Sengketa Perbatasan RI – Timor Leste
Kami
Minta Pemerintah Untuk Segera Menyelesaikan Tapal Batas;
Jika
Tidak Sanggup, “Kita Perang Saja” (Bentara Edisi 32)
Oleh : Drs.Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Status sebagai negara kepulauan
membawa konsekuensi tersendiri bagi Indonesia. Salah satunya pengetatan
penjagaan pulau-pulau terluar. Kasus Ambalat (kemelut perbatasan di Pulau
Sebatik, dengan Malaysia) adalah buah dari konsekuensi itu. Di republik ini terdapat 67 pulau terluar
yang berhadapan langsung dengan negara tetangga. Dari jumlah itu, 12
diantaranya
membutuhkan penjagaan ketat. Pasalnya,
pulau-pulau tersebut rawan dikuasai negara lain.
Kisah Pulau Sipadan dan Ligitan yang
lepas dari tangan Indonesia pada tahun 2002, hingga kini masih terngiang.
Hilangnya sebuah pulau dari kedaulatan teritorial bukanlah peristiwa yang mudah
dilupakan. Spirit itu pula yang membuka yang membuka mata hati masyarakat
Indonesia untuk mempertahankan kawasan Ambalat dari klaim pemerintah Malaysia.
Ambalat adalah milik Indonesia, titik. Tak ada tawar-menawar lain.
Kendati berakhir dengan diplomasi
damai namun kasus Ambalat tetap mencemaskan Indonesia saat menyaksikan deretan
pulau-pulau terluar. Mayoritas pulau-pulau
tersebut adalah pulau sunyi-senyap tanpa penghuni maupun tanpa tapal batas yang
jelas yang menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut adalah milik Indonesia.
Sebagian berpenghuni dan sebagian kosong. Fakta itu membuat petinggi dan
penduduk dinegeri ini berharap cemas.
Kenapa? Karena tiadanya penghuni, oleh
negara lain, bisa diklaim sebagai tidak adanya penguasaan efektif. Saat
penguasaan efektif tidak ada, maka aksi klaim dari negara seberang pun tiba-tiba mengemuka. Ini pula, seperti
dukutip sebuah koran nasional yang menjadi pertimbangan lepasnya Pulau Sipadan dan Lingitan. Lantaran
tidak ada penguasaan efektif dari pemerintah Indonesia, pengadilan
internasional memutuskan menyerahkan pulau tersebut kepada Malaysia. Pasalnya,
negeri jiran itu mampu menunjukkan indikasi
penguasaan efektif.
Pendek kata, kasus Sipadan dan Ligitan
adalah pelajaran berharga. Penguasaan efektif terhadap pulau-pulau terluar
mesti menjadi pemekiran serius. Sebab dari kajian ilmiah, pulau-pulau itu
menyimpan kekayaan alam yang teramat dahsyat. Bukan saja sumber daya
pertambangan, namun juga kekayaan ekologi.
Pulau Batek
di NTT
Pulau Batek
luasnya 24 hektar (saat air surut) dan 20 hektar saat laut pasang dan
panjang garis pantainya sekitar 1.800 meter, dengan kedalaman laut sekitar 70
meter dalam Treaty 1904 (Convention for The Demarcation of Portuguese and Dutch
Dominions On The Island Of Timor),
disebutkan nama pulau Batek sehingga dipastikan pulau itu milik
Indonesia. dalam pasal III ayat 1 dan
merupakan salah satu batas Timor Barat
Indonesia dengan Timor Leste. Pulau Batek hanya berjarak sekitar 7 mil laut
dari Tanjung Batuanyo-Oipoli Kecamatan Amfoang Utara, Kabupaten Kupang. Jarak
dari Pelabuhan Tenau ke Pulau Batek sekitar 25 mil laut. Pulau Batek adalah milik Indonesia dan
posisinya berada di dalam dari garis terluar wilayah, yaitu lima (5) mil dari
titik dasar Nomor 115 sebagai titik
terluar wilayah RI sesuai UU Nomor 4/Prp/1960 yang menjadi dasar wawasan
Nusantara. Pertemuan Delegasi RI—RDTL (Republik Demokrasi Timor Leste) soal
Perbatasan Demi penyelesaian urusan
perbatasan, reli pembicaraan sudah dilakukan. Payung hukum pun telah tersedia
(lihat Box). Dengan berpayung pada aturan hukum tersebut, berjalanlah proses
perundingan. Awalnya adalah sebuah
pertemuan delegasi RI-RDTL di Dili, 31 Agustus—1 September 2004. Pembicaraan
dua hari ini dimatangkan lagi pada
pertemuan babak kedua di wilayah
RI. Pertemuan kedua, akhirnya dilaksanakan di Yogyakarta, 29 Oktober 2004. Dari
pertemuan inilah muncul suatu agenda pelik yang menguras perhatian
masing-masing delegasi.
Ketenangan dan kesyahduan Kota
Yogyakarta tak mampu meredakan
perbedaan pandangan kedua delegasi.
Ada tiga segmen (titik batas wilayah) yang belum disepakati.
Yakni :
Ø
Dilumi/Memo,
Ø
Bijael
Sunan-Oben, serta segmen
Ø
Noel
Besi.
Kedua delegasi bersikeras pada
persepsi masing-masing.
Namun sejatinya, tiga segmen
bermasalah itu, hanyalah secuil persoalan dari problema besar yang menggunung
di wilayah perbatasan. Bahkan, jika diprosentasekan, nilainya teramat kecil.
Pertemuan Yogyakarta menyimpulkan, segmen bermasalah hanya mencapai 4,3 persen
dari panjang total perbatasan yang mencapai 268,8 Km (tersebar di tiga
kabupaten), yakni,
Ø
Belu
115 Km,
Ø
Timor
Tengah Utara (TTU) 104,5 Km, serta
Ø
Kupang
10,5 Km).
Selebihnya adalah segmen tidak
bermasalah yang mencapai 92,3 persen. Selain itu juga terdapat satu segmen yang
dianggap bukan bermasalah sekaligus
tidak disepakati, yakni segmen Subina. Hanya saja, kalau dicermati mendalam,
persoalan penetapan batas negara ternyata bukan semata hitungan-hitungan
porsetase. Dinamika permasalahannya sudah bergerak begitu jauh. Disana ada
masalah eksistensi dan rasa keadilan. Keduanya menyimpan banyak pertanyaan yang
sulit dijawab.
Misalnya, pertanyaan mengenai bergesernya
perbatasan RDTL ke wilayah Indonesia. Menurut pengamat masalah perbatasan
RI--RDTL, Dr.Yunuarius Koli Bau, panjang pergeseran tersebut sudah mencapai 86
kilometer. Situasi ini, kata Yunuarius, sangat tidak menguntungkan masyarakat
adat yang tinggal di wilayah perbatasan. Sebab, mau tidak mau pergeseran itu
mempengaruhi hak kepemilikan tanah. Dan yang pasti, mereka takkan mengiklaskan
tanah adat
jatuh ke tangan orang lain (RDTL).
Indikasinya sudah ada, misalnya aksi pembongkaran tapal batas oleh masyarakat adat Amfoang, Kabupaten
Kupang. Perintah ini turun langsung dari sang Pemangku Adat, Robby Manoh. “Kami
meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan tapal batas, jika tidak sanggup,
kita perang saja,” tegasnya. (Bentara Edisi 32).Warning tersebut bukan ucapan isapan jempol, bukan pula gertakan semata. Sebagai negara yang menjunjung tinggi
perdamaian, tentu seluruh pimpinan di republik ini meski menyingkapinya secara
arif. Perlu pula untuk direnungkan, bahwa masih banyak cara mengakhiri problema
ini, selain perang. Salah satunya,
kesediaan pemerintah-baik pusat maupun daerah—melibatkan masyarakat adat di
meja perundingan Keterlibatan ini sangat penting karena menyangkut pengakuan
nilai-nilai kearifan lokal. Jika tidak melibatkan mereka, berarti pemerintah
tidak mengakui nilai-nilai tersebut. “Pemerintah pusat harus meninjau kembali
batas wilayah yang ada saat ini. Segera tentukan batas koordinat sesuai lintang
dan bujur.
Satu lagi, jangan sampai tidak
melibatkan tokoh adat dari kedua belah pihak,” ujar Yanuarius. Para tokoh dan
masyarakat adat lah yang menerima efek kemelut perbatasan secara langsung.
Mereka juga yang lebih dulu menikmati kekhawatiran akan hak kepemilikan tanah.
Bayangkan, kata Robby Manoh (pemangku adat Amfoang, Kecamatan Kupang), jika
menggunakan peraturan RDTL, sekitar 896 hektar sawah milik masyarakat Amfoang
di Naktuka akan jatuh ke tangan Timor Leste. Kekhawatiran-kekhawatiran semacam
ini lah, yang menurutnya, harus dipahami pemerintah. Ia tidak bisa memastikan
ada-tidaknya pemahaman itu di benak pemerintah. Yang bisa ia pastikan adalah
minimnya basic pemahaman terhadap persoalan perbatasan.
“Lihat saja,
orangnya yang ngurus ganti-ganti.
Hari ini orang lain yang tidak tahu
persoalan, besok lagi orang lain masuk, pada hal dia juga tidak tahu apa-apa,”
ujarnya. Tokoh masyarakat adat Kabupaten TTU (Timor Tengah Utara), Anton Lake
bersikap serupa. Pendalaman juru runding terhadap cita rasa masyarakat lokal
belum optimal. “Mereka tidak menghayati kearifan lokal yang dimiliki orang Timor,”
katanya.
Mereka hanya datang dengan formalitas
birokrasi dan tanpa back groud apa-apa. Para perunding tanpa back groud itulah
yang membuat problema tapal batas tak pernah tuntas. Pengetahuan mereka mengenai kearifan lokal tak
begitu optimal. Selain itu sudut pandang mereka mengenai Bumi Timor masih
sangat ‘hitam putih’.
Kapabilitas seperti itu bagi para tokoh adat di
sekitar perbatasan, bakal menghambat proses penyelesaian. Keluhan itu kembali
sinngah di benak Robby Manoh, Pemangku Adat Amfoang, Kabupaten Kupang. Satu hal yang kerap ia keluhkan adalah
aoutput perundingan yang hanya berupa sosialisasi. Selalu itu, itu dan itu.
“Lalu akhirnya tidak jelas ujung pangkalnya,” tegas Robby. Bahwa ada kecemasan
dan kekhawatiran di hati para masyarakat adat, mereka tak
pernah tahu. Di Amfoang misalnya. Warga di sini
mencemaskan 896 Ha sawah di Naktuka yang berpeluang jatuh ke tangan Timor
Leste. “Karena kalau pakai aturan RDTL (Traktat 1904) sawah itu akan terambil.
Akan seperti apa kalau sampai begini,”ujarnya. Menurut Robby, kecemasan tak
perlu ada bila perundingan perbatasan RI-RDTL juga melibatkan masyarakat adat.
Sayangnya, keterlibatan itu masih dipandang sebelah mata. Para tokoh adat
hanya terlibat dalam waktu singkat.
Setelah itu mereka dikembalikan ke komunitas adat, tanpa pernah diminta
pendapat. Padahal, kalau mau ideal, seharusnya tokoh adat mendapat porsi cukup. Mereka harus mengikuti perkembangan
secara terus-menerus. Namun sayangnya, tak ada dana untuk idealisme itu.
Pemerintah provinsi dan kabupaten kata Robby, mengaku tidak mengalokasikan dana
untuk mereka. Ironisnya memang. Tokoh-tokoh adat yang paham benar problema
garis batas, justru dikecilkan perannya hanya karena alasan dana. Sekali lagi
ironis.
Parahnya lagi, nagi masyarakat adat, kini
tak penting lagi apakah sang pemangku ikut berunding atau tidak. Ada hal lain
yang lebih menyedot perhatian tanah. Bagi mereka, tanah adalah harga diri.
Sedikit saja tercolek, fatal akibatnya. Warga Amfoang, tegas Robby, selalu
dalam keadaan siaga. Mereka mengantisipasi penggunaan Traktat 1904 oleh Timor
Leste. Sebab, jika pemaksaan itu terjadi, maka 896 hektar tanah Amfoang
terampas. Kami harus perrtahankan. Orang Amfoang dengan 24 kepala suku dan 5000
massa sudah “siap” kalau sampai terjadi pengambilan tanah kami,” tegasnya.
Idealnya perundingan melibatkan
orang-orang pilihan. Yakni mereka yang sejak awal memahami carut-marut
perbatasan. Tidak berlebihan jika tokoh-tokoh adat tercatat dalam daftar orang
pilihan itu.
“Kami sebenarnya ingin mengikuti perkembangan
terus menerus. Namun terus terang kami tidak ada dana,” tegasnya. Sebelum
bicara dasar hukum, seyogianya diawali pembicaraan mengenai kemauan adat.
Bukankah, masyarakat adat yang paling awal merasakan efek perbatasan? Anggota
DPR RI asal NTT Cypri Aoer menilai pendekatan adat merupakan pendekatan
terpenting dari beragam pendekatan lainnya. Bentuk teknis dari pendekatan ini
bisa diwujudkan melalui pelibatan tokoh adat secara maksimal. Kehadiran mereka
adalah kata kunci dari segala jenis perundingan. “Supaya kita tahu batas
wilayah versi mereka itu bagaimana. “Tanyakan, apa maunya adat. Jangan dulu adu
pendekatan hukum dan segala macam,” tegasnya.
Setelah urusan adat selesai, baru
membicarakan dasar hukum. Itu penting. Sebab, masyarakat adat di sekitar
perbatasan benar-benar memahami hakekat tapal batas. Mereka, kata Cypri, tak
hanya mengartikan perbatasan sebagai problema georgafis, namun juga memaknainya
dengan sudut pandang kulturis. “Dengan merespos mereka, kita tahu mana yang
benar, mana yang salah,” ujarnya.
Namun kalau itu diabaikan, sama halnya
memberikan bencana kepada mereka. Sebab, masyarakat adat lah yang paling awal
merasakan efek ketidak -nyataan perbatasan. Bukan mustahil mereka akan masuk ke
dalam situasi yang sangat
tak aman. Pada prinsipnya, perbatasan
adalah daerah rawan. Karena itu pula, peluang terjadinya saling klaim wilayah
sangat besar. “Sebagai wakil rakyat dari NTT, saya akan minta pemerintah RI
untuk segera melakukan pendekatan serius dan terarah,” tegasnya. Kerawanan
perbatasan, sepanjang pengamatan Pakar
Hukum Internasional Undana Kupang, John Koten, terjadi di keseharian warga.
Penggunaan air sungai, misalnya. Dalam penelitiannya di tapal batas wilayah TTU
dan Belu, John menemukan fenomena menarik mengenai sharing air di kalangan
warga. Fenomena ini bermula dari sebuah sungai yang melintasi Gunung Mutis dan
mengalir ke distrik Oe-Cussie, Timor Leste. Suatu ketika masyarakat di hulu
sungai di TTU menahan air sehingga tidak ada arus yang mengalir ke Oe-cusie
(Timor Leste). Akibatnya warga di distrik itu kekurangan air. Mereka pun
memprotes tindakan warga seberang. Hal ini membuktikan air sungai bisa memicu
konflik. Contoh lain menyangkut pengembalaan hewan ternak. Acapkali, kata John, pengembalaan di Tasinifu, TTU,
kesulitan mengendalikan ternaknya yang menyeberang perbatasan dan masuk ke wilayah Timor Leste.
Dalam kondisi seperti ini, si
penggembala tidak bisa serta-merta mengikuti ternaknya dan menggiringnya
kembali ke Tasinifu (Timor Barat-Indonesia). Ia harus menunggu sang hewan ternaknya kemabli sendiri. Dan ini yang tidak mengenakkan, kalau ternak tidak kembali, maka ia dianggap
milik warga Timor Leste. Kedua contoh tersebut adalah bukti sulitnya hidup
normal di perbatasan.
Itu belum menyangkut problema tanah.
“Persoalan tanah di Nusa Tenggara
Timur (NTT) sering ditandai dengan
pertumpahan darah, saya kira akan muncul di perbatasan nanti. Kejadian di TTU
juga sering. “Sebab harga tanah disetarakan dengan harga diri,” tegas John.
Ketua Perantara Perbatasan RI-RDTL, Frans Leburaya (kini Gubernur NTT) bukan
tidak memeahmi kerisauan masyarakat
adat. Ia juga sudah menghitung resiko jika tidak melibatkan masyarakat adat.
“Seandainya kita menetapkan satu tapal batas yang merugikan salah satu pihak,
tanpa mendengar mereka (masyarakat adat), pasti akan mengacu konflik,” ujar
Frans.Kini semuanya makin mengerucut. Jika tak ingin perang, maka perundingan
harus diprioritaskan. Namun bila perundingan menghadirkan orang yang salah,
gemuruh perang pasti akan datang. (Perang Suku diperbatasan).
Keputusan Bom
Waktu
MENCEGAH PERANG adalah jalan mulia.
Hanya saja pertimbangannya harus jelas dan masuk akal. Misalnya pemakaian dasar
hukum untuk menetapkan garis lintang dan garis bujur perbatasan. Salah satu
persoalan yang menjadi tanda tanya adalah keseriusan RDTL, menggunakan Traktat
1904 sebagai dasar penetapan. Ini pula yang menyulitkan masyarakat adat NTT di
perbatasan serta delegasi perundingan RI menyikapi persoalan secara jernih.
Kendati problema perbatasan lahir di
masa kini, namun RDTL, justru menggunakan dasar hukum yang lahir satu abad
silam. Negeri Xanana Gusmau ini bersikukuh memakai Traktat 1904 sebagai
landasan perundingan.
Ini lah ironisme yang benar-benar
ironis. Selisih waktu 100 tahun, dari
kelahiran traktat hingga masa sekarang, tentu bukan masa yang pendek. Dalam 100
tahun itu, banyak hal terjadi, banyak pula dinamika yang terus bergerak. Satu
hal lagi, tak banyak masyarakat khususnya masyarakat adat di wilayah perbatasan
mengerti garis batas, seperti terlampir di dalamnya. Saat ini, mereka Cuma tahu
: persoalan perbatasan belum selesai. Itu saja. Pada saat bersamaan, mereka
juga mulai menghitung deretan resiko. Dan bila penyelesainnya hanya
menguntungkan satu pihak, mereka pun
siap membayarnya dengan darah. Ketua Perantara Perbatasan RI-Timor Leste, Frans
Leburaya mengingatkan, “Timor Leste
untuk tidak berkeras kepala”. Para perunding dari negara tetangga itu diminta
tidak shaklik (kukuh) menerapkan peta garis batas pada lampiran Traktat. “Kalau justru menimbulkan masalah,
mengapa harus berkeras kepala dengan hal itu (traktat 1904)?,” tanya Frans.
Kekukuhan akan Traktat 1904 hanya mengaburkan solusi perbatasan dari harapan
masyarakat adat. Apalagi masyarakat sekitar perbatasan hanya menginginkan
kedamaian dan ketenangan menjalani hidup. Mari tengok ritinitas sehari-hari
mereka. Keamanan warga, keselamatan tanah, serta kepastian garis batas hanyalah
sedikit persoalan dari segudang problema perbatasan. Dan mengenaskannya selalu
masyarakat terdekat yang menjadi sasaran. Seolah, mereka adalah “martil” hidup dari alotnya perundingan di tingkat
atas. Posisi sejati mereka sebagai komunitas yang paling paham situasi
perbatasan, belum terakomodir secara memadai. Hal itu pula yang menyesakkan
dada Frans Leburaya, Ketua Perantara RI-RDTL
yang berkali-kali mengingatkan agar eksistensi masyarakat (khususnya
warga adat) benar-benar dihargai.
Mereka memiliki Hukum Adat. Lalu
kenapa tidak diakomodir?” keluhnya. Menurut Frans, terakomodirnya Hukum Adat
akan memperluas peran kearifan lokal. Peran yang berpijak pada kultur dan
tatanan sosial masyarakat setempat ini, ditengarai memberi kontribusi positif.
Sebaliknya, peniadaan kontribusi justru berdampak fatal. Dan sangat berbahaya bila perundingan hanya
melahirkan keputusan yang manafikan peran masyarakat lokal. “Saya selalu
katakan dalam setiap perundingan, bahwa kita tidak boleh membuat sebuah
keputusan yang akan menyimpan bom waktu,” tegas Frans. Padahal jika dikelola
secara baik, potensi konflik di perbatasan dapat dirubah sedemikian rupa
menjadi hubungan bilateral yang sangat kuat. Pengelolaan tersebut memerlukan
pemahaman dan pendalaman mengenai kondisi riil masyarakat di sekitar
perbatasan.
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, misalnya
Aksesibilitas masyarakat yang berpatok pada
tradisi turun-temurun dan diakui bersama, akan menjadi pemicu kerawanan jika
tidak dikelola secara baik.Keberadaan pelintas batas dan pengakuan atas lahan
yang dikelola dapat memicu ketegangan apabila tidak diselesaikan secara arif.
Fakta geneologis yang mengukuhkan kesamaan suku di kalangan masyarakat adat di
perbatasan. Mereka memiliki simpul-simpul adat yang tidak mudah dihapuskan.
Jika tidak
ada ruang komunikasi serta tidak
difasilitasi secara intensif, fakta tersebut justru menjadi sumber kerawanan..
Hanya saja, uniknya, kendati larut dalam problema perbatasan, namun masyarakat
setempat tak pernah merasa berbeda. Masyarakat perbatasan, yang secara
geografis, dibatasi oleh batas wilayah berdasarkan perjanjian Treaty (Traktat)
1904 secara sosial ekonomis tidak pernah merasa dipisahkan. Indikasi ini
terlihat dari berbagai kegiatan yang telah berlangsung secara turun-temurun.
Misalnya :
Adanya kunjungan adat karena peristiwa
pernikahan keluarga, upacara kematian dan upacara panen pinang. Acara adat itu
mereka lakukan bersama dengan spirit kekerabatan yang tinggi. Adanya
perdagangan tradisional yang berlangsung tanpa hambatan pada saat penjajahan
Portugis di Timor Leste dan penjajahan Belanda di Timor Barat dan makin bebas
pada saat Timor-Timur berintegrasi dengan Indonesia. Adanya peristiwa perkawinan antar suku di
perbatasan yang tidak dikekang oleh aturan-aturan formal. Adanya kesamaan
tradisi dan hukum adat dan hak-hak ulayat serta berbagai perjanjian lokal
dimana keduanya diakui secara kuat oleh masyarakat perbatasan di masing-masing
pihak. Adanya kesamaan kondusif di wilayah perbatasan yang terbangun atas dasar
kerja sama kemanusiaan. Dengan kata lain, situasi perbatasan boleh tegang,
namun hubungan darah tak mungkin terpisahkan. Kendati berbeda negara, seorang kakek di timor Leste tak bisa
mengingkari keberadaan cucunya di Indonesia (Timor Barat).
Demikian
sebaliknya.
Payung Hukum Perundingan Perbatasan
RI-RDTL (Republik Demokrasi Timor Leste). UU No.24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional (LN tahun 2000 No.185 TLN No.4012). Kep Presiden RI
No,47 Tahun 2000 tentang Pembentukan Satuan Tugas Pengamanan Perundingan
Indonesia dengan UNTAET. Kep. Medagri dan Otonomi Daerah RI No.185.5-102 Tahun
2001 tentang Pembentukan Komite Penyelesaian Masalah Wilayah Perbatasan
RI-Tim-Tim. Kep.Mendagri dan Otonomi Daerah RI No.185.05-079 tentang
pembentukan Komite Perantara Perbatasan (Border Liason Committee) RI-Tim-Tim.
Dalam keputusan Mendagri menetapkan Wakil Gubernur NTT sebagai Ketua Perantara
Perbatasan Kep.Gubernur NTT No.169/KEP HK/20902 tentang Pengangkatan Anggota
Perantara Perbatasan RI-Tim-Tim. (Sumber : Editor, Albertus Jata & Pamuji
Slamet, Buku Memahami Dengan Hati Dalam Membangun NTT, Mutiara-Kupang,
20-7-2005, hal.183201).
(8.12). PENGEMBANGAN KAWASAN PERBATASAN DI WILAYAH NTT
Sebagai salah satu propinsi yang berbatasan
langsung dengan negara lain, yaitu di darat berbatasan dengan negara Timor
Leste dan di laut berbatasan dengan
Australia, posisi NTT sesungguhnya sangat strategis, baik dari aspek politik
maupun ekonomi. Aspek politik
berkaitan dengan menjaga keutuhan dan kedaulatan negara Indonesia.,Sedangkan
aspek ekonomi berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di wilayah
perbatasan serta peluang perdagangan barang dan jasa dengan negara tetangga.
Begitu strategisnya wilayah perbatasan dengan negara lain, maka pengembangan
kawasan tertinggal dan kawasan perbatasan tetap harus mendapatkan prioritas
penting dalam pembangunan daerah. Skenario pendekatan ini bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan terciptanya keamanan kawasan
perbatasan. Untuk mewujudkan skenario di atas, dibutuhkan dukungan prasarana
dan sarana transportasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengembangan ekonomi rakyat dan kemitraan dalam kegiatan
ekonomi dengan memanfaatkan kerja sama serta kesepakatan di bidang ekonomi dan
keamanan dengan negara tetangga. Selain itu, perlu disusun desain pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan di kawasan perbatasan yang sesuai dengan latar
belakang sosial budaya masyarakat setempat. Namun untuk mengembangkan dan
mengelola daerah perbatasan bukan perkara gampang. Wilayah di sekitar
perbatasan dengan negara lain merupakan daerah terdepan yang secara langsung
berintegrasi dengan negara lain, sehingga sedikit banyak berpengaruh terhadap
perkembangan wilayah tersebut. Kondisi kawasan ini memiliki potensi kerawanan
yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pembangunan pada wilayah tersebut, di
antaranya :
---Belum adanya kepastian garis batas
laut dengan negara tetangga.
---Kondisi masyarakat di wilayah
perbatasan masih terisolir dan termarjinal secara ekonomi, sehingga dapat
dimanfaatkan pihak lain yang berkepentingan.
Maraknya pelanggaran hukum yang
terjadi di wilayah perbatasan seperti penyelundupan, pencurian ikan, trafficing,
perampokan dan sebagainya. Terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan
pembinaan, pengawasan dan pengelolaan, khususnya terhadap pulau-pulau kecil
yang terpencil, sulit dijangkau dan tak berpenghuni.Kondisi pulau-pulau di
perbatasan pada umumnya pulau-pulau kecil, sehingga sangat rentan terhadap
kerusakan baik oleh alam maupun manusia.Belum sinkronnya pengelolalaan
perbatasan,, baik yang mencakup kelembagaan, program, maupun kejelasan
kewenangan.
Belum adanya peraturan perundangan
yang jelas dan menyeluruh dalam pengelolaan pulau-pulau terluar.Kurangnya
sosialisasi tentang keberadaan dan pentingnya pulau-pulau terluar yang bertidik
dasar.
- Pengembangan Perbatasan RI – Timor Leste
Walaupun hubungan luar negeri masih menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, tetapi secara operasional Pemerintah Daerah NTT
berupaya menciptakan situasi yang kondusif dalam rangka menyikapi dan
melaksanakan berbagai kebijakan nasional terhadap perkembangan luar negeri,
perdagangan bebas dan tantangan global. Apalagi dengan diberlakukakannya UU
No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberi kewenangan yang luas
kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk mengoptimalkan
potensi sumber daya lokasi untuk kesejahteraan rakyat,
pengelolaan wilayah perbatasan sangat pentingnya artinya bagi Pemerintah NTT.
Dengan berlakuknya otonomi luas,
Pemerintah Daerah harus memfasilitasi percepatan pembangunan di wilayah
perbatasan, sehingga kesenjangan dan ketertinggalan wilayah tersebut dapat
dikurangi. Untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan wilayah perbatasan, perlu dirumuskan strategi
dan model pendekatan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dengan
menitikberatkan penyeimbangan program pembangunan yang diorientasikan untuk
pemberdayaan wilayah perbatasan.
- Strategi Pengembangan Wilayah Perbatasan.
Strategi pengelolaan dan pengembangan
wilayah perbatasan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor dan antar
pembangunan. Keterpaduan
pembangunan wilayah perbatasan
memerlukan penanganan dalam bentuk kemitraan, sebab beban pembangunan tidak
dapat hanya dilakukan oleh Pemerintah
Daerah sendiri dengan keterbatasan sumber dana, SDM dan isntitusi. Untuk itu,
seluruh instansi sektoral terkait harus dilibatkan dalam pembangunan dengan
memanfaatkan berbagai sumber dana
pembangunan (lokal), nasional dan internasional), kekuatan ekonomi
daerah serta melibatkan peran sektor perbankan pemerintah dan swasta, termasuk
lembaga keuangan non bank. Dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah
perbatasan, masyarakat lokal harus dilibatkan, mulai dari tahap perencanaan
hingga pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian program pembangunan yang
diterapkan sungguh-sungguh menyentuh kebutuhan riil masyarakat setempat dan
sekaligus dapat menjawab tuntutan era pasar bebas serta tantangan global.
Strategi pengembangan wilayah perbatasan perlu pula ditunjang melalui
upaya-upaya politis dan diplomatis oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk
perjanjian bilateral dengan negara tetangga untuk pengaturan bersama terhadap
berbagai masalah yang timbul.
Bentuk-bentuk
kerjasama antara lain :
Pertama, kordinasi dalam mangatasi
permasalahan keamanan wilayah perbatasan dengan membangun pos-pos keamanan dan
meningkatkan patroli perbatasan.
Kedua, koordinasi pengaturan lalu lintas
orang dan barang menyangkut keimigrasian dan cukai khusus bagi penduduk wilayah
perbatasan.
Ketiga, penyelesaian beberapa titik
permasalahan perbatasan yang masih ada dengan semangat bertetangga yang damai.
Keempat, pengelolaan sumberdaya alam di daerah
perbatasan masing-masing negara dengan mengikutsertakan sektor swasta, LSM, dan
masyarakat lokal.
Kelima, pembangunan sentra bisnis sebagai
pusat aktivitas perdagangan lintas batas, misalnya delam bentuk Kawasan
Berikat.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka
strategi pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan harus dirancang sedemikian
rupa dengan mangacu pada beberapa aspek utama, seperti :
Geografi : meliputi pembuatan jaringan
perhubungan darat, laut dan udara serta sarana telekomunikasi.
Demografi : Mencakup pengisian dan
pendistribusian penduduk untuk keperluan kekuatan sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta.
Sumber daya alam : Perlu ada pemetaan
secara rinci potensi sumber daya alam di kawasan perbatasan dan sistem
pengamanannya.
Idiologi : Berkaiatan dengan pembinaan
dan penghayatan idiologi guna menangkal idiologi asing.
Politik : Mencakup pemahaman sistem politik
nasional dan menjaga stabilisasi politik yang dinamis bersama aparat pemerintah
sebagai mitra pembinaan teritorial.
Ekonomi Perhubungan : Meliputi pembangunan
wilayah ekonomi yang dapat berfungsi sebagai pendukung logistik wilayah
pertahanan-keamanan dan pemberdayaan masyarakat.
Sosial Budaya : Meliputi peningkatan
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan yang memadai dan meningkatkan ketahanan berdaya
guna membendung penetrasi budaya asing.
Pertahanan dan Keamanan : Mencakup pembuatan
pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengaman dan kekuatan pembinaan
teritorial yang memadai dan pengendalian yang cukup baik oleh aparat keamanan
maupun swakarsa masyarakat.
2. Pendekatan
Pengelolaan Perbatasan
Sejak dahulu masyarakat Pulau Timor,
baik Timor Barat maupun Timor Timur memiliki hubungan geneologis dan sosiologis
yang telah berakar secara mendalam. Kebijakan politik kolonial Belanda dan
Portugis yang memisahkan masyarakat Timor Barat dan Timor Timur tidak
menyurutkan hubungan kekerabatan kedua
bangsa. Sebab mereka memiliki local genius (etnis, bahasa dan latar belakang
sosial budaya) yang sama. Hubungan kawin mawin dan perdagangan tradisional
antar kedua bangsa ini berjalan lancar sejak dahulu kala. Karena itu,
Pemerintah Daerah NTT menempatkan local genius sebagai basis pendekatan
pengelolaan wilayah perbatasan RI – Timor Leste yang terkristal dalam Tri Bina
Pembangunan, yaitu,
---Bina Manusia,
---Bina Usaha, dan
---Bina Lingkungan,
Dengan tujuan untuk mempercepat
pengemabangan dan pembangunan daerah perbatasan
Berdasarkan
konsep pendekatan sebagai diuraikan di atas, Pemerintah Daerah NTT telah
melakukan berbagai kegiatan antara lain :
Ø
Meningkatkan
kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Timor Leste dalam
berbagai kebijakan mengenai pengungsi yang masih berada di wilayah Timor Barat.
Ø
Meningkatkan
persiapan dan pelaksanaan pembangunan wilayah perbatasan di Timor Barat dan
Alor dalam rangka menjamin kestabilan perbatasan anatara RI dengan Timor Leste.
Ø
Meningkatkan
hubungan bilateral dengan negara sahabat sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
Perencanaan
pengembangan Kawasan Perbatasan Timor Barat dengan hasil :
Ø
Adanya
pos-pos lintas batas di Montaain, Napan dan Haekesak. Sementara ------Pos Wini
dan O’epoli sedang dalam proses pengusulan.
Ø
Adanya
Rencana Induk Pengembangan Kawasan
Perbatasan Timor Barat;
Ø
Adanya
proyek irigasi perbatasan tahun anggaran 2002.
B.
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan
Kondisi georafis NTT yang sebagian
wilayhnya dikelilingi oleh laut, merupakan kawasan yang meberikan peluang
pengelolaan untuk keberhasilan pembangunan. Di lain pihak, kondisi kawasan ini
memiliki potensi kerawanan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pembangunan
wilayah tersebut.
Dengan demikian pelaksanaan
pembangunan pada wilayah perbatasan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi
keamanan wilayah dengan posisi letak geografis wilayah perbatasan dengan
perbatasan negara lain. Pengabaian
terhadap gangguan keamanan akan mempengaruhi kondisi keamanan yang nantinya
akan berpengaruh pada strategi Pemerintah Daerah menciptakan wilayah aman dan
kondusif untuk menarik para investor dalam mengerakkan roda ekonomi kawasan.
Seiring dengan dicanangkannya program
Gerakan Masuk Laut (GEMALA) oleh Pemerintah Daerah NTT, penanganan pulau-pulau
kecil terutama di wilayah perbatasan harus ditingkatkan. Dengan demikian,
program GEMALA dapat terlaksana dengan baik, karena adanya batas-batas wilayah
laut yang jelas dengan negara-negara tetangga. Karena itu, pengelolaan
pulau-pulau kecil perbatasan harus mendapat perhatian serius dari Pemerintah
daerah dalam koordinasi dengan Pemerintah Pusat.
1. Strategi
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Perbatasan
Kawasan pulau-pulau terluar yang berbatasan
dengan negara tetangga diperlukan penanganan secara terpadu, yang melibatkan
seluruh sektor sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Departemen
Kelautan dan Perikanan sesuai dengan mandat yang diberikan melakukan
pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau di wilayah perbatasan
dengan melibatkan
Pemerintah Daerah setempat. Sejauh
ini, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terluar Indonesia. Rencana aksi
Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap pulau-pulau di perbatasan antara
lain menyusun profil pulau-pulau di perbatasan tersebut, sehingga dapat
diperoleh informasi tentang :
Ø
peta
potensi;
Ø
kondisi
ekosistem pulau,
Ø
berpenghuni
tidaknya pulau tersebut dan kalaupun berpenghuni bagaimana ------kondisi/struktur
masyarakatnya, dan
Ø
kondisi
ekonomi, kamanan, sosial dan budaya masyarakat pulau tersebut
Di Provinsi NTT Direktorat
Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K), sejak 2003 telah melaksanakan
kegiatan di wilayah perbatasan di Pulau Alor. Kegiatan tersebut meliputi :
Penyusunan masterplan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan
masyarakat di pulau Alor selama lima tahun (2003-2008); Rehabilitasi ekosietem
pulau-pulau kecil di pulau Alor dan memberikan bantuan sarana/modal usaha mata
pencaharian alternatif di pulau Alor. Sementara Depatemen Luar Negeri melakukan
lobi-lobi politik dan diplomasi dengan negara tetangga dalam rangka kepastian
garis batas perairan dan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan,
yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang.
a.Strategi
jangka Pendek meliputi :
Membuat peraturan perundang-undangan
tentang pengelolaan pulau-pulau terluar yang mempunyai titik dasar untuk
dikelola, baik oleh Pemerintah Puasat maupun Pemerintah Daerah.
Ø
Memanfaatkan
pulau-pulau tersebut sebagai pengembangan perikanan terpadu yang bebasis
potensi lokal;
Ø
Memberdayakan
ekonomi masyarakat pesisir dengan mengarahkan dana Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP) ke masyarakat pulau di daerah perbatasan;
Ø
Melakukan
identifikasi terhadap keberadaan pulau-pulau perbatasan.
Mensosialisasi pentingnya menjaga
pulau-pulau perbatasan.
b. Strategi
jangka Panjang meliputi :
Menarik investasi masuk ke pulau-pulau
yang mempunyai potensi jasa lingkungan yang cocok untuk kepariwisataan bahari;
Ø
Mendeklarasikan
pulau-pulau yang memiliki produktivitas hayati yang tinggi sebagai kawasan
konservasi;
Ø
Melakukan
penataan ruang pada wilayah pulau-pulau kecil, termasuk laut dan pesisirnya;
Ø
Meningkatkan
koordinasi lintas sektor dalam upaya menjaga keberadaan pulau terluar.
Kedua strategi tersebut merupakan upaya untuk
merangsang aktivitas pembangunan di pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan,
sehingga dapat menjustifikasikan pulau-pulau tersebut sebagai wilayah dari
negara kesatuan RI.
Salah satu kebijakan untuk
mengembangkan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan adalah dengan membuka
jalur kerja sama dengan negara tetangga. Kerja sama yang dikembangkan
diharapkan dapat dikoordinasikan kegiatan ekonomi, politik, pertahanan dan
keamanan di kawasan perbatasan.
2.Pendekatan
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Perbatasan
Pendekatan arah kebijakan pengelolaan
pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan dikembangkan dan dirumuskan dengan
mengkombinasikan tiga pendekatan, yaitu :
a. Pedekatan
Hak
Ada tiga
tujuan yang ingin dicapai yaitu :
Ø
Adanya
pengakuan dan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat atas tanah dan wilayah
perairan pulau-pulau kecil.
Ø
Terjalinnya
kerjasama usaha yang setara antara
Ø
Pemerintah
RI dengan negara tetangga dan antara
masyarakat dengan pengusaha/investor dalam pemanfaatan ekosistem pulau-pulau
kecil. Dalam
hal ini perlu ada kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak
kerjasama yang dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya diawasi dan ditegakkan
oleh masing-masing pelaku yaitu pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Kepastian
berusaha bagi pengusaha/investor yang sudah mendapatkan hak pakai atas tanah
dan wilayah perairan pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh negara.
b. Pendekatan
ekosistem dalam alokasi ruang wilayah
pulau dan gugus pulau
Wilayah gugus pulau dan pulau-pulau
terluar di wilayah perbatasan sangat rentan secara ekologis. Selain itu,
wilayah ini memliki keterkaitan ekologis, sosial-ekonomi dan sosial-budaya
dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan alokasi ruang yang didasarkan pada daya
dukung ekologis, jaringan sosial-budaya antara
masyarakat dan integrasi sosial-ekonomi yang sudah berlangsung selama
ini akan memberikan pilihan investasi yang tepat. Tata ruang dengan pendekatan
ekosistem harus menjadi instrumen kebijakan utama untuk menjaga keamanan dan
keselamatan sosial-budaya dan ekologis dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.
Alokasi seperti ini memberikan kesempatan bagi penataan ulang posisi dan peran
strategis masyarakat lokal, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil. Hal ini akan berimplikasi pada kejelasan hak dan
kewajiban serta wewenang pihak-pihak tersebut.
c. Pendekatan
Pengelolaan yang Sesuai Dengan budaya setempat
Jenis pengemabangan pulau-pulau terluar yang
dilakukan di kawasan perbatasan, baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal
maupun investor dalam negeri dan asing harus mengacu pada latar geografisnya
dan karakteristik ekosistem, serta kondisi sosial-budaya masyarakat setempat.
Pada tahap
perencanaan induk wilayah, akan
dilakukan penilaian sumberdaya alam (resoureces evalution), yang akan menjadi
landasan pengembangan pola pengelolaan serta keselamatan ekologis dan
sosial-budaya. Mengingat rentannya ekosistem pulau-pulau terluar dengan gugus
pulau terluar di wilayah perbatasan, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan
yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara ekologis
maupun sosial. Pemerintah hanya mengizinkan pengelolaan pulau-pulau terluar
untuk konservasi, budidaya laut (maricultura), ekowisata dan penangkapan ikan
serta industri perikanan lestari. Dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil ini oleh
pengusaha dari luar pulau, pemerintah menjadi fasilisator keterlibatan
masyarakat dalam berbagai bentuk seperti akses berusaha bagi penduduk lokal,
kemitraan usaha dan penyertaan modal. Pemerintah akan mengembangkan instrumen
kebijakan untuk mendukung sistem keselamatan ekologis, berupa :
Pembentukan
Badan Penasihat yang memiliki fungsi untuk,
Ø
Memberikan
arahan dan masukan dalam kegiatan investasi di pulau-pulau kecil, khususnya
wilayah perbatasan;
Ø
Memberikan
layanan konsultasi dalam pengembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
Ø
Membantu
dan menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam pengembangan pulau-pulau kecil
perbatasan;
Ø
Membantu
dan mengawasi proses pelaksanaan penmgembangan pulau-pulau kecil perbatasan;
Ø
Melakukan
monitoring kegiatan pengembangan pulau kecil perbatasan;
2. Penegakan
prosedur analisis mengenai dampak lingkungan dan sosial dari pengembang
pulau-pulau kecil perbatasan.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaannya,
penegakan dan penataan
(enfoercement and compliance) hukum
laut nasional menjadi keharusan. Hukum laut nasional yang dimaksud harus bisa
mengakomodasi hukum laut yang berlaku di masyarakat adat dan hukum laut
internasional. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan dan pemberlakuan
sistem pemantauan dan pengawasan yang berbasis pada masyarakat juga menjadi
keharusan.
d. Masalah
Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef)
Lepasnya Timor Timur dari pengkuan negara
kesatuan RI membawa konsekuensi adanya perubahan-perubahan yang vital
menyangkut batas wilayah laut dengan tetangga, Timor Leste dan Australia.
Terjadi tumpang tindih klaim perbatasan laut antara Indonesia dan Australia
menyangkut Celah Timor (Timor Gab) dan gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef).
Persoalan Celah Timor yang kaya akan cadangan sumber minyak bumi dan gas alam
serta gugusan Pulau Pasir yang selama berabad-abad menjadi ladang pencarian
ikan nelayan asal Pulau Rote, NTT sebenarnya merupakan satu paket yang tak
terpisahkan
dengan persoalan Timor Timur.
Persoalan tersebut sangat bernuansa politis yang bukan saja karena kepentingan
yang lebih besar dari Amerika Serikat.
Konon ada “pembagian kue wilayah”
antara Indonesia dengan Australia dimana Indonesia didorong untuk memasuki
Timor Timur dan sebagai imbalannya, Australia mendapatkan pulau Pasir (Ashmore
Reef). Pembagian kue wilayah” tersebut dirasakan sangat tidak adil oleh
Indonesia dan merugikan masyarakat NTT, karena kehilangan akses terhadap kedua
wilayah potensial tersebut. Ketidak adilan itu sungguh nyata melibatkan
masyarakat setempat mengesampingkan fakta historis dan fakta hukum adat yang
berlaku di masyarakat hukum adat pulau Timor (Timor Barat) dan khususnya pulau
Rote, NTT. Menyikapi kibijakan yang sangat tidak adil itu, masyarakat NTT
membentuk semacam gugus tugas yang dikenal dengan “POKJA Celah Timor dan Pulau
Pasir,” atau Timor Gab & Ashmore Reef Task Force”. Gugus tugas yang
diketuai Ferdi Tanoni tersebut kini giat memperjuangkan hak masyarakat NTT
untuk mengelola Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir berdasarkan hak hukum adat
masyarakat NTT dan hukum laut internasional serta konvensi hukum laut
internasional.
1. Masalah Celah
Timor
Celah Timor yang terletak di Laut
Timor merupakan sebuah kawasan yang kaya akan cadangan sumber minyak bumi dan
gas alam. Kawasan ini kini dieksploitasi oleh Australia untuk pengeboran minyak
lepas pantai dan gas alam. Sementara pihak Indonesia, khususnya masyarakat NTT
tidak memiliki akses apapun di kawasan yang sangat potensi itu. Sebagaimana
digambarkan sebelumnya, wewenang mutlak Australia mengeksploitasi Celah Timor
tidak terlepas dari masalah Timor-Timur. Sebagai imbalan menganeksasi Timor
Timur ke dalam wilayah negara kesatuan RI, pemerintah Indonesia seolah-olah
menutup mata terhadap Celah Timor dan mengabaikan hak hak ulayat masyarakat NTT
atas wilayah tersebut.
Masalah Celah Timor mulai mencuat
sejak 1972 ketika pemerintah Australia secara sepihak menetapkan batas wilayah
perairannya berdasarkan argumen landas kontinental, yang menyatakan bahwa dasar
laut harus mengikuti titik terdalam pada dasar laut antar negara. Ternyata
titik terdalam Australia berada di laut Timor. Akibatnya Indonesia kehilangan
85% wilayah perairannya. Sedangkan pemerintah Portugal menolak argumentasi
Australia tersebut. Tahun 1971, yakni setelah Timor Timur masuk negara kesatuan
RI, Australia mulai membuka perundingan dengan Indonesia menyangkut Celah
Timor.
Kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan
mengenai garis batas, namun sepakat untuk membuat perjanjian tentang
pengeksploitasian minyak bersama di wilayah antar garis tengah ke selatan dan
batas perairan dasar laut tahun 1972 ke utara. Kesepakatan ini ternyata hanya
menguntungkan Australia. Selanjutnya pada tahun 1981, Australia dan Indonesia
menyepakati batas perairan yang melintang sepanjang
garis
tengah. Pada
tahun 1982 PBB mendefenisikan ulang hukum laut internasinal yang menyatakan,
bahwa negara-negara yang jarak antara mereka kurang dari 400 mil laut, maka
batas internasinal harus berada pada titik tengah.
Beberapa saat setelah Timor Leste
diproklamirkan sebagai negara merdeka, Ketua Menteri UNTAET Marie Alkatiri dan
PM Australia John Howard menandatangani kesepakatan dengan sebutan MOU Laut
Timor, tanpa melibatkan Indonesia. MOU Laut Timor tersebut tidak saja
mengabaikan kesepakatan terdahulu dan konvensi hukum laut yang ditetapkan PBB,
tetapi juga mengabaikan hak tradisional/hak ulayat adat Timor Barat yang telah
diakomodir secara proposial dalam Undang-undang Pokok agraria (UUPA) No.5 tahun
1960. Itulah sebabya, Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir tetap berjuang agar
Indonesia dilibatkan dalam pengelolaan Celah Timor. Karenanya, perjanjian antar
Australia dan Timor Leste mengenai Celah Timor dianggap sepihak dan tidak syah.
Saat ini Pokja Celah Timor mendesak Deplu agar membatalkan perjanjian antara
Australia dan Timor Leste dan membuka kembali upaya diplomatik bagi
penyelesaian masalah kawasan potensial ini.
2. Masalah
Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef)
Gugusan pulau Pasir yang kaya sumber
daya biota laut seperti ikan, cumi-cumi, mutiara dan teripang berada di bagian
Timur Samudera Hindia (12 derajat dan 13 menit Lintang Selatan dan 123 derajat
05 menit Bujur Timur). Jarak ke Australia sekitar 840 Km dan jarak ke pulau
Rote, NTT sekitar 60 Km. Adalah tidak
adil dan tidak masuk akal bahwa gugusan pulau Pasir ini masuk wilayah
Australia. Karena itu, wajar jika masyarakat NTT kini getol memperjuangkan
gugusan pulau karang ini sebagai bagian dari negara kesatuan RI. Klaim
Indonesia, khususnya masyarakat NTT atas gugusan Pulau Pasir (Ashmore reef,
Cartier Reef dan Scott Reef), bukan
tanpa alasan. Berdasarkan fakta historis
dan fakta hukum adat mesyarakat pulau Rote, gugusan pulau Pasir seharusnya
masuk wilayah NTT.
Ada beberapa
alasan yang memperkuat argumentasi ini, di antaranya :
Pertama, Nelayan tradisonal pulau Rote, NTT
sudah menganggap gugusan Pulau Pasir sebagai kampung halaman mereka, jauh sebelum
orang kulit putih menginjakkan kakinya di bedua Australia. Konon, nelayan pulau Rote dan nelayan-nelayan
dari beberapa daerah lain seperti Bajo, Buton, Madura dan Lembata telah
menjadikan gugusan pulau Pasir sebagai ladang mencari ikan sejak tahun 1721.
Mereka
tinggal secara berkala di gugusan pulau Pasir tersebut. Hal ini dibuktikan
dengan adanya,
Ø
Tiga
sumur tua yang digali oleh nelayan tradisional asal Pulau
Peninggalan-peninggalan
yang terdapat di gugusan pulau Pasir seperti keramik, belanga berlapis kaca,
dan guci tanah liat.
Ø
Peninggalan-peninggalan
tersebut tidak diragukan lagi berasal dari nelayan-nelayan Indonesia.
Ø
Terdapat Pohon asam dan pohon kelapa yang ditanam oleh
nelayan tradisional asal Pulau Rote
Ø
Selain
itu, sekitar pertengahan pantai di atas bekas air pasang paling tinggi,
terdapat sejumlah lempengan karang yang diatur seperti halnya orang membuat
tungku untuk mengelola tripang. Ada bukti bahwa terdapat lebih dari satu
tungku, juga ditemukan batu-batu eksotik (batu pemberat). Batu tersebut berasal
dari perahu nelayan Indonesia yang rusak dan bangkainya masih ada sampai
sekarang.
Ø
Terdapat
sekitar 161 buah kuburan nelayan pulau Rote digugusan pulau Pasir. Di antara
makam yang terdapat di lokasi pekuburan ditandai adanya garis keliling
berbentuk empat persegi dari batu karang (karang pantai akibat proses
segmentasi pasir karang) dan sebuah tugu kayu berbetuk persegi disertai nama
dan tanggal. Kubur diberi ciri yang
sama, tetapi sebagai ganti tugu dari kayu, kubur menggunakan batu karang bulat
tipis sebagai batu nisan.Kubur lain yang terdapat di lokasi perkuburan ditandai
dengan batu karang bulat, kubur yang lebih besar memiliki dua batu karang
sebagai penanda.Lima
kubur letaknya arah utara-selatan, sedangkan kubur yang paling kecil yang
ditandai batu karang bulat letaknya arah Timur-Barat. Di Pulau Tengah,
satu-satunya makam terletak di sudut Tenggara pulau. Kubur berbentuk persegi
empat dengan ukuran panjang kira-kira 1,85 m dan lebar 0,96 m. Permukaannya
rata halus, kubur membujur ke arah Utara-Selatan dengan dua tugu kayu pada
kedua ujung. Kubur tersebut merupakan kubur seorang nelayan Madura asal pulau
Tondul (Tunduk) dan dirawat secara teratur.Sejumlah kubur tanpa tanda yang
usianya lebih tua di Timur terkikis erosi, sehingga materi rangka manusia
muncul ke permukaan. Karena diterpa angin dan ombak pada akhirnya tulang
belulang tersebut disapu air laut.
Ø
Hukum
adat mengakui akan hak nelayan-nelayan (terutama Rote) karena adanya pohon yang
ditanam yakni pohon kelapa dan pohon asam. Walau dalam jumlah yang sedikit, tak
akan mengurangi arti status dan hak mereka yang diakui masyarakat secara tradisional.
Ø
Leluhur
mereka membangun harak, semacam perladangan di laut di perairan sekitar pulau
Pasir.
Ø
Dalam
hukum adat, harak memperoleh pengakuan dan memiliki status hukum yang pasti.
Ø
Gugusan
Pulau Pasir (Ashmore Reef, Cartier Reef, Scott Reff) baru ditemukan oleh Kapten
Ashmore, seorang berkebangsaan Inggris pada tahun 1811.
Kemudian Inggris mengklaim, bahwa gugusan Pulau
Pasir (Ashmore Reef) adalah miliknya dan pada tahun 1878 Inggris menetapkan
wilayah ini menjadi koloninya. Kemudian pada tahun 1933 Inggris menyerahkan
sepenuhnya gugusan pulau ini kepada Australia.
Pada tahun 1942 wilayah
tersebut berada di bawah adminstrasi negara bagian Australia Barat, yang
kemudian menjadi Norten Federal Australia.
Berdasarkan fakta historis dan fakta
hukum adat masyarakat pulau Rote sebagaimana disebutkan di atas, maka :Adalah
suatu hal yang mustahil jika para nelayan Indonesia tidak pernah menginjakkan
kakinya di gugusan pulau Pasir, sedangkan nelayan Indonesia telah berlayar
hingga ke Madagaskar bahkan Tanjung Harapan di Afrika Selatan, dan disana ada
perkampungan Bugis Makasar yang pernah dikungjungi Presiden SBY, ketika
berkunjung ke Afrika Selatan (2007) yang lalu.
Adalah suatu keanehan ketika
didasarkan oleh deklarasi Juanda dimana Indonesia berusaha mengklaim perairan
hingga 200 mil dan diakui bahkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB ketika tahun 1982
(sebagai ZEE), namun sangat ironis karena Indonesia tidak dapat mengklaim
perairan gugusan Pulau Pasir yang hanya berjarak 60 Km (dari pulau Rote).
Karena itu perjanjian antara
pemerintah Indonesia dan Australia sudah selayaknya dibatalkan dan gugusan
Pulau Pasir (Ashomro Reef) masuk wilayah perairan NTT (Kabupaten Rote
Ndao-yakni Kabupaten Paling Selatan NKRI) Apalagi Timor Timur telah merdeka
menjadi negara merdeka dan pihak Australia secara nyata melanggar kesepakatan
mengizinkan nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap spesies laut di
kawasan pulau Pasir.
Dengan demikian, tindakan Pemerintah
Indonesia yang tidak mengakui hak-hak adat nelayan pulau Rote atas gugusan
pulau Pasir bertentangan dengan pengakuan terhadap hukum adat yang sudah diwujudkan oleh pemerintah
Indonesia, yakni dengan diberlakukannya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Namun perjuangan masyarakat NTT agar
gugusan Pulau Pasir masuk wilayah NTT bukan pekerjaan gampang. Kehadiran Pokja
Celah Timor dan Pulau Pasir tidak cukup untuk memperjuangkan perkara besar
ini.
Pihak Deplu harus melakukan lobi-lopbi
politik dan diplomasi dengan pihak Australia, agar meninjau kembali perjanjian
bilateral kedua belah pihak berdasarkan hukum laut internasional dan kedaulatan
hukum adat masyarakat Rote.
Tentu juga pihak DPR RI, perlu turut
memperjuangkan hak kedaulatan RI atas pulau Pasir yang dicaplok secara sipihak
oleh Australia, maka perlu melibatkan 250-300 juta rakyat Indonesia untuk
menghadapi Australia yang sangat arogan tersebut. (Editor : Drs.Pieter Sambut,
Merajut Masa Depan NTT, Menuju Masyarakat Yang Mandiri, Maju Dan Sejahtera,,
Provinsi NTT, 2003, hal.122-139)
wah, terimakasih gan
BalasHapusterimakasih atas informasinya
BalasHapus