Sanksi Adat Dan Belis
Pada Kawin Lari
Menurut Adat
Orang Rote
Yang
memegang peranan dan berhak bersuara dipihak si gadis menurut adat orang Rote,
adalah Paman kandung si gadis, yaitu saudara kandung laki-laki pihak ibunya
(Paman) disebut (To’O). Panggilan
untuk bibi adalah (Te’O).
To’O inilah yang berhak mewakili pihak keluarga si
gadis dalam semua pembicaraan saat pertemuan berlangsung. To’O ini juga yang
menentukan sanksi adat apa yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki
baik macam, maupun besarnya sanksi adat. Jadi bukan ayah kandung atau keluarga
lainnya dari pihak si gadis.
Pembayaran sanksi
adat antara lain ditentukan sebagai berikut:
Ø Pembayaran sirih pinang dan sopi (wisky Rote), sebagai tanda pinangan diterima
dan sebagai pengganti sirih pinang dan
adat pada waktu meminang dilakukan oleh si lelaki / pemuda dalam keadaan
perkawinan normal
Ø Pembayaran “buka dan tutup pintu”;
yang artinya sejak pinangan diterima, rumah orang tua si gadis terbuka dan
masih terus terbuka (dianggap pintu rumah masih terbuka sejak saat si gadis
meninggalkan rumah) baik saat penutup pintu (sejak saat penerimaan tersebut
maka pintu harus ditutup kembali) dan pembuka pintu tersebut harus dibayar
secara adat.
Ø Pembayaran “air susu ibu” sebagai balas jasa kepada ibu si gadis yang
telah memelihara dan membesarkan calon istrinya.
Ø Belis
(mas kawin), yang harus dibayar lunas agar supaya istrinya kelak menjadi penuh masuk
menjadi milik suku / clan suaminya. Biasanya berupa sawah atau kebun kelapa
(Rote = “mamar” yaitu kebun
dengan tanaman jangka panjang), bisa berupa hewan atau lainnya sesuai
permintaan To’O nya. Apabila Belis ini tidak dibayar, maka kelak
anak-anaknya yang lahir dari hasil perkawinan mereka akan masuk ke-Clan / Vam
ibunya.
Ø “Uang To’O,” suatu pembayaran kepada pihak
paman (To’O) dari si gadis calon istrinya.
Ø Pembayaran uang “cuci
muka” (uang malu), yang dilakukan sebelum terang
kampung. Cuci muka ini khusus dilakukan
bagi mempelai yang sebelum kawin resmi telah melakukan persetubuhan, dan
sekarang tidak perawan lagi. Oleh karena itu untuk menghapus malu yang diderita
oleh pihak keluarga wanita, harus dibayar denda secara adat.
Ø Pembayaran uang “tutup
pintu”, terutama khusus dilakukan bagi gadis yang dilarikan,
sehingga pintu rumah pada waktu melarikan itu masih tetap terbuka, dan untuk
menutup kembali pintu itu harus dibayar denda secara adat.
Ø Pembayaran uang “potong duri” (uang lelah karena mencari kesana-kemari, ke-semak-belukar dan
dihutan-hutan sehingga kaki-kaki keluarga perempuan tersusuk duri), terutama bagi kawin lari.
Pada waktu mencari si gadis yang dilarikan itu banyak rintangan-rintangan yang dihadapi
pihak keluarga si gadis sehingga kakinya tertusuk duri, oleh karena itu untuk
membalas jerih payah pada waktu mencari
itu harus dibayar denda cabut duri secara adat.
Semua pembayaran “belis” itu harus dibayar berupa: hewan,
seperti sapi, kerbau, babi, kuda, biri-biri dan kambing dan juga sawah atau
kebun kelapa sesuai permintaan To’O dan disanggupi pihak
laki-laki. Juga
dilengkapi dengan pembayaran uang, selimut dan pakaian lainnya, sebagai
kebesaran adat. Dalam setiap pembayaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki,
maka pihak keluarga perempuan / wanita harus membalasnya sesuai dengan
pembayaran yang diterimanya atau tidak selalu sama. Selesai segala macam
penentuan pembayaran adat ini disepakati, yang secara resmi diketahui oleh umum
dan kepala adat, maka kedua mempelai
suami istri disyahkan perkawinannya menurut adat. Surat perkawinan ini ditanda tangani Kepada Desa dan para
saksi-saksi adat. Jika masing-masing yang bersangkutan beragama Kristen,
maka upacara perkawinan dengan sistem “Terang
Kampung” ini masih akan dilanjutkan lagi dengan upacara Pernikahan di
Gereja.
Tentu masing-masing
pihak harus memenuhi beberapa persyaratan Gereja, antara lain,
Ø mereka telah dipermandikan / dibaptis
(ada suratnya) dan,
Ø sudah mengikuti Pengakuan Iman / Sidi,
(harus ada suratnya) dan,
Ø mengikuti pemahaman pranikah / pengembalaan oleh Pendeta di gereja.
Walaupun mereka telah memiliki surat-surat diatas tetapi tidak dilanjutkan dengan pernikahan gereja,
maka mereka sebagai anggota gereja akan diberi sanksi oleh geraja yaitu mereka
tidak diperkenankan mengikuti acara “Perjamuan
Kudus” yaitu suatu perayaan orang Kristen tentang hari Peringatan
Kematian “Kristus Jesus.
Surat
Nikah Terang Kampung ini tidak diakui oleh gereja sebagai suatu surat
pernikahan, demikian pula oleh Kantor Pencatatan Sipil. Kapan
mereka akan menjalani pernikahan gereja, tidak dibicarakan pada saat upacara
Terang Kampung ini berlangsung. Pembicaraan akan dilakukan dilain waktu dan tempat, dimana
masing-masing pihak akan bertemu
lagi membicarakannya dikemudian hari.
Perkawinan
“Terang Kampung” ini jarang
sekali terjadi, tetapi hanya merupakan
beberapa kasus saja, karena ulah si
gadis dan pria pujaannya yang kelewat membara cinta mereka dengan mengambil
jalan pintas bebas hambatan, atau istilah sekarang mengambil jalur jalan Tol atau potong
kompas, tanpa memperhitungkan beratnya
resiko sanksi adat yang kelak harus ditanggungnya sendiri seperti berbagai
pembayaran yang disebutkan diatas.
Sering juga terjadi pihak keluarga si gadis tidak mau menerima anak
gadisnya dilarikan untuk kawin,
sehingga mengambil jalur hukum dengan
melaporkan kejadian ini kepihak kepolisian dan diperkarakan hingga ke
pengadilan negari. Apabila hal ini terjadi demikian, maka tidak akan terjadi upacara adat perkawinan
“Terang Kampung.” Yang paling
fatal lagi ialah bahwa anak gadis yang lari kawin itu, terkadang tidak “diakui” anak lagi oleh orang
tuanya atau dengan istilah lain anak gadis itu di “buang” dan tidak diperkenankan pulang kerumah orang tua atau
kekeluarganya sampai kapan pun juga.
Apakah orang Rote secara adat dapat kawin lebih dari satu
istri?
Kecuali Raja dan Fetor
pada zaman dahulu, maka yang lainnya tidak diperkenankan polygami. Adat perkawinan “Sororat dan “Levirat” di
izinkan, yaitu perkawinan berganti tikar yang disebut “Alu Anak”. Menurut adat Rote juga
diperkenankan jika seorang sudah beristri ingin menikah lagi dengan adik
perempuan dari istrinya maka berlaku ketentuan hukum adat “Dangga Lena atau Natula
Langgak” dimana lelaki harus menyerahkan satu ekor kerbau kepada
keluarga wanita.
Apakah perceraian memungkinkan?
Perceraian dimungkinkan
dalam alasan utama yaitu perzinahan dengan orang lain. Jika terjadi perzinahan oleh wanita maka ia harus mengembalikan seluruh “Belis” yang pernah diterimanya,
biaya perceraian tersebut dengan “Natateak”, tergantung dari siapa yang bersalah, meminta cerai dialah yang
membiayai perceraian itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.