Sinar Matahari, Sumber Energi tak Terbatas
Pikiran Rakyat, Kamis, 22 September 2005
ADA kenyataan yang sulit dibantah, setengah dari 220 juta jiwa
penduduk negeri ini belum menikmati penerangan listrik. Banyak alasan
yang menjadikan demikian. Mulai dari ketidakmampuan pemerintah
menyediakan jaringan listrik, hingga harga yang sulit terjangkau oleh
warga. Sistem penerangan paling murah yang mungkin dimiliki masyarakat
daerah terpencil adalah lampu cempor atau patromaks dengan bahan bakar
minyak tanah.
Mengingat besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk membangun
jaringan sistem kabel, PLN kini mulai menempuh cara baru, yakni
mengembangkan PLTS (pembangkit listrik tenaga surya). PLTS lebih
diperuntukkan bagi warga desa yang belum tersentuh jaringan listrik.
Pertimbangannya, meski dari sisi biaya investasi masih relatif tinggi,
namun jika dibandingkan dengan membangun jaringan kabel, pengembangan
PLTS lebih memungkinkan.
Segala kebutuhan
Di luar negeri, pemanfaatan energi surya melalui sistem photovoltaic
sudah berlangsung lama dan banyak digunakan untuk berbagai keperluan.
Di Indonesia, pengembangannya sudah dilakukan pada tahun 1980-an.
Penerapan pertama pemanfaatan energi surya oleh Lembaga Elektronika
Nasional (LEN) yang juga diresmikan oleh Presiden Soeharto di lakukan di
Kec. Sukatani, Kab. Purwakarta pada 1989. Hanya, dalam perjalanannya,
kebijakan pemanfaatan energi surya seperti setengah hati. Alasannya
klise, skala kegiatan yang kurang ekonomis, sementara biaya investasi
yang dibutuhkan sangat besar.
Ke depan, dengan kondisi topograpi wilayah yang dimiliki Indonesia,
untuk menjangkau masyarakat di daerah terpencil, pengembangan pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS) tampkanya akan menjadi sebuah tuntutan yang
tak bisa ditawar. Selain sumber energinya (matahari) begitu melimpah
sehingga pemanfaatannya tak terbatas, PLTS relatif lebih mudah dipasang
dan dipelihara, ramah lingkungan, tahan lama, dan tak menimbulkan
radiasi elektromagnetik yang berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, PLTS
bisa digunakan untuk segala kebutuhan, seperti penerangan rumah tangga,
pompa air, atau telekomunikasi.
Bukan itu saja. Berdasarkan hasil perhitungan Dr. Mulyo Widodo, dosen
Teknik Mesin ITB yang juga penemu sistem penerangan listrik tenaga
surya Solare, total biaya yang dikeluarkan pengguna PLTS relatif lebih
murah daripada menggunakan energi listrik PLN dan lampu minyak tanah.
Dengan menghitung biaya investasi awal, nilai depresiasi terhadap umur
instalasi tiap tahun, dan biaya operasional per hari, rata-rata biaya
per bulan yang harus dikeluarkan pengguna PLTS Solare SP-4 dengan 4
titik penerangan hanya mencapai Rp 7.000,00. Sedangkan rata-rata biaya
yang harus dikeluarkan pengguna PLN 450 Watt Rp 32,083,33 per bulan dan
lampu minyak tanah dengan empat titik penerangan Rp 14,133,33 per bulan.
Memang, dibandingkan dengan kualitas penerangan yang dihasilkan lampu
TL, penerangan lampu LED masih kalah terang. Namun, jika dibandingkan
dengan lampu cempor, lampu LED jelas lebih baik. “Lagi pula tidak
seimbang membandingkan kualitas penerangan lampu LED dari PLTS dengan
yang dihasilkan listrik PLN. Janganlah mengukur itu semua dengan
kacamata orang kota. Lihatlah manfaatnya bagi penduduk yang puluhan
tahun tak pernah menikmati penerangan listrik,” kata Mulyo.
Cukup sederhana
Cara kerja PLTS cukup sederhana. Pancaran sinar matahari ditangkap
oleh sebuah panel dan diubah menjadi energi listrik. Energi itu disimpan
dalam sebuah baterai (aki) yang bisa digunakan sebagai sumber
penerangan pada malam hari atau saat tak ada sinar matahari. Kemampuan
energi yang dapat dibangkitkan oleh sebuah panel surya sangat bergantung
kepada kondisi radiasi sinar matahari. Sistem PLTS adalah sistem arus
searah (DC) sehingga peralatan yang digunakan harus disesuaikan dengan
arus searah tegangan nominal 12/24 volt.
Besar kecilnya energi yang dihasilkan dari radiasi sinar matahari
akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat pancaran sinar, lebar dan
kualitas bahan panel surya penerima sinar. “Ada beberapa jenis panel
surya, dari yang kualitasnya paling baik dan harganya mahal hingga yang
biasa-biasa saja dan murah. Yang paling baik itu monokristal, harganya
mahal dan biasa digunakan oleh lembaga strategis. Yang banyak di pasaran
adalah polikristal,” jelas Gusrilizon, salah seorang ahli sistem tenaga
surya PT LEN Industri.
Berdasarkan hasil perhitungan Mulyo Widodo, dalam kondisi peak
atau posisi matahari tegak lurus, sinar matahari yang jatuh di
permukaan panel surya di Indonesia seluas 1 meter persegi setara dengan
daya 1.000 watt atau 900 watt. Dengan bahan panel surya yang monokristal
dan poli-kristal, sistem photovoltaic bisa mengkonversi daya sebesar 900-1000 watt itu menjadi energi listrik sebesar 17 %. Jadi, dalam kondisi pancaran sinar yang peak
(cerah dan posisi matahari tegak lurus dengan permukaan panel
penerima), satu panel surya seluas 1 meter persegi akan menghasilkan
daya sebesar 170 watt.
Dengan rumus tersebut, akan mudah menentukan berapa luas bahan panel
surya dibutuhkan untuk menghasilkan daya listrik sesuai kebutuhan. Atau
sebaliknya, dari rumus itu juga bisa menentukan berapa besarnya daya
listrik yang dihasilkan dari sebuah bahan panel surya dengan ukuran
tertentu. Faktor inilah yang menjadikan sistem tenaga surya masih
relatif mahal karena struktur biaya PLTS masih didominasi oleh harga
panel surya. Makin besar dan luas panel surya, energi yang dihasilkan
memang makin besar, namun harga yang harus dibayar juga makin mahal.
Dalam aplikasinya, PLTS bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Mulai dari sistem penerangan rumah tangga (solar home system), lampu penerangan jalan (solar street lamp), wartel satelit tenaga surya (solar satellite public phone), pembangkit listrik tenaga hibrida (hybrid solar diesel), hingga system pompa air tenaga surya (solar pumping system).
Di samping itu, bisa juga digunakan untuk para nelayan, penerangan di
bagan apung atau tancap, puskesmas terpencil, penerangan pos keamanan, camping dan kegiatan outdoor, hingga sistem pengisian baterai radio komunikasi di lapangan.
Saat ini, selain PT LEN Industri yang merupakan lembaga milik
pemerintah, perusahaan swasta yang bergerak dalam pengembangan PLTS
adalah Solare Indonesia. Dua perusahaan tersebut menghasilkan produk
dengan segmen pasar berbeda. Produk buatan LEN umumnya berukuran relatif
besar, minimal 50 WP untuk skala rumah. Telah terpasang lebih dari 250
kWP yang terdiri dari hampir 50.000 unit PLTS yang tersebar di berbagai
pelosok tanah air. Khususnya di daerah-daerah terpincil di Kawasan Timur
Indonesia (KTI).
Berbeda dengan LEN yang masih ditujukan untuk skala besar, PT Solare
Indonesia mengembangkan sistem penerangan PLTS berskala kecil dengan
target rumah-rumah penduduk dengan ukuran lebih kecil dan harga relatif
terjangkau. Pada sistem Solare terdapat dua komponen yang “dibuang”
yakni inventer dan sistem kontrol baterai atau battery control unit (BCU) sehingga harganya relatif lebih murah. Selain itu, jenis lampu yang digunakan bukanlah lampu TL, tetapi LED (light emitting diode) yang lebih awet. PT LEN sendiri masih menggunakan konfigurasi PLTS konvensional dengan jenis lampu TL.
“Sistem Solare sangat sederhana dan mudah digunakan. Ini adalah
teknologi tepat guna yang dirancang sangat simpel dan aplikatif untuk
masyarakat pedesaan atau siapa pun yang menggunakannya,” jelas Anton S.
Tirto, Direktur Citra Surya Utama, distributor Solare. Produk Solare
sudah digunakan di berbagai tempat seperti Kampung Cigumentong
(Sumedang) dan daerah translok Kertajati (Majalengka) bersama dengan
produk LEN. Selain itu, digunakan pula di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dan Nias, serta sejumlah tempat lain di tanah air.
Terlepas dari adanya dua perbedaan antara dua produk, tetap saja
keduanya memberi andil sangat besar dalam membantu memutus
keterisolasian penduduk negeri ini yang belum terjamah. Keduanya memang
berbeda karena filosofi yang menjadi dasar bagi kedua perusahaan itu
juga berbeda. Justru, dari perbedaan spesifikasi itu pula, bisa dicapai
nilai ekonomis dan efisiensi penggunaan PLTS.
Untuk sistem penerangan rumah-rumah penduduk yang jarak antarrumah
berjauhan, sistem Solare lebih cocok. Apalagi jika dikaitkan dengan
faktor harga. Sedangkan untuk daerah-daerah dengan rumah penduduk
terkonsentrasi dan jarak antarrumah tak berjauhan, pembangkit listrik
tenaga hibrida (PLTH) atau hybrid solar diesel (HSD) buatan LEN lebih cocok.
HSD adalah salah satu alternatif sistem PLTS, yakni dengan
mengombinasikan antara energi matahari dengan diesel/generator sel
(genset) sehingga menghasilkan energi listrik yang lebih efektif dan
efisien. Pada sistem ini, satu sistem PLTH bisa menghasilkan energi
listrik yang dibagi-bagi ke rumah-rumah penduduk. Saat ini, sudah ada 14
lokasi di Indonesia yang menggunakan hybrid solar diesel, yakni 8 unit
di Sulawesi Tengah dan 6 unit di Sulawesi Tenggara. “Di Indramayu juga
ada, tapi tak terurus,” kata Gusrilizon.
Harus diakui, peibangunan PLTS masih butuh investasi besar. Maklum
saja, beberapa komponen mulai dari panel surya, aki, hingga lampu LED
masih harus didatangkan dari luar negeri. Padahal, seperti diakui
Gusrilizon dan Mulyo Widodo, para pakar Indonesia sudah mampu membikin
sendiri. Apalagi sejumlah bahan baku, seperti silica untuk pembuatan
panel surya, juga tersedia melimpah di tanah air.
“Untuk skala laboratorium kita (LEN) sudah mampu bikin sendiri panel
surya. Yang jadi persoalan adalah belum bisa mencapai skala efisiensi
karena kita tak punya pabrik untuk menghasilkan secara missal,” kata
Gusrilizon. (Muhtar IT/”PR”)***
(Digunting-tempel dari Kolom Cakrawala, Pikiran Rakyat )
https://energisurya.wordpress.com/2007/11/01/pikiran-rakyat-sinar-matahari-sumber-energi-tak-terbatas/
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.