alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 07 Juni 2015

FOTO : SASANDO ROTE, ALAT MUSIK TRADISIONAL ASAL PULAU ROTE - NUSA TENGGARA TIMUR - INDONESIA


Sasando, Alat Musik Unik dari Rote

sasando

Jika harpa, piano, dan gitar plastis menjadi temuan paling bersejarah dan berarti dalam dunia musik, maka sasando dari Pulau Rote layak mendapat penghargaan lebih.
Alat musik tradisional masyarakat Rote itu telah ada sejak puluhan tahun lalu dan menghasilkan suara kombinasi dari tiga alat musik; harpa, piano, dan gitar plastis. Sasando bukan sekadar harpa, piano, atau gitar tetapi tiga alat musik dalam satu ritme, melodi, dan bass. Jadi meskipun merupakan alat musik tradisional, universalitas sasando berlaku menyeluruh.
Alat musik masyarakat Rote itu tergolong cordophone yang dimainkan dengan cara petik pada dawai yang terbuat dari kawat halus. Resonator sasando terbuat dari daun lontar yang bentuknya mirip wadah penampung air berlekuk-lekuk. Susunan notasinya bukan beraturan seperti alat musik pada umumnya melainkan memiliki notasi yang tidak beraturan dan tidak terlihat karena terbungkus resonator.
Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan bertugas memainkan accord. Sasando di tangan pemain ahlinya dapat menjadi harmoni yang unik. Sebab hanya dari satu alat musik, sebuah orkestra dapat diperdengarkan.
Sayang, sasando ibarat masterpiece maestro yang terpendam dan nyaris punah. Alat musik luar biasa itu terancam tinggal cerita manakala di tempat asalnya sendiri telah menjadi sesuatu yang asing. Sasando memang menyimpan kisah haru. Alat musik ciptaan dua pendeta asal Pulau Rote itu kini hanya dapat dipetik oleh delapan orang yang menjadi generasi terakhirnya.
Jacko H.A. Bullan boleh jadi merupakan salah satu generasi terakhir pewaris sasando Rote.  Anak pertama dari dua bersaudara itu tergugah untuk sadar dan bertahan memperpanjang umur sasando agar dapat terus mengalun di telinga generasi mendatang. Menurutnya, orang yang bisa memainkan sasando saat ini tinggal delapan orang termasuk dirinya. Dari jumlah itu, tiga orang di antaranya telah berusia di atas 30 tahun. Dan di NTT sendiri saat ini sudah tak ada satu pun yang bisa memainkan sasando.
Fakta pahit yang ada di lapangan menyatakan bahwa orang tua-orang tua yang demikian bangga memainkan sasando dalam berbagai upacara adat, lengkap dengan topi tilangga, pakaian, dan tarian adat, sebagian besar telah meninggal dunia. Mereka tidak meninggalkan warisan berupa buku atau sekolah yang bisa memandu generasi muda menjadi penerusnya.
Di ibu kota, Jack membuka rumahnya bagi siapa pun yang ingin belajar sasando. Namun, ia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa sebagian besar murid yang datang adalah justru warga negara asing. Jack mengatakan bahwa hampir 90 persen orang asing dari mulai Jepang hingga Australia yang menjadi muridnya. Ia menyayangkan bila suatu saat kelak bangsa Indonesia terpaksa harus belajar ke luar negeri untuk sekadar memetik sasando.
Sementara itu, Direktur Promosi Luar Negeri Depbudpar, I Gde Pitana, mengatakan, sasando merupakan salah satu hasil karya maestro seni tradisi yang potensial untuk “dijual” di dunia internasional. “Semua orang yang mendengarkan musik sasando hampir pasti tertarik,” katanya. Oleh karena itu, pihaknya kerap mengundang pemain sasando untuk turut berpartisipasi dalam ajang “consumer selling” ke beberapa target pasar utama pariwisata Indonesia. “Ini juga bagian untuk melestarikan sasando dari ancaman kepunahan,” katanya. Dengan demikian Jacko H.A. Bullan tidak akan pernah menjadi generasi terakhir yang memetik dawai-dawai sasando.
Jika ada pembaca yang tertarik, mungkin bisa mengikuti kursus yang diberikan oleh Jack. Jangan sampai warisan budaya yang indah dan unik ini sampai punah ataupun dilupakan oleh tanah kelahirannya.
Sumber: ANTARA

http://www.indonesiaberprestasi.web.id/pembangunan-bangsa/headline/sasando-alat-musik-unik-dari-rote/

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob


Sasando ROTE

sasando
Sasando adalah sebuah alat instrumen petik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7. Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.


Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.
https://acara-event.com/alat-musik-bambu-asli-indonesia/



Kisah Putra Rote Melestarikan Sasando ROTE

Jumat, 16 Mei 2014 | 10:07 WIB
KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Jeremias Pah, seorang pengrajin dan pemain alat musik Sasando saat ditemui di Rumah Pengrajin Sasando

KUPANG, KOMPAS.com – Rumah sederhana tersebut dikenal sebagai tempat perajin sasando, berada di Oebelo Puluti, Kabupaten Kupang Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jaraknya 20 km, dapat ditempuh selama 45 menit dari Kota Kupang. Kalau berpelesir ke Kupang, jangan lupa mengunjunginya.

Masyarakat Oebelo kebanyakan adalah petani garam. Hal tersebut bisa dilihat kala melintasi sepanjang jalan besarnya. Tepi jalan dihiasi dengan garam yang dipasarkan dalam bentuk sokal (sejenis tabung panjang yang bahannya terbuat dari daun lontar). Daun lontar memang menjadi komoditas yang banyak digunakan di Kupang. Selain bisa dirubah menjadi berbagai macam tempat penyimpanan, di sini anyaman daun lontar juga biasa digunakan sebagai atap rumah, karpet, bahan rumah gubuk juga kerajinan yang biasa di pakai oleh Jeremias Pah, seorang perajin dari Bengkel Perajin Sasando.
Jeremias bukanlah orang Oebelo asli. Ia sebenarnya berasal dari Rote, tempat asal alat musik tradisi sasando berasal. “Silakan masuk, di belakang biasa kami buat sasando,” ajak Jeremias dalam bahasa Rote pada kami saat ditemui di rumah Perajin Sasando. Jeremias tak lancar berbahasa Indonesia. Tempatnya cukup luas tetapi tak tertata rapi, atap rumah berhias daun lontar, sedang alasnya adalah tanah langsung.
Sebelum memperlihatkan cara membuat sasando, Jeremias memainkan alat musik ini sebentar sambil bernyanyi, menunjukkan kebolehannya. Syahdu, kami larut dalam petikan sasando yang ia mainkan. “Bermain sasando sesuai tradisi haruslah memakai pakaian seperti ini,” ujar Jeremias menunjukkan pakaian yang sedang ia gunakan. Kemeja dengan balutan sarung berbahan kain tenun lengkap dengan syal bermotif tenun Rote, di mana hitam menjadi dasarnya beserta topi adat Ti’I Langga yang juga berbahan dasar daun lontar.
Puas memainkan sasando, Jeremias mulai menunjukkan cara membuat sasando. Bagian tengah sasando adalah tabung panjang yang terbuat dari bambu. Bambu ini kemudian dipasangkan senar yang direntangkan dari atas ke bawah. Tiap petikan senar menghasilkan nada yang berbeda-beda. Lalu melengkapi sentuhan cantiknya, bambu tersebut ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari daun lontar yang dibuat seperti kipas yang ditekuk setengah lingkaran, gunanya sebagai tempat resonansi.
Begitulah kesibukan Jeremias, hampir tiap hari waktunya dihabiskan dalam bengkel ini sejak tahun 1960-an. Selain menjadi perajin ia pun biasa menjadi tenaga pengajar panggilan. ”Pernah saya dipanggil oleh mahasiswa Jepang yang sedang berkunjung ke Jogja, hampir mereka tak percaya alat musik ini bisa memainkan nada-nada secara lengkap," katanya.
KOMPAS.com/SRI NOVIYANTI Jeremias Pah sedang memperlihatkan cara bermain alat musik Sasando
“Di Nusa Tenggara Timur sendiri, sasando dimainkan untuk beberapa keperluan seperti menghibur kerabat atau orang yang berduka cita, sebagai pengiring tarian dan upacara adat, menyambut tamu penting, atau sekadar alat musik penghibur,” kata Jeremias.
Tapi belakangan, sasando memang banyak dinikmati sebagai musik penghibur. “Tak banyak yang bisa memainkan alat musik ini dengan baik. Saya sendiri mencoba mewariskan kemampuan pada semua anak saya,” ujar ayah dari salah satu pemain sasando Indonesia, Berto Pah ini.
Memainkan sasando sudah dilakoni sejak ia muda dan menetap di Rote dahulu, sayang karena jaraknya yang jauh dari kota banyak orang enggan datang ke sana. “Sulit untuk melestarikan di sana, saya harus pindah ke sini agar wisatawan dari kota bisa lihat, membeli ataupun belajar di sini,” tuturnya
Kini, di usianya yang tak lagi muda, Jeremias tetap bertekad melestarikan sasando hingga ke mancanegara. Selain Berto Pah yang kita kenal lewat ajang pencarian bakat televisi, anaknya Jack dan Djitron juga mewarisi bakatnya. Bahkan kini, Jeremias dan Djitron lalu mengembangkan Sasando elektrik. “Bisa dibilang saat ini, saya adalah pemain sasando tertua di Indonesia, untuk itu tahun 2008 saya juga mendapat piagam penghargaan dari Presiden,” tambah lelaki kelahiran tahun 1939 ini sambil menunjukkan rak dengan isi piala di atasnya. Di sana juga terdapat piala bergilir untuk Festival Sasando juga dari Presiden dan beberapa Festival lainnya.
Selain Sasando elektrik, Jeremias juga membuat beberapa jenis sasando. Mulai dari 10 senar hingga 56 senar yang dibuatnya selama 5 hingga 15 hari. Harganya pun variatif, mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 3.500.000.
Oebelo, kini di sini lah ia ingin menghabiskan masa tuanya, di mana orang lebih mengenalnya karena sasando, alat musik yang biasa ia buat dan mainkan.

http://travel.kompas.com/read/2014/05/16/1007089/Kisah.Putra.Rote.Melestarikan.Sasando












Add caption




Senin, 05 April 2010

sejarah sasando

Alkisah, ada seorang pemuda bernama Sangguana di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Suatu hari ia menggembala di padang sabana. Ketika merasa lelah dan ngantuk, ia pun jatuh tertidur di bawah sebuah pohon lontar. Dalam tidur, ia bermimpi memainkan sebuah alat musik misterius. Ketika terbangun ia masih mengingat nada-nada yang dimainkannya. Saat kembali tidur, anehnya ia kembali memimpikan hal yang sama. Akhirnya, berdasarkan mimpinya itu Sangguana memutuskan membuat sebuah alat musik dari daun lontar dengan senar-senar di tengahnya.


Alat musik yang mirip harpa itu sekarang dikenal sebagai sasando. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.
Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan
di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando..

Seberkas Cerita Memperkenalkan Sasando ke dunia 
Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Bae Sonde Bae/Tanah Timor Lebe Bae... senandung itulah yang dinyanyikan Jeremias Ougust Pah (70), seniman senior Indonesia (maestro) sasando, alat musik tradisional khas Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika SH mengunjungi rumahnya di Jalan Timor Raya Kilometer 22 Desa Oebelo, Kabupaten Kupang Tengah, Kamis (31/7) siang.

Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 28 Desember 2007 lalu, memberikan penghargaan sebagai seniman senior Indonesia (maestro) yang melestarikan dan mengembangkan seni tradisional musik sasando kepada Jeremias Ougust Pah.

Penghargaan dari pemerintah itu dibingkai dan terpampang jelas di teras depan rumah Jeremias. Teras depan rumahnya yang terbuat dari batang nipah dan bambu serta berlantai semen itulah sebuah ruang pamer sasando. Tiilangga (topi dari daun lontar), gong, gendang kecil dari tempurung, serta tenun ikat khas Rote Ndao tersaji di sana, menyambut setiap pengunjung yang datang.

“Saya ingin musik sasando itu tetap lestari di kalangan generasi muda di Tanah Timor,” demikian impian Jeremias yang langsung mengenakan pakaian adat serta tak ketinggalan tiilangga. Tak lama kemudian Jeremias mengajak SH memperlihatkan cara membuat alat musik sasando.

Di samping rumah Jeremias terdapat sebuah ruangan kecil berukuran tidak lebih dari 6 x 10 meter persegi yang dijadikan tempat pembuatan sasando dan cendera mata sasando yang bisa dipesan konsumen.
“Di ruangan kecil ini saya dan istri saya, Dorce Pah Ndoen, mencoba melestarikan musik sasando sekaligus mengembangkan kerajinan tenun ikat khas Rote Ndao. Saya berharap apa yang saya lakukan bersama istri saya ini mampu melestarikan alat musik ini sampai selamanya,” tuturnya.

Saat ditanya mengapa dia membuat pernyataan demikian, pria kelahiran Rote, 22 Oktober itu dengan wajah agak berkerut mengaku kini banyak generasi muda Timor yang mulai bosan mendengarkan suara lengkingan sasando. Di samping itu lagu-lagu yang dimainkan dengan alat musik tradisional ini hanya sebatas lagu-lagu daerah khas NTT. “Generasi muda Timor lebih suka lagu yang keras-keras dan dari luar negeri,” katanya.

Belakangan, padahal banyak orang asing sengaja datang ke rumahnya hanya untuk belajar memainkan alat musik sasando itu. “Saya pernah mengajari 15 turis dari Australia yang ingin belajar memainkan sasando. Bahkan, ada orang Jepang namanya Masamu Takashi yang secara khusus datang ke rumah saya hanya untuk belajar sasando,” katanya bersemangat.

Meski demikian, persoalan itu tidak membuat Jeremias berkecil hati. Dengan sisa-sisa kemampuannya karena termakan usia, dia tiada henti terus memperkenalkan musik sasando bagi generasi muda di Tanah Timor. Untuk mengatasi soal jarak lengkingan sasando yang sebelumnya hanya mampu terdengar 10 meter, Jeremias dengan anak kelimanya, Djitron, pada tahun 1996 membuat sasando elektrik.

Bagian pangkal sasando disambungkan kabel listrik ke sound system atau pengeras suara. Yang terjadi kemudian, nada-nada yang dikeluarkan sasando pun dapat diperdengarkan sampai jarak lebih jauh dari sekadar 10 meter.


Dihargai Orang Jepang
Jeremias pun memperkenalkan alat musik sasando hingga ke Yokohama, Jepang, beberapa tahun lalu. Didampingi istrinya, Dorce Pah Ndoen, Jeremias dengan sepuluh jari tangan memperlihatkan kelincahannya memetik senar sasando yang bertuliskan: “Semua yang bernapas memuji Tuhan.”

Sambutan masyarakat Yokohama pun membuat dirinya menitikkan air mata. Itulah pengalaman yang paling berkesan bagi Jeremias. “Kalau orang asing saja menghargai alat musik tradisional ini, seharusnya orang muda di Tanah Timor lebih mencintainya,” ungkapnya dengan berkaca-kaca.

Jeremias mempelajari sasando sejak usia lima tahun. Ia belajar memainkan sasando dari sang ayah, Ougust. Ketika itu, Ougust Pah ditunjuk Raja Rote untuk memainkan alat musik apa saja untuk menghibur tamu di kerajaan. Setelah sang ayah meninggal pada 1972, Jeremias menggantikan peran ayahnya sebagai penerus dan pengembang sasando.

Pada tahun 1985, ia memutuskan pindah ke Kupang dan menetap di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Di tempat ini, ia mulai mengembangkan dan memperkenalkan sasando kepada kalangan luas.

Agar sasando tak punah ditelan masa, Jeremias mengajari anak kelimanya, Djitron Pah. “Saya berharap anak saya itu bisa melanjutkan impian saya agar musik sasando tetap lestari sepanjang massa,” tambahnya.
Ketika SH pamit untuk meneruskan perjalanan, Jeremias mengambil sasandonya dan kembali melantunkan lagu khas Rote dengan lirik berbeda. Begini liriknya:… Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Meski miskin, lapar, dan kering/NTT tetap Lebe Bae..... n

http://sejarahsasando.blogspot.com/

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob







































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.