ADAT MAKAN
DAGING DI ROTE
DAN STATUS SOSIAL
SESEORANG
Di Pulau Rote, jarang kita mendengar orang berkata : “ mari kita ke-pesta
.“
Pada umumnya mereka berkata begini : “ mari kita pergi
makan daging. (Rote : masko pa o’ek) “ Ucapan ini memang
sangat tepat, sebab dalam pesta-pesta itu kita akan menyaksikan sendiri betapa
orang-orang Rote itu gemar makan daging. Dalam pesta itu tiap-tiap orang akan
mendapat sajian daging yang banyak, sehingga kadang-kadang tidak terhabiskan. Bagian yang sisa itu, boleh dibawa pulang
kerumah masing-masing.Kalau kita makan di-restoran atau di-pesta-pesta di kota,
kita akan menjumpai bermacam-macam masakan yang sedap-sedap misalnya : sup,
farkadel, sate, berbagai gorengan daging, sayur-sayur, capcai dan berbagai
masakan yang enak-enak lainnya, tetapi dalam pesta-pesta adat orang Rote, kita
tidak akan menjumpai semua itu.
Tidak akan terdapat hidangan sayuran apapun di sana.
Kepada kita akan
disajikan daging rebus serta sub yang agak hitam warnanya.
Biasanya kambing atau
biri-biri/domba atau babi yang telah disembelih, tidak dikuliti, melainkan
dibakar mempergunakan daun kelapa kering guna menghilangkan bulu-bulunya. Sesudah
dibakar, dibersihkan dengan cara digaruk dengan pisau atau parang disemua badan
hewan itu, lalu dicuci dengan air hingga bersih dari sisa bulu-bulunya,
kemudian dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil, lalu direbus dengan garam
secukupnya tanpa bumbu-bumbu lengkap lainnya.
Sudah
tentu sup atau kuah dari masakan daging ini agak kehitam-hitaman warnaya dari
bekas kulit yang dibakar itu. Sesudah daging yang direbus telah masak,
maka di panggillah salah seorang
laki-laki yang paham akan peraturan pembagian daging, untuk membagi-bagikan
daging itu kepada para tamu. Pembagian
daging haruslah orang yang terpilih dan sangat paham tentang ‘adat pembagian
daging kepada tamu-tamu,’ jadi tidak sembarang orang. Hal ini disebabkan oleh karena sipembagi
daging itu harus tahu, bahwa pantaskah bahagian daging tertentu itu diberikan
kepada tamu yang bersangkutan atau tidak.
Biasanya
daging itu dipotong-potong menurut peraturan yang telah ditetapkan atau yang
telah diadatkan sejak dahulu kala, lalu
diberikan kepada tamu-tamu sesuai dengan tinggi-rendahnya kedudukan atau status
sosialnya si tamu itu didalam masyarakat adat.
Kalau
si tamu itu seorang raja, seorang kepala atau seorang ketua adat, maka ia diberi daging kepala. Arti perlambang dari
daging kepala itu ialah bahwa orang yang menerima daging itu adalah pemimpin yang
patut dihormati. Demikianlah dalam peraturan pembagian daging itu
terdapatlah “adat
penghormatan” kepada tiap-tiap tamu. Penghormatan ini diwujutkan dalam
bentuk sajian yang berupa daging. Artinya
daging dari bagian mana dari hewan itu, yang akan diberikan kepada masing-masing
tamu yang berbeda status sosialnya dalam masyarakat adatnya. Tamu
yang telah mengetahui akan adat pembagian daging ini, tentu tidak akan merasa
tersinggung bila ia diberikan sekerat tulang leher, karena sesuai dengan
kedudukannya di dalam masyarakat adat.
Mungkin seseorang dari
kota akan merasa gembira menerima sepotong daging paha yang besar, tetapi bagi
seorang kepala kampung hal ini dipandang sebagai suatu penghinaan karena daging
paha itu sebenarnya hanya untuk anak-anak.
Adat
Pengaturan Pembagian Daging Saat Pesta di Rote
Barangkali ada baiknya juga disusun peraturan adat itu
dibawah ini, mudah-mudahan ada peminat atau pembaca yang ingin mengetahui adat
pengaturan pembagian daging kepada para tamu di pulau Rote dengan
istilah-istilah adatnya sebagai berikut:
1.
Langa
laik = Separuh kepala bagian atas terhitung mulai dari
moncong sampai ketelinga dan pangkal leher : yang patut menerima adalah Raja, wakil raja,
ketua adat, tua-tua kampung, serta orang-orang asing yang terpandang. Dalam
hubungan kekeluargaan daging kepala itu untuk ayah atau paman.
2.
Timik = Separuh dagu, terhitung mulai dari moncong
sampai kepangkal leher : yang patut menerima adalah Orang yang lebih rendah
kedudukannya dari pada orang-orang yang disebutkan diatas. Dalam hubungan
kekeluargaan, daging dagu itu untuk saudara
lelaki yang tertua.
3. Tenek = Separuh tulang
dada bersama beberapa tulang rusuk : Yang berhak menerima adalah : Permaisuri raja
atau wanita yang terpandang dalam pesta. Dalam hubungan kekeluarga, daging dada
itu untuk ibu atau bibi/ tante.
4.
Dimok = Daging bagian pangkal paha : Yang berhak
menerima adalah : Untuk kaum wanita yang lebih rendah kedudukannya dari tersebut diatas. Dalam
hubungan kekeluargaan, bagian ini untuk saudara perempuan.
- Pa eik = Daging kaki atau paha, tidak terhitung kuku : Yang berhak menerima
adalah Anak-anak.
- Iko
tei lolo = Ekor serta sebagian perut : Yang berhak
menerima adalah Gembala.
- Pa duik = Tulang
rusuk : Yang berhak menerima adalah , Orang-orang
biasa
atau tetangga.
Pembagian
daging yang disebutkan diatas, adalah daging yang akan dibawa pulang ke rumah masing-masing tamu setelah
selesai pestanya. Sedang waktu jamuan makan saat pesta berlangsung, daging yang
diberikan adalah daging dari berbagai bagian dari hewan itu seperti makan pesta
pada umumnya, dan terserah dari seleranya masing-masing. Oleh adanya peraturan
adat pembagian daging semacam ini, maka tidaklah terlalu mengherankan mengapa,
sehingga dalam tiap-tiap pesta adat orang Rote diperlukan banyak hewan untuk di sembelih.
Rata-rata dalam
tiap-tiap pesta penguburan orang meninggal/mati atau perkawinan diperlukan 20 sampai 40 ekor hewan besar–kecil untuk disembelih. “Kami tidak mau malu” kata orang-orang Rote itu. Apa guna
kami membanting tulang dan memeras kering selama hidup untuk memelihara hewan
serta mengumpulkan makanan (padi).
Sesungguhnya demikian,
orang-orang Rote itu selama hidupnya bekerja keras, rajin beternak dan bersawah-ladang, tetapi sebaliknya jarang mereka makan nasi atau
menyembelih hewannya untuk dijadikan lauk-pauk
sehari-hari untuk keluarganya.
Segala sesuatu yang
telah diusahakannya disimpan, ia seperti kata pepatah : “Sedia payung sebelum hujan.”
Padi atau beras yang
tersimpan dilotengnya, baru akan ditanak / dimasak, kalau ada tamu yang
berkunjung atau kalau ada pesta yang
perlu diselenggarakan. (Minggus Manafe, Aneka Kehidupan di Pulau Roti, Balai
Pustaka ,Jakarta, l968)
Dalam kehidupan
sehari-hari cukuplah mereka minum tuak / nira
gula air/gula
cair dari pohon lontar yang disadapnya atau gula hasil rebusan nira
lontar, dengan ikan asin kering, sayur kelor, ikan, kepiting atau udang, sayur
laut (latu), gurita (pado) yang direbus dengan cuka Rote, rebusan daun pepaya, dan sayur lainnya
sebagai menu sehari-harinya. Memang ada
juga sesekali kelihatan beberapa
diantara mereka turun kekota membawa beras, jagung, kacang-kacangan, gula rote,
kambing atau hasil kebun lainnya untuk
dijual. Kalau mereka lapar ya... ia
minum gula, jika haus juga minum gula, gula sepanjang hidupnya. Tidak heran
jika para peneliti Barat menyebut orang Rote sebagai : “Masyarakat Berbudaya Lontar” ada juga memberi gelar “No Eating
People” atau “Live No Eating.”(Kehidupan tanpa makan).
Aneh Tapi Nyata”, unik dan spesifik.
Hal ini dapat terjadi
kalau mereka sangat membutuhkan uang
untuk membeli barang-barang yang dipandang penting, misalnya pisau,
parang, alat pertanian, minyak tanah, sirih pinang, tembakau atau pakaian
Pembagian
Upah para tukang yang sedang membangun rumah baru, seperti di jelaskan pada
Buku tentang “Arsitektur Rumah Adat Rote”, (Oleh Penulis) setiap tukang
mendapat upah selain dalam bentuk barang, juga berhak menerima pembagian
daging. Umumnya hewan yang disembelih saat pekerjaan sedang berjalan, adalah
kambing, domba, anjing atau babi. Mengenai upah (sesebak) dari para tukang ini sangat berbeda-beda antara
satu dengan yang lainnya, sesuai dengan
dibagian mana dari rumah yang dibangun itu,
ia ditugaskan.
MANTAP INFORMASINYA
BalasHapus