IPK, Pengangguran, dan Kesempatan
Kerja
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Kata rekan saya, seorang self-made entrepreneur, ”Jaman sekarang,
susah sekali nyari
karyawan yang jujur, capable, berdedikasi tinggi, dan bisa diandalkan
untuk kemajuan perusahaan.” Kata teman saya, lulus sarjana beberapa tahun lalu
tetapi belum mendapatkan pekerjaan yang settle, ”Perusahaan sekarang suka rewel, buka
lowongan ’semau gue’ dengan spesifikasi yang aneh-aneh dan
sulit dipenuhi.
Pekerjaan jadi susah
dicari.”
Ketika mewisuda lulusannya, salah seorang dekan business school terkemuka
di Amerika selalu berpidato, “Kita harus memberikan respek kepada mereka yang
mempunyai nilai A, karena mereka akan kembali ke almamater menjadi dosen dan
melupakan duniawi. Namun kita harus lebih membungkukkan
kepala kepada mereka yang mendapat nilai B dan C, karena mereka akan
kembali lagi ke kampus dengan menyumbang laboratorium, auditorium, serta
menjadi penyandang dana.” Menurut Suara Merdeka, ”Sampai akhir 2005, tingkat pengangguran merangkak naik
mencapai tidak kurang dari 9,9%,
Pada awal 2006, tingkat pengangguran tersebut
diperkirakan masih akan meningkat menjadi lebih dari 11%.”Sementara Kompas edisi Sabtu, 20 Mei 2006 menulis, ”Per Februari 2005,
dari 155,5 juta angkatan kerja, 10,85 juta adalah pengangguran terbuka.
Padahal, per Agustus 2000, dari 95,70 angkatan
kerja, “hanya” 5,87 juta yang merupakan pengangguran terbuka.”Dari ilustrasi,
data, dan fakta di atas, kita bisa lihat betapa ”besarnya” kontribusi
pendidikan terhadap terbukanya lapangan pekerjaan.
Negeri ini mungkin punya ribuan sarjana multi-jurusan
yang diyakini bisa berpikir analitis, mampu menciptakan perubahan dalam
masyarakat, tetapi toh ternyata mereka belum mampu membantu diri mereka
sendiri. Ini belum termasuk opportunity cost yang keluar ketika melanjutkan kuliah
setamat SMU.
Mengapa
tidak menggunakan waktu dan biaya untuk berwiraswasta saja?
Seharusnya..
Idealnya, kampus seharusnya bisa membangun linkage yang ideal antara
lulusan sekolah menengah dengan lapangan pekerjaan di dunia nyata. Bagi
top-tier business school
di dunia, ini bukan masalah. Mayoritas lulusan
kerja mereka sukses dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji 2-3 kali dari jumlah
yang mereka investasikan untuk kuliah di business school
tersebut.
Bagaimana di Indonesia?
Sayangnya,
di Indonesia, gap tersebut terasa begitu kentara. Ijazah sarjana tidak lagi
sakral saat ini. Hal ini juga didukung fakta bahwa banyak perguruan tinggi
negeri yang membuka kelas diploma, program ekstensi/swadaya, kelas malam, fast-track program, dan
seterusnya. Perguruan tinggi swasta juga bermunculan tak kalah banyaknya.
Akibatnya, ijazah sarjana semakin mudah (walau belum tentu murah) diperoleh.
Kondisi
ini masih diperparah dengan perguruan tinggi “biasa-biasa saja” yang mengobral
nilai, sementara perguruan tinggi top justru dipenuhi dosen killer yang sulit memberi nilai A. Selain dituntut
menjadi linkage yang kokoh, kampus juga
selayaknya bisa menjadi inkubator bisnis yang kuat.
Tidak
banyak orang yang tahu bahwa Sun Microsystems
adalah kepanjangan dari Stanford University Network, karena
memang perusahaan ini memulai bisnisnya dari lingkungan kampus. Dan satu lagi, Google dan Yahoo!, juga
sama-sama lahir dari kegiatan intelektual di universitas. Malah, Google adalah
hasil dari proyek disertasi kedua pendirinya. Baik Google, Yahoo!, atau Sun
Microsystems, masing-masing telah bertumbuh menjadi perusahaan besar dengan
tingkat profitabilitas yang luar biasa. Inilah salah satu bukti bahwa kampus,
selain menjadi linkage bagi
lapangan pekerjaan di dunia nyata, juga bisa menjadi inkubator yang hebat.
Tanpa membunuh spirit dan mengekang kebebasan berpikir siswa didiknya. Sayangnya, lagi-lagi di Indonesia belum memiliki perguruan
tinggi yang cukup mumpuni untuk menjadi inkubator bisnis yang handal.
Menurut Saya..
Dari situlah saya coba menyusun beberapa intisari
berikut. Tujuannya jelas. Agar kita mencapai kesuksesan sesuai dengan kapasitas
kita. Baik itu sebagai seorang pengusaha, businessman,
karyawan, atau seorang siswa/mahasiswa. Antara lain sebagai berikut. Sekolah itu (tetap) penting.
Coba Anda lihat di sekeliling kita.
Ada berapa banyak macam pekerjaan? Ratusan.
Ribuan bahkan.
Seharusnya,
secara logika harus terdapat puluhan ribu macam
sekolah/kampus/jurusan. Tentu
saja ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, sekolah memang tidak bisa menjadikan
lulusannya benar-benar 100% siap kerja kecuali sekolah/kursus setir mobil. Saya
bukan bermaksud menyatakan bahwa sekolah tidak penting.
Sekolah
dan ijazah, bagaimanapun juga, membuat entry barrier untuk
mencari kerja lebih baik dibanding jika kita tidak sekolah dan tidak berijazah.
Sekolah juga merupakan tempat terbaik untuk akses pengetahuan terkini, plus
akses bagi orang-orang top di lingkungan akademis. Belajar, lifelong
education,
juga penting. Menyambung poin di atas, sekolah memang hanya
bisa mengajarkan prinsip-prinsip umum dan rerangka berpikir yang logis,
analitis, dan sistematis. Jangan berharap sekolah akan menjamin pekerjaan kita
kelak. Sebaliknya, sebagai siswa kita dituntut untuk bisa berpikir dan
mengembangkan terus cara berpikir kita.
Biarlah
sekolah berkonsentrasi pada penciptaan perangkat berpikir. Jadi, jadilah
proaktif. Hidup adalah belajar. Jangan
menyalahkan sekolah karena keterbatasan sekolah dalam mengajarkan materi teknis
atau memberi jaminan bagi pekerjaan pasca kelulusan. Jangan pula terpaku bahwa konsep belajar hanya bisa
dilakukan di sekolah. Sabda nabi, ”Tuntutlah ilmu sejak di tiang ayunan hinga
di liang lahat.”
Dalam statement yang lain,
nabi juga bersabda,”Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina.” Tapi memberi kontribusi adalah yang
terpenting. Lifelong education will
make live easy. Belajar dan berpikir adalah mulia, tetapi
akan menjadi sia-sia bila tidak diaplikasikan dalam dunia nyata. Ilmu dan
pengetahuan juga akan menjadi useless
ketika pemiliknya tidak bisa menularkan wisdom tersebut kepada orang lain
Jika
sebagian dari kita ada yang sukses di bidangnya, kemudian menularkannya pada
orang lain, multiplier
effect yang muncul untuk penciptaan dunia yang lebih baik adalah
luar biasa besarnya. Dan semakin tinggi pengaruh seseorang, semakin tinggi pula
eksistensi yang dimilikinya, karena pengaruh tersebut bisa melintasi ruang,
waktu, dan bahkan, melampaui ajal. Sungguh. Begitu banyak orang-orang pintar
memenuhi penjuru dunia, tetapi sering lamban dalam mengambil
keputusan-keputusan bisnis karena harus menyesuaikan dengan text-book. Kalau saya tanyakan bagaimana mengubah
Rp 50 juta menjadi Rp 1 milyar dalam 12 bulan, mungkin bisa dijawab dalam
sekian menit.
Tapi melakukannya dalam
tindakan yang konkrit? I doubt
it.
Sekolah
nyambi kerja/organisasi itu perlu.
IPK
tinggi memang penting. Akan tetapi, perusahaan kini juga memperhatikan
aktivitas ekstrakurikuler seseorang ketika akan melakukan rekrutmen. Tujuannya
jelas. Mereka ingin meng-hire
a ”well-rounded” person, bukan semata-mata nerd. Sekolah mengajarkan kita tentang kepemimpinan -tapi hanya
dengan pengalaman berorganisasilah kita benar-benar bisa menguasai manajemen
konflik dan kepentingan. Kuliah memaparkan kita tentang prinsip-prinsip budgeting –namun hanya dengan magang di sektor ritel kita bisa
benar-benar memahami tentang stock
opname dan expense
budget.
Berinvestasilah pada
human
capital dan social network.
Pengusaha
sukses jelas tidak melakukan segalanya seorang diri. Ia menyewa orang untuk
membantu dirinya dalam berbisnis. Kalau orang tersebut menghasilkan output lebih besar dari input, berarti
ia memberi kemakmuran bagi perusahaan. Orang-orang tersebut mungkin telah menghabiskan waktu untuk bersekolah dan
menimba pengalaman. Tanpa mereka, mustahil seorang pengusaha meraih kesuksesan.
Bisnis hanya bisa dicapai melalui jejaring sosial yang
kuat dan luas. Untuk membangunnya, jelas diperlukan pengorbanan waktu dan
tenaga yang luar biasa. Inilah satu-satunya aset yang paling berharga sehingga
menimbulkan barrier to entry
yang tinggi dan menjadikannya sulit direplikasi dengan mudah. Dengan demikian,
Anda akan berada pada bisnis dengan tingkat kompetisi yang rendah; dan
keuntungan jauh di atas normal memang mudah untuk diperoleh.
”Bangsa ini juga menagalami brain drain untuk sumber daya manusianya.
Tenaga terdidik dan profesional yang seharusnya bisa ikut membangun negara ini
dibajak atau memilih hengkang ke negara lain.” Going
global ataupun knowledge transfer adalah perlu –tapi jangan
lupakan nasionalisme. Baik Anda sebagai seorang pengusaha, atau seorang
pekerja, sudah selayaknya Anda memiliki persepsi dan paradigma untuk bersaing
dalam tataran bisnis di dunia global. Ada teknologi. Ada internet. Kalau Anda butuh
pekerjaan di dunia global, bisa coba Jobs/Monster, Rent-a-Coder, atau eLance.
Kalau Anda ingin merintis bisnis perdagangan internasional, bisa dimulai dari eBay Stores, atau Alibaba. Yang jelas, siapkan diri Anda untuk bersaing dengan
mereka-mereka di luar sana.
Dan jangan
abaikan nasionalisme.
Jangan mudah terpikat pada “Cara Cepat Jadi Kaya”.
Setelah era Kiyosaki,
kian banyak pakar/pembicara/motivator yang kemudian menggampangkan cara menjadi
kaya, apalagi dengan penekanan pada aspek non teoretis. Kalau sebuah bisnis
bisa berjalan tanpa perlu teori, logikanya entry barrier bisnis
tersebut sangat rendah dan orang yang tidak tahu teori (plus semua yang tahu
teori) bisa terjun dalam bisnis itu.
Dalam lingkungan yang overcrowded
tersebut, profitabilitas pada tingkat yang normal saja menjadi
sulit karena dipenuhi banyak pesaing. Inilah konsekuensi dari Red
Ocean. Andaikata buku/training/seminar tersebut memaparkan
tentang entry barrier,
jualan mereka menjadi kurang laku. Sejujurnya,
yang mereka jual adalah ”mimpi indah”. Semakin sesuatu kelihatan gampang
dikerjakan (tanpa perlu sekolah, tanpa perlu teori, dan seterusnya), semakin
”mimpi” itu terasa gampang dicapai, dan semakin laku pula para penjual mimpi
tersebut. Best seller!
Jadilah
unik.
Silakan
Anda membantah, tapi Tuhan sudah menentukan tiap manusia dengan bakat, talenta,
lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Beethoven,
adalah jenius dalam bermusik walau menderita bisu dan tuli – tapi jangan suruh
dia menghitung kalkulus. Goethe adalah
piawai dalam sastra dan bahasa – tapi jangan paksa ia menulis simfoni. Newton
adalah pakar dalam fisika dan mekanika – tapi jangan bayangkan ia menyair atau
menulis puisi.
Beckham
mungkin piawai dalam mengumpan bola dan melakukan tendangan bebas - tapi jangan
suruh ia memprogram komputer. Jadi, temukan keunikan dalam diri Anda. Kembangkan keunikan tersebut agar menjadi keunggulan
kompetitif yang sulit disaingi orang lain. Keunggulan tersebut akan membedakan
Anda dari orang lain dan pada akhirnya menaikkan nilai jual Anda. Work hard,
play hard. Dalam Qur’an 13:11 tertulis,
”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Jadi jelas,
kalau kita menginginkan kesuksesan, maka berencanalah dengan matang, berdoalah
secara khusyuk, berusahalah dengan sekuat tenaga, dan serahkan hasilnya pada
Tuhan. Percayalah, rejeki bukan di tangan Tuhan
– tapi ada di tangan (usaha) kita sendiri. Oh iya, self-made
entrepreneur yang saya sebut di paragraf awal tadi tidak pernah
membaca buku-buku ”Get Rich
Quick” atau mengikuti seminar ”Cara Cepat Jadi Kaya”.
Beliau
menikmati pekerjaannya sembari menikmati hasil dari apa yang beliau usahakan. Sementara
orang lain sibuk memikirkan (memimpikan) passive income, beliau malah menikmati real income yang menumpuk di tangannya. Respect the
others. Last but
by no means least, IPK tinggi atau rendah, sarjana atau bukan,
valid atau tidak valid – itu urusan masing-masing.
Menjadi
pengusaha, businessman, atau pekerja (karyawan)
yang biasa-biasa saja –itu adalah soal pilihan hidup. Hidup adalah pilihan, dan
setiap pilihan mengandung risiko masing-masing. Manusia memang tercipta
dengan berbagai perbedaan yang tak mungkin disatukan. Jadi, jangan memaksakan
orang lain untuk berpikir dan bertindak sesuai cara kita. Begitu pula, jangan
merendahkan dan menghina mereka yang ada di bawah level kita ataupun iri dan
berburuk sangka terhadap mereka yang berada di atas kita.
Penutup
Anyway, sudah
pernah dengar anekdotnya Larry Ellison,
founder of Oracle?
Kata beliau kuliah
itu cuma dapat BS
(bull shit),
kemudian MS
(more shit),
dan setelah itu PhD (pile high and deep).-Internet May 21st, 2006 | Education