alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Kamis, 02 April 2015

KEBUDAYAAN ORANG SABU DAN ORANG ROTE

KEBUDAYAAN ORANG SABU & ROTE
 
NAMA     :  DHEA VANIA LADO
 
NPM       :  12214918
 
KELAS   :  1EA27
 
TUGAS   :  ILMU BUDAYA DASAR (SOFTSKILL)
 
UNIVERSITAS GUNADARMA
 
Tugas softskill kali ini akan membahas tentang kebudayaan daerah asal orangtua. 
Nah, kebetulan orang tua saya berasal dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Lebih tepatnya, Ayah saya berasal dari Pulau Sabu, dan Ibu saya berasal dari Pulau Rote. Kedua pulau tersebut sangat terpencil karena itu banyak orang Indonesia yang tidak mengenal pulau-pulau tersebut, kecuali orang NTT. Saya akan membahas kebudayaan kedua pulau tersebut mulai dari adat, bahasa, makanan, dan sebagainya.
 
PULAU SABU
 
Suku Sabu (Sawu, Savu), disebut juga sebagai Do Hawu atau Havunese, adalah suku yang mendiami pulau Sabu (Rai Hawu) di kabupaten Kupang provinsi Nusa Tenggara Timur.
 
Legenda Sabu mengatakan bahwa nenek moyang orang Sabu datang dari seberang 
yang disebut “bou dakka ti dara dahi, agati kolo rai ahhu rai panr hu ude kolo robo”, yang berarti “orang yang datang dari laut, dari tempat jauh sekali, lalu bermukim dipulau Sabu”. Orang pertama adalah Kika Ga dan saudaranya Hawu Ga. Dari Kika Ga inilah yang menurunkan orang Sabu (Do Hawu) yang ada sekarang. Nama Rai Hawu atau pulau Sabu berasal dari nama Hawu Ga, saudara Kika Ga, yang juga salah satu leluhur mereka.
 
1. Bahasa
 
Masyarakat suku Sabu berbicara dalam bahasa Sabu. Bahasa Sabu sendiri termasuk kelompok bahasa Bima-Sumba dari Nusa Tenggara Barat. Bahasa Sabu mencakup dialek Raijua (di pulau Raijua), Mesara, Timu dan Seba.
 
2. Keyakinan
 
Sebelum memeluk agama Kristen, suku Sabu menganut agama tradisional suku, 
yaitu Jingitiu. Saat ini hampir seluruhnya suku Sabu memeluk agama Kristen Protestan. Namun, dalam keseharian kebanyakan orang Sabu masih terpengaruh oleh tradisi Jingtu. Norma kepercayaan mereka masih tetap berlaku dengan kelender adat yang menentukan saat menanam dan upacara lainnya.
Dalam tradisi agama tradisional Jingitiu, menerapkan ketentuan hidup adat atau uku, yang konon dipercayai mengatur seluruh kehidupan manusia dan berasal dari leluhur mereka. Semua yang ada di bumi ini Rai Wawa (tanah bawah) berasal dari Deo Ama 
atau Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan membentuk mancipta). Deo Ama sangat dihormati sekaligus ditakuti, penuh misteri. Menurut kepercayaan mereka di bawah Deo Ama terdapat berbagai roh yang mengatur kegiatan musim seperti kemarau oleh Pulodo Wadu, musim hujan oleh Deo Rai.
Pembersihan setelah ada pelanggaran harus dilakukan melalui Ruwe, sementara 
Deo Heleo merupakan dewa pengawas supervisi. Upacara adat yang dilakukan harus oleh deo Pahami, orang yang dilantik dan diurapi. Upacara dilakukan dengan sajian pemotongan hewan besar. Kegiatan setiap upacara berpusat pada pokok kehidupan yakni pertanian, peternakan dan penggarapan laut. Karena itu selalu ada dewa atau tokoh gaib untuk semua kegiatan, termasuk menyadap nira. Kegiatan pada musim hujan berfungsi pada tokoh dewa wanita “Putri Agung”, Banni Ae, disamping dewa pemberi kesuburan dan kehijauan Deo manguru. Karena sangat bergantung pada iklim. Mereka memiliki 3 makluk gaib yakni liru balla (langit), rai balla (bumi) dan dahi balla(laut). Masyarakat Sabu juga memiliki pembawa hujan yaitu wa lole (angin barat), lou lole (selatan) dan dimu lole (timur). Dalam kepercayaan Jingitiu, banyak dewa atau tokoh gaib sampai hal yang sekecil-kecilnya seperti petir dan awan. Lalu ada dewa mayang pada usaha penyadapan nira, dewa penjaga wadah penampung (haik) malah sampai haba hawu dan jiwa hode yang menjaga kayu bakar agar cukup untuk memasak gula Sabu.
 
Kampung masyarakat Sabu memiliki Uli rae, penjaga kampung, kemudi kampung 
bagian dalam gerbang Timur (maki rae) disebelahnya, serta aji rae dan tiba rae, (penangkiskampung) sama-sama melindungi kampung. Oleh karena itu setiap rumah dibangun harus dengan upacara untuk memberi semangat atau hamanga dengan ungkapan wie we worara webahi (jadikanlah seperti tembaga besi. Dalam setiap rumah diusahakan tempat upacara yang dilakukan sesuai musim dan kebutuhan, karena semua warga rumah yang sudah meninggal menjadi deo ama deo apu (dewa bapak dewa leluhur) diundang makan sesajen. Demikian juga terhadap ternak, selalu ada dewa penjaga, disebut deo pada untuk kambing serta dewa mone bala untuk gembalanya. Tetapi selalu ada saja lawannya. Karena itu, ada dewa perussak yang kebetulan tinggal dilat yakni wango dan merupakan asal dari segala macam penyakit. Hama tanaman, angin ribut dan segala bencana. Karena itu, harus dibuat upacara khusus untuk mengembalikannya ke laut supaya masyarakat terhindar dari berbagai bencana walaupun ada kepercayaan bahwa sebagai musibah itu merupakan kesalahanmanusia sendiri yang lalai membuat upacara adat. Umpamanya jika tidak membuat upacara untuk sang banni ae, maka sang putri ini akan memeras payudaranya yang menimpa manusia menimbulkan penyakit cacar.
 
3. Adat
 
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sabu hidup dalam kekerabatan keluarga batih (ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu. Beberapa batih yang 
bersekutu dalam suatu upacara adat adalah keluarga luas, huwue kaba gatti, dengan memiliki rumah adat sendiri berketurunan satu nenk atau Heidau Appu. Klen kecil disebut Hewue Kerogo, merupakan gabungan beberapa Udu Dara Ammu. Keturunan dua atau tiga nenek bersaudara, beserta cucu dan keturunannya dipimpin Kattu Kerogo. Klen besar disebut Hewue Udu dipimpin oleh banggu Udu.Secara struktural dalam strata masyarakat dikenal kedudukan tertinggi Hewue Dara Ammu dengan pimpinannya Kattu Udu Dara Ammu yang memimpin upacara, mengatur norma kehidupan, menjaga kesatuan dan persatuan keluarga. Ia pemimpin yang pandai dan bijaksana berperan penting dalam kehidupan masyarakat.
 
Rumah Adat Sabu di Dimu
 
(source: savuraijuatourism.com)
Rumah Adat Sabu di Mehara
(Catatan Penulis :  Maaf gambar tidak bisa ditampilkan)
4. Seni
 
Dalam seni budaya suku Sabu yang populer adalah seni tari dan tenun ikat. Seni tari antara lain Padoa dan Ledo Hau. Padoa ditarikan pria dan wanita sambil 
bergandengan tangan, berderet melingkar, menggerakkan kaki searah jarum jam, dihentakkan sesuai irama tertentu menurut nyanyian meno pejo, diiringi kedu’E yang diikat pada pergelangan kaki para penari.Kedu’E ialah anyaman daun lontar berbentuk ketupat yang diisi kacang hijau secukupnya sehingga menimbulkan suara sesuai irama kaki yang dihentak-hentakkan.Ledo Hau dilakukan berpasangan pria dan wanita diiringi gong dan tambur serta giring-giring pada kaki pria. Hentakan kaki, lenggang dan pandangan merupakan gerakan utama. Gerakan lain dalam tarian ini ialah gerakan para pria yang saling memotong dengan klewang yang menjadi perlengkapan tari para pria.
tenun Sabu
 
Tenun ikat mereka yang terkenal adalah Si Hawu(sarung sabu) dan Higi Huri (selimut). Mereka melakukan semua proses seperti umumnya di Nusa Tengggara Timur. 
Benang direntangkan pada langa (kayu perentang khusus) supaya mudah mengikatnya sesuai motif, setelah dilumuri lilin. Pencelupan dilakukan dengan empat warna dasar yakni biru pekat dan hitam, diperoleh ramuannya dari nila, merah dari mengkudu dan kuning dari kunyit. Tenun Sabu yang terkenal adalah motif flora dan fauna serta motif geometris.
 
5. Mata Pencarian
Masyarakat suku Sabu bertahan hidup pada bidang pertanian, terutama di ladang. 
Mereka menanam beberapa jenis tanaman untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka juga menangkap ikan, membuat hasil kerajinan dan beberapa menjadi pedagang. Selain itu mereka juga memelihara hewan ternak dengan melepaskan ternak tanpa kandang. (sumber: http://protomalayans.blogspot.com)
 
PULAU ROTE
 
1. Pakaian Adat
 
Menelusuri perkembangan Teknologi Tenun lkat di Pulau Rote, diperkirakan sejak 
masa sejarah orang Rote sudah mengenal Tekhnologi menenun. sebelum mengenal kapas, mereka   membuat Kain Tenun dari bahan serat gewang. Tenunan yang dihasilkan berupa sarung yang disebut lambi tei dan selimut yang disebut Lafe tei, dipakai sebagai pakaian harian maupun pakaian pesta. Tahun 1994 Tim Survei dan pengadaan Koleksi Museum mengunjungi Pulau Rote,
 
Pada saat itu masih dijumpai seorang Nenek di Kampung Boni- Kec. Rote Barat Daya yang masih menggunakan kain dari bahan serat gewang. Begitu dalamnya kecintaan sang nenek  terhadap kain tenun dari serat gewang,
 
Hingga   akhirnya nenek tersebut pun enggan bahkan tidak mau menggunakan kain 
tenun dari benang kapas.
 
Masuknya Bangsa-bangsa luar ke Pulau Rote, membawa perubahan pada berbagai 
aspek budaya termasuk teknologi Tenun. Penggunaan serat-serat tumbuhan mulai terganti dengan serat kapas yang diperkenalkan oleh para lmigran, seperti : serat kapas, dll. serat kapas merupakan serat terpopuler di dunia’ kain yang terbuat dari serat ini disebut kain katun. serat kapas berasal dari tanaman Gossypium, sejenis belukar dengan tinggi antara 120-180 cm’ Pada awalnya tanaman ini ditemukan di lndia sekitar tahun 5000 SM kemudian menyebar ke Barat dan Timur hingga ke wilayah Nusantara’ sampai abad 19 wilayah Nusantara berswasembada lahan katun. Dengan diterapkannya politik Tanam paksa oleh Kolonial Belanda, maka pembudidayaan kapas mulai merosot dan sejak itu benang katun Amerika dan lndia menguasai pasar Nusantara’
 
2. Rumah Adat
 
Mengunjungi suatu tempat kurang lengkap rasanya jika tidak memotret bangunan 
menarik yang merupakan icon daerah tersebut. Bangunan bisa berupa rumah adat, bangunan bersejarah hingga tempat ibadah. Dari sebuah bangunan bisa digali cerita menarik mengenai kehidupan penghuninya maupun sejarah bangunan tersebut.
 
3. Makanan Khas
 
Kabupaten Rote Ndao adalah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaen Kupang 
dengan jumlah kecamatannya sebanyak 8. Wilayah kabupaten ini terdiri dari pulau Rote serta dikitari pulau-pulau kecil sebanyak 103 buah pulau,6 buah pulau berpenghuni yakni: Rote,Ndao,Nuse,Landu,Nusa Manuk,dan Usu. Menurut legenda, pulau ini mendapat nama secara kebetulan dari seorang pelaut Portugis, yang ketika tiba dan menanyakan nama pulau itu,penduduk yang tidak mengerti hanya berucap “Rote”. Nah, pada masa kedudukan Belanda lebih sering disebut “Roti”
 
Jika anda pencinta pantai, aku bisa bilang bahwa Rote-lah surga pantai yang 
sesungguhnya bagi anda. Pulau ini dikelilingi oleh pantai berpasir putih bersih yang lebar-lebar. Pokoknya luar biasa. Bahkan saya yang sudah lama di Bali, belum menemukan pantai yang lebih bagus dari pantai di Rote. Bali hanya unggul di pengelolaan saja. Kalau dari alam,sebenarnya tidak seberapa. Tapi saya suka di Bali karena transport dan akomodasinya lebih lancar,lebih mudah, lebih murah.
 
4. Agama Asli Orang Rote
 
Agama asli orang Rote disebut dengan Halaik. Dalam konsep kehidupan akan alam 
gaib, orang-orang Rote juga percaya akan adanya dewa. Misalnya dewa Dewa Nutu Bek (dewa untuk pertanian), dan dewa Nade Dio (dewa pemberi kemakmuran). Mengenai konsep wujud tertinggi tersebut dikenal dengan apa yang disebut dengan Mane Tua Lain atau Lama Tuak sebagai suatu wujud tertinggi.
 
5. Alat Musik Tradisional
 
Maestro sasando, Jeremias Pah yang tergabung bersama Sasando muda Pah Fam, 
memainkan musik sasando begitu lihainya. Mereka memainkan lagu “Tanah Air” berkolaborasi dengan jebolan Indonesia Mencari Bakat (IMB) 2010 Putri Ayu. Malam itu, Dwiki Dharmawan bersama World Peace Ensemble tampil memukau bersama 100 pemain sasando asal Rote di Gedung Aula Utama El-Tari, Kupang, Selasa (13/11).
 
Beberapa musikus juga ikut meramaikan konser yang bertajuk “Ancient to the Future” yakni Ita Purnamasari, Ivan Nestorman dan Putri Ayu serta para maestro sasando 
seperti Jeremias Pah, Sasando Muda Pah Fam, Edon Family, dan John Tedens & Group. Iringan World Peace Ensemble yang dipimpin Dwiki Dharmawan mampu memberikan nasionalisme saat membawakan lagu itu. Bagaimana tidak, alat musik sasando merupakan milik dan kebanggaan Indonesia. Sasando merupakan identitas masyarakat Rote, Nusa Tenggara Timur dan Indonesia. Tidak heran, jika hampir penonton yang terdiri dari turis asing, dalam negeri dan masyarakat NTT begitu menggebu-gebu menyaksikan permainan musik sasando.
 
Konser ini semakin meriah dengan penampilan Ita Purnamasari. Penyanyi yang 
dikenal pada era 1990-an ini membawakan “Cintaku Padamu”. Lagu yang semakin melambungkan namanya di musik pop Tanah Air. Lagu yang dirilis pada 1993 ini mampu memberikan rasa kangen kepada penonton. Uniknya, Ita juga berkolaborasi dengan para pemain sasando dari grup Edon Family dan Paduan Suara Vocalista Kmanek. Selain membawakan lagu hitnya, penyanyi berusia 45 tahun ini juga membawakan lagu khas daerah NTT “Bolelebo”. Suara emasnya mampu menghipnosis penonton. Bahkan, ia sempat turun dari panggung untuk sekadar menyapa penonton. Tak ayal, penonton pun berusaha mendekatinya serta mengambil momen tersebut dengan berfoto.
 
6. Bahasa
 
Bahasa suku bangsa Rote pada hakekatnya satu (disebut bahasa Rote), namun 
bervariasi dialek menurut nusak masing-masing yang saling dapat dimengerti. Ciri yang menonjol dari bahasa Rote adalah bahasa sastra atau bahasa ritual. Bahasa sastra adalah satu bahasa khusus dan dapat segera dikenal sebagai bentuk bahasa yang digunakan dalam setiap kesempatan seperti : upacara adat, perundingan, salaman, nyanyian, tarian, dsb. Pada hakekatnya bahasa sastra merupakan pantun yang terdiri atas pasangan kata-kata berirama yang artinya bersamaan, misalnya: tolanok dudinok, dak esa fafan ma titiesa nonosinI (saudara sekerabat dan seturunan). Untuk memperoleh kata-kata seirama dengan makna dan tujuan yang sama, biasanya diambil kata-kata majemuk, sehingga bahasa sastra itu merupakan satu kesatuan pengertian yang mendalam.
 
Belanda memperkenalkan bahasa Melayu kepada orang Rote sebagai sarana bahasa pendidikan. Bahasa Melayu ini mudah diterima dan dipergunakan secara luar karena hampir sama dengan bahasa sastra orang Rote. Pada perkembangan lebih lanjut, 
bahasa Melayu berkembang menjadi bahasa Indonesia yang sampai sekarang menjadi bahasa lintas suku dan pemersatu bangsa, termasuk orang Rote.
 
7. Sistem Kekerabatan
 
Di Pulau Rote, Ume Ofa’ atau “Perahu-Rumah” telah punah. Penyebabnya ialah 
politik Orde Baru di akhir 1960-an. Kala itu, masyarakat  diimbau menghilangkan tradisi membangun rumah tradisional dengan upacara-upacara adat dan pesta meriah, yang dinilai boros.  Tolok ukur siapa yang dipakai? Sebagai pelajaran bagi generasi mendatang, apakah masih ada ume yang bisa diselamatkan?
 
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat), juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor 
agama pun turut mempengaruhi perubahan, sebab pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume leleo’ .
 
Tempat ternak di bawah panggung (vilenggat), juga dinilai ”tidak higeinis”. Faktor 
agama pun turut mempengaruhi perubahan, sebab pembangunan rumah tradisional selalu dimulai dan diakhiri dengan upacara (songgo) untuk meminta petunjuk dari ruh leluhur, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Kristen. Ume Ofa’ Balu’ atau “Rumah-Perahu Besar”, perwujudan budaya Rote, kini terkubur sudah. Gantinya adalah ume leleo rae dan ume leleo’ .
 
Pulau Rote, Pulau Ndao serta pulau-pulau disekitarnya terbagi dalam 19  nusa’ (suku).  Di dalam lingkungan nusa’ terdapat kelompok-kelompok kecil kumpulan beberapa 
keluarga yang memiliki  hubungan kekerabatan (leo). Dari kesembilan belas nusa’, terdapat delapan belas dialek. Di masa lalu terkadang terjadi benturan fisik; pemicunya adalah penguasaan atas sumber air. Untuk mempertahankannya, di Nusa’ Delha, dibangun benteng pertahanan dari batu gunung  setinggi antara tiga sampai empat meter dengan ketebalan dinding sekitar satu setengah meter. Benteng pertahanan ini disebut sebagai kota’.
 
Tidak diketahui secara pasti, kapan sejarah permukiman berawal di Nusa’ Delha. 
Menurut tradisi tutur setempat,  permukiman itu  bermula di daerah Inggu Ata, Nemberala. Penduduk pertamanya berasal dari hubungan kekerabatan atau Leo Ombak.  Bukti bahwa mereka adalah bagian dari migran melewati jalur laut, adalah konsep yang sama antara rumah (ume) tradisional dan perahu (ofa’). Bagi mereka ofa’ merupakan hunian di laut dan ume merupakan perahu di darat. Begitulah istilah Delha untuk rumah tradisional  yang besar, yakni; ume ofa’ balu’ (rumah besar seperti perahu besar). Sekarang rumah yang demikian boleh dikatakan sudah tinggal kenangan. Sebaliknya perubahan-perubahan semakin cepat tercatat.
 
(sumber:http://abdulhadielyamani.blogspot.com)
 
https://dheavanialado.wordpress.com/2014/11/09/kebudayaan-orang-sabu-rote/
 
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.