21 November 2014 - dalam ORGANISASI INTERNASIONAL Oleh devi-anggraini-fisip12
Harus diakui
bahwasannya negara adalah satu-satunya aktor yang memiliki otoritas untuk
membentuk sebuah organisasi internasional. Untuk mengetahui latar belakang
negara membentuk organisasi, tidak bisa dilepaskan dari faktor rasionalitas
mereka. Rasionalitas memang tidak bisa diartikan secara konkret dan bersifat
subjektif, akan tetapi rasio menggiring cara berpikir negara yang selalu
mengarah pada kepentingan. Rasionalitas dianggap sebagai faktor pendorong
negara untuk membuat sebuah organisasi internasional, lantas kemudian apa yang
membuat negara patuh terhadap segala aturan dalam organisasi?
Kepatuhan negara
menunjukkan bagaimana perilaku negara tersebut dalam berinteraksi, oleh sebab
itu perilaku negara menurut Young (1979) dalam Simmon (1989) sangat ambigu dan
membingungkan. Secara eksplisit Oran Young (1979) dalam Simmon (1989: 77)
mendefinisikan kepatuhan sebagai perilaku ketika subjek telah sesuai dengan
perilaku yang diharapkan muncul dan apa yang disebut sebagai ketidakpatuhan
yakni ketika perilaku yang muncul tdak sesuai dengan yang diharapkan atau tidak
sesuai dengan perialku preskripsi (aturan yang telah ditetapkan).
Definisi
tersebut membedakan tindakan kepatuhan dan implementasi perjanjian, karena
implementasi mengacu pada pengadopsian aturan-aturan domestik dan hal tersebut
bukan berarti sebuah kepatuhan ketika aturan itu tadi belum mencerminkan bentuk
patuh terhadap perjanjian. Tafsiran dalam mengimplementasikan perjanjian dalam
domestik bisa berbeda-beda tiap negara. Selanjutnya definsi tersebut membedakan
antara kapatuhan dan efektivitas, bisa jadi perjanjian yang didesain lemah
justru memunculkan kepatuhan dimana kepatuhan tersebut tidak berimplikasi
terhadap apapun dari desain perjanjian yang lemah. Hal tersebut dikarenakan
perjanjian yang dibuat tidak jelas.
Tidak selamanya
negara yang mematuhi aturan-aturan dalam organisasi menandakan keefektivitasan
organisasi, karena sifat dari ‘patuh’ itu sendiri tidak bisa diukur atau dengan
kata lain membingungkan untuk dicari penjelasannya. Hal itu dapat dijelaskan
dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme, bahwa derajat kepatuhan
dikonstruksikan secara sosial sehingga muncul context-specific dalam setiap
penafsiran (Simmon, 1989: 78).
Konsep kepatuhan dijelaskan kembali dengan tesis
Fisher (1981) yang membaginya menjadi dua bagian. Pertama first order, menunjukkan
kepatuhan ketika pasal-pasal dalam perjanjian itu sudah mengikat negara anggota
organisasi. Kedua second order, kebutuhan adanya pihak ketiga untuk memastikan
kepatuhan itu ada dan berjalan dengan baik (Mahkamah Internasional, Komite HAM
PBB, dsb).
Poin penting untuk memahami kepatuhan ialah tidak terpaku pada patuh
atau tidaknya negara terhadap aturan yang ditetapkan dalam organisasi,
melainkan menitikberatkan pada derajat-derajat tertentu yang dipatuhi. Bisa
saja secara parsial negara telah mematuhi aturan, oleh karena itu monitoringmemainkan
peranannya disini untuk mengkontrol kepatuhan yang dilakukan oleh former organisation atau pihak
ketiga.
Sifat kepatuhan
yang dikatakan konstruktivis yakni terkonstruksi secara sosial yang kemudian
menimbulkan context-specific memuat hal-hal yang berkaitan dengan tingkat
interpretasi. Oleh karena itu, kita menemukan kesulitan untuk mengukur sejauh
mana negara yang bersangkutan patuh dalam organisasi.
Sangat jarang
transparansi muncul ketika kepatuhan dilakukan dan sifatnya juga tidak pasti,
sehingga tidak menutup kemungkinan di kemudian hari negara tersebut justru
bersikap tidak patuh (sifatnya tidak tetap). Ada empat pendekatan yang
menjelaskan problem kepatuhan dalam organisasi.
Pendekatan pertama adalah
realis, yang mengatakan power bertindak sebagai faktor determinan utama
dalam interaksi negara. Realis sangat skeptis dengan peran organisasi
internasional yang dikatakan mampu mempengaruhi perilaku negara, hal tersebut
dijelaskan oleh Morgenthau (1985) dalam Simmon (1989: 79) dimana organisasi
internasional lemah ketika ia mengendalikan power terutama
ketika negara menahan dirinya untuk mematuhi ketentuan didalamnya.
Pada
intinya, realis hanya fokus pada variabel fundamentalnya yaitu kepentingan danpower. Negara hanya akan
patuh pada aturan organisasi sepanjang kepentingannya terakomodasi. Pendekatan
selanjutnya menggunakan rasional fungsionalisme, mereka menganggap organisasi
internasional dibuat karena negara mengalami kesulitan dalam menghadapi isu-isu
yang membutuhkan pemecahan masalah (Bilder 1989, dalam Simmon 1989: 80).
Analisis fungsionalis bukan pada jawaban mengapa negara mematuhi organisasi,
akan tetapi mengapa negara mewajibkan dirinya didalam organisasi. Keohane
(1984) dalam Simmon (1989) menjawab pertanyaan itu dengan menggunakan konsep
reputasi. Negara yang cenderung memprioritaskan reputasinya adalah
negara-negara berkembang, mereka memiliki kepentingan atas pencitraan dirinya
sebagai negara hukum.
Selain itu, faktor peluang hubungan timbal-balik bisa
jadi meningkatkan derajat kepatuhan. Sebagai contoh untuk memahami pendekatan
fungsionalis adalah organisasi sepeti Uni Eropa atau negara-negara besar di
WTO. Organisasi seperti itu memainkan peran penting dalam menyediakan focal point (koordinator) untuk
memastikan kepatuhan dan mereduksi ketidakpastian perilaku negara dikemudian
hari (Simmon, 1989: 81).
Pendekatan ketiga
yakni rezim domestik, seringkali rezim-rezim yang sedang digunakan oleh negara
turut mepengaruhi interaksinya dengan negara lain. Secara normatif tipe rezim
domestik juga merupakan esensi untuk memahami derajat kepatuhan. Negara
demokrasi cenderung lebih patuh terhadap aturan, karena mereka lebih terbuka
untuk menjalin hubungan dengan negara lain dibading dengan rezim lainnya
(Simmon, 2000: 819).
Benang merah yang menjelaskan hubungan negara demokrasi
dengan fungsi organisasi internasional yang mempengaruhi perilaku negara adalah
rezim demokrasi itu sendiri yang memaksa negara harus berjalan sesuai dengan hukum.
Oleh sebab itu negara demokrasi cenderung patuh pada organisasi, karena fungsi
organisasi yang ditujukan untuk meregulasi perilaku negara dan menyelesaikan
masalah diantara negara (Simmon, 1989: 85).
Terakhir adalah penjelasan problem
kepatuhan dengan menggunakan pendekatan normatif. Pendekatan ini meletakkan
titik fokusnya pada persepsi atas kepentingan negara yang bersifat subjektif
untuk mempengaruhi kepatuhannya dan pihak diluar organisasi internasional
(Simmon, 19989: 85). Pihak-pihak diluar organisasi memang mempengaruhi
kepatuhan negara tetapi tidak berdampak secara langsung, akan tetapi berdampak
pada jangka panjang.
Seperti halnya dampak pada hubungan bilateral atau
multilateral, negara yang tidak patuh dalam organisasi akan menciptakan persepsi
dari negara lain dan hal tersebut membuat negara untuk berpikir dua kali
apabila ingin menjalin hubungan dengan negara yang telah melanggar aturan
organisasi.
Sistem stick and
carrot memang diterapkan dalam organisasi internasional,
yakni ketikaenforcement melalu sanksi diimplementasikan organisasi
untuk memastikan kepatuhan negara. Akan tetapi menurut Chayes dan Chayes
(1995), sanksi tidak serta-merta menentukan kepatuhan tetapi terdapat
alasan-alasan lain mengapa kepatuhan tetap ada. Interaksi antar negara yang
melihat kepatuhan itu diperlukan dan keseimbangan keuntungan yang diperoleh
negara dengan bergabung dalam organisasi adalah alasan lain yang menjelaskan
negara tetap patuh atau tidak keluar dari organisasi.
Fenomena yang dapat
menjelaskan negara tetap mematuhi organisasi walaupun sanksi itu ada adalah
sikap Jepang dalam organisasi IWC (International Whaling Commission). Pada tahun 1982,
IWC mengeluarkan moratorium terhadap whaling komersial,
hal ini menyebabkan meluasnya perhatian terhadap isu whaling. Akan adanya
moratorium ini, Jepang yang awalnya keberatan lalu kemudian menarik kembali
keberatannya akibat tekanan dari Amerika Serikat yang mengancam Jepang berupa
pelanggaran penangkapan ikan hingga 50% di wilayah pantai barat Alaska yang
merupakan wilayah ZEE AS. Jelas Jepang menarik kembali sikap ketidakpatuhannya
terhadap moratorium, kepentingan Jepang akan wilayah ZEE AS untuk penangkapan
ikan lebih besar dari kepentingannya di IWC (Aisyah, 2009: 33-35).
Berdasarkan paparan
diatas, kepatuhan bukanlah sesuatu yang dapat diukur secara sistemik tetapi
sifatnya ambigu dan membingungkan. Kita tidak dapat memastikan kapan negara
tersebut akan terus mematuhi aturan yang diberikan organisasi, satu parameter
yang dapat dijadikan acuan kepatuhan negara adalah kepentingannya dalam
organisasi. Kesulitan untuk melihat kepatuhan negara disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni perjanjian membolehkan adanya interpretasi yang berbeda mengenai
kewajiban negara, perilaku aktor cenderung ambigu, membingungkan, dan dalam banyak
waktu ada pada kondisi dimana verifikasi kepatuhan sulit dilakukan, serta
standart kepatuhan menurut pendekatan konstruktivis dikonstruksikan secara
sosial sehingga menimbulkancontext-specific.
Beberapa pendekatan seperti realis,
fungsionalisme, rezim domestik, dan normatif menjelaskan masing-masing tentang
problem kepatuhan dalam organisasi internasional. Hemat penulis mengatakan
bahwasannya patuh atau tidaknya pada organisasi internasional bergantung pada
sejauh mana kepentingan negara tetap terakomodasi selama ia berada di
organisasi tersebut.
REFERENSI
Aisyah, Miranti
puti. 2009. Motivasi Jepang mengeluarkan kebijakan Second Phase of the Japanese
Whale Research Program Under Special Permit In The Antarctic (JARPA II) Tahun
2005, [online] dalam http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124329
SK%20008%2009%20Ais%20m%20-%20Motivasi%20Jepang-Literatur.pdf [diakses 21
November 2014]
Beth A Simmons,
1998, “Compliance with International Agreement”, dalam Political Science, Volume 1, Hal:
75-93
Beth A Simmons,
2000, “International Law and State Behavior: Commitment and Compliance in
International Monetary Affairs”, dalam The American Political Science
Review, Vol. 94, No. 4, Hal: 819-835
Chayes, Abram dan
Antonia Handler Chayes. 1995. The New Sovereignty:Compliance with
International Regulatory Agreement. Cambridge: Harvard University Press
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.