alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Jumat, 02 Januari 2015

SEJARAH PEMERINTAHAN TRADISIONAL DI PULAU ROTE - NTT
Suku Bangsa di Timor & RoteDan Tanah Hak Ulayat Suku

Sudah menjadi kodrat alam, bahwa manusia sejak dahulu kala selalu hidup bersama-sama dalam suatu kelompok  yang mendiami suatu wilayah tanah adat yang disebut Tanah Ulayat Suku. Salah satu faktor penting dalam kehidupan masyarakat tradisional adalah pertalian darah dan hubungan-hubungan kekerabatan yang disebut “ suku.”
Orang Rote menyebut kesatuan-kesatuan geneologis itu dengan sebutan “Leo,” orang Timor dengan “Uf”, sedangkan orang Belu menyebutnya “Fukun.” Dalam kelompok manusia itulah mereka berjuang bersama-sama mempertahankan hidupnya : mencari makan, melawan bahaya dan bencana serta melanjutkan keturunan.
  • Dahulu mula-mula kelompok-kelompok suku itu hidup dari perburuan, mencari makan dihutan-hutan dan oleh karena itu mereka selalu hidup berpindah-pindah tempat.
  • Kemudian oleh perkembangan peradaban, mereka mulai hidup menetap pada suatu tempat tertentu, karena mereka telah mulai mengenal peternakan dan bercocok tanam.
Kelompok-kelompok suku ini awalnya terdiri dari orang-orang  seketurunan dalam jumlah sedikit, tetapi lama kelamaan setelah beberapa generasi, jumlahnya makin bertambah banyak dan berkembang terus sehingga semula hanya menempati suatu wilayah tanah ulayat / tanah adat yang tidak terlalu luas, sekarang terpaksa menyebar sehingga pada akhirnya menduduki wilayah yang amat luas. Untuk mempertahankan hak hidup mereka pada tempat tinggal tertentu  yang mereka anggap baik untuk sumber penghidupan bagi kelompoknya, diperlukan seseorang atau sekelompok kecil orang-orang yang ditugaskan untuk mengatur dan memimpin kelompok sukunya.

Setiap kelompok masyarakat suku maupun anggota dari kelompok suku tersebut selalu  mempunyai berbagai kepentingan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Namun kepentingan yang satu dengan yang lainnya terkadang tidak selalu sama atau searah  tetapi dapat juga  saling bertentangan sehingga menimbulkan kekacauan dalam lingkungan mereka yang sebenarnya tidak diharapkan. Kepentingan/kebutuhan, adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap manusia adalah pendukung atau penyandang kepentingan. Manusia dalam hidupnya dikelilingi pelbagai macam bahaya yang mengancam kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. Manusia menginginkan agar kepentingannya terlindungi dari bahaya yang mengacamnya. Karena itu memerlukan bantuan manusia lain. Dengan kerja sama dengan manusia lain akan lebih mudahlah keinginannya tercapai atau kepentingannya terlindungi. Mengingat bahwa manusia itu termasuk maklum yang lemah dalam menghadapi ancaman bahaya terhadap dirinya atau kepentingannya. Akan lebih kuat kedudukannya menghadapi  bahaya apabila ia bekerja sama dengan manusia lain dalam kelompok atau kehidupan bersama. Bahwa masyarakat suku juga mengenal berbagai kaedah sosial yang terdiri dari kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun untuk melindungi kepentingannya. Kaedah kepercayaan atau keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman yang ditujukan terhadap kewajiban manusia kepada Dewa, Tuhan mereka. Sumber atau asal kaedah ini adalah ajaran-ajaran kepercayaan atau agama yang oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan atau Dewa.

Penguasa-penguasa Adat
Tradisional di Timor dan Rote

Di Rote setiap clan yang disebut “Manelaka” yang tertdiri dari keluarga-keluarga  besar memiliki pimpinan-pimpinannya sendiri yang disebut “Laka” (Kepala) atau Mane Laka” (Raja Clan). Sejumlah Manulaka terhimpun ke dalam sebuah “ Leo” (Suku) yang dipimpin oleh  “Mane Leo” atau raja suku. Sejumlah Leo menjadikan sebuah Nusak (kerajaan) yang dipimpin oleh Manek (Raja). Raja memerintah Nusak dengan  bantuan seperangkat pemerintahan nusak, yang disebut “Mane Sio” (Raja  Yang Sembilan = 9 pejabat adat utama). Setiap Nusak memiliki dua Leo atau lebih, sesuai sistem kemasyarakatan yang mereka bangun dan kembangkan.
·         Di Nusak Bilba di Kecamatan Rote Timur, terdapat 4 Leo, yaitu Lengumau, Talakoko, Mumu, dan Mansea.
·         Di Korbafo di Kecamatan  Pantai Baru, terdapat dua Leo, masing-masing Tanonggoe dan Ndeotei adalah Leo Fetor. Demikian pula pada tujuh belas kerajaan lainnya di pulau Rote.

Agak berbeda dari sistem kemasyarakatan dan pemerintahan di kalangan orang Rote.
Suku Timor mengenal “Uf” (suku) Pah Tuaf yaitu suku tertua yang pertama menempati suatu kawasan ulayat (tanah adat) tertentu. Di samping Uf Pah Tuaf itu, ada pula Uf Raja (Nonot Usif). Sesudah itu terdapat sistem  “Suku Kembar Dua,” artinya ada dua suku utama yang masing-masing terdiri dari sepasang suku-senyawa karena pertalian keluarga menurut garis bapak dan garis paman.

Sebagai contoh, di desa Kusi di Kecamatan Amanuban Barat terdapat,
Nonot Usif (suku raja) bernama Alun Pah, sedangkan Pah Tuaf adalah suku Tusi. Sistem kembar dua di Kusi  adalah suku-suku  Tusi dan Tanu serta suku-suku Leo dan Benu. Dengan demikian maka sebutan lengkapnya  adalah Tusi-Tanu ma Leo Benu.
Struktur yang sama  terdapat pula di desa Kele, yaitu suku  raja  adalah Babies, Pah Tuaf adalah Ton, sedangkan suku kembar duanya adalah Babies-Sapai ma Ton-Finit.
Di dua pusat pemukiman masyarakat Belu di Fatuketi  di Perwakilan Kecamatan Tasifeto Barat dan desa Diran di Kecamatan Lamaknen ditemukan pula pola pengelompokan “Fukun-Fukun” (suku-suku) dalam bentuk dua suku kembar seperti yang terdapat juga pada kelompok-kelompok tradisional Timor yang telah disebutkan dimuka. Seperti di bekas kerajaan Lidak terdapat dua suku kembar dua (jumlahnya 8 suku). Suku-suku kembar dua yang pertama adalah Mamulak-Amareo dan Matabesi-Bowai; suku kembar dua yang kedua adalah Dirma—Kamane dan Fatuhat-Tahane. Sedangkan suku raja adalah Lawalu. Di desa Diran, suku Fetor adalah Monewalu  Bokal, sedangkan suku Temukung  adalah Monewalu Holgawen .  Selanjutnya suku kembar dua  yang pertama  adalah Loos-Sirigatal dan Leolaran dan Lalis-Datoalin.
Identifikasi kesukuan tersebut penting karena ia mempunyai implikasi  yang luas, antara lain dalam hubungan dengan tempat “ego” dalam pergaulan sosialnya, dengan status, hak dan kewajiban ego secara ekonomis dalam wilayah tanah ulayat/tanah adat sukunya. Suku-suku yang kembar dua-duaan yang disebut diatas telah dikemukakan oleh Schulte Nordhold dalam The Political System of tha Atoni of Timor (l971) yang disebutnya “Quardrupartition. Semasa pemerintah Belanda dulu kerajaan-kerajaan suku telah ditata ulang secara paksa demi lancarnya pemerintahan kolonial.

James Fox, dalam Harvest of the Palm (l975) mengemukakan  hal yang sama tentang pemberian pengakuan kepada kerajaan-kerajaan  suku  seperti V.O.C. agar dengan mudah dapat menjalin kerjasama. Sistem politik dan pemerintahan dalam masyarakat-masyarakat suku demikian itu, oleh Schulte Nordhold disebutnya “Autochtonous”.
Pemerintahan otoktonus masyarakat suku tersebut telah mengalami intervensi berulang kali dalam sejarahnya, seperti di zaman V.O.C. dan pemerintahan Belanda, namun sekali-kali tidak dapat mendisintegrasikannya, karena sifat dasarnya yang mekanis, artinya karena ia dibangun di atas sistem kekerabatan dan hubungan darah, yang sering tidak dipahami oleh pihak luar. Pemerintahhan otoktonus masyarakat suku seperti itu bukan hanya sekedar pemerintahan dan kekuasaan atas kelompok-kelompok manusia yang terkait dalam hubungan mekanis saja, melainkan juga mengandung teritorial dan ekonomis. Yang dimaksud dengan makna teritorial disini ialah bahwa batas-batas wilayah kekuasaan dan kedaulatan secara teritorial tidak pernah berubah sejak dahulu kala. Pembentukan pemerintahan desa menurut UU. No.5 tahun l974 telah meniadakan sama sekali sistem pemerintahan otoktonus dalam masyarakat suku secara yuridis, namun batas-batas wilayah desa yang ditata kembali dengan UU tersebut tidak berubah secara teritorial.  Peta-peta wilayah pemerintahan desa moderen masih tetap mengikuti pola wilayah dimana suku-suku pernah menggariskannya dahulu. Perlu dicatat di sini bahwa perang-perang suku yang terjadi dahulu terutama disebabkan oleh adanya usaha menggusur batas wilayah sebuah suku oleh suku lain. Selanjutnya yang dimaksud dengan makna ekonomis di sini ialah bahwa setiap kelompok suku telah saling menetapkan dan mengakui seluruh wilayah kekuasaan dan kedaulatannya sebagai suatu kesatuan Ulayat suku.

Suku-suku yang mendiami suatu wilayah kerajaan telah membagi habis daerahnya menjadi tanah-tanah Ulayat suku.Tanah-tanah suku itu di distribusikan kepada marga-marganya (anak-anak suku), yang selanjutnya membagi dan menetapkan tanah-tanah ulayat keluarga batih asal. Undang-undang Agraria secara yuridis telah mencabut hak-hak suku dengan menjadikannya Tanah-Tanah Negara  Bebas, akan tetapi secara De Fakto sistem tanah Ulayat suku masih dipraktekkan terus sampai kini karena mengandung arti kelangsungan hidup dan usaha-usaha ekonomis bagi anak-anak suku, baik secara perorangan maupun secara kolektif. Dengan tehnologi pertaniannya yang masih sangat sederhana, usaha-uasaha pecaharian hidup yang bersifat ekstensif memerlukan adanya tanah ulayat yang luas guna memberikan keleluasaan gerak ekonomis.

Lebih lanjut, makna ekonomis dari kekuasaan otoktonus masyarakat suku mengandung arti ekologi. Dapatlah dikatakan bahwa hidup mati dan tegak rebahnya masyarakat suku sangatlah bergantung erat dengan lingkungan hidupnya. Luas teritorial tanah ulayatnya adalah hidup seluruh suku.  Ia mustahil  mengembangkan kehidupan di luar tanah ulayatnya, kecuali jika ada anggota-anggotanya yang bermigrasi dari situ dan diterima kedalam lingkungan suku lain yang mengadopsinya dan menjadi anak suku di situ. Dalam lingkungannya yang baru itu ia akan diberi hak-hak tertentu di dalam kawasan tanah ulayat sukunya yang baru. Segala sesuatu yang disediakan oleh lingkungan hidupnya akan dimanfaatkan dengan segala daya dan cara, sejauh pengetahuan dan tehnologi yang dimilikinya guna memperkembangkan hidup disitu. Runtuh tegaknya kehidupan ekonomi masyarakat suku bergantung pada lestari atau runtuhnya ekologi dalam kawasan ulayat suku. Tenta

Itulah sekilas gambaran mengenai pemimpin kelompok-kelompok suku Rote dan Timor serta Belu yang semula menguasai sebuah wilayah tanah suku / tanah adat yang disebut hak atas tanah ulayat suku. (Pdt.Drs.Max Jacob, MTh, (Kakak Kandung Penulis) Perilaku Masyarakat Tradisional Rote, Timor, Belu, Terhadap Hutan dan Hutan Lindung,1991, hal.35-39) Kepada pemimpin kelompok (penguasa adat) diberikan kekuasaan-kekuasaan tertentu  dan anggota-anggota kelompok diharuskan pula mentaati peraturan dan perintah pemimpinnya. Dengan adanya seseorang atau beberapa orang dijadikan pemimpin yang mengatur peri-kehidupan anggota kelompok dan adanya ketaatan dari anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya, maka timbullah dalam kelompok itu suatu kekuasaan  “pemerintahan “ sederhana (Penguasa Adat). Anggota-anggota kelompok suku tersebut dengan sadar mengakui tata hidup dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemimpin mereka.Tata dan peraturan hidup tertentu itu mula-mula tidak tertulis yang batas-batasnya tidak terang, dan hanya merupakan adat kebiasaan saja. Kemudian dengan meluasnya kepentingan sekelompok-sekelompok itu dan untuk mengatasi segala kesulitan yang datang dari dalam maupun dari luar, dirasakan perlu adanya suatu organisasi yang lebih besar, teratur dan lebih berkekuasaan. Organisasi itu amat diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan hidup agar dapat berjalan dengan tertip. Organisasi yang mempunyai kekuasaan itulah yang dinamakan “ kerajaan “ atau istilah orang Rotenusak” yaitu suatu wilayah kekuasaan adat tradisional yang luas dengan batas-batas tertentu dari sejumlah besar suku-suku yang semula masih sedarah dan seketurunan. Tanah-tanah adat ini semula dikuasai oleh kelompok-kelompok suku yang  disebut tanah Ulayat suku. Jadi didalam suatu Kerajaan atau Nusak terdapat banyak tanah Ulayat yang kepemilikannya diakui secara adat oleh suku-suku yang ada. Semua anggota dari kelompok suku ini berhak menggarapnya  sesuai kemampuan masing-masing.  Yang berhak mengatur pembagian dan pengawasan serta pemanfaatan atas tanah Ulayat adalah Kepala Sukunya. Sejarah penguasaan atas tanah-tanah Ulayat secara adat seperti  di Pulau Rote ini, juga dianut oleh kelompok-kelompok suku di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur. Sistem tanah ulayat umumnya hanya terdapat di tingkat pedesaan saja, sedang di perkotaan tidak terdapat lagi. Sifat pemilikan tanah Ulayat adalah pemilikan secara kelompok atau kelompok suku yang anggota-anggotanya masih sedarah atau seketurunan yang tergabung dalam kekerabatan, sedang di perkotaan sifatnya adalah pemilikan perorangan.

Kelompok suku lain, tidak berhak melakukan kegiatan apapun diatas tanah Ulayat yang sudah ada, tanpa izin  dan persetujuan dari penguasa adat yang  memilikinya. Hingga kini keabsahan dan keberadaan hak atas tanah Ulayat ini diakui oleh Hukum Adat maupun oleh UU.Pokok Agraria, sepanjang dalam pemanfaatan dan penggunaannya tidak bertentangan dengan UU Pokok Agraria / Pertanahan yang berlaku dan secara kenyataan Hak atas Tanah Ulayat ini masih ada  dan berlangsung hingga kini. Berakhirnya hak atas Tanah Ulayat suku apabila Tanah Ulayat suku itu, telah dibagi habis menjadi bagian-bagian dengan luas tertentu,  kepada semua anggota kelompok anak sukunya sehingga menjadi pemilikan perorangan-suku. Sebelum para penjajah Portugis dan Belanda datang ke wilayah Nusantara ini, boleh dapat dikatakan setiap kerjaan di Nusantara pada umumnya dan di pulau Rote khususnya adalah sama dengan sebuahnegara”.

Jadi dalam suatu pulau ataupun dalam suatu wilayah tertentu pada zaman itu banyak terdapat kerajaan-kerajaan dengan kepala pemerintahannya adalah seorang raja. Setiap kerajaan adalah otonom dan berkuasa penuh atas wilayah kerajaannya. Status kerajaan adalah suatu ‘negara kecil’  dikatakan syah pada saat itu karena telah terpenuhi unsur-unsur suatu negara yakni adanya (daerah, rakyat, dan pemerintah yang bardaulat, serta adanya pengakuan dari kerajaan/ negara tetangga/ perbatasannya).
Peperangan bisa saja terjadi antara kerajaan yang satu dengan lainnya, karena berbagai sebab antara lain : perebutan lahan pertanian, lahan penggembalaan, sumber air, ataupun untuk perluasan wilayah. Maka dapat terjadi penaklukan, sehingga wilayah yang kalah menjadi satu dengan kerajaan yang menang atau terjadi peleburan. Munculnya “nusak” atau kerajaan dan “mane” atau raja   di pulau Rote, berawal dari kelompok-kelompok seketurunan yang menduduki suatu wilayah tertentu yang memilih seorang saudara laki-lakinya (mane=jantan) dan seorang saudara perempuannya (fetto)  menjadi pemimpin mereka melalui proses pemilihan.

Kedudukan “mane” dan “fetto/ fettor” dalam pemerintahan adalah sama atau
sederajat, hanya terdapat perbedaan dalam tugas yakni,
Ø  mane” mengurus dan menangani hal-hal diluar kerajaan misalnya urusan dengan kerajaan lainnya, sedangkan fetto arau “fettor urusan dalam negeri. Kalau satu ketika “mane meninggal dunia dan belum ada pemilihan, maka “fettor” ini dapat melaksanakan tugas “mane” sampai ada pemilihan.
Ø  demikian pula jika fettor” meninggal dan belum ada pemilihan, maka “mane” sementara merangkap tugas “fettor”.
Di pulau Rote tidak otomatis putra raja, atau putra fettor mengganti kedudukan ayahnya, tetapi harus lewat pemilihan. Orang pendatang yang kemudian datang ke kerajaan itu, tidak berhak dipilih sebagai raja, karena ia bukan saudara raja seketurunan, namun memiliki hak pilih saja. Di pulau Rote, semula terdapat 19 (sembilan belas) kerajaan kecil yakni : BaA, Dela, oEnale, Dengka, Termanu, Lole, Korbafo, Keka, TalaE, Bokai, Lelenuk, Diu, Landu, Ringgou, oEpao, Bilba, Thie, Ndao, Lelain. Kemudian kerajaan kecil-kecil ini oleh Belanda digabungkan dalam delapan  swapraja saja, bahkan tahun l928 dijadikan satu swapraja  yakni swapraja Rote diperintah oleh Jo’El Simon Kedoh dari Kerajaan Ringgou-Rote Timur  dan bergelar “Raja Rote” (Mane kisek = Raja Tunggal).

(2.5). Nama-nama Julukan Kerjaan-kerajaan
Di Rote tempo Doeloe

Sejak dahulu kala semua kerajaan di pulau Rote mempunyai nama“julukan”. Sudah tentu nama itu diberikan sesuai dengan ‘sejarah’ atau ‘kebiasaan’ kerajaan itu pula, pada zaman dahulu misalnya :
Ø  Kerajaan Ba’a, disebut ‘Pena Pua do Makalama’
Ø  Kerajaan Termanu, disebut ‘ko di kode do Sumeo’
Ø  Kerajaan TalaE, disebut ‘Pila Sue do Nggeo Deta’
Ø  Kerajaan Bokai, disebut ‘Hulu Manu do Kokote’
Ø  Kerajaan Diu, disebut ‘Pele Pou do Ngafi Lafa’
Ø  Kerajaan Bilba, disebut Kai Tio do Hala Take’
Ø  Kerajaan Ringgou, disebut ‘Londa Lusi do Batu Bela’
Pada zaman dahulu orang  sebelum mengenal istilah kerajaan di pulau Rote, maka penyebutan wilayah Rote mereka mengatakan Rote Timur dan Rote Barat dan penyebutan itu bukan penyebutan dalam pembagian yang berdasarkan pemerintahan.
Pembagian itu hanya suatu penyebutan belaka, sebagai terjemahan dari istilah-istilah bahasa Rote yaitu:

Ø  ‘Dae Duluk’ (=Negeri-negeri Timur) dan
Ø  Dae Mulik’ (=Negeri-negeri Barat).

Jauh sebelum sebutan itu, terdapat sebutan yang  lain yaitu istilah
Ø  ‘Lamak anan’ (anak-anak belalang) dan
Ø  Henak anan’ (Anak-anak pandan).
Rakyat di Rote Timur disebut “Lamak anan”  karena sebagian besar diantara mereka pemakan belalang,  Sedang rakyat di Rote Barat disebut “Henak anan” karena sebagian besar diantara mereka suka makan isi buah pandan. Jika anda berkunjung kesana pada musim panen, maka akan melihat anak-anak penggembala hewan di padang berlari-lari  dipadang  kerajaan Ringgou, Bilba, Diu, Lelenuk dan Bokai, ditangannya memegang setangkai pelepah gewang atau pelepah lontar pemukul belalang serta beberapa lidi untuk menangkap belalang. Hasil buruannya  itu ditusukkan pada lidi dan di masukkannya ke bakul kecil terbuat dari anyaman daun lontar. Setelah banyak terkumpul, pulanglah mereka dan belalang itu dibakar atau di goreng sebagai lauk pauk. Rakyat di Rote Barat mendapat sebutan “anak pandan” karena meraka suka makan isi buah pandan yang rasanya seperti buah kenari ( Pa’da hena boak = orang Termanu pemakan buah pandan).
Ø  Sebuatan untuk orang Ba’a ialah (‘Ba’a suu deek’= orang Ba’a pemakan biji sukun/nagka) karena disana banyak terdapat pohon sukun dan nangka.
Ø  Sebutan untuk orang Dela adalah : ‘Dela nafi teik’ = artinya orang Dela pemakan perut teripang.
Ø  Untuk orang Thie disebut: ‘Thie boke boa’ artinya orang Thie lari ke rumpun bakau.
Ø  Untuk orang Dengka disebut: ‘Dengka tafa naak’ artinya orang Dengka dimakan pedang.
Demikianlah beberapa istilah atau panggilan bagi kerjaan-kerajaan di Rote pada zaman dahulu, untuk diketahui tetapi bukan untuk dipakai panggilan sembarangan oleh siapa saja, karena bisa menyinggung perasaan bagi yang bersangkutan. Ini hanya sebagai sejarah masa lalu dan sekarang tidak berlaku lagi sebutan-sebutan itu. (Minggus Manafe, Aneka Kehidupan di Pulau Roti, B. P. No.2221 Jakarta,L968 hal.12-16).

(2.6). Sistem Pemerintahan
Suku Di Pulau Rote

Sekarang orang-orang biasa menyebut “Raja” dan “Fetor.”Tetapi dulu sebelum Belanda masuk, mereka tak kenal istilah “raja” itu. Mereka hanya kenal “Fetor”. Dan untuk raja mereka mempunyai istilah sendiri dalam bahasa Rote “mane,”
‘Mane’ sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa  Rote, “mane” yang artinya “jantan.” Sedang “fettor” juga berasal dari bahasa Rote “Fetto” yang artinya “saudara perempuan”. Jadi tiap kerajaan diperintah oleh saudara perempuan beserta yang jantan. Meskipun “ fettor” berasal dari kata “fetto yang berati  “saudara perempuan”, tetapi fettor tidak harus dijabat oleh seorang perempuan. Malah sekarang tak ada seorangpun fettor perempuan. Kerajaan-kerajaan di Rote dulu-dulunya memang merupakan tempat sekumpulan masyarakat seketurunan. Jadi daerah hukum disitu bersendi atas hubungan darah. Dan daerah yang ditempati  oleh orang-orang seketurunan ini hanya terdapat diluar Jawa-Madura saja. Orang-orang seketurunan sudah barang tentu semua bersaudara.  Diantara saudara sebanyak itu mereka memilih untuk kepala mereka, “yang jantan” (mane). Tetapi mereka tak mau kekuasaan di pegang oleh seorang saja. Jadi mereka pilih saudara perempuan (fetto) untuk memegang kekuasaan juga. Kemudian timbul kata  “manek” (raja) dan “fettor”. Raja dan fettor bersama-sama berkuasa dalam nusaknya (kerajaannya).

Hak dan kewajiban mereka hampir sama. Itulah sebabnya ‘fettor’ tidak dapat diganti dengan istilah “Patih” (istilah Jawa),’ Fettor’ memang bukan ‘patih’. Fettor dan Manek/Raja = (jantan)  sama derajat jabatannya, sedang “Patih” (di Jawa) kekuasaannya jauh lebih sedikit dari pada raja. Dengan ini terang bahwa di Rote sejak dulu tidak ada istilah “bangsawan” dan “bukan bangsawan”. Sedang raja saja mereka sebut “yang jantan” atau “Saudara laki-laki” atau “manek”.Dengan adanya manek dan fettor, penduduk Rote ingin supaya pemerintahan dipegang oleh saudara-saudara mereka sendiri, yaitu Saudara laki-laki dan saudara perempuan”.
Dan bukan dipegang oleh” tuan-tuan”, “ Bendoro” (seperti di Jawa) atau apa saja yang berati golongan atas, golongan bangsawan.  Tidak ada golongan atas atau golongan bawah.  Tidak ada golongan bangsawan dan bukan bangsawan. Semuanya sama, karena mereka bersaudara. Maka dari itu di Rote tidak ada raja yang disembah-sembah.  Raja itu sederajat dengan rakyat. Jadi raja hanya kebetulan saja karena dipilih. Mengapa orang yang menang dalam pemelihan  harus disembah ?
Sistem kerajaan di Rote memang mempunyai sifat persaudaraan yang mesra sekali.
Raja dan Fettor adalah saudara rakyat. Saudara rakyat yang tegak sama tinggi, duduk sama rendah, dalam arti kiasan dan dalam arti sebenarnya. Jadi pada zaman dulu kala kerajaan-kerajaan di Rote merupakan daerah tempat tinggal orang-orang yang sedarah.
Tetapi lama kelamaan terjadi perpindahan orang-orang dari kerajaan yang satu kekerajaan yang lain. Orang-orang dari kerajaan lain  ini tentu saja bukan saudara rakyat dan tentu juga bukan saudara raja, dikerajaan yang baru di datanginya itu. Orang-orang di kerajaan yang didatangi itu ada juga yang pergi dan menetap dikerajaan lain. Sehingga lama-kelamaan tiap kerajaan tidak  merupakan daerah hukum yang bersendi atas perhubungan darah lagi. Kerajaan itu sekarang telah  menjadi hukum yang bersendi atas kepentingan hidup bersama. Kerajaan yang tadinya merupakan kerajaan orang-orang seketurunan, kini telah menjadi kerajaan sewilayah (teritorial).

Jadi kini terdapat dua macam golongan masyarakat.
Ø  Golongan pertama ialah penduduk asli kerajaan itu. Orang-orang ini seketurunan dengan  raja atau biasa disebut “keluarga raja”.
Ø  Golongan kedua ialah golongan orang-orang pendatang, orang-orang dari luar yang menetap disitu. Golongan kedua  ini disebut golongan “bukan keluarga raja”.
Di seluruh dunia biasanya raja mengangkat putra mahkotanya.
Putra mahkota ialah orang yang menggantikan raja setelah raja mati.
Tetapi di Rote tidak begitu. Tidak ada putra mahkota !
Dulu, ketika kerajaan-kerajaan  di Rote masih merupakan tempat tinggal masyarakat seketurunan, raja dipilih diantara segala rakyat yang semuanya masih bersaudara itu.  Siapa pandai dan berpengaruh lagi kaya, ialah yang akan menjadi Raja.  Sekarang, kerajaan-kerajaan keturunan berubah menjadi kerajaan-kerajaan teritorial.  Rakyatnya terdiri dari dua golongan yakni golongan keluarga raja dan golongan bukan keluarga raja.

Karena itu pemilihan raja telah berubah.
Ø  “Golongan keluarga raja minta hak yang lebih banyak dari golongan pendatang”.Sebab golongan “keluarga  raja” merasa dengan bersusah payah dalam masa yang lalu telah menegakkan “Sokoguru” kerajaannya.
Ø  Sedang golongan pendatang”, mereka datang saja setelah tiang-tiang-agung kerajaan tegak semua, setelah kerajaan aman tak ada gangguan dari dalam maupun dari luar.
Dengan alasan ini golongan keluarga raja  menuntut supaya yang berhak dipilih menjadi raja adalah orang dari keluarga raja saja dan golongan bukan keluarga raja tak berhak dicalonkan menjadi raja.
Golongan keluarga raja dan golongan bukan keluarga raja berunding.
Golongan pendatang mengakui bahwa mereka dulu tidak turut membangun kerajaannya ditempatnya sekarang. Dari saat itu hingga sekarang. raja dipilih dari golongan keluarga raja saja. Aturan semacam ini diakui kebenarannya oleh seluruh kerajaan-kerajaan di Rote dan dijalankan juga, termasuk pemilihan Tamukung dan Kepala Desanya hingga saat ini. Dengan demikian yang berhak dipilih untuk menjabat “jabatan penguasa  adat di tingkat desa” adalah penduduk asli yang masih bersaudara itu. Sedang orang pendatang memiliki hak untuk memilih saja dan tidak berhak di pilih.
Demikian adat di Rote.
Meskipun ada batas antara orang-orang yang dapat dipilih menjadi raja dan orang-orang tidak dapat dipilih, tetapi masih lebih bebas dari pada kerajaan-kerajaan yang masih menggunakan sistem putra mahkota  ditempat lain. Dengan demikian “Sistem Demokrasi” telah di laksanakan oleh orang Rote sejak nenek moyang mereka.
Makin maju tingkat hidup sesuatu bangsa makin banyak pembagian kerja, karena makin banyak urusan-urusan yang harus diselesaikan. Pembagian kerja diadakan.
Ø  Fettor bekerja kedalam (di lingkungan kerajaan saja), artinya mengurus segala sesuatunya yang terjadi didalam kerajaan, misalnya perselisihan antara keluarga, membuat jalan, mengatur lancarnya pengairan, dan sebagainya.
Ø  Sedangkan raja bekerja keluar (berhugungan dengan kerajaan lainnya). Misalnya ada perselisihan tentang batas kerajaannya dengan kerajaan lain maka kalau diadakan perundingan , raja yang mewakili  kerajaannya.
Ø  Kalau ada undangan pesta dari kerajaan lain, raja yang berangkat.
Ø  Kerajaan yang tidak mempunyai raja, untuk urusan keluar, fettor itu yang melakukan. Begitu juga kerajaan yang tidak mempunyai fettor tetapi mempunyai raja untuk urusan kedalam, raja juga yang melakukannya.
Kerajaan yang tidak mempunyai raja atau fettor,  ialah kerajaan yang baru saja kematian raja atau fettornya sedang pemilihan penggantinya belum dijalankan.

Temukung dan Kepala Kampung
Di pulau Rote

Raja dan Fettor didalam menjalankan tugasnya dibantu oleh beberapa orang “Temukung”. Daerah hukum kekuasaan temukung ini terdiri dari empat-lima desa. Tiap-tiap desa ada kepalanya lagi disebut “Kepala Kampung”. Kepala kampung inilah langsung memerintah rakyat. Dulu ketika merupakan masyarakat seketurunan, raja, fettor, temukung, kepala kampung, dan rakyat, semuanya orang-orang bersaudara. Jadi dulu dengan sendirinya raja adalah “raja suku”, fettor adalah “fettor suku”, temukung adalah “temukung suku” dan kepala kampung adalah “kepala kampung suku”sekampung.

Tetapi sekarang masyarakat sudah menjadi masyarakat campuran.
Dikampung P misalnya berdiam suku-suku A, B, dan C. Kampung P ini dikepalai oleh seorang kepala kampung juga. Kampung yang lain misalnya kampung Q, penduduknya terdiri dari suku-suku B, C, D, dan  E, dan juga  dikepalai  kepala kampung. Kepala-kepala kampung itu dari suku apa saja, tidak dihiraukan. Secara kebetulan saja dia dapat dipilih. Kepala kampung, kampung P berhak menyelesaikan pertengkaran antara suku A dengan suku A, atau suku A dengan suku B, didalam kampungnya. Tetapi kepala kampung, kampung P ini tidak dapat menyelesaikan  perselisihan antara suku A didalam kampungnya  dengan suku A  dikampung R. Kalau kampung P dan Kampung R sama-sama tidak berhak menyelesaikan perkara. Karena yang berselisih ini suku A dengan Suku A, meskipun kampungnya berlainan, maka perselisihan ini diadili oleh “temukung suku A”. Jadi dibawah raja untuk pemerintahan biasa ada temukung dan kepala kampung. Sedang untuk perhubungan kesukuan ada “temukung  suku, ” sebab di Rote suku dibagi menjadi beberapa vam/marga. Temukung-temukung di Rote disebut : “maneleo,” mane artinya “jantan “ dan “leo” artinya “suku” (raja suku)..






Nama-nama Kerajaan
Di Pulau Rote-Ndao

Kerajaan-kerajaan atau Nusak di Rote sebelum sistem swapraja dihapus (l958), dapat disebutkan disini, demikian pula nama raja-raja terakhir dari masing-masing kerajaan di Pulau Rote, serta ibu kota kerajaannya  adalah :

KERAJAAN               NAMA RAJA         IBU KOTA

  1. Tala’E                   M.Saudale,             Seda
  2. Keka                    Th.Malelak,              Sotihu
  3. Bokai                    M..Dope,                 Nusakdale
  4. Lelenuk                J.S.Daik,                 KakaEk
  5. Diu                        S.Ch.Manafe,          O’ebau
  6. Bilba / Beluba:      M.Lenggu,              O’eboka
  7. O’epao                  J.Sjioen,                  Batu’idu
  8. Ringgou                N.Daud,                   E’ahun
  9. Landu                   J.M.W.Johanis        Daeurendale
  10. Korbafo                Ch.P.Manubulu      Sua/Ulafulihaa
  11. Termanu               E.J.I. Amalo,            Feopopi
  12.  Ba’a                     I.D.Pandie,               Menggelama
  13.  Lelain                  S.J.Besie,                 O’esamboka
  14.  Thie                     J.A.Messakh,           O’ebafok
  15.  Dengka                Ch.H. Tungga,         O’elaba
  16.  O’enale                H.H.Lenggu,             Boamon
  17.  Dela                     A.Ndoen,                  Nemberala
  18.  Loleh                   S.P.J. Dillak,             Danolain
  19.  Ndao                    F.Baoen,                   Lendeiki

Kemudian kerajaan-kerajaan kecil ini digabungkan dalam delapan swapraja saja, bahkan pada tahun l928 dijadikan satu swapraja saja yakni swapraja “ Rote” yang diperintah oleh  JoEL Simon Kedoh, dengan gelar “Raja Rote”, yang berasal dari Kerajaan Ringgou, berkedudukan di Ba’a ibu kota pulau Rote. Dengan dihapusnya sistem Swapraja l958, maka di pulau Rote juga tidak terdapat lagi jabatan raja. Namun para Ex. Raja-raja tersebut tetap dipandang sebagai sesepuh adat atau tua-tua adat dan tetap dihormati rakyat hingga saat ini. Bila kita memperhatikan ke-l9 buah kerajaan yang ada di pulau Rote pada zaman dulu itu diperoleh gambaran bahwa sebenarnya ke-l9 kerajaan itu adalah berasal  dari sejarah berawalnya jumlah kelompok-kelompok pendatang pertama yang datang secara bergelombang /   bertahap kepulau Rote ini.  Menurut tua-tua adat Rote, bahwa generasi sekarang ini merupakan generasi yang ke-50 menurut silsilah keturunan dihitung sejak awal kedatangan nenek moyang mereka kepulau Rote. Sejak kapan awal menemukan pulau Rote oleh kelompok pendatang pertama, tidak diketahui dengan pasti. Namun kita dapat memperkirakan dengan jalan menghitung jumlah generasi di kalikan dengan umur rata-rata setiap generasi.  Generasi sekarang adalah generasi yang ke-50; Umur rata-rata tiap generasi dihitung sekitar 40 tahun (minimal). Sehingga jumlah tahun hingga serkarang adalah 50 X 40 X 1 tahun = 2000 tahun lalu. Atau paling tidak 1500 tahun yang lalu pulau Rote telah dihuni orang. Karena   sejarah awal daerah asal-usul mereka  masing-masing berbeda-beda satu sama yang lainnya, yakni ada yang berasal dari arah barat dan ada yang berasal dari arah utara Nusantara, maka baik adat istiadat maupun bahasanya  berbeda pula,  menyebabkan masing-masing kelompok mereka lebih memilih saling hidup terpisah dan meyebar ke-seluruh pulau Rote, dimana satu kelompok dengan  kelompok lainnya masing-masing  menduduki suatu wilayah tertentu sebagai tempat hunian menetap mereka yang terakhir.
Ø  Tanah suku di  semua daerah/wilayah yang diduduki, di kuasainya dengan hak ulayat (Ulayat = Wilayah) dari suku-suku tertentu yang disebut Tanah Leo (tanah suku).
Ø  Yang dimaksud   dengan Hak Ulayat adalah hak dari sesuatu masyarakat  hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang tertentu  kepada penguasa-penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut.
Ø  Hak ulayat sebenarnya merupakan wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah, yang termasuk lingkungan  wilayahnya. Hak ulayat berlaku terhadap semua tanah wilayah itu, baik yang sudah di haki (dimiliki)  seseorang, maupun yang tidak  atau belum di haki. Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam maupun keluar.
Ø  Kedalam, hak ulayat berlaku terhadap para anggota masyarakat hukum (kelompok suku) itu.
Ø  Keluar, hak ulayat berlaku terhadap orang-orang bukan anggota masyarakat hukum (kelompok suku tersebut) dan hanya dapat diberikan, jika terlebih dahulu atas izin dan persetujuan penguasa adat setempat.
Ø  Masyarakat  hukum  adalah (kelompok-suku) yang mempunyai hak ulayat itu dan bukan orang-seorang / perseorangan.
Ø  Kewajiban yang utama dari  Penguasa adat ( Raja / Mane, Kepala-kepala suku / Kepala-kepala adat / Kepala pemerintahan adat Tradisional) yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai pemakaian tanah dan kalau terjadi persengketaan ia wajib menyelesaikannya.
Ø  Usaha-usaha yang biasa didirikannya/diusahakannya diatas tanah ulayat ialah misalnya: ladang, kebun, sawah, tebat / kolam-kolam, perumahan, mamar (kebun kolektif), hutan tutupan / hutan lindung, rumpun pohon lontar dan pohon lebah dan lainnya. Masing-masing itu menurut hukum adat mempunyai hukumnya yang khusus.
Ø  Tanah yang diusahakannya itu dapat di kuasainya dengan hak pakai, tetapi bisa  juga dimilikinya dengan hak milik (dalam kelompok suku). Hal ini tergantung pada kenyataan apakah tanah itu dikuasainya dan diusahakan secara terus-menerus / parmanen ataukah hanya untuk sementara saja seperti ladang berpindah-pindah.
Ø  Penggarapan secara Paemanen. Pula tergantung pada banyaknya usaha atau biaya yang telah dikeluarkannya mengenai tanah itu secara terus-menerus   dan memberi hasil sampai saat ini.
Ø  Tanah Hak Garap. Jika  pengusahaan atas sebidang tanah oleh seorang anak suku diatas tanah hak ulayat  hanya sementara saja, misalnya dalam beberapa musim tanam saja,  kemudian lahan tersebut di tinggalkan  dan  berpindah   kelahan yang lain lagi untuk menggarapnya, maka penguasaan atas tanah ulayat tersebut hanya memiliki hak garap atau hak pakai saja.
Ø  Tanah yang ditinggalkan. Sedang tanah yang sudah  ditinggalkan itu dapat dikerjakan / digarap oleh anak suku yang lain atas pengetahuan  dan persetujuan  Kepala Sukunya /Penguasa Adatnya.
Ø  Tanah Hak Milik Parmanen. Sebaliknya jika lahan yang diusahakannya itu dilakukan secara terus-menerus sepanjang tahun tidak terputus-putus untuk selamanya, serta telah  banyak memakan biaya atau modal yang ditanam disitu berupa sawah, kebun, ladang dengan  berbagai tanaman berumur pendek atau berumur panjang seperti tanaman keras, maka penguasaan atas tanah ulayat tersebut berubah statusnya dan bersifat hak milik anak suku tersebut (penggarapan lahan secara menetap untuk seterusnya).
Ø  Berakhirnya hak atas tanah ulayat, apabila semua wilayah tanah ulayat suku tersebut telah bibagi habis kepada semua anak-anak sukunya dan telah mengusahakannya secara parmanen pula (petani menetap), kecuali terhadap hutan tutupan atau hutan lainnya yang masih tetap merupakan tanah hak ulayat milik bersama / milik kelompok suku. Semua anak suku memiliki  kewajiban  yang sama dalam menjaga pelestarian hutan-hutan milik kelompok suku, maupun memiliki hak mengambil hasil dalam  hutan ulayat mereka. Antara hak ulayat dan hak-hak perorangan selalu timbal balik.
Ø  Berkurangnya Hak Ulayat Suku. Makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas sebidang tanah, maka makin eratlah hubungannya dengan tanah tersebut. Didalam hal demikian maka kekuatan hak ulayat terhadap tanah suku itu menjadi berkurang dan beralih fungsi menjadi tanah hak milik perorangan dalam kelompok suku tersebut dan tidak bisa lagi dimasuki atau dikerjakan oleh perorangan lain dari suku tersebut.
Ø  Hilangnya Hak Garap Tanah Ulayat Suku.  Kalau sebidang tanah tidak diusahakan lagi oleh seseorang anak suku yang semula memiliki hak garap sehingga menjadi terlantar serta tidak memberi hasil, hingga menjadi semak belukar atau hutan (petani berpindah-pindah), maka hal ini bisa mengakibatkan hilangnya hak garap atas tanah yang bersangkutan.
Ø  Beralihnya Hak Garap Tanah Ulayat Suku. Sehingga tanah itu boleh diusakan oleh anggota masyarakat sukunya yang lainnya, tetapi atas petunjuk dan persetujuan penguasa adat suku tersebut karena prinsipnya tanah tidak boleh terlantar dan tetap memberi hasil.
Ø  Berakhirnya Tanah Hak Ulayat Suku. Diatas tanah-tanah ulayat / tanah adat / tanah suku inilah yang memberi hidup kepada marga-marganya yang masih bertalian darah dan kekerabatan. Jika semua tanah ulayat itu telah dibagi-bagi habis dan dikerjakan secara terus menerus (pengolahan tanah secara menetap) yang memberikan pengasilan parmanen  kepada warga-warga suku mereka dan tidak terdapat lagi tanah-tanah yang terlantar, maka ini berarti tidak ada lagi terdapat tanah ulayat kelompok suku atau dengan perkataan lain hak atas tanah ulayat secara kelompok suku sudah berakhir dan berubah menjadi tanah hak milik perorangan anak suku.
Demikianlah ketentuan Hukum Adatnya atas Tanah.

USUL PENULIS :
Walaupun  lembaga Swapraja telah dihapus, dan hampir disemua Ex Raja-raja telah digantikan dengan lembaga pemeritahan seperti Camat, namun Lembaga Pemerintahan adat tradisional ini perlu dihidupkan kembali, oleh karena  Lembaga adat ini lebih dikenal oleh masyarakatnya,  dimana para lembaga adat ini lebih berpengaruh terhadap  masyarakatnya dan dapat dimanfaatkan dalam mengarahkan massanya dalam membantu pemerintah. Masyarakat suku lebih mudah mentaati pemerintah tradisionalnya daripada kepada seorang Camat misalnya.  Para Raja-raja adat inilah  sebagai alat  pemerintah untuk  membantu segala program-program pemerintah disegala bidang di wilayahnya.

Sebagai contoh masyarakat suku Termanu di Rote telah mengukuhkan seorang keturunan raja Termanu  yaitu Drs.Joel Jermias Migel Amallo, S.Sos  sebagai raja. Hal ini perlu diikuti oleh kerajaan lainnya di Pulau Rote. (Demikian Penulis). Di Indonesia  sekarang ini masih banyak lembaga Kerajaan yang bertahan, dan pada beberapa tahun lalu, Raja-raja dari berbagai daerah di Nusantara ini berkumpul di Kalimantan yang dikoordiner oleh pemerintah dalam rangka Festival kerajaan se Nusantara. Yang dihadiri oleh Presiden SBY

Sifat hukum kepemilikan tanah adat, adalah tidak tertulis, namun kekuatannya berdasarkan pengakuan adat baik oleh  kelompok suku maupun oleh penguasa tradisional. Di pulau Rote, yang berhak mengatur dan menentukan dalam pembagian, pemanfaatan, pengawasan, pengenaan sanksi adat atas tanah-tanah ulayat tersebut adalah para penguasa-penguasa adat tradisional yang masing-masing disebutkan dibawah ini. Kelompok-kelompok marga (suku) ini disebut leo, dan kepala keluarga disebut mane leo (raja suku), dan disamping marga tersebut ada kelompok keluarga batih, ‘uma lo’ (seasal  dan lahir dari satu kandungan ibu) = ‘uma isi’ artinya seisi rumah.
Ø  Strata atau pelapisan sosial terdapat pada setiap ‘leo’, sehingga lapisan yang paling atas yaitu ‘mane leo’ (leo mane= raja leo) yang menjadi pimpinan suatu klen didampingi oleh leo fetor’.
Ø  Perangkat pembantu “mane leo” lainnya adalah mane sio langgak dan lasin-lasin’ (tua-tua adat), yang memimpin / mengkoordinir suatu wilayah tertentu mempunyai tugas antara lain : mengatur kerja gotong royong, ‘tu’u belis’ (penentu mas kawin/belis pada peristiwa perkawinan), pesta nikah, kematian, membangun rumah, pesta adat dan urusan pertanahan suku.
Ø  Pada tingkat “leo” selain “mane leo” yang bertugas khusus memimpin dan melaksanakan tugas kepemimpinan, maka tugas-tugas pengurusan tanah diserahkan kepada ‘daek langgak’ (kepala pertanahan adat), sedangkan imam upacaranya disebut ‘mane songo’, dan peradilan tradisionalnya dipimpin oleh ‘mane doko’ / ‘mane dope’ (bahasa Rote “mane’ = raja; dope= pisau) jadi yang dimaksud adalah ( Pemutus / peradilan adat tradisional).

Karena lama kelamaan terjadilah pertambahan penduduk diantara keturunan mereka masing-masing, menuntut perlu adanya berbagai pengaturan kehidupan  kemasyarakatan  demi ketenteraman dan kesejahteraan serta keamanan dalam
kehidupan sosial mereka. Persaingan antar kelompok-kelompok yang ada makin nampak dan terkadang tidak dapat terhindarkan. Akibatnya timbul permusuhan dan terjadilah peperangan antar wilayah dalam perebutan lahan pertanian yang subur, lahan  penggembalaan atau perebutkan sumber air untuk persawahan, maupun dalam usaha perluasan wilayah kekuasaan. Karena kompleksnya berbagai permasalahan suku dalam wilayahnya maupun dalam mempertahankan diri dari serangan luar, maka mulai timbulah ide untuk membentuk lembaga-lembaga dan organisasi kemasyarakatan adat,  serta melakukan pembagian tugas-tugas dan wewenang maupun jabatan-jabatan pemerintahan adat, diantara kepala-kepala suku (mane leo) seketurunan yang ada.
Jabatan dan pemilihan Raja (mane), Fetor, Temukung, Kepala Kampung, Kepala-kepala perang, dan penjaga keamanan perbatasan mulai diadakan dan dibentuk. Wilayah-wilayah yang  dihuni itu, kemudian berkembang menjadi suatu kerajaan, lengkap dengan struktur pemerintahan adatnya. Pada zaman dahulu untuk menjaga keamanan dalam  suatu kerajaan dari serangan kerajaan lain, maka dibentuklah suatu pasukan khusus penjaga perbatasan dari dua kerjaan yang berbatasan langsung.
Karena mereka merupakan ‘pasukan istimewa’ dalam menjaga keselamatan masyarakat kerajaan, maka kepada mereka diberi beberapa fasilitas dan jaminan sosial-ekonomi sbb:
Ø  Para pengawal perbatasan tidak dibebani dengan berbagai pekerjaan dalam desanya/di kerajaannya.
Ø  Semua kebutuhan konsumsi keluarganya dijamin oleh semua warga kerajaan.
Ø  Mereka dibebaskan dari pembayaran pajak-pajak atau pungutan
Ø  Dibebaskan dari tugas menjaga dan pengawalan di rumah raja (abdi raja = ‘manea’).
Ø  Mereka diberikan berbagai alat senjata yang diperlukan dan perlengkapan lainnya untuk menjaga perbatasan dan berbagai hak istimewa lainnya..
Demikianlah pada akhirnya munculah kerajaan-kerajaan di Rote yang berjumlah l9 kerajaan hingga saat itu seperti uraian diatas. Adapun gelombang kelompok pendatang yang datang kemudian, hanya mengintegrasikan diri dan beradeptasi  dengan kelompok yang sudah ada sebelumnya. Kesemuanya inilah yang akhirnya menurunkan keturunan mereka, dan mendapat sebutan sebagai  orang Rote (Roti).
Nama Roti memiliki dua makna sekaligus yakni :
1.     Sebagai nama Pulau;
2.     Bermakna sebagai “makanan” dimaksudkan sebagai Pulau “gudang makanan”.

Pulau ini nyaris tidak pernah kelaparan. Sejak dahulu hasil padi, gula, hewan dan hasil bumi lainnya di kirim untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota-Kupang yang selalu kekurangan pangan. Penduduk pulau Rote pada tahun l957 berjumlah 73.713 jiwa dan jumlah penduduk yang berhak memilih (Pemilihan Umum pertama di Indonesia) saat itu berjumlah 39.512 jiwa.(l955).(Gyanto : 1958).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.