REPOSISI DAN KONDISI TNI DI ERA REFORMASI
Dulu, bermula dari tahun 1965/66,
dalam situasi politik pasca G-30.S/PKI, rakyat dengan back-up tentara melawan
Partai Komunis Indonesia. Presiden Soeharto kemudian membangun kekuatan politik
yang disebut Orde Baru, dan sejak itu tentaralah yang paling banyak berperan di
kancah politik nasional, sementara rakyat pada waktu itu setuju saja. ABRI/TNI
selama masa Orde Baru mendapat tugas 'borongan' dari pemerintah untuk
menstabilkan negara, dengan diberi kewenangan lebih untuk mengambil
langkah-langkah preventif, represif, maupun tindakan-tindakan apa saja yang
dianggap perlu. Semua permasalahan keamanan ditangani dengan cara-cara tentara,
tanpa perlu ada akuntabilitas hukum dan publik. Orang yang diduga akan
melakukan sesuatu yang mengancam stabilitas nasional, bisa ditangkap sebelum
betul-betul riil melakukan sesuatu, tanpa mempertimbangkan aspek hukumnya.
Sedangkan sekarang, seiring
dengan reformasi politik dan hukum yang bergulir di Indonesia, TNI pun
mereformasi dirinya. Keputusan terpenting yang telah diambil antara lain adalah
netralisasi TNI dari politik praktis, dan pelepasan doktrin kekaryaan. Dalam pada itu aspek legalitas dalam manjalankan
fungsi dan perannya pun sangat dipikirkan, sehingga apa pun yang dikerjakan TNI
harus diukur dengan ukuran-ukuran akuntabilitas. Jadi, kalau kita hendak
menelaah reposisi ABR I/TNI, maka yang paling awal harus disebutkan adalah
perubahan kewenangan yang menjadi lebih terbatas dan terukur. Dengan
memisahkan POLRI dari ABRI, maka dua institusi (TNI dan POLRI)
lantas berbagi wewenang dalam menjaga dan mengelola keamanan negara.
Masalah-masalah yang ada di dalam negeri sehari-hari, misalnya pengamanan
pemilu, penanganan unjukrasa, penanganan pertikaian massa, dan lain-lain,
polisi-lah yang tampil di depan. Namun manakala gangguan keamanan meningkat dan
polisi tidak cukup personil, tidak cukup kekuatan untuk mengatasinya, maka
tentara turun tangan melaksanakan operasi bantuan. Reformasi
atas institusi tentara, sekaligus juga mereposisi kedudukan Panglima ABRI/TNI.
Di zaman Orde Baru, Panglima ABRI diangkat dan bertanggung jawab pada
presiden serta diposisikan sejajar dengan menteri-menteri anggota kabinet.
Sebagaimana institusi yang dipimpinnya, tanggung jawab Panglima TNI pun
bersifat 'borongan', yakni membuat negeri ini aman dan stabil, sehingga dia
mempunyai kekuatan dan kewenangan politik, termasuk untuk menentukan siapa
musuh (tentu dengan arahan presiden) dan bagaimana mengatasi musuh itu. Sekarang, setelah adanya
Undang-undang Pertahanan nomor 3 tahun 2002, disebutkan bahwa Panglima TNI
bertanggung jawab memimpin TNI dan mempunyai tugas pokok menyusun strategi dan
melaksanakan operasi militer. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Panglima TNI melaksanakan
kebijakan pertahanan Departemen Pertahanan (Dephan), jadi kebijakan menggunakan
TNI ada di tangan Menteri Pertahanan (Menhan). Pendek kata, Panglima TNI
hanya berperan sebagai komandan pasukan yang bergerak kalau ada kebijakan dan
keputusan politik presiden yang dalam hal ini dirumuskan oleh Menteri
Pertahanan, termasuk untuk apa digunakan, kemana, dan berapa besar jumlahnya. Mengenai jabatan Menhan, sehubungan
kondisi Indonesia dewasa ini, ada yang berpendapat seharusnya dijabat oleh
mantan militer, ada pula yang berkeras mengharuskan dijabat orang dari kalangan
sipil. Polemik semacam ini sampai muncul, karena dalam masyarakat masih
terdapat kebingungan tentang apa yang disebut pemerintahan sipil, pemerintah
orang-orang sipil, dan kekuasaan sipil. Banyak yang beranggapan seolah dikotomi
militer-sipil adalah dikotomi antara personil militer dan orang-orang bukan
militer, padahal intinya adalah militer dan kekuasaan sipil. Sedangkan
kekuasaan sipil itu hakekatnya ada di tangan presiden yang mendapat mandat dari
rakyat.Adapun para menteri, termasuk Menhan, melaksanakan
kekuasaan sipil yang diberikan oleh presiden, sesuai dengan kedudukannya
sebagai pembantu presiden. Jadi, kekuasaan Menhan memang adalah kekuasaan
sipil, sedangkan orangnya bisa dari kalangan sipil maupun juga dari kalangan
mantan militer. Yang jelas, dia berfungsi dan bertugas meng-exercise kekuasaan sipil yang berkuasa terhadap militer; dengan kata lain
militer memang harus tunduk pada kekuasaan sipil, dan penguasa sipil ini tidak
identik dengan personil sipil/nonmiliter.
Di segi lain, banyak peristiwa yang terjadi dalam waktu
relatif singkat, relatif bersamaan, pada beberapa spot seperti di Aceh, Maluku,
Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan lain-lain. Peralatan militer yang kita miliki
tidak bisa merespon secara cepat, karena memang dulu kita berprinsip membangun
tentara yang kecil, efektif, dan efisien dengan mengandalkan kemampuan
pasukan-pasukan gerak cepat. Belum lagi, kerapkali terjadi, misalnya, pasukan
yang akan dikirim sudah siap, tapi tahu-tahu pesawat angkutnya kurang siap
lantaran terganggu embargo suku cadang. Pendek kata, TNI terkesan
terseok-seok memikul beban akibat dari kebijakan masa lalu yang memang tepat
untuk kondisi masanya, namun kurang mampu menjawab tantangan terbaru yang
muncul kemudian. Oleh karena itu, perlu
ditekankan, siapa pun boleh menjadi Menhan, terserah presiden. Yang penting,
tentu dia betul-betul paham apa yang harus dikerjakan sebagai Menhan, dan
diharapkan bisa melaksanakan kekuasaan sipil, yang notabene adalah kekuasaan
yang diberikan oleh rakyat. Jadi sebetulnya, kalau institusi tentara harus
tunduk kepada Menhan, itu sama artinya dengan tunduk kepada rakyat. Untuk
jabatan Dirjen di Dephan pun, karena pada dasarnya adalah deputi Menhan di
bidangnya masing-masing, maka yang menjabat pun bisa militer ataupun
nonmiliter, mengingat sifatnya merupakan jabatan profesi, bukan jabatan
politik. Yang penting harus diangkat siapa yang memang betul-betul berkeahlian
dan mampu menjalankan tugas sesuai deskripsi job-nya. Ke depan, barangkali yang
perlu ditentukan adalah persyaratan pangkat bagi seseorang untuk bisa diangkat
menjadi Dirjen, baik yang diberlakukan bagi yang dari kalangan militer maupun
sipil. Dampak Perubahan
Reposisi yang antara lain berupa
perubahan yang mengarah pada kewenangan yang lebih terbatas, dapat dianggap
menimbulkan kesulitan bagi TNI dalam menunaikan tugas pengamanan negara.
Paling tidak, dengan pembatasan itu kiprah tentara menjadi tidak bisa secepat
dan selincah dulu. Hanya saja, jika dipandang dengan kacamata positif,
dampaknya akan membuat anggota tentara lebih berhati-hati dalam menjalankan
tugas, sehingga dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan langkah yang dapat
merugikan citra institusi TNI sendiri.
Sebagai contoh, dalam
menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) misalnya, kita menghadapi musuh
gerilyawan sekaligus teroris yang tidak pakai aturan. Sedangkan TNI dalam
melaksanakan operasinya dibatasi pada berbagai aturan seperti tidak boleh
menyandera atau menembak seenaknya, sementara GAM bertindak semaunya. (Ini
berbeda dengan kalau kita berperang melawan negara lain, masing-masing terikat
pada konvensi perang yang berlaku secara internasional). Dalam kasus penyanderaan dua
istri personil AURI, misalnya, bagi TNI jelas merupakan tantangan
berat yang sangat sulit karena masyarakat mengharapkan korbannya harus aman dan
selamat, sedangkan si penyandera leluasa berpindah-pindah tempat. Belum lagi
secara curang GAM kerap menggunakan sandera sebagai tameng mereka. Personil TNI
yang ada di lapangan, dengan begitu dituntut untuk cerdik menggunakan pola
dan teknik yang luar biasa. Dalam pembebasan sandera tersebut, dapat saya
tuturkan sebagai berikut; Seorang komandan peleton yang memang brilian waktu
itu tahu bahwa sandera berada di sarang GAM yang akan diserbu. Saat
menyerang, tembakan-tembakannya sengaja hanya diarahkan ke atas, bukan ke
sasaran, namun sengaja dibuat gencar disertai teriakan-teriakan membahana
seolah ada serangan yang sangat kuat. Akibatnya GAM-penyandera ketakutan, lari
tunggang-langgang, dan sanderanya ditinggalkan begitu saja. Sandera dua istri
personil AURI itu terselamatkan, dan setelah itu barulah GAM-penyandera
dikejar dengan peluru tajam. Pola dan teknik
pembebasan sandera seperti tersebut di atas, tentu tidak bisa dengan mudah
dipublikasikan, sebab pasti akan menguntungkan GAM. Ini merupakan 'hambatan
kehumasan' tersendiri; pihak-pihak yang tidak sabar dan tidak tahu, kadang
menilai TNI lamban, atau bahkan dianggap tidak becus. Setelah terbukti
sandera dapat dibebaskan, barulah TNI bisa menunjukkan dirinya mampu.Terlepas dari berbagai kasus
yang terjadi, kesulitan yang dihadapi oleh TNI sekarang bukanlah
semata-mata merupakan akibat kekeliruan kebijakan di masa lalu, melainkan juga
karena adanya perubahan pada strata politik dan lingkungan strategis, yang
diperberat oleh krisis ekonomi yang kita alami. Sementara sistem nilai pun
berubah; dalam masa peralihan, nilai-nilai lama sudah ditinggalkan, sementara
nilai baru belum betul-betul terbentuk.Di sisi lain, TNI yang
semula dibangun untuk menghadapi ancaman di masa Orde Baru, harus menyesuaikan
diri dengan kondisi dan ancaman Orde Reformasi; instrumen politik dan kondisi
orde baru, dihadapkan pada instrumen politik dan kondisi orde reformasi. Sekedar contoh, dulu kalau kita melihat ada orang
melakukan rapat dan diduga merencanakan pengeboman atau hal lain yang dirasa
mengancam stabilitas, kita bisa langsung menangkapnya. Sedangkan sekarang,
kalau belum betul-betul mengebom belum bisa dilakukan tindakan. Jadi, kondisi
dan instrumennya berubah, sementara hardware yang dimiliki belum berubah;
ibarat joki sudah berganti, tapi kendaraannya masih tetap, sehingga ada
ketertinggalan dalam tatanan. Ini kadang kurang dibaca oleh masyarakat awam,
sehingga maunya hanya menuntut kinerja TNI yang optimal, tanpa mau
memahami permasalahan yang dihadapi. Sebagaimana institusi lain, TNI
pun tak lepas dari proses kontinyuitas; apa yang ada sekarang, tak lepas
dari keadaan masa lalu. Kita tidak bisa hanya menyalahkan seolah apa yang kita
hadapi sekarang semata merupakan residu kesalahan masa lalu. Masalahnya adalah,
sistem yang kita bangun di masa lalu, memang tidak cocok lagi dengan
norma-norma yang berlaku sekarang. Kita wajib selalu mengadakan evaluasi,
mengadakan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, dan untuk itu tidak
hanya tergantung pada TNI sendiri, sebab para politisi pun harus
memahami dan memberikan sumbangsih, di samping harus terus-menerus memperbaiki
diri juga. Mengatasi Ketertinggalan
Di tahun 1960-an, TNI
pernah menjadi tentara yang sangat kuat. Ini antara lain karena mendapat
bantuan dari Uni Soviet pada waktu kita sedang dalam proses mengambil kembali
Irian Jaya, 1963. Setelah itu, karena hampir tidak pernah ada musuh
yang akan menyerang dari luar, bangsa Indonesia agak terlena oleh situasi
keamanan yang ada, sehingga alpa untuk membangun ketentaraan secara optimal.
Musuh-musuh yang kita hadapi lebih banyak bersifat internal, sehingga TNI
pun dibangun cenderung untuk menghadapi musuh internal itu, yang notabene lebih
banyak dihadapi dengan faktor-faktor nonteknis militer. Maka dari itu, menurut Jenderal
A.H.Nasution, selama periode 1965 hingga selama masa Orde Baru kita
lebih mengandalkan 'sistem senjata sosial'. Kondisi stabil dapat dicapai,
terutama karena aspek politik dalam negeri dapat dikuasai, sedangkan gangguan
dalam negeri pada umumnya berawal dari ide-ide politik. Lagipula, selama
kekuasaan Orde Baru ada instrumen 'ekstra' tertentu (misalnya Kopkamtib) yang
dianggap sah dan berfungsi efektif. Dalam kondisi yang dinilai stabil, maka
prioritas pembangunan Indonesia lebih ditujukan pada bidang ekonomi, yaitu
meningkatkan kesejahteraan yang antara lain dicapai melalui peningkatan daya
beli masyarakat dan memperkuat ketahanan pangan. Setelah reformasi bergulir, dan
konstelasi politik berubah, lingkungan eksternal Indonesia pun berubah.
Sementara instrumen-instrumen TNI tidak sama lagi dengan semasa Orde
Baru, sedangkan musuh yang harus dihadapi ternyata semakin menngkat. Dari
kenyataan ini terlihat TNI agak 'keteter', lebih-lebih manakala
dipisahkan dari POLRI. Ada kondisi yang belum mapan
dan belum terbiasa, sehingga permasalahan-permasalahan yang sebelumnya dihadapi
bersama-sama TNI dan POLRI, sekarang seolah dipilah-pilah. Kalau
ada gangguan keamanan, kerapkali orang masih bertanya-tanya apakah merupakan
tugas-kewajiban polisi ataukah tentara. Inilah yang dalam masa transisi
menimbulkan kegamangan aparat dalam mengatasi masalah-masalah keamanan.Oleh karena itu, ke depan para
pemimpin, baik petinggi TNI maupun pimpinan politik, diharapkan punya good willterhadap
pembentukan tentara yang lebih profesional, dalam arti harus betul-betul mampu
mengatasi hakekat ancaman yang diperkirakan pada beberapa tahun mendatang. Good
will itu dapat dimulai dari penentuan alokasi anggaran. Anggaran TNI yang dialokasikan pemerintah
pada tahun 2003 hanya sekitar Rp. 16 triliun atau 0,87 persen
dari GDP (Gross Domestic Product - Produk Domestik Bruto). Untuk tahun 2004
diperkirakan akan menjadi Rp. 21 triliun atau 1 persen GDP.
Sedangkan untuk bisa mencukupi kebutuhan yang sesungguhnya, paling tidak harus
mencapai 3 (tiga) persen dari GDP. Kita mengharapkan, kalau alokasi anggaran mencapai Rp.
50 triliun, atau bahkan sampai Rp. 100 triliun dalam tiga tahun
mendatang, barulah Indonesia memiliki TNI yang memadai, paling tidak untuk
dapat menangani masalah-masalah konflik dalam negeri secara handal. Tentu,
untuk mendapatkannya harus melalui debat politik mengenai prioritas
pembangunan. Kita menyadari adanya sektor-sektor lain yang juga
kekurangan dana dan mendesak untuk ditingkatkan, misalnya pendidikan, tenaga
kerja, dan lain-lain. Yang kemudian perlu dipahami adalah, dengan membangun TNI
berarti sekaligus juga membangun tenaga kerja. Oleh karena itu, antara
pendidikan pada umumnya dengan pembangunan TNI seyogianya berjalan
seiring sejalan. Yang jelas, kekuatan militer termasuk salah satu tolok ukur
dihormatinya suatu bangsa, sebagaimana indeks keterdidikan suatu bangsa pun
demikian.Hendaknya dipahami bahwa
pembangunan TNI disiapkan untuk menjalani tiga tugas pokok, yakni
sebagai kekuatan pemukul, penangkal, dan perehab. Seperti situasi di Ambon dan
Aceh, misalnya, TNI berkewajiban merehabilitasi, baik di aspek fisik
maupun keamanannya. Agar dapat menjadi
kekuatan penangkal dan pemukul yang diperhitungkan oleh bangsa lain, maka TNI
harus dibangun secara signifikan. Kalau TNI dibiarkan hanya memiliki
persenjataan yang old fashion, maka kita tidak
akan menjadi penangkal yang memadai, sekaligus tidak ditakui, disegani, dan
diperhitungkan oleh negara-negara lain. Unsur-unsur dari luar yang ingin
mencuri ikan, melakukan penyelundupan, dan sebagainya, akan semakin seenaknya
kalau melihat TNI kita tidak cukup kuat. Oleh karena itu, saya sangat
berharap nantinya pemimpin negara yang berkuasa berkenan memahami betul gunanya
membangun tentara.Konsep kita sekarang, memang,
terkait dengan masalah-masalah dalam negeri, selama situasi masih bisa diatasi
oleh polisi, tentara menjadi nomor dua. Akan tetapi tentunya kita dapat
membayangkan, kalau polisi sudah tidak sanggup mengatasi sendiri, lalu datang
tentara yang 'keple' maka situasi akan tetap runyam, karena TNI sulit
berperan sebagai pamungkas. Dalam pembangunan TNI,
kesejahteraan prajurit pun sudah waktunya lebih diperhatikan. Untuk membentuk
tentara yang profesional, salah satu syarat yang sulit ditawar adalah adanya
kompensasi yang memadai dan proporsional. Mereka harus dididik-dilatih,
diperlengkapi, dan digaji dengan baik. Prajurit yang kesejahteraannya kurang
baik, sulit diharapkan memiliki kemampuan dan kekuatan yang baik. Dalam hal ini
penting untuk diperhatikan keseimbangan antara kondisi prajurit dan peralatan
yang dimiliki. Sebuah peralatan canggih-modern, tentu tidak pada tempatnya jika
diawaki oleh prajurit yang tiap hari hanya makan ikan asin, alias kurang gizi.Adapun mengenai pendidikan dan
rekrutmen anggota TNI, khususnya untuk calon perwira, saya berpendapat
ada tradisi yang mutlak harus dipertahankan. Akademi TNI dan kepolisian
(Akmil, AAU, AAL, Akpol) sejak dulu dalam penerimaan taruna selalu
memperhatikan asal-usul seperti suku, agama, dan tempatasal, agar semua
lapisan/golongan masyarakat dapat terwakili. Ini dimaksudkan untuk menghindari
dominasi suku/agama dalam tubuh tentara. Dapat dikatakan, sampai saat ini di
Indonesia militer-lah yang paling well-represented dari masyarakat. Hanya saja, ada pula yang saya
kira perlu ditinjau kembali, yakni kebijakan pemisahan pendidikan akademi
masing-masing angkatan dan kepolisian. Dulu, semua angkatan mengikuti
pendidikan bersama-sama selama tahun pertama di AKABRI, setelah itu baru
dipisahkan, untuk kemudian menjelang kelulusan mereka bersama lagi selama tiga
bulan. Dengan begitu rasa integrasi di antara mereka lebih baik, sehingga kalau
sekali waktu terjadi konflik-konflik kecil di tingkat komandan peleton atau
kompi lebih mudah diselesaikan dengan komunikasi di antara mereka.Saya berpendapat ada baiknya
dipertimbangkan untuk mengintegrasikan lagi akademi militer tiap angkatan.
Tentu bentuknya tidak harus sama persis seperti dulu; yang penting adalah,
untuk mengurangi gap, harus ada fase tertentu di mana mereka mengikuti
pendidikan bersama-sama, sehingga dapat tercipta pertemanan yang akan sangat
berguna apabila kelak mereka menjalankan tugas bersama di lapangan. Pola Teritorial
Negara Indonesia terdiri atas 17.000
pulau lebih yang tersebar pada area sangat luas, dengan jumlah penduduk 215
juta lebih, dengan penuh keragaman etnis, adat, agama, dan lain-lain. Untuk
membuatnya aman dan stabil, yang pertama-tama harus dipikirkan adalah, tentara
harus hadir di tengah-tengah masyrakat. Masyarakat harus merasa bahwa di dekat
mereka ada sekelompok prajurit yang menjaga. Maka dari itu, pola teritorial
yang dikembangkan oleh Angkatan Darat harus dipertahankan, bahkan juga Angkatan
Udara dan Angkatan Laut. Supaya dapat berperan optimal sebagai
faktor penangkal, di samping untuk membuat masyarakat merasa aman, basis-basis
militer kita harus tersebar sedemikian rupa, sehingga paling tidak, di setiap
pulau ada unit-unit militer. Peran dan fungsinya adalah untuk melakukan patroli
secara geografis, mendeteksi keadaan demografis, dan memonitor kondisi politik,
terutama terhadap kawasan yang rawan terhadap ide-ide separatisme. Karena kita belum memiliki
peralatan canggih yang memadai, maka masyarakatlah yang pertama kali berperan
dalam early warning system (sistem peringatan
dini). Saya berpendapat hal ini sangat penting dipromosikan, paling tidak
selagi kondisi keuangan negara belum memungkinkan untuk membangun TNI beserta
alat-alat bantunya secara modern.
Ini sekaligus mempertegas
pentingnya kehadiran tentara pada titik-titik tertentu di tengah lingkungan
masyarakat. Pengembangan teritorial kita diarahkan untuk
membangun sistem pertahanan nasional. Kelirunya di masa lalu adalah pembinaan
teritorial cenderung diarahkan untuk kepentingan sistem politik nasional,
sehingga mempersempit peluang masyarakat berdemokrasi, dan inilah yang ingin
dikoreksi oleh Orde Reformasi. Ke depan, pembinaan teritorial harus lebih
ditujukan pada penyiapan kondisi-kondisi perjuangan kita dalam rangka
mempertahankan keutuhan nasional.Selain menjalankan pola teritorial, TNI kita tentu
tidak melupakan peran internasionalnya yang memang tercantum dalam
undang-undang. Sejak dulu kita dinilai oleh PPB sebagai salah satu tentara di
dunia yang pandai dan cukup berpengalaman. Yang terakhir, misalnya, kita telah
mengirim satu kompi zeni tempur ke Kongo.Prnsipnya, kemana pun kita dikirim, haruslah di
bawah bendera PBB, dan itu akan kita jalankan terus. Setiap permintaan akan
kita respons, sebagai bukti dari kebijakan politik luar negeri kita yang
bebas-aktif.***Oleh:
Mayjen TNI (Purn) Sudrajat, MPA(Mantan Dirjen Strategi
Pertahanan Dephan RI)
Senin, 10 Oktober 2011 - 16:24:03 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.