Hentikan Kerjasama
dengan IMF
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Prof.
Dr. Bambang Sudibyo
Isu
ekonomi paling hangat saat ini adalah mengenai program penghentian kerja sama
RI-IMF. Bambang menyambut gembira keputusan pemerintah untuk merealisasikan
penghentian kerja sama dengan IMF. Namun, suatu strategi keluar dari
ketergantungan pada IMF yang hanya berperspektif fiskal, moneter, dan psikologi
pasar tanpa adanya skenario penataan ulang ekonomi makro Indonesia yang
berwawasan nasionalisme dan kemandirian memiliki kans yang kecil untuk
berhasil.Program penghentian kerja sama itu sebenarnya telah lama
dipertimbangkannya.
Dalam
diskusi yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Forum tanggal 26
Oktober 2002, Bambang memaparkan pemikirannya dalam sebuah makalah berjudul “Exit
Plan dari Ketergantungan pada IMF dan Kemandirian Ekonomi”. Dalam makalah itu
Bambang memaparkan pentingnya kemandirian ekonomi dengan kembali merekatkan
kebersamaan di bidang ekonomi, mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang
terlalu jauh, meningkatkan upah tenaga kerja, yang semua itu merupakan
tema-tema strategis untuk dijalankan agar setelah lepas dari IMF Indonesia
menjadi negara yang mampu mengelola diri sendiri.
Kemampuan
mengelola ekonomi sendiri, dikemukakan
Bambang,
sebenarnya
telah dimiliki Indonesia. Buktinya, cadangan devisa meningkat sekitar 3 milyar
USD dari 18 milyar USD pada tahun 1999 menjadi 21 milyar USD pada tahun 2002.
Sedangkan dana cadangan dari IMF sebesar 11 milyar USD tidak pernah terpakai.
Fakta tersebut mendukung konklusi bahwa sebetulnya Indonesia dari perspektif
moneter sudah siap keluar dari program IMF.Bambang menyambut gembira keputusan
pemerintah untuk merealisasikan penghentian kerja sama dengan IMF. Maka,
mulai 2004 Indonesia akan kembali dapat menentukan program-program ekonominya
sendiri tanpa adanya campur tangan lembaga asing. Namun, suatu strategi keluar
dari ketergantungan pada IMF yang hanya berperspektif fiskal, moneter, dan
psikologi pasar tanpa adanya skenario penataan ulang ekonomi makro Indonesia
yang berwawasan nasionalisme dan kemandirian memiliki kans yang kecil untuk
berhasil.
Mengapa demikian?
Karena
struktur makro ekonomi Indonesia yang lemah membuatnya senantiasa rentan untuk
tergantung pada kekuatan ekonomi asing. Maka, Bambang pun menawarkan pendekatan
komprehensif terhadap strategi keluar yang mencakup,
(1)
penataan ulang struktur ekonomi makro yang berwawasan nasionalisme ekonomi,
(2)
strategi fiskal,
(3)
strategi moneter, dan
(4)
strategi pengendalian psikologi pasar.
Yang
dimaksud dengan nasionalisme ekonomi adalah kebersamaan, keberdayaan, dan
kemandirian ekonomi. Catatan istimewa diberikan Bambang bahwa dengan upah
tenaga kerja yang rendah hal itu berarti golongan bawah mensubsidi golongan
atas. Hal ini harus dihentikan dengan cara peningkatan upah minimum nasional.
Dengan demikian, golongan bawah pun akhirnya dapat menikmati hidup layak dan
keadilan ekonomi dapat terwujud. Tentu saja menarik melihat sosok Bambang Sudibyo.
Ia
mengaitkan antara ekonomi dengan keadilan dan kebijakan.Perhatiannya ini tidak
terlepas dari pemahamannya bahwa antara ekonomi dan politik itu saling
keterkaitan dan merupakan bidang yang cukup penting dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.Pergulatannya dengan ekonomi makro Indonesia secara nyata terjadi
ketika krisis moneter melanda Indonesia. Ia diberikan kepercayaan menjadi
Menteri Keuangan. Selama 10 bulan ia menjabat sebagai Menteri Keuangan itu ia
mengalami proses pembelajaran yang luar biasa dalam hidup.Ia mengaku bahwa
belum pernah sepanjang hidupnya harus mempelajari begitu banyak hal.
Secara
mendadak terekspose pada berbagai macam hal dan berbagai macam risiko yang
tidak pernah terbayangkan. “Betapa proses pembelajaran itu sangat luar biasa,
di mana dengan waktu yang sangat singkat saya harus belajar begitu banyak hal.”
kenangnya. Di mata Bambang, ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru adalah masa
kemajuan dalam perkembangan kemampuan produksi. Orde Baru sangat menekankan
bagaimana Indonesia dapat memperbesar kapasitas produksinya.
Waktu
itu dapat dilihat dengan jelas kecenderungannya. Akan tetapi,
permasalahannya
kemudian adalah Orba menjadi relatif abai terhadap pendistribusian hasil
produksi. Sehingga apa yang terjadi sekarang ini adalah pembagian hasil
produksi sebagian besar dinikmati sekelompok kecil penduduk saja yang jumlahnya
hanya sebesar 18 persen. Akibat dari pengabaian pembagian hasil produksi
tersebut menyebabkan lebih dari 80 persen penduduk mempunyai kemampuan beli
yang rendah dan terjadilah ketidakseimbangan antara kemampuan produksi dengan
daya serap masyarakat untuk komsumsi.
Kenyataan
ini meyakinkannya bahwa dengan kemampuan produksi yang besar tidak berarti akan
menghasilkan daya serap konsumsi penduduk yang punya daya beli tinggi juga.
Jumlah konsumen yang aktif, yang memiliki daya beli kuat jumlahnya hanya kurang
dari 20 persen penduduk, bahkan menurut dugaannya hanya sekitar 14 persen.
Kelompok masyarakat ini ditengarai sebagai kelas menengah dan elit. Itu adalah
kelompok masyarakat yang memiliki daya serap yang besar. Sementara yang sekitar
86 persen penduduk adalah mereka yang hidup dalam tingkat perekonomian yang
subsistem. Tingkat perekonomian yang mampu memberikan rejeki yang sekadar cukup
untuk bertahan hidup.
“Inilah
yang kemudian membuat ekonomi Indonesia setelah didera krisis, tetap relatif
stabil,” katanya seraya menambahkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia
telah terbiasa untuk survival. “Hal itu terjadi oleh karena ekonomi kita sangat
dipengaruhi oleh konsumsi.” Lebih dari 80 persen konsumsi hasil produksi berada
pada tingkat subsistem. Konsumsi
terhadap kebutuhan-kebutuhan yang mendasar untuk kehidupan, seperti pangan,
kesehatan, papan yang tidak bisa ditawar, mau tidak mau, baik ada kerusuhan
atau tidak ada kerusuhan, orang harus tetap konsumsi. produksi dan jasa itu
yang hingga sekarang yang mempertahankan perekonomian Indonesia. Di mana pun di
dunia ini konsumsi adalah bagian terpenting dalam ekonomi, yang menurut
Bambang, banyak orang yang telah menghiraukan hal tersebut. Orang sangat bias
terhadap pentingnya investasi, “Memang investasi penting, karena investasi itu
akan menciptaan lapangan kerja, tetapi investasi bukan kelanjutan dari
konsumsi, itu tidak betul dan tidak akan menguntungkan juga.” ujarnya.
Tujuan berinvestasi adalah untuk menjawab
daya konsumsi.
Jadi
persoalan di Indonesia adalah bagaimana dapat mengembangkan daya serap konsumsi
masyarakat terutama kepada kelompok yang lebih 80% itu yang sering disebut
rakyat. Hal ini, menurutnya, telah diabaikan sehingga ekonomi Indonesia menjadi
kurang lancar, karena ada ketidakseimbangan antara kemampuan kapasitas produksi
dengan kemampuan daya serap konsumsi. Dengan keadaan kesenjangan demikian,
tentu terjadi jurang pemisah dan kecemburuan sosial, terjadi beban sosial dan
keadaan yang tentu tidak nyaman, tidak ramah, karena adanya kecemburuan sosial
masyarakat ekonomi bawah dengan masyarakat menengah ke atas. Keadaan tersebut
yang selalu menjadi kendala proses pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan adanya
resiko, gangguan stabilitas ekonomi Indonesia menjadi besar. Jadi ada sumber
ketidakstabilan, sebuah ketidakstabilan yang inheren dan berasal dari
perekonomian itu sendiri – kebijakan ekonomi tidak adil. Karena ekonomi yang
tidak adil sehingga situasi sosial yang tidak damai penuh kecemburuan
berkembang, dan itu menjadi iklim yang tidak bagus untuk keinginan investasi.
Akhirnya orang menjadi jera untuk
berinvestasi.
Ketika
orang berinvestasi yang diharapkan return yang dapat mengkompensasi tingkat
resiko sosial yang sangat tinggi itu. Jika keseimbangan antara kapasitas
produksi dengan daya serap konsumsi dapat terjadi, sehingga hasil produksi
disambut oleh konsumsi dan nilai ekonomi Indonesia dapat bergiling dengan
lancar dengan sanksi sosial rendah, maka akan banyak orang yang ingin
berinvesatasi, dan dengan konsumsi yang besar akan mengundang juga investasi.
Trilogi Orde Baru
Bambang
setuju dengan triloginya orde baru, yaitu pertumbuhan, pemerataan dan
kesatabilan. Permasalahan ekonomi Indonesia pada saat itu, pertumbuhan menjadi
tidak maksimal oleh karena ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi,
ketidakseimbangan itu disebabkan oleh karena tidak meratanya pembagian “kue”
produksi, tidak adil yang mempengaruhi resiko sosial dan mengancam kestabilan
nasional. Tiga hal tersebut sangat terkait
Sebenarnya yang menyebabkan tidak adilnya pembagian “kue” itu berasal
dari tiga hal.
Pertama,
Kecilnya
gaji pegawai negeri. Pegawai negeri diberi harga yang sangat murah, termasuk di
dalamnya tentara dan polisi.
Pelayanan
mereka diberi harga yang murah sekali, tidak dapat dibayangkan pegawai
mensubsidi majikannya.
Kedua
Permasalahan
upah buruh yang terlalu rendah, mereka juga mensubsidi
majikannya.
Ketiga.
Murahnya
hasil-hasil produksi tradisional.
Seperti
pertanian, sektor modern membeli produksi tradisional terlalu murah.
Dalam
hal ini sektor tradisional mensubsidi sektor tradisional, bahkan mensubsidi
ekonomi asing. Inilah tiga hal yang
menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi tidak bergerak dengan cepat, tidak stabil
dan tidak aktif.Jadi yang diperlukan adalah penyetelan ulang terhadap tiga
harga ini. Tentu hal ini memerlukan waktu yang panjang. Jika pada waktu masa Orde Baru pemerintah
dapat membagikan “kue” secara adil, dengan pertumbuhan ekonomi 5-8 persen per
tahun mestinya akan mengangkat pertumbuhan ekonomi 5-12 persen per tahun. Dan
akan lebih stabil karena tidak adanya ledakan-ledakan sosial oleh karena lebih
adil. Selain dari pada menyelesaikan tiga harga tadi, juga harus memikirkan
bagaimana caranya mengurangi utang dalam negeri yang mengambil alokasi belanja
APBN yang sangat besar. Itu terutama terjadi oleh karena usaha rekap bank.
Subsidi
Kemudian persoalan subsidi.
Sekarang
ini banyak sekali subsidi yang bertentangan dengan Pasal 34 UUD 45. Di
sana tidak dikatakan konsumen listrik dan BBM di subsidi oleh negara, tetapi
yang disubsidi adalah fakir miskin dan anak-anak telantar. Kalau yang disubsidi
adalah pengguna BBM maka yang menerima subsidi adalah mereka yang menggunakan
BBM. Siapa sih pengguna BBM? Yaitu para kapitalis yang memiliki pabrik-pabrik
besar itu. Mereka itulah yang menerima subsidi, mereka yang memiliki rumah yang
besar-besar dengan penggunaan listrik yang besar, merekalah yang paling banyak
menerima subsidi. Dengan itu APBN dibebaskan dari subsidi yang tidak adil itu,
kemudian dipakai untuk memperbaiki gaji pegawai negeri.
Kemudian
bersamaan dengan itu bisa secara bertahap dilakukan proteksi tarif bea masuk
terhadap produk-produk sektor tradisional terutama pertanian. Usaha ini tidak
membutuhkan dana APBN, yang diperlukan adalah tanda tangan menteri keuangan
untuk menaikan bea masuk. Dan tentunya akan berhadapan dengan WTO dan
sebagainya. Pro-coment atau advokator utama lembaga WTO adalah negara-negara
maju seperti AS, Eropa Barat, Jepang, Australia. Negara-negara ini sampai
sekarang tidak mematuhi ketentuan dari WTO. Di mana mereka tidak patuh di
produk-produk pertanian.
Jadi
untuk apa kita patuh, karena mereka sendiri yang ada sebagai advokator utama
WTO, mereka sendiri sangat reluctant untuk patuh terhadap regulasi WTO terutama
bidang pertanian. Sehingga menjadi lucu, jika gula dan beras Indonesia hanya
diproteksi 25% tarif sedangkan Jepang memproteksi berasnya dengan 400%, Amerika
masih memproteksi hasil pertaniannya dengan 184%.
“Lalu
kenapa kita tidak berbuat seperti mereka?” tanyanya. Sehingga yang nanti laku
di pasar bukan lagi jeruk atau apel dari luar negeri tetapi dari dalam negeri
sendiri. Jika harga petanian bagus para petani juga bersemangat menanam. Dan
sekarang tinggal bagaimana kebijakan pemerintah dalam menanggapi ini, karena
politik yang betul akan membuahkan kebijakan yang betul. Kebijakan yang betul
adalah kebijakan yang memaksimalkan kepentingan umum, kebijakan yang
berdasarkan keadilan. Dan keadilan yang paling menjadi konsern orang banyak
adalah keadilan ekonomi.
Karena apa?
Itu
menyangkut kepentingan kehidupan mereka sehari-hari.
Setelah
gaji pegawai negeri naik dan meningkatnya tarif bea masuk, akan mempengaruhi
tingkat agrikat demand. Permintaan agrikat itu akan naik, kemudian revenue atau
pendapatan pengusaha naik, sehingga kemudian ada peluangan bagi mereka
merestruktur biaya, dengan cara menaikan upah buruh.
Jadi
proposal kenaikan upah buruh seperti itu tidak samasekali membebani pengusaha.
Dan itu akan kembali juga kepada mereka, karena buruh itu adalah juga konsumen
terhadap produksi mereka. Jadi berputar sesungguhnya ekonomi itu.
Yang menjadi permasalahnya adalah bagaimana
roda perputaran menjadi cepat, lancar dan adil.
Ia
melihat kebijakan tim ekonomi kita memang plot sejak zaman orde baru itu
keliru, ada persepsi yang mengangap komsumsi tidak penting, padahal tulang
punggung pergerakan ekonomi itu dikonsumsi, dan investasi itu berada pada
tingkat kedua. Investasi akan bergulir dan menjanjikan jika ada konsumsi kuat,
yang akan memberikan iklim propektif return yang tinggi untuk investasi dan ada
keadilan ekonomi sehingga investasi tidak terancam oleh ledakan-ledakan sosial.
Sekarang
banyak orang bicara investasi-investasi, jadi ternyata ada kekeliruan
paradigma. Bahwa seolah-olah investasi lebih penting dari konsumsi. Ia tidak
percaya itu! “Consumption is primary,
investment is secondry”. Yang paling penting adalah bagaimana memperkuat
daya beli masyarakat. Dan jalan untuk meningkatkan daya beli itu adalah
pemertaan hasil ekonomi (pembagian “kue” yang adil).
Ekonomi Domestik
Kemudian
ada sebuah kekeliruan lain yang bahkan sudah melembaga dan itu warisan Orba,
yaitu pandangan bahwa mencari rejeki dari negeri orang lebih penting dari pada
domestik, seolah-olah rejeki eksport lebih manis dibanding rejeki dalam negeri.
Menurutnya itu keliru, itu akan menciptakan Indonesia yang tergantung kepada
ekonomi asing. Mestinya adalah bagaimana menggulirkan ekonomi domestik,
memperbesar ekonomi domestik dan mempercepat putaran ekonomi domestik, sehingga
akan tergantung kepada pertumbuhan dan kestabilan ekonomi domestik sendiri.
Sementara penghasilan dari ekspor itu hanya sebuah pelengkap.
Bukan
berarti menolak ekspor atau tidak melihat ekspor itu tidak penting, tetapi
jangan dianggap bahwa dengan demikian sebuah kebijakan yang memperbesar ekspor
dengan cara mengorbankan upah buruh. Sebab upah buruh adalah bagian dari
konsumsi domestik.Ketika upah buruh ini ditekan berarti memperkecil daya konsumsi
domestik, kemudian memperkecil ekonomi domestik. Memang rejeki yang berasal
dari luar menjadi lebih besar, tapi rejeki yang dari dalam lebih kecil. “Ketika
Indonesia menggantungkan diri kepada ekonomi asing, kita menjadi ekonomi yang
rentan.”
Seharusnya Indonesia memperkuat ekonomi
domestik.
Jadikan
ekonomi Indonesia menjadi magnet ekonomi yang besar dan berputar cepat, sebuah
magnet ekonomi yang bermasa besar dan berputar cepat.
Karena
magnet yang besar daya tariknya juga besar, sehingga orang ingin sekali
berinvestasi di Indonesia. Lebih baik investasi asing masuk ke sini untuk
memperkuat ekonomi domestik, daripada kita investasi di luar negeri untuk
merebut ekspor. Jadi dengan cara seperti itu kita jadikan ekonomi Indonesia
sebuah magnet yang begerak cepat dan besar, sehingga ketika bertransaksi dengan
ekonomi asing itu term-nya adalah cenderung menguntungkan kita. Tetapi jika
kita dependent terhadap ekonomi asing, term-nya akan berbeda. Seperti
contohnya, peristiwa 11 September di New York, tragedi kemanusiaan yang
merenggut ribuan nyawa manusia, sehingga New York menjadi sebuah tempat yang
menakutkan dan mengerikan, tetapi tidak ada penurunan rating lembaga-lembaga
keuangan di New York, yang terjadi adalah penurunan rating di Indonesia, karena
kita magnet ekonomi yang lemah, yang jika terjadi apa-apa ditentukan oleh
ekonomi asing. Mengapa kita bisa berhubungan dengan IMF dan kita sangat
tergantung dengan IMF, Itu sebabnya juga karena kita telah abai.
Kita
mengabaikan pentingnya ekonomi domestik, sehingga kita terjebak.
Sekarang
bagaimana kita merebut kemandirian kita kembali.
Menurutnya,
kita bisa saja keluar dari program IMF. Untuk keluar dari IMF berbeda dengan
keluar dari program IMF, karena kita anggota IMF. Untuk dapat keluar dari
program IMF itu ada dua pertimbangan penting yaitu apakah kita siap dari sisi
moneter dan sisi fiskal. Dari sisi fiskal kuncinya adalah besarnya defisit,
sepanjang defisit kita besar dan kita membiayai defisit itu dengan utang luar
negeri maka kita masih butuh IMF. Kita pergi ke CGI dan kita butuh dukungan
atau endorsement dari IMF.
UU
Propenas menargetkan defisit sudah nol pada tahun 2004, ketika ia menjabat
sebagai menteri keuangan telah mencanangkan kebijakan yang mendukung
perkembangan sisi fiskal, yaitu defisit sudah mencapai nol, tax review sudah
harus 16%, janjinya kepada DPR waktu itu. Sehingga itu semua diabadikan dalam
UU Propenas, dan menjadi amanah undang-undang.
Jadi tidak ada alasan jika tahun depan kita
masih butuh eksternal
financing yang di endorse oleh IMF.
Menurut
undang-undang defisit kita sudah harus nol dan utang luar negeri sudah harus
turun. Dari sisi moneter yang perlu kita perhatikan adalah cadangan
defisa. Cadangan netto defisa kita sekarang US$ 24 miliar, ketika ia menjadi
menteri itu masih sekitar US$18 miliar, jadi selama 3 tahun cadangan defisa
netto kita sudah menebal US$ 6 miliar. Kalau ditambah dengan dana pinjaman dari
IMF, uang pinjaman ini hanya diparkir di Bank Indonesia sebagai tambahan
bantalan devisa yang sering disebut second line of defend, itu besarnya sekitar
US$ 9 miliar sehingga cadangan devisa bruto kita itu di BI ada US$ 33 miliar.
Kalau kita keluar dari program IMF kita minimal harus mengembalikan sebesar US$
3,5 miliar. Kalau kita kembalikan cadangan devisa netto kita tetap tidak
berubah tetap 24 miliar sedangkan second line of defend-nya akan berkurang
menjadi US$ 6.5 miliar ini berarti cadangan devisa bruto kita menjadi US$ 30,5 miliar.
Jika dibandingakan pada tahun 2000 ketika ia menjadi menteri dengan cadangan
devisa netto sebesar US$ 18 miliar dan cadangan devisa bruto sebesar US$ 27 miliar,
jadi sebetulnya baik netto maupun bruto kita dalam dua tahun ini jauh lebih
baik.
Sesungguhnya tidak masalah untuk kita keluar
dari program IMF.
Sekarang
yang menjadi persoalan apakah dengan keluarnya kita dari program IMF akan
timbul masalah atau gejolak di pasar, dapat dipastikan ada terjadi. Akan ada
orang-orang yang tidak percaya akan kemampuan ekonomi Indonesia untuk berdiri.
Tetapi ia yakin itu hanya peristiwa yang temporer yang bisa kita lalui bersama.
Karena apa?
Kita
sudah berkali-kali mengatasi krisis ini, dan daya tahan kita terhadap guncangan
itu cukup besar.Itu bisa kita saksikan ketika krisis politik tahun 1998,
bagaimana krisis politik itu mem-finalty perekonomian Indonesia, dari
pertumbuhan perekonomian pada tahun 1997 sebesar 9% kemudian turun menjadi 6%
dan tahun 1998 jatuh di minus 13%, tetapi pada tahun 1999 langsung mulai
menjadi 0,30%.Rebound atau daya lentur ekonomi Indonesia itu luar biasa. Jadi
ia percaya kita bisa keluar dari program IMF. Walaupun akan ada gejolak,
namun akan dapat teratasi.
Ia
tidak percaya bahwa ada suatu bangsa lain benar-benar secara tulus ingin
membantu kita, semua mereka yang datang ke sini katanya membatu lewat CGI, IMF
atau World Bank dan sebagainya itu, mereka mau memenuhi kepentingan mereka
sendiri di Indonesia. Jadi yang bisa menolong diri kita adalah diri kita
sendiri. Sesungguhnya permasalahannya sangat mendasar sekali berhubungan dengan
sikap hidup dan sikap bernegara, dan itulah yang disebut Nasionalisme Ekonomi.
Bukan berarti kita tidak mau berinteraksi dengan ekonomi asing, bukan, tetapi
adalah penting sekali membangun kemandirian, dan kita menumpukan kestabilan dan
pertumbuhan ekonomi itu pada diri sendiri bukan kepada pihak asing.
Tiga Lapis Risiko
Sekarang
ini ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang dibungkus oleh tiga lapis resiko
yakni risiko sosial, risiko polkam dan risiko global.
Lapisan
pertama risiko sosial, lapisan sosial
itu ada di dalam tubuh ekonomi Indonesia sendiri.
Sumber
risiko itu adalah 3 harga tadi, inilah yang menciptakan ketidakadilan ekonomi
di dalam tubuh ekonomi Indonesia sendiri, dan kita didera dan terbebani oleh
resiko itu sejak lama, sejak masa Orba menunjukan keberhasilannya, pada saat
itu juga mereka menciptakan resiko sosial yang semakin berat itu yang disebut
dengan introphy sosial sesuatu yang menggrogoti diri sendiri. Sejak tahun 1998
dimana Orba turun, perekonomian Indonesia dibungkus oleh,
Lapisan risiko kedua, yaitu risiko polkam yang sangat tinggi.
Penyebabnya
adalah transisi kerangka kebersamaan politik yang tidak kunjung usai. Kerangka
kebersamaan politik kita dulu diberi nama kerangka Orba, dan kita semua sudah
tidak menyukai kerangka politik yang tidak adil itu. Kemudian kita ingin
menggantinya, kita sudah berhasil membongkarnya tetapi kita sampai saat ini
belum bisa menggantikannya dengan orde yang betul-betul penganti dari orde baru
yang kita sebut reformasi dan kita sedang berada pada masa transisi yang sangat
labil.
Selama
masa transisi politik ini belum selesai, selama itu pula ekonomi Indonesia akan
terbebani oleh risiko polkam. Sepanjang risiko polkam itu menakuti-nakuti
pelaku ekonomi, yang kemudian mereka akan menahan konsumsi, mereka menahan
investasi. Padahal pergerakan ekonomi dimulai konsumsi dan investasi, dan
mereka tahan dan kurangi sehingga memperlambat laju ekonomi, itu sebabnya
ekonomi kita hanya tumbuh 3,5%
Lapisan ketiga
dari lapisan resiko perekonomian Indonesia,
Adalah
dimulai sejak September 2001 yaitu resiko global atau resiko geo-politik dan
ekonomi global, terutama hal ini menonjol sejak peristiwa 11 September, di mana
resiko global ini terasa sekali, seperti kasus bom Bali, berbeda dengan bom-bom
yang lain, bom yang mempuyai nuansa internasional.*** Tokoh
Indonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), Atur/Yusak
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.