alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 04 Januari 2015

ADAT PESTA "MAMAR" (KEBUNKOLEKTIFDIROTE)

ADAT PESTA “MAMAR” (KEBUN KOLEKTIF) DI ROTE

“Mamar” Untuk Sosial Forestry

Dalam kehidupan masyarakat tradisional di pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dikenal sejenis hutan tanaman keras membaur yang disebut dengan berbagai nama : “Mame” (Rote), P’an (Timor), dan di Indonesiakan menjadi “Mamar”.
Para pemukim pertama dalam suatu kawasan yang kemudian hari menjadi daerah tanah adat hak ulayat, memilih bersama sebidang tanah dekat mata air, kemudian dibagi-bagikan kepada setiap keluarga  dengan ukuran yang kira-kira sama luasnya. Batas-batasnya ditentukan dengan pasti. Masing-masing keluarga mendapat tanggungan pembuatan pagar beberapa puluh  hingga beberapa ratus depa panjangnya, dan dipagari dengan cara-cara dan ukuran tinggi yang disepakati bersama.

Setiap orang menanami bagiannya dengan tanaman keras apa saja yang dikiranya baik seperti : kelapa, pinang, kelumpang (nitas/pohon fanik), nangka, mangga, sukun, sirih, pisang, jambu, kapuk, ketapang, dan tanaman keras lainnya.  Sedang pada sela-sela pohon-pohon yang besar itu biasa ditanam juga ketela pohon, umbi-umbian lainnya, sereh, dan tanaman-tanaman kecil lainnya guna memenuhi isi kebunnya.
Mereka memilih seorang atau beberapa orang penjaga “mamar” yang wajib tinggal dalam pondok yang dibangun bersama di pintu masuk. Setiap hari penjaga (Rote :”manaholo”) wajib berkeliling ke seluruh kebun dengan tugas : memunguti hasil bumi seperti buah kelapa yang jatuh, pinang yang tua, pisang yang sudah menguning, dan hasil lainnya, lalu menumpuknya di dalam huma/gubuk pemilik hasil tersebut.

Perlu diketahui bahwa setiap pemilik kebun dalam “mamar” tersebut membangun sebuah gubuk di bagian kebunnya sebagai tempat menaruh hasilnya yang dipungut oleh “manaholo”. Jadi dalam mamar tersebut terdapat sekian banyak gubuk sebanyak pemilik kebun dalam mamar tersebut.  Seminggu sekali, pada hari yang telah ditentukan bersama, semua pemilik datang bersama ke lokasi “mamar” untuk mengambil atau memungut hasil mamarnya yang telah dikumpulkan oleh “manaholo”.  Sebagai upah “manaholo”/penjaga, ia menerima satu dalam sepuluh dari setiap hasil panen yang dibawa keluar dari mamar oleh pemiliknya. Demikian penjaga/manaholo hidup dari ‘keamanan mamar’.  Dapat dikatakan bahwa mamar merupakan suatu artificial forest “(kebun kolektif)” yang paling tua dalam kebudayaan orang Rote.
Berbagai jenis pepohonan, baik yang menghasilkan buah maupun kayu, semuanya tumbuh membaur dalam mamar sangat terpelihara sehingga memberi dukungan bagi pertumbuhan yang lestari dari semua tanaman yang ada didalamnya.
Tanaman yang mati dan membusuk akan menyediakan zat-zat hara yang penting bagi tanaman lainnya. Berbagai jenis tanaman yang menghasilkan nitrogen menyumbang bagi pertumbuhan tanaman lainnya, sedangkan tanaman lainnya  mendapat keteduhan dari pohon-pohon besar.
Demikianlah “mamar” menampilkan suatu ,
Ø  masyarakat hutan yang terpadu,
Ø  lestari dan,
Ø  berkelangsungan hidup.
 Mamar menciptakan tata airnya sendiri.

Kerimbunan dedaunan akan membantu awan hujan singgah, mengembun dan menurunkan hujannya secara berlimpah-limpah di situ, sedangkan beberapa ratus meter jaraknya dari mamar tersebut mungkin tidak setetes hujan pun.   Humus yang tebal mengatur pengresapan air hujan ke dalam tanah dan dalam banyak bagian mamar yang rendah dapat ditemukan mata-mata air besar-kecil yang lestari. Di dalam mamar tidak pernah terdapat erosi karena mengalami keadaan kedudukan yang sangat stabil oleh humus dan oleh sistem per-akaran pohon-pohon yang kait mengait dan oleh rendahnya terpaan hujan langsung kepermukaan tanah.

Gagasan mamar tersebut dalam perjalanan sejarahnya mengalami peningkatan nilai, ketika semasa berkuasanya, raja Amarasi-Timor “Hendrik Koroh”, menyatakan seluruh kerajaannya sebagai “mamar” ( Auf rioe^t =daerah pertanian).  Setiap kepala keluarga bertanggung jawab atas panjang pagar yang sambung-menyambung tersebut menutup bagian kerajaan yang dinyatakan sebagai daerah pertanian itu. Semua ternak besar seperti sapi, kerbau dan kuda di keluarkan dari daerah pertanian kecuali pemiliknya mengikat ternaknya dengan tali yang kuat dan memeliharanya secara intensif (di kandangkan). Amarasi merupakan sebuah contoh hutan pembauran terluas di seluruh pulau Timor. Penghutanan model “mamar” ini dapat diterapkan di daerah-daerah yang mempunyai adat mamar tersebut.  Suatu kawasan padang sabana dapat dinyatakan sebagai sebuah calon mamar dan setiap keluarga diwajibkan menanam pohon-pohon yang di rekomendasikan  oleh Dinas Kehutanan.  Pada alur-alur tanaman hutan wajib dibuatkan koridor yang dapat ditanami rakyat dengan berjenis-jenis tanaman keras seperti yang dilakukan dalam mamar pada umumnya.

Beberpa keuntungan dapat dicapai dengan sistem mamar atau hutan pembauran dengan peran serta masyarakat seperti itu.
Ø  Pertama, setiap keluarga memiliki sebuah lahan tetap;
Ø  Kedua, alur-alur untuk pepohonan, seperti pohon industri di rekomendasikan oleh Dinas Kehutanan; hutan itu menjadi milik rakyat guna memenuhi kebutuhannya akan kayu-kayu bermutu;
Ø  Ketiga, koridor khusus di antara alur tanaman wajib terdapat hutan pembauran, yaitu campuran hutan dan perkebunan tanaman keras berjenis-jenis;
Ø  Keempat, pembauran pohon-pohon seperti itu menyempatkan tetanaman saling menghidupi dan saling menunjang;
Ø  Kelima, mencegah tumbuhnya wabah penyakit tanaman tertentu karena binatang/serangga perusak tidak memperoleh kesempatan berkembang biak tanpa batas pada pohon induk;
Ø  Keenam, rakyat ikut mengawasi lestarinya hutan karena setiap saat tertentu ia harus masuk  bersama-sama dengan sesamanya memeriksa dan memetik panen;
Ø  Ketujuh, dari pengalaman-pengalaman yang ada, hutan pembauran seperti itu memberi peluang amat besar bagi timbulnya mata air kecil-besar pada banyak titik, mata air yang sifatnya lestari.  Walaupun kelak pohon hutan industrinya ditebang sekaligus, struktur tanah tidak terlalu terganggu oleh keadaan tersebut.
Ø  Kedelapan. Kelembaban yang tinggi di dalam “mamar” memberi pencegahan yang sangat efektif terhadap bahaya kebakaran hutan monokultur.
Ø  Kesembilan, Mamar dengan hutannya lebat, selalu menjadi tempat bersarang lebah penghasil madu dll.

Adat Pesta  “Mamar” di Rote.

“Mamar dan Manaholo”

 Mamar ialah kebun yang sangat luas kepunyaan bersama beberapa orang dalam sutu lokasi. Yang ditanam dikebun itu ialah kelapa, pisang, pinang, sirih, maupun umur pendek maupun tanaman umur panjang lainnya. Kebun yang sangat luas ini diberi pagar batu atau pelepah-pelepah daun lontar. Salah seorang dari pemilik-pemilik Mamar itu dipilih dijadikan “manaholo” (petugas keamanan mamar). Manaholo ini diberi tugas menjaga mamar sepanjang hari, karena itu ia tidak dapat bekerja lain untuk mencari nafkah. Dari sebab itu tiap-tiap orang yang mengambil hasil pohonnya harus memberikan hasil itu sebagian kepada manaholo.  

Manaholo ini di Mokdale (pulau Rote) dipilih setahun sekali pada waktu “pesta mamar” diadakan. Ditempat lain tidak demikian . Ada yang mengganti ‘manaholo’ itu setelah diketahui bahwa ‘manaholo’ itu berbuat curang.  Jadi meskipun sudah lebih dari setahun, kalau tidak berbuat curang, ia tidak diganti.  ‘Manaholo’ yang curang biasanya jika ia memetik apa saja dari pohon orang lain didalam mamar kekuasaannya itu, untuk kepentingannya sendiri.  Kalau hal ini ketahuan maka ‘manaholo’ itu dipecat dan diganti.  Tetapi di Mokdale ‘manaholo’ diganti setahun sekali. Penggantian setahun sekali di Mokdale ini, tidak berarti bahwa ‘manaholo’ dapat  berbuat semaunya saja.

Memang selama setahun ia tidak dipecat; tetapi kalau ia mencuri, meskipun sebutir kelapa pun, dia didenda oleh kawan-kawannya.  Dendanya adalah seekor kerbau atau uang seharga kerbnau seekor. Kerbau ini dijadikan milik bersama dan disembelih pada waktu ‘pesta mamar’.  Berlainan dengan kota Ba’A, (ibu kota pulau Rote) di mamar ini kalau ada sebutir kelapa jatuh tidak boleh diambil oleh siapapun, melainkan diambil oleh ‘manaholo’ dan diserahkan kepada pemiliknya. Meskipun kelapa itu ditanah, kalau diambil juga, kita tetap dicap pencuri, dan dendanya seekor kerbau juga.  Kalau diluar pagar mamar, ada kelapa yang jatuh , maka kelapa itu boleh di pungut oleh siapa saja menjadi miliknya.  Di Mokdale mamar kepunyaan bersama terdiri atas berpuluh-puluh orang.

Di pedalaman Rote, sebuah mamar kadang-kadang kepunyaan tujuh orang saja.
Malah orang-orang yang kaya, kebanyakan mempunyai mamar sendiri. Kalau demikian halnya biasanya ia menggaji seorang manaholo. Manaholo gajian ini tentu saja berlainan dengan manaholo pilihan.  Kalau pemilik mamar tunggal ini beranak lima orang, setelah ia mati, maka mamarnya menjadi milik bersama kelima orang anaknya itu. Kalau tiap-tiap  anaknya ini masing-masing beranak lima orang lagi, maka pada suatu ketika mamar itu menjadi milik bersama dua puluh lima orang setelah ayah mereka mati semua. Begitu seterusnya sehingga nanti pada suatu saat mamar itu akan menjadi milik bersama berpuluh-puluh orang seketurunan. Kalau pemiliknya sudah banyak, dapat dipilih ‘manaholo’ dari antara mereka sendiri.  Tetapi pemilik-pemilik sebuah mamar itu tidak selalu seketurunan saja.   Pemilik-pemilik mamar di Mokdale ini tidak seketurunan juga. Tentu saja terjadilah mamar milik bersama seketurunan berlainan dengan terjadinya mamar milik bersama tidak seketurunan.
  
Sejarah awal timbulnya mamar kolektif

Pada suatu ketika orang-orang tidak seketurunan itu menebang pohon-pohonnya dan membuat sawah.  Sawah ini tentu saja berdampingan dengan sawah orang lain yang pemiliknya juga baru saja menebang pohon-pohon dikiri-kanan sawahnya.
Sekarang terjadilah kumpulan sawah kepunyaan beberapa orang yang tidak seketurunan.  Mula-mula sawah itu subur sekali . Tetapi lama kelamaan karena tidak pernah dirabuki / diberi pupuk, maka hilanglah kesuburannya.. Sekarang orang-orang itu memiliki sawah yang tidak subur itu mengubah sawah miliknya menjadi kebun ladang.
Kemudian mereka berunding untuk menggabungkan kebun-kebunnya itu supaya dapat menghemat tenaga yang menjaganya.  Mereka memilih seorang penjaga ialah ‘manaholo’.  ‘Manaholo’ menjaga kebun itu dan yang lainnya dapat  bekerja ditempat lain diluar kebunnya.  Kecuali ‘manaholo’, Mamar itu mempunyai seorang lagi yang tugasnunya untuk ‘membeli kerbau untuk pesta’.

Para pemilik mamar itu pada mula-mulanya, sekali diharuskan membayar uang iuran f.2,50 (dua setengah golden Belanda)   setiap orang (keadaan sebelum tahun l950-an).  Mereka cukup membayar iuran itu hanya sekali saja.  Misalnya mamar itu milik bersama 200 (dua ratus) orang, maka uang iuran itu berjumlah 200 x f.2,50 = f.500,- /f.500,- Uang f.500,- ini diserahkan kepada “petugas pembeli kerbau”.  Pembeli kerbau ini juga salah seorang pemilik mamar itu juga.  Ia diharuskan menyediakan seekor kerbau setahun kemudian.  Pembeli kerbau ini tidak boleh menggunakan uang f.500,- itu untuk membelinya.  Uang itu harus tetap utuh f.500,- disaat pesta mamar  ditahun berikutnya, tetapi ia harus menyediakan seekor kerbau.

Orang yang tidak mengerti tentu akan mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi.
Tetapi kenyataannya membuktikan bahwa pembeli kerbau itu dapat membeli kerbau juga, tanpa mengurangi uang yang f.500,- itu sesen pun. Caranya biasa saja.Yang memegang peranan penting dalam hal ini adalah “waktu”. Tentu selama setahun itu dia tidak tinggal diam saja. Dia menggunakan uang itu untuk modal berdagang.
Labanya dimakan dan lebihnya disimpan. Dalam waktu setahun dari laba itu harus dibelikan seekor kerbau. Pada pesta, kerbau itu dipotong dan modalnya yang f.500,- itu dikembalikan kepada mamar.  Lalu dipilih oleh pemilik-pemilik mamar itu siapa lagi sekarang yang harus memegang uang  itu untuk membeli kerbau untuk pesta yang akan datang. Jadi uang yang f.500,- itu tetap saja, tidak pernah berkurang.  Meskipun demikian mereka tiap-tiap tahun dapat menyembelih seekor kerbau  untuk pesta dan dimakan bersama.

“Unsur mendidik persatuan”:

 Pesta mamar ini selalu diadakan ditengah mamar, ditengah kebun yang luas.
Jadi tidak ada sebuah kursi pun; itu sebabnya mereka membawa tikar. Kerbau yang akan dipotong sudah tersedia diikatkan pada pohon kelapa. Orang-orang mulai berkumpul semua ditengah mamar. Salah seorang menghitung uang yang diserahkan oleh pembeli kerbau diatas ditikar. Uang itu adalah uang iuran yang tidak habis-habis itu. Segala orang menyaksikan perhitungan itu. Uang itu se-sen pun tidak berkurang.  Pada hal kerbau telah tersedia. Hadirin bersorak kegirangan.  Kebon yang biasanya sepi itu kini hidup. Sorak lebih ramai dari pada sorak orang digedung Bioskop. Kemudian ditunjuklah beberapa ‘orang jago’ atau istilah krennya ‘kandidat’ untuk dipilih menjadi ‘manaholo’ untuk tahun berikutnya.
Calon kandidatnya ini berjumlah  enam orang.

Syarat utama pemilihan jago-jago ini, berdasarkan kejujuran mereka  didalam hidupnya sehari-hari. Dari enam orang jago ini sudah termasuk ‘manaholo lama’ yang kebetulan dicalonkan lagi. Orang selalu dapat mengetahui kejujuran orang lain berdasarkan pergaulan hidupnya sehari-hari.  Hal ini mungkin terjadi sebab masyarakat mereka kecil. Jago-jago itu duduk dimuka para pemilik ‘mamar’.  Lalu hadirin menunjuk 4 orang yang dapat menulis, untuk menulis jalannya pemilihan ini nanti.
Kalau kini, mungkin fungsinya seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Mereka duduk didepan agak jauh dari ‘para jago-jago’/kandidat tersebut. Orang-orang yang dapat menulis (dalam bahasa krennya disebut Panitia Pemilu) ini duduk menghadapi kertas dan memegang pensil. Setelah semua orang siap, maka “pemilihan secara langsung secara demokrasidimulai.

Seorang demi seorang dari pemilik ‘mamar’ maju kemuka (para pemilih).. Orang yang maju kemuka ini (pemilih) berbisik lemah sekali “nama jagonya/kandidatnya” ketelinga empat orang penulis secara bergeliran (semacam panitia pemilu) itu.  Kalau sistem pemilihan umum sekarang memakai kotak suara guna memasukkana surat suara, tetapi sitem pemilihan di mamar ini dengan sistem “berbisik dengan sangat perlahan ke telinga panitia pemilih agar tidak didengar/diketahui (rahasia)  orang lain..

Seorang demi seorang berbisik  berganti-ganti hingga pemilih yang terakhir selesai. Pemilihan saat itu tidak memakai “kotak suara” seperti sekarang ini, melainkan dengan cara berbisik saja nama jagonya ketelinga panitia pemilunya. Setelah selesai semua, suara dihitung. Hasil pemilihan itu di umumkan pada waktu itu juga. Orang yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan itulah yang menjadi “manaholo.” Hadirin bersorak kegirangan lagi ditengah kebun luas yang sepi itu. Timbang terima antara ‘manaholo lama’ dan ‘manaholo baru’  terus diadakan pada waktu itu juga. Pilihan manaholo telah selesai.

(14.4). Pemilihan pembeli kerbau.

Sekarang menyusul pemilihan tahap kedua kalinya yaitu pemilihan “petugas pembeli kerbau” untuk pesta tahun depan. Jago-jago ditunjuk lagi.  Semua ada 7 orang calon kandidar/jago-jagonya. Empat orang penulis maju ke depan lagi, dengan kertas dan pensil ditangan. Pemilihan seorang demi seorang maju lagi.  Mereka berbisik sekali lagi ke-telinga keempat orang penulis itu bergantian, untuk ‘petugas pembeli kerbau’. Setelah semua orang berbisik, mereka duduk lagi menanti penulis menghitung suara. Mereka ribut menebak siapa jago-jago mereka yang akan muncul menjadi ‘petugas pembeli kerbau’ itu.  Salah seorang penulis sebagai ketua pemilunya berdiri akan mengumumkan hasil pemilihan itu. Semua orang tenang dan hening sejenak.Nama jago yang mendapat suara terbanyak,  di sebutkan dengan tekanan pada tiap suku kata namanya. Sorak-sorak kegirangan hadirin menggelombang di-udara setelah diumumkan hasil pemilihan. Penyerahan uang f.500,- membeli kerbau untuk tahun depan dilakukan.  Upacara pemilihan petugas pembeli kerbau  selesai sama sekali.  (Di pulau Rote, NTT, sebenarnya Demokrasi Murni, telah dipraktekan sejak nenek moyang mereka seperti tercermin pada pemilihan Manaholo dan Pembeli Kerbau diatas).  Demikian pula dalam pemilihan raja, fettor, dan pejabat adat tradisional lainnya.
Setelah acara pemelihan “manaholo’ dan “petugas pembeli kerbau’ untuk periode berikutnya selesai, maka kerbau disembelih, setelah dikuliti, maka mantri hewan (kermester) memeriksa kesehatan daging kerbau itu. Wanita berkumpul dan memasak daging itu.  Pesta dikebun, jauh dari rumah, dibawah pohon-pohon nyiur dan pinang yang rindang.

Cara mamar ini, memberi banyak manfaat kepada
pemilik-pemiliknya.

Sebagai suatu organisasi masyarakat adat tradisional yang rapi dan menuju keperbaikan hidup para anggotanya.
Ø  Mamar menyuruh pemilik-pemiliknya bekerja “menghemat tenaga” dengan adanya ‘manaholo’.
Ø  Mamar menyuruh pemilik-pemiliknya “saling mempercayai”.
Ø  Pemilik mamar mempercayai ‘manaholo’ dan ‘manaholo’ mempercayai pemilik mamar.
Ø  Mamar mendidik anggotanya “pandai berdagang”. Orang, yang diharuskan membeli kerbau setelah setahun, harus mempunyai simpanan cukup seharga seekor kerbau.
Ø  Karena itu orang yang tanpa teori pun dipaksa memperhitungkan berapa ia harus mendapat laba tiap bulannya, berapa ia harus mendapat laba tiap harinya setelah dikurangi untuk makannya.
Ø  Pendidikan dagang secara berani ini selalu berhasil dengan bukti adanya kerbau yang disembelih tiap tahunnya dan tetap menyerahkan f.500,-saat pesta berlangsung.
Ø  Tak ada seorangpun yang tidak dapat menyediakan seekor kerbau yang harganya  600 atau f.700 (keadaan harga l957), setelah setahun memegang uang misalnya f.500 rupiah atau kurang/lebih, meskipun tiap-tiap harinya ia harus makan dan berpakaian dari sebagian labanya itu juga.
Ø  Kecuali ini, mamar “mendekatkan” pemilik-pemiliknya dengan adanya pesta setahun sekali ini.
Ø  Dengan adanya pemilihan tiap tahun itu, rakyat Rote tidak menganggap asing dan sukar untuk “menusuk” tanda-tanda gambar pada waktu pemilihan umum, meskipun pemilihan umum itu baru sekali ini kita alami (l955).
Ø  Masyarakat adat Rote ternyata telah lebih dahulu mempraktekkan  pemilihan dengan cara-cara demokrasi sejak nenek moyang mereka.
Ø  Juga pemilihan kepala kampung dan pemilihan raja dilakukan demikian juga.

Acara Pesta

Gulai dan masakan-masakan lain telah masak dan tersedia. Walau wanita-wanita mengambil nasi  yang dibawanya  dari rumahnya masing-masing, namun,
Ø  nasi-nasi mereka kini dicampur dan diaduk menjadi satu.
Ø  Nasi campuran ini melambamngkan “persatuan” mereka.
Ø  Persatuan yang tidak memandang warna dan kekayaan.
Ø  Kemudian nasi itu dibagi sama banyak kepada semua orang yang berada disitu.
Ø  Mereka yang tadinya  membawa nasi putih, kini mendapat nasi campuran.
Ø  Yang membawa nasi beras merah juga mendapat nasi campuran.
Ø  Yang dari rumah membawa nasi banyak, kini mendapat bagian yang sama banyak dengan mereka yang membawa nasi hanya sedikit.
Ø  Semua orang memandang pesta ini hanya dari satu sudut saja yaitu dari sudut “Persaudaraan.”
Setelah semua mendapat bagian nasi, maka gulai dan masakan lain diedarkan.
Semua orang menikmati masakan-masakan itu bersama-sama. Setelah semua selesai makan, berakhirlah pesta itu. Daging sisanya yang belum dimasak dibagi rata kepada mereka yang hadir.  Semua meninggalkan kebun, pulang kerumah masing-masing dengan hati puas, dan pesta yang sama akan terulang lagi setahun mendatang. (Gyanto,l958 hal.47-51).

SARAN PENULIS :

Diharapkan kepada Bupati Rote Ndao, untuk menghidupkan kembali Budaya Pesta Mamar ini diseluruh Rote Ndao dan dijadikan even penting Pariwisata dengan menetapkan Tanggal Kalender yang pastii.

Ø  Didalam Pesta Mamar ini dimeriahkan dengan berbagai kesenian tari-tarian maupun atraksi lainnya sebagai suguhan kepada para wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun domistik.

Ø  Jadi terdapat 3 (tiga)  pesta adat Rote yaitu

1).Pesta HUS dan 
2).Pesta Mamar dan 
3).Pesta Hari Ulang Tahun Pulau Rote memperoleh namanya “ROTE” oleh Pelaut Portugis  Antonio Pigafetta (30 April 1552) berarti  pada 30 April 2015 Hari Ulang Tahunnya yang ke-493  yang dirayakan secara parmanen setiap tahunnya dan ditentukan tanggal Kalendernya yang pasti.
Ø 
Selain itu diisi dengan acara menanaman anakan baru berbagai tanaman keras seperti pohon buah-buahan dari segala jenis yang didatangkan dari daerah lain, seperti jambu, mangga, rambutan, duren, pisang, dll.
Ø  Dan bagi kelompok-kelompok  yang mamarnya rimbun dengan berjenis tanaman, akan diberi Surat Penghargaan dan Piala Bergilir maupun dalam bentuk hadiah Uang sebagai rangsangan menghutankan Pulau Rote Ndao yang saat ini mengalami krisis pohon karena banyak yang ditebang sebagai obyek bisnis.
Ø  Begitu juga penghijauan Kabupaten Rote Ndao, dengan menanam biji pohon lontar maupun kelapa disepanjang jalan di seluruh Roe Ndao, oleh karena Pohon Lontar tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif.
Ø  Pulau Rote disebut Nusa Lontar, tapi kini pohon lontar 15 – 30 tahun kedepan telah habis ditebamng, sehingga Gelar Nusa Lontar ini akan hilang untuk selamanya.
Ø  Cara operasinya adalah setiap desa perlu mengumpulkan biji lontar (siboak) dan diwajibkan menanam di pekarangan tetapi juga disepanjang jalan lingkungan.
Ø  Perlu sosialisasi kepada semua wagra Rote Ndao untuk penanaman sebelum hujan turun. Bagi Desa yang terbanyak menanam biji lontar diberi penghargaan dan Hadiah Uang dari APBD Rote Ndao.

(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob) –HP.082135680644.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.