Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) Adalah
Pulau Sengketa
di Selatan NKRI Antara Indonesia - Australia
Di Indonesia
hanya terdapat 1 (satu) Gugusan Pulau
Sengketa dibelahan Selatan Indonesia,
yaitu Pulau Pasir (Ashmore Reef) milik Indonesia yang dicaplok oleh Australia
secara sepihak, sedang pulau-pulau dibelahan Utara Indonesia Bebas dari
Sengketa oleh karena pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar tersebut telah memiliki status hukum yang
kuat yang telah diatur dalam berbagai PP, Keppres, dan Ketentuan dan telah
ditanda tangani oleh Presiden RI. .
Mengapa Pulau
Pasir sebagai Pulau Sengketa, karena
menurut sejarah dan Peta Dunia zaman Hindia Belanda dan Peta Dunia zaman dulu
buatan Amerika Serikat memperlihatkan
bahwa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) terletak di Utara Garis Batas berwarna
Merah, Perairan Indonesia dan Australia.
Penulis dapat
membuktikan peta-peta tersebut seperti tertera dihalaman-halaman di atas, dan
Peta-peta tersebut dapat dipakai guna perjuangan kembalinya Gugusan Pulau Pasir
ke Indonesia.
Adapun peta
rekayasa Australia secara sepihak sesudah tahun 1974, menunjukkan bahwa Garis
Batas Indonesia – Australia digeser makin ke Utara dan ketika sampai di Gugusan
Pulau Pasir, Garis Batas itu dibuat setengah lingkaran ke Utara, guna memblok
Pulau Pasir sebagai milik Australia.
Demikianlah
sekelumit pendapat dan pikiran penulis tentang nasib pulau-pulau perbatasan dan
pulau-pulau terluar yang hingga kini
masih terkatung-katung…
Semoga
menjadi bahan Pertimbangan untuk para pengambil keputusan di Perintah
Pusat, jalan mana yang terbaik.”SEMOGA”
Menurut Pasal
47, Ayat (1) UNCLOS,-Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan
(archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau
terluarnya.
Penarikan
garis tersebut mencakup,
Lebar (batas)
Laut teritorial,
Zona
Tambahan,
Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), dan
Landas
Kontinen.
Garis pangkal
kepulauan merupakan. garis
pangkal lurus yang ditarik,
menghubungkan
titik-titik terluar dari pulau-pulau dan karang-karang terluar, yang digunakan
untuk menutup seluruh atau sebagian dari negara kepulauan Penarikan garis pangkal
lurus kepulauan dilakukan dengan memperhatikan, tatanan letak kepulauan atau
kelompok pulau-pulau yang letaknya berurutan dan bersambungan secara beraturan.
Maka, penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat dilakukan menyimpang
dari arah konfigurasi umum kepulauan. Pengertian konfigurasi umum kepulauan
merupakan pengertian yang tujuannya identik dengan pengertian arah umum pantai
dan dimaksudkan untuk mencegah perluasan laut teritorial suatu negara dengan
cara yang tidak sewajarnya.
Citra
satelit Landsat-ETM (Enhanced Thematic Mapper) yang direkam pada 2 April 2002
digunakan untuk menentukan batas wilayah laut antara Indonesia dengan
Singapura. Patut disyukuri ketika keluar Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang
adanya upaya pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau terluar. Terjalin
sinergi antar berbagai departemen dan lembaga non departemen yang bahu membahu
memperhatikan dan mengelola terutama PPKT. Tentu saja dengan tugas pokok dan
fungsi masing-masing sesuai dengan kapasitasnya.
Beberapa program pembangunan
harus dicanangkan dan berkelanjutan terhadap PPKT. Untuk PPKT yang berpenghuni
dapat dilakukan pengembangan pariwisata, eksplorasi sumber daya perikanan,
peningkatan aktifitas perdagangan, pembangunan infrastruktur, dan penguatan
kelembagaan. Sedangkan untuk pulau yang
tidak berpenghuni lebih diarahkan pada pengembangan konservasi dan taman
nasional laut, laboratorium alam, wisata bahari, dan menjadikan pulau sebagai
wilayah persinggahan Lepasnya dua PPKT yakni Sipadan dan Ligitan ke tangan
Malaysia menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Walaupun menurut perjanjian
Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut masuk wilayah Indonesia, tetapi
Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di
Sipadan-Ligitan.
Tiga
aspek utama yang dijadikan alasan Mahkamah
Internasionalmemenangkan
Malaysia yakni :
1.keberadaan
secara terus menerus (continuous presence),
2.penguasaan
efektif (effective occupation),
3.dan
pelestarian ekologis (ecology preservation).
Indonesia
lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.
Kekhawatiran
terhadap keberadaan pulau kecil terluar tidak terbatas pada lepasnya pulau ke
negara lain. Letaknya yang berhadapan langsung dengan 10 negara tetangga
(Singapura, Malaysia, Thailand, India, Vietnam, Palau, Papua Nugini, Australia,
Philipina, dan Timor Leste) berpotensi rawan terhadap pengaruh ideologi,
ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan.
Lingkungan
alam juga dapat terancam karena sebagian besar pulau berhadapan langsung dengan
lautan bebas, contohnya abrasi yang dapat menghilangkan titik dasar. Dari 92
PPKT yang tersebar di 20 Provinsi, terdapat 12 pulau yang menjadi perhatian
khusus yakni Pulau Rondo, Sekatung, Nipa, Berhala, Marore, Miangas, Marampit,
Batek, NDana, Fani, Fanildo, dan Pulau Bras.
Contoh kasus,
proyek reklamasi pantai Singapura yang berlangsung sejak Tahun 1960
dikawatirkan berdampak negatif terhadap lingkungan dan sumberdaya perikanan.
Kekhawatiran dari sejumlah pihak akan terusiknya kedaulatan negara akibat
reklamasi juga patut dicermati. Persoalan semakin kompleks ketika pasir untuk
keperluan reklamasi Singapura diambil dari wilayah perairan Kepulauan Riau.
Beberapa pulau di kawasan ini dikhawatirkan tenggelam.
Di
sisi lain, luas daratan Singapura meningkat dalam kurun waktu tertentu.
Tercatat pada
tahun 1960 luas
asli Singapura sebesar 580
km2.
Bertambah
menjadi 660
km2 sampai tahun 1999,
Bahkan
peningkatan drastis terjadi pada tahun 2002
menjadi 680
km2.
Diperkirakan
luas Singapura di penghujung 2006
sampai 760 km2.
Apakah dengan
bertambahnya daratan Singapura berpengaruh pada masalah perbatasan?
Bagaimana
nasib pulau kecil di wilayah perbatasan di Kepulauan Riau terkait ekspor pasir?
Siapa yang
dapat menjamin keutuhan wilayah kedaulatan?
Dibutuhkan
kajian detil untuk menjawabnya.
Kalau dahulu pasir Pulau Nipah dijual ke Singapura mengakibatkan pulau ini hampir tenggelam, dan
untuk menyelamatkan
pulau ini terpaksa pemerintah harus mengeluarkan miliar rupiah untuk
menanaminya dengan pohon bakau. Sebuah
bisnis yang merugikan. Ini salah siapa?
Ada juga
kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan
kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pengaturan demikian,
telah dan akan melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang
berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir. Berdasarkan hasil review
terhadap perundang-undangan dan konvensi yang telah diratifikasi
pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka
dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial, yaitu:
---Konflik
antar Undang-Undang;
---Konflik
antara UU dengan Hukum Adat;
---Kekosongan
Hukum; dan
---Konflik
antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut.
Di dalam UU
No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur
secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999
tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh
12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan
kabupaten/kota. Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan
status kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996
tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir
dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).
Sebaliknya,
masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak
ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum
berdirinya Negara Indonesia. Ketidakpastian hukum yang terjadi pada bidang
penguasaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam
UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA) hanya
diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang, ada
ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi
baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
---Ketiga
masalah krusial tersebut, bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik kewenangan,
dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumberdaya pesisir.
---Ketiga
masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya pun harus
terpadu melalui undang-undang baru yang mengintegrasi pengelolaan wilayah
pesisir. Saat ini, Pemerintah dalam proses menyusun RUU Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan akan mengusulkannya ke DPR RI tahun 2003 ini.
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.