alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 04 Januari 2015

POHON LONTAR, POHON KEHIDUPAN ORANG ROTE

MATA PENCAHARIAN DAN
KETERGANTUNGAN HIDUP 

Pohon  Lontar, Pohon
 Kehidupan Orang Rote Ndao 
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Bagi warga setempat, jenis pohon ini memiliki arti tersendiri. Seperti dianut banyak warga lainnya di NTT, lontar adalah bagian dari kehidupan warga Tuapukan. Katakanlah berbudaya lontar.
Daunnya diandalkan sebagai atap rumah. Juga diandalkan sebagai bahan baku perabot rumah seperti haik (alat penampung air), alat makan, keranjang, atau tikar.  Bahkan daunnya juga menjadi bahan baku utama pembuatan “Sasando”, alat musik tradisional peninggalan monumental leluhur Pulau Rote (Kabupaten Rote Ndao). Pelepahnya untuk kayu pagar atau kayu bakar, juga  untuk membuat tali dari serat pelepah yang kuat dan tahan lama. Mayangnya disadap yang air gulanya diproses menjadi tuak atau gula. Hingga kini masih banyak warga penganut budaya lontar di daerah ini mengandalkan lempengan atau cairan gula yang bersumber dari pohon ini sebagai bahan makanan.  Sementara batangnya menjadi balok untuk pembangunan rumah. Bahkan di waktu dulu, bagian batangnya yang keras diubah menjadi peti mati.


Material (Bahan-bahan Bangunan

Rumah Rote (oema) yang sederhana dalam pengaturan susunan dan pembagian ruangannya, juga dibangun dengan bahan-bahan yang sederhana. Tiang-tiang penompang rumah itu  (dii), dibuat dari kayu besi (bahasa Rote= ai foeliha’a, bah.Ind.= kayu Goepasa); tangganya (heda-hoe’k) dari kayu pohon lontar (toewa’ai), begitu pula lantai dari rumah tinggal (untuk ini tidak ada namanya  dalam bahasa Rote).
Dinding dari rumah bagian atas (papale atau dini) dibuat dari dahan atau pelepah daun gewang  (toela), balok-baloknya (papaoe) dari kayu besi atau dari kayu belahan pohon lontar; lantai loteng dari  belahan pohon pinang (le’a  poea)  atau dari belahan  papan pohon lontar (papa toe’a), kayu kaso (tete= dibag timur; dodoik=dibag barat) dibuat dari belahan pohon lontar (oenoe toea), penutup atap (sinik) dari alang-alang (fi) dari daun lontar (sini toea) atau dari daun gewang (sini toela); bangku duduk di bawah rumah (loanak) dari kayu lontar atau lain jenis kayu.
Untuk pengikat di pergunakan tali gewang atau serat-serat  dari pelepah pohon lontar (tali hehengge’k  atau dari rotan (oe’e)=nama rotan dari luar; Rotan dari Rote = feo).
Bahan-bahan yang terbanyak diperoleh dari pohon lontar, jenis pohon yang mempunyai arti yang sangat penting dan tak dapat dibedakan dengan apapun dalam kehidupan  orang Rote. Faedah pohon lontar ini bagi orang Rote yang sangat besar, ditulis oleh tuan Joh.Hessing, a.l: “Pohon lontar,” (Borassus flabellformus atau pamyrapalm), yang berasal dari Afrika tropis, terdapat sangat banyak di tanah berbatu-batu di Timor (termasuk pulau Rote).
Dari pohon-pohon ini yang sama sekali tidak memerlukan pemeliharaan, hampir semuanya dari akar sampai daunnya dapat di pergunakan dan sangat berguna untuk manusia (khususnya bagi orang Rote). Daunnya yang besar / berbentuk kipas dan sangat kuat, dipergunakan untuk bahan penutup atap rumah (sini ) pembuatan haik (ember) penampung air dan nira (toea),  tikar, topi Rote ( Ti’i langga), tempat sirih-pinang (dae do), sarung parang ( fela ) dan pisau (dope ) kotak padi yang besar (sokal), kapisak, lapaneu, tas, tabung haik sebagai resonator/pemantul suara dari “Sasando” (musik petik tradisional pulau Rote), bakul dan lain-lain.  Tangkai dari daun (bebak ) yang panjangnya  1 s/d 1,5 m, dipergunakan untuk pembuatan pagar dan dari serat-seratnya  yang dibuat tali pelepah yang kuat dan awet.

Balok-balok yang dibelah dari pohon lontar ( mopuk ) itu, di pergunakan  untuk bahan membangun rumah-rumah, jembatan, kandang kuda, kandang kerbau, kandang babi, peti mati pada zaman dahulu, lantai loteng rumah Rote dan lain-lain. Kayu dan kaso yang dibuat dari pohon lontar ini, mengungguli semua jenis kayu dalam hal ke-awetannya, dan bertahan lama terhadap rayap.  Dari  lontar ini, penduduk yang masih sederhana ini, telah memperoleh segala sesuatu yang ia inginkan; tidak heran bahwa penduduk yang masih sangat sederhana itu dan masih animistis (percaya pada benda-benda mati seperti pohon, batu, juga mempunyai jiwa=animisme ketika agama Kristen masuk), dengan segala  respek / ketaatan dan hormatnya mengangkat kepalanya   terhadap pohon palem / lontar ini yang paling megah dan agung dari semua macam palem, menghormati dan mempersembahkannya seakan-akan pohon itu adalah sesuatu makluk dengan kekuatan yang gaib (karangan :Joh.Heesing, Timorbode no.50, hal.109-111). Pohon lontar ini  di anggap juga oleh orang Rote sebagai “seorang  ibu”  yang penuh kasih sayang yang menyediakan air susu bagi anak-anaknya yang baru dilahirkannya.

Catatan Penulis
Penulis juga menulis tentang Arsitektur Tradisional Rumah Rote siap diocetak.

Pohon Lontar Adalah Pohon Kehidupan Orang Rote

Menurut James J. Fox, dalam bukunya “Panen Lontar” (Pustaka Sinar Harapan, Jakaerta, l996, hal.274) berjudul “Kasus Orang Rote : Etnobotani Pohon Lontar” dikutip sebagai berikut : 
Pohon lontar adalah,
Ø  palem yang sangat besar dan,
Ø  berjenis kelamin ganda,
Ø  berbatang tunggal, dan besar pada dasarnya,
Ø  tangkai daunnya tebal,
Ø  tepinya berduri, dan
Ø  daunnya menyerupai kipas.
Ø  Pada ujungnya terdapat mayang bercabang, dengan pelepahnya yang agak berserat.
Ø  Pada mayang lontar jantan, tumbuh tunas-tunas dengan bunga kecil-kecil yang mekar berturut-turut dari puncaknya, kira-kira satu bungan setiap hari;
Ø  pada mayang lontar betina, tumbuh tandan-tandan buah. Buahnya berkulit halus, kehitam-hitaman, terdiri dari tiga biji yang masing-masing terbungkus serabut.
Demikian, dengan beberapa kalimat, suatu gambaran semi teknik mengenai pohon lontar. Tidak mengherankan bahwa perbedaan-perbedaan dalam uraian ini dengan mudah dapat diterjemahkan dalam bahasa Rote. Berikut ini adalah istilah-istilah dalam bahasa Rote :
Ø  Pohon lontar itu sendiri disebut tua; lontar jantan (mayang bunganya panjang) adalah tua mane, lontar betina (buahnya berkulit halus kehitam-hitaman)  tua feto.
Ø  Batang lontar disebut tua-huk; huk adalah “kata bilangan” untuk pohon, tua-huk hitu (tujuh “batang pohon lontar”).
Ø  Tangkai daunnya adalah beba tua atau tua-beba; duri pada tangkai daun adalah nggou.
Ø  Tunas daun muda adalah tua-polok, yang kemudian tumbuh menjadi daun yang menyerupai kipas yaitu sosonga (juga disebut songa-dok atau  sosonga-dok).
Ø  Lidi dari setiap keping daun adalah lidak; demikian pula lidak adalah “kata bilangan” untuk keping daun (sosonga lidak hitu “tujuh keping  daun”), jumlah yang diperlukan untuk membuat suatu keranjang.
Ø  Seluruh mayang, baik jantan maupun betina, termasuk kelopak dan cabangnya (ai), adalah sumak.
Ø  Tampuk terbuka di sekitar tangkai bunga adalah tua-tapis atau tapi-tua.
Ø  Mayang lontar jantan dengan tunas-tunasnya  adalah tua-nggi; dan tunas itu sendiri adalah tua-pule.
Ø  Bunga kecil pada mayang lontar jantan adalah tua-buna; dan bunga-bunga itu tumbuh “satu per satu berganti-ganti” kikisa.
Ø  Buah dari lontar betina adalah saiboa; sabutnya adalah saiboa sesek dan biji-bijinya adalah saiboa dek.

Dapat pula kita tinjau pohon lontar dari segi bahan-bahan yang merupakan hasil utama yaitu batang, buah, daun yang menyerupai kipas dengan bagian-bagiannya, dan nira yang dihasilkan oleh mayangnya.

1.      Batangnya. Dari batangnya dihasilkan kayu untuk berbagai keperluan. Menebang pohon untuk kayunya berarti menghentikan penggunaan hasil-hasil lain dari pohon tersebut. Makin lama pohon itu, makin keras kayunya dan dengan demikian menghasilkan kayu yang bagus. Pada umumnya orang Rote menebang pohon yang sudah tua untuk kayunya. Dan biasanya pohon yang tua yang tua itu juga pohon yang tertinggi sehingga sulit untuk memanjat. Menebang pohon yang masih muda, sangat tidak bijaksana, karena bahkan pohon-pohon  yang tidak menghasilkan nirapun, masih dapat diambil daun-daunnya. Dalam keadaan terpaksa, pohon yang tidak menghasilkan nira harus ditebang lebih dahulu. Kayu pohon lontar jantan lebih diutamakan karena dikatakan lebih keras, lebih tua warnanya dan lebih baik mutunya. Sebaliknya, pohon lontar betina, lebih banyak menghasilkan nira, namun lebih sulit penyadapannya karena mayangnya lebih keras dan susah diremas (Rote = digepe) agar mengalir niranya. Di samping itu jarak juga merupakan suatu masalah. Mereka lebih suka menyadap/mengiris pohon-pohon yang saling berdekatan, sehingga sebatang pohon yang tumbuh terpisah dari pohon yang lain, kemungkinan akan ditebang lebih dahulu. Dengan demikian, yang ditebang lebih dahulu adalah pohon yang tua, yang tidak menghasilkan nira, pohon jantan, dan pohon yang terpisah dari pohon-pohon lainnya. Peraturan kebudayaan tertentu,  mempengaruhi penebangan pohon lontar. Bila seseorang meninggal karena jatuh dari pohon tersebut harus ditebang dan batangnya dibuat peti mati untuk penguburannya. Karena alasan-alasan simbolis, wanita harus dikuburkan dalam peti mati yang dibuat dari pohon lontar jantan, dan peti mati untuk laki-laki dibuat dari batang pohon lontar betina. Hampir disebuah daerah di pulau Rote  terdapat kelebihan pohon-pohon yang tidak disadap. Pohon-pohon yang ditebang untuk kayunya, terutama digunakan untuk bangunan dan untuk kebutuhan rumah tangga. Produksi kayu di Pulau Rote belum merupakan suatu industri.
2.      Buahnya. Orang Rote tidak banyak menggunakan buah lontar. Buah lontar hanya kadang-kadang digunakan, misalnya dalam penyulingan arak (Rote=Sopi), Orang Rote menggunakan sabut buah lontar untuk menutup periuk pemasakan agar memberikan rasa manis yang lesat pada arak/sopi tersebut. Namun kebanyakan buah lontar hanya dibiarkan jatuh dan busuk di tanah. Kadang-kadang buah yang jatuh itu dimakan babi, tetapi tidak ada usaha untuk menggunakan buah lontar  sebagai makanan babi. Karena belum ada desakan untuk menanam biji lontar masih dianggap aneh, dengan demikian tidak ada pasaran untuk buah lontar. Dari segi perbandingan, mengingat banyaknya kemungkinan untuk memanfaatkan buah lontar, orang Rote telah mengabaikan salah satu hal yang sangat penting dari pohon lontar.
3.      Tangkai daunnya. Tiap pohon lontar dimahkotai oleh 30 sampai 40 tangkai daun, yang masing-masing mempunyai daun lebar yang menyerupai kipas.  Sebuah tangkai bisa tumbuh sepasang 1,5 meter, dan sehelai daun dapat berkembang seluas hampir satu meter dengan kira-kira 60 lipatan dalam kipasnya. Setiap pohon rata-rata mempunyai 40 daun. Karena pohon palem (Rote=tua/tuak) tumbuh pada ujungnya, daun-daun yang tumbuh dengan teratur itu merupakan petunjuk pertumbuhan. Daun-daun itu terbuka, tumbuh menjadi besar, kuning dan akhirnya jatuh, meninggalkan bekas yang melingkari batang pohon lontar. Pergantian daun itu terjadi dengan teratur dan pada waktu-waktu tertentu. Menurut pengamatan yang telah dilakukan, pohon lontar menghasilkan 12 sampai 14 daun setiap tahun, dan setiap daun hidup selama tiga samapai empat tahun. Namun, pemangkasan daun lontar mempengaruhi tumbuhnya daun-daun, dan sebenarnya mempengaruhi tumbuhnya seluruh pohon serta produksi niranya. Hal ini menimbulkan masalah yang tampaknya tidak berarti, tapi sangat penting dalam penyadapan palem/tua/tuak. Pemangkasan yang sembarangan, dapat merusak pohon atau menghenghentikan kemampuan untuk menghasilkan nira. Karena alasan-alasan yang belum diketahui seluruhnya, kemampuan menghasilkan dari suatu pohon dan jumlah nira yang dihasilkan pohon tersebut tergantung cara pemangkasannya. Saya (Fox), tidak pernah mendengar orang Rote menyatakan sesuatu yang mengaitkan pemangkasan dengan hasil nira. Namun menurut keterangan yang diketahui mengenai palem Borassus, cara memangkas pohon lontar yang asli bertujuan untuk memperbanyak hasil nira. Pohon-pohon itu selalu dipangkas beberapa daun-daunnya sebelum disadap (Rote=diiris) tetapi tidak dihabiskan. Yang lebih penting adalah membersihkan daun-daun yang tua yang bagi orang Rote lebih berguna daripada daun-daun yang muda. Daun lontar terdiri dari tangkai yang keras berserabut, dan daun lebar yang berbentuk kipas. Hasil dari masing-masing bagian harus kita tinjau sendiri. Tangkai daun (tua-beba) dapat dijalin dan merupakan bahan untuk pagar yang sangat bagus, dapat dijadikan dinding pemisah dalam rumah, atau diambil seratnya dan dibuat tali, kekang kendali kuda dan bermacam-macam hasil lainnya. Namun, hal ini tidak dilakukan, karena di Pulau Rote terdapat dua jenis palem yaitu pohon gewang/gebang dan lontar yang sama banyaknya. Tangkai daun gewang/gebang  (tula-beba), lebih keras, dan lebih tahan lama dibandingkan dengan  tangkai daun lontar. Untuk segala kebutuhan yang memerlukan tangkai daun (kecuali untuk bahan bakar murah) orang Rote menggunakan tangkai tangkai daun gewang, karena lebih unggul mutunya dan dengan demikian mengurangi kebutuhan untuk memangkas daun lontar, hanya khusus untuk daunnya. Dan dengan demikian melindungi pohon lontar guna penyadapannya.
4.      Daunnya. Bentuk tangkai daun gewang dan lontar hampir sama; tetapi daunnya berbeda. Daun lontar menyerupai kipas yang lebar dan utuh; sedang daun gewang juga menyerupai kipas tetapi ujung-ujungnya yang panjang mencuat keluar seperti tombak. Dalam beberapa hal, daun gewang lebih cocok; lapis-lapis daunnya lebih kuat, tahan lama dan dapat dianyam menjadi berbagai macam bentuk. Lapisan daun sebelah dalam, yang tipis dan kuat dipergunakan sebagai benang pengikat pola-pola tenun (Rote = heknak) dalam proses ikat- dan-celup; dan juga ditetnun menjadi kain kasar (lapik)  yang dipakai untuk bekerja di ladang. Daun gewang dapat dipisahkan ke dalam lapis-lapis, tetapi tidak menjadi kering dan lemas, dan tidak dapat dipisahkan menjadi pita-pita, atau diserut tipis seperti daun lontar. Daun yang menyerupai kipas itu tidak dapat dipisah-pisahkan, sehingga kurang cocok untuk membuat haik (wadah penampng nira, air, atau benda cair lainnya yang bentuknya seperti ember terbuka). Untuk haik dan berbagai keranjang, topi (ti’ilangga), dan kertas rokok, lebih banyak digunakan daun lontar.
5.      Lidi daun lontar juga digunakan untuk bermacam-macam keperluan: untuk mengikat dan menguntai barang-barang, dianyam untuk membuat tempat daging. Dan akhirnya, daun lontar yang lebar itu dipakai untuk atap rumah. Daun-daun lontar yang sudah tidak terpakai – sisa dari musim pemangkasan, bakul-bakul tua, bekas atap rumah – dibakar untuk penyubur pekarangan. Dengan demikian, walaupun pohon gewang mengurangi kebutuhan untuk memengkas pohon lontar, namun tidak sama sekali menghindarkan pemangkasan. Kedua jenis pohon itu mempunyai kegunaan yang sama. Pemanfaatan kedua jenis palem ini, terutama daun-daunnya, merupakan ciri khas perekonomian palem orang Rote.

Nira dari mayang Lontar.

Nira adalah, cairan yang manis rasanya, hasil sedapan/irisan dari buah/mayang pohon lontar, sebagai minuman segar dan banyak mengandung vitamin dan mineral untuk kesehatan tubuh manusia. Dari nira ini dapat diproduksi lebih lanjut, dengan cara memasaknya, akan menghasilkan gula cair/situp, (Rote = tua nasu) maupun gula padat yang disebut gula lempeng.

Selain itu, nira yang telah difermentasi dengan berbagai ramuan tradisional akan mengasilkan minuman berakohol rendah yang disebut “Laru” diminum untuk memperkuat otot. Dan dari “Laru” ini kemudian disuling, akan menghasilkan minuman berakohol tinggi, jika di sulut api akan menyala yang disebut “Sopi” yang dijadikan sebagai minuman adat. Fisiologi peredaran nira lontar itu masih belum diketahui. Pada pohon palem (baca -  pohon lontar), cadangan tepung berubah menjadi gula dan dialirkan ke atas sampai ke ujungnya. Pada pohon lontar, ujung itu dipecahkan melalui mayangnya. Dengan menghancurkan  jaringan-jaringan pembuluh yang berserat pada mayang tersebut, mereka mengalirkan nira manis. Menurut keterangan  dari para penyadap  Borassus di seluruh Asia, sebagian dari daun-daun harus dibiarkan pada pohon-pohon yang disadap/diiris. Pemangkasan daun yang terbatas, mempercepat aliran nira, namun pemangkasan seluruhnya akan membawa akibat sebaliknya.

 (Penulis : ***Menurut logika, semakin banyak daun lontar yang berarti lebih banyak menyerap panas dari sinar matahari, maka semakin kuat aktivitasnya menarik cairan termasuk nira yang dialirkan  dari akar naik keujung pohon, sebaliknya dengan daun yang sedikit/terbatas, kurang pula kekuatannya  menarik cairan naik ke atas puncak pohon termasuk niranya***). Nira yang dihasilkan sebatang pohon lontar itu sangat banyak Sebatang pohon dengan lima mayang, menurut perhitungan saya (Fox),  menghasilkan kira-kira 6,7 liter nira tiap hari atau 47 liter seminggu, sedangkan pohon dengan satu mayang masih menghasilkan 2,25 liter nira sehari  atau lebih dari 15 liter seminggu. Jika sebatang pohon  hanya menghasilkan nira selama sebulan, masih menghasilkan 200 liter nira atau – dengan tingkat perubahan 15 persen – lebih dari 30 liter sirup  (Rote = tua nasu/gula air). Sekurang-kurangnya, sebatang pohon dengan satu mayang yang produktif, menghasilkan 67,5 liter nira dalam sebulan atau kira-kira 10 liter sirup.  
Mengingat bahwa seorang Rote sanggup menyadap sebanyak 20 – 25 pohon, dengan ketrampilan itu, sudah pasti menghasilkan selama dua bulan atau lebih, perhitungan yang sederhana pun akan dapat membuktikan kemampuan produksi yang besar dari pohon-pohon lontar tersebut. Namun dalam kenyataan, orang Rote hanya menyadap pohon-pohon  lontar itu untuk memenuhi kebutuhan mereka.   
Karena setiap rumah tangga menghasilkan kebutuhan masing-masing, maka pasaran bagi sirup dan gula tersebut sangat terbatas, sehingga tidak ada usaha untuk mengambil hasil seluruhnya dari pohon-pohon  lontar di pulau itu.  Penyadapan pada waktu pohon-pohon itu berbunga untuk pertama kali, dan penyadapan secara intensif selama enam minggu sampai dua bulan setelah bunga yang kedua sudah memadai kebutuhan untuk setahun. Setiap orang akan menyadap paling banyak 10 sampai 15 pohon selama musim penyadapan/iris, walaupun pohon-pohon itu bukan miliknya dan harus membagi hasil penyadapan dengan pemilik pohon-pohon tersebut, ia masih akan memperoleh hasil yang cukup, baik untuk keluarganya dan maupun untuk hewan-hewan piliharaannya, terutama babi.

Adanya kelebihan itu merupakan suatu keuntungan- terutama bagi mereka yang hanya mempunyai beberapa pohon – dapat  menyadap pohon-pohon orang lain yang mempunyai sejumlah besar pohon-pohon lontar. Kelompok pohon-pohon yang sangat produktif merupakan patokan pertama bagi penyadap yang efisien dan intensif.
Dari sudut pandangan seorang penyadap, efisiensi  tidak ada hubungannya dengan hasil yang maksimal. Suatu kelompok yang bagus terdiri dari 10 sampai 20 pohon dan seharusnya lebih banyak dari pohon-pohon yang disadap pada suatu saat. (Hal ini disebabkan karena tidak semua pohon itu berbunga pada waktu yang sama.  Dengan demikian, apabila hasil beberapa pohon mulai menurun, yang lain mulai berbunga, seorang penyadap mempunyai kesempatan untuk berpindah ke pohon lain. Ketinggian pohon tersebut juga merupakan suatu faktor penting. Makin tinggi pohon itu makin sulit dan makin bahaya untuk dipanjat.  
Oleh karena itu lebih diutamakan pohon-pohon yang muda dan lebih pendek, lagi pula kumpulan pohon itu harus dapat disadap/diiris untuk beberapa tahun. Suatu faktor penting yang lain adalah letak pohon-pohon itu dalam hubungannya dengan tempat pemasakan.
Pada puncak musim penyadapan, nira yang dikumpulkan harus dimasak dengan segera. Jarak yang jauh merupakan suatu hal yang tidak menguntungkan, karena proses perubahan menjadi gula mulai dan nira itu cepat menjadi asam.
Dalam masa itu, pemasakan adalah suatu kesibukan yang tidak dapat ditunda, dan harus dilakukan pada pagi hari sampai jauh malam. Walaupun pemasakan itu pada umumnya dilakukan di rumah penyadap, tapi mungkin juga dibuat tungku-tungku di dekat pohon-pohon tersebut. Dengan singkat, keadaan yang paling baik adalah  kumpulan pohon lontar yang muda di dekat rumah sehingga hasilnya dapat segera dimasak
ak.
Cara-Cara Penyadapan Lontar di Pulau Rote

Menurut James J.Fox  (Panen Lontar, l996, hal.281) terdapat tujuh alat sederahana yang dipakai dalam penyadapan lontar (ledi/ladi) :
1.      Kakabik, yaitu suatu jepitan kayu, panjangnya kira-kira satu meter, salah satu ujungnya diikat dan merupakan suatu alat peremas mayang lontar gunanya untuk melonggarkan pori-pori mayang sehingga memberi jalan bagi nira mengalir keluar. Sedang kalau mayang pohon enau umumnya dengan cara memukul-mukul mayangnya dengan sebatang kayu untuk melonggarkan pori-pori mayang tersebut. Proses pengerjaannya; mula-mula penyadap memilih beberapa mayang yang akan disadapnya. Biasanya setiap tangkai terdapat tiga mayang atau lebih kemudian diikat rapat dengan lidi daun lontar dijadikan satu. Setelah itu mayang-mayang tersebut dijepit-jepit dengan kakabik (terbuat dari kayu) tersebut mulai dari pangkal hingga keunjungnya beberapa kali, yang menyebabkan pori-pori mayang menjadi terbuka. Pekerjaan ini diulang lagi setelah selang beberapa hari kemudian. Setelah itu ujung mayang diiris/sisayat dengan sebuah pisau khusus penyadapan untuk mengalirkan nira keluar dari mayangnya. Apabila tidak diiris/disayat, maka ujung mayang yang telah diiris sebelumnya akan mengering dan hal ini akan menutup pori-pori mayang, sehingga air nira tidak dapat mengalir keluar. Jika dalam beberapa hari mayang lontar ini tidak diiris, maka untuk selanjutnya air nira akan keluar lagi.
2.      Bobokik/boboik, adalah tempat air sederhana, dibuat dari tempurung kelapa dengan sebuah lubang yang disisipi pipa panjang  dari batang bambu. Bobokik/boboik adalah wadah menampung air untuk membersihkan haik (wadah dari daun lontar) penampung nira.
3.      Kikik, adalah suatu alat pendek yang menyerupai sapu/kuas, dibuat dari ujung tangkai/pelepah daun lontar yang telah dipukul-pukul sehingga tinggal serabutnya. Kikik ini mirip sebuah kuwas cat tembok untuk membersihkan /mencuci haik penadah nira dengan air yang dibawa didalam bobokik/boboik tadi. Tujuan mencuci haik adalah supaya nira tidak cepat menjadi asam.
4.      Haik, ada tiga macam haik :  yaitu seperti timba yang dibuat dari daun lontar yang ditekuk dan diberi pegangan dari kayu, dan dipakai dalam penyadapan. Yang terkecil adalah hai/haik seseluk (pegangannya dari lili daun lontar)  yang digantung di pohon untuk menampung nira. Selalu terdapat sepasang haik seseluk di setiap mayang. Haik kedua adalah haik kuneuk, yang dibawa oleh pemanjat ke puncak pohon lontar untuk mengumpulkan nira dari beberapa haik seseluk; dan haik ketiga adalah haik sasalik tempat menuang semua nira yang diturunkan.
5.      Kapisak, adalah keranjang kecil dari daun lontar, untuk menompang haik seseluk yang tergantung di pucuk pohon. Kegunaan lainnya adalah untuk menghindari debu/air hujan masuk ke nira, dan tidak memberi kesempatan kepada burung-burung meminum nira, juga menghindari lebah masuk kedalam nira. Saat ini para penyadap juga telah membungkus kapisak tersebut dengan bekas-bekas kantong/karung beras, sehingga lebih aman dari kapisak yang disebutkan diatas.
6.      Kakaik, adalah  alat yang terbuat dari tanduk kerbau yang dibentuk sedemikian rupa yang mempunyai dua buah kaitan; kaitan pertama agak lebar dan sedikit panjang yang disematkan pada ikat pinggang penyadap, dan kaitan kedua untuk menggantung kakabik, bobokik, haik dan kikik, saat memanjat pohon lontar untuk mengambil niranya.
7.      Dope, adalah pisau kecil agak tipis, yang mudah dipakai dan sangat tajam. Suatu dope-tuak, tidak dapat  dipergunakan untuk keperluan lain. Pisau itu harus tajam sekali dan biasanya diasah setiap pagi.
Dalam memilih pohon, penyadap memilih pohon jantan yang mayangnya sudah berkembang sepenuhnya ( tua nggi nanda), semua tunas-tunasnya yang bercabang sudah tumbuh  (basa-basa nggi pule-na kalua nala deak) dan bunga-bunga kecil mulai tumbuh satu persatu (nggipule-na nabuna kikisa).Lontar betina harus dipilih sebelum tumbuh buah pada mayangnya; orang Rote berkeras mengatakan, jika buahnya sudah mulai tumbuh, pohon itu tidak mungkin disadap lagi. Demikian juga, diperlukan lebih banyak tenaga untuk menghancurkan dan meremas (Rote = gepe tuak) mayang betina. Oleh karena itu mereka cenderung menyadap lontar jantan, walaupun dikatakan bahwa lontar betina menghasilkan lebih banyak nira.

Persiapan penyadapan

Persiapan pohon dilakukan dalam beberapa tahap.
Pertama-tama pohon itu disiapkan untuk dipanjat. Cara-cara persiapan itu berbeda disetiap daerah di pulau Rote.

Dibagian barat dan tengah Pulau Rote, pohon-pohon itu ditakik batangnya (pengganti fungsi tangga) untuk memudahkan pemanjatan. Kemudian penyadap memanjat pohon dan membersihkan puncak pohon, memangkas daun-daun yang rusak/sudah tua/patah, membersihkan duri-duri  dari tepi tangkai daun.  Pada setiap mayang yang akan disadap, diikatkan tangkai daun untuk menopangnya. Setelah itu ia menunggu  sampai bunga-bunga tumbuh  pada tunas-tunas mayang; jika bunga bunga-bunga  sudah mulai timbul, ia naik lagi  dan memotong tampuk-tampuk yang mengganggu dan memotong tunas-tunas yang tidak akan disadap. Kemudian ia menjepit tunas-tunas yang akan disadap dengan kakabiknya  untuk melunakkan dengan meremasnya. Hal ini dikatakan untuk membuka jaringan-jaringan pada ujungnya dan melancarkan aliran nira (mbule mata-mata namloa de oe-na nakonda).
Mayang-mayang itu dibiarkan selama dua tiga hari kemudian diremas lagi. Pemerasan  yang kedua itu disebut na-male tua; “melembutkan (atau melemahkan ) lontar”. Setelah dilembutkan untuk terakhir kali, semua tunas pada mayang itu diikat menjadi satu lalu dibiarkan selama satu atau dua hari..
Tahap berikutnya disebut dulun: “mengikat dengan teratur”. Ikatan yang menyatukan tunas-tunas itu dibuka kemudian diikat lagi, biasanya dua tunas dalam satu ikatan; kelopak mayang itu dipotong atau dilengkungkan sehingga semua tunas-tunasnya terkulai ke bawah. Tahap ini dilukiskan sebagai basa basa tua nggi mbule-na lakabubua nakabali nana atu dua-duak-ka : “semua tunas-tunas pada mayang lontar dikumpulkan bersama seolah-olah diatur dua-dua”. Mayang-mayang terkulai dengan tunas-tunasnya yang diikat berpasangan itu kini siap untuk disadap; ujung setiap tunas itu dipotong/diiris tipis-tipis, sekali atau dua kali agar mulai mengalirkan nira.
Setiap pemanjatan, tunas-tunas tersebut dipotong/diiris lagi agar nira tetap mengalir. Salah satu keahlian dalam menyadap, ialah dapat memotong tunas, atau mayang pada lontar betina, sedemikian tipisnya sehingga nira tetap mengalir. Makin tipis potongan itu, makin lama pohon lontar menghasilkan. Aliran nira itu baru berakhir jika tunas atau mayang tersebut telah dipotong sampai ke dasarnya. Orang Rote menyadap lontar dua kali sehari, pada pagi hari dan soreh hari. Penyadap memanjat pohon membawa pisau kecil (dope), tempat air (boboik/bobokik), sikat/pembersih haik (kikik), dan timba daun (haik) yang sedang. Sampai di puncak pohon, ia menuang nira dari haik-haik kecil yang tergantung di pohon, kedalam haik yang lebih besar dibawanya. Kemudian membersihkan haik-haik kecil itu dengan air dari bobokik/boboik dan menyikat bagian dalam dari haik-haik kecil itu dengan kikiknya (serupa dengan kwas tembok).
Pada setiap pasang tunas yang menghasilkan nira tergantung dua haik, yang dipakai secara bergantian sementara haik yang lain belum kering.  Orang Rote mengatakan bahwa hal itu untuk mencegah agar nira tersebut tidak menjadi asam. Dibandingkan dengan yang lain,  hal ini merupakan suatu ciri yang penting dalam penyadapan orang Rote. Dengan menggunakan dua haik, satu diantaranya dibersihkan dan dibiarkan kering, orang Rote telah mengembangkan cara  mereka sendiri  untuk memperlambat proses fermentasi yang mengakibatkan rasa nira tidak enak (asam).  Di puncak setiap pohon lontar terdapat kira-kira lebih dari  lima mayang yang menghasilkan nira, masing-masing  dengan dua haik dan satu keranjang lontar (kapisak)  untuk melindungi haik yang menampung nira.  Setelah haik-haik penampung dikosongkan,  penyadap itu membersihkan dan setelah bersih menggantungnya pada pelepah daun lontar dan menggantinya dengan haik yang  bersih, lalu memotong ujung-ujung  tunas-tunas atau mayang, lalu turun dan menuang nira yang dikumpulkan kedalam haik besar (hai sasalik), kemudian memanjat pohon lain.
Demikian seterusnya sampai selesai memanjat semua pohon-pohonnya, kemudian membawa nira yang telah dikumpulkan ke rumah untuk dimasak.  Menurut perhitungan orang Rote, semua pohon lontar, pada malam hari menghasilkan nira sebanyak dua kali lipat dari hasil siang hari. Nira yang dikumpulkan  pada pagi hari dua kali lipat nira yang  dikumpulkan pada soreh hari.  Dengan memanjat sekali sehari, tidak diperoleh  dua pertiga  hasil dengan pengurangan setengah  tenaga kerja. Panas matahari akan menyebabkan nira yang terkumpul  menjadi asam.  Suatu hal yang sangat penting dengan penyadapan  orang Rote – dan sebenarnya penyadapan yang lain – adalah untuk mencegah agar nira tidak menjadi asam.
Penyadapan sekali sehari hanya menghasilkan  nira yang mutunya  rendah dan asam. Bagi orang Rote, penyadapan  dua kali sehari  (pagi dan soreh hari)  itu  merupakan suatu penyadapan yang intensif. Di dalam cerita-cerita rakyat, hal itu dianggap suatu langkah yang besar  dalam perkembangan perekonomian lontar mereka. Penyadapan lontar itu hanya dilakukan pada musim kemarau. Karena di Pulau Rote, musim kemarau  meliputi sembilan bulan dalam setahun, maka terdapat  dua masa penyadapan yang berbeda selama musim kemarau. Bagi orang Rote, terdapat dua musim dalam setahun.  Musim kemarau (fai hanas), yang dihubungkan dengan  angin timur (ani timu) dan musim hujan (oe fak)  yang dihubungkan dengan  angin barat (ani mulis). Di dalam kenyataan, angin itu berubah-ubah  dan pembagian dua musim hujan itu sesungguhnya  bukan pembagian yang  teratur.   Musim angin barat mulai pada bulan  Desember, dengan hujan  yang turun sekali-sekali, dan dan mulai reda  pada bulan Maret.  Bulan April tidak dapat dipastikan; pada bulan ini taufan tropis kadang-kadang menyerang dari timur laut.  Menjelang bulan Mei angin angin timur mulai berhembus, makin kencang dan bulan Juli menjadi angin ribut yang kering dan kuat. Dalam bulan Agustus mulai reda, Oktober dan terutama November adalah bulan-bulan tenang, dan tidak berangin yang diikuti musim hujan.  Mulai dari pertengahan bulan Maret, dapat dianggap musin kemarau, yang terus berlangsung sampai bulan Desember.  Sudah jelas bahwa penyadapan lontar sesuai dengan angin musim. Namun khususnya sesuai dengan waktu mayang-mayang lontar berbunga.  Kedua masa penyadapan itu adalah tua timu dan tua fanuk (atau hanya fanuk). Tua timu adalah penyadapan pada awal musim angin timur, dan tua fanuk adalah masa penyadapan setelah angin timur mulai reda.
Keduanya bersangkutan dengan masa dalam setiap tahun ketika mayang-mayang  lontar berbunga. Penelitian-penelitian mengenai pohon lontar di Indonesia mengenal dua masa berbunga ini, dan di samping itu juga mengemukakan bahwa  selama musin angin timur, mayang-mayang pohon itu tumbuh sepenuhnya. Oleh karena itu hasil selama fanuk jauh lebih  besar dari hasil masa tua timu. Antara pertengahan Maret dan pertengahan April para penyadap mempersiapkan pohon-pohonnya. Akhir April biasanya mulai masa tua timu, dan  penyadapan berlangsung  terus sampai bulan Mei dan Juni. Hampir semua  pekerjaan pada masa penyadapan ini dilakukan oleh laki-laki. Hampir semua nira yang dikumpulkan  segera diminum; dan hanya sedikit sekali  yang dibuat sirup/gula air, dan sebagian besar dijadikan gula (tua batu/gula lempeng), dan di jual.  Sekarang ini dibuat juga gula semut di Rote bagian Barat. Bagi mereka yang memiliki kerbau, dari susunya dibuat susu goreng yang dicampur dengan gula,  sudah menjadi produk yang dijual untuk umum di Rote sebagai makanan khas Rote.
Pada bulan Juli dan awal Agustus, penyadapan berkurang dan angin timur makin kencang. Mereka mengatakan bahwa jika haik-haik di atas pohon itu tergoyang-goyang karena angin, maka nira cepat menjadi asam. Dan demikian pula, adanya angin tersebut menyulitkan pemanjatan.  Selanjutnya, karena panen, maka  banyak persediaan makanan. Penangkapan ikan  banyak membawa hasil dan kawanan ternak  sedang gemuk-gemuknya  karena makan rumput  pada awal musim kemarau dan di lepas diladang-ladang selesai panen. Bulan-bulan tersebut adalah masa  berpesta pora.  Masa tersebut merupakan pula masa  pembangunan utama, misalnya pembangunan rumah dan pagar batu sekitar ladang. Terutama Thie dan Dengka, banyak pekerja-pekerja yang pergi ke Rote bagian timur untuk melakukan pekerjaan pembangunan tersebut, terutama di Termanu. Oleh karena itu para penyadap mengurangi atau menghentikan penyadapannya.. Penyadapan  dengan sungguh-sungguh mulai lagi pada akhir Agustus atau awal September. Masa fanuk ini meliputi bulan September dan Oktober dan dapat diperpanjang sampai bulan Nopember. Orang Rote menganggap masa ini sebagai suatu kemajuan sampai mencapai suatu puncak, kemudian menurun dengan perlahan-lahan.
Masa awal ini disebut fanu mbedak;  masa yang intensif disebut fanu nambesak; dan masa mulai menurun disebut fanu loe-na.  Proses pemasakan sangat penting, pekerjaan kaum wanita tidak henti-hentinya. Api harus tetap menyala, priuk-priuk yang mendidih harus tetap dijaga, karena sirup/gula air yang mulai mendidih dapat meluap dengan tiba-tiba. Busanya harus terus diambil dengan sendok dan di kumpulkan untuk makanan babi. Pemasak harus siap dengan dodombok (tangkai atau ranting, atau sepotong kelapa kering diujung ranting (sendok dari tempurung kelapa) untuk segera dimasukkan kedalam priuk yang sedang mendidih sambil mengaduk-aduk jika akan meluap. Apabila tidak diaduk-aduk maka luapan gula itu akan tumpah keluar dari periuknya.  Masa fanuk yang intensif itu dilukiskan sebagai-lao-la balanggeo : “tungku-tungku pemasak menjadi hitam”.  Hujam pertama-tama yang menandai berakhirnya fanuk disebut uda poliafuk : “hujan yang meredam abu”. Hujan-hujan itu mengakhiri musin penyadapan, dan sirup yang sudah dimasak disimpan di dalam periuk-periuk dan guci-guci di dalam rumah. (James J.Fox, l996, hal.281-287)

Lontar 

‘Pohon Kehidupan’ Orang Rote

                           

No Eating People---Live No eating”(Suatu julukan bagi kehidupan orang Rote).

“LONTAR” POHON KEHIDUPAN ORANG ROTE”

Pandangan Hidup

Nama lain dari pulau Rote adalah “Nusa Lontar,” karena terdapat banyak sekali tumbuh pohon lontar dimana-mana di pulau ini. Pohon Lontar (Borassus Sundaicus) dan keberadaannya telah menjadi pohon kehidupan  bagi orang Rote. Hingga kini terdapat suatu motto masyarakat Rote yang  berbunyi : “ Tua pilas suu o’e makek  (Tua Mbilas, susu O’e Makek). ”Motto ini menunjukkan betapa dalam, kasih sayang setiap orang tua orang Rote terhadap anak-anaknya, sejak dilahirkan sampai mereka dewasa dan berdiri sendiri.
Tua pilas adalah gula air (gula rote) yang dibuat dari Nira pohon lontar dan ini merupakan simbul atau “lambang kasih sayang ayah” terhadap anak-anaknya..  Sedangkan Su’u O’e adalah air susu ibu (Asi) yang juga merupakan simbul  atau lambang kasih sayang  ibu terhadap anak-anaknya. Makek artinya manis.  Tua pilas su’u o’e makek  berarti kasih  (sang) ayah dan (sang) ibu, manis adanya.

Filsafah atau pandangan hidup orang Rote mengatakan :
Gula air yang diteteskan kedalam mulut bayi yang baru lahir, karena pokok (utama) yang akan mendampinginya selama hidup. Ini merupakan pengenalan pertama sang bayi terhadap gula. Maksud yang lebih dalam lagi ialah, agar sebentar kalau sang ibu tidak mempunyai atau kekurangan air susu atau kalau sang ibu meninggal sewaktu melahirkan, maka gula air adalah penggantinya. Bayi tersebut sudah harus dapat hidup tanpa air susu ibu.  Pengenalan pertama itu juga merupakan penyesuaian terhadap lingkungan barunya yaitu terhadap dunia dan sumber hidupnya (gula atau air susu ibu).
Sesudah sang bayi disapih (berhenti menyusu), maka pengganti air susu ibu adalah “gula air” tadi.(Mosaik Pariwisata NTT, l987, hal.9-10) 

Pulau Rote, Kepada Lontar
Mereka Berpasrah

Soreh itu warga Desa Oloamea, Kecamatan Lobolain, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), sedang menyadap nira. Beberapa saat Fredik sudah berada di puncak.. Di atas puncak pohon lontar  (Borassus sundaicus) Fredik mengganti  haik koneuk yang telah dipenuhi nira dengan haik kosong. Haik yang telah penuh itu dipasang pada pagi  sehari sebelumnya dan haik kosong yang dipasang soreh itu akan diambil pada pagi hari  keesokan harinya. Nira yang didapat kemudian dibawa turun. Disodorkannya haik  tempat minum yang diisi penuh air nira  tersebut kepada Kompas, yang menyambangi  kampung tersebut didampingi pemerhati  budaya Rote, Henukh Panie. Kesegaran air nira yang didapat langsung dari haik memang tiada duanya, seperti mendapatkan oase di tengah Pulau Rote yang panas dan tandus. Rasa manis dan asam jadi satu.
“Welcome drink” itu selalu diberikan warga Rote  setiap kali  melihat orang  asing  menyaksikan mereka  menderes nira. Ramah sekali. Nira menjadi bagian  tak terpisahkan dari budaya, perekonomian, dan prilaku orang-orang Rote. Nira hampir menjadi makanan pokok  sebagian warga.  Mereka pada pagi hari minum  nira, siang makan nasi, dan soreh minum nira lagi. “Nira juga bisa menyembuhkan sakit maag”. Coba perhatikan, orang-orang Rote  pasti tidak  mengenal sakit maag, kata Lukas Fangge (25) , adik Fredik. Air nira  kemudian dibawa menuju dapur untuk diproses  menjadi gula air  atau tuak nasu. Bentuk gula air masih cair dengan warna kuning kecoklatan , bauhnya khas  seperti madu.  
Cairan ini bisa langsung  digunakan sebagai pemanis. Selain dijadikan gula air, beberapa desa mengembangkan nira menjadi gula lempeng  dan gula semut.  Setiap pembuatan  produk menuntut perlakuan berbeda pula. “Saya khusus membuat gula lempeng,” kata Marselinan Pandie Haning (36), istri Imanuel (40) warga Oehandi, Kecamatan Rote Barat Daya, yang dikenal sebaga daerah bekas  kerajaan Thie. Hari itu Marselina merebus nira enam periuk dari hasil ladi tuak (mengiris lontar) 10 pohon lontar. Dalam sehari penghasilan pembuat gula air maupun gula lempeng berkisar Rp.25.000, hingga Rp.50.000,- bergantung  dari banyaknya pohon lontar yang diiris. Rata-rata  warga memiliki  15 pohon lontar yang diiris pada pagi dan soreh hari. Daerah Thie dikenal penghasil gula lempeng terbesar di NTT. Pedagang pengumpul, Yusak Nawa (49), mengatakan, tiap pekan bisa mengumpulkan 15.000 gula lempeng. Gula tersebut langsung dibawa ke Kupang. “Saya beli dari warga Rp.1.000,- per 8 lempeng, selanjutnya saya jual ke Kupang Rp.4.000 per kilogram,” kata Yusak.
Mingiris nira

Sepanjang Agustus hingga Oktober hidup petani Rote sebagian dihabiskan di atas pohon lontar untuk mengiris nira. Di luar bulan itu petani kembali kesawah atau berkebun. Wajah Thie seperti daerah lainnya di Rote sekilas seperti tak bermasa depan. Orang luar begitu memasuki  Rote pasti berkerut dahi membayangkan bagaimana hidup di pulau tandus itu.  Tak disangka, lontar telah menopang hidup warga Rote. Rote menjadi penghasil  gula lempeng dan gula semut terbaik dan terbesar di NTT.
Topi khas Rote, yaitu Ti’i Langga yang terbuat dari anyaman daun lontar , juga mengharumkan nama NTT. “Hidup orang Rote benar-benar ditopang pohon lontar, rumah dari daun lontar, makan minum dari nira,  wadah air dari daun lontar, musiknya, yaitu “Sasando”, juga dari daun lontar,” kata Hanokh yang merasa “diantarkan” oleh hasil lontar menjadi “guru” SMP 3 Rote Tengah. Gula air bisa difermantasi dan disuling menjadi sopie, yaitu minuman tradisional berakohol. Sopi ini bisa disuling lagi menjadi alkohol yang bisa digunakan untuk kepentingan medis.  Orang Rote memang “hebat.” Dengan luas wilayah 1.280,l0 kilometer persegi dan jumlah penduduk 106.298 jiwa, seharusnya Kabupaten Rote Ndao bisa bangkit dari  ketertinggalannya. Sejak lepas dari Kabupateen Kupang, menjadi kabupaten sendiri tahun 2002, pertumbuhan ekonomi Rote-Ndao pada tahun 2003 sebenarnya tak terlalu buruk, yaitu 4,56 persen. Masalah utama kabupaten ini adalah indeks kemiskinan manusia yang tinggi mencapai 27,50 persen. Selain itu, 30,80 persen penduduk Rote juga mengahadapi akses sarana kesehatan tak memadai dan balita kurang gizi mencapai 41,80 persen. Rote sebenarnya memiliki modal, tidak hanya lontar, tetapi juga memiliki potensi wisata  menarik.  Ada pantai indah yang sulit dicari tandingannya, yaitu “Pantai Nembralatempat terbaik berselancar. Sayangnya, tidak ada promosi memadai. Dengan promosi yang baik, diharapkan orang tak hanya mengenal Rote sekadar pulau paling selatan Indonesia yang nelayannya sering ditangkap Australia. Rote sudah layak menjadi mahkota baru dari Timor karena sesuai dengan “istilah” yang popoler di sana,TIMOR,” adalah “Tanah Ini Milik Orang Rote”.(Amir Sodikin, Kompas, 12-10-2005)

(Pemenuhan Kebutuhan Hidup

 Pemenuhan kebutuhan hidup bagi penduduk di pulau Rote-Ndao meliputi        beberapa hal yakni :.Kehidupan bercocok tanam ini merupakan salah satu mata pencaharian penting di samping beternak.  Dalam bercocok tanam ini penduduk terutama melaksanakan perladangan. Tanah ladang diperoleh dengan penebangan semak belukar, kemudian dibakar dengan api sebagai alat utama membersaihkan ladang. Tanaman ladang biasanya berupa jagung, kacang-kacangan, jagung rote, umbi-umbian, botok. Ladang ini hanya ditanami setahun sekali yaitu pada musim hujan saja.

Dengan system ini alat yang digunakan sederhana sekali yaitu parang untuk menebas semak belukar, dan sepotong tongkat berujung tajam sebagai alat pelubang tanah, untuk menaruh bibit tanaman kedalam tanah.

Setelah tumbuh  disiangi/dibersihkan (ditofa=istilah setempat) rumputnya dengan sepotong besi plat/tipis berujung tajam, dan tanpa mengolah tanah/memacul lebih lanjut Lalu mengawasinya dari serangan babi, atau hewan besar lainnya hingga saat panen tiba. Begitu sederhana dengan pola pertanian ladang ini. Selain itu usaha pertanian melalui  pengerjaan sawah tadah hujan dengan jenis padi gogoranca (gora).

Pengolahan lahannya adalah dengan pola mengolah tanah dengan sisitem pacul atau membalik tanah dengan besi gali. Setelah turun hujan bongkahan-bongkahan tanah dijadikan pematangnya, mengerjakan  pesamaiam bibit, kemudian lahan sawah yang sudah siap ditanami padi, dibersihkan rumputnya, merawat dan diberi pupuk serta mengawasi hingga panen tiba.

 Jika sawah air basah atau sawah pengairan, pengolahannya dilakukan dengan

menghalau/menggiring  belasan bahkan puluhan ekor sapi atau kerbau mengitari berkali-kali keseluruh lahan sawah, hingga tanah yang diinjak-injak oleh kaki-kaki sapi atau kerbau itu menjadi lumat, dan  hancur berlumpur hingga mencapai  kedalaman mendekati lutut.. Setelah itu rumput-rumput dibersihkan dan dibangun pematang-pematang. Bibit padi dipersiapkan dibuatkan pesamaian, kemudian ditanami padi.  Pola pertanian dengan kaki sapi ini disebut sistem rencah “kaki sapi” (Rote = Luruk). Bila rencahnya baik, maka hasil rencahnya hampir serupa seperti yang  dihasilkan dengan sistem bajak  yang dikenal didaerah lain.

Di Rote banyak terdapat sapi dan kerbau namun ketrampilan memanfaatkan alat luku/bajak guna mengolah lahan sawah belum dimilikinya. Ini perlu mendatangkan petani contoh dari daerah Sumbawa, Bali atau Jawa guna melatihnya. Hasil panen padi di Rote dewasa ini sangat memuaskan karena dapat dikatakan sudah swasembada pangan dan tidak diinjeksi lagi dari Kupang.  Hal yang menggembirakan karena, dewasa ini orang Rote sudah memanfaatkan padang-padang rumput penggembalaan hewan ternak dirubahnya menjadi lahan padi tadah hujan (gora). Dari data tahun 2000 yang kami kumpulkan menyebutkan sebagai berikut :

 Luas areal padi ladang/gogoranca l0.865 ha, menghasilkan 33.479 ton; 

Areal jagung seluas 3.770 ha, hasilnya 8.530 ton, sedang data tahun 2002, pertanian menjadi napas sehari-hari ekonomi yang nilai keseluruhannya Rp.213,2 Miliar, dan peranan pangan l8,22 % dari total pertanian yang menyumbang setengah kegiatan ekonomi. Dari 53.586 orang usia l5 tahun keatas yang bekerja, mereka yang kegiatan dibidang pertanian pangan paling tinggi  yaitu sebesar 62,46 % terutama di Lobalain dan Rote Barat Laut. Pada tahun 2002, luas lahan pertanian padi 53.797 ha, l3.000 ha diantaranya sawah irigasi, untuk padi gogoranca/gora. Produksi padi per-hehtar rata-rata 4-5 ton atau rata-rata  23.697 ton per/tahun. Diluar padi, tanaman yang cukup penting nilainnya adalah kacang tanah berbiji besar berkolestrol rendah, bawang merah, semangka, lombok, jagung, dan sorgum. Sebagian besar dihasilkan di Rote Barat Daya, Rote Barat Laut dan Rote Timur serta Pantai Baru. Komuditi lain adalah hasil gula Rote/gula air, kelapa, jambu  mente. Dengan lahan sekitar 82.000 ha, dihasilkan gula rata-rata 200 ton per/tahun (berpotensi untuk membuka industri Kecap, karena gula cair adalah bahan baku utama pembuatan “Kecap”).

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.