ADAT PESTA “MAMAR” (KEBUN
KOLEKTIF) DI ROTE
“Mamar” Untuk Sosial Forestry
Dalam kehidupan
masyarakat tradisional di pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dikenal sejenis hutan tanaman
keras membaur yang disebut dengan berbagai nama : “Mame” (Rote), P’an (Timor), dan di Indonesiakan
menjadi “Mamar”.
Para pemukim
pertama dalam suatu kawasan yang kemudian hari menjadi daerah tanah adat hak ulayat, memilih bersama
sebidang tanah dekat mata air, kemudian dibagi-bagikan kepada setiap
keluarga dengan ukuran yang kira-kira
sama luasnya. Batas-batasnya ditentukan dengan pasti. Masing-masing keluarga
mendapat tanggungan pembuatan pagar beberapa puluh hingga beberapa ratus depa panjangnya, dan
dipagari dengan cara-cara dan ukuran tinggi yang disepakati bersama.
Setiap orang
menanami bagiannya dengan tanaman keras apa saja yang dikiranya baik seperti :
kelapa, pinang, kelumpang (nitas/pohon fanik), nangka, mangga, sukun, sirih,
pisang, jambu, kapuk, ketapang, dan tanaman keras lainnya. Sedang pada sela-sela pohon-pohon yang besar itu biasa ditanam juga ketela
pohon, umbi-umbian lainnya, sereh, dan tanaman-tanaman kecil lainnya guna
memenuhi isi kebunnya.
Mereka memilih
seorang atau beberapa orang penjaga
“mamar” yang wajib tinggal dalam pondok yang dibangun bersama di pintu
masuk. Setiap hari penjaga (Rote :”manaholo”) wajib berkeliling ke
seluruh kebun dengan tugas : memunguti hasil bumi seperti buah kelapa yang
jatuh, pinang yang tua, pisang yang sudah menguning, dan hasil lainnya, lalu
menumpuknya di dalam huma/gubuk pemilik hasil tersebut.
Perlu diketahui
bahwa setiap pemilik kebun dalam “mamar” tersebut membangun sebuah gubuk di
bagian kebunnya sebagai tempat menaruh hasilnya yang dipungut oleh “manaholo”. Jadi dalam mamar tersebut
terdapat sekian banyak gubuk sebanyak pemilik kebun dalam mamar tersebut. Seminggu sekali, pada hari yang telah ditentukan bersama, semua pemilik
datang bersama ke lokasi “mamar”
untuk mengambil atau memungut hasil mamarnya yang telah dikumpulkan oleh “manaholo”. Sebagai upah
“manaholo”/penjaga, ia menerima satu dalam sepuluh dari setiap hasil panen yang
dibawa keluar dari mamar oleh pemiliknya. Demikian penjaga/manaholo hidup dari
‘keamanan mamar’. Dapat dikatakan bahwa
mamar merupakan suatu artificial
forest “(kebun kolektif)” yang paling tua dalam kebudayaan orang Rote.
Berbagai jenis pepohonan, baik yang menghasilkan buah maupun kayu,
semuanya tumbuh membaur dalam mamar sangat terpelihara sehingga memberi
dukungan bagi pertumbuhan yang lestari dari semua tanaman yang ada didalamnya.
Tanaman yang mati dan membusuk akan menyediakan zat-zat hara yang
penting bagi tanaman lainnya. Berbagai jenis tanaman yang menghasilkan nitrogen menyumbang bagi pertumbuhan tanaman lainnya, sedangkan
tanaman lainnya mendapat keteduhan dari
pohon-pohon besar.
Demikianlah “mamar” menampilkan suatu ,
Ø masyarakat
hutan yang terpadu,
Ø lestari
dan,
Ø berkelangsungan hidup.
Mamar menciptakan tata airnya
sendiri.
Kerimbunan dedaunan akan membantu awan hujan singgah,
mengembun dan menurunkan hujannya secara berlimpah-limpah di situ, sedangkan
beberapa ratus meter jaraknya dari mamar
tersebut mungkin tidak setetes hujan pun.
Humus yang tebal mengatur pengresapan air hujan ke dalam tanah
dan dalam banyak bagian mamar yang rendah dapat ditemukan mata-mata air besar-kecil yang lestari. Di dalam mamar tidak pernah terdapat erosi karena mengalami keadaan
kedudukan yang sangat stabil oleh humus dan oleh sistem per-akaran pohon-pohon
yang kait mengait dan oleh rendahnya terpaan hujan langsung kepermukaan tanah.
Gagasan mamar
tersebut dalam perjalanan sejarahnya mengalami peningkatan nilai, ketika semasa
berkuasanya, raja Amarasi-Timor “Hendrik Koroh”,
menyatakan seluruh kerajaannya sebagai “mamar”
( Auf rioe^t =daerah pertanian). Setiap
kepala keluarga bertanggung jawab atas panjang pagar yang sambung-menyambung
tersebut menutup bagian kerajaan yang dinyatakan sebagai daerah pertanian itu. Semua ternak besar seperti sapi, kerbau dan
kuda di keluarkan dari daerah pertanian kecuali pemiliknya mengikat ternaknya
dengan tali yang kuat dan memeliharanya secara intensif (di kandangkan). Amarasi merupakan sebuah contoh hutan pembauran
terluas di seluruh pulau Timor. Penghutanan model “mamar” ini dapat diterapkan di daerah-daerah yang mempunyai adat mamar tersebut.
Suatu kawasan padang sabana dapat dinyatakan sebagai sebuah calon mamar dan
setiap keluarga diwajibkan menanam pohon-pohon yang di rekomendasikan oleh Dinas Kehutanan. Pada alur-alur tanaman hutan wajib dibuatkan koridor yang dapat ditanami
rakyat dengan berjenis-jenis tanaman keras seperti yang dilakukan dalam mamar
pada umumnya.
Beberpa keuntungan
dapat dicapai dengan sistem mamar atau hutan pembauran dengan peran serta
masyarakat seperti itu.
Ø Pertama, setiap keluarga
memiliki sebuah lahan tetap;
Ø Kedua,
alur-alur untuk pepohonan, seperti pohon industri di rekomendasikan oleh Dinas
Kehutanan; hutan itu menjadi milik
rakyat guna memenuhi kebutuhannya akan kayu-kayu bermutu;
Ø Ketiga, koridor khusus di
antara alur tanaman wajib terdapat hutan
pembauran, yaitu campuran hutan dan perkebunan tanaman keras
berjenis-jenis;
Ø Keempat,
pembauran pohon-pohon seperti itu menyempatkan tetanaman saling menghidupi dan
saling menunjang;
Ø Kelima,
mencegah tumbuhnya wabah penyakit tanaman tertentu karena binatang/serangga
perusak tidak memperoleh kesempatan berkembang biak tanpa batas pada pohon
induk;
Ø Keenam,
rakyat ikut mengawasi lestarinya hutan karena setiap saat tertentu ia harus
masuk bersama-sama dengan sesamanya
memeriksa dan memetik panen;
Ø Ketujuh,
dari pengalaman-pengalaman yang ada, hutan pembauran seperti itu memberi
peluang amat besar bagi timbulnya mata
air kecil-besar pada banyak titik, mata air yang sifatnya lestari. Walaupun kelak pohon hutan industrinya
ditebang sekaligus, struktur tanah tidak terlalu terganggu oleh keadaan
tersebut.
Ø Kedelapan. Kelembaban
yang tinggi di dalam “mamar” memberi pencegahan yang sangat efektif terhadap
bahaya kebakaran hutan monokultur.
Ø Kesembilan, Mamar dengan hutannya lebat, selalu menjadi
tempat bersarang lebah penghasil madu dll.
Adat Pesta “Mamar” di Rote.
“Mamar dan Manaholo”
“Mamar” ialah kebun yang sangat luas
kepunyaan bersama beberapa orang dalam sutu lokasi. Yang ditanam dikebun itu ialah kelapa, pisang, pinang, sirih, maupun umur
pendek maupun tanaman umur panjang lainnya. Kebun yang sangat luas ini diberi
pagar batu atau pelepah-pelepah daun lontar. Salah seorang dari pemilik-pemilik
Mamar itu dipilih dijadikan “manaholo”
(petugas keamanan mamar). Manaholo ini diberi tugas menjaga mamar sepanjang
hari, karena itu ia tidak dapat bekerja lain untuk mencari nafkah. Dari sebab
itu tiap-tiap orang yang mengambil hasil pohonnya harus memberikan hasil itu
sebagian kepada manaholo.
Manaholo ini di Mokdale (pulau Rote) dipilih setahun sekali
pada waktu “pesta
mamar” diadakan. Ditempat lain tidak demikian . Ada yang mengganti ‘manaholo’ itu setelah diketahui bahwa ‘manaholo’ itu berbuat curang.
Jadi meskipun sudah lebih dari setahun,
kalau tidak berbuat curang, ia tidak diganti.
‘Manaholo’ yang curang
biasanya jika ia memetik apa saja dari pohon orang lain didalam mamar
kekuasaannya itu, untuk kepentingannya sendiri. Kalau hal ini ketahuan maka ‘manaholo’ itu
dipecat dan diganti. Tetapi di Mokdale ‘manaholo’
diganti setahun sekali. Penggantian setahun sekali di Mokdale ini, tidak
berarti bahwa ‘manaholo’ dapat berbuat
semaunya saja.
Memang selama setahun ia
tidak dipecat; tetapi kalau ia mencuri, meskipun sebutir kelapa pun, dia
didenda oleh kawan-kawannya. Dendanya adalah seekor kerbau atau uang seharga kerbnau seekor. Kerbau ini
dijadikan milik bersama dan disembelih pada waktu ‘pesta mamar’. Berlainan
dengan kota Ba’A, (ibu
kota pulau Rote) di mamar ini kalau ada sebutir kelapa jatuh tidak boleh
diambil oleh siapapun, melainkan diambil oleh ‘manaholo’ dan diserahkan kepada
pemiliknya. Meskipun kelapa itu ditanah, kalau diambil juga, kita tetap dicap
pencuri, dan dendanya seekor kerbau juga. Kalau
diluar pagar mamar, ada kelapa yang jatuh , maka kelapa itu boleh di pungut
oleh siapa saja menjadi miliknya. Di Mokdale mamar kepunyaan bersama terdiri atas
berpuluh-puluh orang.
Di pedalaman Rote, sebuah mamar kadang-kadang kepunyaan
tujuh orang saja.
Malah orang-orang yang
kaya, kebanyakan mempunyai mamar sendiri. Kalau demikian halnya biasanya ia
menggaji seorang manaholo. Manaholo
gajian ini tentu saja berlainan dengan manaholo
pilihan. Kalau pemilik mamar tunggal
ini beranak lima orang, setelah ia mati, maka mamarnya menjadi milik bersama
kelima orang anaknya itu. Kalau tiap-tiap
anaknya ini masing-masing beranak lima orang lagi, maka pada suatu
ketika mamar itu menjadi milik bersama dua puluh lima orang setelah ayah mereka
mati semua. Begitu seterusnya sehingga nanti pada suatu saat mamar itu akan
menjadi milik bersama berpuluh-puluh orang seketurunan. Kalau pemiliknya sudah
banyak, dapat dipilih ‘manaholo’ dari antara mereka sendiri. Tetapi pemilik-pemilik sebuah mamar itu tidak
selalu seketurunan saja. Pemilik-pemilik mamar di Mokdale ini tidak seketurunan juga. Tentu
saja terjadilah mamar milik bersama seketurunan berlainan dengan terjadinya
mamar milik bersama tidak seketurunan.
Sejarah awal timbulnya mamar kolektif
Pada suatu ketika
orang-orang tidak seketurunan itu menebang pohon-pohonnya dan membuat sawah. Sawah ini tentu saja berdampingan dengan sawah
orang lain yang pemiliknya juga baru saja menebang pohon-pohon dikiri-kanan
sawahnya.
Sekarang terjadilah
kumpulan sawah kepunyaan beberapa orang yang tidak seketurunan. Mula-mula sawah itu subur sekali . Tetapi lama
kelamaan karena tidak pernah dirabuki / diberi pupuk, maka hilanglah
kesuburannya.. Sekarang orang-orang itu memiliki sawah yang tidak subur itu
mengubah sawah miliknya menjadi kebun
ladang.
Kemudian mereka
berunding untuk menggabungkan kebun-kebunnya itu supaya dapat menghemat tenaga
yang menjaganya. Mereka memilih seorang
penjaga ialah ‘manaholo’. ‘Manaholo’ menjaga kebun itu dan yang
lainnya dapat bekerja ditempat lain
diluar kebunnya. Kecuali ‘manaholo’, Mamar itu mempunyai seorang lagi yang tugasnunya untuk ‘membeli kerbau
untuk pesta’.
Para pemilik mamar itu
pada mula-mulanya, sekali diharuskan membayar uang iuran f.2,50 (dua
setengah golden Belanda) setiap
orang (keadaan sebelum tahun l950-an). Mereka cukup membayar iuran itu hanya
sekali saja. Misalnya mamar itu milik
bersama 200 (dua ratus) orang, maka
uang iuran itu berjumlah 200 x f.2,50 =
f.500,- /f.500,- Uang f.500,- ini diserahkan kepada
“petugas
pembeli kerbau”. Pembeli kerbau ini
juga salah seorang pemilik mamar itu juga. Ia diharuskan menyediakan seekor kerbau
setahun kemudian. Pembeli kerbau ini
tidak boleh menggunakan uang f.500,- itu untuk membelinya. Uang itu harus tetap utuh f.500,- disaat pesta mamar
ditahun berikutnya, tetapi ia
harus menyediakan seekor kerbau.
Orang yang tidak
mengerti tentu akan mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi.
Tetapi kenyataannya
membuktikan bahwa pembeli kerbau itu dapat membeli kerbau juga, tanpa
mengurangi uang yang f.500,-
itu sesen pun. Caranya
biasa saja.Yang memegang peranan penting dalam hal ini adalah “waktu”.
Tentu selama setahun itu dia tidak tinggal diam saja. Dia menggunakan uang itu
untuk modal berdagang.
Labanya dimakan dan
lebihnya disimpan. Dalam waktu setahun dari laba itu harus dibelikan seekor
kerbau. Pada pesta, kerbau itu dipotong dan modalnya yang f.500,- itu dikembalikan kepada
mamar. Lalu dipilih oleh pemilik-pemilik
mamar itu siapa lagi sekarang yang harus memegang uang itu untuk membeli kerbau untuk pesta yang
akan datang. Jadi uang yang f.500,- itu tetap saja, tidak pernah berkurang.
Meskipun demikian mereka tiap-tiap tahun
dapat menyembelih seekor kerbau untuk
pesta dan dimakan bersama.
“Unsur mendidik persatuan”:
Pesta
mamar ini selalu diadakan ditengah mamar, ditengah kebun yang luas.
Jadi tidak ada sebuah
kursi pun; itu sebabnya mereka membawa tikar. Kerbau yang akan dipotong sudah tersedia diikatkan pada pohon
kelapa. Orang-orang mulai berkumpul semua ditengah mamar. Salah
seorang menghitung uang yang diserahkan oleh pembeli kerbau diatas ditikar. Uang
itu adalah uang iuran yang tidak habis-habis itu. Segala orang menyaksikan
perhitungan itu. Uang itu se-sen pun tidak berkurang. Pada hal kerbau telah tersedia. Hadirin
bersorak kegirangan. Kebon yang biasanya sepi
itu kini hidup. Sorak lebih ramai dari pada sorak orang digedung Bioskop.
Kemudian ditunjuklah beberapa ‘orang jago’ atau istilah krennya ‘kandidat’
untuk dipilih menjadi ‘manaholo’ untuk tahun berikutnya.
Calon kandidatnya ini berjumlah enam orang.
Syarat utama pemilihan
jago-jago ini, berdasarkan kejujuran mereka
didalam hidupnya sehari-hari. Dari
enam orang jago ini sudah termasuk ‘manaholo
lama’ yang kebetulan dicalonkan lagi. Orang selalu dapat mengetahui
kejujuran orang lain berdasarkan pergaulan hidupnya sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi sebab masyarakat
mereka kecil. Jago-jago itu duduk dimuka para pemilik ‘mamar’. Lalu
hadirin menunjuk 4 orang yang dapat menulis,
untuk menulis jalannya pemilihan ini nanti.
Kalau kini, mungkin
fungsinya seperti KPU (Komisi
Pemilihan Umum).
Mereka duduk didepan
agak jauh dari ‘para jago-jago’/kandidat tersebut. Orang-orang yang dapat
menulis (dalam bahasa krennya disebut Panitia
Pemilu) ini duduk menghadapi kertas dan memegang pensil. Setelah semua
orang siap, maka “pemilihan secara
langsung secara demokrasi” dimulai.
Seorang demi seorang
dari pemilik ‘mamar’ maju kemuka (para pemilih).. Orang yang maju
kemuka ini (pemilih) berbisik lemah sekali “nama jagonya/kandidatnya” ketelinga
empat orang penulis secara bergeliran (semacam
panitia pemilu) itu. Kalau sistem
pemilihan umum sekarang memakai kotak suara guna memasukkana surat suara, tetapi sitem pemilihan di mamar
ini dengan sistem “berbisik dengan
sangat perlahan ke telinga panitia pemilih agar tidak didengar/diketahui (rahasia)
orang lain..
Seorang demi seorang berbisik berganti-ganti hingga pemilih yang terakhir
selesai. Pemilihan saat itu tidak memakai “kotak suara”
seperti sekarang ini, melainkan dengan cara
berbisik
saja nama
jagonya ketelinga panitia pemilunya. Setelah selesai semua, suara
dihitung. Hasil pemilihan itu di umumkan pada waktu itu juga. Orang yang
mendapat suara terbanyak dalam pemilihan itulah yang menjadi “manaholo.” Hadirin bersorak kegirangan
lagi ditengah kebun luas yang sepi itu. Timbang terima antara ‘manaholo lama’
dan ‘manaholo baru’ terus diadakan pada
waktu itu juga. Pilihan manaholo telah
selesai.
(14.4). Pemilihan pembeli kerbau.
Sekarang menyusul
pemilihan tahap kedua kalinya yaitu pemilihan “petugas pembeli kerbau” untuk pesta tahun depan.
Jago-jago ditunjuk lagi. Semua ada 7
orang calon kandidar/jago-jagonya. Empat orang penulis maju ke depan lagi,
dengan kertas dan pensil ditangan. Pemilihan seorang demi seorang maju lagi. Mereka berbisik sekali lagi ke-telinga keempat orang penulis itu bergantian, untuk ‘petugas pembeli kerbau’. Setelah semua
orang berbisik,
mereka duduk lagi menanti penulis menghitung suara. Mereka ribut menebak
siapa jago-jago mereka yang akan muncul menjadi ‘petugas pembeli kerbau’ itu. Salah seorang penulis sebagai ketua pemilunya berdiri akan mengumumkan hasil pemilihan itu. Semua orang
tenang dan hening sejenak.Nama jago yang mendapat suara terbanyak, di sebutkan dengan tekanan pada tiap suku
kata namanya. Sorak-sorak kegirangan hadirin menggelombang di-udara setelah
diumumkan hasil pemilihan. Penyerahan
uang f.500,- membeli kerbau untuk tahun
depan dilakukan. Upacara pemilihan
petugas pembeli kerbau selesai sama sekali. (Di pulau Rote, NTT, sebenarnya Demokrasi
Murni, telah dipraktekan sejak nenek moyang mereka seperti tercermin pada
pemilihan Manaholo dan Pembeli Kerbau diatas). Demikian
pula dalam pemilihan raja, fettor, dan pejabat adat tradisional lainnya.
Setelah acara pemelihan
“manaholo’ dan “petugas pembeli kerbau’ untuk periode berikutnya selesai, maka kerbau disembelih, setelah dikuliti,
maka mantri hewan (kermester) memeriksa
kesehatan daging kerbau itu. Wanita berkumpul dan memasak daging itu. Pesta
dikebun, jauh dari rumah, dibawah pohon-pohon nyiur dan pinang yang rindang.
Cara mamar ini, memberi banyak manfaat kepada
pemilik-pemiliknya.
Sebagai suatu
organisasi masyarakat adat tradisional yang rapi dan menuju keperbaikan hidup
para anggotanya.
Ø Mamar menyuruh
pemilik-pemiliknya bekerja “menghemat tenaga” dengan adanya ‘manaholo’.
Ø Mamar menyuruh
pemilik-pemiliknya “saling mempercayai”.
Ø Pemilik mamar mempercayai ‘manaholo’
dan ‘manaholo’ mempercayai pemilik mamar.
Ø Mamar mendidik
anggotanya “pandai
berdagang”. Orang, yang diharuskan membeli kerbau setelah setahun, harus
mempunyai simpanan cukup seharga seekor kerbau.
Ø Karena itu orang yang
tanpa teori pun dipaksa memperhitungkan berapa ia harus mendapat laba tiap
bulannya, berapa ia harus mendapat laba tiap harinya setelah dikurangi untuk
makannya.
Ø Pendidikan dagang
secara berani ini selalu berhasil dengan bukti adanya kerbau yang disembelih
tiap tahunnya dan tetap menyerahkan f.500,-saat
pesta berlangsung.
Ø Tak ada seorangpun
yang tidak dapat menyediakan seekor kerbau yang harganya 600
atau f.700 (keadaan harga l957), setelah setahun memegang uang
misalnya f.500 rupiah atau
kurang/lebih, meskipun tiap-tiap harinya ia harus makan dan berpakaian dari
sebagian labanya itu juga.
Ø Kecuali ini, mamar “mendekatkan”
pemilik-pemiliknya dengan adanya pesta setahun
sekali ini.
Ø Dengan adanya
pemilihan tiap tahun itu, rakyat Rote tidak menganggap asing dan sukar untuk “menusuk”
tanda-tanda gambar pada waktu pemilihan umum, meskipun pemilihan umum
itu baru sekali ini kita alami (l955).
Ø Masyarakat adat Rote ternyata telah lebih dahulu
mempraktekkan pemilihan dengan cara-cara
demokrasi sejak nenek moyang mereka.
Ø Juga pemilihan kepala kampung dan pemilihan raja
dilakukan demikian juga.
Acara Pesta
Gulai dan masakan-masakan lain telah masak dan tersedia. Walau wanita-wanita mengambil nasi yang dibawanya dari rumahnya masing-masing, namun,
Ø nasi-nasi mereka kini
dicampur
dan diaduk
menjadi satu.
Ø Nasi campuran ini
melambamngkan “persatuan”
mereka.
Ø Persatuan yang tidak
memandang warna dan kekayaan.
Ø Kemudian nasi itu
dibagi sama banyak kepada semua orang yang berada disitu.
Ø Mereka yang
tadinya membawa nasi putih, kini
mendapat nasi campuran.
Ø Yang membawa nasi
beras merah juga mendapat nasi campuran.
Ø Yang dari rumah
membawa nasi banyak, kini mendapat bagian yang sama banyak dengan mereka yang
membawa nasi hanya sedikit.
Ø Semua orang memandang
pesta ini hanya dari satu sudut saja yaitu dari sudut “Persaudaraan.”
Setelah semua mendapat
bagian nasi, maka gulai dan masakan lain diedarkan.
Semua orang menikmati
masakan-masakan itu bersama-sama. Setelah semua selesai makan, berakhirlah
pesta itu. Daging sisanya yang belum
dimasak dibagi
rata kepada mereka yang hadir. Semua
meninggalkan kebun, pulang kerumah masing-masing dengan hati puas, dan pesta yang sama akan
terulang lagi setahun mendatang. (Gyanto,l958 hal.47-51).
SARAN PENULIS :
Diharapkan kepada Bupati Rote
Ndao, untuk menghidupkan kembali Budaya Pesta Mamar ini diseluruh Rote Ndao dan
dijadikan even penting Pariwisata dengan menetapkan Tanggal Kalender yang
pastii.
Ø Didalam Pesta Mamar ini dimeriahkan dengan
berbagai kesenian tari-tarian maupun atraksi lainnya sebagai suguhan kepada para wisatawan, baik wisatawan
mancanegara maupun domistik.
Ø Jadi
terdapat 3 (tiga) pesta adat Rote yaitu
1).Pesta
HUS dan
2).Pesta Mamar dan
3).Pesta Hari Ulang Tahun Pulau Rote
memperoleh namanya “ROTE” oleh Pelaut Portugis
Antonio Pigafetta (30 April 1552) berarti pada 30 April 2015 Hari Ulang Tahunnya
yang ke-493 yang dirayakan secara parmanen setiap tahunnya
dan ditentukan tanggal Kalendernya yang pasti.
Ø
Selain itu diisi dengan acara menanaman anakan
baru berbagai tanaman keras seperti pohon buah-buahan dari segala jenis yang
didatangkan dari daerah lain, seperti jambu, mangga, rambutan, duren, pisang,
dll.
Ø Dan bagi kelompok-kelompok yang mamarnya rimbun dengan berjenis tanaman,
akan diberi Surat Penghargaan dan Piala Bergilir maupun dalam bentuk hadiah
Uang sebagai rangsangan menghutankan Pulau Rote Ndao yang saat ini mengalami
krisis pohon karena banyak yang ditebang sebagai obyek bisnis.
Ø Begitu juga penghijauan Kabupaten Rote Ndao,
dengan menanam biji pohon lontar maupun kelapa disepanjang jalan di seluruh Roe
Ndao, oleh karena Pohon Lontar tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif.
Ø Pulau Rote disebut Nusa Lontar, tapi kini pohon
lontar 15 – 30 tahun kedepan telah habis
ditebamng, sehingga Gelar Nusa Lontar ini akan hilang untuk selamanya.
Ø Cara operasinya adalah setiap desa perlu
mengumpulkan biji lontar (siboak) dan diwajibkan menanam di pekarangan tetapi
juga disepanjang jalan lingkungan.
Ø Perlu sosialisasi kepada semua wagra Rote Ndao
untuk penanaman sebelum hujan turun. Bagi Desa yang terbanyak menanam biji
lontar diberi penghargaan dan Hadiah Uang dari APBD Rote Ndao.
(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob)
–HP.082135680644.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.