Nelayan Pulau Rote Alih Profesi jadi
Penyelundup Manusia
Tanggal Berita
2013/11/14 13:50:52 | Penulis :
BANDUNG, (PRFM) - Di tengah penurunan harga sirip ikan hiu, nelayan tradisional di Indonesia beralih ke penyelundupan manusia. Generasi demi generasi nelayan di Pulau Rote, Nusa Tengggara, telah memburu ikan hiu di laut Timor.
Namun, akibat menurunnya harga
sirip hiu di Hongkong dan Cina, lingkaran hutang, dan kebijakan maritim
Australia yang makin ketat, banyak dari para nelayan tersebut beralih ke apa
yang mereka lihat sebagai pilihan satu-satunya agar mereka dapat menggunakan
kemampuan mereka mengarungi laut, yaitu menyelundupkan manusia.
Rahman Djalilan bersal dari desa
Papela, Rote. Seperti kebanyakan lelaki lainnya di Papela, sejak beranjak
dewasa Ia telah menjadi nelayan hiu. Tiap tahun Ia berlayar ke selatan dengan
menggunakan angin musim hujan timur ke perairan dekat Ashmore Reef, yang
terletak dekat Darwin, Wilayah Australia Utara.
Biasanya para nelayan menghabiskan
sekitar dua bulan di laut. Mereka tidur di perahu dan menggunakan teknik
pancing long line untuk memburu hiu. Menurut Djalilan, hasil tangkapannya bisa
menghasilkan beberapa ratus dollar, atau beberapa juta rupiah, dalam sebulan.
Namun, pada tahun 2012, harga
sirip hiu turun akibat menurunnya permintaan dari Cina. Ini berdampak
besar bagi para nelayan di Papela, yang terjerat hutang cukup besar.
Djalilan mengaku para nelayan bisa
berhutang hingga puluhan juta rupiah. Bila mendapat banyak sirip pun, mereka
tak bisa membayar hutang, sedangkan saat ini mereka hanya mendapat sekitar 500
ribu atau 400 ribu per bulan.
Maka, tahun ini Djalilan
memutuskan akan mencoba bergerak di bidang penyelundupan manusia. Menurutnya,
resiko menjadi nelayan dan penyelundup manusia sama saja, tapi menjadi
penyelundup manusia bayarannya lebih besar.
Tujuannya menjadi penyelundup
manusia adalah untuk membayar hutangnya pada "bos" sirip hiu, jelas
Djalilan. Namun, usahanya gagal. Mesin kapal reyot dari bos penyelundup manusia
rusak saat perahu tersebut berada di perairan dekat Jawa Barat. Ia kemudian
ditangkap oleh polisi Indonesia dan diberi peringatan. Tak sesen pun Ia
mendapat bayaran.
Banyak di Papela yang mengalami
nasib yang serupa dengan Djalilan. Vanessa Jaiteh, seorang ahli biologi kelautan
dari Murdoch University di Perth, telah menghabiskan tiga bulan di Papela tahun
ini, dan mewawancarai lebih dari 80 nelayan.
"Menurut saya, 80 persen
responden saya mengatakan bahwa mereka mempertimbangkan mengantarkan pencari
suaka ke Australia," jelasnya.
Keputusan menjadi penyelundup
manusia memang mempengaruhi Australia, namun hutang dan kisah Djalilan juga
terkait dengan kebijakan Australia di Laut Timor selama 40 tahun terakhir.
Sejak tahun 1970an, daerah di sekitar daerah terumbu Kepulauan Ashmore dan Cartier, serta Teluk Scott, yang semuanya berada di Laut Timor, diklaim satu persatu oleh Australia sebagai bagian dari perluasan kedaulatan negara menjadi 200 nautical mile (sekitar 370 kilometer) dari pantai.
Pada tahun 1974, Australia menandatangani
MoU dengan Indonesia, yang membolehkan nelayan "tradisional"
Indonesia menangkap ikan di daerah tersebut. MoU ini kemudian dikenal sebagai
"MoU Box."
Namun, mereka tidak boleh
memancing di wilayah daerah terlindung terumbu Ashmore, dan kegiatan menangkap
ikan harus menggunakan "metode tradisional," yang didefinisikan
sebagai memancing dengan teknik long line dari perahu kayu tanpa mesin. Namun,
peraturan ini tidak disukai para nelayan.
Hampir tiap tahun, seorang nelayan
tewas karena cuaca buruk. Tobi Nasrudin ginang, yang dulu juga berprofesi
sebagai nelayan, bercerita bahwa tahun lalu dua anaknya tewas dalam sebuah
badai. Menurutnya, kalau perahu mereka bermotor mereka mungkin bisa selamat.
Namun, Departemen Pertanian
Australia mengatakan bahwa peraturan tersebut membantu membatasi penangkapan
ikan di daerah yang sudah sedikit ikannya, karena tidak ada daftar resmi
"nelayan tradisional." "Meringankan aturan ini akan berakibat tiap
perahu nelayan di Indonesia mendapat akses ke MoU Box."
Saat nelayan tertangkap melanggar
peraturan, hasil tangkapan dan peralatan mereka disita, dan mereka dikenai
denda. Jarang sekali mereka bisa membayar denda tersebut, maka pembayaran
biasanya dilakukan dengan cara menjalani masa tahanan.
Pada pertengahan tahun 2000an,
Angkatan Laut Australia bekerjasama dengan pihak Cukai untuk melakukan
penangkapan besar-besaran terhadap penangkapan ikan ilegal. Menurut Pihak Berwenang Perikanan
Australia, pada tahun 2006, sebanyak 259 perahu Indonesia ditangkap karena
memancing secara ilegal di perairan Australia.
Kebanyakan dari 259 perahu
tersebut dihancurkan. Tahun
lalu, hanya ada 10 perahu yang tertangkap, hingga kebijakan tersebut tampaknya
sukses. Namun, di Papela, ada dampak yang tak diinginkan. Kebanyakan nelayan
Papela tak memiliki kapal atau peralatan memancing sendiri, melainkan dipinjam
dengan cara kredit dari "bos" setempat. Cicilan tersebut dibayar dari
keuntungan menjual sirip hiu. Saat kapal mereka dihancurkan, peralatan mereka
disita dan awak ditangkap, para nelayan tetap harus membayar hutang. Alam pulau Rote tak cocok untuk pertanian, dan
pulau ini merupakan salah satu pulau termiskin di propinsi termiskin di
Indonesia, yaitu Nusa Tenggara Timur.
Meskipun para nelayan bisa
bertahan hidup dengan memancing dekat Rote, namun tidak bisa membayar hutang
dari hasil penangkapan ikan tersebut. Beberapa inisiatif dari pemerintah
Australia mencoba memberi penghidupan lain bagi para nelayan, seperti bertani
rumput laut di pelabuhan Papela. Namun, keberhasilannya terbatas. "Sulit mendapatkan solusi," jelas Vanessa Jaiteh,
"Solusinya harus lebih baik atau setidaknya sebaik menangkap hiu. Dan di
daerah-daerah terpencil ini, di mana akses ke pasar amat sulit, kita tidak bisa
memilih menjalankan turisme." Menurut Departemen Pertanian Australia, "bantuan
paling besar yang bisa kita berikan ke para nelayan tradisional adalah dengan
cara memulihkan dan menangani persediaan ikan yang sehat di MoU
Box.."Namun, sementara itu, nelayan seperti Djalilan merasa tak punya banyak
pilihan. (net)
PENULIS : Drs.Simon
Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.