Peristiwa Tiga Orang Petugas dari KKP
Ditangkap Oleh Polisi Perairan Malaysia
———————–
Masih di tahun 2010, didalam sebuah laporan yang ditulis oleh Diandra Megaputri Mengko pada sebuah situs online Gagasan Hukum
melaporkan bahwa,
Insiden ‘pelanggaran’ wilayah perbatasan laut
Indonesia-Malaysia yang terjadi di kawasan perairan Provinsi Kepulauan Riau
sebenarnya sudah bukan yang pertama bagi Indonesia. Setiap tahunnya, Angkatan
Laut Indonesia selalu melaporkan mengenai adanya ‘pelanggaran perbatasan’ yang
dilakukan negara tetangga ini. Walaupun demikian, seharusnya dapat kita cermati
kembali penggunaan kata ‘perbatasan’ dan ‘pelanggaran’. Kedua kata tersebut
seharusnya ditempatkan kembali ke dalam posisi yang tepat dengan melihat aspek
legal dan fakta di dunia serta kondisi di dalam negeri.
International Boundaries Research Unit (IBRU)
di Universitas Durham mengidentifikasi bahwa dewasa ini masih terdapat ratusan
perbatasan maritim internasional yang belum disepakati negara-negara yang
berbatasan. Walaupun banyak di antara pertentangan tersebut hanya berlangsung
pada tataran diplomasi, tidak tertutup kemungkinan hal itu memburuk dan
terekskalasi menjadi konflik bersenjata. Masalah perbatasan antarnegara
merupakan ancaman yang konstan bagi perdamaian dan keamanan internasional
karena menyangkut kedaulatan yang sifatnya sering kali tidak dapat
dinegosiasikan (non-negotiable), konflik teritorial ini tergolong pertentangan
yang paling sulit dipecahkan.
UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the
Law of the Sea) merupakan upaya dunia untuk menyatukan persepsi tentang
penetapan batas laut beserta hak negara pantai pada setiap kawasannya. Kawasan
ini dibagi menjadi kawasan laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi
eksklusif, dan landas kontinen. Lebar wilayah dari setiap kawasan ini
ditentukan secara maksimal pada konvensi ini (Contoh: maksimal 200 mil untuk
penerapan zona ekonomi eksklusif). Penentuan lebar batas secara maksimal ini
kerap dimanfaatkan negara-negara pantai untuk melakukan klaim wilayah secara
maksimal pula.
Apabila terdapat batas kurang dari yang telah ditentukan
sebagaimana kesepakatan internasional, penyelesaiannya akan dilakukan melalui
perundingan kedua belah pihak. Pada titik inilah permasalahan perbatasan
menjadi kompleks, karena kerap ada negara-negara yang lebih memilih untuk tidak
bersedia merundingkan, dan mengklaimnya secara sepihak.
Ketidakjelasan dalam perbatasan laut ini akan
memperbesar peluang munculnya insiden-insiden konflik ‘pelanggaran perbatasan’
seperti yang sebelumnya sudah sering terjadi. Seperti pepatah yang menyatakan
bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena adanya niat, melainkan juga adanya
kesempatan. Bagaimana kita dapat bersepakat bahwa ada yang melanggar perbatasan
apabila batas kedua negara pun belum ada?
Di dalam konteks perbatasan laut,
Indonesia-Malaysia memiliki permasalahan perbatasan yang belum disepakati di
empat kawasan. Yakni, Permasalahan klaim tumpang tindih wilayah zona ekonomi
eksklusif di kawasan Selat Malaka bagian utara (Peta sepihak Malaysia 1979),
belum ditetapkannya garis laut teritorial di kawasan Selat Malaka bagian
selatan, belum ditetapkannya wilayah zona ekonomi eksklusif di kawasan Laut
China Selatan, dan klaim Malaysia pada wilayah Ambalat di kawasan Laut Sulawesi
(setelah Kasus Sipadan-Ligitan).
Kondisi ‘perbatasan tanpa batas’ yang sudah
dibiarkan mengambang selama 65 tahun Indonesia merdeka ini akan terus menjadi
bumerang bagi Indonesia dan Malaysia. Hal ini sudah tentu dapat menjadi potensi
konflik yang besar bagi hubungan Indonesia dan Malaysia apabila tidak
diselesaikan, terlebih berada di beberapa kawasan yang krusial karena keempat
kawasan tersebut tidak saja terkait dengan permasalahan kedaulatan, tetapi juga
nilai ekonomi seperti jalur perdagangan, perikanan, dan sumber daya alam.
Sementara itu bagi pihak Indonesia sendiri
selalu berusaha menempatkan posisi lebih mengedepankan upaya diplomasi yang
lebih dikenal dengan istilah ‘diplomasi serumpun’
dengan Malaysia. Sebelum berangkat lebih jauh, penulis berpendapat bahwa
Indonesia tidaklah serumpun dengan Malaysia, karena Indonesia memiliki berbagai
kelompok etnik dari Sabang sampai Merauke, yang cukup banyak tidak terkait dengan
rumpun Malaysia. Dengan demikian, lebih tepat apabila kita sebut istilah
‘diplomasi serumpun’ menjadi upaya diplomasi saja yang dilakukan sebagai upaya
penyesuaian, yakni penghindaran konflik senjata dengan Malaysia.
Malaysia kerap melakukan provokasi-provokasi
yang mengarah kepada konflik fisik seperti yang terjadi pada kawasan Laut China
Selatan dan Laut Sulawesi. Pada kondisi ini, Indonesia cenderung bersifat
reaktif terhadap aksi-aksi mereka. Hal ini menunjukkan kelemahan Indonesia
yaitu suatu kecenderungan bertindak setelah terjadinya suatu isu di kawasan.
Padahal sebetulnya, setelah isu tersebut berkembang, penyelesaian permasalahan
perbatasan akan semakin rumit.
Hal seperti ini sebetulnya dapat dihindari
apabila Indonesia telah menyelesaikan permasalahan perbatasan sebelum suatu isu
menjadi besar. Pun, apabila telah dilakukan jauh sebelumnya, peluang pencapaian
kesepakatan dalam ruang negosiasi juga masih besar. Sudah sepatutnya Indonesia
mulai memberikan konsentrasinya pada permasalahan perbatasannya sebagai
‘ancaman yang konstan terhadap kedaulatan’.
Upaya penyesuaian perbatasan dapat dimulai
dari kawasan yang tidak atau kurang memiliki isu hangat, misalnya kawasan Selat
Malaka bagian selatan, tempat Malaysia dan Indonesia masih terbuka untuk melakukan
pembicaraan mengenai perbatasan wilayah ini karena isu-isu yang terkait masih
sangatlah rendah.
Sikap Malaysia yang cenderung menunda-nunda
pembicaraan permasalahan perbatasan pada kawasan lainnya pada akhirnya akan
merugikan pihak Indonesia. Perlu kita cermati dengan seksama sesungguhnya
alasan di balik penundaan yang dilakukan Malaysia ini.
Penggunaan instrumen diplomasi di dalam
penyelesaian permasalahan perbatasan tidaklah cukup. Indonesia harus dapat
melakukan upaya diplomasi total yang dikombinasikan dengan upaya secara
politik, ekonomi, sosial budaya, ataupun militer secara bersamaan untuk terus
mendorong Malaysia agar mau mempercepat proses negosiasi perbatasan di antara
kedua negara sebelum isu atau permasalahan lain berkembang dan kondisi semakin
rumit.
Apabila sebelumnya ada pernyataan bahwa
Indonesia tidak dapat ‘membayar’ kondisi perang dengan Malaysia karena akan
menyebabkan perkembangan ekonomi Indonesia terhambat, pertanyaan selanjutnya
apakah kita lebih memilih ‘membayar’ kondisi ketidakjelasan batas dengan harga
insiden-insiden yang terjadi ?. (Media
Indonesia, 31 Agustus 2010)
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian
Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.