alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 04 Januari 2015

PERANAN WANITA DI ROTE DALAM PEREKONOMIAN KELUAR

PERANAN WANITA ROTE--NTT
DALAM PEREKONOMIAN KELUARGA
Kuat dan Ulet, tetapi Tetap Feminin

O’ELEDO-pulau Rote, suatu pagi di akhir Agustus 2003.
Ny Lopo (45) mengayunkan kakinya cepat-cepat, tanpa kasut, di atas pasir pantai menuju rumahnya, sambil memikul beban berat berupa dua ikat kayu. Ketika diintip lewat lensa kamera, bayangan sosoknya dari balik lensa seperti tuas timbangan, yang di kiri dan kanan sama-sama seimbang memikul beban.Dia sudah sejak subuh mencari kayu bakar. Tidak sembarang kayu yang diambil, tetapi kayu jenis kesambi yang ketika menjadi arang, apinya membara cukup lama dan kualitas panas yang dihasilkan cocok untuk macam-macam kebutuhan, terutama untuk menyuling nira menjadi arak (sopi) dan memasak nira menjadi gula. Mencari kayu jenis itu tidak mudah. Meski Ny Lopo sudah lebih dahulu menandai lokasinya, dia lebih sering kalah cepat karena ternyata kayunya sudah lebih dahulu diambil orang. Dia pun harus mencari ke tempat lain. Jika sudah mendapatkannya, dia harus memotong-motongnya untuk kemudian diikat.Setiba di rumah, Ny Lopo menanak nasi dan memanggang ikan untuk sarapan, lalu mengolah atau memasak nira menjadi air gula (Rote = tua nasu). Atau juga menyuling nira menjadi sejenis minuman beralkohol yang disebut arak/sopi.
Sementara itu, suaminya, setiap pagi dan petang, menyita banyak waktu untuk menyadap nira lontar.  Pagi itu tidak hanya Ny Lopo yang tampak bekerja, tetapi masih ada banyak perempuan dewasa lainnya "berkeliaran" di luar rumah. Ny Mat Lapa (39) sejak pukul 05.00 sudah keluar rumah, berjalan dari kampung yang satu ke kampung yang lain untuk menjajakan ikan hasil tangkapan suaminya. Ny Mat Lapa baru akan pulang ke rumah menjelang jam 10.00, setelah seluruh ikannya laku. Sekitar pukul 11.00, dia sudah menyiapkan perlengkapan untuk mengolah nira menjadi gula. Selama sekitar tiga atau empat jam dia mengawasi tungku api yang telah diberi kuali berisi nira, menunggu sambil mengaduk-aduknya. Di tempat lain Ny Bollu (54) tampak sedang asyik menganyam bakal tas yang dibuat dari daun lontar, sambil duduk ditemani suaminya di atas tikar yang juga dianyam dari daun lontar. Di dalam pondoknya tergantung beberapa haik berisi nira, satu di antaranya hasil sadapan pagi itu digantung tepat di depan wajah Ny Bollu.
MASIH banyak perempuan yang aktif seperti mereka. Misalnya, Imelda Yakoba Manafe, Agustina Ledo Kama, Lince Loden Mola, dan Meri Nggi.  Mereka menggeluti pekerjaan yang amat beragam, bekerja dari subuh hingga larut malam untuk menghidupi keluarga dan menopang ekonomi desanya.Selain beragam, pekerjaan mereka pun tampak jauh lebih berat jika dibandingkan, kaum pria yang kerjanya hanya pada tiga bidang, yakni menyadap nira, nelayan, dan beternak. Pekerjaan kaum perempuan berat karena sejak bangun pagi menyiapkan sarapan, lalu keluar rumah mencari kayu bakar atau mengambil air. Pekerjaan itu masih ditambah lagi dengan memasak nira, mengolahnya menjadi gula, selain menyiapkan makanan untuk waktu berikutnya. Mereka pun bisa bekerja sambil menggendong bayi, seperti dilakukan Imelda Y Manafe ketika itu.
Selain pada waktu siang, pada malam hari mereka juga menganyam dan menenun. O’eledo kini menjadi sentra usaha anyam-anyaman dan tenunan. Bahan baku anyaman seluruhnya dari lontar, baik daunnya maupun seratnya. Produk yang dihasilkan beragam, dari bakul, keranjang, topi, tas, tikar, hingga dompet. Volume penghasilannya berlipat, karena setelah mendapat aliran listrik mereka bisa menganyam hingga malam.Tidak hanya aktif di dalam seluruh proses produksi, kaum perempuan O’eledo seperti juga perempuan di daerah lain di Pulau Rote atau masyarakat berbudaya lontar, juga terlibat aktif dalam memasarkan produk usaha mereka. Seluruh hasil usahanya, dan juga hasil usaha keluarga kaum pria, dijual ke pasar oleh kaum perempuan.
Mereka sangat kuat dan tangguh memikul beban, meski harus berjalan kaki berkilo-kilo-meter jauhnya ke pasar. Sama seperti saat berangkat, ketika kembali dari pasar pun mereka harus memikul beban hasil belanja. Biasanya, barang-barang yang diperoleh di pasar berupa kebutuhan primer seperti beras dan minyak tanah. "Pergulatan kami dari waktu ke waktu adalah untuk pemenuhan kebutuhan primer keluarga. Belakangan ini, setelah masuknya program penanganan kemiskinan untuk pemberdayaan perempuan kami berorganisasi dalam pengelola kelompok usaha perempuan desa (PKUPD)," kata Lince, sekretaris PKUPD.Didalam PKUPD, eksistensi perempuan ini lebih dari sekadar untuk berkumpul.
Ø  Di sini mereka merencanakan kegiatan,
Ø  menjalankan usaha produktif yang sudah direncanakan,
Ø  mengevaluasi kegiatan, dan
Ø  mencari peluang usaha yang lebih produktif,
Ø  dibandingkan dengan usaha produktif yang sudah ada.
Kuat, ulet, sabar, dan tekun, barangkali itulah kata-kata yang tepat untuk melukiskan peran kaum perempuan O’eledo. Mereka tidak saja berperan sebagai ibu rumah tangga yang selalu tampil tetap feminin, tetapi jangkauan perannya sudah luas. Mereka adalah perempuan dengan multiperan. (CAL)-Internet).
(Tambahan Penulis: Sopi ini menurut Dr.Seno Sastroamidjojo, dalam bukunya “Obat Asli Indonesia, Dian Rakyat,Jakarta, 2001”, arak/sopi yang terbuat dari bahan nira lontar ini adalah juga merupakan obat TBC, oleh karena itu orang Rote sangat jarang terkena penyakit TBC, serta air rebusan mayang lontar dijadikan obat pegal-linu dan pengobatan sipilis---penulis).

Jenis Pekerjaan Perempuan
Di Rote Lebih Beragam
Juga Ulet, Mandiri, dan Berpikir Besar

Usianya tergolong sudah tua, yakni 61 tahun, tetapi ibu empat anak dan nenek dari 15 cucu itu tetap kuat dan mungkin juga amat menantang bagi pemuda yang berotot sekalipun. Setiap pagi, wanita tua bernama Rebeka Abraham  itu sudah berada di kebun tidak jauh dari rumahnya di Dusun Letekonak, Desa O’ebatu, Rote Barat Daya, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur. Di sana dia menyiram sayur, bawang dan tembakau. Dalam situasi kemarau dan krisis air sedang mendera NTT seperti saat ini, termasuk Pulau Rote, dia menantang kemarau itu. Dia membersihkan kebun serta menanam sayur, bawang dan tembakau, lalu menyiramnya setiap pagi dan petang di lahan seluas 1.200 meter persegi.  Mama Beka, demikian dia biasa disapa warga desanya, menimba air dengan dua ember besar dari sumur tua di tepi kebunnya. Dari sumur dia bergerak cepat membawa air itu menuju kebun dan menyirami semua tanamannya. Pekerjaan itu tidak ringan, tetapi dilakukannya seorang diri secara rutin sejak pukul 06.00 dan baru selesai sekitar pukul 9.30.  Rebeka mengulangi pekerjaan itu pada soreh hari, pukul 18.30. Ketika ditanya ke mana suaminya, Rebeka menjawab, “Sedang istirahat di rumah. Kami berbagi tugas. Dia menggembalakan kerbau dan saya bekerja di kebun,” katanya tentang suaminya, Daniel Abraham, 57 tahun. Mereka memiliki 25 ekor kerbau, tetapi 11 ekor di antaranya dijual untuk keperluan biaya salah seorang anaknya saat tes menjadi bintara polisi di Kepolisian Daerah  NTT, pekan lalu. Seekor kerbau kami jual Rp.3 juta,” katanya.
Selain mengurus kebun sayuran, dia juga harus memikul hasil kebunnya nanti saat panen dengan berjalan kaki  sejauh tiga kilometer ke pasar Busalangga setiap Rabu dan Sabtu. “Uang hasil jual kerbau untuk biaya sekolah anak, sedangkan hasil kebun untuk membeli beras, minyak tanah, dan lauk pauk, juga menambah uang sekolah, terutama anak bungsu yang saat ini duduk di kelas 1 SMU di Busalangga,” kata mama Beka.
Setiap Oktober, Mama Beka harus mencangkul atau mengolah sawah tadah hujan seluas satu hektar, sekitar satu kilometer dari rumahnya. “Agar ketika hujan nanti, tanah sudah gembur untuk ditanami pada awal Desember,” katanya.

Penggerak ekonomi keluarga
Di Rote-Ndao, pekerjaan perempuan lebih bervariasi dan lebih banyak dibanding dengan laki-laki.
Jika tidak menggembalakan ternak (bagi yang punya), laki-laki hanya menyadap bunga lontar untuk diambil niranya. Kaum perempuan mengolahnya menjadi gula lalu menjualnya. Jika bunga lontar tidak lagi menghasilkan nira, kaum pria biasanya merantau, atau “pergi mencari”---menurut istilah sebagian masyarakat Rote.
Ekonomi desa dan domistik lebih banyak dijalankan perempuan. Pekerjaan utama perempuan Rote-Ndao adalah menenun, berkebun, mengasuh anak, mengolah nira menjadi gula, mencari kayu bakar, dan mencari air, menjualnya ke pasar dan memasak.
Laki-laki dewasa di Ndao misalnya, keluar pulau untuk “pergi mencari.” Sejak April hiingga Desember. Mereka baru pulang pada hari raya Natal dan berada di rumah bersama keluarga hingga musin panen pada Maret atau April.
Fransina Fatu Radja (63) ibu 9 anak dengan 20 orang cucu, asal Ndao yang menetap di Ba’a menuturkan, desanya aktif karena  perempuan.

“Kegiatan desa, mulai dari membersihkan jalan, berkebun, dan beternak, dikerjakan perempuan,” katanya. Sejak keluarganya pindah ke Ba’a enam bulan lalu, Fransina, hanya menenun sarung.  Orang mungkin menganggap pekerjaan menenun itu gampang, sebenarnya ketabahan dan ketekunan kita diuji saat itu,”ujarnya. Misalnya, kata Fransina, untuk menghasilkan sarung sederhana diperlukan waktu sekitar satu bulan.” Setelah menjadi sarung, kami harus menjualnya ke pasar, menawarkan kepada orang-orang ibarat pengemis,” katanya. Dia melanjutkan. “Kalau hidup bergantung pada laki-laki, mungkin keluarga, anak-anak, cucu  tidak makan. Suami saya kalau pergi ‘mencari’, berbulan-bulan baru pulang ke rumah. Menjadi perempuan harus tegar dan mandiri.”Hasil “pergi mencari” itu pun, katanya, belum tentu bisa mengongkosi anak sekolah. “Tetapi, dari hasil tenunan sekarang saya bisa mengongkosi anak-anak yang masih sekolah, yakni anak nomor tujuh dan nomor sembilan,” katanya.  Keluarga Fransina tinggal dalam pondok sederhana, lantai tanah,, dinding bebak, dan atap dari daun lontar. “Biar saya tidak punya rumah, tetapi yang terpenting anak-anak bisa sekolah. Mereka adalah masa depan saya,” katanya.

Tulang punggung keluarga
 Pekerjaan Matha Sina, 45 tahun warga Metina, Ba’a, bahkan lebih berat lagi.
Sehari-hari dia mencari bongkahan batu ke gunung lalu memikulnya ke rumah untuk dipecahkan menjadi kerikil. Dia harus berjalan kaki ke kebunnya dua kilometer dari rumahnya ke arah perbukitan. Saat pergi harus mendaki, saat pulang harus menuruni bukit sambil memikul keranjang bongkahan batu. “Jika tidak bekerja seperti itu, bagaimana saya mengongkosi anak-anak yang saat ini semuanya sudah sekolah,” kata ibu dari tiga anak, yaikni Serly (kelas 1 SMU), Yulen (kelas 1 SMP), dan Yosi (kelas IV SD). Martha harus memecahkan batu  setiap bulan yang dijual Rp.250.000 per lima kubik. Pekerjaan ini dilakukan hanya pada musim proyek pengerjaan jalan dan jembatan tiba. Suaminya, Yunus Sine, sedang bekerja membangun rumah baru. “Jika suami membangun rumah, lalu dari mana kami mendapat uang. Istri harus mampu bekerja dan jangan hanya bergantung pada suami. Perempuan harus mandiri juga,” katanya.

Martha mengisahkan pendapatan Rp.250.000 itu menjadi tiga bagian yakni uang sekolah anak, untuk makan dan minum, serta biaya membangun rumah.  Yang tetap membiayai sekolah anak-anak,” katanya Sama seperti Rebeka dan Fransina, Martha  mengatakan, “Sekolah anak adalah utama. Saya hanya tamat SD. Kalau bisa, anak-anak harus lebih pintar dari orangtuanya. Anak-anak adalah  tabungan saya di masa depan.” Tidak hanya Rebeka, Fransina, atau Martha, Mayoritas perempuan perempuan desa di Rote-Ndao dengan caranya sendiri telah mendorong tumbuhnya ekonomi desa dan  dalam banyak kasus  menjadi tulang punggung keluarga jika  dibandingkan dengan kaum prianya.  Rotasi pekerjaan mereka cukup berat. Kemana pun kita pergi di desa-desa di Rote, pastilah pekerjaan perempuan jauh lebih berat dibanding dengan kaum pria. Dalam setahun, kerja, kerja mereka berputar terus tiada hentinya.

“Selesai panen pada bulan Maret-April, kami mengolah lahan untuk ditanami sayur, bawang, dan tembakau. Selama Agustus-Oktober adalah musim nira dan kami memasak (mengolah) nira menjadi gula lalu menjualnya,” kata Rebeka.  Bulan Oktober hingga Nopember para perempuan mengolah sawah tadah tadah hujan hingga panen pada bulan Maret atau April.  Alam yang gersang dan tandus membuat karakter wanita Rote-Ndao menjadi ulet, kuat, dan tanggunh, bahkan berpikir maju..  Merencanakan masa depan dengan berbuat sejak dini telah dipraktikan perempuan Rote-Ndao. Praktik menuju masa depan itu, misalnya, dimulai dengan bekerja sekuat tenaga demi menyekolakan anak mereka.  Di O’Eledo, kampung pesisir selatan, sekitar 22 kilometer dari Pantai Baru, misalnya peran perempuan dalam ekonomi desa sangat menonjol.

O’eledo telah menjadi sentra usaha anyam-anyaman dan tenunan. Produknya beragam. Tidak hanya aktif dalam proses produksi kelompok usaha perempuan O’eledo juga aktif  memasarkannya. Ulet, mandiri, dan tekun, barangkali itulah kata-kata yang tepat untuk melukiskan peran perempuan ini.  Mereka adalah perempuan dengan beragam peran dan harus diberi tempat dan punya hak suara dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah. (PASCAL S BIN SAJU, Kompas, 13-8-2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.