SEJARAH PEMERINTAHAN TRADISIONAL DI PULAU ROTE - NTT
Suku Bangsa di Timor & RoteDan Tanah Hak Ulayat Suku
Sudah menjadi kodrat
alam, bahwa manusia sejak dahulu kala selalu hidup bersama-sama dalam suatu
kelompok yang mendiami suatu wilayah tanah adat
yang disebut Tanah Ulayat Suku. Salah satu faktor penting dalam
kehidupan masyarakat tradisional adalah pertalian
darah dan hubungan-hubungan kekerabatan yang disebut “ suku.”
Orang Rote menyebut kesatuan-kesatuan geneologis itu dengan sebutan “Leo,”
orang Timor dengan “Uf”,
sedangkan orang Belu
menyebutnya “Fukun.” Dalam kelompok manusia itulah
mereka berjuang bersama-sama mempertahankan hidupnya : mencari makan, melawan
bahaya dan bencana serta melanjutkan keturunan.
- Dahulu mula-mula kelompok-kelompok suku itu hidup
dari perburuan, mencari makan dihutan-hutan dan oleh karena itu mereka
selalu hidup berpindah-pindah tempat.
- Kemudian oleh perkembangan peradaban, mereka mulai
hidup menetap pada suatu tempat tertentu, karena mereka telah mulai
mengenal peternakan dan bercocok tanam.
Kelompok-kelompok suku
ini awalnya terdiri dari orang-orang seketurunan dalam jumlah sedikit, tetapi
lama kelamaan setelah beberapa generasi, jumlahnya makin bertambah banyak dan
berkembang terus sehingga semula hanya menempati suatu wilayah tanah ulayat / tanah adat yang tidak terlalu luas, sekarang
terpaksa menyebar sehingga pada akhirnya menduduki wilayah yang amat luas. Untuk
mempertahankan hak hidup mereka pada tempat tinggal tertentu yang mereka anggap baik untuk sumber
penghidupan bagi kelompoknya, diperlukan seseorang atau sekelompok kecil
orang-orang yang ditugaskan untuk mengatur dan memimpin kelompok sukunya.
Setiap kelompok
masyarakat suku maupun anggota dari kelompok suku tersebut selalu mempunyai berbagai kepentingan dalam
kehidupan bermasyarakatnya. Namun kepentingan yang satu dengan yang lainnya
terkadang tidak selalu sama atau searah
tetapi dapat juga saling
bertentangan sehingga menimbulkan kekacauan dalam lingkungan mereka yang
sebenarnya tidak diharapkan. Kepentingan/kebutuhan, adalah suatu tuntutan perorangan atau
kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap manusia adalah pendukung atau
penyandang kepentingan. Manusia dalam hidupnya dikelilingi pelbagai macam
bahaya yang mengancam kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. Manusia
menginginkan agar kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengacamnya.
Karena itu memerlukan bantuan manusia lain. Dengan kerja sama dengan manusia
lain akan lebih mudahlah keinginannya tercapai atau kepentingannya terlindungi.
Mengingat bahwa manusia itu termasuk maklum yang lemah dalam menghadapi ancaman
bahaya terhadap dirinya atau kepentingannya. Akan lebih kuat kedudukannya
menghadapi bahaya apabila ia bekerja
sama dengan manusia lain dalam kelompok atau kehidupan bersama. Bahwa masyarakat suku juga mengenal berbagai kaedah
sosial yang terdiri dari kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan,
kaedah sopan santun untuk melindungi kepentingannya. Kaedah kepercayaan
atau keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman yang ditujukan terhadap
kewajiban manusia kepada Dewa, Tuhan mereka. Sumber atau asal kaedah ini adalah
ajaran-ajaran kepercayaan atau agama yang oleh pengikut-pengikutnya dianggap
sebagai perintah Tuhan atau Dewa.
Penguasa-penguasa
Adat
Tradisional di Timor
dan Rote
Di Rote setiap clan yang
disebut “Manelaka” yang tertdiri
dari keluarga-keluarga besar memiliki
pimpinan-pimpinannya sendiri yang disebut “Laka”
(Kepala) atau “Mane Laka” (Raja
Clan). Sejumlah
Manulaka terhimpun ke dalam sebuah “ Leo”
(Suku) yang dipimpin oleh “Mane Leo” atau raja suku. Sejumlah Leo
menjadikan sebuah Nusak (kerajaan) yang dipimpin oleh Manek (Raja). Raja memerintah Nusak dengan bantuan seperangkat pemerintahan nusak, yang
disebut “Mane Sio” (Raja Yang Sembilan = 9 pejabat adat utama). Setiap
Nusak memiliki dua Leo atau lebih,
sesuai sistem kemasyarakatan yang mereka bangun dan kembangkan.
·
Di
Nusak Bilba di Kecamatan
Rote Timur, terdapat 4 Leo,
yaitu Lengumau, Talakoko, Mumu, dan Mansea.
·
Di
Korbafo di Kecamatan Pantai Baru,
terdapat dua Leo, masing-masing Tanonggoe dan Ndeotei adalah Leo
Fetor. Demikian pula pada tujuh belas kerajaan lainnya di pulau Rote.
Agak berbeda dari sistem kemasyarakatan dan pemerintahan
di kalangan orang Rote.
Suku Timor mengenal “Uf”
(suku) Pah Tuaf yaitu suku tertua
yang pertama menempati suatu kawasan ulayat (tanah adat) tertentu. Di samping Uf Pah Tuaf itu, ada pula Uf Raja (Nonot Usif). Sesudah itu
terdapat sistem “Suku Kembar Dua,” artinya ada dua suku utama yang masing-masing
terdiri dari sepasang suku-senyawa karena pertalian keluarga menurut garis
bapak dan garis paman.
Sebagai contoh, di
desa Kusi di Kecamatan Amanuban Barat terdapat,
Nonot
Usif (suku raja) bernama Alun Pah, sedangkan Pah Tuaf adalah suku Tusi. Sistem
kembar dua di Kusi adalah suku-suku Tusi dan Tanu serta suku-suku Leo dan Benu.
Dengan demikian maka sebutan lengkapnya
adalah Tusi-Tanu ma Leo Benu.
Struktur
yang sama terdapat pula di desa Kele,
yaitu suku raja adalah Babies, Pah Tuaf adalah Ton, sedangkan
suku kembar duanya adalah Babies-Sapai ma Ton-Finit.
Di dua pusat pemukiman
masyarakat Belu di Fatuketi di
Perwakilan Kecamatan Tasifeto Barat dan desa Diran di Kecamatan Lamaknen
ditemukan pula pola pengelompokan “Fukun-Fukun”
(suku-suku) dalam bentuk dua suku kembar seperti yang terdapat juga pada
kelompok-kelompok tradisional Timor yang telah disebutkan dimuka. Seperti di
bekas kerajaan Lidak terdapat dua suku kembar dua (jumlahnya 8 suku). Suku-suku
kembar dua yang pertama adalah Mamulak-Amareo dan Matabesi-Bowai; suku kembar
dua yang kedua adalah Dirma—Kamane dan Fatuhat-Tahane. Sedangkan suku raja
adalah Lawalu. Di desa Diran, suku Fetor adalah Monewalu Bokal, sedangkan suku Temukung adalah Monewalu Holgawen . Selanjutnya suku kembar dua yang pertama
adalah Loos-Sirigatal dan Leolaran dan Lalis-Datoalin.
Identifikasi kesukuan
tersebut penting karena ia mempunyai implikasi
yang luas, antara lain dalam hubungan dengan tempat “ego” dalam pergaulan sosialnya, dengan status, hak dan kewajiban
ego secara ekonomis dalam wilayah tanah ulayat/tanah adat sukunya. Suku-suku
yang kembar dua-duaan yang disebut diatas telah dikemukakan oleh Schulte Nordhold dalam The
Political System of tha Atoni of Timor
(l971) yang
disebutnya “Quardrupartition”. Semasa pemerintah Belanda
dulu kerajaan-kerajaan suku telah ditata ulang secara paksa demi lancarnya
pemerintahan kolonial.
James
Fox,
dalam Harvest of the Palm (l975) mengemukakan hal yang sama tentang pemberian pengakuan
kepada kerajaan-kerajaan suku seperti V.O.C.
agar dengan mudah dapat menjalin kerjasama. Sistem politik dan pemerintahan dalam masyarakat-masyarakat suku
demikian itu, oleh Schulte Nordhold disebutnya “Autochtonous”.
Pemerintahan
otoktonus masyarakat suku tersebut telah mengalami intervensi berulang kali
dalam sejarahnya, seperti di zaman V.O.C.
dan pemerintahan Belanda, namun
sekali-kali tidak dapat mendisintegrasikannya,
karena sifat dasarnya yang mekanis, artinya karena ia dibangun di atas sistem kekerabatan
dan hubungan darah, yang sering tidak dipahami oleh pihak luar. Pemerintahhan otoktonus masyarakat
suku seperti itu bukan hanya sekedar pemerintahan dan kekuasaan atas kelompok-kelompok
manusia yang terkait dalam hubungan mekanis saja, melainkan juga mengandung teritorial dan ekonomis. Yang dimaksud dengan makna teritorial
disini ialah bahwa batas-batas wilayah kekuasaan dan kedaulatan secara
teritorial tidak pernah berubah sejak dahulu kala. Pembentukan pemerintahan desa menurut UU. No.5 tahun l974 telah
meniadakan sama sekali sistem pemerintahan otoktonus dalam masyarakat suku
secara yuridis, namun batas-batas wilayah desa yang ditata kembali dengan UU
tersebut tidak berubah secara teritorial. Peta-peta wilayah
pemerintahan desa moderen masih tetap mengikuti pola wilayah dimana suku-suku
pernah menggariskannya dahulu. Perlu dicatat di sini bahwa perang-perang suku
yang terjadi dahulu terutama disebabkan oleh adanya usaha menggusur batas
wilayah sebuah suku oleh suku lain. Selanjutnya
yang dimaksud dengan makna ekonomis di sini ialah bahwa setiap kelompok suku telah
saling menetapkan dan mengakui seluruh wilayah kekuasaan dan kedaulatannya
sebagai suatu
kesatuan Ulayat suku.
Suku-suku
yang mendiami suatu wilayah kerajaan telah membagi habis daerahnya menjadi tanah-tanah Ulayat suku.Tanah-tanah
suku itu di distribusikan kepada marga-marganya (anak-anak suku), yang
selanjutnya membagi dan menetapkan tanah-tanah
ulayat keluarga batih asal. Undang-undang Agraria secara yuridis
telah mencabut hak-hak suku dengan menjadikannya Tanah-Tanah Negara Bebas, akan tetapi secara De Fakto
sistem tanah Ulayat suku masih
dipraktekkan terus sampai kini karena mengandung arti kelangsungan hidup dan usaha-usaha
ekonomis bagi anak-anak suku, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Dengan
tehnologi pertaniannya yang masih sangat sederhana, usaha-uasaha pecaharian
hidup yang bersifat ekstensif memerlukan adanya tanah ulayat yang luas guna memberikan keleluasaan gerak ekonomis.
Lebih
lanjut, makna ekonomis dari kekuasaan otoktonus masyarakat suku
mengandung arti ekologi. Dapatlah dikatakan bahwa hidup mati dan tegak
rebahnya masyarakat suku sangatlah bergantung erat dengan lingkungan
hidupnya. Luas teritorial tanah ulayatnya adalah hidup seluruh suku. Ia mustahil
mengembangkan kehidupan di luar tanah
ulayatnya, kecuali jika ada anggota-anggotanya yang bermigrasi dari situ
dan diterima kedalam lingkungan suku lain yang mengadopsinya dan menjadi anak
suku di situ. Dalam lingkungannya yang baru itu ia akan diberi hak-hak tertentu
di dalam kawasan tanah ulayat sukunya yang baru. Segala sesuatu yang disediakan
oleh lingkungan hidupnya akan dimanfaatkan dengan segala daya dan cara, sejauh
pengetahuan dan tehnologi yang dimilikinya guna memperkembangkan hidup disitu. Runtuh
tegaknya kehidupan ekonomi masyarakat suku bergantung pada lestari atau
runtuhnya
ekologi dalam kawasan ulayat suku. Tenta
Itulah sekilas gambaran
mengenai pemimpin kelompok-kelompok suku Rote dan Timor serta Belu yang semula
menguasai sebuah wilayah tanah suku / tanah adat yang disebut hak atas tanah
ulayat suku. (Pdt.Drs.Max Jacob,
MTh, (Kakak Kandung Penulis) Perilaku Masyarakat Tradisional Rote, Timor,
Belu, Terhadap Hutan dan Hutan Lindung,1991, hal.35-39) Kepada
pemimpin kelompok (penguasa adat) diberikan kekuasaan-kekuasaan tertentu dan anggota-anggota kelompok diharuskan pula
mentaati peraturan dan perintah pemimpinnya. Dengan adanya seseorang atau
beberapa orang dijadikan pemimpin yang mengatur peri-kehidupan anggota kelompok
dan adanya ketaatan dari anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya, maka
timbullah dalam kelompok itu suatu kekuasaan
“pemerintahan “ sederhana (Penguasa Adat). Anggota-anggota kelompok suku tersebut
dengan sadar mengakui tata hidup dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
pemimpin mereka.Tata dan peraturan hidup tertentu itu mula-mula tidak tertulis
yang batas-batasnya tidak terang, dan hanya merupakan adat kebiasaan saja. Kemudian
dengan meluasnya kepentingan sekelompok-sekelompok itu dan untuk mengatasi
segala kesulitan yang datang dari dalam maupun dari luar, dirasakan perlu
adanya suatu organisasi yang lebih besar, teratur dan lebih berkekuasaan. Organisasi
itu amat diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan
hidup agar dapat berjalan dengan tertip. Organisasi yang mempunyai kekuasaan
itulah yang dinamakan “ kerajaan “ atau istilah orang
Rote “nusak”
yaitu suatu wilayah kekuasaan adat tradisional yang luas dengan batas-batas
tertentu dari sejumlah besar suku-suku yang semula masih sedarah dan
seketurunan. Tanah-tanah adat ini semula dikuasai oleh kelompok-kelompok suku
yang disebut tanah Ulayat suku. Jadi didalam suatu Kerajaan atau Nusak
terdapat banyak tanah Ulayat yang
kepemilikannya diakui
secara adat oleh suku-suku yang ada. Semua anggota dari kelompok suku ini berhak
menggarapnya sesuai kemampuan
masing-masing. Yang berhak mengatur pembagian dan
pengawasan serta pemanfaatan atas tanah
Ulayat adalah Kepala Sukunya. Sejarah
penguasaan atas tanah-tanah Ulayat secara adat seperti di Pulau Rote ini, juga dianut oleh
kelompok-kelompok suku di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur. Sistem tanah ulayat umumnya hanya terdapat
di tingkat pedesaan saja, sedang di perkotaan tidak terdapat lagi. Sifat
pemilikan tanah Ulayat adalah pemilikan secara kelompok atau kelompok suku
yang anggota-anggotanya masih sedarah atau seketurunan yang tergabung dalam
kekerabatan, sedang di perkotaan sifatnya adalah pemilikan perorangan.
Kelompok suku lain, tidak berhak melakukan
kegiatan apapun diatas tanah Ulayat yang sudah ada, tanpa izin dan persetujuan dari penguasa adat yang memilikinya. Hingga kini keabsahan dan keberadaan hak atas tanah Ulayat ini
diakui oleh Hukum Adat maupun oleh UU.Pokok Agraria, sepanjang
dalam pemanfaatan dan penggunaannya tidak bertentangan dengan UU Pokok
Agraria / Pertanahan yang berlaku dan secara kenyataan Hak atas Tanah Ulayat
ini masih ada dan berlangsung hingga
kini. Berakhirnya hak atas Tanah Ulayat suku apabila Tanah Ulayat suku itu,
telah dibagi habis menjadi bagian-bagian dengan luas tertentu, kepada semua anggota kelompok anak sukunya
sehingga menjadi pemilikan perorangan-suku. Sebelum para penjajah
Portugis dan Belanda datang ke wilayah Nusantara ini, boleh dapat dikatakan setiap kerjaan di Nusantara pada
umumnya dan di pulau Rote khususnya adalah sama
dengan sebuah “negara”.
Jadi
dalam suatu pulau ataupun dalam suatu wilayah tertentu pada zaman itu banyak
terdapat kerajaan-kerajaan dengan kepala pemerintahannya adalah seorang raja. Setiap kerajaan adalah otonom dan
berkuasa penuh atas wilayah kerajaannya. Status kerajaan adalah suatu ‘negara kecil’ dikatakan syah pada saat itu karena telah
terpenuhi unsur-unsur suatu negara yakni adanya (daerah, rakyat, dan pemerintah
yang bardaulat, serta adanya pengakuan dari kerajaan/ negara tetangga/
perbatasannya).
Peperangan bisa saja
terjadi antara kerajaan yang satu dengan lainnya, karena berbagai sebab antara
lain : perebutan lahan pertanian, lahan penggembalaan, sumber air, ataupun
untuk perluasan wilayah. Maka dapat terjadi penaklukan, sehingga wilayah yang
kalah menjadi satu dengan kerajaan yang menang atau terjadi peleburan. Munculnya
“nusak” atau kerajaan
dan “mane”
atau raja di pulau Rote, berawal dari
kelompok-kelompok seketurunan yang menduduki suatu wilayah tertentu yang
memilih seorang saudara laki-lakinya
(mane=jantan) dan seorang saudara perempuannya (fetto) menjadi pemimpin mereka melalui proses
pemilihan.
Kedudukan “mane” dan
“fetto/ fettor” dalam pemerintahan adalah sama atau
sederajat, hanya
terdapat perbedaan dalam tugas yakni,
Ø “mane” mengurus dan menangani hal-hal diluar kerajaan misalnya
urusan dengan kerajaan lainnya, sedangkan “fetto arau “fettor” urusan dalam negeri. Kalau satu ketika “mane” meninggal dunia dan belum
ada pemilihan, maka “fettor” ini
dapat melaksanakan tugas “mane” sampai
ada pemilihan.
Ø demikian pula jika “fettor” meninggal dan belum ada
pemilihan, maka “mane” sementara merangkap tugas “fettor”.
Di pulau Rote tidak otomatis putra raja, atau putra
fettor mengganti kedudukan ayahnya, tetapi harus lewat pemilihan. Orang pendatang yang kemudian datang
ke kerajaan itu, tidak berhak dipilih sebagai raja, karena ia bukan saudara
raja seketurunan, namun memiliki hak pilih saja. Di pulau Rote, semula terdapat
19 (sembilan belas) kerajaan kecil yakni : BaA, Dela, oEnale, Dengka, Termanu, Lole, Korbafo, Keka, TalaE, Bokai,
Lelenuk, Diu, Landu, Ringgou, oEpao, Bilba, Thie, Ndao, Lelain. Kemudian kerajaan kecil-kecil ini oleh Belanda
digabungkan dalam delapan swapraja
saja, bahkan tahun l928 dijadikan
satu swapraja yakni swapraja Rote diperintah oleh Jo’El
Simon Kedoh dari Kerajaan Ringgou-Rote Timur dan bergelar “Raja Rote” (Mane kisek = Raja Tunggal).
(2.5). Nama-nama Julukan Kerjaan-kerajaan
Di Rote tempo Doeloe
Sejak dahulu kala semua kerajaan di pulau Rote
mempunyai nama“julukan”. Sudah tentu nama
itu diberikan sesuai dengan ‘sejarah’ atau ‘kebiasaan’ kerajaan
itu pula, pada zaman dahulu misalnya :
Ø Kerajaan Ba’a, disebut ‘Pena Pua do Makalama’
Ø Kerajaan Termanu, disebut ‘ko di kode do Sumeo’
Ø Kerajaan TalaE, disebut ‘Pila Sue do Nggeo Deta’
Ø Kerajaan Bokai, disebut ‘Hulu Manu do Kokote’
Ø Kerajaan Diu, disebut ‘Pele Pou do Ngafi Lafa’
Ø Kerajaan Bilba, disebut ‘Kai Tio do Hala Take’
Ø Kerajaan Ringgou,
disebut ‘Londa Lusi do Batu Bela’
Pada zaman dahulu
orang sebelum mengenal istilah kerajaan di pulau Rote, maka penyebutan
wilayah Rote mereka mengatakan Rote
Timur dan Rote Barat dan
penyebutan itu bukan penyebutan dalam pembagian yang berdasarkan pemerintahan.
Pembagian
itu hanya suatu penyebutan belaka, sebagai terjemahan
dari istilah-istilah bahasa Rote yaitu:
Ø ‘Dae Duluk’ (=Negeri-negeri Timur)
dan
Ø ‘Dae Mulik’ (=Negeri-negeri Barat).
Jauh sebelum sebutan itu, terdapat sebutan yang lain yaitu istilah
Ø ‘Lamak anan’ (anak-anak belalang) dan
Ø ‘Henak anan’ (Anak-anak pandan).
Rakyat di Rote Timur disebut “Lamak anan” karena sebagian besar diantara
mereka pemakan belalang, Sedang rakyat di Rote Barat disebut “Henak
anan” karena sebagian besar diantara mereka suka makan isi buah pandan. Jika anda
berkunjung kesana pada musim panen, maka akan melihat anak-anak penggembala
hewan di padang berlari-lari
dipadang kerajaan Ringgou, Bilba,
Diu, Lelenuk dan Bokai, ditangannya memegang setangkai pelepah gewang atau
pelepah lontar pemukul belalang serta beberapa lidi untuk menangkap belalang. Hasil
buruannya itu ditusukkan pada lidi dan
di masukkannya ke bakul kecil terbuat dari anyaman daun lontar. Setelah banyak
terkumpul, pulanglah mereka dan belalang itu dibakar atau di goreng sebagai
lauk pauk. Rakyat di Rote Barat mendapat sebutan “anak pandan” karena meraka suka makan isi buah pandan yang rasanya
seperti buah kenari ( Pa’da hena boak
= orang Termanu pemakan buah pandan).
Ø Sebuatan untuk orang Ba’a ialah (‘Ba’a suu deek’= orang Ba’a pemakan biji sukun/nagka) karena
disana banyak terdapat pohon sukun dan nangka.
Ø Sebutan untuk orang Dela adalah
: ‘Dela nafi teik’ = artinya orang
Dela pemakan perut teripang.
Ø Untuk orang Thie disebut: ‘Thie boke boa’ artinya orang Thie lari
ke rumpun bakau.
Ø Untuk orang Dengka disebut: ‘Dengka tafa naak’ artinya orang Dengka
dimakan pedang.
Demikianlah beberapa
istilah atau panggilan bagi kerjaan-kerajaan di Rote pada zaman dahulu, untuk
diketahui tetapi bukan untuk dipakai panggilan sembarangan oleh siapa saja,
karena bisa menyinggung perasaan bagi yang bersangkutan. Ini hanya sebagai
sejarah masa lalu dan sekarang tidak berlaku lagi sebutan-sebutan itu. (Minggus Manafe, Aneka Kehidupan
di Pulau Roti, B. P. No.2221 Jakarta,L968 hal.12-16).
(2.6). Sistem Pemerintahan
Suku Di Pulau Rote
Sekarang orang-orang biasa menyebut “Raja” dan
“Fetor.”Tetapi dulu sebelum Belanda masuk, mereka tak kenal istilah “raja” itu.
Mereka hanya kenal “Fetor”. Dan untuk raja mereka mempunyai istilah sendiri
dalam bahasa Rote “mane,”
‘Mane’ sebenarnya berasal dari
kata dalam bahasa Rote, “mane” yang artinya “jantan.” Sedang “fettor”
juga berasal dari bahasa Rote “Fetto”
yang artinya “saudara perempuan”. Jadi tiap kerajaan diperintah oleh saudara
perempuan beserta yang jantan. Meskipun “ fettor”
berasal dari kata “fetto yang
berati “saudara perempuan”, tetapi fettor tidak harus dijabat oleh seorang
perempuan. Malah
sekarang tak ada seorangpun fettor perempuan. Kerajaan-kerajaan di Rote dulu-dulunya memang merupakan
tempat sekumpulan masyarakat seketurunan. Jadi daerah hukum disitu bersendi
atas hubungan darah. Dan daerah yang
ditempati oleh orang-orang seketurunan
ini hanya terdapat diluar Jawa-Madura saja. Orang-orang seketurunan sudah barang tentu semua bersaudara. Diantara saudara sebanyak itu mereka memilih untuk kepala mereka, “yang jantan” (mane). Tetapi mereka tak mau kekuasaan di pegang oleh seorang
saja. Jadi mereka pilih saudara perempuan (fetto)
untuk memegang kekuasaan juga. Kemudian timbul kata “manek”
(raja) dan “fettor”. Raja dan fettor
bersama-sama berkuasa dalam nusaknya (kerajaannya).
Hak
dan kewajiban mereka hampir sama. Itulah sebabnya ‘fettor’ tidak dapat diganti dengan
istilah “Patih” (istilah Jawa),’ Fettor’ memang bukan ‘patih’. Fettor dan
Manek/Raja = (jantan) sama derajat
jabatannya, sedang “Patih” (di Jawa) kekuasaannya jauh lebih sedikit dari pada
raja. Dengan ini terang bahwa di Rote sejak dulu tidak ada istilah “bangsawan”
dan “bukan bangsawan”. Sedang raja saja mereka sebut “yang jantan” atau
“Saudara laki-laki” atau “manek”.Dengan adanya manek dan fettor, penduduk Rote
ingin supaya pemerintahan dipegang oleh saudara-saudara mereka sendiri, yaitu “Saudara
laki-laki dan saudara perempuan”.
Dan
bukan dipegang oleh” tuan-tuan”, “ Bendoro” (seperti di Jawa) atau apa saja
yang berati golongan atas, golongan bangsawan. Tidak ada golongan atas atau golongan bawah. Tidak ada golongan bangsawan dan bukan
bangsawan. Semuanya sama, karena mereka bersaudara. Maka dari itu di Rote tidak
ada raja yang disembah-sembah. Raja itu
sederajat dengan rakyat. Jadi raja hanya kebetulan saja karena dipilih. Mengapa
orang yang menang dalam pemelihan harus
disembah ?
Sistem kerajaan di Rote memang mempunyai sifat
persaudaraan yang mesra sekali.
Raja dan Fettor adalah saudara rakyat. Saudara rakyat yang tegak sama tinggi, duduk sama rendah, dalam arti kiasan
dan dalam arti sebenarnya. Jadi pada zaman dulu kala kerajaan-kerajaan di Rote
merupakan daerah tempat tinggal orang-orang yang sedarah.
Tetapi
lama kelamaan terjadi perpindahan orang-orang dari kerajaan yang satu
kekerajaan yang lain. Orang-orang dari kerajaan lain ini tentu saja bukan saudara rakyat dan tentu
juga bukan saudara raja, dikerajaan yang baru di datanginya itu. Orang-orang di
kerajaan yang didatangi itu ada juga yang pergi dan menetap dikerajaan lain.
Sehingga lama-kelamaan tiap kerajaan tidak
merupakan daerah hukum yang bersendi atas perhubungan darah lagi. Kerajaan
itu sekarang telah menjadi hukum yang bersendi
atas kepentingan hidup bersama. Kerajaan yang tadinya merupakan kerajaan
orang-orang seketurunan, kini telah
menjadi kerajaan sewilayah (teritorial).
Jadi kini terdapat
dua macam golongan masyarakat.
Ø Golongan pertama ialah penduduk asli kerajaan itu. Orang-orang ini
seketurunan dengan raja atau biasa
disebut “keluarga raja”.
Ø Golongan kedua ialah golongan orang-orang pendatang, orang-orang dari luar
yang menetap disitu. Golongan kedua ini
disebut golongan “bukan keluarga raja”.
Di
seluruh dunia biasanya raja mengangkat putra mahkotanya.
Putra
mahkota ialah orang yang menggantikan raja setelah raja mati.
Tetapi di Rote tidak
begitu.
Tidak ada putra mahkota !
Dulu,
ketika kerajaan-kerajaan di Rote masih
merupakan tempat tinggal masyarakat seketurunan, raja dipilih diantara segala
rakyat yang semuanya masih bersaudara itu. Siapa pandai dan berpengaruh lagi kaya, ialah
yang akan menjadi Raja. Sekarang,
kerajaan-kerajaan keturunan berubah menjadi kerajaan-kerajaan teritorial. Rakyatnya terdiri dari dua golongan yakni golongan keluarga raja dan golongan bukan keluarga
raja.
Karena itu pemilihan
raja telah berubah.
Ø “Golongan keluarga raja minta hak yang lebih banyak dari
golongan pendatang”.Sebab golongan “keluarga
raja” merasa dengan bersusah payah dalam masa yang lalu telah menegakkan
“Sokoguru” kerajaannya.
Ø Sedang “golongan pendatang”, mereka datang saja
setelah tiang-tiang-agung kerajaan tegak semua, setelah kerajaan aman tak ada
gangguan dari dalam maupun dari luar.
Dengan
alasan ini golongan keluarga raja
menuntut supaya yang berhak dipilih menjadi raja adalah orang dari
keluarga raja saja dan golongan bukan keluarga raja tak berhak dicalonkan
menjadi raja.
Golongan keluarga raja dan golongan bukan keluarga raja
berunding.
Golongan pendatang mengakui
bahwa mereka dulu tidak turut membangun kerajaannya ditempatnya sekarang. Dari
saat itu hingga sekarang. raja dipilih dari golongan keluarga raja saja. Aturan
semacam ini diakui kebenarannya oleh seluruh kerajaan-kerajaan di Rote dan
dijalankan juga, termasuk pemilihan Tamukung
dan Kepala Desanya hingga saat ini. Dengan demikian yang berhak dipilih untuk
menjabat “jabatan penguasa adat di
tingkat desa” adalah penduduk asli yang masih bersaudara itu. Sedang orang
pendatang memiliki hak untuk memilih saja dan tidak berhak di pilih.
Demikian adat di Rote.
Meskipun
ada batas antara orang-orang yang dapat dipilih menjadi raja dan orang-orang tidak dapat dipilih, tetapi masih lebih bebas
dari pada kerajaan-kerajaan yang masih menggunakan sistem putra mahkota ditempat lain. Dengan demikian “Sistem Demokrasi” telah di
laksanakan oleh orang Rote sejak nenek moyang mereka.
Makin maju tingkat hidup sesuatu bangsa makin banyak
pembagian kerja, karena makin banyak urusan-urusan yang harus diselesaikan.
Pembagian kerja diadakan.
Ø Fettor bekerja kedalam (di
lingkungan kerajaan saja), artinya mengurus segala sesuatunya yang terjadi
didalam kerajaan, misalnya perselisihan antara keluarga, membuat jalan,
mengatur lancarnya pengairan, dan sebagainya.
Ø Sedangkan raja bekerja
keluar (berhugungan dengan kerajaan lainnya). Misalnya ada perselisihan tentang
batas kerajaannya dengan kerajaan lain maka kalau diadakan perundingan , raja
yang mewakili kerajaannya.
Ø Kalau ada undangan pesta dari kerajaan lain, raja yang berangkat.
Ø Kerajaan yang tidak mempunyai raja, untuk urusan keluar, fettor itu
yang melakukan. Begitu juga
kerajaan yang tidak mempunyai fettor tetapi mempunyai raja untuk urusan kedalam, raja
juga yang melakukannya.
Kerajaan yang tidak mempunyai raja atau fettor, ialah kerajaan yang baru saja kematian raja
atau fettornya sedang pemilihan
penggantinya belum dijalankan.
Temukung
dan Kepala Kampung
Di
pulau Rote
Raja dan Fettor didalam menjalankan tugasnya dibantu oleh beberapa orang “Temukung”. Daerah hukum kekuasaan temukung
ini terdiri dari empat-lima desa. Tiap-tiap desa ada kepalanya lagi disebut “Kepala Kampung”. Kepala kampung inilah langsung memerintah
rakyat. Dulu
ketika merupakan masyarakat seketurunan, raja, fettor, temukung, kepala
kampung, dan rakyat, semuanya orang-orang bersaudara. Jadi dulu dengan sendirinya raja adalah “raja suku”, fettor adalah
“fettor suku”, temukung adalah “temukung suku” dan
kepala kampung adalah “kepala kampung suku”sekampung.
Tetapi sekarang masyarakat sudah menjadi masyarakat
campuran.
Dikampung
P misalnya berdiam suku-suku A, B, dan C. Kampung P ini
dikepalai oleh seorang kepala kampung juga. Kampung yang lain misalnya kampung Q, penduduknya terdiri dari suku-suku B, C, D, dan E, dan juga dikepalai
kepala kampung. Kepala-kepala kampung itu dari suku apa saja, tidak
dihiraukan. Secara kebetulan saja dia dapat dipilih. Kepala kampung, kampung P berhak menyelesaikan pertengkaran
antara suku A dengan suku A, atau suku A dengan suku B, didalam kampungnya. Tetapi kepala kampung, kampung
P ini tidak dapat menyelesaikan perselisihan antara suku A didalam kampungnya dengan
suku A dikampung R.
Kalau kampung P dan Kampung R sama-sama tidak berhak menyelesaikan
perkara. Karena yang berselisih ini suku A
dengan Suku A, meskipun kampungnya
berlainan, maka perselisihan ini diadili oleh “temukung suku A”. Jadi dibawah
raja untuk pemerintahan biasa ada temukung dan kepala kampung. Sedang untuk
perhubungan kesukuan ada “temukung suku, ” sebab di Rote suku dibagi
menjadi beberapa vam/marga.
Temukung-temukung di Rote disebut : “maneleo,”
mane artinya “jantan “ dan “leo” artinya “suku” (raja suku)..
Nama-nama Kerajaan
Di Pulau Rote-Ndao
Kerajaan-kerajaan
atau Nusak di Rote sebelum sistem swapraja dihapus (l958), dapat disebutkan disini,
demikian pula nama raja-raja terakhir dari masing-masing kerajaan di
Pulau Rote, serta ibu kota kerajaannya
adalah :
KERAJAAN NAMA RAJA IBU
KOTA
- Tala’E
M.Saudale, Seda
- Keka Th.Malelak, Sotihu
- Bokai M..Dope, Nusakdale
- Lelenuk
J.S.Daik, KakaEk
- Diu S.Ch.Manafe, O’ebau
- Bilba / Beluba: M.Lenggu, O’eboka
- O’epao J.Sjioen, Batu’idu
- Ringgou
N.Daud,
E’ahun
- Landu
J.M.W.Johanis Daeurendale
- Korbafo Ch.P.Manubulu Sua/Ulafulihaa
- Termanu E.J.I. Amalo, Feopopi
- Ba’a I.D.Pandie, Menggelama
- Lelain S.J.Besie, O’esamboka
- Thie J.A.Messakh, O’ebafok
- Dengka Ch.H. Tungga, O’elaba
- O’enale H.H.Lenggu, Boamon
- Dela A.Ndoen, Nemberala
- Loleh
S.P.J. Dillak, Danolain
- Ndao F.Baoen, Lendeiki
Kemudian
kerajaan-kerajaan kecil ini digabungkan dalam delapan swapraja saja, bahkan
pada tahun l928 dijadikan satu swapraja saja yakni swapraja “ Rote” yang
diperintah oleh JoEL Simon Kedoh, dengan gelar “Raja
Rote”, yang berasal dari Kerajaan Ringgou, berkedudukan di Ba’a ibu kota
pulau Rote. Dengan dihapusnya sistem Swapraja l958, maka di pulau Rote juga tidak
terdapat lagi jabatan raja.
Namun para Ex. Raja-raja tersebut
tetap dipandang sebagai sesepuh adat atau tua-tua adat dan tetap dihormati
rakyat hingga saat ini. Bila kita memperhatikan ke-l9 buah kerajaan yang ada di pulau Rote pada zaman dulu itu
diperoleh gambaran bahwa sebenarnya ke-l9
kerajaan itu adalah berasal dari
sejarah berawalnya jumlah kelompok-kelompok pendatang pertama yang datang
secara bergelombang / bertahap kepulau
Rote ini. Menurut tua-tua adat Rote,
bahwa generasi sekarang ini merupakan generasi yang ke-50 menurut silsilah
keturunan dihitung sejak awal kedatangan nenek moyang mereka kepulau Rote.
Sejak kapan awal menemukan pulau Rote oleh kelompok pendatang pertama, tidak
diketahui dengan pasti. Namun kita dapat memperkirakan dengan jalan menghitung jumlah generasi di kalikan
dengan umur rata-rata setiap generasi. Generasi
sekarang adalah generasi yang ke-50;
Umur rata-rata tiap generasi dihitung sekitar 40 tahun (minimal). Sehingga jumlah tahun hingga serkarang adalah 50 X 40 X 1 tahun = 2000 tahun lalu. Atau paling tidak 1500 tahun yang lalu pulau Rote telah
dihuni orang. Karena sejarah awal
daerah asal-usul mereka masing-masing
berbeda-beda satu sama yang lainnya, yakni ada yang berasal dari arah barat
dan ada yang berasal dari arah utara Nusantara, maka baik adat istiadat maupun
bahasanya berbeda pula, menyebabkan masing-masing kelompok mereka
lebih memilih saling hidup terpisah dan meyebar ke-seluruh pulau Rote, dimana
satu kelompok dengan kelompok lainnya
masing-masing menduduki suatu wilayah
tertentu sebagai tempat hunian menetap mereka yang terakhir.
Ø Tanah suku di
semua daerah/wilayah yang diduduki, di kuasainya dengan hak ulayat (Ulayat = Wilayah) dari
suku-suku tertentu yang disebut Tanah
Leo
(tanah suku).
Ø Yang dimaksud dengan Hak Ulayat adalah hak dari sesuatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya,
yang memberi wewenang tertentu kepada
penguasa-penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah
masyarakat hukum tersebut.
Ø Hak ulayat
sebenarnya merupakan wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat
hukum adat yang berhubungan dengan tanah, yang termasuk lingkungan wilayahnya. Hak ulayat berlaku terhadap semua
tanah wilayah itu, baik yang sudah di haki (dimiliki) seseorang, maupun yang tidak atau belum di haki. Hak ulayat mempunyai
kekuatan berlaku kedalam maupun keluar.
Ø Kedalam, hak ulayat berlaku terhadap para anggota masyarakat
hukum (kelompok suku) itu.
Ø Keluar, hak ulayat berlaku terhadap orang-orang bukan anggota
masyarakat hukum (kelompok suku tersebut) dan hanya dapat diberikan, jika
terlebih dahulu atas izin dan persetujuan penguasa adat setempat.
Ø Masyarakat
hukum adalah (kelompok-suku)
yang mempunyai hak ulayat itu dan bukan orang-seorang / perseorangan.
Ø Kewajiban yang utama dari Penguasa adat ( Raja / Mane, Kepala-kepala
suku / Kepala-kepala adat / Kepala pemerintahan adat Tradisional) yang
bersumber pada hak ulayat ialah
memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya,
menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai pemakaian tanah dan kalau
terjadi persengketaan ia wajib menyelesaikannya.
Ø Usaha-usaha yang biasa didirikannya/diusahakannya diatas
tanah ulayat ialah misalnya: ladang, kebun, sawah, tebat / kolam-kolam,
perumahan, mamar (kebun kolektif), hutan tutupan / hutan lindung, rumpun pohon
lontar dan pohon lebah dan lainnya. Masing-masing itu menurut hukum adat
mempunyai hukumnya yang khusus.
Ø Tanah yang diusahakannya itu dapat di kuasainya dengan hak pakai, tetapi bisa juga dimilikinya dengan hak milik (dalam kelompok suku). Hal
ini tergantung pada kenyataan apakah tanah itu dikuasainya dan diusahakan
secara terus-menerus / parmanen ataukah hanya untuk sementara saja seperti
ladang berpindah-pindah.
Ø Penggarapan secara Paemanen. Pula tergantung
pada banyaknya usaha atau biaya yang telah dikeluarkannya mengenai tanah itu
secara terus-menerus dan memberi hasil
sampai saat ini.
Ø Tanah Hak Garap. Jika
pengusahaan atas sebidang tanah oleh seorang anak suku diatas tanah hak
ulayat hanya sementara saja, misalnya
dalam beberapa musim tanam saja,
kemudian lahan tersebut di tinggalkan
dan berpindah kelahan yang lain lagi untuk menggarapnya,
maka penguasaan atas tanah ulayat tersebut hanya memiliki hak garap atau hak
pakai saja.
Ø Tanah yang ditinggalkan. Sedang tanah yang sudah ditinggalkan itu dapat dikerjakan / digarap
oleh anak suku yang lain atas pengetahuan
dan persetujuan Kepala Sukunya
/Penguasa Adatnya.
Ø Tanah Hak Milik Parmanen. Sebaliknya jika
lahan yang diusahakannya itu dilakukan secara terus-menerus sepanjang tahun
tidak terputus-putus untuk selamanya, serta telah banyak memakan biaya atau modal yang ditanam
disitu berupa sawah, kebun, ladang dengan
berbagai tanaman berumur pendek atau berumur panjang seperti tanaman
keras, maka penguasaan atas tanah ulayat tersebut berubah statusnya dan
bersifat hak milik anak suku tersebut (penggarapan lahan secara menetap untuk
seterusnya).
Ø Berakhirnya hak atas tanah ulayat, apabila semua wilayah tanah ulayat
suku tersebut telah bibagi habis kepada semua anak-anak sukunya dan telah
mengusahakannya secara parmanen pula (petani menetap), kecuali terhadap hutan
tutupan atau hutan lainnya yang masih tetap merupakan tanah hak ulayat milik
bersama / milik kelompok suku. Semua anak suku memiliki kewajiban
yang sama dalam menjaga pelestarian hutan-hutan milik kelompok suku,
maupun memiliki hak mengambil hasil dalam
hutan ulayat mereka. Antara hak ulayat dan hak-hak perorangan selalu
timbal balik.
Ø Berkurangnya Hak Ulayat Suku. Makin banyak usaha
yang dilakukan seseorang atas sebidang tanah, maka makin eratlah hubungannya
dengan tanah tersebut. Didalam hal demikian maka kekuatan hak ulayat terhadap
tanah suku itu menjadi berkurang dan beralih fungsi menjadi tanah hak milik
perorangan dalam kelompok suku tersebut dan tidak bisa lagi dimasuki atau
dikerjakan oleh perorangan lain dari suku tersebut.
Ø Hilangnya Hak Garap Tanah Ulayat Suku. Kalau sebidang tanah tidak diusahakan lagi
oleh seseorang anak suku yang semula memiliki hak garap sehingga menjadi
terlantar serta tidak memberi hasil, hingga menjadi semak belukar atau hutan
(petani berpindah-pindah), maka hal ini bisa mengakibatkan hilangnya hak garap
atas tanah yang bersangkutan.
Ø Beralihnya Hak Garap Tanah Ulayat Suku. Sehingga tanah itu
boleh diusakan oleh anggota masyarakat sukunya yang lainnya, tetapi atas
petunjuk dan persetujuan penguasa adat suku tersebut karena prinsipnya tanah
tidak boleh terlantar dan tetap memberi hasil.
Ø Berakhirnya Tanah Hak Ulayat Suku. Diatas tanah-tanah
ulayat / tanah adat / tanah suku inilah yang memberi hidup kepada
marga-marganya yang masih bertalian darah dan kekerabatan. Jika semua tanah
ulayat itu telah dibagi-bagi habis dan dikerjakan secara terus menerus
(pengolahan tanah secara menetap) yang memberikan pengasilan parmanen kepada warga-warga suku mereka dan tidak
terdapat lagi tanah-tanah yang terlantar, maka ini berarti tidak ada lagi
terdapat tanah ulayat kelompok suku atau dengan perkataan lain hak atas tanah
ulayat secara kelompok suku sudah berakhir dan berubah menjadi tanah hak milik
perorangan anak suku.
Demikianlah ketentuan
Hukum Adatnya atas Tanah.
USUL PENULIS :
Walaupun lembaga Swapraja telah dihapus, dan hampir
disemua Ex Raja-raja telah
digantikan dengan lembaga pemeritahan seperti Camat, namun Lembaga
Pemerintahan adat tradisional ini perlu dihidupkan kembali, oleh
karena Lembaga adat ini lebih dikenal
oleh masyarakatnya, dimana para lembaga
adat ini lebih berpengaruh terhadap
masyarakatnya dan dapat dimanfaatkan dalam mengarahkan massanya dalam
membantu pemerintah. Masyarakat suku lebih mudah mentaati pemerintah
tradisionalnya daripada kepada seorang Camat
misalnya. Para
Raja-raja adat inilah sebagai
alat pemerintah untuk membantu segala program-program pemerintah
disegala bidang di wilayahnya.
Sebagai
contoh
masyarakat suku Termanu di Rote telah mengukuhkan seorang keturunan raja
Termanu yaitu Drs.Joel Jermias Migel
Amallo, S.Sos sebagai raja. Hal ini perlu
diikuti oleh kerajaan lainnya di Pulau Rote. (Demikian Penulis). Di Indonesia
sekarang ini masih banyak lembaga Kerajaan yang bertahan, dan pada
beberapa tahun lalu, Raja-raja dari berbagai daerah di Nusantara ini berkumpul di
Kalimantan yang dikoordiner oleh pemerintah dalam rangka Festival kerajaan se
Nusantara. Yang dihadiri oleh Presiden SBY
Sifat hukum kepemilikan tanah adat, adalah tidak tertulis, namun kekuatannya berdasarkan pengakuan adat baik oleh kelompok suku maupun oleh penguasa
tradisional. Di
pulau Rote, yang berhak mengatur dan menentukan dalam pembagian, pemanfaatan,
pengawasan, pengenaan sanksi adat atas tanah-tanah ulayat tersebut adalah para
penguasa-penguasa adat tradisional yang masing-masing disebutkan dibawah ini. Kelompok-kelompok
marga (suku) ini disebut leo, dan kepala keluarga disebut mane leo (raja suku), dan disamping marga tersebut ada kelompok keluarga batih, ‘uma lo’ (seasal dan lahir dari satu kandungan ibu) = ‘uma isi’ artinya seisi rumah.
Ø Strata atau pelapisan sosial terdapat pada setiap ‘leo’,
sehingga lapisan yang paling atas yaitu ‘mane
leo’ (leo mane= raja leo) yang menjadi pimpinan suatu klen didampingi oleh ‘leo fetor’.
Ø Perangkat pembantu “mane leo”
lainnya adalah mane sio langgak dan ‘lasin-lasin’ (tua-tua adat), yang
memimpin / mengkoordinir suatu wilayah tertentu mempunyai tugas antara lain :
mengatur kerja gotong royong, ‘tu’u
belis’ (penentu mas kawin/belis pada peristiwa perkawinan), pesta nikah,
kematian, membangun rumah, pesta adat dan urusan pertanahan suku.
Ø Pada tingkat “leo” selain “mane leo” yang bertugas khusus
memimpin dan melaksanakan tugas kepemimpinan, maka tugas-tugas pengurusan tanah
diserahkan kepada ‘daek langgak’
(kepala pertanahan adat), sedangkan imam upacaranya disebut ‘mane songo’, dan peradilan
tradisionalnya dipimpin oleh ‘mane doko’
/ ‘mane dope’ (bahasa Rote “mane’
= raja; dope= pisau) jadi
yang dimaksud adalah ( Pemutus / peradilan adat tradisional).
Karena lama kelamaan
terjadilah pertambahan penduduk diantara keturunan mereka masing-masing,
menuntut perlu adanya berbagai pengaturan kehidupan kemasyarakatan
demi ketenteraman dan kesejahteraan serta keamanan dalam
kehidupan sosial mereka.
Persaingan antar kelompok-kelompok yang ada makin nampak dan terkadang tidak
dapat terhindarkan. Akibatnya timbul permusuhan dan terjadilah peperangan antar
wilayah dalam perebutan lahan pertanian yang subur, lahan penggembalaan atau perebutkan sumber air
untuk persawahan, maupun dalam usaha perluasan wilayah kekuasaan. Karena
kompleksnya berbagai permasalahan suku dalam wilayahnya maupun dalam
mempertahankan diri dari serangan luar, maka mulai timbulah ide untuk membentuk
lembaga-lembaga dan organisasi kemasyarakatan adat, serta melakukan pembagian tugas-tugas dan
wewenang maupun jabatan-jabatan pemerintahan adat, diantara kepala-kepala suku
(mane leo)
seketurunan yang ada.
Jabatan dan pemilihan Raja (mane), Fetor, Temukung, Kepala
Kampung, Kepala-kepala perang, dan penjaga keamanan perbatasan mulai diadakan
dan dibentuk. Wilayah-wilayah
yang dihuni itu, kemudian berkembang
menjadi suatu kerajaan, lengkap dengan struktur pemerintahan adatnya. Pada
zaman dahulu untuk menjaga keamanan dalam
suatu kerajaan dari serangan kerajaan lain, maka dibentuklah suatu pasukan khusus penjaga perbatasan dari
dua kerjaan yang berbatasan langsung.
Karena
mereka merupakan ‘pasukan istimewa’ dalam menjaga keselamatan masyarakat
kerajaan, maka kepada mereka diberi beberapa fasilitas dan jaminan
sosial-ekonomi sbb:
Ø Para pengawal
perbatasan tidak dibebani dengan berbagai pekerjaan dalam desanya/di
kerajaannya.
Ø Semua kebutuhan
konsumsi keluarganya dijamin oleh semua warga kerajaan.
Ø Mereka dibebaskan dari pembayaran pajak-pajak atau pungutan
Ø Dibebaskan dari tugas menjaga dan pengawalan di rumah raja (abdi raja = ‘manea’).
Ø Mereka diberikan
berbagai alat senjata yang diperlukan dan perlengkapan lainnya untuk menjaga
perbatasan dan berbagai hak istimewa lainnya..
Demikianlah pada
akhirnya munculah kerajaan-kerajaan di Rote yang berjumlah l9 kerajaan hingga
saat itu seperti uraian diatas. Adapun gelombang kelompok pendatang yang datang
kemudian, hanya mengintegrasikan diri dan beradeptasi dengan kelompok yang sudah ada sebelumnya.
Kesemuanya inilah yang akhirnya menurunkan keturunan mereka, dan mendapat
sebutan sebagai orang Rote (Roti).
Nama
Roti memiliki dua makna sekaligus yakni :
1. Sebagai nama Pulau;
2.
Bermakna
sebagai “makanan” dimaksudkan sebagai Pulau “gudang makanan”.
Pulau
ini nyaris tidak pernah kelaparan. Sejak dahulu hasil padi, gula, hewan dan
hasil bumi lainnya di kirim untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota-Kupang yang
selalu kekurangan pangan. Penduduk pulau Rote pada tahun l957 berjumlah 73.713
jiwa dan jumlah penduduk yang berhak memilih (Pemilihan Umum pertama di
Indonesia) saat itu berjumlah 39.512
jiwa.(l955).(Gyanto : 1958).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.