Dasar Hukum atas Pemilikan Suku Rote terhadap
Gugusan Pulau Pasir (ASHMORE REEF)
OLEH :Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Sekarang ini banyak pejabat pemerintah, termasuk Staf Angkatan Laut, Menteri Luar Negeri RI dan pejabat-pejabat lainnya, melihat status Pulau Pasir (Ashmore Reef)
hanya berdasarkan data dari Pemerintah Australia saja tentang dasar-dasar hukum yang disodorkan Australia sehingga ikut mendukung bahwa Gugusan pulau Pasir adalah benar milik Australia. Ada lagi yang menyatakan bahwa pulau Pasir tidak pernah diklaim Indonesia.
Akan tetapi, para pejabat pusat lupa, bahwa sebelum bangsa Barat menjajah Indonesia maupun Benua Australia, di Nusatara ini telah memiliki Hukum Adat sendiri yang dikenal dengan Hukum Adat atas Tanah, (Hak Tanah Ulayat) yang berlaku dimasing-masing SUKU/ETNIK di seluruh Nusantara.
Hukum Adat ini sama kekuatannya dengan Hukum Tertulis Bangsa Barat. Hukum
Agraria kita juga berdasarkan dasar-dasar Hukum Adat Atas Tanah.
(Pada bagian lain akan diperlihatkan 3 (tiga) buah Peta zaman Belanda yang
memperlihatkan bahwa Pulau Pasir (Ashmoro Reef) tidak termasuk territorial Australia).
Hukum di Indonesia ditinjau dari bentuknya, maka hukum dapat dibagi
dalam :
a.Hukum Tertulis : a). yang dikodifikasikan dan b) yang tidak
dikodifikasikan
b.Hukum Tak Tertulis (Hukum Kebiasaan);
Di Indonesia Hukum Kebiasaan (Common Law) disebut Hukum Adat (Adat Law).
(Sumber :Drs.C.S.T.Kansil,SH, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hal.79-80).
Penguasaan Suku Rote terhadap gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) berdasarkan Hukum Adatnya, paling tidak sebagai patokan data tahun tertulis, adalah jauh
sebelum tahun 1522, ketika Antonio Pigafetta, Pelaut Portugis (Rombongan Magelhan sebagai orang Barat pertama yang menemukan Pulau Rote (1522), yang berlayar dari Filipina menuju Tanjung Harapan di Afrika selatan, balik ke Eropa.
Pada tahun 1778 bukan seorang Administrator Pemerintah Inggris yang menemukan Benua Australia, melainkan oleh seorang pelaut Inggris biasa yang bernama Kapten COOK dalam pelayaran keliling dunianya.
Perlu diketahui bahwa pada tahun itu status Benua Australia masih milik bangsa
pribumi yaitu Suku Aborigin. Jadi tidak benar pada tahun 1778 Benua Australia telah dikuasai Inggris. Demikian pula Kapten Ahsmore (bangsa Inggris) dalam pelayarannya menemukan Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1811, bukan juga berstatus sebagai mewakili Pemerintah Inggris yang secara otomatis menjadikan Gugusan Pulau Pasir itu sebagai koloni Ingris. Kapten Ashmore hanya pelaut biasa saja sebagai pengeliling dunia. Sebelum tahun-tahun 1778 dan tahun 1811, Gugusan Pulau Pasir sudah dikuasai secara Adat oleh Masyarakat Adat Suku Rote dan telah diberi nama dengan sebutan Pulau Dato I, Pulau Dato II dan Pulau Dato III, sesuai nama seorang tokoh masyarakat Rote yang pertama menemukan Gugusan Pulau Pasir jauh sebelum, Pelaut Portugis Antonio Pegafetta menemukan pulau Rote/Roti pada tahun 1522.
Namun gugusan Pulau Pasir itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan SOLOKAEK. Dengan demikian menurut sejarah, pada tahun-tahun 1788 dan tahun 1811, Inggris
belum menguasai Benua Asutralia seperti yang digembar-geborkan Australia selama ini. Kapten Ashmore kemudian memberi nama baru untuk Gugusan Pulau Pasir dengan sebutan Ashmore Reef oleh karena pada saat itu Kapten Ashmore tidak mengetahui bahwa Gugusan pulau itu sudah ada pemiliknya (Masyarakat Pulau Rote) dan juga sudah memiliki nama Solokaek.
Bahwa penguasaan bangsa Inggris atas Benua Australia itu adalah setalah Benua itu dijadikan sebagai daerah pengasingan atau pembuangan para penjahat Inggris pada tahun-tahun setelah tahun 1811.
Apabila dilihat dari tahun-tahun tersebut di atas maka, Benua Australia baru
diketemukan oleh (Kapten Cook) pada tahun 1778 atau 256 tahun kemudian setelah Antonio Pigafetta menemukan pulau Rote. (1522). Demikian pula Kapten Ahsmore menemukan Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1811 atau 289 tahun kemudian ketika Antonio Pigaffeta menemukuan Pulau Rote pada tahun 1552. Pada hal Masyarakat Adat Suku Rote sebelum tahun 1522, telah menjadikan Gugusan Pulau Pasir sebagai ladang perikanan mereka.
Itu berarti Masyarakat suku Rote telah memanfaatkan Gugusan Pulau Pasir lebih dari 500 tahun sebelum kedua pelaut Inggris itu menemukan Benua Australia. Bahwa
jarak Inggris dengan Benua Australia lebih dari ribuan mil laut jauhnya, dapat ditemukan oleh Kapten Cook, maka adalah tidak mustahil bahwa Suku Rote telah memanfaatkan Pulau Pasir yang jaraknya hanya 60 mil laut dari Pulau Rote.
Jika dilihat dari hubungan perdagangan Raja-raja Rote dengan VOC pada tahun 1613, atau 165 tahun kemudian, baru Inggris menemukan Benua Australia (1788), dan
sejak itu Pulau Pasir telah menjadi Tanah Hak Ulayat Suku Rote. Dari berbagai perbedaan tahun-tahun tersebut di atas telah membuktikan bahwa sebelum Inggris menemukan Benua Australia, Gugusan Pulau Pasir sudah dikuasai oleh masyarakat Adat Rote.
Didalam sejarah para pelaut pengeliling dunia Bangsa Eropa sekitar tahun 1400-an
dan sesudahnya, tidak pernah tercatat bahwa setiap mereka menemukan sesuatu daerah, atau pulau akan langsung diakui atau lansung dijadikan sebagai wilayah koloni dari Negara asalnya.
Contoh Colombus menemukan Benua Amerika, namun tidak diklaim sebagai daerah koloni bangsanya. Dengan demikian pula ketika Cook menemukan pantai Timur
Australia tahun 1788 dan Ashmore menemukan Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1811, tidak otomatis Inggris mengklaim sebagai wilayah koloninya. Para penemu pulau-pulau tersebut adalah pelaut biasa dan mereka bukan pula sebagai seorang Administrator Pemerintah Inggris yang langsung menetapkan bahwa setiap daerah baru temuannya adalah kolononinya. Memang diakui bahwa setelah sekian puluh tahun kemudian setelah tahun 1811 baru Benua Australia dijadikan koloni Inggris. Pernyataan Australia itu adalah hanya suatu rekayasa sejarah dan menyesatkan dan menyatakan seolah-olah pada tahun 1778 dan tahun 1811 Inggris telah menguasai Australia termasuk Pulau Pasir (Ashmoro Reef).
Dengan demikian, jangan ada dari sementara pihak-pihak tertentu, yang menganggap bahwa pemelikan oleh suku Rote itu tidak tertulis, sehingga kurang memiliki dasar
hukum yang kuat. Karena seperti disebutkan di atas Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang telah dianut secara turun temurun. Hukum Adat itu ada dan berlaku, ketika sekelompok orang atau masyarakat menempati sesuatu wilayah, yang disebut wilayah Adat baik sebagai daerah hunian meupun bukan sebagai tempat hunian. Hukum Adat ini berlaku turun temurun dari nenek moyangnya hingga generasi sekarang dan tidak akan terputus-putus masa berlakunya.
Hal yang sama berlaku untuk seluruh wilayah Nusantara secara tradisional, sebelum Penjajah Barat datang ke negeri ini dengan mebudayakan Hukum Tertulis.
Memang diakui, bahwa sebelum ada penjajah Belanda menguasai Nusantara, belum mengenal budaya tulis-menulis, untuk mendokumentasikan secara tertulis Hukum
Adat masing-masing Daerah. Namun secara tradisional Hukum Adat telah dianut dan dijalankan secara ketat, oleh masyarakat adatnya sejak dulu kala. Dengan mengungkapkan tahun-tahun tersebut di atas maka menurut Hukum Adat Suku Rote telah lebih dahulu menguasai dan memanfaatkan dan diberlakukan secara syah atas Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef)
Selain itu, jauh sebelum Inggris menemukan Benua Australia, Nelayan tradisional
Suku Rote dan para nelayan tradisional suku bangsa Bugis telah menemukan Benua itu dengan di beri nama Pulau MAREGE, karena penduduknya berkulit marege (hitam pekat). Dengan dasar hukum kepemilikan secara Hukum Adat adalah syah dan kekuatan hukumnya sama dengan Hukum Tertulis.
Oleh karena itu para pejabat Negara maupun oleh pihak lain, bukan saja hanya mau menuruti Tahun berdasarkan Hukum Tertulis yang dimiki pihak Australia, tetapi juga harus melihat Tahun Kepemilikan oleh Suku Rote sesuai Hukum Adat yang
disebutkan di atas.
Hukum Adat atas Tanah di Indonesia dikenal dengan beberapa sebutan adat misalnya,
---Tanah Hak Ulayat,
---Tuan Tanah,
---Tuo adat,
---deo tanah,
---nusak, dll.
Perlu ditambahkan pula bahwa kegiatan nelayan tradisional suku Rote, dan suku
Bugis dan Bajo (Sulawesi), di gugusan Pulau Pasir sampai tahun-tahun sebelum tahun 1974, tidak pernah dipermasalahkan oleh pihak Australia, karena memang diketahui bahwa gugusan pulau Pasir adalah milik Indonesia (atau sebelumnya adalah milik Hindia Belanda). Para nelayan tradisional Indonesia baru menjadi masalah bagi Australia setelah MOU 1974 ditandatangani Indonesia-Australia.
Selain itu, ada hubungannya dengan masalah Timor-Timur waktu itu, dimana
Indonesia didorong oleh Australia untuk masuk dan memiliki Timor-Timur. Dan setelah berhasil Timor-Timur integrasi dengan Indonesia, maka sebagai konpensasi politik Indonesia menyerahkan Pulau Pasir kepada Australia pada masa Pemerintahan Soeharto. Sebagai bukti, adalah setelah penandatanganan Perjanjian Celah Timor, Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyampaikan kepada pers, bahwa Indonesia (Ali Alatas) menyatakan “merasa puas, bahwa secara de facto dan de jure Australia mengakui Intergrasi Timur-Timur ke dalam wilayah Indonesia”.
Jadi sebagai kompensasi politik, dimana Indonesia memiliki Timor-Timur dan Pulau
Pasir di serahkan kepada Austrealia. Inilah sebenarnya inti permasalahannya, mengapa Pulau Pasir jatuh ketangan Australia.
Tetapi penyerahan itu cacat hukum, karena tidak pernah diratifikasi dan tidak pernah minta persetujuan DPR RI dan MPR RI dan melanggar UUD 1945. Maka dalam
menentukan batas antara Indonesia dan Australia bukan dengan Pulau Ndana di selatan pulau Rote akan tetapi adalah di Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang masih wilayah Kabupaten Rote Ndao. Jika pemerintah SBY, dan Presiden sesudah Pemilu 2014 tidak menyelesaikan persoalan Pulau Pasir, maka Masyarakat Rote dan Masyarakat NTT maupun seluruh bangsa Indonesia akan menggugat pemerintah (Presiden) ke muka Pengadilan, sebagai menggelapkan atau menjual/menyerahkan tanpa hak pulau Pasir ke Australia.
---Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) hingga sekarang masih sedang
diperjuangkan oleh berbagai lembaga untuk kembali ke Indonesia. (Lihat uraian dan pendapat berbagai pihak dan para pakar tentang Gugusan Pulau Pasir pada Bab tersendiri di buku ini.
---Oleh karena itu Peraturan Presiden No.78 Tahun 2005 yang ditanda tangani tanggal 29 Desember 2005, perlu ditinjau kembali. Hal ini dikarenakan penyerahan Gugusan Pulau Pasir kepada Australia, bertentangan dengan UUD 1945 tanpa persetujuan
DPR RI dan MPR. Ini adalah kesalahan besar diplomasi Menteri Luar Negeri Ali Alatas yang konyol, ketika membuat MOU RI-Australia.
Paling tidak Gugusan Pulau Pasir sementara dinyatakan sebagai Pulau Sengketa RI--Australia yang diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag-Belanda.
Nampaknya Presiden SBY-Boediono, begitu saja menyerah atas tekanan Australia sehingga seolah-olah tidak berdaya untuk merundingkan lagi Gugusan Pulau Pasir yang kaya dengan sumber daya alam (minyak dan gas bumi), Bagi Masyarakat NTT, pulau paling selatan Indonesia bukan pulau Ndana (dalam daftar no.20) melainkan Pulau Pasir).
Pertanyaannya :
1.Mengapa Pemerintah Indonesia begitu gampang menyerahkan Pulau Pasir
(Ashmore Reef) kepada Australia?
Karena Takut Perang…..? Indonesia cukup bukti untuk memperjuangkan kembali
Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) tersebut. Bacalah buku ini, banyak bukti yang dapat diketemukan. Mengapa persoalan Pulau Sipadan dan Lenggitan dapat diajukan ke Mahkamah Internasional, tetapi Pulau Pasir (Ashmore Reef ) pemerintah Indonesia tidak berani?
2. Pertanyaan ke-2 :
Mengapa Pihak Menteri Luar Negeri Indonesia ogah memperjuangkan kembali Pulau Pasir?
Jawabnya : adalah karena takut kehilangan muka, karena bekas pimpinan mereka
sebelumnya yaitu Menlu Ali Alatas telah terlanjur salah langkah dalam pembuatan MOU 1974 yang telah mengorbankan/menyerahkan Pulau Pasir tanpa dasar hukum yang kuat disamping mendapat tekanan dari pihak Australia, sehingga pelaksanaannya secara terburu-buru dari belakang merja saja tanpa suatu studi lapangan yang cermat, dan tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan Pemerintah Provinsi NTT atau dengan Masyarakat Pulau Rote yang memiliki wiiayah hingga Pulau Pasir tersebut.
Bahwa penyerahan Pulau Pasir kepada Australia merupakan dosa besar dari Presiden Soeharto dan Menlu Ali Alatas, inilah salah satu alasan mengapa Menlu RI saat ini
enggan merundingkan kembali Pulau Pasir, Celah Timor dan Laut Timor dengan Asutralia.
(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob).
Alamat : Jln.Jambon I, No.414J, Rt.10-Rw.03
Kricak-Jatimulyo Jogjakarta-Telp.0274.588160 – HP.082135680644.
Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.
BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.