Kamis, 07 April 2011
Timor Gap Treaty 1989 dan Implikasinya bagi
Timor Timur
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pada tanggal
27 Agustus 1975, di tengah pertempuran antara kelompok yang Pro Indonesia
dengan Fretilin, gubernur Portugal berserta stafnya, para dokter dan anggota
militer secara diam-diam meninggalkan Dili di tengah malam menuju ke pulau
Atauro di lepas pantai Timor, di mana mereka tinggal sampai bulan Desember
1975, sebelum bertolak ke Portugal. Sejak Agustus 1975 tidak ada lagi
pemerintahan Portugal. Penyerahan kekuasaan tidak pernah diadakan, dekolnisasi
tidak pernah diselesaikan.
Intervensi
militer Indonesia, bersama-sama dengan penolakan Portugal untuk kembali,
memaksa Fretilin untuk memproklamasikan Republik Demokrasi Timor Leste pada
tanggal 28 Nopember 1975. Pada hari berikutnya, 29 Nopember 1975, partai UDT
dan Apodeti mengadakan Deklarasi
Balibo sebagai tindakan balasan. Peperangan besar-besaran
berlanjut selama empat tahun, 1975-1979.
Pada tanggal
31 Mei 1976 suatu 'Tindakan Integrasi' diadakan di Dili. Pemerintah sementara
menyelenggarakan suatu sidang Majelis Rakyat Regional, di mana 28 orang
delegasi yang ditunjuk dalam suatu upacara singkat menandatangani suatu petisi
yang meminta Soeharto untuk memberikan integrasi.
Akhirnya pada tanggal 17 Juli
1976, Presiden Soeharto menandatangani Rancangan Undang-undang Integrasi yang
secara aklamasi disetujui oleh Parlemen dua hari sebelumnya, yang secara resmi
memasukkan Timor Leste ke dalam wilayah Indonesia sebagai propinsinya yang ke
27.
Kini, setelah
20 tahun berlalu, bangsa Indonesia sedang dilanda krisis multi dimensional.
Selama kurun waktu tersebut banyak upaya-upaya dari pihak-pihak yang pro
kemerdekaan Timor Leste untuk tetap memisahkan diri dari Indonesia.
Penantian
mereka ini menuai hasil ketika presiden BJ. Habibie memberikan peluang
diadakannya referendum setelah melihat Timor Leste penuh gejolak.
Berdasarkan
hasil jajak pendapat rakyat Timor Leste yang diselenggarakan pada tanggal 30
Agustus 1999, yang kemudian hasilnya diumumkan pada tanggal 4 September 1999, tujuh
puluh sembilan persen (79%) rakyat Timor Leste lebih memilih opsi yang kedua
daripada opsi yang pertama.
Dengan kata lain, rakyat Timor Leste lebih
menghendaki adanya pemisahan dari Indonesia atau berkeinginan untuk merdeka,
daripada diberikan status khusus dengan otonomi
luas. Berdasarkan hasil jajak pendapat inilah maka Kemudian
Timor Leste mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2000.
Bersandar
pada konsepsi hukum internasional, lahirnya sebuah negara sebagai negara baru
yang memisahkan diri dari negara asalnya (baca: suksesi negara), secara
fundamental akan memberikan dua konsekuensi yuridis.
Yaitu, pertama bahwa
negara baru memiliki kedaulatan penuh atas seluruh wilayahnya yang baru, dan
konsekuensi yang kedua adalah
bahwa negara lama telah kehilangan kedaulatannya atas wilayah negara yang baru.
Dari kedua konsekuensi yuridis tersebut kemudian lahirlah
konsekuensi-konsekuensi yuridis lainnya. Yaitu, seperti hutang-hutang negara
lama, arsip-arsip, pengakuan dan keterikatan negara baru tersebut pada
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh negara lama. Artinya,
akan muncul sebuah pertanyaan tentang sampai dimanakah tanggung jawab,
wewenang, dan atauketerikatan negara baru terhadap beberapa konsekuensi
tersebut akibat adanya suksesi negara.
Beberapa
konsekuensi tersebut akan dihadapi pula oleh Timor Leste sebagai negara baru
yang memiliki kedaulatan penuh atas seluruh wilayahnya, dan Indonesia yang
telah kehilangan kedaulatannya atas wilayah Timor Leste. Hal ini disebabkan
bahwa pada prinsipnya yang menjadi persoalan utama di dalam suksesi negara
adalah adanya peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara yang kehilangan
identitasnya kepada entitas lain yang menggantikannya.
Pada
tanggal 11 Desember 1989 telah terjadi kesepakatan antara Indonesia Australia
mengenai zona kerjasama di daerah antara Provinsi Timor Timur dan Australia
bagian Utara, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Lahirnya
perjanjian ini diawali dari belum adanya kesepakatan yang jelas mengenai batas
landas kontinen antara Indonesia dan Australia, khususnya di daerah selatan
Timor Timur (celah Timor), padahal di daerah tersebut terdapat kekayaan alam
yang berupa minyak bumi dan gas.[1] Agar
tidak mengganggu hubungan bilateral yang baik antara kedua negara tersebut dan
untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di celah Timor, maka
kemudian kedua negara sepakat untuk membuat perjanjian yang mengatur masalah
pemanfaatan sumber daya alam di daerah tersebut.
Inti
dari perjanjian tersebut antara lain mengatur mengenai pembagian hasil atas
pemanfaatan gas dan minyak bumi di celah Timor tersebut. Di dalam perjanjian
tersebut juga disepakati bahwa besar bagian masing-masing negara dari
keuntungan yang diperoleh atas pengelolaan minyak bumi dan gas di daerah
tersebut adalah 50 : 50, dengan kata lain, Indonesia dan Australia saling
membagi keuntungan dari hasil yang diperoleh dengan prosentase sebesar 50%
untuk Indonesia dan 50% untuk Australia.[2]
Karena
saat ini Timor Leste telah merdeka, maka perjanjian 1989 tentang zona bersama
tersebut dianggap akan merugikan Timor Leste, khususnya menyangkut pembagian royalty atas
pemanfaatan sumber daya alam yang ada di celah Timor. Sehingga akhirnya Timor
Leste memilih ingin merubah perjanjian tersebut, dengan alasan bahwa
berdasarkan azas titik tengah sebagaimana yang dianut dalam Konvensi Wina 1982
tentang Hukum Laut, salah satu cadangan gas yang terbesar yaitu, Bayu Undan
akan berada sepenuhnya di wilayah Timor Leste. Dan bila azas titik tengah ini
diperpanjang ke arah Timur dan Barat melampaui zona bersama, maka Timor Leste
akan memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi.[3]
Untuk
mempertajam analisis terhadap permasalahan suksesi negara di Timor Leste,
khususnya mengenai beberapa konsekuensi yuridis yang akan dihadapi oleh Timor
Leste sebagai negara baru. Maka tulisan ini secara khusus akan membahas
mengenai suksesi negara Timor Leste dalam kaitannya dengan perjanjian
internasional yang telah atau pernah dibuat oleh Indonesia, khususnya mengenai
Timor Gap Treaty 1989.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
mengenai suksesi negara dalam kaitannya dengan perjajian internasional. Agar
pembahasan lebih fokus, maka pembahasan dalam tulisan ini dirumuskan dalam
bentuk legal issue sebagai
berikut:
Bagaimanakah
keterikatan Republik Timor Leste terhadap
perjanjian Internasional (Timor Gap Treaty 1989) antara Indonesia dengan
Australia pasca kemerdekaan?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Suksesi Negara
Suksesi
negara Negara adalah peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara kepada
negara lain, sebagai akibat pergantian negara. Menurut
Pasal 2 angka 1b Konvensi Wina Tahun 1978, suksesi negara adalah "succestion
of states means the replacement of one state by another in the responsibility
for the international relations of territory."
Selanjutnya menurut
Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal 30 angka 1 dan Pasal 34 Konvensi Wina 1978,
suksesi negara dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu:[4]
1. Apabila suatu wilayah negara atau
suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara
tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru.
2. Apabila negara pengganti sebagai
negara baru yang beberapa waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan
wilayah yang tidak bebas yang dalam hubungan interna sional di bawah tanggung
jawab negera (negara-negara) yang digantikan.
3. Negara yang terjadi sebagai akibat
dari bergabungnya dua wilayah atau lebih menjadi suatu negara merdeka.
4. Terjadi sebagai akibat
dipecah-pecahnya suatu negara menjadi beberapa negara baru.
Sedangkan suksesi negara
menurut J.G Starke adalah:[5]
“…
principally concerned with the transmission of right and obligations from state
which have altered or lost their identity to other states or entities, such
altera tion or loss identity occurring primarily when complete or partial
changes of souveregnty take place over portions of territory."
Terjemahan
bebasnya dapat ditulis sebagai berikut: “…peralihan hak dan kewajiban dari
suatu negara yang telah berubah atau hilang identitasnya kepada negara atau
entitas lain, di mana perubahan atau hilangnya identitas ini terjadi karena
adanya perubahan kedaulatan atas sebuah wilayah baik yang bersifat menyeluruh
atau sebagian.
Dari
kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hal yang terpenting di dalam
pengertian suksesi negara adalah adanya peralihan hak dan kewajiban dari suatu
negara yang telah berubah atau hilang identitasnya kepada negara atau entitas
lain.
Menurut
kepustakaan hukum Internasional, secara garis besar terdapat dua macam bentuk
suksesi negara yaitu suksesi universal dan suksesi parsial. Suksesi universal
terjadi apabila suksesi tersebut meliputi seluruh wilayah negara. Misalnya,
suatu negara pecah menjadi beberapa bagian kemudian menjadi negara-negara baru.
Sebaliknya suksesi parsial terjadi apabila suksesi tersebut hanya meliputi
sebagian wilayah suatu negara. Misalnya, sebagian negara memisahkan diri dan
menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri atau mengikuti negara lain.[6]
Perbedaan
pokok antara suksesi universal dan suksesi parsial dapat diperinci sebagai
berikut:[7]
1. Identitas internasional negara; bahwa
di dalam suksesi universal identitas internasional negara menjadi hilang atau
berubah karena hilangnya wilayah negara tersebut kemudian muncul identitas
negara yang baru. Sedangkan dalam suksesi parsial identitas internasional
sebuah negara tidak hilang, karena yang terjadi hanyalah perubahan luas
wilayahnya saja;
2. Akibat hukum yang ditimbulkan; bahwa
di dalam suksesi universal akibat hukum yang ditimbulkan adalah sejauh mana
negara pengganti menerima hak dan kewajiban dari negara yang digantikan.
Sedangkan di dalam suksesi parsial akibat hukumnya hanyalah sebatas pada
distribusi hak dan kewajiban dari negara lama kepada negara baru;
Suksesi
negara biasanya membawa beberapa implikasi yang sering terjadi dalam masyarakat
internasional, yaitu:[8]
1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara
pengganti.
2. Keterikatan negara pengganti pada
perjanjian interna sional maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan
eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu dengan negara ketiga;
3. Nasionalitas;
4. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
hak milik, termasuk dana negara dan arsip negara;
5. Tanggung jawab negara pengganti atas
hutang negara pendahulu.
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu bentuk implikasi dari terjadinya
suksesi negara adalah mengenai sejauh mana keterikatan negara pengganti pada
perjanjian pada perjanjian internasional maupun kontrak yang dibuat oleh negara
pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu dengan
negara ketiga.
Menurut
Prof. Yudha Bhakti, terdapat dua pendapat yang dapat dikemukakan mengenai
keterikatan negara pengganti terhadap kontrak-kontrak atau
perjanjian-perjanjian internasional dalam terjadinya suksesi negara.[9]
- Kewajiban-kewajiban
kontraktual dengan negara ketiga atau dengan warga negara sendiri, seperti
konsesi untuk tambang atau kereta api pada umumnya diterima negara
pengganti.
2. Negara
pengganti dapat mengahapuskan atau mengubah kewajibannya terhadap kontrak
tersebut dengan memperhitungkan hak ganti rugi bagi pemilik konsesi.
Berbeda dengan itu, Boer Mauna mengemukakan
pendapatnya dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang mencerminkan
prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum kebiasaan dan ketentuan-ketentuan yang
dimuat dalam konvensi.[10]
a. menurut
hukum kebiasaan internasional; bahwa di dalam praktek internasional telah
diterima sebuah prinsip tidak dapat dipindahkannya
perjanjian-perjanjian politik, seperti perjanjian-perjanjian aliansi militer, konvensi-konvensi
mengenai status netralitas atau mengenai bantuan timbal balik dua negara.
Dengan kata lain, perjanjian atau kontrak politik yang telah dibuat oleh negara
lama dengan negara lain tidak beralih kepada negara baru karena terjadinya
suksesi negara. Sebaliknya, sejumlah perjanjian internasional yang dianggap mempunyai nilai hukum kebiasaan, tetap berlaku terhadap negara baru. Sebagai contoh
perjanjian-perjanjian territorial yang berkaitan dengan penetapan tapal batas
atau jalur komunikasi.
Selain itu, perjanjian-perjanjian yang dibuat untuk
kepentingan umum masarakat internasional, yang biasanya disebut law making treaty dapat dipindahkan dari negara sebelumnya kepada negara
pengganti atau negara baru.
b. menurut
konvensi Wina 1978 tentang suksesi negara; bahwa pada prinsipnya konvensi Wina
1978 mengkodifikasikan sebagian besar dari prinsip-prinsip hukum kebiasaan
(vide : Pasal 11 dan 12 Konvensi Wina 1978). Bahwa suksesi tidak merubah tapal
batas dan status teritorial lainnya. Sebaliknya Konvensi Wina 1978 memberikan
kebebasan kepada negara-negara yang baru merdeka untuk terikat atau tidak
terikat terhadap kewajiban-kewajiban konvensional yang dibuat oleh negara
sebelumnya, dengan lebih memberikan solusi kepada negara baru untuk tidak
terikat pada konvensi-konvensi tersebut. Dengan demikian maka konvensi-konvensi
multilateral secara prinsip tidak dapat dipindahkan kepada negara baru, kecuali
negara baru tersebut menghendakinya.
B. Tinjauan
tentang Timor Gap Treaty 1989
Pemicu terjadinya perjanjian antara Republik Indonesia
dengan Australia mengenai zona kerja sama di daerah antara Timor Leste dan
Australia Bagian Utara adalah belum adanya kesepakatan antara kedua belah pihak
terhadap batas landas kontinen di Selatan Timor Leste (celah Timor). Mengingat
di daerah celah Timor terdapat potensi sumber daya alam yang berupa minyak bumi
dan gas alam, maka kemudian pada tanggal 11 Desember 1989 kedua belah pihak
sepakat untuk membuat perjanjian yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam
yang terdapat di celah Timor. Perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Timor
Gap Treaty.
Timor Gap Treaty ini ditandatangani oleh Menlu Australia Gareth Evans (saat itu) dan Menlu
RI Ali Alatas pada tanggal 11 Desember 1989, di atas pesawat Boeing 737 RAAF
yang terbang selama 17 menit berputar di atas angksa Zona A Celah Timor. Ketika
itu, Indonesia pada awalnya ingin menetapkan batas perairan di Celah Timor
dengan sistem median line dan ZEE (berdasarkan Konvensi Jenewa 1982). Sedangkan
Australia dengan sistem bathymetric axis line, penetapan batas berdasarkan sumbu terdalam dari
laut, atau Palung Timor-Banda. [11]
Menlu Ali Alatas menguraikannya secara rinci di depan
DPR RI, menjelang ratifikasi RUU Celah Timor, pada akhir November 1990. Menlu
mengatakan berdasarkan Konvensi Laut 1982, rezim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
haruslah dibedakan dengan rezim batas landas kontinen.
Inti rezim ZEE, (Pasal 56 Konvensi Laut) adalah hak
berdaulat negara pantai sejauh dari 200 mil dari garis pangkal laut, atas
sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati. Baik di laut maupun di dasar
laut, serta lapisan tanah dibawahnya. Sedangkan berdasarkan ayat 3 (Pasal 56),
hak-hak berdaulat atas dasar laut dan tanah di bawahnya, harus sesuai dengan
Bab IV tentang Landas Kontinen. Berarti ada perbedaan antara ZEE bagi sumber
daya alam hayati dengan dasar laut ZEE yang diatur oleh rezim (hukum) Landas
Kontinen. Beda tafsir dan posisi hukum ini timbul dalam perundingan mengenai
CelahTimor antara kedua negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun pada
mulanya bertitik tolak pada upaya penetapan batas perairan, namun perjanjian Timor Gap Treaty 1989 tersebut bukanlah
merupakan perjanjian mengenai tapal batas antara Indonesia dengan Australia,
akan tetapi lebih merupakan perjanjian yang bersifat teknis yang mengatur
mengenai zona pengembangan bersama (join development zone) di daerah tumpang tindih klaim antara Indonesia dan
Australia yaitu celah Timor.[12] Perjanjian tersebut dibuat oleh kedua belah pihak
tidak lain adalah agar tidak menggangu hubungan bilateral yang baik antara
kedua belah pihak dan agar tidak tertundanya pemanfaatan potensi minyak bumi
dan gas alam yang terdapat di celah Timor.[13]
Secara yuridis, perjanjian mengenai zona pengembangan
bersama antara Indonesia dan Australia ini dilegitimasi oleh Konvensi Hukum
Laut 1982, sebagaimana yang terkandung di dalam Pasal 83:
"Sementara
persetujuan penetapan batas landas kontinen belum tercapai, negara-negara yang
bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya
untuk mengada kan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama
berlangsungnya masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya
untuk mencapai persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan
penetapan garis batas landas kontinen yang final".
Perjanjian
Timor Gap Treaty tersebut pada prinsipnya mengatur masalah pembagian keuntungan
yang diperoleh dari hasil pemanfaatan minyak bumi dan gas alam yang terdapat di
celah Timor, dengan ketentuan 50 : 50. Atau dengan kata lain, keuntungan yang
diperoleh dari hasil pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di celah Timor
akan menjadi hak Indonesia sebesar 50% dan jumlah yang sama pula untuk
Australia.
Di
samping mengatur masalah pembagian keuntungan, Timor Gap Treaty 1989 juga
membagi daerah celah Timor menjadi tiga bagian, yaitu:[14]
1. Daerah A; Daerah A merupakan sebagian
dari daerah tumpang tindih klaim (daerah tumpang tindih klaim yang sebenarnya
adalah daerah yang dalam Perjanjian ini disebut Daerah A dan Daerah C). Daerah
A akan dimanfaatkan bersama oleh kedua pihak dengan pembagian hasil
masing-masing 50%. Untuk mengelola Daerah A akan dibentuk Dewan Menteri dan
Otorita Bersama, dan diberlakukan Kontrak Bagi Hasil.
2. Daerah B; Daerah B merupakan daerah di
sebelah Selatan garis tengah yang terletak di luar daerah-daerah tumpang tindih
klaim, dan di Selatan dibatasi oleh batas 200 mil laut dari garis-garis pangkal
laut wilayah Indonesia. Daerah B ini akan dikelola oleh Australia seperti yang
berlaku selama ini, tetapi Australia akan memberikan kepada Indonesia 16% dari
penghasilan pajak bersih atau "Net
Resource Rent Tax" (Net RRT) atau
10% dari penghasilan pajak kotor (Groos RRT). Selain itu Australia akan
memberikan informasi kepada Indonesia tentang kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi di Daerah B sebelum kegiatan tersebut dimulai;
3. Daerah C; Daerah ini sebenarnya
merupakan bagian dari daerah tumpang tindih tuntutan yurisdiksi masing-masing
pihak. Daerah C tersebut akan dikelola oleh Indonesia, dengan ketentuan bahwa
Indonesia akan memberikan 10% dari Pajak Pendapatan Kontraktor. Selain itu
Indonesia juga akan memberitahukan Australia tentang kegiatan tersebut.[15]
Delapan tahun setelah perjanjian yaitu pada awal tahun
1997, Australia mengumumkan segera akan memulai tahap produksi tambang minyak
di kawasan itu. Izin pertama bagi dua lading minyak (di Zona A), di barat laut
Australia, masing-masing Laminaria dan Corallina. Biaya persiapan produksi di
dua lading minyak Zona A yang membentang seluas 550 kilometer persegi itu,
sebesar 1 miliar dolar Australia (sekitar Rp 2,4 triliun). Sedangkan persiapan
kedua, adalah bagi lading minyak Elang dan Kakatua (Zona C) zona kerja sama
antara kedua negara, Indonesia dan Australia.
Produksi ladang Laminaria dan Corallina, yang
disebut-sebut sebagai dua lading minyak terbesar dunia tersebut, akan dimulai
akhir tahun 1999. Dua ladang di Zona A (dan mungkin B) tersebut mempunyai
kandungan minyak sebesar 250 juta barel, dengan kapasitas produksi lebih dari
setengah juta barel per hari.Sedangkan produksi di Ladang Elang dan Kakatua di
Zona C, sekitar 33.000 barel per hari, karena depositnya diperkirakan hanya 15
juta barel. Awal eksploitasi di Zona C ini dimulai pada kuartal ketiga 1998,
atau pada bulan September tahun depan. Biaya persiapan untuk mengelola tambang
kedua ladang kerja sama Australia-Indonesia itu, sebesar 71,4 juta dolar AS.[16]
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Keterikatan Timor Leste terhadap Timor Gap Treaty 1989
Seperti
telah diuraikan di dalam tinjauan pustaka, jelas bahwa salah satu konsekuensi
logis yang muncul dari adanya suksesi negara adalah keterikatan negara
pengganti pada perjanjian internasional yang telah dibuat oleh negara
pendahulu, atau tentang eksistensi perjanjian internasional yang telah dibuat
negara pendahulu apabila terjadi suksesi.
Dalam perjanjian
internasional, khususnya terhadap pihak-pihak yang terikat di dalamnya tidak
dapat terlepas dari prinsip yang telah diakui oleh masyarakat internasional
yaitu, pacta tertiis nec nocent nec procent. Prinsip
ini mengandung arti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan
kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga. Dengan demikian maka
suatu negara tidak dapat menuntut hak dari ketentuan-ketentuan suatu perjanjian
bila negara tersebut bukan pihak pada perjanjian tersebut.
Prinsip
tersebut diadopsi oleh Konvensi Wina Tahun 1969 yang menyebutkan bahwa suatu
perjanjian tidak menciptakan baik hak maupun kewajiban bagi negara ketiga tanpa
persetujuannya (Vide: Pasal 34 konvensi Wina 1969).
Sebaliknya,
pihak ketiga dapat terikat pada perjanjian internasional jika menyatakan diri
secara tegas untuk terikat pada perjanjian internasional tersebut. Pernyataan
mana yang harus dituangkan dalam bentuk tertulis (Vide: Pasal 35 Konvensi Wina
1969).[17]
Hal
lain yang dapat membuat pihak ketiga dapat terikat pada perjanjian
internasional meskipun tanpa persetujuannya, adalah sebagaimana yang tertuang
dalam Pasal 2 (6) Piagam PBB mengenai perdamaian dan keamanan internasional.
Selain itu, klausula Most
Favoured Nation (di
dalam ekonomi internasional) juga akan memberikan hak kepada negara-negara
ketiga.[18]
Sedangkan
menurut Konvensi Wina Tahun 1978 menentukan bahwa hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari negara yang digantikan berdasarkan perjanjian yang
mengikat pada saat terjadinya suksesi negara, tidak menjadi hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari negara pengganti terhadap peser ta lain dari
perjanjian itu, kecuali apabila antara negara yang diganti dengan negara
pengganti telah diadakan perjanjian penyerahan yang
menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu diserahkan kepada negara
pengganti. (Vide : Pasal 8 ayat 1 Konvensi Wina Tahun 1978).[19]
Dan
bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian yang berlaku pada
saat terjadinya suksesi negara, tidak menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dari negara pengganti atau negara peserta lain yang menjadi pihak dalam
perjanjian itu, kecuali
apabila ada pernya taan dari negara pengganti tersebut
yang menegaskan mengenai kelanjutan berlakunya perjanjian itu di wilayahnya.
Ketentuan tersebut sesuai dengan asas
res inter alios acta, yaitu
bahwa pihak yang bukan peserta dari perjanjian tidak terikat perjanjian yang
dibuat oleh negara peserta perjanjian itu.[20]
Mengenai
suksesi terhadap sebagian wilayah negara, Pasal 15 Konvensi Wina tahun 1978
menentukan bahwa apabila terjadi suksesi negara sedemikian rupa, perjanjian
yang dibuat oleh negara yang diganti kan berhenti mengikat terhadap wilayah
dimana terjadi suksesi, pada saat terjadinya suksesi itu. Dan perjanjian itu
berla ku bagi negara yang menggantikan pada saat suksesi negara itu terjadi, kecuali
apabila nampak dari perjanjian itu, atau apabila ditetapkan bahwa
diberlakukannya perjanjian itu di wilayah terse but akan bertentangan dengan
maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri, atau akan mengubah sama sekali
keadaan untuk dapat dijalankannya perjanjian itu.[21]
Kemudian
selanjutnya, Pasal 16 Konvensi tersebut mengatakan, bahwa pada prinsipnya
negara baru tidak terikat untuk tunduk atau untuk menja di pihak pada suatu
perjanjian, kecuali apabila perjanjian itu telah mengikat pada saat terjadinya
suksesi negara. Pasal ini dapat pula ditafsirkan bahwa negara
baru yang terbentuk dari hasil suksesi itu mempunyai kebebasan untuk memilih
atau mengada kan pemilahan perjanjian-perjanjian mana yang akan mengikatnya.[22]
Telah
diuraikan di atas bahwa perjanjian antara Indonesia dengan Australia (Timor Gap
Treaty 1989) adalah merupakan perjanjian mengenai zona kerja sama antara kedua
belah negara, dan bukan merupakan perjanjian mengenai tapal batas atau status
teritorial, sebab hingga saat ini belum ada kesepakatan yang jelas antara
Indonesia dengan Australia mengenai status tapal batas atau status teritorial
kedua negara tersebut. Oleh sebab itu maka perjanjian Timor Gap Treaty 1989
tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap Timor Leste.
Dengan kata
lain Timor Leste memiliki kebebasan untuk menyatakan terikat atau tidak terikat
pada perjanjian tersebut. Artinya, bila Timor Leste menyatakan diri untuk
terikat pada perjanjian tersebut, maka Timor Gap Treaty 1989 masih akan tetap
berlaku. Sebaliknya, bila Timor Leste menyatakan diri untuk tidak terikat. Maka
eksistensi perjanjian Timor Gap Treaty 1989 tersebut menjadi berakhir.
A. Penolakan Timor Leste terhadap Timor Gap Treaty
Ketika perundingan dimulai kembali pada bulan Maret
tahun lalu, pendirian awal Australia adalah bahwa Timor Leste harus mengambil
alih kesepakatan yang sudah dicapai dengan Indonesia, yaitu perjanjian bagi
hasil 50-50. Tetapi Timor Leste menolaknya. Indonesia tidak berhak membuat
perjanjian itu, dan waktu itu Indonesia mencapai perjanjian karena menduduki
Timor Leste secara
ilegal.
Dengan
begitu Indonesia juga tidak berwenang untuk membuat perjanjian untuk Timor
Leste. Pendek kata, menurut Timor Leste Australia harus memulai lagi
perundingan ini dari titik awal. Kini disepakati Timor Leste akan memiliki 90%
minyak dan gas dan boleh memungut pajak di kawasan tersebut, sesuai dengan
perundang-undangan Timor Leste.
Pada
prinsipnya tidak terdapat aturan yang secara tegas mengatur masalah sampai
sejauh mana negara suatu negara baru berhak atau wajib meneruskan hak-hak dan
kewajiban negara yang digantikannya, termasuk juga hak atau kewajiban untuk
tunduk pada perjanjian-perjanjian atau traktat yang telah dibuat oleh negara
lama. Namun di dalam praktek masalah tersebut diselesaikan melalui perjanjian
penyerahan kedaulatan (devolution
agreements) antara
negara pengganti dengan negara yang diganti.[23] Perjanjian
penyerahan kedaulatan tersebut pada intinya memuat secara tegas hak-hak dan
kewajiban-kewajiban apa saja yang dilanjutkan atau dihentikan.
Meskipun
demikian, dalam hukum internasional telah berlaku suatu prinsip umum bahwa
adanya perubahan kedaulatan (baca: suksesi negara) tidak mempengaruhi
perjanjian perbatasan dengan negara pihak ketiga, hak dan kewajiban perjanjian
internasional yang berhubungan dengan perbatasan serta hak dan kewajiban yang
berkaitan dengan pengaturan wilayah yang beralih, serta perjanjian-perjanjian
multilateral yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika, dan hak-hak asasi
manusia.[24]
Bahkan
bagi negara-negara baru hasil proses dekolonisasi lebih senang menerapkan
prinsip clean state teori dari
pada prinsip kontinuitas, [25] ataupun
prinsip-prinsip lainnya berkenaan dengan terjadinya peralihan hak dan kewajiban
dari negara lama kepada negara baru. Prinsip clean
state ini
mengandung arti bahwa semua negara yang baru merdeka harus bebas dari hak-hak
dan kewajiban-kewajiban negara penjajahnya. Atau dengan kata lain suatu negara
baru harus memulai dari lembaran bersih.
Untuk
menjembatani semua prinsip-prinsip tentang peralihan hak dan kewajiban dari
negara lama kepada negara baru, Konvensi Wina 1978 pada prinsipnya memang
mengkodifikasikan sebagian besar dari prinsip-prinsip hukum kebiasaan yang
disebut di atas (vide : Pasal 11 dan 12), namun konvensi tersebut pada dasarnya
tetap memberikan kebebasan penuh kepada negara baru untuk tunduk atau tidak
tunduk pada perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh negara lama.[26]
Oleh
sebab itu, maka perjanjian Timor Gap Treaty 1989 pada prinsipnya tidak dapat
beralih kepada Timor Leste, kecuali jika Timor Leste sebagai negara baru
menyatakan keterikatannya pada perjanjian tersebut. Selain itu Timor Leste juga
berhak untuk melakukan perubahan atau melakukan kesepakatan ulang dengan
Australia, khususnya mengenai zona pengembangan bersama yang berada di celah
Timor. Hal tersebut adalah merupakan konsekuensi yuridis akibat adanya suksesi
negara di mana Timor Leste memiliki kedaulatan penuh terhadap seluruh
wilayahnya.
Dengan
alasan-alasan pada paragraph-paragraf di atas maka wajar jika Timor Leste ingin
melakukan perubahan atau kesepakatan ulang terhadap Timor Gap Treaty 1989.
Karena saat ini Timor Leste telah memiliki kepentingan tersendiri atas
pemanfaatan sumber daya alam di celah Timor. Oleh karenanya Australia tidak
berhak memaksa Timor Leste untuk tunduk pada Timor Gap Treaty 1989, dan jika
Australia tetap berkeinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di
celah Timor, maka konsekuensinya adalah harus bersedia menegosiasikan ulang
perihal tersebut dengan Timor Leste.
BAB IV
KESIMPULAN
Secara yuridis menurut
pasal 16 Konvensi Wina 1978, perjanjian Timor Gap Treaty 1989 antara Indonesia
dengan Australia tidak
dapat mengikat atau
beralih kepada
Timor Leste dalam hal Timor Leste telah menjadi negara yang merdeka. Timor Gap Treaty
1989 akan dapat tetap berlaku hanya jika
secara tegas dan tertulis Timor Leste menyatakan keterikatannya terhadap
perjanjian tersebut.
Ketika Timor Leste menyatakan tidak
terikat pada perjanjian tersebut, maka konsekuensinya adalah bahwa eksistensi Timor
Gap Treaty 1989 telah berakhir dan Timor Leste berhak untuk
melakukan perubahan atau melakukan kesepakatan ulang dengan Australia khususnya
terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang ada di celah Timor tanpa adanya
campur tangan dari Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Boer
Mauna, Hukum Internasional, Pengertian,
Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung:
PT. Alumni. 2003
JG.
Starke, Pengantar Hukum Internasional,
terjemahan dari “Introduction to International Law, edisi kesepuluh, Jakarta:
Sinar Grafika. 2001
Malcolm
D Evans, Blackstone’s International Law
Documents, Fifth edition, United
Kingdom: Blackstone Press. 2001
Yulianto
Achmad., Eksistensi Perjanjian Antara Indonesia
Dengan Australia Tentang Zona Kerjasama Di Daerah Antara Timor Leste Dan Australia
Bagian Utara Dalam Hal Timor Leste Menjadi Negara Merdeka, Makalah.. http://web.umy.ac.id/hukum/download/YULI.htm
Tien Saefullah, Suksesi Negara Sehubungan dengan
Perjanjian Internasional,
makalah,Bandung : PPS UNPAD. 1981
Mike Head, Australia menggertak Timor Leste
"merdeka" atas minyak dan gas, makalah., http://www.wsws.org/id/2002/mei2002/timo-m30.shtml
Syahmin AK. SH.,Hukum Perjanjian Internasional
Menurut Konvensi Wina 1969,Armico Bandung. 1985
Yudha Bhakti, Pengertian Jus Cogen dalam
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, Majalah Padjajaran No.1 1981
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG
PERJANJIAN INTERNASIONAL
NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG
PERJANJIAN INTERNASIONAL
Pasal 20
Perjanjian internasional
tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama negara
pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.
[1] Yulianto
Achmad., Eksistensi Perjanjian Antara Indonesia
Dengan Australia Tentang Zona Kerjasama Di Daerah Antara Timor Leste Dan
Australia Bagian Utara Dalam Hal Timor Leste Menjadi Negara Merdeka,
[3] Mike
Head, Australia menggertak
Timor Leste "merdeka" atas minyak dan gas,
makalah., http://www.wsws.org/id/2002/mei2002/timo-m30.shtml
[6] Yudha
Bhakti. A., Pengertian Jus Cogen dalam Konvensi Wina 1969
tentang Hukum Perjanjian, Majalah Padjajaran No.1. 1981
[10] Boer
Mauna., Hukum Internasional, Pengertian
Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global., PT.
Alumni, Bandung, 2003, hlm 46
[20] Tien
Saefullah, Suksesi Negara Sehubungan dengan
Perjanjian Internasional, makalah, PPS UNPAD, Bandung, 1981.
comment
|
Tidak ada komentar:
Poskan
Komentar
Silahkan berpendapat
Mengenai Saya
Penulis
: Drs.Simn Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.