alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Sabtu, 17 Januari 2015

REPOSISI DAN KONDISI TNI DI ERA REFORMASI

REPOSISI DAN KONDISI TNI DI ERA REFORMASI

Dulu, bermula dari tahun 1965/66, dalam situasi politik pasca G-30.S/PKI, rakyat dengan back-up tentara melawan Partai Komunis Indonesia. Presiden Soeharto kemudian membangun kekuatan politik yang disebut Orde Baru, dan sejak itu tentaralah yang paling banyak berperan di kancah politik nasional, sementara rakyat pada waktu itu setuju saja. ABRI/TNI selama masa Orde Baru mendapat tugas 'borongan' dari pemerintah untuk menstabilkan negara, dengan diberi kewenangan lebih untuk mengambil langkah-langkah preventif, represif, maupun tindakan-tindakan apa saja yang dianggap perlu. Semua permasalahan keamanan ditangani dengan cara-cara tentara, tanpa perlu ada akuntabilitas hukum dan publik. Orang yang diduga akan melakukan sesuatu yang mengancam stabilitas nasional, bisa ditangkap sebelum betul-betul riil melakukan sesuatu, tanpa mempertimbangkan aspek hukumnya. 

Sedangkan sekarang, seiring dengan reformasi politik dan hukum yang bergulir di Indonesia, TNI pun mereformasi dirinya. Keputusan terpenting yang telah diambil antara lain adalah netralisasi TNI dari politik praktis, dan pelepasan doktrin kekaryaan. Dalam pada itu aspek legalitas dalam manjalankan fungsi dan perannya pun sangat dipikirkan, sehingga apa pun yang dikerjakan TNI harus diukur dengan ukuran-ukuran akuntabilitas. Jadi, kalau kita hendak menelaah reposisi ABR I/TNI, maka yang paling awal harus disebutkan adalah perubahan kewenangan yang menjadi lebih terbatas dan terukur. Dengan memisahkan POLRI dari ABRI, maka dua institusi (TNI dan POLRI) lantas berbagi wewenang dalam menjaga dan mengelola keamanan negara. Masalah-masalah yang ada di dalam negeri sehari-hari, misalnya pengamanan pemilu, penanganan unjukrasa, penanganan pertikaian massa, dan lain-lain, polisi-lah yang tampil di depan. Namun manakala gangguan keamanan meningkat dan polisi tidak cukup personil, tidak cukup kekuatan untuk mengatasinya, maka tentara turun tangan melaksanakan operasi bantuan. Reformasi atas institusi tentara, sekaligus juga mereposisi kedudukan Panglima ABRI/TNI. Di zaman Orde Baru, Panglima ABRI diangkat dan bertanggung jawab pada presiden serta diposisikan sejajar dengan menteri-menteri anggota kabinet. Sebagaimana institusi yang dipimpinnya, tanggung jawab Panglima TNI pun bersifat 'borongan', yakni membuat negeri ini aman dan stabil, sehingga dia mempunyai kekuatan dan kewenangan politik, termasuk untuk menentukan siapa musuh (tentu dengan arahan presiden) dan bagaimana mengatasi musuh itu. Sekarang, setelah adanya Undang-undang Pertahanan nomor 3 tahun 2002, disebutkan bahwa Panglima TNI bertanggung jawab memimpin TNI dan mempunyai tugas pokok menyusun strategi dan melaksanakan operasi militer. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Panglima TNI melaksanakan kebijakan pertahanan Departemen Pertahanan (Dephan), jadi kebijakan menggunakan TNI ada di tangan Menteri Pertahanan (Menhan). Pendek kata, Panglima TNI hanya berperan sebagai komandan pasukan yang bergerak kalau ada kebijakan dan keputusan politik presiden yang dalam hal ini dirumuskan oleh Menteri Pertahanan, termasuk untuk apa digunakan, kemana, dan berapa besar jumlahnya. Mengenai jabatan Menhan, sehubungan kondisi Indonesia dewasa ini, ada yang berpendapat seharusnya dijabat oleh mantan militer, ada pula yang berkeras mengharuskan dijabat orang dari kalangan sipil. Polemik semacam ini sampai muncul, karena dalam masyarakat masih terdapat kebingungan tentang apa yang disebut pemerintahan sipil, pemerintah orang-orang sipil, dan kekuasaan sipil. Banyak yang beranggapan seolah dikotomi militer-sipil adalah dikotomi antara personil militer dan orang-orang bukan militer, padahal intinya adalah militer dan kekuasaan sipil. Sedangkan kekuasaan sipil itu hakekatnya ada di tangan presiden yang mendapat mandat dari rakyat.Adapun para menteri, termasuk Menhan, melaksanakan kekuasaan sipil yang diberikan oleh presiden, sesuai dengan kedudukannya sebagai pembantu presiden. Jadi, kekuasaan Menhan memang adalah kekuasaan sipil, sedangkan orangnya bisa dari kalangan sipil maupun juga dari kalangan mantan militer. Yang jelas, dia berfungsi dan bertugas meng-exercise kekuasaan sipil yang berkuasa terhadap militer; dengan kata lain militer memang harus tunduk pada kekuasaan sipil, dan penguasa sipil ini tidak identik dengan personil sipil/nonmiliter.
Di segi lain, banyak peristiwa yang terjadi dalam waktu relatif singkat, relatif bersamaan, pada beberapa spot seperti di Aceh, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan lain-lain. Peralatan militer yang kita miliki tidak bisa merespon secara cepat, karena memang dulu kita berprinsip membangun tentara yang kecil, efektif, dan efisien dengan mengandalkan kemampuan pasukan-pasukan gerak cepat. Belum lagi, kerapkali terjadi, misalnya, pasukan yang akan dikirim sudah siap, tapi tahu-tahu pesawat angkutnya kurang siap lantaran terganggu embargo suku cadang. Pendek kata, TNI terkesan terseok-seok memikul beban akibat dari kebijakan masa lalu yang memang tepat untuk kondisi masanya, namun kurang mampu menjawab tantangan terbaru yang muncul kemudian. Oleh karena itu, perlu ditekankan, siapa pun boleh menjadi Menhan, terserah presiden. Yang penting, tentu dia betul-betul paham apa yang harus dikerjakan sebagai Menhan, dan diharapkan bisa melaksanakan kekuasaan sipil, yang notabene adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Jadi sebetulnya, kalau institusi tentara harus tunduk kepada Menhan, itu sama artinya dengan tunduk kepada rakyat. Untuk jabatan Dirjen di Dephan pun, karena pada dasarnya adalah deputi Menhan di bidangnya masing-masing, maka yang menjabat pun bisa militer ataupun nonmiliter, mengingat sifatnya merupakan jabatan profesi, bukan jabatan politik. Yang penting harus diangkat siapa yang memang betul-betul berkeahlian dan mampu menjalankan tugas sesuai deskripsi job-nya. Ke depan, barangkali yang perlu ditentukan adalah persyaratan pangkat bagi seseorang untuk bisa diangkat menjadi Dirjen, baik yang diberlakukan bagi yang dari kalangan militer maupun sipil. Dampak Perubahan

Reposisi yang antara lain berupa perubahan yang mengarah pada kewenangan yang lebih terbatas, dapat dianggap menimbulkan kesulitan bagi TNI dalam menunaikan tugas pengamanan negara. Paling tidak, dengan pembatasan itu kiprah tentara menjadi tidak bisa secepat dan selincah dulu. Hanya saja, jika dipandang dengan kacamata positif, dampaknya akan membuat anggota tentara lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas, sehingga dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan langkah yang dapat merugikan citra institusi TNI sendiri.

Sebagai contoh, dalam menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) misalnya, kita menghadapi musuh gerilyawan sekaligus teroris yang tidak pakai aturan. Sedangkan TNI dalam melaksanakan operasinya dibatasi pada berbagai aturan seperti tidak boleh menyandera atau menembak seenaknya, sementara GAM bertindak semaunya. (Ini berbeda dengan kalau kita berperang melawan negara lain, masing-masing terikat pada konvensi perang yang berlaku secara internasional). Dalam kasus penyanderaan dua istri personil AURI, misalnya, bagi TNI jelas merupakan tantangan berat yang sangat sulit karena masyarakat mengharapkan korbannya harus aman dan selamat, sedangkan si penyandera leluasa berpindah-pindah tempat. Belum lagi secara curang GAM kerap menggunakan sandera sebagai tameng mereka. Personil TNI yang ada di lapangan, dengan begitu dituntut untuk cerdik menggunakan pola dan teknik yang luar biasa. Dalam pembebasan sandera tersebut, dapat saya tuturkan sebagai berikut; Seorang komandan peleton yang memang brilian waktu itu tahu bahwa sandera berada di sarang GAM yang akan diserbu. Saat menyerang, tembakan-tembakannya sengaja hanya diarahkan ke atas, bukan ke sasaran, namun sengaja dibuat gencar disertai teriakan-teriakan membahana seolah ada serangan yang sangat kuat. Akibatnya GAM-penyandera ketakutan, lari tunggang-langgang, dan sanderanya ditinggalkan begitu saja. Sandera dua istri personil AURI itu terselamatkan, dan setelah itu barulah GAM-penyandera dikejar dengan peluru tajam. Pola dan teknik pembebasan sandera seperti tersebut di atas, tentu tidak bisa dengan mudah dipublikasikan, sebab pasti akan menguntungkan GAM. Ini merupakan 'hambatan kehumasan' tersendiri; pihak-pihak yang tidak sabar dan tidak tahu, kadang menilai TNI lamban, atau bahkan dianggap tidak becus. Setelah terbukti sandera dapat dibebaskan, barulah TNI bisa menunjukkan dirinya mampu.Terlepas dari berbagai kasus yang terjadi, kesulitan yang dihadapi oleh TNI sekarang bukanlah semata-mata merupakan akibat kekeliruan kebijakan di masa lalu, melainkan juga karena adanya perubahan pada strata politik dan lingkungan strategis, yang diperberat oleh krisis ekonomi yang kita alami. Sementara sistem nilai pun berubah; dalam masa peralihan, nilai-nilai lama sudah ditinggalkan, sementara nilai baru belum betul-betul terbentuk.Di sisi lain, TNI yang semula dibangun untuk menghadapi ancaman di masa Orde Baru, harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan ancaman Orde Reformasi; instrumen politik dan kondisi orde baru, dihadapkan pada instrumen politik dan kondisi orde reformasi.  Sekedar contoh, dulu kalau kita melihat ada orang melakukan rapat dan diduga merencanakan pengeboman atau hal lain yang dirasa mengancam stabilitas, kita bisa langsung menangkapnya. Sedangkan sekarang, kalau belum betul-betul mengebom belum bisa dilakukan tindakan. Jadi, kondisi dan instrumennya berubah, sementara hardware yang dimiliki belum berubah; ibarat joki sudah berganti, tapi kendaraannya masih tetap, sehingga ada ketertinggalan dalam tatanan. Ini kadang kurang dibaca oleh masyarakat awam, sehingga maunya hanya menuntut kinerja TNI yang optimal, tanpa mau memahami permasalahan yang dihadapi.  Sebagaimana institusi lain, TNI pun tak lepas dari proses kontinyuitas; apa yang ada sekarang, tak lepas dari keadaan masa lalu. Kita tidak bisa hanya menyalahkan seolah apa yang kita hadapi sekarang semata merupakan residu kesalahan masa lalu. Masalahnya adalah, sistem yang kita bangun di masa lalu, memang tidak cocok lagi dengan norma-norma yang berlaku sekarang. Kita wajib selalu mengadakan evaluasi, mengadakan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, dan untuk itu tidak hanya tergantung pada TNI sendiri, sebab para politisi pun harus memahami dan memberikan sumbangsih, di samping harus terus-menerus memperbaiki diri juga. Mengatasi Ketertinggalan

Di tahun 1960-an, TNI pernah menjadi tentara yang sangat kuat. Ini antara lain karena mendapat bantuan dari Uni Soviet pada waktu kita sedang dalam proses mengambil kembali Irian Jaya, 1963. Setelah itu, karena hampir tidak pernah ada musuh yang akan menyerang dari luar, bangsa Indonesia agak terlena oleh situasi keamanan yang ada, sehingga alpa untuk membangun ketentaraan secara optimal. Musuh-musuh yang kita hadapi lebih banyak bersifat internal, sehingga TNI pun dibangun cenderung untuk menghadapi musuh internal itu, yang notabene lebih banyak dihadapi dengan faktor-faktor nonteknis militer. Maka dari itu, menurut Jenderal A.H.Nasution, selama periode 1965 hingga selama masa Orde Baru kita lebih mengandalkan 'sistem senjata sosial'.  Kondisi stabil dapat dicapai, terutama karena aspek politik dalam negeri dapat dikuasai, sedangkan gangguan dalam negeri pada umumnya berawal dari ide-ide politik. Lagipula, selama kekuasaan Orde Baru ada instrumen 'ekstra' tertentu (misalnya Kopkamtib) yang dianggap sah dan berfungsi efektif. Dalam kondisi yang dinilai stabil, maka prioritas pembangunan Indonesia lebih ditujukan pada bidang ekonomi, yaitu meningkatkan kesejahteraan yang antara lain dicapai melalui peningkatan daya beli masyarakat dan memperkuat ketahanan pangan.  Setelah reformasi bergulir, dan konstelasi politik berubah, lingkungan eksternal Indonesia pun berubah. Sementara instrumen-instrumen TNI tidak sama lagi dengan semasa Orde Baru, sedangkan musuh yang harus dihadapi ternyata semakin menngkat. Dari kenyataan ini terlihat TNI agak 'keteter', lebih-lebih manakala dipisahkan dari POLRI. Ada kondisi yang belum mapan dan belum terbiasa, sehingga permasalahan-permasalahan yang sebelumnya dihadapi bersama-sama TNI dan POLRI, sekarang seolah dipilah-pilah. Kalau ada gangguan keamanan, kerapkali orang masih bertanya-tanya apakah merupakan tugas-kewajiban polisi ataukah tentara. Inilah yang dalam masa transisi menimbulkan kegamangan aparat dalam mengatasi masalah-masalah keamanan.Oleh karena itu, ke depan para pemimpin, baik petinggi TNI maupun pimpinan politik, diharapkan punya good willterhadap pembentukan tentara yang lebih profesional, dalam arti harus betul-betul mampu mengatasi hakekat ancaman yang diperkirakan pada beberapa tahun mendatang. Good will itu dapat dimulai dari penentuan alokasi anggaran. Anggaran TNI yang dialokasikan pemerintah pada tahun 2003 hanya sekitar Rp. 16 triliun atau 0,87 persen dari GDP (Gross Domestic Product - Produk Domestik Bruto). Untuk tahun 2004 diperkirakan akan menjadi Rp. 21 triliun atau 1 persen GDP. Sedangkan untuk bisa mencukupi kebutuhan yang sesungguhnya, paling tidak harus mencapai 3 (tiga) persen dari GDP. Kita mengharapkan, kalau alokasi anggaran mencapai Rp. 50 triliun, atau bahkan sampai Rp. 100 triliun dalam tiga tahun mendatang, barulah Indonesia memiliki TNI yang memadai, paling tidak untuk dapat menangani masalah-masalah konflik dalam negeri secara handal. Tentu, untuk mendapatkannya harus melalui debat politik mengenai prioritas pembangunan. Kita menyadari adanya sektor-sektor lain yang juga kekurangan dana dan mendesak untuk ditingkatkan, misalnya pendidikan, tenaga kerja, dan lain-lain. Yang kemudian perlu dipahami adalah, dengan membangun TNI berarti sekaligus juga membangun tenaga kerja. Oleh karena itu, antara pendidikan pada umumnya dengan pembangunan TNI seyogianya berjalan seiring sejalan. Yang jelas, kekuatan militer termasuk salah satu tolok ukur dihormatinya suatu bangsa, sebagaimana indeks keterdidikan suatu bangsa pun demikian.Hendaknya dipahami bahwa pembangunan TNI disiapkan untuk menjalani tiga tugas pokok, yakni sebagai kekuatan pemukul, penangkal, dan perehab. Seperti situasi di Ambon dan Aceh, misalnya, TNI berkewajiban merehabilitasi, baik di aspek fisik maupun keamanannya. Agar dapat menjadi kekuatan penangkal dan pemukul yang diperhitungkan oleh bangsa lain, maka TNI harus dibangun secara signifikan. Kalau TNI dibiarkan hanya memiliki persenjataan yang old fashion, maka kita tidak akan menjadi penangkal yang memadai, sekaligus tidak ditakui, disegani, dan diperhitungkan oleh negara-negara lain. Unsur-unsur dari luar yang ingin mencuri ikan, melakukan penyelundupan, dan sebagainya, akan semakin seenaknya kalau melihat TNI kita tidak cukup kuat. Oleh karena itu, saya sangat berharap nantinya pemimpin negara yang berkuasa berkenan memahami betul gunanya membangun tentara.Konsep kita sekarang, memang, terkait dengan masalah-masalah dalam negeri, selama situasi masih bisa diatasi oleh polisi, tentara menjadi nomor dua. Akan tetapi tentunya kita dapat membayangkan, kalau polisi sudah tidak sanggup mengatasi sendiri, lalu datang tentara yang 'keple' maka situasi akan tetap runyam, karena TNI sulit berperan sebagai pamungkas. Dalam pembangunan TNI, kesejahteraan prajurit pun sudah waktunya lebih diperhatikan. Untuk membentuk tentara yang profesional, salah satu syarat yang sulit ditawar adalah adanya kompensasi yang memadai dan proporsional. Mereka harus dididik-dilatih, diperlengkapi, dan digaji dengan baik. Prajurit yang kesejahteraannya kurang baik, sulit diharapkan memiliki kemampuan dan kekuatan yang baik. Dalam hal ini penting untuk diperhatikan keseimbangan antara kondisi prajurit dan peralatan yang dimiliki. Sebuah peralatan canggih-modern, tentu tidak pada tempatnya jika diawaki oleh prajurit yang tiap hari hanya makan ikan asin, alias kurang gizi.Adapun mengenai pendidikan dan rekrutmen anggota TNI, khususnya untuk calon perwira, saya berpendapat ada tradisi yang mutlak harus dipertahankan. Akademi TNI dan kepolisian (Akmil, AAU, AAL, Akpol) sejak dulu dalam penerimaan taruna selalu memperhatikan asal-usul seperti suku, agama, dan tempatasal, agar semua lapisan/golongan masyarakat dapat terwakili. Ini dimaksudkan untuk menghindari dominasi suku/agama dalam tubuh tentara. Dapat dikatakan, sampai saat ini di Indonesia militer-lah yang paling well-represented dari masyarakat.  Hanya saja, ada pula yang saya kira perlu ditinjau kembali, yakni kebijakan pemisahan pendidikan akademi masing-masing angkatan dan kepolisian. Dulu, semua angkatan mengikuti pendidikan bersama-sama selama tahun pertama di AKABRI, setelah itu baru dipisahkan, untuk kemudian menjelang kelulusan mereka bersama lagi selama tiga bulan. Dengan begitu rasa integrasi di antara mereka lebih baik, sehingga kalau sekali waktu terjadi konflik-konflik kecil di tingkat komandan peleton atau kompi lebih mudah diselesaikan dengan komunikasi di antara mereka.Saya berpendapat ada baiknya dipertimbangkan untuk mengintegrasikan lagi akademi militer tiap angkatan. Tentu bentuknya tidak harus sama persis seperti dulu; yang penting adalah, untuk mengurangi gap, harus ada fase tertentu di mana mereka mengikuti pendidikan bersama-sama, sehingga dapat tercipta pertemanan yang akan sangat berguna apabila kelak mereka menjalankan tugas bersama di lapangan.  Pola Teritorial

Negara Indonesia terdiri atas 17.000 pulau lebih yang tersebar pada area sangat luas, dengan jumlah penduduk 215 juta lebih, dengan penuh keragaman etnis, adat, agama, dan lain-lain. Untuk membuatnya aman dan stabil, yang pertama-tama harus dipikirkan adalah, tentara harus hadir di tengah-tengah masyrakat. Masyarakat harus merasa bahwa di dekat mereka ada sekelompok prajurit yang menjaga. Maka dari itu, pola teritorial yang dikembangkan oleh Angkatan Darat harus dipertahankan, bahkan juga Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Supaya dapat berperan optimal sebagai faktor penangkal, di samping untuk membuat masyarakat merasa aman, basis-basis militer kita harus tersebar sedemikian rupa, sehingga paling tidak, di setiap pulau ada unit-unit militer. Peran dan fungsinya adalah untuk melakukan patroli secara geografis, mendeteksi keadaan demografis, dan memonitor kondisi politik, terutama terhadap kawasan yang rawan terhadap ide-ide separatisme. Karena kita belum memiliki peralatan canggih yang memadai, maka masyarakatlah yang pertama kali berperan dalam early warning system (sistem peringatan dini). Saya berpendapat hal ini sangat penting dipromosikan, paling tidak selagi kondisi keuangan negara belum memungkinkan untuk membangun TNI beserta alat-alat bantunya secara modern.
 Ini sekaligus mempertegas pentingnya kehadiran tentara pada titik-titik tertentu di tengah lingkungan masyarakat. Pengembangan teritorial kita diarahkan untuk membangun sistem pertahanan nasional. Kelirunya di masa lalu adalah pembinaan teritorial cenderung diarahkan untuk kepentingan sistem politik nasional, sehingga mempersempit peluang masyarakat berdemokrasi, dan inilah yang ingin dikoreksi oleh Orde Reformasi. Ke depan, pembinaan teritorial harus lebih ditujukan pada penyiapan kondisi-kondisi perjuangan kita dalam rangka mempertahankan keutuhan nasional.Selain menjalankan pola teritorial, TNI kita tentu tidak melupakan peran internasionalnya yang memang tercantum dalam undang-undang. Sejak dulu kita dinilai oleh PPB sebagai salah satu tentara di dunia yang pandai dan cukup berpengalaman. Yang terakhir, misalnya, kita telah mengirim satu kompi zeni tempur ke Kongo.Prnsipnya, kemana pun kita dikirim, haruslah di bawah bendera PBB, dan itu akan kita jalankan terus. Setiap permintaan akan kita respons, sebagai bukti dari kebijakan politik luar negeri kita yang bebas-aktif.***Oleh: Mayjen TNI (Purn) Sudrajat, MPA(Mantan Dirjen Strategi Pertahanan Dephan RI)
Senin, 10 Oktober 2011 - 16:24:03 WIB 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.