ø  “Ini buktinya”, kata paman Mulik sambil memberikan Uang perak Belanda f.25,- kepada Ketua Adat sebagai denda adat.
Ø  Apa kata uang ini” ?  Tanya Ketua Adat.
Ø  “Segala keretakan dan ketegangan telah pulih kembali”, sahut paman Mulik.
Ø  “Jika demikian tak ada lagi yang akan kita bicarakan”, kata Kepala Kampung.
Ø  “Dan bagaimana pensiun” ? Tanya Ketua Adat kepada ayah.
Ø  “Tak ada yang akan saya bicarakan lagi”, sahut ayah.
Ø  “Kalau sudah beres, ya... sudahlah.
Ø  Asal ingat, lain kali jangan suka memukul. 
Ø  Turunan kami bukan hewan / binatang”.

Paman Mulik bangkit, lalu menyorongkan tangannya meminta maaf. Ayah menyambut tangan paman lalu keduanya bersalaman. “Harus bersalaman dengan istrimu juga”, kata Ketua Adat. Tetapi ketika paman Mulik mengulurkan tangannya, bibi Martha menampar tangan paman, lalu memalingkan mukanya sambil tertawa. Semua yang hadir turut tertawa. Anak-anak paman juga turut tertawa lalu bertepuk-tepuk tangan. Sambil melompat mereka berkata :“Ibu tertawa, ibu tertawa. Ibu sudah baik dengan ayah, tentu ibu pulang”. Sesudah bercakap-cakap sebentar, Ketua Adat serta Temukung minta diri hendak pulang.

Tetapi paman Mulik berkata :

 “Maaf, pertemuan kita ini belum berakhir. Ada lagi sambungannya”.
Kemudian paman menoleh kebelakang sambil mengedipkan mata kirinya. Salah seorang familinya bangkit, lalu mengeluarkan beberapa botol arak/sopi  (wisky orang Rote) dari dalam sebuah keranjang. Arak asli buatan orang Rote yang disebut “sopi”  (minuman adat berakohol tinggi ), itu dituangkan kedalam sebuah gelas kecil, lalu diberikannya kepada Ketua Adat, lalu diberikan kepada ayah dengan gelas yang sama pula. Dalam adat orang Rote, hanya disediakan 1 sloky alat minum  untuk semua yang hadir atau minum sopi secara adat dan bergantian memakai sloky yang sama). Ini menunjukkan mereka itu satu dalam persaudaraan. Demikian arak itu diberikan kepada sekalian yang hadir. Sementara itu beberapa famili paman Mulik yang datang, juga  membawa seekor biri-biri / domba lalu disembelih, kemudian dipotong-potong dan dibakar. Sekalian diberi daging bakar, seorang mendapat sepotong. Kepada Ketua Adat, Temukung dan Kepala Kampung, masing-masing diberikan sepotong daging kepala.

Dengan suka cita makanlah mereka sambil minum arak. Ismail yang penaik darah itu tampak mulai tersenyum-senyum, sambil menggigit sepotong tulang leher disudut rumah. Ayah pun rupanya tiada marah lagi kepada paman Mulik. Diambillah tempat sirih paman yang masih terletak disisinya lalu mamahlah ia. Kemudian diberikannya tempat sirih kepada paman. Sambil mamah sirih, ayah dan paman bercakap-cakap sangat mesrahnya. Suasana yang mula-mula penuh ketegangan telah berubah menjadi suasana gembira. Bibi bercakap-cakap dengan Ketua Adat dan Kepala Kampung sambil tertawa-tawa. Matahari mulai condong kebarat. Ketua Adat, Temukung serta Kepala Kampung minta diri hendak pulang.
Demikinlah pula paman Mulik serta famili-familinya. Tampak bibi berjalan diantara paman dan anak-anaknya yang sedang melompat-lompat kegirangan. Inilah sekilas contoh  tentang suatu peradilan adat dengan denda adat, dalam cerita diatas.
Dalam setiap peradilan Adat, atau suatu kesepakatan adat apa pun namanya, selalu berakhir dengan suguhan minuman sopi /arak rote, dan pemotongan hewan untuk makan bersama, merupakan syarat keharusan, maupun untuk  keabsahan suatu masalah/peristiwa adat.
(Minggus Manafe, Aneka Kehidupan di Pulau Roti, P.N. Balai Pustaka,
BP.No.2221,hal.43-48)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.