alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Jumat, 16 Januari 2015

SENGKETA PERBATASAN RI -- TIMOR LESTE

Sengketa Perbatasan RI – Timor Leste

Kami Minta Pemerintah Untuk Segera Menyelesaikan Tapal Batas;
Jika Tidak Sanggup, “Kita Perang Saja” (Bentara Edisi 32)
Oleh : Drs.Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Status sebagai negara kepulauan membawa konsekuensi tersendiri bagi Indonesia. Salah satunya pengetatan penjagaan pulau-pulau terluar. Kasus Ambalat (kemelut perbatasan di Pulau Sebatik, dengan Malaysia) adalah buah dari konsekuensi itu.  Di republik ini terdapat 67 pulau terluar yang berhadapan langsung dengan negara tetangga. Dari jumlah itu, 12 diantaranya
membutuhkan penjagaan ketat. Pasalnya, pulau-pulau tersebut rawan dikuasai negara lain.
Kisah Pulau Sipadan dan Ligitan yang lepas dari tangan Indonesia pada tahun 2002, hingga kini masih terngiang. Hilangnya sebuah pulau dari kedaulatan teritorial bukanlah peristiwa yang mudah dilupakan. Spirit itu pula yang membuka yang membuka mata hati masyarakat Indonesia untuk mempertahankan kawasan Ambalat dari klaim pemerintah Malaysia. Ambalat adalah milik Indonesia, titik. Tak ada tawar-menawar lain.

Kendati berakhir dengan diplomasi damai namun kasus Ambalat tetap mencemaskan Indonesia saat menyaksikan deretan pulau-pulau terluar.  Mayoritas pulau-pulau tersebut adalah pulau sunyi-senyap tanpa penghuni maupun tanpa tapal batas yang jelas yang menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut adalah milik Indonesia. Sebagian berpenghuni dan sebagian kosong. Fakta itu membuat petinggi dan penduduk dinegeri ini berharap cemas.

Kenapa? Karena tiadanya penghuni, oleh negara lain, bisa diklaim sebagai tidak adanya penguasaan efektif. Saat penguasaan efektif tidak ada, maka aksi klaim dari negara seberang pun  tiba-tiba mengemuka. Ini pula, seperti dukutip sebuah koran nasional yang menjadi pertimbangan  lepasnya Pulau Sipadan dan Lingitan. Lantaran tidak ada penguasaan efektif dari pemerintah Indonesia, pengadilan internasional memutuskan menyerahkan pulau tersebut kepada Malaysia. Pasalnya, negeri jiran itu mampu menunjukkan indikasi
penguasaan efektif.
Pendek kata, kasus Sipadan dan Ligitan adalah pelajaran berharga. Penguasaan efektif terhadap pulau-pulau terluar mesti menjadi pemekiran serius. Sebab dari kajian ilmiah, pulau-pulau itu menyimpan kekayaan alam yang teramat dahsyat. Bukan saja sumber daya pertambangan, namun juga kekayaan ekologi.

Pulau Batek di NTT

Pulau Batek  luasnya 24 hektar (saat air surut) dan 20 hektar saat laut pasang dan panjang garis pantainya sekitar 1.800 meter, dengan kedalaman laut sekitar 70 meter dalam Treaty 1904 (Convention for The Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions On The Island Of Timor),  disebutkan nama pulau Batek sehingga dipastikan pulau itu milik Indonesia.  dalam pasal III ayat 1 dan

merupakan salah satu batas Timor Barat Indonesia dengan Timor Leste. Pulau Batek hanya berjarak sekitar 7 mil laut dari Tanjung Batuanyo-Oipoli Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang. Jarak dari Pelabuhan Tenau ke Pulau Batek sekitar 25 mil laut.  Pulau Batek adalah milik Indonesia dan posisinya berada di dalam dari garis terluar wilayah, yaitu lima (5) mil dari titik  dasar Nomor 115 sebagai titik terluar wilayah RI sesuai UU Nomor 4/Prp/1960 yang menjadi dasar wawasan Nusantara. Pertemuan Delegasi RI—RDTL (Republik Demokrasi Timor Leste) soal Perbatasan  Demi penyelesaian urusan perbatasan, reli pembicaraan sudah dilakukan. Payung hukum pun telah tersedia (lihat Box). Dengan berpayung pada aturan hukum tersebut, berjalanlah proses perundingan.  Awalnya adalah sebuah pertemuan delegasi RI-RDTL di Dili, 31 Agustus—1 September 2004. Pembicaraan dua hari ini dimatangkan lagi pada  pertemuan babak kedua  di wilayah RI. Pertemuan kedua, akhirnya dilaksanakan di Yogyakarta, 29 Oktober 2004. Dari pertemuan inilah muncul suatu agenda pelik yang menguras perhatian masing-masing delegasi.

Ketenangan dan kesyahduan Kota Yogyakarta tak mampu meredakan
perbedaan pandangan kedua delegasi. Ada tiga segmen (titik batas wilayah) yang belum disepakati.
Yakni :
Ø  Dilumi/Memo,
Ø  Bijael Sunan-Oben, serta segmen
Ø  Noel Besi.
Kedua delegasi bersikeras pada persepsi masing-masing.
Namun sejatinya, tiga segmen bermasalah itu, hanyalah secuil persoalan dari problema besar yang menggunung di wilayah perbatasan. Bahkan, jika diprosentasekan, nilainya teramat kecil. Pertemuan Yogyakarta menyimpulkan, segmen bermasalah hanya mencapai 4,3 persen dari panjang total perbatasan yang mencapai 268,8 Km (tersebar di tiga kabupaten), yakni,
Ø  Belu 115 Km,
Ø  Timor Tengah Utara (TTU) 104,5 Km, serta
Ø  Kupang 10,5 Km).
Selebihnya adalah segmen tidak bermasalah yang mencapai 92,3 persen. Selain itu juga terdapat satu segmen yang dianggap bukan bermasalah  sekaligus tidak disepakati, yakni segmen Subina. Hanya saja, kalau dicermati mendalam, persoalan penetapan batas negara ternyata bukan semata hitungan-hitungan porsetase. Dinamika permasalahannya sudah bergerak begitu jauh. Disana ada masalah eksistensi dan rasa keadilan. Keduanya menyimpan banyak pertanyaan yang sulit dijawab.

Misalnya, pertanyaan mengenai bergesernya perbatasan RDTL ke wilayah Indonesia. Menurut pengamat masalah perbatasan RI--RDTL, Dr.Yunuarius Koli Bau, panjang pergeseran tersebut sudah mencapai 86 kilometer. Situasi ini, kata Yunuarius, sangat tidak menguntungkan masyarakat adat yang tinggal di wilayah perbatasan. Sebab, mau tidak mau pergeseran itu mempengaruhi hak kepemilikan tanah. Dan yang pasti, mereka takkan mengiklaskan tanah adat 

jatuh ke tangan orang lain (RDTL). Indikasinya sudah ada, misalnya aksi pembongkaran tapal  batas oleh masyarakat adat Amfoang, Kabupaten Kupang. Perintah ini turun langsung dari sang Pemangku Adat, Robby Manoh. “Kami meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan tapal batas, jika tidak sanggup, kita perang saja,” tegasnya. (Bentara Edisi 32).Warning  tersebut bukan ucapan isapan jempol,  bukan pula gertakan semata.  Sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian, tentu seluruh pimpinan di republik ini meski menyingkapinya secara arif. Perlu pula untuk direnungkan, bahwa masih banyak cara mengakhiri problema ini, selain perang.  Salah satunya, kesediaan pemerintah-baik pusat maupun daerah—melibatkan masyarakat adat di meja perundingan Keterlibatan ini sangat penting karena menyangkut pengakuan nilai-nilai kearifan lokal. Jika tidak melibatkan mereka, berarti pemerintah tidak mengakui nilai-nilai tersebut. “Pemerintah pusat harus meninjau kembali batas wilayah yang ada saat ini. Segera tentukan batas koordinat sesuai lintang dan bujur.

Satu lagi, jangan sampai tidak melibatkan tokoh adat dari kedua belah pihak,” ujar Yanuarius. Para tokoh dan masyarakat adat lah yang menerima efek kemelut perbatasan secara langsung. Mereka juga yang lebih dulu menikmati kekhawatiran akan hak kepemilikan tanah. Bayangkan, kata Robby Manoh (pemangku adat Amfoang, Kecamatan Kupang), jika menggunakan peraturan RDTL, sekitar 896 hektar sawah milik masyarakat Amfoang di Naktuka akan jatuh ke tangan Timor Leste. Kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini lah, yang menurutnya, harus dipahami pemerintah. Ia tidak bisa memastikan ada-tidaknya pemahaman itu di benak pemerintah. Yang bisa ia pastikan adalah minimnya basic pemahaman terhadap persoalan perbatasan.

“Lihat saja, orangnya yang ngurus ganti-ganti.

Hari ini orang lain yang tidak tahu persoalan, besok lagi orang lain masuk, pada hal dia juga tidak tahu apa-apa,” ujarnya. Tokoh masyarakat adat Kabupaten TTU (Timor Tengah Utara), Anton Lake bersikap serupa. Pendalaman juru runding terhadap cita rasa masyarakat lokal belum optimal. “Mereka tidak menghayati kearifan lokal yang dimiliki orang Timor,” katanya.
Mereka hanya datang dengan formalitas birokrasi dan tanpa back groud apa-apa. Para perunding tanpa back groud itulah yang membuat problema tapal batas tak pernah tuntas.  Pengetahuan mereka mengenai kearifan lokal tak begitu optimal. Selain itu sudut pandang mereka mengenai Bumi Timor masih sangat ‘hitam putih’.

Kapabilitas seperti itu bagi para tokoh adat di sekitar perbatasan, bakal menghambat proses penyelesaian. Keluhan itu kembali sinngah di benak Robby Manoh, Pemangku Adat Amfoang, Kabupaten Kupang.  Satu hal yang kerap ia keluhkan adalah aoutput perundingan yang hanya berupa sosialisasi. Selalu itu, itu dan itu. “Lalu akhirnya tidak jelas ujung pangkalnya,” tegas Robby. Bahwa ada kecemasan dan kekhawatiran di hati para masyarakat adat, mereka tak

pernah tahu.  Di Amfoang misalnya. Warga di sini mencemaskan 896 Ha sawah di Naktuka yang berpeluang jatuh ke tangan Timor Leste. “Karena kalau pakai aturan RDTL (Traktat 1904) sawah itu akan terambil. Akan seperti apa kalau sampai begini,”ujarnya. Menurut Robby, kecemasan tak perlu ada bila perundingan perbatasan RI-RDTL juga melibatkan masyarakat adat. Sayangnya, keterlibatan itu masih dipandang sebelah mata. Para tokoh adat hanya  terlibat dalam waktu singkat. Setelah itu mereka dikembalikan ke komunitas adat, tanpa pernah diminta pendapat. Padahal, kalau mau ideal, seharusnya tokoh adat mendapat porsi  cukup. Mereka harus mengikuti perkembangan secara terus-menerus. Namun sayangnya, tak ada dana untuk idealisme itu. Pemerintah provinsi dan kabupaten kata Robby, mengaku tidak mengalokasikan dana untuk mereka. Ironisnya memang. Tokoh-tokoh adat yang paham benar problema garis batas, justru dikecilkan perannya hanya karena alasan dana. Sekali lagi ironis.

Parahnya lagi, nagi masyarakat adat, kini tak penting lagi apakah sang pemangku ikut berunding atau tidak. Ada hal lain yang lebih menyedot perhatian tanah. Bagi mereka, tanah adalah harga diri. Sedikit saja tercolek, fatal akibatnya. Warga Amfoang, tegas Robby, selalu dalam keadaan siaga. Mereka mengantisipasi penggunaan Traktat 1904 oleh Timor Leste. Sebab, jika pemaksaan itu terjadi, maka 896 hektar tanah Amfoang terampas. Kami harus perrtahankan. Orang Amfoang dengan 24 kepala suku dan 5000 massa sudah “siap” kalau sampai terjadi pengambilan tanah kami,” tegasnya.
Idealnya perundingan melibatkan orang-orang pilihan. Yakni mereka yang sejak awal memahami carut-marut perbatasan. Tidak berlebihan jika tokoh-tokoh adat tercatat dalam daftar orang pilihan itu.

“Kami sebenarnya ingin mengikuti perkembangan terus menerus. Namun terus terang kami tidak ada dana,” tegasnya. Sebelum bicara dasar hukum, seyogianya diawali pembicaraan mengenai kemauan adat. Bukankah, masyarakat adat yang paling awal merasakan efek perbatasan? Anggota DPR RI asal NTT Cypri Aoer menilai pendekatan adat merupakan pendekatan terpenting dari beragam pendekatan lainnya. Bentuk teknis dari pendekatan ini bisa diwujudkan melalui pelibatan tokoh adat secara maksimal. Kehadiran mereka adalah kata kunci dari segala jenis perundingan. “Supaya kita tahu batas wilayah versi mereka itu bagaimana. “Tanyakan, apa maunya adat. Jangan dulu adu pendekatan hukum dan segala macam,” tegasnya.

Setelah urusan adat selesai, baru membicarakan dasar hukum. Itu penting. Sebab, masyarakat adat di sekitar perbatasan benar-benar memahami hakekat tapal batas. Mereka, kata Cypri, tak hanya mengartikan perbatasan sebagai problema georgafis, namun juga memaknainya dengan sudut pandang kulturis. “Dengan merespos mereka, kita tahu mana yang benar, mana yang salah,” ujarnya.
Namun kalau itu diabaikan, sama halnya memberikan bencana kepada mereka. Sebab, masyarakat adat lah yang paling awal merasakan efek ketidak -nyataan perbatasan. Bukan mustahil mereka akan masuk ke dalam situasi yang sangat 

 tak aman. Pada prinsipnya, perbatasan adalah daerah rawan. Karena itu pula, peluang terjadinya saling klaim wilayah sangat besar. “Sebagai wakil rakyat dari NTT, saya akan minta pemerintah RI untuk segera melakukan pendekatan serius dan terarah,” tegasnya. Kerawanan
perbatasan, sepanjang pengamatan Pakar Hukum Internasional Undana Kupang, John Koten, terjadi di keseharian warga. Penggunaan air sungai, misalnya. Dalam penelitiannya di tapal batas wilayah TTU dan Belu, John menemukan fenomena menarik mengenai sharing air di kalangan warga. Fenomena ini bermula dari sebuah sungai yang melintasi Gunung Mutis dan mengalir ke distrik Oe-Cussie, Timor Leste. Suatu ketika masyarakat di hulu sungai di TTU menahan air sehingga tidak ada arus yang mengalir ke Oe-cusie (Timor Leste). Akibatnya warga di distrik itu kekurangan air. Mereka pun memprotes tindakan warga seberang. Hal ini membuktikan air sungai bisa memicu konflik. Contoh lain menyangkut pengembalaan hewan ternak. Acapkali,  kata John, pengembalaan di Tasinifu, TTU, kesulitan mengendalikan ternaknya yang menyeberang  perbatasan dan masuk ke wilayah Timor Leste.

Dalam kondisi seperti ini, si penggembala tidak bisa serta-merta mengikuti ternaknya dan menggiringnya kembali ke Tasinifu (Timor Barat-Indonesia). Ia harus menunggu sang  hewan ternaknya kemabli sendiri. Dan  ini yang tidak mengenakkan,  kalau ternak tidak kembali, maka ia dianggap milik warga Timor Leste. Kedua contoh tersebut adalah bukti sulitnya hidup normal di perbatasan.
Itu belum menyangkut problema tanah.

“Persoalan tanah di Nusa Tenggara Timur (NTT) sering  ditandai dengan pertumpahan darah, saya kira akan muncul di perbatasan nanti. Kejadian di TTU juga sering. “Sebab harga tanah disetarakan dengan harga diri,” tegas John. Ketua Perantara Perbatasan RI-RDTL, Frans Leburaya (kini Gubernur NTT) bukan tidak memeahmi  kerisauan masyarakat adat. Ia juga sudah menghitung resiko jika tidak melibatkan masyarakat adat. “Seandainya kita menetapkan satu tapal batas yang merugikan salah satu pihak, tanpa mendengar mereka (masyarakat adat), pasti akan mengacu konflik,” ujar Frans.Kini semuanya makin mengerucut. Jika tak ingin perang, maka perundingan harus diprioritaskan. Namun bila perundingan menghadirkan orang yang salah, gemuruh perang pasti akan datang. (Perang Suku diperbatasan).

Keputusan Bom Waktu
MENCEGAH PERANG adalah jalan mulia. Hanya saja pertimbangannya harus jelas dan masuk akal. Misalnya pemakaian dasar hukum untuk menetapkan garis lintang dan garis bujur perbatasan. Salah satu persoalan yang menjadi tanda tanya adalah keseriusan RDTL, menggunakan Traktat 1904 sebagai dasar penetapan. Ini pula yang menyulitkan masyarakat adat NTT di perbatasan serta delegasi perundingan RI menyikapi persoalan secara jernih.
Kendati problema perbatasan lahir di masa kini, namun RDTL, justru menggunakan dasar hukum yang lahir satu abad silam. Negeri Xanana Gusmau ini bersikukuh memakai Traktat 1904 sebagai landasan perundingan.

Ini lah ironisme yang benar-benar ironis.  Selisih waktu 100 tahun, dari kelahiran traktat hingga masa sekarang, tentu bukan masa yang pendek. Dalam 100 tahun itu, banyak hal terjadi, banyak pula dinamika yang terus bergerak. Satu hal lagi, tak banyak masyarakat khususnya masyarakat adat di wilayah perbatasan mengerti garis batas, seperti terlampir di dalamnya. Saat ini, mereka Cuma tahu : persoalan perbatasan belum selesai. Itu saja. Pada saat bersamaan, mereka juga mulai menghitung deretan resiko. Dan bila penyelesainnya hanya menguntungkan satu pihak, mereka  pun siap membayarnya dengan darah. Ketua Perantara Perbatasan RI-Timor Leste, Frans Leburaya mengingatkan,  “Timor Leste untuk tidak berkeras kepala”. Para perunding dari negara tetangga itu diminta tidak shaklik (kukuh) menerapkan peta garis batas pada lampiran  Traktat. “Kalau justru menimbulkan masalah, mengapa harus berkeras kepala dengan hal itu (traktat 1904)?,” tanya Frans. Kekukuhan akan Traktat 1904 hanya mengaburkan solusi perbatasan dari harapan masyarakat adat. Apalagi masyarakat sekitar perbatasan hanya menginginkan kedamaian dan ketenangan menjalani hidup. Mari tengok ritinitas sehari-hari mereka. Keamanan warga, keselamatan tanah, serta kepastian garis batas hanyalah sedikit persoalan dari segudang problema perbatasan. Dan mengenaskannya selalu masyarakat terdekat yang menjadi sasaran. Seolah, mereka adalah “martil”  hidup dari alotnya perundingan di tingkat atas. Posisi sejati mereka sebagai komunitas yang paling paham situasi perbatasan, belum terakomodir secara memadai. Hal itu pula yang menyesakkan dada Frans Leburaya, Ketua Perantara RI-RDTL  yang berkali-kali mengingatkan agar eksistensi masyarakat (khususnya warga adat) benar-benar dihargai.

Mereka memiliki Hukum Adat. Lalu kenapa tidak diakomodir?” keluhnya. Menurut Frans, terakomodirnya Hukum Adat akan memperluas peran kearifan lokal. Peran yang berpijak pada kultur dan tatanan sosial masyarakat setempat ini, ditengarai memberi kontribusi positif. Sebaliknya, peniadaan kontribusi justru berdampak fatal.  Dan sangat berbahaya bila perundingan hanya melahirkan keputusan yang manafikan peran masyarakat lokal. “Saya selalu katakan dalam setiap perundingan, bahwa kita tidak boleh membuat sebuah keputusan yang akan menyimpan bom waktu,” tegas Frans. Padahal jika dikelola secara baik, potensi konflik di perbatasan dapat dirubah sedemikian rupa menjadi hubungan bilateral yang sangat kuat. Pengelolaan tersebut memerlukan pemahaman dan pendalaman mengenai kondisi riil masyarakat di sekitar perbatasan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, misalnya

Aksesibilitas masyarakat yang berpatok pada tradisi turun-temurun dan diakui bersama, akan menjadi pemicu kerawanan jika tidak dikelola secara baik.Keberadaan pelintas batas dan pengakuan atas lahan yang dikelola dapat memicu ketegangan apabila tidak diselesaikan secara arif. Fakta geneologis yang mengukuhkan kesamaan suku di kalangan masyarakat adat di perbatasan. Mereka memiliki simpul-simpul adat yang tidak mudah dihapuskan. Jika tidak 

 ada ruang komunikasi serta tidak difasilitasi secara intensif, fakta tersebut justru menjadi sumber kerawanan.. Hanya saja, uniknya, kendati larut dalam problema perbatasan, namun masyarakat setempat tak pernah merasa berbeda. Masyarakat perbatasan, yang secara geografis, dibatasi oleh batas wilayah berdasarkan perjanjian Treaty (Traktat) 1904 secara sosial ekonomis tidak pernah merasa dipisahkan. Indikasi ini terlihat dari berbagai kegiatan yang telah berlangsung secara turun-temurun.

Misalnya :

Adanya kunjungan adat karena peristiwa pernikahan keluarga, upacara kematian dan upacara panen pinang. Acara adat itu mereka lakukan bersama dengan spirit kekerabatan yang tinggi. Adanya perdagangan tradisional yang berlangsung tanpa hambatan pada saat penjajahan Portugis di Timor Leste dan penjajahan Belanda di Timor Barat dan makin bebas pada saat Timor-Timur berintegrasi dengan Indonesia.  Adanya peristiwa perkawinan antar suku di perbatasan yang tidak dikekang oleh aturan-aturan formal. Adanya kesamaan tradisi dan hukum adat dan hak-hak ulayat serta berbagai perjanjian lokal dimana keduanya diakui secara kuat oleh masyarakat perbatasan di masing-masing pihak. Adanya kesamaan kondusif di wilayah perbatasan yang terbangun atas dasar kerja sama kemanusiaan. Dengan kata lain, situasi perbatasan boleh tegang, namun hubungan darah tak mungkin terpisahkan. Kendati berbeda negara,  seorang kakek di timor Leste tak bisa mengingkari keberadaan cucunya di Indonesia (Timor Barat).

Demikian sebaliknya.

Payung Hukum Perundingan Perbatasan RI-RDTL (Republik Demokrasi Timor Leste). UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (LN tahun 2000 No.185 TLN No.4012). Kep Presiden RI No,47 Tahun 2000 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pengamanan Perundingan Indonesia dengan UNTAET. Kep. Medagri dan Otonomi Daerah RI No.185.5-102 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite Penyelesaian Masalah Wilayah Perbatasan RI-Tim-Tim. Kep.Mendagri dan Otonomi Daerah RI No.185.05-079 tentang pembentukan Komite Perantara Perbatasan (Border Liason Committee) RI-Tim-Tim. Dalam keputusan Mendagri menetapkan Wakil Gubernur NTT sebagai Ketua Perantara Perbatasan Kep.Gubernur NTT No.169/KEP HK/20902 tentang Pengangkatan Anggota Perantara Perbatasan RI-Tim-Tim. (Sumber : Editor, Albertus Jata & Pamuji Slamet, Buku Memahami Dengan Hati Dalam Membangun NTT, Mutiara-Kupang, 20-7-2005, hal.183201).

(8.12). PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN DI WILAYAH   NTT

Sebagai salah satu propinsi yang berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu di darat berbatasan dengan negara Timor Leste dan di laut berbatasan  dengan Australia, posisi NTT sesungguhnya sangat strategis, baik dari aspek politik

maupun ekonomi. Aspek politik berkaitan dengan menjaga keutuhan dan kedaulatan negara Indonesia.,Sedangkan aspek ekonomi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di wilayah perbatasan serta peluang perdagangan barang dan jasa dengan negara tetangga. Begitu strategisnya wilayah perbatasan dengan negara lain, maka pengembangan kawasan tertinggal dan kawasan perbatasan tetap harus mendapatkan prioritas penting dalam pembangunan daerah. Skenario pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terciptanya keamanan kawasan perbatasan. Untuk mewujudkan skenario di atas, dibutuhkan dukungan prasarana dan sarana transportasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan  ekonomi rakyat dan kemitraan dalam kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan kerja sama serta kesepakatan di bidang ekonomi dan keamanan dengan negara tetangga. Selain itu, perlu disusun desain pembangunan ekonomi yang berkelanjutan di kawasan perbatasan yang sesuai dengan latar belakang sosial budaya masyarakat setempat. Namun untuk mengembangkan dan mengelola daerah perbatasan bukan perkara gampang. Wilayah di sekitar perbatasan dengan negara lain merupakan daerah terdepan yang secara langsung berintegrasi dengan negara lain, sehingga sedikit banyak berpengaruh terhadap perkembangan wilayah tersebut. Kondisi kawasan ini memiliki potensi kerawanan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pembangunan pada wilayah tersebut, di antaranya :
---Belum adanya kepastian garis batas laut dengan negara tetangga.
---Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih terisolir dan termarjinal secara ekonomi, sehingga dapat dimanfaatkan pihak lain yang berkepentingan.

Maraknya pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan seperti penyelundupan, pencurian ikan, trafficing, perampokan dan sebagainya. Terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengelolaan, khususnya terhadap pulau-pulau kecil yang terpencil, sulit dijangkau dan tak berpenghuni.Kondisi pulau-pulau di perbatasan pada umumnya pulau-pulau kecil, sehingga sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun manusia.Belum sinkronnya pengelolalaan perbatasan,, baik yang mencakup kelembagaan, program, maupun kejelasan kewenangan.
Belum adanya peraturan perundangan yang jelas dan menyeluruh dalam pengelolaan pulau-pulau terluar.Kurangnya sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-pulau terluar yang bertidik dasar.

  1. Pengembangan Perbatasan RI – Timor Leste

Walaupun hubungan luar negeri masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, tetapi secara operasional Pemerintah Daerah NTT berupaya menciptakan situasi yang kondusif dalam rangka menyikapi dan melaksanakan berbagai kebijakan nasional terhadap perkembangan luar negeri, perdagangan bebas dan tantangan global. Apalagi dengan diberlakukakannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk mengoptimalkan 

potensi sumber daya  lokasi untuk kesejahteraan rakyat, pengelolaan wilayah perbatasan sangat pentingnya artinya  bagi Pemerintah NTT.
Dengan berlakuknya otonomi luas, Pemerintah Daerah harus memfasilitasi percepatan pembangunan di wilayah perbatasan, sehingga kesenjangan dan ketertinggalan wilayah tersebut dapat dikurangi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan  wilayah perbatasan, perlu dirumuskan strategi dan model pendekatan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dengan menitikberatkan penyeimbangan program pembangunan yang diorientasikan untuk pemberdayaan wilayah perbatasan.

  1. Strategi Pengembangan Wilayah Perbatasan.

Strategi pengelolaan dan pengembangan wilayah perbatasan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor dan antar pembangunan. Keterpaduan
pembangunan wilayah perbatasan memerlukan penanganan dalam bentuk kemitraan, sebab beban pembangunan tidak dapat  hanya dilakukan oleh Pemerintah Daerah sendiri dengan keterbatasan sumber dana, SDM dan isntitusi. Untuk itu, seluruh instansi sektoral terkait harus dilibatkan dalam pembangunan dengan memanfaatkan berbagai sumber dana  pembangunan (lokal), nasional dan internasional), kekuatan ekonomi daerah serta melibatkan peran sektor perbankan pemerintah dan swasta, termasuk lembaga keuangan non bank. Dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah perbatasan, masyarakat lokal harus dilibatkan, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian program pembangunan yang diterapkan sungguh-sungguh menyentuh kebutuhan riil masyarakat setempat dan sekaligus dapat menjawab tuntutan era pasar bebas serta tantangan global. Strategi pengembangan wilayah perbatasan perlu pula ditunjang melalui upaya-upaya politis dan diplomatis oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk perjanjian bilateral dengan negara tetangga untuk pengaturan bersama terhadap berbagai masalah yang timbul.

Bentuk-bentuk kerjasama antara lain :

Pertama, kordinasi dalam mangatasi permasalahan keamanan wilayah perbatasan dengan membangun pos-pos keamanan dan meningkatkan patroli perbatasan.
Kedua, koordinasi pengaturan lalu lintas orang dan barang menyangkut keimigrasian dan cukai khusus bagi penduduk wilayah perbatasan.
Ketiga, penyelesaian beberapa titik permasalahan perbatasan yang masih ada dengan semangat bertetangga yang damai.
Keempat, pengelolaan sumberdaya alam di daerah perbatasan masing-masing negara dengan mengikutsertakan sektor swasta, LSM, dan masyarakat lokal.
Kelima, pembangunan sentra bisnis sebagai pusat aktivitas perdagangan lintas batas, misalnya delam bentuk Kawasan Berikat.

 Berdasarkan pertimbangan di atas, maka strategi pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan harus dirancang sedemikian rupa dengan mangacu pada beberapa aspek utama, seperti :
Geografi : meliputi pembuatan jaringan perhubungan darat, laut dan udara serta sarana telekomunikasi.
Demografi : Mencakup pengisian dan pendistribusian penduduk untuk keperluan kekuatan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Sumber daya alam : Perlu ada pemetaan secara rinci potensi sumber daya alam di kawasan perbatasan dan sistem pengamanannya.
Idiologi : Berkaiatan dengan pembinaan dan penghayatan idiologi guna menangkal idiologi asing.
Politik : Mencakup pemahaman sistem politik nasional dan menjaga stabilisasi politik yang dinamis bersama aparat pemerintah sebagai mitra pembinaan teritorial.
Ekonomi Perhubungan : Meliputi pembangunan wilayah ekonomi yang dapat berfungsi sebagai pendukung logistik wilayah pertahanan-keamanan dan pemberdayaan masyarakat.
Sosial Budaya : Meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan yang memadai dan meningkatkan ketahanan berdaya guna membendung penetrasi budaya asing.
Pertahanan dan Keamanan : Mencakup pembuatan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan maupun swakarsa masyarakat.

2. Pendekatan Pengelolaan Perbatasan

Sejak dahulu masyarakat Pulau Timor, baik Timor Barat maupun Timor Timur memiliki hubungan geneologis dan sosiologis yang telah berakar secara mendalam. Kebijakan politik kolonial Belanda dan Portugis yang memisahkan masyarakat Timor Barat dan Timor Timur tidak menyurutkan  hubungan kekerabatan kedua bangsa. Sebab mereka memiliki local genius (etnis, bahasa dan latar belakang sosial budaya) yang sama. Hubungan kawin mawin dan perdagangan tradisional antar kedua bangsa ini berjalan lancar sejak dahulu kala. Karena itu, Pemerintah Daerah NTT menempatkan local genius sebagai basis pendekatan pengelolaan wilayah perbatasan RI – Timor Leste yang terkristal dalam Tri Bina Pembangunan, yaitu,
---Bina Manusia,
---Bina Usaha, dan
---Bina Lingkungan,
Dengan tujuan untuk mempercepat pengemabangan dan pembangunan daerah perbatasan

Berdasarkan konsep pendekatan sebagai diuraikan di atas, Pemerintah Daerah NTT telah melakukan berbagai kegiatan antara lain :

Ø  Meningkatkan kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Leste dalam berbagai kebijakan mengenai pengungsi yang masih berada di wilayah Timor Barat.
Ø  Meningkatkan persiapan dan pelaksanaan pembangunan wilayah perbatasan di Timor Barat dan Alor dalam rangka menjamin kestabilan perbatasan anatara RI dengan Timor Leste.
Ø  Meningkatkan hubungan bilateral dengan negara sahabat sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Perencanaan pengembangan Kawasan Perbatasan Timor Barat dengan hasil :

Ø  Adanya pos-pos lintas batas di Montaain, Napan dan Haekesak. Sementara ------Pos Wini dan O’epoli sedang dalam proses pengusulan.
Ø  Adanya Rencana Induk Pengembangan  Kawasan Perbatasan Timor Barat;
Ø  Adanya proyek irigasi perbatasan tahun anggaran 2002.

B. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan

Kondisi georafis NTT yang sebagian wilayhnya dikelilingi oleh laut, merupakan kawasan yang meberikan peluang pengelolaan untuk keberhasilan pembangunan. Di lain pihak, kondisi kawasan ini memiliki potensi kerawanan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pembangunan wilayah tersebut.
Dengan demikian pelaksanaan pembangunan pada wilayah perbatasan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi keamanan wilayah dengan posisi letak geografis wilayah perbatasan dengan perbatasan negara lain.  Pengabaian terhadap gangguan keamanan akan mempengaruhi kondisi keamanan yang nantinya akan berpengaruh pada strategi Pemerintah Daerah menciptakan wilayah aman dan kondusif untuk menarik para investor dalam mengerakkan roda ekonomi kawasan.
Seiring dengan dicanangkannya program Gerakan Masuk Laut (GEMALA) oleh Pemerintah Daerah NTT, penanganan pulau-pulau kecil terutama di wilayah perbatasan harus ditingkatkan. Dengan demikian, program GEMALA dapat terlaksana dengan baik, karena adanya batas-batas wilayah laut yang jelas dengan negara-negara tetangga. Karena itu, pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan harus mendapat perhatian serius dari Pemerintah daerah dalam koordinasi dengan Pemerintah Pusat.

1. Strategi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Perbatasan

Kawasan pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga diperlukan penanganan secara terpadu, yang melibatkan seluruh sektor sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Departemen Kelautan dan Perikanan sesuai dengan mandat yang diberikan melakukan pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau di wilayah perbatasan dengan melibatkan 

 Pemerintah Daerah setempat. Sejauh ini, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terluar Indonesia. Rencana aksi Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap pulau-pulau di perbatasan antara lain menyusun profil pulau-pulau di perbatasan tersebut, sehingga dapat diperoleh informasi tentang :
Ø  peta potensi;
Ø  kondisi ekosistem pulau,
Ø  berpenghuni tidaknya pulau tersebut dan kalaupun berpenghuni bagaimana ------kondisi/struktur masyarakatnya, dan
Ø  kondisi ekonomi, kamanan, sosial dan budaya masyarakat pulau tersebut
Di Provinsi NTT Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K), sejak 2003 telah melaksanakan kegiatan di wilayah perbatasan di Pulau Alor. Kegiatan tersebut meliputi : Penyusunan masterplan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan masyarakat di pulau Alor selama lima tahun (2003-2008); Rehabilitasi ekosietem pulau-pulau kecil di pulau Alor dan memberikan bantuan sarana/modal usaha mata pencaharian alternatif di pulau Alor. Sementara Depatemen Luar Negeri melakukan lobi-lobi politik dan diplomasi dengan negara tetangga dalam rangka kepastian garis batas perairan dan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan, yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang.

a.Strategi jangka Pendek meliputi :

Membuat peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan pulau-pulau terluar yang mempunyai titik dasar untuk dikelola, baik oleh Pemerintah Puasat maupun Pemerintah Daerah.
Ø  Memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai pengembangan perikanan terpadu yang bebasis potensi lokal;
Ø  Memberdayakan ekonomi masyarakat pesisir dengan mengarahkan dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) ke masyarakat pulau di daerah perbatasan;
Ø  Melakukan identifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau perbatasan.
Mensosialisasi pentingnya menjaga pulau-pulau perbatasan.

b. Strategi jangka Panjang meliputi :

Menarik investasi masuk ke pulau-pulau yang mempunyai potensi jasa lingkungan yang cocok untuk kepariwisataan bahari;
Ø  Mendeklarasikan pulau-pulau yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi sebagai kawasan konservasi;
Ø  Melakukan penataan ruang pada wilayah pulau-pulau kecil, termasuk laut dan pesisirnya;
Ø  Meningkatkan koordinasi lintas sektor dalam upaya menjaga keberadaan pulau terluar.
Kedua strategi tersebut merupakan upaya untuk merangsang aktivitas pembangunan di pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan, sehingga dapat menjustifikasikan pulau-pulau tersebut sebagai wilayah dari negara kesatuan RI.

Salah satu kebijakan untuk mengembangkan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan adalah dengan membuka jalur kerja sama dengan negara tetangga. Kerja sama yang dikembangkan diharapkan dapat dikoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan.

2.Pendekatan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Perbatasan

Pendekatan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan dikembangkan dan dirumuskan dengan mengkombinasikan tiga pendekatan, yaitu :
a. Pedekatan Hak
Ada tiga tujuan yang ingin dicapai yaitu :
Ø  Adanya pengakuan dan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat atas tanah dan wilayah perairan pulau-pulau kecil.
Ø  Terjalinnya kerjasama usaha yang setara antara 
Ø  Pemerintah RI dengan negara tetangga dan  antara masyarakat dengan pengusaha/investor dalam pemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil. Dalam hal ini perlu ada kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak kerjasama yang dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya diawasi dan ditegakkan oleh masing-masing pelaku yaitu pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Kepastian berusaha bagi pengusaha/investor yang sudah mendapatkan hak pakai atas tanah dan wilayah perairan pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh negara.

b. Pendekatan ekosistem dalam alokasi ruang  wilayah pulau dan gugus pulau
Wilayah gugus pulau dan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan sangat rentan secara ekologis. Selain itu, wilayah ini memliki keterkaitan ekologis, sosial-ekonomi dan sosial-budaya dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan alokasi ruang yang didasarkan pada daya dukung ekologis, jaringan sosial-budaya antara  masyarakat dan integrasi sosial-ekonomi yang sudah berlangsung selama ini akan memberikan pilihan investasi yang tepat. Tata ruang dengan pendekatan ekosistem harus menjadi instrumen kebijakan utama untuk menjaga keamanan dan keselamatan sosial-budaya dan ekologis dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Alokasi seperti ini memberikan kesempatan bagi penataan ulang posisi dan peran strategis masyarakat lokal, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Hal ini akan berimplikasi pada kejelasan hak dan kewajiban serta wewenang pihak-pihak tersebut.

c. Pendekatan Pengelolaan yang Sesuai Dengan budaya setempat

Jenis pengemabangan pulau-pulau terluar yang dilakukan di kawasan perbatasan, baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun investor dalam negeri dan asing harus mengacu pada latar geografisnya dan karakteristik ekosistem, serta kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Pada tahap

perencanaan induk wilayah, akan dilakukan penilaian sumberdaya alam (resoureces evalution), yang akan menjadi landasan pengembangan pola pengelolaan serta keselamatan ekologis dan sosial-budaya. Mengingat rentannya ekosistem pulau-pulau terluar dengan gugus pulau terluar di wilayah perbatasan, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengizinkan pengelolaan pulau-pulau terluar untuk konservasi, budidaya laut (maricultura), ekowisata dan penangkapan ikan serta industri perikanan lestari. Dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil ini oleh pengusaha dari luar pulau, pemerintah menjadi fasilisator keterlibatan masyarakat dalam berbagai bentuk seperti akses berusaha bagi penduduk lokal, kemitraan usaha dan penyertaan modal. Pemerintah akan mengembangkan instrumen kebijakan untuk mendukung sistem keselamatan ekologis, berupa :

Pembentukan Badan Penasihat yang memiliki fungsi untuk,
Ø  Memberikan arahan dan masukan dalam kegiatan investasi di pulau-pulau kecil, khususnya wilayah perbatasan;
Ø  Memberikan layanan konsultasi dalam pengembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
Ø  Membantu dan menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam pengembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
Ø  Membantu dan mengawasi proses pelaksanaan penmgembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
Ø  Melakukan monitoring kegiatan pengembangan pulau kecil perbatasan;

2. Penegakan prosedur analisis mengenai dampak lingkungan dan sosial dari pengembang pulau-pulau kecil perbatasan.

Untuk mengoptimalkan pelaksanaannya, penegakan dan penataan
(enfoercement and compliance) hukum laut nasional menjadi keharusan. Hukum laut nasional yang dimaksud harus bisa mengakomodasi hukum laut yang berlaku di masyarakat adat dan hukum laut internasional. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan dan pemberlakuan sistem pemantauan dan pengawasan yang berbasis pada masyarakat juga menjadi keharusan.

d. Masalah Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef)

Lepasnya Timor Timur dari pengkuan negara kesatuan RI membawa konsekuensi adanya perubahan-perubahan yang vital menyangkut batas wilayah laut dengan tetangga, Timor Leste dan Australia. Terjadi tumpang tindih klaim perbatasan laut antara Indonesia dan Australia menyangkut Celah Timor (Timor Gab) dan gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef). Persoalan Celah Timor yang kaya akan cadangan sumber minyak bumi dan gas alam serta gugusan Pulau Pasir yang selama berabad-abad menjadi ladang pencarian ikan nelayan asal Pulau Rote, NTT sebenarnya merupakan satu paket yang tak terpisahkan 

 dengan persoalan Timor Timur. Persoalan tersebut sangat bernuansa politis yang bukan saja karena kepentingan yang lebih besar dari Amerika Serikat.

Konon ada “pembagian kue wilayah” antara Indonesia dengan Australia dimana Indonesia didorong untuk memasuki Timor Timur dan sebagai imbalannya, Australia mendapatkan pulau Pasir (Ashmore Reef). Pembagian kue wilayah” tersebut dirasakan sangat tidak adil oleh Indonesia dan merugikan masyarakat NTT, karena kehilangan akses terhadap kedua wilayah potensial tersebut. Ketidak adilan itu sungguh nyata melibatkan masyarakat setempat mengesampingkan fakta historis dan fakta hukum adat yang berlaku di masyarakat hukum adat pulau Timor (Timor Barat) dan khususnya pulau Rote, NTT. Menyikapi kibijakan yang sangat tidak adil itu, masyarakat NTT membentuk semacam gugus tugas yang dikenal dengan “POKJA Celah Timor dan Pulau Pasir,” atau Timor Gab & Ashmore Reef Task Force”. Gugus tugas yang diketuai Ferdi Tanoni tersebut kini giat memperjuangkan hak masyarakat NTT untuk mengelola Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir berdasarkan hak hukum adat masyarakat NTT dan hukum laut internasional serta konvensi hukum laut internasional.

1. Masalah Celah Timor

Celah Timor yang terletak di Laut Timor merupakan sebuah kawasan yang kaya akan cadangan sumber minyak bumi dan gas alam. Kawasan ini kini dieksploitasi oleh Australia untuk pengeboran minyak lepas pantai dan gas alam. Sementara pihak Indonesia, khususnya masyarakat NTT tidak memiliki akses apapun di kawasan yang sangat potensi itu. Sebagaimana digambarkan sebelumnya, wewenang mutlak Australia mengeksploitasi Celah Timor tidak terlepas dari masalah Timor-Timur. Sebagai imbalan menganeksasi Timor Timur ke dalam wilayah negara kesatuan RI, pemerintah Indonesia seolah-olah menutup mata terhadap Celah Timor dan mengabaikan hak hak ulayat masyarakat NTT atas wilayah tersebut.

Masalah Celah Timor mulai mencuat sejak 1972 ketika pemerintah Australia secara sepihak menetapkan batas wilayah perairannya berdasarkan argumen landas kontinental, yang menyatakan bahwa dasar laut harus mengikuti titik terdalam pada dasar laut antar negara. Ternyata titik terdalam Australia berada di laut Timor. Akibatnya Indonesia kehilangan 85% wilayah perairannya. Sedangkan pemerintah Portugal menolak argumentasi Australia tersebut. Tahun 1971, yakni setelah Timor Timur masuk negara kesatuan RI, Australia mulai membuka perundingan dengan Indonesia menyangkut Celah Timor. 

Kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan mengenai garis batas, namun sepakat untuk membuat perjanjian tentang pengeksploitasian minyak bersama di wilayah antar garis tengah ke selatan dan batas perairan dasar laut tahun 1972 ke utara. Kesepakatan ini ternyata hanya menguntungkan Australia. Selanjutnya pada tahun 1981, Australia dan Indonesia menyepakati batas perairan yang melintang sepanjang 
garis tengah. Pada tahun 1982 PBB mendefenisikan ulang hukum laut internasinal yang menyatakan, bahwa negara-negara yang jarak antara mereka kurang dari 400 mil laut, maka batas internasinal harus berada pada titik tengah.

Beberapa saat setelah Timor Leste diproklamirkan sebagai negara merdeka, Ketua Menteri UNTAET Marie Alkatiri dan PM Australia John Howard menandatangani kesepakatan dengan sebutan MOU Laut Timor, tanpa melibatkan Indonesia. MOU Laut Timor tersebut tidak saja mengabaikan kesepakatan terdahulu dan konvensi hukum laut yang ditetapkan PBB, tetapi juga mengabaikan hak tradisional/hak ulayat adat Timor Barat yang telah diakomodir secara proposial dalam Undang-undang Pokok agraria (UUPA) No.5 tahun 1960. Itulah sebabya, Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir tetap berjuang agar Indonesia dilibatkan dalam pengelolaan Celah Timor. Karenanya, perjanjian antar Australia dan Timor Leste mengenai Celah Timor dianggap sepihak dan tidak syah. Saat ini Pokja Celah Timor mendesak Deplu agar membatalkan perjanjian antara Australia dan Timor Leste dan membuka kembali upaya diplomatik bagi penyelesaian masalah kawasan potensial ini.

2. Masalah Gugusan Pulau Pasir  (Ashmoro Reef)

Gugusan pulau Pasir yang kaya sumber daya biota laut seperti ikan, cumi-cumi, mutiara dan teripang berada di bagian Timur Samudera Hindia (12 derajat dan 13 menit Lintang Selatan dan 123 derajat 05 menit Bujur Timur). Jarak ke Australia sekitar 840 Km dan jarak ke pulau Rote, NTT sekitar 60 Km.  Adalah tidak adil dan tidak masuk akal bahwa gugusan pulau Pasir ini masuk wilayah Australia. Karena itu, wajar jika masyarakat NTT kini getol memperjuangkan gugusan pulau karang ini sebagai bagian dari negara kesatuan RI. Klaim Indonesia, khususnya masyarakat NTT atas gugusan Pulau Pasir (Ashmore reef, Cartier Reef dan Scott Reef),  bukan tanpa alasan.  Berdasarkan fakta historis dan fakta hukum adat mesyarakat pulau Rote, gugusan pulau Pasir seharusnya masuk wilayah NTT.

Ada beberapa alasan yang memperkuat argumentasi ini, di antaranya :

Pertama, Nelayan tradisonal pulau Rote, NTT sudah menganggap gugusan Pulau Pasir sebagai kampung halaman mereka, jauh sebelum orang kulit putih menginjakkan kakinya di bedua Australia.  Konon, nelayan pulau Rote dan nelayan-nelayan dari beberapa daerah lain seperti Bajo, Buton, Madura dan Lembata telah menjadikan gugusan pulau Pasir sebagai ladang mencari ikan sejak tahun 1721.

Mereka tinggal secara berkala di gugusan pulau Pasir tersebut. Hal ini dibuktikan dengan adanya,
Ø  Tiga sumur tua yang digali oleh nelayan tradisional asal Pulau
Peninggalan-peninggalan yang terdapat di gugusan pulau Pasir seperti keramik, belanga berlapis kaca, dan guci tanah liat.
Ø  Peninggalan-peninggalan tersebut tidak diragukan lagi berasal dari nelayan-nelayan Indonesia.
Ø  Terdapat Pohon asam dan pohon kelapa yang ditanam oleh nelayan tradisional asal Pulau Rote
Ø  Selain itu, sekitar pertengahan pantai di atas bekas air pasang paling tinggi, terdapat sejumlah lempengan karang yang diatur seperti halnya orang membuat tungku untuk mengelola tripang. Ada bukti bahwa terdapat lebih dari satu tungku, juga ditemukan batu-batu eksotik (batu pemberat). Batu tersebut berasal dari perahu nelayan Indonesia yang rusak dan bangkainya masih ada sampai sekarang.

Ø  Terdapat sekitar 161 buah kuburan nelayan pulau Rote digugusan pulau Pasir. Di antara makam yang terdapat di lokasi pekuburan ditandai adanya garis keliling berbentuk empat persegi dari batu karang (karang pantai akibat proses segmentasi pasir karang) dan sebuah tugu kayu berbetuk persegi disertai nama dan tanggal.  Kubur diberi ciri yang sama, tetapi sebagai ganti tugu dari kayu, kubur menggunakan batu karang bulat tipis sebagai batu nisan.Kubur lain yang terdapat di lokasi perkuburan ditandai dengan batu karang bulat, kubur yang lebih besar memiliki dua batu karang sebagai penanda.Lima kubur letaknya arah utara-selatan, sedangkan kubur yang paling kecil yang ditandai batu karang bulat letaknya arah Timur-Barat. Di Pulau Tengah, satu-satunya makam terletak di sudut Tenggara pulau. Kubur berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang kira-kira 1,85 m dan lebar 0,96 m. Permukaannya rata halus, kubur membujur ke arah Utara-Selatan dengan dua tugu kayu pada kedua ujung. Kubur tersebut merupakan kubur seorang nelayan Madura asal pulau Tondul (Tunduk) dan dirawat secara teratur.Sejumlah kubur tanpa tanda yang usianya lebih tua di Timur terkikis erosi, sehingga materi rangka manusia muncul ke permukaan. Karena diterpa angin dan ombak pada akhirnya tulang belulang tersebut disapu air laut.

Ø  Hukum adat mengakui akan hak nelayan-nelayan (terutama Rote) karena adanya pohon yang ditanam yakni pohon kelapa dan pohon asam. Walau dalam jumlah yang sedikit, tak akan mengurangi arti status dan hak mereka yang diakui masyarakat secara tradisional.
Ø  Leluhur mereka membangun harak, semacam perladangan di laut di perairan sekitar pulau Pasir.
Ø  Dalam hukum adat, harak memperoleh pengakuan dan memiliki status hukum yang pasti.
Ø  Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef, Cartier Reef, Scott Reff) baru ditemukan oleh Kapten Ashmore, seorang berkebangsaan Inggris pada tahun 1811. 
Kemudian Inggris mengklaim, bahwa gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah miliknya dan pada tahun 1878 Inggris menetapkan wilayah ini menjadi koloninya. Kemudian pada tahun 1933 Inggris menyerahkan sepenuhnya gugusan pulau ini kepada Australia. 
Pada tahun 1942  wilayah tersebut berada di bawah adminstrasi negara bagian Australia Barat, yang kemudian menjadi Norten Federal Australia.

Berdasarkan fakta historis dan fakta hukum adat masyarakat pulau Rote sebagaimana disebutkan di atas, maka :Adalah suatu hal yang mustahil jika para nelayan Indonesia tidak pernah menginjakkan kakinya di gugusan pulau Pasir, sedangkan nelayan Indonesia telah berlayar hingga ke Madagaskar bahkan Tanjung Harapan di Afrika Selatan, dan disana ada perkampungan Bugis Makasar yang pernah dikungjungi Presiden SBY, ketika berkunjung ke Afrika Selatan (2007) yang lalu.

Adalah suatu keanehan ketika didasarkan oleh deklarasi Juanda dimana Indonesia berusaha mengklaim perairan hingga 200 mil dan diakui bahkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB ketika tahun 1982 (sebagai ZEE), namun sangat ironis karena Indonesia tidak dapat mengklaim perairan gugusan Pulau Pasir yang hanya berjarak 60 Km (dari pulau Rote).
Karena itu perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Australia sudah selayaknya dibatalkan dan gugusan Pulau Pasir (Ashomro Reef) masuk wilayah perairan NTT (Kabupaten Rote Ndao-yakni Kabupaten Paling Selatan NKRI) Apalagi Timor Timur telah merdeka menjadi negara merdeka dan pihak Australia secara nyata melanggar kesepakatan mengizinkan nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap spesies laut di kawasan pulau Pasir. 

Dengan demikian, tindakan Pemerintah Indonesia yang tidak mengakui hak-hak adat nelayan pulau Rote atas gugusan pulau Pasir bertentangan dengan pengakuan terhadap hukum  adat yang sudah diwujudkan oleh pemerintah Indonesia, yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Namun perjuangan masyarakat NTT agar gugusan Pulau Pasir masuk wilayah NTT bukan pekerjaan gampang. Kehadiran Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir tidak cukup untuk memperjuangkan perkara besar ini. 
Pihak Deplu harus melakukan lobi-lopbi politik dan diplomasi dengan pihak Australia, agar meninjau kembali perjanjian bilateral kedua belah pihak berdasarkan hukum laut internasional dan kedaulatan hukum adat masyarakat Rote.
Tentu juga pihak DPR RI, perlu turut memperjuangkan hak kedaulatan RI atas pulau Pasir yang dicaplok secara sipihak oleh Australia, maka perlu melibatkan 250-300 juta rakyat Indonesia untuk menghadapi Australia yang sangat arogan tersebut. (Editor : Drs.Pieter Sambut, Merajut Masa Depan NTT, Menuju Masyarakat Yang Mandiri, Maju Dan Sejahtera,, Provinsi NTT, 2003, hal.122-139)







2 komentar:

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.