KELAUTAN
INDONESIA: SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN
Posted
on September 15, 2009 by FJM
6 Votes
Undang Undang
No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (“UU Wilayah Negara”) pasal 1 ayat 1
mengatakan “wilayah negara…merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan
pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah
dibawahnya, serta ruang udara diatasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya”, sementara Undang Undang No. 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”) pasal 2 ayat 2 mengatakan “segala
perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau atau bagian pulau
pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia…merupakan
bagian integral dari wilayah daratan
sehingga…berada
di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.
Nyatalah
sudah betapa pentingnya arti kelautan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Tonggak penting rezim hukum laut bagi Indonesia itu sendiri sesungguhnya
terdiri 2 (dua) hal utama, yaitu: Deklarasi Juanda tertanggal 13 Desember 1957
yang melahirkan konsepsi wawasan nusantara dan lahirnya United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai rezim internasional
hukum laut.
Indonesia
merupakan Negara Kepulauan berdasarkan Deklarasi Juanda dan pasal 2 ayat 1 UU
Perairan Indonesia, yang berbatasan secara darat maupun maritim dengan 10 (sepuluh)
negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina,
Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste, dimana ketidakjelasan batas
darat dan maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga tersebut dapat
mengakibatkan konflik yang sepatutnya bisa kita hindari. Artikel inipun dibuat
secara sederhana untuk sedikitnya memahami 2 (dua) isu utama dalam konteks
maritim yang sering menjadi wacana dalam kehidupan kita dengan negara tetangga
yaitu isu Kedaulatan – Hak Berdaulat dan Isu Landas Kontinen.
Kedaulatan
vs. Hak Berdaulat
Kedaulatan
(Sovereignty) merupakan suatu wewenang tertinggi yang dapat dilakukan suatu
negara untuk melaksanakan kekuasaanya terhadap suatu wilayah dan/atau
masyarakatnya. Dalam hal pelaksanaan kedaulatan, suatu negara tidak perlu
meminta ‘izin’ terhadap negara lain untuk menjalankan kekuasaannya. Kedaulatan
ini jika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia meliputi daratan,
perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters),
dan laut territorial (territorial sea).
Sedangkan Hak
berdaulat merupakan kewenangan suatu negara terhadap suatu wilayah tertentu
dimana pelaksanaannya haruslah tunduk pada aturan hukum yang berlaku bagi
masyarakat internasional. Yang artinya adalah, hak berdaulat suatu negara
haruslah merupakan konsensus dan mendapat persetujuan dari negara lain. Hak
berdaulat umumnya mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam dan/atau laut
pada kawasan tertentu yang tidak tercakup dalam wilayah Kedaulatan negara
sebagaimana tersebut diatas.
Untuk dapat
lebih memahami perbedaan diantara keduanya, perlu kiranya untuk mencermati
beberapa contoh berikut:
a. Sengketa
Pulau Pasir (Ashmore Reef) merupakan isu Kedaulatan yang diperdebatkan sebagai
pulau Indonesia dengan alasan pulau tersebut berada lebih dekat dengan
Indonesia. Kecil kemungkinan pulau ini sebagai pulau Indonesia dengan alasan
‘kedekatan’ tersebut, hal ini dipatahkan pihak Australia dengan alasan batas
maritim dan historis dimana Australia memiliki bukti bahwa pulau ini dahulunya
merupakan pulau kepemilikan Inggris yang diserahkan kepada Australia ketika
merdeka.
Namun
berkembang wacana lain bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau jajahan
Belanda dimana Belanda memberlakukan peraturan mengenai pengumpulan teripang di
atas pulau ini. Hal ini merupakan suatu kajian menarik yang ‘bisa’
diperdebatkan Indonesia terhadap klaim kedaulatan Australia atas pulau ini.
b. Kewenangan
untuk mengelola dan menguasai kekayaan alam dan/atau laut yang terdapat dalam
Pulau Miangas dan perairan Indonesia di sekitarnya (laut territorial, perairan
kepulauan, dan perairan pedalaman – lihat pasal 1 ayat 4 UU Perairan Indonesia)
merupakan isu kedaulatan. Hal ini dikarenakan karena klaim kedaulatan atas
pulau Miangas secara hukum internasional adalah mutlak milik Indonesia yang
bersumber pada putusan Mahkamah Arbitrase pada tanggal 14 April 1928 oleh hakim
Max Huber dalam sengketa antara United States dan Belanda (sebagai predecessor
state dari Indonesia dan Filipina) yang memutuskan Pulau Miangas berada dalam
jurisdiksi pemerintah kolonial Belanda. Indonesia dalam hal ini dapat
menggunakan asas Uti Possideti Juris bahwa wilayah kolonial menjadi wilayah
berdaulat Negara tersebut ketika Negara tersebut merdeka dari Negara
kolonial/penjajahnya.
c.Namun,
untuk kekayaan alam dan/atau laut di selatan Pulau Jawa yang terletak lebih
dari 12
mil laut dari garis pangkal merupakan hak berdaulat bagi Indonesia. Untuk
memanfaatkannya, Indonesia tidak dapat melaksanakan hukum nasional dan hak
kedaulatannya disini tanpa mematuhi dan bekerja sama dengan negara lain sesuai
dengan rezim UNCLOS yang berlaku.
Jadi, jika
terjadi perebutan kepemilikan atas pulau dan /atau klaim penguasaan sumber daya
alam dan/atau laut dalam wilayah 12
mil laut dari garis pangkal, maka ini adalah konflik kedaulatan dan apabila
terjadi konflik atas pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan/atau laut di
luar 12 mil
laut dari garis pangkal, maka hal itu merupakan konflik hak berdaulat antar
negara.
Untuk kasus
sipadan ligitan (dimana pendekatan historis dan rantai hak (chain of title)
dipatahkan dengan asas penguasaan effective) merupakan isu kedaulatan yang
berujung kepada hak berdaulat. Apa maksudnya? Indonesia sempat menggunakan
kedua pulau ini sebagai titik pangkal dalam penarikan garis pangkalnya, dimana
ketika Mahkamah Internasional menjatuhkan kepemilikan pulau ini kepada Malaysia
maka berubahlah penetapan titik pangkal dan garis pangkal wilayah Indonesia
(‘isu Kedaulatan’) yang tentunya berakibat pula pada berubahnya batas maritim
kedua negara tersebut atas Laut Sulawesi.
Penentuan
batas maritim ini hingga sekarang masih dalam proses negosiasi antara Indonesia
dan Malaysia. Nah, belum selesainya penentuan batas maritim inilah yang
mempunyai implikasi langsung terhadap sengketa Blok Ambalat yang merupakan
kawasan dasar laut (sea bed) yang kaya akan sumber daya alam dan/atau laut yang
berada diluar wilayah 12 mil laut dari masing masing garis pangkal Indonesia
dan Malaysia (‘ isu Hak Berdaulat’ dimana Ambalat terletak ± 60 mil laut kearah
timur dari garis pangkal pulau Kalimantan). Jadi secara singkat, isu Sipadan
Ligitan yang merupakan isu Kedaulatan bersinggungan dengan isu Ambalat yang
merupakan isu Hak Berdaulat, sehingga, kuranglah tepat apabila kita
mengkampanyekan ‘Perang’ terhadap Malaysia karena isu Ambalat BUKANLAH
KEDAULATAN Indonesia.
Isu
Kedaulatan dan Hak Berdaulat lain yang patut menjadi perhatian kita adalah isu
penentuan batas darat Indonesia-Timor Leste yang belum selesai dan isu Celah
Timor antara Timor Leste- Australia dimana untuk isu yang terakhir (Celah
Timor), adalah baik kiranya untuk kita beri sedikit perhatian ekstra agar
‘saudara’ kita, Timor Leste, tidak ‘terlalu’ terzalimi oleh Australia).
Landas
Kontinen
Pasal 1 ayat
9 UU Wilayah Negara kurang lebih mengatakan landas kontinen adalah wilayah
dasar laut dan tanah dibawahnya dengan jarak 200 mil laut dari garis pangkal
atau paling jauh 350
mil laut dari garis pangkal.
Perlu
dicermati lebih lanjut, di dalam Pasal 76 UNCLOS ditegaskan bahwa landas
kontinen adalah ‘hanya’ berjarak 200
mil laut dari garis pangkal, sedangkan
350 mil
laut dari garis pangkal adalah batas terluar landas kontinen (Extended
Continental Shelf atau “ECS”). Mengapa ini menarik? Hal ini menarik karena 350 mil laut
merupakan hak yang dapat di klaim oleh negara atas landas kontinennya sepanjang
memenuhi beberapa kriteria tertentu.
Kriteria
tersebut terbagi atas criteria yang membolehkan (formulae) dan criteria yang
membatasi (constrainst).
Kriteria yang
membolehkan adalah:
a. batas
terluar ECS adalah titik terluar landas kontinen dengan ketebalan batu sedimen 1% dari
ketebalan sedimen kaki lereng kontinen yang merupakan titik kelanjutan garis
landas kontinen 200
mil laut dari garis pangkal. Garis ini biasa disebut dengan Gardiner Line.
b. Batas
terluar ECS dapat ditentukan dengan menarik garis berjarak 60 mil laut dari
kaki lereng kontinen (hedberg line) ke laut lepas (high sea),
sedangkan
criteria yang membatasi adalah:
a. Batas
terluar ECS tidak boleh melebihi 350
mil laut dari garis pangkal.
b. Batas terluar ECS tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman 2500 meter isobaths.
b. Batas terluar ECS tidak melebihi 100 mil laut dari kedalaman 2500 meter isobaths.
Kemudian,
untuk mengajukan hak atas ECS ini dapat dilakukan dengan mengajukan klaim yang
telah memenuhi criteria tersebut diatas kepada Commission on the Limits of Continental
Shelf (“CLCS”) malalui Sekretaris Jenderal PBB dengan deadline untuk claim
submission tersebut adalah paling lambat 13 Mei 2009.
Masalah ECS
ini menjadi menarik karena Indonesia memiliki 3 (tiga) potensi landas kontinen
yang bisa kita ajukan batas terluarnya dari 200
mil laut menjadi 350
mil laut dari garis pangkal, yaitu di sebelah barat sumatera, di sebelah
selatan pulau jawa, dan di sebelah utara Papua. Dalam hal ini, Indonesia sudah
mengajukan claim ECS tersebut pada tahun 2008 dan kini tengah menunggu review
CLCS. Catatan kaki yang juga menjadi perhatian kita adalah, selain Indonesia,
ada beberapa negara lain yang turut mengajukan ECS yaitu: Rusia, Perancis,
Brazilia, Australia, Irlandia, Selandia Baru, Norwegia
Kisah
Klasik Untuk Masa Depan?
Isu isu
tersebut diatas adalah sebenarnya merupakan kisah klasik perjuangan diplomasi
Indonesia yang harus terus menerus menjadi perhatian kita. Terdapat 2 (dua)
kesimpulan sederhana atas hal tersebut yaitu:
a. Negara
kepulauan, maritim, maupun negara pantai dengan interaksi hubungan
internasional dan politik luar negerinya dengan negara lain sangatlah penting
untuk memiliki batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas dan baik. Hal ini
akan membantu dalam memudahkan isu isu sensitive seperti isu keamanan, akses
dan pengelolaan sumber daya laut, keseimbangan antara hak dan kewajiban antar
negara yang bersangkutan.
b.
Delimitasi/kejelasan batas maritim dapat menghilangkan potensi konflik antar
negara negara bertetangga, sehingga, dalam hal ini, Indonesia sebagai motor
penggerak dalam pembentukan ASEAN Community harus memberi perhatian lebih untuk
menciptaan kejelasan batas maritim dengan negara tetangga sebagai suatu
‘situasi prakondisi’ demi terwujudnya ASEAN Community yang damai, sejahtera,
bersatu, dan saling menghormati kedaulatan, hak berdaulat, dan batas “maksimal”
landas kontinen antar negara anggotanya sebagai suatu kesatuan komunitas yang
selaras dan harmoni.
Sungguh,
kelautan Indonesia adalah kisah klasik untuk masa depan…yang lebih baik…
PS: Kritik
dan masukan dibuka untuk pemahaman Hukum Laut yang lebih baik…..untuk
Indonesia!!
-FJM-
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.