alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 22 Februari 2015

TAHUN-TAHUN PATOKAN SEBAGAI DASAR KEPEMILIKAN PULAU PASIR (ASHMORE REEF) OLEH MASYARAKAT ADAT SUKU ROTE/NDAO

Tahun-Tahun Patokan Sebagai dasar Pemelikan Pulau Pasir
Oleh Masyarakat Adat Suku Rote  Ndao sbb:

Masyarakat Adat Suku Rote telah lebih dahulu mewarisi Pulau Pasir jauh sebelum tahun 1522 (saat Pelaut Antonio Pigafetta menemukan Pelabuhan Papale di Rote Timur-NTT). Kolonial Belanda  telah menguasai terlebih dahulu pulau Pasir sejak awal ditanda tanganinya “Perjanjian Kontrak Dagang” antara VOC dengan raja-raja Rote, tahun 1662, l690, l700 dan l756). Pada tahun 1600 Pulau Pasir telah diberi nama Pulau Dato I, Dato II, Dato III, (Solokaek) sesuai nama penemunya Dato seorang tokoh Adat Masyarakat Suku Rote. Namun nama julukan pulau-pulau itu dalam bahasa Rote di sebut “Solo Kaek”
Data lain yang dapat dikemukakan disini  adalah sebuah surat yang ditulis pada tahun 1751 dari seorang petugas kompeni (Doane=Bea Cukai) di Kupang kepada Gubernur Jenderal di Batavia seperti dijelaskan di atas, adalah setelah VOC mengadakan Perjanjian Kontrak Dagang antara Raja-raja Rote dengan Belanda di tandatangani. Sedang pada tahun 1751 tersebut diatas Inggris belum menemukan Benua Australia.
Jika dihitung dari tahun 1522, saat Pelaut Portugis menemukan Pulau Rote, maka  berarti setelah 266 tahun kemudian, Inggris baru menemukan Australia, yang saat itu benua itu pun telah diberi nama lebih dahulu oleh orang Rote dengan sebutan  Pulau MAREGE (hitam) , karena penduduk asllinya berkulit hitam pekat).
Apabila dihitung dari saat Raja-raja Rote menandatangani Perjanjian Dagang dengan VOC yaitu tahun 1662, atau setelah 126 tahun kemudian , Inggris baru menemukan Australia.
Jika dihitung dari saat pertama kali Pulau Pasir (Pulau Dato 1, Dato 2, dan Dato 3, (Solo Kaek) sebutan untuk ketiga gugusan pulau itu) yang diberi nama  oleh seorang tokoh adat masyarakat Rote  sesuai namanya sendiri pada tahun 1600, maka berarti setelah 188 tahun kemudian , Inggris baru menemukan Australia.
Jika dihitung dari tahun seorang petugas Bea dan Cukai (Doane Belanda) menulis surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia (Jakarta) pada tahun 1751, maka berarti setelah  37 tahun kemudian  Inggris baru menemukan Australia.
Padahal sesungguhnya jauh sebelum tahaun 1522, Nelayan tradisional Pulau Rote telah menguasai Pulau Pasir.
Pada tahun 1811, Kapten Ashmore meliwati gugusan pulau Pasir, dan kemudian diberi nama baru sesuai namanya yaitu “Ashmoro Reef). Atau 211 tahun setelah pulau itu di beri nama lebih dahulu oleh Suku Rote.
Dari selisih jumlah tahun hingga ratusan tahun lamanya tersebut diatas, adalah merupakan  bukti kuat, bahwa Gugusan Pulau Pasir adalah “Tanah Adat Hak Ulayat Masyarakat Suku Rote, tidak bisa dibantah oleh siapapun juga.
 Jadi Inggris memasukkan kedalam Ashmoro and Cartier Act  baru pada tahun l933, Pada tahun 1942 wilayah tersebut berada di bawah Adminidtrasi Negara Bagian Australia Barat yang kemudian menjadi Northem Teritory  hingga tahun 1978.adalah sangat jauh terlambat mengklaim pulau Pasir ke dalam wilayah Australia, dibanding dengan tahun-tahun pemilikan oleh Masyarakat Adat Suku Rote yang disebutkan diatas sehingga klaim tersebut tidak syah.

Kalau orang Inggris (Kapten Cook) di Benua Eropa yang jaraknya ribuan mil laut jauhnya bisa menemukan Benua Australia 1788,  akan jauh lebih meyakinkan,  bahwa Suku Rote dengan para nelayan tradisionalnya telah berabad-abat lamanya telah menguasai Pulau Pasir jauh sebelum tahun-tahun 1522, 1600, 1662, 1690, 1700, 1751 adalah masuk akal,  karena jaraknya hanya sekitar 60 Km dari Pantai Pulau Rote. Setelah l978 wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal. Secara hukum, pengakuan Australia terhadap kepemilikan atas Pulau Pasir (Ashmore Reef-Cartier Reef) baru ditetapkan pada tahun l933 dan tahun l942, maupun melalui MOU l974 dan seterusnya, tidak berdasar sama sekali dan lebih bersifat pengakuan sefihak oleh Australia.
Ini berarti Australia telah dengan sengaja menghapus sejarah kepemilikan tradisional Masyarakat adat Suku Rote dalam mencaplok Pulau Pasir menajadi wilayah perairannya secata tidak syah.

7. ..Indonesia patut menolak semua argument Australia soal Pulau Pasir.
Dalam kepustakaan Belanda tentang Pulau Rote tercatat dalam sebuah buku yang berjudul (“Timor Book” 1744) suatu kumpulan tulisan tentang Pulau Rote oleh VOC. Raja Tie (Rote) juga telah mendapat tongkat kehormatan dari VOC bertahun 1720 berlambang VOC seperti terlihat (pada foto di atas). Pergaulan raja-raja Rote dengan VOC pada waktu itu telah berjalan lancer termasuk penguasaan Belanda atas Pulau Pasir terhitung tahun-tahun yang disebut di atas.
Dengan demikian Claim Australia atas pulau-pulau tersebut  jauh sesudah tahun 1522 tidak berdasar sama sekali. “Timor Book” ini juga banyak memiliki  data tentang Pulau Rote yang juga menjadi referensi penulisan  buku al. Prof.Dr.James J. Fox maupun oleh  Geoffry Parker dalam bukunya The World An Ilustrted History tentang Raja-raja Rote
.Sekretaris Dewan Maritim Indonesia Dr Chandra Motik Yusuf Djemaat, SH, M.Sc juga pernah berbicara soal masalah tapal batas dan status pulau-pulau tak berpenghuni di NTT dalam sebuah diskusi di Jakarta yang dihadiri sejumlah anggota DPR asal NTT, wartawan, dan sejumlah undangan yang kebanyakan masyarakat NTT yang tinggal di Jakarta…..

 …..Diskusi bertajuk “Menggugat Keberadaan Cela Timor dan Gugusan Pulau Pasir” itu dilaksanakan di Gedung Makatri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) RI Kalibata, Jakarta beberapa waktu lalu.
Saat itu, Chandra Motik mendesak Pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri agar menanggapi aspirasi masyarakat Timor Bagian Barat sehubungan status Pulau Pasir yang terletak sebelah selatan Pulau Rote yang kini “dimiliki” Australia.

Pasalnya, menurut pakar hukum laut internasional ini, bila tidak ditanggapi maka pulau tersebut akan mengalami nasib serupa Sipadan-Ligitan. Kasus Pulau Pasir, ujarnya, merupakan bukti lemahnya diplomasi Indonesia.
Padahal, dari segi politis, klaim itu mengenyampingkan fakta historis dan hukum yang sudah turun-temurun.
Oleh karena itu keberadaan pulau itu terus diperjuangkan.
Menurut Chandra Motik, adanya tumpang tindih klaim perbatasan antara Indonesia dengan Australia bertolak dari pemahaman atas sumber atau teori hukum.

Dikatakan, Indonesia menggunakan prinsip garis tengah (median line) sedangkan Australia bersumber pada teori perpanjangan alamiah (natural prolongation).
Padahal, fakta sejarah jelas bahwa masyarakat Rote sudah bertahun-tahun mencari nafkah guna mempertahankan hidupnya di Pulau Pasir jauh sebelum orang Australia datang ke pulau itu.
Di pulau ini pula ditemukan peninggalan nenek moyang masyarakat Rote berupa keramik atau guci dari tanah liat dan sebagianya. Hal ini membuktikan, masyarakat Rote sudah hidup bertahun-tahun di Pulau Pasir.
Tahun 1974 Pemerintah RI meneken nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU) dengan Pemerintah Australia yang menjelaskan bahwa pulau itu adalah milik Australia.
Kenyataan ini, menurut Chandra Motik, berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
Buktinya para nelayan Pulau Rote menggunakan pulau itu untuk mencari hasil laut. Sayangnya, dalam perjalanan waktu Australia benar-benar mengkalim pulau itu menjadi miliknya sehingga mendirikan sebuah cagar alam di pulau itu.
Chandra Motik menyayangkan sikap Deplu RI yang gegabah meneken MoU dengan Australia tanpa melihat kondisi riil di lapangan.
Ada fakta lain menunjukkan, kehadiran para nelayan tradisional yang melakukan aktivitas di wilayah itu sering ditangkap, ditembaki, dan dibakar peralatan penangkapan ikan bahkan dipenjara di Australia.
Ia mengharapkan agar Pemerintah RI melalui Deplu meninjau kembali MoU yang pernah dilakukan tahun 1974. Ini harus dilakukan seiring dengan membaiknya suhu politik setelah Timor Leste menjadi sebuah negara merdeka.
Kondisi politik yang berubah ini memberikan peluang dan hak bagi Indonesia untuk membatalkan MoU tersebut. Namun, hal ini juga harus mendapat dukungan politik DPRD NTT, DPR RI, Pemerintah Provinsi dan masyarakat NTT agar mendesak pihak Deplu RI untuk mengubah pola berpikir karena kesepakatan yang telah dibuat tidak melihat kondisi riil di lapangan……


Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.