SENGKETA PULAU PASIR
Ketika Bangsa Bahari Tak Peduli
Laut
HARI Kamis
(7-4-2005),
Ahmad Pelo
(29), nelayan asal Papela, Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara
Timur, melaut bersama lima awak kapal layar Titian II di Laut Timor. Akan tetapi,
baru saja berlayar l mil meninggalkan Pulau Pasir menuju Borselan (9/4),
datanglah kapal perang Angkatan Laut Australia.
Mereka
ditangkap karena dituduh memasuki perairan zona ekonomi eksklusif Australia.
Perahu mereka ditarik kedekat Darwin Australia Utara, dan disana sudah ada dua
perahu dengan l8 awak. Menurut Pelo ketiga perahu itu dibakar oleh petugas
perikanan Australia (Australian Fisheries Managemen Outhority/AFMA), yang
menyebabkan Hok Soen Heng, salah seorang pemilik kapal yang saat itu berada
didalam kapal, menderita luka bakar.
Namun, tiap
AFMA ketika dimintai klarifikasi oleh Kedutaan Besar RI di Canbera menyangkal
semua itu. Menurut pihak AFMA, aparat Australia tidak terlibat dalam kegiatan
pembakaran atas tiga kapal itu. Malah kapal Sundi Jaya yang dinakodai Hok Soen
Heng hingga kini masih berlabu dipelabuhan Darwin. Konsulat RI di Darwin telah
melakukan verifikasi dipelabuhan Darwin dan menyaksikan kapal Sundi Jaya masih
dalam keadaan baik serta tidak memiliki tanda-tanda kebakaran.
Demikian
siaran pers Kedutaan Besa RI di Canbera, Australia hari kamis (26/5). Pelo
bersama nelayan lainnya dideportasi, kembali ke kampungnya melalui Denpasar dan
Kupang, ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pengalaman ditangkap petugas
Australia saat mencari ikan di Laut Timor itu merupakan pengalaman yang ketiga
kalinya.
Pertama,
terjadi pada tahun 2002 dan kedua tahun 2003. “Tetapi pengalaman paling tragis
bagi saya justru terjadi pada penangkapan yang ketiga ini”, operasi penangkapan
nelayan tradisional Indonesia di laut Timor oleh Australia atas tuduhan
memasuki zone ekonomi eksklusif (ZEE)” negara itu sebenarnya sudah memasuki
usia 31 tahun. Penangkapan besar-besaran yang dimulai l974 itu masih terus
berlangsung hingga hari ini. Diperkirakan sudah ribuan nelayan ditahan,
disekap, dan dipenjara, lalu dideportasi.
Masalah
penangkapan nelayan oleh patroli Australia, menurut kajian pemerintah bisa
disebabkan 3 faktor.
Pertama, ada
persoalan ekonomi dibalik kegiatan nelayan Indonesia yang memasuki wilayah
negara itu, serta ada cukong-cukong yang membiayai dengan iming-iming
pendapatan yang besar.
Kedua,
nelayan-nelayan itu memang tidak tahu dimana batas-batas wilayah laut Indonesia
karena umumnya kapal-kapal nelayan tradisional tidak dilengkapi perangkat
petunjuk posisi atau Global Positioning System (GPS), Sonar, dan sebagainya.
Ketiga,
kemungkinan karena bencana alam, seperti badai sehingga mereka terbawa
kewilayah perairan Australia.
Dari ketiga
faktor itu, menurut juru bicara Luar Negeri Yuri Thamrin, kebanyakan kapal yang
ditangkap bukan kapal nelayan tradisional meski kapal mereka tidak dilengkapi
GPS seperti umumnya kapal nelayan tradisional.
Setelah ditelusuri lebih jauh, diduga kuat ada motif-motif ekonomi yang
membuat beberapa nelayan, “ memasuki wilayah laut Australia”. Umumnya ikan yang
menjadi buruan nelayan-nelayan itu adalah ikan hiu yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi. Ikan jenis-jenis ini memang lebih banyak terdapat diwilayah
perairan Australia. “Pulau Pasir atau Ashmore Reef itu dalam catatan kita sejak
zaman Belanda pun adalah milik Inggris, tidak pernah menjadi milik kita”, tutur
Yuri menjelaskan.
Komentar
Penulis, (Sdr: Yuri : Anda hanya punya
pengetahuan
berdasarkan
data sepihak dari pihak Australia saja,
tetapi supaya
pemberitaannya
seimbang , maka telusuri juga sejarah orang Rote dengan Pulau Pasir baru
bicara—jangan menjadi terompet Australia dong).
Katanya
penjelasan mengenai batas-batas wilayah itu sudah dilakukan oleh Departemen
Kelautan dan Perikanan dengan dukukngan dari Depatemen Luar Negeri. Namun,
diduga kuat atas sejumlah cukong yang “memperalat” para nelayan, membiayai
mereka untuk berburu hiu hingga keselatan laut Timor. Dalam beberapa pertemuan
awal, pihak Australia sudah menghasilkan suatu kegiatan bersama RI-Australia
dalam penyebarluasan informasi mengenai wilayah-wilayah kedua negara dan
menyediakan mata pencaharian alternatif bagi nelayan, sehingga tidak “berjudi”
mencari hiu hingga ke wilayah Australia. Namun, hingga kini belum ada upaya
perlindungan terhadap nelayan tersebut.
“Penangkapan
para nelayan itu sekaligus juga mengesankan kita tidak serius menangani
persoalan perbatasan”, kata Bernando Seran, putra kelahiran Timor Barat,
Kandidat Doktor pada program studi Ilmu Hukum Internasional di Universitas
Gajah Mada, Jogjakarta. Hal yang sama diungkapkan Dhey Wego Tadeus, Master Ilmu
Hukum Internasional di Universitas Nusa Cendana Kupang.
Dilihat dari
Konvensi Hukum Laut Internasional, sebenarnya tidak ada larangan bagi nelayan
tradisional mencari ikan di laut lepas, termasuk dilaut Timor. BATAS wilayah
negara sebenarnya sudah ditetapkan saat kita memperjuangkan Wawasan Nusantara
pada l957-l982.Setelah Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Covention on The
Law of The Sea/ UNCLOS) berlaku karena jumlah negara yang meratifikasi sudah
mencapai 60 negara pada tahun l994, Indonesia justru kendur.
“Yang
sekarang kerap menjadi masalah bukan batas wilayah, kecuali dengan Timor Leste,
batas-batas laut wilayah/teritorial kita sudah jelas, tetapi batas hak-hak berdaulat
“, ungkap ahli Hukum Laut Internasional, Prof.DR.Hasyim Djalal. Dengan
Australia ada masalah-masalah batas-batas atas hak berdaulat atas kekayaan alam
dan pemeliharaan lingkungan laut.
Terdapat dua
aspek yang terkait dengan hak-hak tersebut, yakni,
---batas
dasar laut dan
---batas zona
ekonomi eksklusif.
Penentuan
batas dasar laut dengan Australia sudah diselesaikan tahun l970-an dan sudah
diratifikasi. Batas laut ini lebih menjorok kewilayah pantai Indonesia karena
keadaan topografi, geologi, dan geomorfologi dasar laut yang memang lebih
menguntungkan Australia.
Setelah
Timor-Timur berintegrasi ke Indonesia, batas Australia dengan Timor-Timur yang
ketika itu menjadi bagian dari Indonesia sempat dipersengketakan, kemudian
dijadikan zona pengembangan bersama. Setelah Timor-Timur berdiri sebagai
negara, sampai saat ini kawasan di Celah Timor itu masih dipersengketakan
Australia dengan Timor-Timur.
Ketika batas
dasar laut Indonesia dengan Australia ditetapkan, ZEE belum dikenal dalam hukum
internasional. ZEE baru ada setelah konvensi PBB tentang Hukum Laut l982
diratifikasi. Masalahnya sampai saat
ini belum ada batas-batas ZEE bilateral
Indonesia dengan negara-negara tetangga yang diratifikasi. Satu-satunya batas
ZEE yang sudah selesai dirundingkan adalah dengan Australia. Ironisnya, meski
batas ZEE dengan Australia sudah disepakati tahun l974, Indonesia belum
meratifikasi kesepakan itu dengan aturan didalam negeri sahingga berketetapan
hukum. Dengan Malaysia, Thailand dan negara-negara tetangga lainnya, ZEE bahkan
belum dirundingkan.” Batas ZEE menyangkut kewenangan atas kekayaan alam, bukan
wilayah, sehingga seharusnya bisa diratifikasi tanpa perlu dibawa ke DPR.
Misalnya cukup dengan Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah”, ujar
Hasyim Djalal.
Kesepakatan
PBB tentang Perikanan di laut bebas tahun l995 juga sudah ditanda tangani,
tertapi juga belum diratifikasi. Akibatnya secara legal teknis, juridis,
mestinya kesepakatan itu belum berlaku namun, secara poletis dalam konteks
hubungan baik bertetangga, diharapkan kesepakatan itu tentu menjadi
pertimbangan dan diperhatikan. “ Ibarat pasangan yang sudah bertunangan tetapi
belum meresmikan hubungan melalui pernikahan, sehingga belum diikat secara
legal.
Saya
prihatin. Kenapa belum diratifikasi walaupun sudah bertahun-tahun
ditandatangani”, katanya. Kenapa perundingan batas ZEE dan ratifikasi yang
merupakan kelanjutan dari kesepakatan hasil perundingan tak kunjung dilakukan
Indonesia ? Hambatan prosedur admisitratif sering jadi alasan siapa yang harus
mengurus dan memulai proses ratifikasi?
---Sekretariat
Negara,
---Departemen
Luar Negeri, Atau
---Departemen
Teknis yang terkait ?
Bagaimana
prosesnya, apakah cukup pemerintah saja atau harus dibawa ke DPR.
Sekarang ada
UU tentang Perjanjian Internasional No.24 tahun 2000. Negara ini dikelilingi
oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, tetapi negeri ini tidak ikut aktif
dalam konvensi regional yang merupakan pengejawantahan Konvensi PBB tentang
Hukum Laut tahun l982. Dalam Komisi Tuna di Samudra Hindia, Malaysia, China,
Korea Selatan, Thailand, bahkan Uni Eropa menjadi anggota, sementara Indonesia
hanya jadi peninjau.
Konvensi
Regional di Samudra Pasifik yang tidak diikuti Indonesia, sementara
negara-negara lain berusaha keras ikut mengatur laut orang lain, kita bahkan
tidak mengurus laut kita sendiri”.
Negeri ini
pernah sangat gigih memperjuangkan Wawasan Nusantara agar diakui dunia
internasional. Namun, begitu didapat, kita tidak gigih lagi untuk memelihara
dan memanfaatkannya. Memang menyakitkan kalau dikatakan begitulah kerakter
bangsa ini. (CAL/OKI/DAY?DMU-Kompas, 28-05-2005)
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.