MONDAY, SEPTEMBER
6, 2010
Celah Timor: Apakah Itu Mimpi di
Siang Bolong
Oleh P Gregor
Neonbasu SVD, Ph.D
Ketua Komisi
Sosial Budaya Dewan Riset Daerah NTT
Christine Mason, seorang penasehat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Bond di wilayah Robina, Gold Coast - Queensland (Brisbane) memberi apresiasi yang sangat manusiawi terhadap melodi nyanyian sunyi di Laut Timor. Dia yang alumni The Australian National University (ANU) Canberra ini siap berjalan bersama anggota koor di Timor Barat untuk secara cerdas mendengar, tidak saja desiran ombak Laut Timor yang semakin mengganas, melainkan terlebih melerai dendang sunyi senyap nasib para penyanyi yang dengan isak-tangis berteriak dari hempasan dan amukan Laut Timor.
Di Mana
Jendela Persoalan Bilakah persoalan sekitar Celah Timor akan berakhir? Ia bagai
benang kusut, oleh karena argumentasi politik kita yang tidak terkoordinir
secara baik. Koordinasi kita tidak saja sebatas data, melainkan komitmen yang
murni dan perhatian jujur bagi penderitaan masyarakat kecil. Kapankah Gugusan
Pulau Pasir kembali ke pemilik aseli?
Pertanyaan
ini kini dibedah dalam perspektif yang multi-dimensi. Untuk kita Indonesia,
tidak saja dibutuhkan keberanian berpolitik, melainkan secara perkasa
meyakinkan lawan bicara untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan dengan itu
mereka memiliki respek yang tulus akan hak-hak dasar orang lain untuk hidup
secara lebih beradab. Informasi yang lengkap mengenai di mana dan siapa pemilik
sah Gugusan Pulau Pasir dan seperti apakah persoalan Laut Timor dan celah
Timor, anda bisa menemukan informasi lengkap pada terbitan-terbitan yang
disebut dalam tulisan-tulisan sebelumnya.
Dua terbitan
dalam bahasa Indonesia: Skandal Laut Timor (STL 2008)
dan Perairan Sengketa, Batas Tapal Batas dan Hak Milik Laut
Timor (2005).
Buku yang
kedua merupakan terjemahan dari Troubled Waters, Bonders, boundaries and
possession in the Timor Sea karya Ruth Balint dari University of Sydney.
Karya yang sangat menyentuh persoalan laut Timor ini kemudian diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh Prof. M. A. Noach dan Dr Y. L. Henuk. Berbagai
rahasia dari nyanyian sunyi yang didendang selama ini, akarnya dapat ditemukan
dalam karya-karya ini. Dua karya akademik ini mengambil saripati dari beberapa
penulis luar negeri mengenai harta karun di laur Timor. Mari kita berlangkah ke
depan untuk melihat kandungan Gugusan Pulau Pasir, yang ternyata milik
Indonesia.
Secara
tradisional para nelayan Indonesia telah menempati pulau karang ini semenjak
abad-abad awal temuan kawasan timur Indonesia ke arah selatan dan tenggara. Dan
inilah ladang laut bagipara nelayan tradisional Nusantara. Gugusan Pulau Pasir
disebut Ashmore Reef – Karang Ashmore – sesuai nama penemu pulau itu Kapten
Samuel Ashmore dari Divisi Hibernia (Inggeris) pada tahun 1811, yang pada tahun
1938 dimasukkan dalam wilayah hukum administrasi Australia Utara (Northern
Territory, NT), dan selanjutnya tahun 1978 NT diberi kuasa penuh untuk memiliki
kawasan tersebut.
Kemudian
dibentuk Territory External bagi gugusan pulau-pulau itu menjadi Territory
Ashmore dan Territory Cartier Island yang langsung dikontrol oleh Pemerintahan
Federal Australia (Campbell and Wilson 1993:119, Balint 2005).
Seawalnya
sesuai catatan yang diabadikan Crawford (1969) dan Stacey (1999), pulau-pulau
karang itu belum merupakan milik Australia. Baru mulai 1 Januari 1901 ketika
Australia membentuk Negara Federal maka secara faktual semua pulau karang yang
terpencar di Laut Timor menjadi milik Australia.
Prof Mia Noach mengutip Marston (1987), ketika mengatakan bahwa peran Inggeris mulai nampak di pulau-pulau karang ini saat ia mulai merasa tertantang oleh Perancis di Vietnam Selatan, terhadap Spratly atau Storm Island di Laut Cina Selatan, dan Jepang yang ingin memperluas wilayahnya ke arah yang sama. Peristiwa ini mendorong Inggeris untuk segera mendata semua hasil koleksi pulau-pulaunya di seluruh dunia termasuk Gugusan Pulau Pasir yang dimasukkan ke dalam Persemakmuran Inggeris.
Prof Mia Noach mengutip Marston (1987), ketika mengatakan bahwa peran Inggeris mulai nampak di pulau-pulau karang ini saat ia mulai merasa tertantang oleh Perancis di Vietnam Selatan, terhadap Spratly atau Storm Island di Laut Cina Selatan, dan Jepang yang ingin memperluas wilayahnya ke arah yang sama. Peristiwa ini mendorong Inggeris untuk segera mendata semua hasil koleksi pulau-pulaunya di seluruh dunia termasuk Gugusan Pulau Pasir yang dimasukkan ke dalam Persemakmuran Inggeris.
Seperti Belanda
yang menjajah Indonesia, Inggeris yang menjajah Australia dan New Zealand tak
pernah peduli dengan penduduk Aseli Aborigin (Australia) dan Maori (Selandia
Baru). Inggeris dan Australia tidak pernah perduli akan Orang Indonesia yang
sudah ratusan tahun menetap di Gugusan Pulau Pasir dan mencari nafkah di sana
(bdk tulisan kami sebelumnya “Gugusan Pulau Pasir: Riwayatmu Doeloe” (2/9).
Memang sedari
doeloe kala semenjak abad akhir abad 13, lalu abad 14-15 sampai tahun 1972 dan 1974
kawasan itu ditempati nelayan tradisional Indonesia. Baru kemudian nelayan
Indonesia (Rote) mulai diterjang keluar dari Laut Timor dan dicap penangkap
ikan liar (illegal fishing) hanya karena Agreed Seabed Boundary yang telah
ditanda-tangani Australia dan Indonesia pada tahun 1972 dan tahun 1974.
Banyak
nelayan yang sudah gugur sebagai pahlawan di Laut Timor oleh karena mereka
ditangkap, diadili dan bahkan dibunuh. Yang lain tewas oleh karena dilarang
menggunakan alat penangkap ikan modern dan mereka hanya mengandalkan alat
penangkap ikan tradisional.
Tidak ada
orang yang rela memperhatikan nasib para nelayan tradisional, kecuali
membiarkan penjajahan nilai-nilai kemanusiaan terus berlangsung hanya karena
mentaati sebuah perjanjian–yang penuh rekayasa politis–dan jelas-jelas salah.
Akankah suatu
waktu yang baik bakal terbit di ufuk kehidupan, setelah sebuah sejarah
dibengkokkan untuk memenuhi rasa haus politik untuk merampas hak orang lain
yang tidak berdaya? Kita tunggu sejarah baru, namanya sejarah kemanusiaan!
Timor Gap (Celah Timor)
Perjanjian
Celah Timor yang dibuat secara bilateral antara Indonesia dan Australia serta
ditanda tangani 11 Desember 1989 itu merupakan sebuah kesepakatan mengenai
potensi minyak dan gas di Laut Timor. Wilayah minyak itu disebut Timor Gap yang
dibagi atas tiga Zona yang dinamakan Zona A (tengah), Zona B dekat pantai utara
Australia, dan Zona C dekat pantai selatan Pulau Timor.
Menurut
beberapa pakar, antara lain Prof Herman Johannes (alm.) yang mantan Rektor UGM,
pembagian zona-zona itu tidak arif, jauh dari realitas dan kondisi di laut
Timor berkenaan dengan aturan, baik internasional, regional, nasional dan
lokal. Pembagian tersebut justeru lebih menguntungkan Australia, dan itu semata
karena kelalaian politik dari pihak Indonesia, atau tersebab oleh karena
Indonesia meremehkan potensi laut. Padahal berkali-kali Indonesia selalu
mengumandangkan ambisinya untuk mengarahkan dinamika pembangunan ke arah laut
dengan kata-kata pilihan “negara kepulauan”.
Indonesia
kebobolan dengan Agreed Seabed Boundary (1972) di mana garis batas
mestinya mengikuti Median Line (garis tengah) dan bukan mengikuti batas yang
dihitung mulai dari Gugusan Pulau Pasir (GPP) dan selatan Pulau Rote. Mengapa
harus digunakan garis tengah, oleh karena menurut Konvensi Hukum Laut PBB
(UNCLOS) bagi dua Negara yang terletak di atas pelana satu kontinental maka garis
tengah itulah yang harus digunakan.
Kecerdikan
Australia untuk mengatakan bahwa Laut Timor dan Australia tidak terlatak di
atas sebuah kontinental oleh karena dipisahkan oleh Palung Timor. Sikap
Australia menyalahi fakta-fakta geologis, geomorfologis di Laut Timor serta
prinsip-prinsip Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the
Law of the Sea, UNCLOS) yang terakhir tahun 1982.
Antara lain
data geologi justeru menggarisbawahi Pulau Timor dan benua Australia berada
dalam satu landas kontinen yang disebut landas Kontinen Australia, yang tidak
saja meliputi Pulau Timor melainkan seluruh kawasan Papua dan sekitarnya.
Nampaknya ada
perbedaan perspektif yang sangat tajam antara pihak Indonesia dan Australia
dalam soal ini. Australia tetap pada posisi bahwa Palung Timor inilah yang
memisahkan Pulau Timor dan Benua Australia sehingga keduanya berada pada
lempeng (kontinen) berbeda. Bahkan Palung Timor dilihat sebagai sebuah parit
yang seakan memisahkan Pulau Timor pada lempeng yang satu dan benua Australia
pada lempeng yang lainnya.
Pasal 6.1
Konvensi Jenewa 1958 mengenai Landas Kontinen berbunyi: Penentuan batas-batas
internasional, wilayah dari dua atau lebih negara yang berdekatan berada di
Landas Kontinen yang sama, pesisirnya berhadapan satu sama lain, maka
batas-batas pada Landas Kontinen yang menjadi bagian dari Negara-negara itu
ditentukan melalui persetujuan antara mereka.
Jika tidak
ada persetujuan maka kecuali kalau batas lain bisa dijustifikasi atau
keadaan-keadaan tertentu, garis perbatasan adalah garis median, setiap titik
pada garis itu sama jauhnya dari titik terdekat pada garis dasar dari mana
lebar laut wilayah dari setiap Negara diukur. (SLT 2008: 29-33).
Karena itu
sudah seharusnya perjanjian RI-Australia yang dibuat pada tahun 1972 itu dikaji
ulang. Sekali lagi, identitas geologis Palung Timor (Timor Through) sebagai
garis pemisah kontinen Timor dan kontinen Australia tidak dapat dibuktikan
secara tekhnis, yang menurut mantan Menlu RI Dr Mochtar Kusumaatmadja,
Australia tidak jujur mengatakan hal yang sebenarnya (STL:41).
Perlu Perjanjian Trilateral dan Koordinasi
Secara hukum,
ketika diterbitkannya TAP MPR V/MPR 1999 yang isinya menerima hasil jajak
Pendapat di Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, sekaligus mencabut TAP
MPR VI/MPR/1978 tentang Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kemudian berdasarkan Resolusi Dewan kemanan PBB No 1272
tanggal 25 Oktober 1999, maka Timor Timur berada di bawah administrasi PBB
(United Nations Transitional Administration on East Timor – UNTAET).
Oleh karena
itu secara iuridis kedaulatan dan kewenangan Republik Indonesia atas Timor
Timur dianggap telah berakhir.
Semenjak saat
itu, hilanglah segala-gala termasuk harapan untuk melobi secara bilateral terhadap
kekayaan di Laut Timor. Ternyata masih ada celah, dan masih terbuka lorong
sangat luas bagi Indonesia. Posisi Laut Timor berdasarkan kajian kontinental
akan harus dimajukan lagi dalam meja perundingan, dan kali ini tidak saja antar
dua Negara, melainkan tiga Negara: Indonesia, Timor Leste dan Australia.
Bagai pokok
sebuah pohon yang memiliki ranting, atau sebuah sumber air yang memberi air ke
parit-parit yang meneruskan aliran air tersebut, maka potensi minyak yang
berada di Laut Timor juga memiliki jejaringnya yang sangat istimewa: yang satu
ke Masin Lulik (Belu Selatan) dan Niola (TTU) dan yang lainnya ke Laclubar dan
Ailiambata di Viqueque (Timor Leste). Ada beberapa palungan di sekitar Timor
Barat yang sedang dieksplorasi. Kita tunggu saja, waktu akan terpenuhi, dan
sumber minyak itu akan kembali mengalir ke kawasan penduduk yang secara alamiah
adalah pemiliknya.
Jika tidak
sampai ada kesepakatan, dalam arti tidak ada titik temu untuk merevisi kembali
perjanjian-perjanjian tahun 1972, 1974, 1999, maka secara hukum Indonesia yang
dirugikan itu dapat mengambil inisiatif untuk memprakarsai agar diadakannya
pertemuan trilateral. Pertemuan ini dapat diadakan dibawah pengawasan PBB untuk
mencari kebenaran. Sesuai sumber yang dipublikasi selama ini – baik luar maupun
dalam negeri – maka yang berhak mengolah kandungan Laut Timor adalah Indonesia
dan Timor Leste. Itu pun kalau dua hal berikut disepakati:
(1) posisi
Gugusan Pulau Pasir, itu harus menjadi milik Indonesia, dan
(2)
keberadaan laut Timor dan Australia hanya pada satu lempeng.
Pertama,
usaha untuk mengklaim kepemilikan Gugusan Pulau Pasir hanya bisa berangkat dari
pembuktian sejarah, kebiasaan leluhur nenek moyang, dan mencari dokumentasi
Belanda (Indonesia) dan Inggeris (Australia dan New Zealand). Beberapa penulis
dan peneliti Australia sendiri sudah dengan jujur dan teruka membuktikannya
bahwa pulau itu sudah didiami oleh para nelayan dari Nusantara, yang kemudian
diikuti dengan bukti-bukti ekologi di kawasan itu.
Kedua,
argumentasi Australia terpusat pada analisis mengenai identifikasi yang keliru
mengenai keberadaan Palung Timor yang bukan sebuah parit raksasa yang
memisahkan lempeng Laut Timor dan lempeng Benua Australia secara terpisah.
Palung Timor merupakan sebuah belahan biasa –bagai kubangan– yang berada di
atas lempengan besar, yang itulah kontinen Australia yang di atasnya terletak
Pulau Timor dan Benua Australia.
Dari
kecenderungan aliran minyak yang ada di atas daratan, dan berdasarkan
bukti-bukti di Timor Barat (Masin Lulik, Niola, Kolbano) dan Timor Timur
(Laclubar, Ailiambata) maka hampir pasti bahwa Australia tidak mempunyai
kepentingan dalam proses ekspolitasi potensi minyak di Celah Timor. Tergantung
sekarang pembuktian ilmiah dari proses penelitian-penelitian geologik yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Mestinya
sementara menjadi ajang diskusi dan perdebatan seperti ini, maka sangat bagus
apabila pelbagai kegiatan di sekitar Laut Timor dihentikan sementara, sampai
tercapainya bukti-bukti yang dapat diterima oleh pelbagai pihak secara luas.
Para peneliti yang terlibat di dalam proses pembuktian itu juga harus memiliki
komitmen untuk mencintai ilmu dan setia menjunjung tinggi kebenaran.
Dua tokoh
terkemuka yang sangat kesal dengan berbagai pertemuan bilateral mengenai Laut
Timor adalah Prof Herman Johannes dan mantan Menlu RI Dr Mochtar Kusumaatmadja.
Tentu ada jutaan protes mengenai kebenaran yang diutak-atik bertepatan dengan
mengidentifikasi kepemilikan harta karun di Celah Timor.
George J.
Aditjondro, yang tidak saja berkecimpung di bidang politik, melainkan pemerhati
masyarakat kecil pernah menulis dengan sikap kritis mengenai Laut Timor ketika
ia menulis Tangan-Tangan Berlumuran Minyak. Ia berhasil membagi sejarah
eksplorasi minyak di Laut Timor (darat dan laut sekaligus) dengan membuka tabir
harta karun yang tidak tertandingi di peringkat dunia.
Pertama,
sekitar tahun 1861 Alfred Russel Wallace bertemu seorang insinyur pertambangan
berkebangsaan Inggeris yang melakukan eksplorasi di Timor Portugis. Selain itu
Dr Sellhorst yang menulis tentang laporan ekspedisi geologi di Pulau Timor,
yang kemudian disambung dengan W.A. Duff yang memimpin pengeboran minyak di
Laclubar dan Viqueque di Timor Leste. Tahapan awal ini beakhir pada masa
sebelum Perang Dunia II, di mana terjadi silat politik dengan mengatas-namai
potensi minyak dan gas bumi (akan dilanjutlan dalam tulisan-tulisan mendatang
pada media ini).
Kedua, masa
setelah Perang Dunia II sampai Perjanjian Celah Timor yang masih meninggalkan
persoalan hingga hari ini. Catatan menarik yang diberi Aditjondro adalah
hubungan negosiasi minyak dan gas bumi dengan kepentingan politik di peringkat
nasional. Secara sangat cerdik, Australia menghadang itikad politis Jepang yang
sesungguhnya merasa tertarik di kawasan Timor, di mana kebijakan Negara
Matahari Terbit itu atas Pasifik Barat dimasukan ke dalam Tai Nan’yo Hosaku
Kenkyu Iinkai (Komite Studi Kebijakan untuk daerah Laut Selatan) semenjak tahun
1935.
Komentar yang
dapat dipetik dari berbagai catatan mengenai Celah Timor, betapa Palung Timor
menyimpan banyak potensi minyak dan gas bumi. Jarak waktu antara PD I dan PD
II, dan terlebih setelah PD II, banyak perusahaan minyak dari berbagai Negara
yang berebutan mengadu nasib untuk mencari minyak dan gas bumi di kawasan
tersebut.
Sekarang,
pertanyaan masih tertinggal di benak kita: masih mungkinkah kita meng-klaim
kembali Gugusan Pulau Pasir dan merevisi kembali Perjanjian Celah Timor dengan
mendobrak kapling ladang minyak di Celah Timor atas Zona A, B dan C? Memang
usaha tersebut bukan suatu mimpi di siang bolong, jika kita memahami struktur
persoalan Celah Timor semenjak awal. Memang, tentang Celah Timor, itu bukanya
mimpi hampa, tapi usaha yang cukup beralasan. Persoalan kita adalah membangun
komitmen untuk menyamakan persepsi.
Sumber: Timor
Expres, 7 September 2010
POSTED
BY ANSEL DERI, JURNALIS DAN PENULIS LEPAS AT 3:40 AM
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.