MATA PENCAHARIAN
DAN
KETERGANTUNGAN HIDUP
Pohon Lontar, Pohon
Kehidupan Orang Rote Ndao
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Bagi warga setempat,
jenis pohon ini memiliki arti tersendiri. Seperti dianut banyak warga lainnya
di NTT, lontar adalah bagian dari kehidupan warga Tuapukan. Katakanlah berbudaya lontar.
Daunnya diandalkan sebagai atap rumah. Juga diandalkan sebagai bahan baku
perabot rumah seperti haik (alat penampung air), alat makan, keranjang, atau
tikar. Bahkan daunnya juga menjadi bahan baku utama pembuatan “Sasando”, alat
musik tradisional peninggalan monumental leluhur Pulau Rote (Kabupaten Rote
Ndao). Pelepahnya untuk kayu pagar atau kayu bakar, juga untuk membuat tali dari serat pelepah yang kuat dan tahan lama. Mayangnya disadap yang air gulanya diproses menjadi tuak
atau gula. Hingga kini masih banyak warga
penganut budaya lontar di daerah ini mengandalkan lempengan atau cairan gula
yang bersumber dari pohon ini sebagai bahan makanan. Sementara batangnya menjadi balok untuk pembangunan rumah. Bahkan di waktu
dulu, bagian batangnya yang keras diubah menjadi peti mati.
Material (Bahan-bahan Bangunan
Rumah Rote (oema) yang sederhana dalam pengaturan susunan dan pembagian ruangannya, juga
dibangun dengan bahan-bahan yang sederhana. Tiang-tiang penompang rumah
itu (dii),
dibuat dari kayu besi (bahasa Rote= ai foeliha’a, bah.Ind.= kayu Goepasa);
tangganya (heda-hoe’k) dari kayu
pohon lontar (toewa’ai), begitu pula
lantai dari rumah tinggal (untuk ini tidak ada namanya dalam bahasa Rote).
Dinding dari rumah
bagian atas (papale atau dini) dibuat dari dahan atau pelepah daun gewang (toela),
balok-baloknya (papaoe) dari kayu
besi atau dari kayu belahan pohon lontar; lantai loteng dari belahan pohon pinang (le’a poea) atau dari belahan papan pohon lontar (papa toe’a), kayu kaso (tete=
dibag timur; dodoik=dibag barat)
dibuat dari belahan pohon lontar (oenoe
toea), penutup atap (sinik) dari
alang-alang (fi) dari daun lontar (sini toea) atau dari daun gewang (sini toela); bangku duduk di bawah
rumah (loanak) dari kayu lontar atau
lain jenis kayu.
Untuk pengikat di
pergunakan tali gewang atau serat-serat
dari pelepah pohon lontar (tali
hehengge’k atau dari rotan (oe’e)=nama rotan dari luar; Rotan dari
Rote = feo).
Bahan-bahan yang terbanyak diperoleh dari pohon lontar, jenis pohon yang mempunyai arti yang sangat
penting dan tak dapat dibedakan dengan apapun dalam kehidupan
orang Rote. Faedah pohon lontar ini bagi orang Rote yang sangat
besar, ditulis oleh tuan Joh.Hessing, a.l: “Pohon lontar,” (Borassus flabellformus atau
pamyrapalm), yang berasal dari Afrika tropis, terdapat sangat banyak di tanah berbatu-batu
di Timor (termasuk pulau Rote).
Dari pohon-pohon ini
yang sama sekali tidak memerlukan pemeliharaan, hampir semuanya dari akar sampai
daunnya dapat di pergunakan dan sangat berguna untuk manusia (khususnya
bagi orang Rote). Daunnya yang besar / berbentuk kipas dan sangat kuat,
dipergunakan untuk bahan penutup atap rumah (sini ) pembuatan haik (ember)
penampung air dan nira (toea),
tikar, topi Rote ( Ti’i langga),
tempat sirih-pinang (dae do), sarung parang ( fela ) dan pisau (dope
) kotak padi yang besar (sokal), kapisak, lapaneu, tas, tabung haik
sebagai resonator/pemantul suara dari “Sasando”
(musik petik tradisional pulau Rote), bakul dan lain-lain. Tangkai dari daun (bebak
) yang panjangnya 1 s/d 1,5 m, dipergunakan untuk pembuatan pagar dan dari
serat-seratnya yang dibuat tali pelepah
yang kuat dan awet.
Balok-balok yang dibelah
dari pohon lontar ( mopuk ) itu, di pergunakan
untuk bahan membangun rumah-rumah, jembatan, kandang kuda, kandang
kerbau, kandang babi, peti mati pada zaman dahulu, lantai loteng rumah Rote dan
lain-lain. Kayu dan kaso yang dibuat dari pohon lontar ini, mengungguli semua
jenis kayu dalam hal ke-awetannya, dan bertahan lama terhadap rayap. Dari lontar ini,
penduduk yang masih sederhana ini, telah memperoleh segala sesuatu yang ia inginkan; tidak
heran bahwa penduduk yang masih sangat sederhana itu dan masih animistis
(percaya pada benda-benda mati seperti pohon, batu, juga mempunyai
jiwa=animisme ketika agama Kristen masuk), dengan segala respek / ketaatan dan hormatnya mengangkat
kepalanya terhadap pohon palem / lontar
ini yang paling megah dan agung dari semua macam palem, menghormati dan
mempersembahkannya seakan-akan pohon itu adalah sesuatu makluk dengan kekuatan
yang gaib (karangan :Joh.Heesing, Timorbode no.50, hal.109-111).
Pohon lontar
ini di anggap juga oleh orang Rote
sebagai “seorang ibu” yang penuh kasih sayang yang menyediakan air
susu bagi anak-anaknya yang baru dilahirkannya.
Catatan Penulis
Penulis juga menulis tentang Arsitektur Tradisional Rumah
Rote siap diocetak.
Pohon Lontar Adalah Pohon
Kehidupan Orang Rote
Menurut James J. Fox, dalam bukunya
“Panen Lontar” (Pustaka Sinar Harapan, Jakaerta, l996, hal.274) berjudul “Kasus
Orang Rote : Etnobotani Pohon Lontar” dikutip sebagai berikut :
Pohon lontar adalah,
Ø palem yang sangat besar dan,
Ø berjenis
kelamin ganda,
Ø berbatang tunggal, dan besar pada dasarnya,
Ø tangkai
daunnya tebal,
Ø tepinya
berduri, dan
Ø daunnya
menyerupai kipas.
Ø Pada
ujungnya terdapat mayang bercabang, dengan pelepahnya yang agak berserat.
Ø Pada
mayang lontar jantan, tumbuh tunas-tunas dengan bunga kecil-kecil yang mekar
berturut-turut dari puncaknya, kira-kira satu bungan setiap hari;
Ø pada mayang lontar betina, tumbuh tandan-tandan buah. Buahnya berkulit
halus, kehitam-hitaman, terdiri dari tiga biji yang masing-masing terbungkus
serabut.
Demikian, dengan beberapa kalimat, suatu gambaran semi teknik mengenai
pohon lontar. Tidak mengherankan bahwa perbedaan-perbedaan dalam uraian ini
dengan mudah dapat diterjemahkan dalam bahasa Rote. Berikut ini adalah
istilah-istilah dalam bahasa Rote :
Ø
Pohon
lontar
itu sendiri disebut tua; lontar jantan (mayang bunganya panjang) adalah tua mane, lontar betina (buahnya
berkulit halus kehitam-hitaman) tua
feto.
Ø Batang lontar disebut tua-huk; huk adalah “kata bilangan”
untuk pohon, tua-huk hitu (tujuh “batang pohon lontar”).
Ø Tangkai daunnya adalah beba tua atau tua-beba; duri pada tangkai daun adalah nggou.
Ø Tunas daun muda adalah tua-polok,
yang kemudian tumbuh menjadi daun yang menyerupai kipas yaitu sosonga (juga
disebut songa-dok atau sosonga-dok).
Ø Lidi dari setiap keping
daun adalah lidak; demikian pula lidak adalah “kata bilangan” untuk keping daun
(sosonga lidak hitu “tujuh
keping daun”), jumlah yang diperlukan
untuk membuat suatu keranjang.
Ø Seluruh mayang, baik jantan maupun
betina, termasuk kelopak dan cabangnya (ai),
adalah sumak.
Ø Tampuk terbuka di sekitar tangkai bunga adalah tua-tapis
atau tapi-tua.
Ø Mayang lontar jantan dengan tunas-tunasnya adalah tua-nggi; dan tunas itu sendiri adalah tua-pule.
Ø Bunga kecil pada mayang lontar jantan adalah tua-buna;
dan bunga-bunga itu tumbuh “satu per satu berganti-ganti” kikisa.
Ø Buah dari lontar betina adalah saiboa; sabutnya adalah saiboa
sesek dan biji-bijinya adalah saiboa
dek.
Dapat pula kita tinjau
pohon lontar dari segi bahan-bahan yang merupakan hasil utama yaitu batang,
buah, daun yang menyerupai kipas dengan bagian-bagiannya, dan nira yang
dihasilkan oleh mayangnya.
1. Batangnya. Dari batangnya dihasilkan kayu untuk berbagai keperluan. Menebang pohon
untuk kayunya berarti menghentikan penggunaan hasil-hasil lain dari pohon
tersebut. Makin lama pohon itu, makin keras kayunya dan dengan demikian
menghasilkan kayu yang bagus. Pada umumnya orang Rote menebang pohon yang sudah
tua untuk kayunya. Dan biasanya pohon yang tua yang tua itu juga pohon yang
tertinggi sehingga sulit untuk memanjat. Menebang pohon yang masih muda, sangat
tidak bijaksana, karena bahkan pohon-pohon
yang tidak menghasilkan nirapun, masih dapat diambil daun-daunnya. Dalam
keadaan terpaksa, pohon yang tidak menghasilkan nira harus ditebang lebih
dahulu. Kayu pohon lontar jantan lebih diutamakan karena dikatakan lebih keras,
lebih tua warnanya dan lebih baik mutunya. Sebaliknya, pohon lontar betina,
lebih banyak menghasilkan nira, namun lebih sulit penyadapannya karena
mayangnya lebih keras dan susah diremas (Rote = digepe) agar mengalir niranya.
Di samping itu jarak juga merupakan suatu masalah. Mereka lebih suka
menyadap/mengiris pohon-pohon yang saling berdekatan, sehingga sebatang pohon
yang tumbuh terpisah dari pohon yang lain, kemungkinan akan ditebang lebih
dahulu. Dengan demikian, yang ditebang lebih dahulu adalah pohon yang tua, yang
tidak menghasilkan nira, pohon jantan, dan pohon yang terpisah dari pohon-pohon
lainnya. Peraturan kebudayaan tertentu,
mempengaruhi penebangan pohon lontar. Bila seseorang meninggal karena
jatuh dari pohon tersebut harus ditebang dan batangnya dibuat peti mati untuk
penguburannya. Karena alasan-alasan simbolis, wanita harus dikuburkan dalam
peti mati yang dibuat dari pohon lontar jantan, dan peti mati untuk laki-laki
dibuat dari batang pohon lontar betina. Hampir disebuah daerah di pulau
Rote terdapat kelebihan pohon-pohon yang
tidak disadap. Pohon-pohon yang ditebang untuk kayunya, terutama digunakan
untuk bangunan dan untuk kebutuhan rumah tangga. Produksi kayu di
Pulau Rote belum merupakan suatu industri.
2.
Buahnya. Orang
Rote tidak banyak menggunakan buah lontar. Buah lontar hanya kadang-kadang
digunakan, misalnya dalam penyulingan arak (Rote=Sopi), Orang Rote menggunakan
sabut buah lontar untuk menutup periuk pemasakan agar memberikan rasa manis
yang lesat pada arak/sopi tersebut. Namun kebanyakan buah lontar hanya
dibiarkan jatuh dan busuk di tanah. Kadang-kadang buah yang jatuh itu dimakan
babi, tetapi tidak ada usaha untuk menggunakan buah lontar sebagai makanan babi. Karena belum ada
desakan untuk menanam biji lontar masih dianggap aneh, dengan demikian tidak
ada pasaran untuk buah lontar. Dari segi perbandingan, mengingat banyaknya
kemungkinan untuk memanfaatkan buah lontar, orang Rote telah mengabaikan salah
satu hal yang sangat penting dari pohon lontar.
3.
Tangkai
daunnya. Tiap pohon lontar dimahkotai oleh 30 sampai 40 tangkai
daun, yang masing-masing mempunyai daun lebar yang menyerupai kipas. Sebuah tangkai bisa tumbuh sepasang 1,5 meter, dan sehelai daun dapat
berkembang seluas hampir satu meter dengan kira-kira 60 lipatan dalam kipasnya.
Setiap pohon rata-rata mempunyai 40
daun. Karena pohon palem (Rote=tua/tuak) tumbuh pada ujungnya, daun-daun yang
tumbuh dengan teratur itu merupakan petunjuk pertumbuhan. Daun-daun itu
terbuka, tumbuh menjadi besar, kuning dan akhirnya jatuh, meninggalkan bekas
yang melingkari batang pohon lontar. Pergantian daun
itu terjadi dengan teratur dan pada waktu-waktu tertentu. Menurut pengamatan
yang telah dilakukan, pohon lontar menghasilkan 12 sampai 14 daun setiap
tahun, dan setiap daun hidup selama tiga samapai empat tahun. Namun,
pemangkasan daun lontar mempengaruhi tumbuhnya daun-daun, dan sebenarnya
mempengaruhi tumbuhnya seluruh pohon serta produksi niranya. Hal ini menimbulkan masalah yang tampaknya tidak berarti, tapi sangat
penting dalam penyadapan palem/tua/tuak. Pemangkasan yang sembarangan, dapat
merusak pohon atau menghenghentikan kemampuan untuk menghasilkan nira. Karena
alasan-alasan yang belum diketahui seluruhnya, kemampuan menghasilkan dari
suatu pohon dan jumlah nira yang dihasilkan pohon tersebut tergantung cara
pemangkasannya. Saya (Fox), tidak pernah mendengar orang Rote menyatakan
sesuatu yang mengaitkan pemangkasan dengan hasil nira. Namun menurut keterangan
yang diketahui mengenai palem Borassus, cara memangkas pohon lontar yang asli
bertujuan untuk memperbanyak hasil nira. Pohon-pohon itu selalu dipangkas
beberapa daun-daunnya sebelum disadap (Rote=diiris) tetapi tidak dihabiskan.
Yang lebih penting adalah membersihkan daun-daun yang tua yang bagi orang Rote
lebih berguna daripada daun-daun yang muda. Daun lontar terdiri dari tangkai
yang keras berserabut, dan daun lebar yang berbentuk kipas. Hasil dari
masing-masing bagian harus kita tinjau sendiri. Tangkai daun (tua-beba) dapat
dijalin dan merupakan bahan untuk pagar yang sangat bagus, dapat dijadikan
dinding pemisah dalam rumah, atau diambil seratnya dan dibuat tali, kekang
kendali kuda dan bermacam-macam hasil lainnya. Namun, hal ini tidak dilakukan,
karena di Pulau Rote terdapat dua jenis palem yaitu pohon gewang/gebang dan
lontar yang sama banyaknya. Tangkai daun gewang/gebang (tula-beba), lebih keras, dan lebih tahan
lama dibandingkan dengan tangkai daun
lontar. Untuk segala kebutuhan yang memerlukan tangkai daun (kecuali untuk
bahan bakar murah) orang Rote menggunakan tangkai tangkai daun gewang, karena
lebih unggul mutunya dan dengan demikian mengurangi kebutuhan untuk memangkas
daun lontar, hanya khusus untuk daunnya. Dan dengan demikian
melindungi pohon lontar guna penyadapannya.
4.
Daunnya. Bentuk tangkai daun gewang dan
lontar hampir sama; tetapi daunnya berbeda. Daun lontar menyerupai kipas yang
lebar dan utuh; sedang daun gewang juga menyerupai kipas tetapi ujung-ujungnya
yang panjang mencuat keluar seperti tombak. Dalam beberapa hal, daun gewang
lebih cocok; lapis-lapis daunnya lebih kuat, tahan lama dan dapat dianyam
menjadi berbagai macam bentuk. Lapisan daun sebelah dalam, yang tipis dan kuat
dipergunakan sebagai benang pengikat pola-pola tenun (Rote = heknak) dalam proses ikat- dan-celup;
dan juga ditetnun menjadi kain kasar (lapik)
yang dipakai untuk bekerja di ladang. Daun gewang dapat dipisahkan ke
dalam lapis-lapis, tetapi tidak menjadi kering dan lemas, dan tidak dapat
dipisahkan menjadi pita-pita, atau diserut tipis seperti daun lontar. Daun yang
menyerupai kipas itu tidak dapat dipisah-pisahkan, sehingga kurang cocok untuk
membuat haik (wadah penampng nira, air, atau benda cair lainnya yang bentuknya
seperti ember terbuka). Untuk haik dan berbagai keranjang, topi (ti’ilangga),
dan kertas rokok, lebih banyak digunakan daun lontar.
5.
Lidi daun lontar juga digunakan untuk
bermacam-macam keperluan: untuk mengikat dan menguntai barang-barang, dianyam
untuk membuat tempat daging. Dan akhirnya, daun lontar yang lebar itu dipakai
untuk atap rumah. Daun-daun lontar yang sudah tidak terpakai – sisa dari musim
pemangkasan, bakul-bakul tua, bekas atap rumah – dibakar untuk penyubur
pekarangan. Dengan demikian, walaupun pohon gewang mengurangi kebutuhan untuk
memengkas pohon lontar, namun tidak sama sekali menghindarkan pemangkasan.
Kedua jenis pohon itu mempunyai kegunaan yang sama. Pemanfaatan kedua jenis
palem ini, terutama daun-daunnya, merupakan ciri khas perekonomian palem orang
Rote.
Nira dari mayang Lontar.
Nira adalah, cairan yang manis
rasanya, hasil sedapan/irisan dari buah/mayang pohon lontar, sebagai minuman
segar dan banyak mengandung vitamin dan mineral untuk kesehatan tubuh manusia. Dari nira ini dapat diproduksi lebih lanjut, dengan cara memasaknya, akan
menghasilkan gula cair/situp, (Rote = tua nasu) maupun gula padat yang disebut
gula lempeng.
Selain itu, nira
yang telah difermentasi dengan berbagai ramuan tradisional akan mengasilkan
minuman berakohol rendah yang disebut “Laru” diminum untuk memperkuat otot. Dan
dari “Laru” ini kemudian disuling, akan menghasilkan minuman berakohol tinggi,
jika di sulut api akan menyala yang disebut “Sopi” yang dijadikan sebagai
minuman adat. Fisiologi peredaran nira lontar itu
masih belum diketahui. Pada pohon palem (baca -
pohon lontar), cadangan tepung berubah menjadi gula dan dialirkan ke
atas sampai ke ujungnya. Pada pohon lontar, ujung itu dipecahkan melalui mayangnya.
Dengan menghancurkan jaringan-jaringan
pembuluh yang berserat pada mayang tersebut, mereka mengalirkan nira manis.
Menurut keterangan dari para penyadap Borassus
di seluruh Asia, sebagian dari daun-daun harus dibiarkan pada pohon-pohon yang
disadap/diiris. Pemangkasan daun yang terbatas, mempercepat aliran nira, namun
pemangkasan seluruhnya akan membawa akibat sebaliknya.
(Penulis : ***Menurut logika, semakin banyak daun lontar yang berarti lebih banyak
menyerap panas dari sinar matahari, maka semakin kuat aktivitasnya menarik
cairan termasuk nira yang dialirkan dari
akar naik keujung pohon, sebaliknya dengan daun yang sedikit/terbatas, kurang
pula kekuatannya menarik cairan naik ke
atas puncak pohon termasuk niranya***). Nira yang dihasilkan sebatang pohon
lontar itu sangat banyak Sebatang pohon dengan lima mayang, menurut perhitungan
saya (Fox), menghasilkan kira-kira 6,7 liter nira tiap hari atau 47 liter seminggu, sedangkan pohon
dengan satu mayang masih menghasilkan 2,25
liter nira sehari atau lebih dari 15 liter seminggu. Jika sebatang
pohon hanya menghasilkan nira selama
sebulan, masih menghasilkan 200 liter
nira atau – dengan tingkat perubahan 15
persen – lebih dari 30 liter
sirup (Rote = tua nasu/gula air). Sekurang-kurangnya,
sebatang pohon dengan satu mayang yang produktif, menghasilkan 67,5 liter nira dalam sebulan atau
kira-kira 10 liter sirup.
Mengingat bahwa
seorang Rote sanggup menyadap sebanyak 20
– 25 pohon, dengan ketrampilan itu, sudah pasti menghasilkan selama dua
bulan atau lebih, perhitungan yang sederhana pun akan dapat membuktikan
kemampuan produksi yang besar dari pohon-pohon lontar tersebut. Namun dalam
kenyataan, orang Rote hanya menyadap pohon-pohon lontar itu untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Karena setiap rumah
tangga menghasilkan kebutuhan masing-masing, maka pasaran bagi sirup dan gula
tersebut sangat terbatas, sehingga tidak ada usaha untuk mengambil hasil
seluruhnya dari pohon-pohon lontar di
pulau itu. Penyadapan pada waktu
pohon-pohon itu berbunga untuk pertama kali, dan penyadapan secara intensif
selama enam minggu sampai dua bulan setelah bunga yang kedua sudah memadai
kebutuhan untuk setahun. Setiap orang akan menyadap paling banyak 10 sampai 15 pohon selama musim penyadapan/iris, walaupun pohon-pohon itu
bukan miliknya dan harus membagi hasil penyadapan dengan pemilik pohon-pohon
tersebut, ia masih akan memperoleh hasil yang cukup, baik untuk keluarganya dan
maupun untuk hewan-hewan piliharaannya, terutama babi.
Adanya kelebihan
itu merupakan suatu keuntungan- terutama bagi mereka yang hanya mempunyai
beberapa pohon – dapat menyadap
pohon-pohon orang lain yang mempunyai sejumlah besar pohon-pohon lontar.
Kelompok pohon-pohon yang sangat produktif merupakan patokan pertama bagi
penyadap yang efisien dan intensif.
Dari sudut
pandangan seorang penyadap, efisiensi
tidak ada hubungannya dengan hasil yang maksimal. Suatu kelompok yang
bagus terdiri dari 10 sampai 20 pohon dan seharusnya lebih banyak
dari pohon-pohon yang disadap pada suatu saat. (Hal ini disebabkan karena tidak
semua pohon itu berbunga pada waktu yang sama. Dengan demikian, apabila hasil beberapa pohon
mulai menurun, yang lain mulai berbunga, seorang penyadap mempunyai kesempatan
untuk berpindah ke pohon lain. Ketinggian pohon tersebut juga merupakan suatu
faktor penting. Makin tinggi pohon itu makin sulit dan makin bahaya untuk
dipanjat.
Oleh karena itu
lebih diutamakan pohon-pohon yang muda dan lebih pendek, lagi pula kumpulan
pohon itu harus dapat disadap/diiris untuk beberapa tahun. Suatu faktor penting
yang lain adalah letak pohon-pohon itu dalam hubungannya dengan tempat
pemasakan.
Pada puncak musim
penyadapan, nira yang dikumpulkan harus dimasak dengan segera. Jarak yang jauh
merupakan suatu hal yang tidak menguntungkan, karena proses perubahan menjadi
gula mulai dan nira itu cepat menjadi asam.
Dalam masa itu,
pemasakan adalah suatu kesibukan yang tidak dapat ditunda, dan harus dilakukan
pada pagi hari sampai jauh malam. Walaupun pemasakan itu pada umumnya dilakukan
di rumah penyadap, tapi mungkin juga dibuat tungku-tungku di dekat pohon-pohon
tersebut. Dengan singkat, keadaan yang paling baik adalah
kumpulan pohon lontar yang muda di dekat rumah sehingga hasilnya dapat
segera dimasak
ak.
Cara-Cara Penyadapan
Lontar di Pulau Rote
Menurut James J.Fox (Panen Lontar, l996, hal.281) terdapat tujuh alat sederahana yang dipakai dalam penyadapan lontar (ledi/ladi) :
1.
Kakabik, yaitu suatu jepitan kayu,
panjangnya kira-kira satu meter, salah satu ujungnya diikat dan merupakan suatu
alat peremas mayang lontar gunanya untuk melonggarkan pori-pori mayang sehingga
memberi jalan bagi nira mengalir keluar. Sedang kalau mayang pohon enau umumnya
dengan cara memukul-mukul mayangnya dengan sebatang kayu untuk melonggarkan
pori-pori mayang tersebut. Proses pengerjaannya; mula-mula penyadap memilih
beberapa mayang yang akan disadapnya. Biasanya setiap tangkai terdapat tiga
mayang atau lebih kemudian diikat rapat dengan lidi daun lontar dijadikan satu.
Setelah itu mayang-mayang tersebut dijepit-jepit dengan kakabik (terbuat dari
kayu) tersebut mulai dari pangkal hingga keunjungnya beberapa kali, yang
menyebabkan pori-pori mayang menjadi terbuka. Pekerjaan ini diulang lagi
setelah selang beberapa hari kemudian. Setelah itu ujung mayang diiris/sisayat
dengan sebuah pisau khusus penyadapan untuk mengalirkan nira keluar dari
mayangnya. Apabila tidak diiris/disayat, maka ujung mayang yang telah diiris
sebelumnya akan mengering dan hal ini akan menutup pori-pori mayang, sehingga
air nira tidak dapat mengalir keluar. Jika dalam beberapa hari mayang lontar
ini tidak diiris, maka untuk selanjutnya air nira akan keluar lagi.
2.
Bobokik/boboik, adalah tempat air
sederhana, dibuat dari tempurung kelapa dengan sebuah lubang yang disisipi pipa
panjang dari batang bambu.
Bobokik/boboik adalah wadah menampung air untuk membersihkan haik (wadah dari
daun lontar) penampung nira.
3.
Kikik, adalah suatu alat pendek yang menyerupai sapu/kuas, dibuat dari ujung
tangkai/pelepah daun lontar yang telah dipukul-pukul sehingga tinggal serabutnya.
Kikik ini mirip sebuah kuwas cat tembok untuk membersihkan /mencuci haik
penadah nira dengan air yang dibawa didalam bobokik/boboik tadi. Tujuan mencuci
haik adalah supaya nira tidak cepat menjadi asam.
4.
Haik, ada tiga macam haik :
yaitu seperti timba yang dibuat dari daun lontar yang ditekuk dan diberi
pegangan dari kayu, dan dipakai dalam penyadapan. Yang terkecil adalah hai/haik
seseluk (pegangannya dari lili daun lontar)
yang digantung di pohon untuk menampung nira. Selalu terdapat sepasang haik
seseluk di setiap mayang. Haik kedua adalah haik kuneuk, yang dibawa oleh
pemanjat ke puncak pohon lontar untuk mengumpulkan nira dari beberapa haik
seseluk; dan haik ketiga adalah haik sasalik tempat menuang semua nira yang
diturunkan.
5.
Kapisak, adalah keranjang kecil dari daun
lontar, untuk menompang haik seseluk yang tergantung di pucuk pohon. Kegunaan
lainnya adalah untuk menghindari debu/air hujan masuk ke nira, dan tidak
memberi kesempatan kepada burung-burung meminum nira, juga menghindari lebah masuk
kedalam nira. Saat ini para penyadap juga telah membungkus kapisak tersebut
dengan bekas-bekas kantong/karung beras, sehingga lebih aman dari kapisak yang
disebutkan diatas.
6.
Kakaik, adalah alat yang
terbuat dari tanduk kerbau yang dibentuk sedemikian rupa yang mempunyai dua
buah kaitan; kaitan pertama agak lebar dan sedikit panjang yang disematkan pada
ikat pinggang penyadap, dan kaitan kedua untuk menggantung kakabik, bobokik,
haik dan kikik, saat memanjat pohon lontar untuk mengambil niranya.
7.
Dope, adalah pisau kecil agak tipis, yang mudah dipakai dan sangat tajam. Suatu
dope-tuak, tidak dapat dipergunakan
untuk keperluan lain. Pisau itu harus tajam sekali dan biasanya diasah setiap
pagi.
Dalam memilih pohon, penyadap
memilih pohon jantan yang mayangnya sudah berkembang sepenuhnya ( tua nggi
nanda), semua tunas-tunasnya yang bercabang sudah tumbuh (basa-basa nggi pule-na kalua nala deak) dan
bunga-bunga kecil mulai tumbuh satu persatu (nggipule-na nabuna kikisa).Lontar
betina harus dipilih sebelum tumbuh buah pada mayangnya; orang Rote berkeras
mengatakan, jika buahnya sudah mulai tumbuh, pohon itu tidak mungkin disadap
lagi. Demikian juga, diperlukan lebih banyak tenaga untuk menghancurkan dan
meremas (Rote = gepe tuak) mayang betina. Oleh karena itu mereka cenderung
menyadap lontar jantan, walaupun dikatakan bahwa lontar betina menghasilkan
lebih banyak nira.
Persiapan penyadapan
Persiapan pohon dilakukan
dalam beberapa tahap.
Pertama-tama pohon itu
disiapkan untuk dipanjat. Cara-cara persiapan itu berbeda disetiap daerah di
pulau Rote.
Dibagian barat dan tengah Pulau Rote, pohon-pohon itu ditakik batangnya
(pengganti fungsi tangga) untuk memudahkan pemanjatan. Kemudian penyadap
memanjat pohon dan membersihkan puncak pohon, memangkas daun-daun yang
rusak/sudah tua/patah, membersihkan duri-duri
dari tepi tangkai daun. Pada setiap mayang yang
akan disadap, diikatkan tangkai daun untuk menopangnya. Setelah itu ia
menunggu sampai bunga-bunga tumbuh pada tunas-tunas mayang; jika bunga
bunga-bunga sudah mulai timbul, ia naik
lagi dan memotong tampuk-tampuk yang
mengganggu dan memotong tunas-tunas yang tidak akan disadap. Kemudian ia
menjepit tunas-tunas yang akan disadap dengan kakabiknya untuk melunakkan dengan meremasnya. Hal ini
dikatakan untuk membuka jaringan-jaringan pada ujungnya dan melancarkan aliran
nira (mbule mata-mata namloa de oe-na
nakonda).
Mayang-mayang itu dibiarkan selama dua tiga hari kemudian diremas lagi.
Pemerasan yang kedua itu disebut na-male
tua; “melembutkan (atau melemahkan ) lontar”. Setelah dilembutkan untuk terakhir
kali, semua tunas pada mayang itu diikat menjadi satu lalu dibiarkan selama
satu atau dua hari..
Tahap berikutnya disebut dulun: “mengikat dengan teratur”. Ikatan yang
menyatukan tunas-tunas itu dibuka kemudian diikat lagi, biasanya dua tunas
dalam satu ikatan; kelopak mayang itu dipotong atau dilengkungkan sehingga
semua tunas-tunasnya terkulai ke bawah. Tahap ini dilukiskan sebagai basa basa
tua nggi mbule-na lakabubua nakabali nana atu dua-duak-ka : “semua tunas-tunas
pada mayang lontar dikumpulkan bersama seolah-olah diatur dua-dua”. Mayang-mayang terkulai dengan tunas-tunasnya yang diikat
berpasangan itu kini siap untuk disadap; ujung setiap tunas itu dipotong/diiris
tipis-tipis, sekali atau dua kali agar mulai mengalirkan nira.
Setiap pemanjatan, tunas-tunas
tersebut dipotong/diiris lagi agar nira tetap mengalir. Salah satu keahlian
dalam menyadap, ialah dapat memotong tunas, atau mayang pada lontar betina,
sedemikian tipisnya sehingga nira tetap mengalir. Makin tipis potongan
itu, makin lama pohon lontar menghasilkan. Aliran nira itu baru berakhir jika
tunas atau mayang tersebut telah dipotong sampai ke dasarnya. Orang Rote menyadap lontar dua kali sehari, pada pagi hari dan soreh hari.
Penyadap memanjat pohon membawa pisau kecil (dope), tempat air (boboik/bobokik),
sikat/pembersih haik (kikik), dan
timba daun (haik) yang sedang. Sampai di puncak pohon, ia menuang nira dari haik-haik
kecil yang tergantung di pohon, kedalam haik yang lebih besar dibawanya. Kemudian membersihkan haik-haik kecil itu dengan air dari
bobokik/boboik dan menyikat bagian
dalam dari haik-haik kecil itu dengan kikiknya
(serupa dengan kwas tembok).
Pada setiap pasang tunas yang
menghasilkan nira tergantung dua haik, yang dipakai secara bergantian sementara
haik yang lain belum kering. Orang Rote mengatakan
bahwa hal itu untuk mencegah agar nira tersebut tidak menjadi asam.
Dibandingkan dengan yang lain, hal ini
merupakan suatu ciri yang penting dalam penyadapan orang Rote. Dengan
menggunakan dua haik, satu diantaranya dibersihkan dan dibiarkan kering, orang
Rote telah mengembangkan cara mereka
sendiri untuk memperlambat proses
fermentasi yang mengakibatkan rasa nira tidak enak (asam). Di puncak setiap pohon lontar terdapat kira-kira lebih dari lima mayang yang menghasilkan nira,
masing-masing dengan dua haik dan satu
keranjang lontar (kapisak) untuk
melindungi haik yang menampung nira.
Setelah haik-haik penampung dikosongkan,
penyadap itu membersihkan dan setelah bersih menggantungnya pada pelepah
daun lontar dan menggantinya dengan haik yang
bersih, lalu memotong ujung-ujung
tunas-tunas atau mayang, lalu turun dan menuang nira yang dikumpulkan kedalam
haik besar (hai sasalik), kemudian memanjat pohon lain.
Demikian seterusnya sampai selesai
memanjat semua pohon-pohonnya, kemudian membawa nira yang telah dikumpulkan ke
rumah untuk dimasak. Menurut perhitungan
orang Rote, semua pohon lontar, pada malam hari menghasilkan nira sebanyak dua
kali lipat dari hasil siang hari. Nira yang dikumpulkan pada pagi hari dua kali lipat nira yang dikumpulkan pada soreh hari. Dengan memanjat sekali sehari, tidak
diperoleh dua pertiga hasil dengan pengurangan setengah tenaga kerja. Panas matahari akan
menyebabkan nira yang terkumpul menjadi
asam. Suatu hal
yang sangat penting dengan penyadapan
orang Rote – dan sebenarnya penyadapan yang lain – adalah untuk mencegah
agar nira tidak menjadi asam.
Penyadapan sekali sehari hanya
menghasilkan nira yang mutunya rendah dan asam. Bagi orang Rote,
penyadapan dua kali sehari (pagi dan soreh hari) itu
merupakan suatu penyadapan yang intensif. Di dalam cerita-cerita rakyat,
hal itu dianggap suatu langkah yang besar
dalam perkembangan perekonomian lontar mereka. Penyadapan lontar itu hanya dilakukan pada musim kemarau.
Karena di Pulau Rote, musim kemarau
meliputi sembilan bulan dalam setahun, maka terdapat dua masa penyadapan yang berbeda selama musim
kemarau. Bagi
orang Rote, terdapat dua musim dalam setahun. Musim kemarau (fai hanas), yang dihubungkan
dengan angin timur (ani timu) dan musim hujan (oe
fak) yang dihubungkan dengan angin barat (ani mulis). Di dalam kenyataan, angin itu berubah-ubah dan pembagian dua musim hujan itu
sesungguhnya bukan pembagian yang teratur.
Musim angin barat mulai pada bulan Desember, dengan hujan yang turun sekali-sekali, dan dan mulai
reda pada bulan Maret. Bulan April tidak dapat dipastikan; pada
bulan ini taufan tropis kadang-kadang menyerang dari timur laut. Menjelang bulan Mei angin angin
timur mulai berhembus, makin kencang dan bulan Juli menjadi angin ribut yang
kering dan kuat. Dalam bulan Agustus mulai reda, Oktober
dan terutama November adalah
bulan-bulan tenang, dan tidak berangin yang diikuti musim hujan. Mulai dari pertengahan bulan Maret,
dapat dianggap musin kemarau, yang terus berlangsung sampai bulan Desember. Sudah jelas bahwa penyadapan lontar sesuai dengan angin musim. Namun khususnya sesuai dengan waktu mayang-mayang lontar berbunga. Kedua masa penyadapan itu adalah tua
timu dan tua fanuk (atau hanya fanuk). Tua timu adalah penyadapan pada awal musim angin timur, dan tua fanuk adalah masa penyadapan
setelah angin timur mulai reda.
Keduanya bersangkutan dengan masa
dalam setiap tahun ketika mayang-mayang
lontar berbunga. Penelitian-penelitian mengenai pohon lontar di
Indonesia mengenal dua masa berbunga ini, dan di samping itu juga mengemukakan
bahwa selama musin angin timur,
mayang-mayang pohon itu tumbuh sepenuhnya. Oleh karena itu hasil selama fanuk jauh lebih besar dari hasil masa tua timu. Antara
pertengahan Maret dan pertengahan April para penyadap mempersiapkan
pohon-pohonnya. Akhir April biasanya
mulai masa tua timu, dan penyadapan berlangsung terus sampai bulan Mei dan Juni. Hampir
semua pekerjaan pada masa penyadapan ini
dilakukan oleh laki-laki. Hampir semua nira yang dikumpulkan segera diminum; dan hanya sedikit sekali yang dibuat sirup/gula air, dan sebagian
besar dijadikan gula (tua batu/gula lempeng), dan di jual. Sekarang ini dibuat juga gula semut di Rote bagian Barat. Bagi mereka yang
memiliki kerbau, dari susunya dibuat susu goreng yang dicampur dengan
gula, sudah menjadi produk yang dijual
untuk umum di Rote sebagai makanan khas Rote.
Pada bulan Juli dan awal Agustus,
penyadapan berkurang dan angin timur makin kencang. Mereka mengatakan bahwa
jika haik-haik di atas pohon itu tergoyang-goyang karena angin, maka nira cepat
menjadi asam. Dan
demikian pula, adanya angin tersebut menyulitkan pemanjatan. Selanjutnya, karena
panen, maka banyak persediaan makanan.
Penangkapan ikan banyak membawa hasil
dan kawanan ternak sedang
gemuk-gemuknya karena makan rumput pada awal musim kemarau dan di lepas
diladang-ladang selesai panen. Bulan-bulan tersebut adalah masa berpesta pora. Masa tersebut merupakan pula masa
pembangunan utama, misalnya pembangunan rumah dan pagar batu sekitar
ladang. Terutama Thie dan Dengka, banyak pekerja-pekerja yang pergi ke Rote
bagian timur untuk melakukan pekerjaan pembangunan tersebut, terutama di
Termanu. Oleh
karena itu para penyadap mengurangi atau menghentikan penyadapannya..
Penyadapan dengan sungguh-sungguh mulai
lagi pada akhir Agustus atau awal
September. Masa fanuk ini meliputi bulan September dan Oktober
dan dapat diperpanjang sampai bulan Nopember.
Orang Rote menganggap masa ini sebagai suatu kemajuan sampai mencapai suatu
puncak, kemudian menurun dengan perlahan-lahan.
Masa awal ini
disebut fanu mbedak; masa yang intensif disebut fanu nambesak; dan masa mulai menurun
disebut fanu loe-na. Proses pemasakan sangat penting, pekerjaan kaum
wanita tidak henti-hentinya. Api harus tetap menyala, priuk-priuk yang mendidih
harus tetap dijaga, karena sirup/gula air yang mulai mendidih dapat meluap
dengan tiba-tiba. Busanya harus terus diambil dengan
sendok dan di kumpulkan untuk makanan babi. Pemasak harus siap dengan dodombok (tangkai atau ranting, atau
sepotong kelapa kering diujung ranting (sendok dari tempurung kelapa) untuk
segera dimasukkan kedalam priuk yang sedang mendidih sambil mengaduk-aduk jika
akan meluap. Apabila tidak diaduk-aduk maka luapan gula itu akan tumpah keluar
dari periuknya. Masa fanuk yang intensif itu
dilukiskan sebagai-lao-la balanggeo
: “tungku-tungku pemasak menjadi hitam”. Hujam pertama-tama yang
menandai berakhirnya fanuk disebut uda poliafuk : “hujan yang meredam
abu”. Hujan-hujan itu mengakhiri musin penyadapan, dan sirup yang sudah dimasak
disimpan di dalam periuk-periuk dan guci-guci di dalam rumah. (James J.Fox, l996, hal.281-287)
Lontar
‘Pohon Kehidupan’ Orang Rote
“ No Eating People---Live No eating”(Suatu julukan bagi kehidupan orang Rote).
“LONTAR”
POHON KEHIDUPAN ORANG ROTE”
Pandangan Hidup
Nama lain dari
pulau Rote adalah “Nusa Lontar,” karena terdapat banyak
sekali tumbuh pohon lontar dimana-mana di pulau ini. Pohon Lontar (Borassus
Sundaicus) dan keberadaannya telah menjadi pohon kehidupan bagi orang Rote. Hingga kini terdapat suatu
motto masyarakat Rote yang berbunyi : “ Tua pilas suu o’e makek (Tua Mbilas, susu O’e Makek). ”Motto ini menunjukkan betapa dalam,
kasih sayang setiap orang tua orang Rote terhadap anak-anaknya, sejak
dilahirkan sampai mereka dewasa dan berdiri sendiri.
Tua pilas adalah gula air (gula rote) yang dibuat dari Nira
pohon lontar dan ini merupakan simbul atau “lambang kasih sayang ayah” terhadap
anak-anaknya.. Sedangkan Su’u O’e adalah air susu ibu (Asi) yang
juga merupakan simbul atau lambang kasih
sayang ibu terhadap anak-anaknya. Makek artinya manis. Tua pilas su’u o’e
makek berarti
kasih
(sang) ayah dan (sang) ibu, manis adanya.
Filsafah atau
pandangan hidup orang Rote mengatakan :
Gula air yang diteteskan
kedalam mulut bayi yang baru lahir, karena pokok (utama) yang akan
mendampinginya selama hidup. Ini merupakan pengenalan pertama sang bayi
terhadap gula. Maksud yang lebih dalam lagi ialah, agar sebentar kalau sang ibu
tidak mempunyai atau kekurangan air susu atau kalau sang ibu meninggal sewaktu
melahirkan, maka gula air adalah penggantinya. Bayi tersebut sudah harus dapat
hidup tanpa air susu ibu. Pengenalan
pertama itu juga merupakan penyesuaian terhadap lingkungan barunya yaitu
terhadap dunia dan sumber hidupnya (gula atau air susu ibu).
Sesudah sang bayi disapih
(berhenti menyusu), maka pengganti air susu ibu adalah “gula air” tadi.(Mosaik
Pariwisata NTT, l987, hal.9-10)
Pulau Rote, Kepada Lontar
Mereka Berpasrah
Soreh itu warga Desa Oloamea, Kecamatan Lobolain, Kabupaten
Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), sedang menyadap nira. Beberapa saat
Fredik sudah berada di puncak.. Di atas puncak pohon lontar (Borassus
sundaicus) Fredik
mengganti haik koneuk yang telah dipenuhi nira dengan haik kosong. Haik yang telah penuh itu dipasang pada pagi sehari sebelumnya dan haik kosong yang dipasang soreh itu akan diambil pada pagi
hari keesokan harinya. Nira yang didapat
kemudian dibawa turun. Disodorkannya haik tempat minum yang diisi penuh air nira tersebut kepada Kompas, yang menyambangi
kampung tersebut didampingi pemerhati
budaya Rote, Henukh Panie. Kesegaran air nira yang didapat langsung dari
haik memang tiada duanya,
seperti mendapatkan oase di tengah Pulau Rote yang panas dan tandus. Rasa manis
dan asam jadi satu.
“Welcome drink”
itu selalu diberikan warga Rote setiap
kali melihat orang asing
menyaksikan mereka menderes nira.
Ramah sekali. Nira menjadi bagian tak
terpisahkan dari budaya, perekonomian, dan prilaku orang-orang Rote. Nira hampir
menjadi makanan pokok sebagian
warga. Mereka pada pagi hari minum nira, siang makan nasi, dan soreh minum nira
lagi. “Nira juga
bisa menyembuhkan
sakit maag”. Coba perhatikan, orang-orang Rote pasti tidak
mengenal sakit maag, kata Lukas Fangge (25) , adik Fredik. Air nira kemudian dibawa menuju dapur untuk
diproses menjadi gula air atau tuak nasu. Bentuk gula air masih cair
dengan warna kuning kecoklatan , bauhnya khas
seperti madu.
Cairan ini bisa langsung
digunakan sebagai pemanis. Selain dijadikan gula air, beberapa desa
mengembangkan nira menjadi gula lempeng
dan gula semut. Setiap
pembuatan produk menuntut perlakuan
berbeda pula. “Saya khusus membuat gula lempeng,” kata Marselinan Pandie Haning
(36), istri Imanuel (40) warga Oehandi, Kecamatan Rote Barat Daya, yang dikenal
sebaga daerah bekas kerajaan Thie. Hari
itu Marselina merebus nira enam periuk dari hasil ladi tuak (mengiris lontar) 10 pohon lontar. Dalam sehari
penghasilan pembuat gula air maupun gula lempeng berkisar Rp.25.000, hingga
Rp.50.000,- bergantung dari banyaknya
pohon lontar yang diiris. Rata-rata
warga memiliki 15 pohon lontar
yang diiris pada pagi dan soreh hari. Daerah Thie dikenal penghasil gula
lempeng terbesar di NTT. Pedagang pengumpul, Yusak Nawa (49), mengatakan, tiap
pekan bisa mengumpulkan 15.000 gula lempeng. Gula tersebut langsung dibawa ke
Kupang. “Saya beli dari warga Rp.1.000,- per 8 lempeng, selanjutnya saya jual
ke Kupang Rp.4.000 per kilogram,” kata Yusak.
Mingiris
nira
Sepanjang Agustus hingga
Oktober hidup petani Rote sebagian dihabiskan di atas pohon lontar untuk
mengiris nira. Di luar bulan itu petani kembali kesawah atau berkebun. Wajah
Thie seperti daerah lainnya di Rote sekilas seperti tak bermasa depan. Orang
luar begitu memasuki Rote pasti berkerut
dahi membayangkan bagaimana hidup di pulau tandus itu. Tak disangka, lontar telah menopang hidup
warga Rote. Rote menjadi penghasil gula
lempeng dan gula semut terbaik dan terbesar di NTT.
Topi khas Rote,
yaitu Ti’i Langga yang terbuat dari anyaman
daun lontar , juga mengharumkan nama NTT. “Hidup orang Rote
benar-benar ditopang pohon lontar, rumah dari daun lontar,
makan minum dari nira, wadah air dari
daun lontar, musiknya, yaitu “Sasando”,
juga dari daun lontar,” kata Hanokh yang merasa “diantarkan” oleh hasil lontar
menjadi “guru” SMP 3 Rote Tengah. Gula air bisa difermantasi dan disuling
menjadi sopie, yaitu minuman
tradisional berakohol. Sopi
ini bisa disuling lagi menjadi alkohol yang bisa digunakan untuk kepentingan
medis. Orang Rote memang “hebat.” Dengan
luas wilayah 1.280,l0 kilometer persegi dan
jumlah penduduk 106.298 jiwa, seharusnya
Kabupaten Rote Ndao bisa bangkit dari ketertinggalannya. Sejak lepas dari Kabupateen
Kupang, menjadi kabupaten sendiri tahun 2002,
pertumbuhan ekonomi Rote-Ndao pada tahun 2003
sebenarnya tak terlalu buruk, yaitu 4,56
persen. Masalah utama kabupaten ini adalah indeks kemiskinan manusia yang
tinggi mencapai 27,50 persen. Selain itu, 30,80 persen penduduk Rote juga mengahadapi akses sarana
kesehatan tak memadai dan balita kurang gizi mencapai 41,80 persen. Rote sebenarnya memiliki modal, tidak hanya
lontar, tetapi juga memiliki potensi wisata
menarik. Ada pantai indah yang
sulit dicari tandingannya, yaitu “Pantai Nembrala” tempat
terbaik
berselancar. Sayangnya, tidak ada promosi memadai. Dengan promosi yang
baik, diharapkan orang tak hanya mengenal Rote sekadar pulau paling selatan Indonesia
yang nelayannya
sering ditangkap
Australia. Rote sudah layak menjadi mahkota baru dari Timor
karena sesuai dengan “istilah” yang popoler di sana, “TIMOR,” adalah “Tanah Ini Milik
Orang Rote”.(Amir
Sodikin, Kompas, 12-10-2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.