alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 15 Februari 2015

NELAYAN PULAU ROTE ALIH PROFESI JADI PENYELUNDUP MANUSIA

Nelayan Pulau Rote Alih Profesi jadi Penyelundup Manusia

Tanggal Berita 2013/11/14 13:50:52 | Penulis :



BANDUNG, (PRFM) - Di tengah penurunan harga sirip ikan hiu, nelayan tradisional di Indonesia beralih ke penyelundupan manusia. Generasi demi generasi nelayan di Pulau Rote, Nusa Tengggara, telah memburu ikan hiu di laut Timor.
Namun, akibat menurunnya harga sirip hiu di Hongkong dan Cina, lingkaran hutang, dan kebijakan maritim Australia yang makin ketat, banyak dari para nelayan tersebut beralih ke apa yang mereka lihat sebagai pilihan satu-satunya agar mereka dapat menggunakan kemampuan mereka mengarungi laut, yaitu menyelundupkan manusia. 
Rahman Djalilan bersal dari desa Papela, Rote. Seperti kebanyakan lelaki lainnya di Papela, sejak beranjak dewasa Ia telah menjadi nelayan hiu. Tiap tahun Ia berlayar ke selatan dengan menggunakan angin musim hujan timur ke perairan dekat Ashmore Reef, yang terletak dekat Darwin, Wilayah Australia Utara.
Biasanya para nelayan menghabiskan sekitar dua bulan di laut. Mereka tidur di perahu dan menggunakan teknik pancing long line untuk memburu hiu. Menurut Djalilan, hasil tangkapannya bisa menghasilkan beberapa ratus dollar, atau beberapa juta rupiah, dalam sebulan. 
Namun, pada tahun 2012, harga sirip hiu turun akibat menurunnya  permintaan dari Cina. Ini berdampak besar bagi para nelayan di Papela, yang terjerat hutang cukup besar. 
Djalilan mengaku para nelayan bisa berhutang hingga puluhan juta rupiah. Bila mendapat banyak sirip pun, mereka tak bisa membayar hutang, sedangkan saat ini mereka hanya mendapat sekitar 500 ribu atau 400 ribu per bulan.
Maka, tahun ini Djalilan memutuskan akan mencoba bergerak di bidang penyelundupan manusia. Menurutnya, resiko menjadi nelayan dan penyelundup manusia sama saja, tapi menjadi penyelundup manusia bayarannya lebih besar. 

Tujuannya menjadi penyelundup manusia adalah untuk membayar hutangnya pada "bos" sirip hiu, jelas Djalilan. Namun, usahanya gagal. Mesin kapal reyot dari bos penyelundup manusia rusak saat perahu tersebut berada di perairan dekat Jawa Barat. Ia kemudian ditangkap oleh polisi Indonesia dan diberi peringatan. Tak sesen pun Ia mendapat bayaran. 
Banyak di Papela yang mengalami nasib yang serupa dengan Djalilan. Vanessa Jaiteh, seorang ahli biologi kelautan dari Murdoch University di Perth, telah menghabiskan tiga bulan di Papela tahun ini, dan mewawancarai lebih dari 80 nelayan. 
"Menurut saya, 80 persen responden saya mengatakan bahwa mereka mempertimbangkan mengantarkan pencari suaka ke Australia," jelasnya. 
Keputusan menjadi penyelundup manusia memang mempengaruhi Australia, namun hutang dan kisah Djalilan juga terkait dengan kebijakan Australia di Laut Timor selama 40 tahun terakhir. 

Sejak tahun 1970an, daerah di sekitar daerah terumbu Kepulauan Ashmore dan Cartier, serta Teluk Scott, yang semuanya berada di Laut Timor, diklaim satu persatu oleh Australia sebagai bagian dari perluasan kedaulatan negara menjadi 200 nautical mile (sekitar 370 kilometer) dari pantai.
 
Pada tahun 1974, Australia menandatangani MoU dengan Indonesia, yang membolehkan nelayan "tradisional" Indonesia menangkap ikan di daerah tersebut. MoU ini kemudian dikenal sebagai "MoU Box." 

Namun, mereka tidak boleh memancing di wilayah daerah terlindung terumbu Ashmore, dan kegiatan menangkap ikan harus menggunakan "metode tradisional," yang didefinisikan sebagai memancing dengan teknik long line dari perahu kayu tanpa mesin. Namun, peraturan ini tidak disukai para nelayan. 
Hampir tiap tahun, seorang nelayan tewas karena cuaca buruk. Tobi Nasrudin ginang, yang dulu juga berprofesi sebagai nelayan, bercerita bahwa tahun lalu dua anaknya tewas dalam sebuah badai. Menurutnya, kalau perahu mereka bermotor mereka mungkin bisa selamat. 

Namun, Departemen Pertanian Australia mengatakan bahwa peraturan tersebut membantu membatasi penangkapan ikan di daerah yang sudah sedikit ikannya, karena tidak ada daftar resmi "nelayan tradisional."  "Meringankan aturan ini akan berakibat tiap perahu nelayan di Indonesia mendapat akses ke MoU Box." 
Saat nelayan tertangkap melanggar peraturan, hasil tangkapan dan peralatan mereka disita, dan mereka dikenai denda. Jarang sekali mereka bisa membayar denda tersebut, maka pembayaran biasanya dilakukan dengan cara menjalani masa tahanan. 

Pada pertengahan tahun 2000an, Angkatan Laut Australia bekerjasama dengan pihak Cukai untuk melakukan penangkapan besar-besaran terhadap penangkapan ikan ilegal. Menurut Pihak Berwenang Perikanan Australia, pada tahun 2006, sebanyak 259 perahu Indonesia ditangkap karena memancing secara ilegal di perairan Australia.

Kebanyakan dari 259 perahu tersebut dihancurkan. Tahun lalu, hanya ada 10 perahu yang tertangkap, hingga kebijakan tersebut tampaknya sukses. Namun, di Papela, ada dampak yang tak diinginkan. Kebanyakan nelayan Papela tak memiliki kapal atau peralatan memancing sendiri, melainkan dipinjam dengan cara kredit dari "bos" setempat. Cicilan tersebut dibayar dari keuntungan menjual sirip hiu.  Saat kapal mereka dihancurkan, peralatan mereka disita dan awak ditangkap, para nelayan tetap harus membayar hutang. Alam pulau Rote tak cocok untuk pertanian, dan pulau ini merupakan salah satu pulau termiskin di propinsi termiskin di Indonesia, yaitu Nusa Tenggara Timur. 

Meskipun para nelayan bisa bertahan hidup dengan memancing dekat Rote, namun tidak bisa membayar hutang dari hasil penangkapan ikan tersebut. Beberapa inisiatif dari pemerintah Australia mencoba memberi penghidupan lain bagi para nelayan, seperti bertani rumput laut di pelabuhan Papela. Namun, keberhasilannya terbatas. "Sulit mendapatkan solusi," jelas Vanessa Jaiteh, "Solusinya harus lebih baik atau setidaknya sebaik menangkap hiu. Dan di daerah-daerah terpencil ini, di mana akses ke pasar amat sulit, kita tidak bisa memilih menjalankan turisme." Menurut Departemen Pertanian Australia, "bantuan paling besar yang bisa kita berikan ke para nelayan tradisional adalah dengan cara memulihkan dan menangani persediaan ikan yang sehat di MoU Box.."Namun, sementara itu, nelayan seperti Djalilan merasa tak punya banyak pilihan. (net)


PENULIS : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.