·
Musjaffa'
Maimun
Message
1 of 5 , Sep 15, 2005
View Source
Penemuan Minyak di Timor Gap, Awal Malapetaka di NTT
Oleh Peter A Rohi
Oleh Peter A Rohi
SEJUMLAH 300 nelayan Nusa Tenggara Timur (NTT) masih dalam penjara diAustralia
sebagai pelanggar perairan. Tak ada pembelaan. Bahkan Juru
bicara Departemen Luar Negeri, Yuri Thamrin kepada wartawan mengatakan:
"Pulau Pasir atau Ashmore Reef dalam catatan kita sejak zaman Belanda
pun adalah milik Inggris, tidak pernah menjadi milik kita."
Juru bicara itu masih menambahkan kata-kata yang sungguh menghina dan
melecehkan nelayan Pulau Rote. Diduga kuat ada sejumlah cukong yang
memperalat para nelayan, membiayai mereka untuk berburu hiu hingga ke
selatan Laut Timor (Kompas, 28/5).
bicara Departemen Luar Negeri, Yuri Thamrin kepada wartawan mengatakan:
"Pulau Pasir atau Ashmore Reef dalam catatan kita sejak zaman Belanda
pun adalah milik Inggris, tidak pernah menjadi milik kita."
Juru bicara itu masih menambahkan kata-kata yang sungguh menghina dan
melecehkan nelayan Pulau Rote. Diduga kuat ada sejumlah cukong yang
memperalat para nelayan, membiayai mereka untuk berburu hiu hingga ke
selatan Laut Timor (Kompas, 28/5).
Ironisnya, pejabat Deplu itu lebih berpikir imperialistik dengan
melegitimasi sifat ekspansionif kolonialisme mengklaim sebuah wilayah
dengan mengabaikan hak ulayat warga lokal. Ia "menjual" Pulau Pasir
tempat perkampungan nelayan para leluhur (nelayan) sejak dulu menjadi
milik Inggris, pada hal Inggris sendiri tidak mempunyai undang-undang
kepemilikan atas Pulau-pulau Pasir, sebagaimana UU yang sama untuk Pulau
Christmas yang posisinya juga di selatan Indonesia.
Kalau dibiarkan begitu saja, klaim atas pulau-pulau terluar RI akan
terus terjadi. Apa jadinya dengan ratusan pulau serupa di NTT, seperti
Pulau Dana, Raijua, Kalara, Keira yang cuma dikenal dalam hak ulayat,
apabila suatu saat diklaim bangsa asing hanya karena pernah singgah di
sana?
Perkampungan nelayan itu baru terusik ketika mereka diusir dari sana
pada bulan Oktober 1974 oleh patroli Australia, yang tiba-tiba mengklaim
gugusan pulau-pulau karang di selatan Pulau Rote, NTT itu.
Peristiwa itu dirancang secara sistematis berkaitan dengan keinginan
menguasai sumber-sumber mineral yang ditemukan di Timor Gap yang
terletak di antara Timor Barat (RI) dan Timor Portugis yang masih
menjadi koloni Portugal di sebelah utara, serta Australia di sebelah
selatan.
Sumur Minyak
Berawal pada Februari 1974, ditemukan sumur minyak di Celah Timor yang
kemudian sahamnya dibagi dua perusahaan, yaitu International Oil
Exploration NL dan Woodside Burmah. Dua bulan setelah itu terjadi
Revolusi Bunga di Lisabon, membawa Jenderal Spinola memegang pucuk
pimpinan di Portugal dan memberikan kesempatan koloni-koloninya,
termasuk Timor Leste untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum.
Pada September 1974, PM Australia Gough Whitlam dan Presiden RI Soeharto
bertemu di Wonosobo dan menghasilkan saling dukung.
Whitlam mendukung
invasi RI atas Timor Timur, sedang Indonesia mendukung klaim Australia
atas Pulau Christmas. Tetapi Australia yang sudah tahu akan adanya
kekayaan mineral di Timor Gap tidak saja mengklaim Pulau Christmas
tetapi juga Pulau-pulau Pasir dan Cartier Island yang paling utara agar
dapat menguasai sepenuhnya sumber minyak di Celah Timor.
Berita tentang pengusiran nelayan dari Pulau Pasir disertai perusakan
atas semua bangunan-bangunan nelayan tahun 1974 itu tenggelam oleh
berita pengungsi Timor Portugal yang melintas batas, ditambah mabuk
kemenangan atas invasi militer ke Timor Timur.
Hak Ulayat
Inggris secara politis mulai bersinggungan dengan NTT ketika pelayar dan
penemu Australia, James Cook, pada bulan September 1770 kehabisan
perbekalan dan kelaparan, ia ditolong oleh Raja Sabu, Ama Doko Lomi
Djara (Prof James J Fox: At The Union of Sun and Moon). Raja Lomi adalah
keturunan ke-8 Raja Kore Rohi, yang berkuasa ketika datangnya bangsa
Portugis pada 1521 di Timor. (Yakob Y Detaq: Memperkenalkan Kebudayaan
Suku Bangsa Sawu).
James Cook mencapai Sydney dan membuat koloni Inggris di situ. Cook
tidak mencatat nama Pulau Pasir. Baru pada tahun 1811, pelayar Inggris
Ashmore singgah mengisi air di Pulau Pasir. Ia mencatat Pulau Pasir
dengan namanya sendiri, Ashmore Reef, tanpa peduli dengan ramainya
nelayan pulau Rote yang mencari dan mengumpulkan sirip hiu dan teripang
di situ.
Ketika itu sirip hiu dan teripang sudah menjadi komoditas perdagangan
ekspor di Kupang (I Gde Parimartha: Perdagangan dan Politik di Nusa
Tenggara (1815 - 1915). Parimartha juga mengutip perdagangan sirip hiu
dan teripang dari tulisan DWCB van Lynden dalam bukunya Bijdrage tot de
kennis van Solor, Allor, Rotti, Savu en omligende Eilanden", NTNI, 2
tahun 1851.
Karena itu, tak heran apabila nelayan Pulau Rote seperti Sadli Chudari
Ardani dan teman-temannya yang baru bebas dari penjara Australia tetap
yakin akan hak ulayat kepemilikan atas gugusan pulau-pulau Pasir.
Tiga buah sumur di Pulau-pulau Pasir dan pohon-pohon kelapa di sana
adalah peninggalan Nakhoda Ama Rohi, pelaut yang berasal dari Pulau Sabu
yang hidup di sana, jauh sebelum kedatangan Ash- more.
invasi RI atas Timor Timur, sedang Indonesia mendukung klaim Australia
atas Pulau Christmas. Tetapi Australia yang sudah tahu akan adanya
kekayaan mineral di Timor Gap tidak saja mengklaim Pulau Christmas
tetapi juga Pulau-pulau Pasir dan Cartier Island yang paling utara agar
dapat menguasai sepenuhnya sumber minyak di Celah Timor.
Berita tentang pengusiran nelayan dari Pulau Pasir disertai perusakan
atas semua bangunan-bangunan nelayan tahun 1974 itu tenggelam oleh
berita pengungsi Timor Portugal yang melintas batas, ditambah mabuk
kemenangan atas invasi militer ke Timor Timur.
Hak Ulayat
Inggris secara politis mulai bersinggungan dengan NTT ketika pelayar dan
penemu Australia, James Cook, pada bulan September 1770 kehabisan
perbekalan dan kelaparan, ia ditolong oleh Raja Sabu, Ama Doko Lomi
Djara (Prof James J Fox: At The Union of Sun and Moon). Raja Lomi adalah
keturunan ke-8 Raja Kore Rohi, yang berkuasa ketika datangnya bangsa
Portugis pada 1521 di Timor. (Yakob Y Detaq: Memperkenalkan Kebudayaan
Suku Bangsa Sawu).
James Cook mencapai Sydney dan membuat koloni Inggris di situ. Cook
tidak mencatat nama Pulau Pasir. Baru pada tahun 1811, pelayar Inggris
Ashmore singgah mengisi air di Pulau Pasir. Ia mencatat Pulau Pasir
dengan namanya sendiri, Ashmore Reef, tanpa peduli dengan ramainya
nelayan pulau Rote yang mencari dan mengumpulkan sirip hiu dan teripang
di situ.
Ketika itu sirip hiu dan teripang sudah menjadi komoditas perdagangan
ekspor di Kupang (I Gde Parimartha: Perdagangan dan Politik di Nusa
Tenggara (1815 - 1915). Parimartha juga mengutip perdagangan sirip hiu
dan teripang dari tulisan DWCB van Lynden dalam bukunya Bijdrage tot de
kennis van Solor, Allor, Rotti, Savu en omligende Eilanden", NTNI, 2
tahun 1851.
Karena itu, tak heran apabila nelayan Pulau Rote seperti Sadli Chudari
Ardani dan teman-temannya yang baru bebas dari penjara Australia tetap
yakin akan hak ulayat kepemilikan atas gugusan pulau-pulau Pasir.
Tiga buah sumur di Pulau-pulau Pasir dan pohon-pohon kelapa di sana
adalah peninggalan Nakhoda Ama Rohi, pelaut yang berasal dari Pulau Sabu
yang hidup di sana, jauh sebelum kedatangan Ash- more.
Sebagaimana tradisi, orang Sabu mampu merunut leluhurnya sampai enam
puluh keturunan di atasnya karena menjadi penting dalam ritual agama
lokal terutama pada upacara-upacara kematian. Dengan begitu, mudah untuk
menghitung jarak waktu antara kedatangan Ashmore dan kedatangan Nakhoda
Ama Rohi.
Nelayan Rote menghitung ketika datang Ashmore, Pulau Pasir sudah
dikelola sampai tingkat samu (keturunan ke lima dari Nakhoda Ama Rohi,
yaitu berurut-turut: ana, upu, sorok, sak, samu atau anak, cucu, buyut,
dst). Kalau disepakati satu generasi 25 tahun, berarti kedatangan
Ashmore sekitar 125 tahun setelah Nakhoda Ama Rohi memperoleh hak ulayat
atas pulau itu.
Perhitungan ini menjadi penting karena hak adat masyarakat Rote mengakui
akan kepemilikan suatu tempat menjadi sah kepada siapa yang pertama kali
memberi tanda kehidupan di sana. Mungkin sebelum Nakhoda Ama Rohi sudah
ada nelayan pribumi yang menginjak kakinya di situ, tetapi penggalian
sumur dan penanaman pohon kelapa oleh Nakhoda Ama Rohi menjadikannya
sebagai pemilik sah akan Pulau Pasir menurut undang-undang adat.
Bandingkan dengan James Cook yang mengklaim Sydney, tanpa peduli akan
keberadaan orang-orang Aborigin. Yuri Thamrin mengadopsi pemikiran
imperialis Inggris dalam kasus Pulau Pasir, dan sama sekali tak
menghormati hak ulayat masyarakat Pulau Rote.
Bagi nelayan Pulau Rote yang setiap tahun berjuang dengan gelombang dan
badai yang sering berhadapan dengan siksaan dan aniaya, dihina dan
dihukum Pemerintah Australia, sangatlah menyakitkan menerima tuduhan
Yuri Thamrin seakan mereka melaut karena dibayar cukong. Pada hal, bagi
nelayan, justru di lautlah kehidupan mereka.
Perjanjian Batas Laut
Apa yang diucapkan Yuri Thamrin membuktikan bahwa ia sama sekali tidak
mencermati prolog dan epilog Perjanjian Batas Laut antara Indonesia dan
Australia. Masuknya Pulau-pulau Pasir, Cartier Island, Hibernia, Browse,
Seringapatam, Champigny, terumbu karang Scott, menjadi milik Australia
bukanlah karena sejak dulu dicatat sebagai milik Inggris.
Australia yang sudah merdeka sejak 1901, baru tahun 1971 (70 tahun
kemudian) membuat kesepakatan batas landas kontinen yang meliputi Cape
York dan Arnhem Land.
Tahun 1972 pada kesepakatan kedua, tercapai atas
wilayah utara Arnhem Land dan wilayah RI di sebelah utaranya. Belum
ditarik garis ke arah timur, karena terdapat Timor Portugis sebagai
wilayah asing.
Keadaan menjadi lain, ketika penemuan sumur minyak di bagian Timor Gap.
Australia segera menyiasati Pulau Christmas yang sebelumnya di bawah
Singapura menurut undang-undang Inggris. Walau tidak ada UU Inggris
serupa bagi pengawasan Pulau Pasir dan Cartier Island, tetapi Australia
juga pada saat yang sama memasukkan pulau-pulau itu ke dalam wilayahnya.
Sebagai pengakuan akan hak tradisional nelayan NTT, Australia dan RI
pada 1974 mengeluarkan Memorandum of Understanding yang isinya tetap
membolehkan mereka mencari nafkah sampai batas Bonaparte Island, di mana
mereka boleh menangkap ikan kecuali penyu.
Setelah eksplorasi minyak tahun 1999 di perairan Timor, patroli di
perairan Australia makin gencar bahkan disertai peledakan kapal-kapal
nelayan dan sejumlah 3.900 nelayan Indonesia dalam dua tahun terakhir
tertangkap (Kompas, 13/5). Pada hal ketika Perjanjian Batas Laut RI -
Australia ditandatangani Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Australia
Alexander Downer 14 Maret 1997, tidak mengurangi hak tradisional nelayan
Pulau Rote.
wilayah utara Arnhem Land dan wilayah RI di sebelah utaranya. Belum
ditarik garis ke arah timur, karena terdapat Timor Portugis sebagai
wilayah asing.
Keadaan menjadi lain, ketika penemuan sumur minyak di bagian Timor Gap.
Australia segera menyiasati Pulau Christmas yang sebelumnya di bawah
Singapura menurut undang-undang Inggris. Walau tidak ada UU Inggris
serupa bagi pengawasan Pulau Pasir dan Cartier Island, tetapi Australia
juga pada saat yang sama memasukkan pulau-pulau itu ke dalam wilayahnya.
Sebagai pengakuan akan hak tradisional nelayan NTT, Australia dan RI
pada 1974 mengeluarkan Memorandum of Understanding yang isinya tetap
membolehkan mereka mencari nafkah sampai batas Bonaparte Island, di mana
mereka boleh menangkap ikan kecuali penyu.
Setelah eksplorasi minyak tahun 1999 di perairan Timor, patroli di
perairan Australia makin gencar bahkan disertai peledakan kapal-kapal
nelayan dan sejumlah 3.900 nelayan Indonesia dalam dua tahun terakhir
tertangkap (Kompas, 13/5). Pada hal ketika Perjanjian Batas Laut RI -
Australia ditandatangani Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Australia
Alexander Downer 14 Maret 1997, tidak mengurangi hak tradisional nelayan
Pulau Rote.
Kini, nelayan Pulau Rote baru saja lepas pantai sudah dihadang patroli
perairan Australia sehingga praktis mereka tidak berdaya untuk mencari
sirip hiu dan teripang yang menjadi andalan ekspor NTT sejak abad 18.
Menlu Ali Alatas ketika itu menjelaskan, alasan yang dipakai untuk
menetapkan batas laut kedua negara adalah alasan landas kontinen,
sehingga aneh apa yang dikatakan Yuri Thamrin, bahwa Pulau Pasir sudah
tercatat milik Inggris sejak zaman Belanda.
Kalau apa yang dikatakan Yuri itu benar, maka kesepakatan yang dilakukan
adalah dengan menggunakan Pulau Pasir sebagai titik untuk menetapkan
kepemilikan atas wilayah laut di utara Pulau Pasir. Landasan Kontinen
Australia sendiri berada di utara Pulau Timor (George Aditjondro:
Tangan-tangan Berlumuran Minyak).
Tiga faktor yang dipublikasikan sebagai hasil kajian pemerintah, bagi
nelayan Pulau Rote tak lebih dari khayalan akibat kemalasan birokrasi
untuk turun ke lapangan melindungi rakyat di negeri ini. Nelayan yang
sudah berada di sana sejak turun temurun mengenal perairan itu sebagai
kampung halaman sendiri.
Bagi nelayan Pulau Rote, selagi bintang tiga rao masih bersinar, apa pun
yang terjadi, mereka akan tetap menuju Pulau Pasir. Bintang tiga rao
adalah bintang pedoman nelayan Pulau Rote berlayar dari pelabuhan Papela
menuju gugusan Pulau-pulau Pasir.
Sejumlah 161 buah kuburan kuno yang berada di Pulau Pasir adalah bukti
kepemilikan yang sah atas pulau-pulau karang itu. Dengan teknologi
sekarang, tidaklah sulit menghitung umur kerangka yang paling tua,
kemudian bandingkan dengan kedatangan Ashmore ke Pulau Pasir pada 1811.
Nelayan NTT sudah semestinya mendapat pembelaan dan perlindungan atas
hak-haknya, sejak mereka mengangkat sauh berlayar menuju perairan nenek
moyang mereka. Yang terjadi adalah dihina, disalahkan, ditangkap,
dianiaya lahir batin. Belum lagi kapal penangkap ikan mereka
dimusnahkan, dan kemudian mendekam dalam penjara di Australia.
Karena itu, wajar mereka meminta Pemerintah RI merevisi Perjanjian Batas
Laut dengan Australia, karena perjanjian itu terasa sangat mengabaikan
bahkan melecehkan hukum adat dan hak ulayat nelayan dan masyarakat Pulau
Rote. Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil apabila pemerintah
menggunakan kesempatan dalam menyepakati Perjanjian Batas Laut baru
antara tiga negara, RI-Australia-Timor Leste.
Eksplorasi Minyak
Penemuan sumur minyak tahun 1974, menyusul yang terbesar tahun 1997,
mendorong upaya sistematis pihak Australia untuk menguasai kandungan
mineral, dan semua kekayaan alam di laut Timor. Perjanjian kontrak
eksplorasi minyak di Timor Gap yang hanya dilakukan oleh Sekjen Partai
Fretilin, Mari Alkatiri (kini PM Timor Leste) pada November 1999, justru
sebelum Pemiu, membuat Xanana Gusmao, ketika itu masih kandidat
presiden, mengingatkan bahwa rakyat Timor Barat (NTT) juga memiliki hak
untuk menikmati hasil eksplorasi minyak di Timor Gap.
Sampai tahun 2004 saja, Australia dengan mengkhianati janjinya pada
Timor Leste telah melahap sendiri keuntungan dari eksplorasi minyak di
Timor Gap sejumlah US$ 1 miliar. Semestinya RI mengingatkan Timor Leste
dan Australia bahwa semua perjanjian eksplorasi minyak bumi di Timor Gap
baru sah setelah dihasilkan Perjanjian Batas Laut antara tiga negara,
RI-Australia-Timor Leste.
Surat jawaban Deplu atas pertanyaan masyarakat Timor Barat yang
berbunyi, dengan lepasnya Timor Leste dari NKRI, maka secara otomatis
hak atas Timor Gap bukan lagi menjadi masalah Indonesia, merupakan
pelecehan atas hak rakyat Timor bagian Barat yang justru berada paling
dekat dengan zona eksplorasi minyak di Laut Timor.
Sebenarnya eksplorasi minyak bumi di Pulau Timor, terutama di bagian
timur, sudah dimulai tahun 1893 oleh Ir WA Duff dari Inggris (George J
Aditjondro: Tangan-tangan Berlumuran Minyak). Pada tahun 1910,
eksplorasi dilakukan bersama oleh Prancis, Australia, dan Jepang. Tahun
1926 Timor Petroleum Company didirikan dan pengusaha Australia AJ
Staughton mendapat konsesi, tetapi tahun 1930 dilikuidasi dalam Timor
Oil Company.
Menyusul ikut beroperasinya sebuah perusahaan minyak bumi yang berpusat
di Adelaide, Australia pimpinan Mayor VM Newland. Tahun 1936 Allied
Mining Corperation milik Ir Serge F Wittouck, seorang Belgia yang
berkedudukan di Manila, Filipina. Perang Dunia II menghentikan sementara
perebutan ladang minyak di Timor, tetapi kini marak lagi, bahkan
diwarnai pengkhianatan Australia atas Timor Leste, dan pengusiran
nelayan NTT dari perairannya sendiri.
Bagi nelayan NTT, keserakahan Australia atas sumber minyak itu membawa
penderitaan. Itu pun justru akibat ambisi Soeharto menginvasi Timor
Leste (Michael Leifer: Indonesia's Foreign Policy), ditambah kekonyolan
Deplu RI menyepakati Perjanjian Batas Laut tanpa menghormati hak ulayat
rakyat Pulau Rote. Kekonyolan itu sekaligus kebobolan akan hak Indonesia
atas sumber minyak di Timor Gap (Prof. Herman Johannes pada Seminar
Timor Gap di UI 1990). Tetapi sebelum semuanya itu terjawab,
nelayan-nelayan NTT telah menjadi korban dari perebutan minyak di
kawasan Timor Gap. *
Penulis adalah Ketua Solidaritas untuk Nelayan Pulau Pasir, Rote NTT
(Solasir - 567R)
_____
Last modified: 14/9/05
[Non-text portions of this message have been removed]
·
romowaton69
Message
2 of 5 , Sep 15, 2005
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.