alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 03 Maret 2015

MEMAHAMI DERAJAT KEPATUHAN DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL

21 November 2014 - dalam ORGANISASI INTERNASIONAL Oleh devi-anggraini-fisip12
Harus diakui bahwasannya negara adalah satu-satunya aktor yang memiliki otoritas untuk membentuk sebuah organisasi internasional. Untuk mengetahui latar belakang negara membentuk organisasi, tidak bisa dilepaskan dari faktor rasionalitas mereka. Rasionalitas memang tidak bisa diartikan secara konkret dan bersifat subjektif, akan tetapi rasio menggiring cara berpikir negara yang selalu mengarah pada kepentingan. Rasionalitas dianggap sebagai faktor pendorong negara untuk membuat sebuah organisasi internasional, lantas kemudian apa yang membuat negara patuh terhadap segala aturan dalam organisasi? 
Kepatuhan negara menunjukkan bagaimana perilaku negara tersebut dalam berinteraksi, oleh sebab itu perilaku negara menurut Young (1979) dalam Simmon (1989) sangat ambigu dan membingungkan. Secara eksplisit Oran Young (1979) dalam Simmon (1989: 77) mendefinisikan kepatuhan sebagai perilaku ketika subjek telah sesuai dengan perilaku yang diharapkan muncul dan apa yang disebut sebagai ketidakpatuhan yakni ketika perilaku yang muncul tdak sesuai dengan yang diharapkan atau tidak sesuai dengan perialku preskripsi (aturan yang telah ditetapkan). 
Definisi tersebut membedakan tindakan kepatuhan dan implementasi perjanjian, karena implementasi mengacu pada pengadopsian aturan-aturan domestik dan hal tersebut bukan berarti sebuah kepatuhan ketika aturan itu tadi belum mencerminkan bentuk patuh terhadap perjanjian. Tafsiran dalam mengimplementasikan perjanjian dalam domestik bisa berbeda-beda tiap negara. Selanjutnya definsi tersebut membedakan antara kapatuhan dan efektivitas, bisa jadi perjanjian yang didesain lemah justru memunculkan kepatuhan dimana kepatuhan tersebut tidak berimplikasi terhadap apapun dari desain perjanjian yang lemah. Hal tersebut dikarenakan perjanjian yang dibuat tidak jelas.
Tidak selamanya negara yang mematuhi aturan-aturan dalam organisasi menandakan keefektivitasan organisasi, karena sifat dari ‘patuh’ itu sendiri tidak bisa diukur atau dengan kata lain membingungkan untuk dicari penjelasannya. Hal itu dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme, bahwa derajat kepatuhan dikonstruksikan secara sosial sehingga muncul context-specific dalam setiap penafsiran (Simmon, 1989: 78). 
Konsep kepatuhan dijelaskan kembali dengan tesis Fisher (1981) yang membaginya menjadi dua bagian. Pertama first order, menunjukkan kepatuhan ketika pasal-pasal dalam perjanjian itu sudah mengikat negara anggota organisasi. Kedua second order, kebutuhan adanya pihak ketiga untuk memastikan kepatuhan itu ada dan berjalan dengan baik (Mahkamah Internasional, Komite HAM PBB, dsb). 
Poin penting untuk memahami kepatuhan ialah tidak terpaku pada patuh atau tidaknya negara terhadap aturan yang ditetapkan dalam organisasi, melainkan menitikberatkan pada derajat-derajat tertentu yang dipatuhi. Bisa saja secara parsial negara telah mematuhi aturan, oleh karena itu monitoringmemainkan peranannya disini untuk mengkontrol kepatuhan yang dilakukan oleh former organisation atau pihak ketiga.
Sifat kepatuhan yang dikatakan konstruktivis yakni terkonstruksi secara sosial yang kemudian menimbulkan context-specific memuat hal-hal yang berkaitan dengan tingkat interpretasi. Oleh karena itu, kita menemukan kesulitan untuk mengukur sejauh mana negara yang bersangkutan patuh dalam organisasi. 
Sangat jarang transparansi muncul ketika kepatuhan dilakukan dan sifatnya juga tidak pasti, sehingga tidak menutup kemungkinan di kemudian hari negara tersebut justru bersikap tidak patuh (sifatnya tidak tetap). Ada empat pendekatan yang menjelaskan problem kepatuhan dalam organisasi. 
Pendekatan pertama adalah realis, yang mengatakan power bertindak sebagai faktor determinan utama dalam interaksi negara. Realis sangat skeptis dengan peran organisasi internasional yang dikatakan mampu mempengaruhi perilaku negara, hal tersebut dijelaskan oleh Morgenthau (1985) dalam Simmon (1989: 79) dimana organisasi internasional lemah ketika ia mengendalikan power terutama ketika negara menahan dirinya untuk mematuhi ketentuan didalamnya. 
Pada intinya, realis hanya fokus pada variabel fundamentalnya yaitu kepentingan danpower. Negara hanya akan patuh pada aturan organisasi sepanjang kepentingannya terakomodasi. Pendekatan selanjutnya menggunakan rasional fungsionalisme, mereka menganggap organisasi internasional dibuat karena negara mengalami kesulitan dalam menghadapi isu-isu yang membutuhkan pemecahan masalah (Bilder 1989, dalam Simmon 1989: 80). 
Analisis fungsionalis bukan pada jawaban mengapa negara mematuhi organisasi, akan tetapi mengapa negara mewajibkan dirinya didalam organisasi. Keohane (1984) dalam Simmon (1989) menjawab pertanyaan itu dengan menggunakan konsep reputasi. Negara yang cenderung memprioritaskan reputasinya adalah negara-negara berkembang, mereka memiliki kepentingan atas pencitraan dirinya sebagai negara hukum. 
Selain itu, faktor peluang hubungan timbal-balik bisa jadi meningkatkan derajat kepatuhan. Sebagai contoh untuk memahami pendekatan fungsionalis adalah organisasi sepeti Uni Eropa atau negara-negara besar di WTO. Organisasi seperti itu memainkan peran penting dalam menyediakan focal point (koordinator) untuk memastikan kepatuhan dan mereduksi ketidakpastian perilaku negara dikemudian hari (Simmon, 1989: 81).
Pendekatan ketiga yakni rezim domestik, seringkali rezim-rezim yang sedang digunakan oleh negara turut mepengaruhi interaksinya dengan negara lain. Secara normatif tipe rezim domestik juga merupakan esensi untuk memahami derajat kepatuhan. Negara demokrasi cenderung lebih patuh terhadap aturan, karena mereka lebih terbuka untuk menjalin hubungan dengan negara lain dibading dengan rezim lainnya (Simmon, 2000: 819). 
Benang merah yang menjelaskan hubungan negara demokrasi dengan fungsi organisasi internasional yang mempengaruhi perilaku negara adalah rezim demokrasi itu sendiri yang memaksa negara harus berjalan sesuai dengan hukum. Oleh sebab itu negara demokrasi cenderung patuh pada organisasi, karena fungsi organisasi yang ditujukan untuk meregulasi perilaku negara dan menyelesaikan masalah diantara negara (Simmon, 1989: 85). 
Terakhir adalah penjelasan problem kepatuhan dengan menggunakan pendekatan normatif. Pendekatan ini meletakkan titik fokusnya pada persepsi atas kepentingan negara yang bersifat subjektif untuk mempengaruhi kepatuhannya dan pihak diluar organisasi internasional (Simmon, 19989: 85). Pihak-pihak diluar organisasi memang mempengaruhi kepatuhan negara tetapi tidak berdampak secara langsung, akan tetapi berdampak pada jangka panjang. 
Seperti halnya dampak pada hubungan bilateral atau multilateral, negara yang tidak patuh dalam organisasi akan menciptakan persepsi dari negara lain dan hal tersebut membuat negara untuk berpikir dua kali apabila ingin menjalin hubungan dengan negara yang telah melanggar aturan organisasi.
Sistem stick and carrot memang diterapkan dalam organisasi internasional, yakni ketikaenforcement melalu sanksi diimplementasikan organisasi untuk memastikan kepatuhan negara. Akan tetapi menurut Chayes dan Chayes (1995), sanksi tidak serta-merta menentukan kepatuhan tetapi terdapat alasan-alasan lain mengapa kepatuhan tetap ada. Interaksi antar negara yang melihat kepatuhan itu diperlukan dan keseimbangan keuntungan yang diperoleh negara dengan bergabung dalam organisasi adalah alasan lain yang menjelaskan negara tetap patuh atau tidak keluar dari organisasi. 
Fenomena yang dapat menjelaskan negara tetap mematuhi organisasi walaupun sanksi itu ada adalah sikap Jepang dalam organisasi IWC (International Whaling Commission). Pada tahun 1982, IWC mengeluarkan moratorium terhadap whaling komersial, hal ini menyebabkan meluasnya perhatian terhadap isu whaling. Akan adanya moratorium ini, Jepang yang awalnya keberatan lalu kemudian menarik kembali keberatannya akibat tekanan dari Amerika Serikat yang mengancam Jepang berupa pelanggaran penangkapan ikan hingga 50% di wilayah pantai barat Alaska yang merupakan wilayah ZEE AS. Jelas Jepang menarik kembali sikap ketidakpatuhannya terhadap moratorium, kepentingan Jepang akan wilayah ZEE AS untuk penangkapan ikan lebih besar dari kepentingannya di IWC (Aisyah, 2009: 33-35).
Berdasarkan paparan diatas, kepatuhan bukanlah sesuatu yang dapat diukur secara sistemik tetapi sifatnya ambigu dan membingungkan. Kita tidak dapat memastikan kapan negara tersebut akan terus mematuhi aturan yang diberikan organisasi, satu parameter yang dapat dijadikan acuan kepatuhan negara adalah kepentingannya dalam organisasi. Kesulitan untuk melihat kepatuhan negara disebabkan oleh beberapa faktor, yakni perjanjian membolehkan adanya interpretasi yang berbeda mengenai kewajiban negara, perilaku aktor cenderung ambigu, membingungkan, dan dalam banyak waktu ada pada kondisi dimana verifikasi kepatuhan sulit dilakukan, serta standart kepatuhan menurut pendekatan konstruktivis dikonstruksikan secara sosial sehingga menimbulkancontext-specific
Beberapa pendekatan seperti realis, fungsionalisme, rezim domestik, dan normatif menjelaskan masing-masing tentang problem kepatuhan dalam organisasi internasional. Hemat penulis mengatakan bahwasannya patuh atau tidaknya pada organisasi internasional bergantung pada sejauh mana kepentingan negara tetap terakomodasi selama ia berada di organisasi tersebut.

REFERENSI
Aisyah, Miranti puti. 2009. Motivasi Jepang mengeluarkan kebijakan Second Phase of the Japanese Whale Research Program Under Special Permit In The Antarctic (JARPA II) Tahun 2005, [online] dalam http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124329 SK%20008%2009%20Ais%20m%20-%20Motivasi%20Jepang-Literatur.pdf [diakses 21 November 2014]
Beth A Simmons, 1998, “Compliance with International Agreement”, dalam Political Science, Volume 1, Hal: 75-93
Beth A Simmons, 2000, “International Law and State Behavior: Commitment and Compliance in International Monetary Affairs”, dalam The American Political Science Review, Vol. 94, No. 4, Hal: 819-835
Chayes, Abram dan Antonia Handler Chayes. 1995. The New Sovereignty:Compliance with International Regulatory Agreement. Cambridge: Harvard University Press
 
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.