alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Senin, 13 April 2015

MASALAH PERBATASAN WILAYAH SELATAN INDONESIA--PERJUANGAN PENGEMBALIAN PULAU PASIR DARI AUSTRALIA & MIGAS DI CELAH TIMOR

MASALAH PERBATASAN  WILAYAH
SELATAN INDONESIA
PERJUANGAN PRNGEMBALIAN PULAU PASIR DARI AUSTRALIA  &  MIGAS DI CELAH TIMOR


Pengantar
Pada bagian ini kami sajikan berbagai tulisan, pendapat, sejarah, maupun Peta, tentang Posisi Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef), Celah Timor – Laut Timor yang bertalian dengan Australia maupun dengan Timor Leste yang sangat merugikan Indonesia dan berbagai perjuangan dari berbagai kalangan dapat diikuti sbb :
(9.l). Perjuangan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB)

Lembaga ini merupakan lembaga Non Pemerintah di Indonesia (NOG) yang menyuarakan tentang :  Berbagai “Hak dan Kepentingan” masyarakat Indonesia yang diabaikan, baik secara Nasional maupun Internasional di Laut Timor, termasuk memperjuangkan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) kembali ke wilayah Indonesia dari pihak Australia.
Yayasan ini didirikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No.54 / SKEP / HK / 200l tertanggal 18 Mei 200l.

Berdasarkan  Rekomendasi DPR Propinsi Nusa Tenggara Timur, maka Gubernur Nusa Tenggara Timur membentuk Tim Kerja Pengkajian dan Perumusan Berbagai Aspek Strategis di Celah Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur yang  dikenal dengan sebutan “Pokja Celah Timor”  (Yayasan Peduli Timor Barat)  disingkat (YPTB) yang  di-ketuai oleh Ferdi Tanoni yang berkantor di Kupang, Nusa Tenggara Timur. 

Kegiatan-kegiatannya yang diketahui antara lain :
Ø  Berbagai pertemuan dengan Masyarakat Adat Suku Rote,
Ø  Pemerintah Daerah Propinsi  Nusa Tenggara Timur,
Ø  Pemerintah Kabupaten,
Ø  Instansi Pemerintah lainnya,
Ø  Pemerintah Timor Leste, DPRD Prov Nusa Tenggara Timur,
Ø  Pemerintah Tingkat Pusat maupun dengan Lembaga-lembaga Internasional lainnya.

Khusus Perjuangannya dalam merebut kembali Pulau Pasir (Ashmoro Reef), “YPTB”telah melakukan berbagai penelitian dan pengkajian serta menyampaikan aspirasi tertulis ke ,

Ø  Pemerintah Daerah,
Ø  Presiden Megawati Soekarnoputri,
Ø  Wakil Presiden RI,
Ø  Kalangan Legeslatif di Tingkat Kabupaten / Kota NTT,
Ø  Hingga DPR / MPR RI,
Ø  PM.Australia,
Ø  Ketua Oposisi Australia,
Ø  Pemerintah Transisi TIM-TIM UNTAET,
Ø  Hingga Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao.

Perjuangan YPTB ini, adalah juga perjuangan seluruh Bangsa dan Rakyat Indonesia; mari kita dukung baik, jiwa maupun raga  jika memang kondisi dan situasi menghendaki demikian. Perjuangan Ketua YPTB hingga saat ini terus berjuang baik di NTT, di tingkat nasional maupun di tingkat internasional dengan gigih tentang hak Masyarakat Timur Barat atas Pulau Pasir mapun aset minyak dan gas bumi di Celah Timor. Tentang perjuangannya, dapat diketahui dari berbagai media massa yang banyak kami kutip di BAGIAN SETERUSNYA.



Pulau Pasir (Ashmore Reef) Masuk Wilayah Hindia Belanda
Berdasarkan Peta Asli Hindia Belanda Dan Peta Asli Amerika Serikat
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Menurut sejarah dan Peta Asli Hindia Belanda dan Peta Lama buatan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam peta-peta tersebut, Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) terletak di Utara Garis Merah Pembatas Indonesia – Australia. Uraian dan Peta-peta Hindia Belnda dan Amerika Serikat itu akan ditunjukkan dalam halaman-halaman berikutnya, dan merupakan dasar yuridis, untuk menuntut pengembalian Pulau Pasir ke Indonesia.

Dalam Peta Rekayasa Australia terbaru yang diterbitkan setelah MOU 1974, itu, sebenarnya Gugusan Pulau Pulau Pasir  masih terletak di Urara Garis Pembatas Perairan Indonesia – Australia, namun ketika Garis Pembatas itu tiba di Gugusan Pulau Pasir, Garis tersebut tidak di Tarik Lurus, melainkan dibuat setengah lingkaran kearah  Utara untuk memblok Gugusan Pulau Pasir menjadi miliknya. Garis batas tersebut sangat bertentangan dengan Garis Batas yang ditentukan dalam UNCLOS 1982, yaitu  Garis Tengah Lurus, bukan Melengkung sehingga Tidak Syah.

Dengan demikian berdasarkan data-data yang kami kemukakan tersebut dapat dipakai sebagai dasar Hukum memperjuangkan kembalinya Pulau Pasir ke Indonesia. Untuk kepentingan itu, Presiden SBY dan Menlu RI, segera mengambil langkah untuk membuka kembali Perundingan Indonesia dan Australia  guna menyelesaikan Perbatasan kedua Negara secara damai.
Bila  dalam perundingan tidak terdapat penyelesaian yang baik maka, Persoalan Pulau Pasir perlu dilanjutkan ke Mahkamah Internasional.  Banyak kalangan termasuk Deplu RI, Staf AL, dan beberapa pakar lainnya malahan berbicara sebagai terompet membela Australia mati-matian bahwa Pulau Pasir adalah milik Australia. Dan lebih konyol lagi pihak Deplu RI menyatakan bahwa Indonesia tidak pernah mengklaim Pulau Pasir. Kalau kenyataannya Pulau Pasir milik Indonesia, apakah perlu diklaim lagi? Oleh karena itu ikuti data-data Peta asli Hindia Belanda dan Amerika Serikat yang kami utarakan dihalaman-halaman berikutnya sebagai bukti autentik yang tidak dapat dibantah lagi oleh Australia.Seperti dijelaskan di atas, bahwa Luas Wilayah Perairan Indonesia, termasuk Pulau Pasir  sudah bersifat FINAL yaitu berdasarkan Sejarah Perolehan (Ex. Wilayah Hindia Belanda), dan tidak terpengaruh oleh pasal UNCLOS 1982, yang mengatur kembali Garis Batas Perairan berdasarkan “Dasar Kontinen” yang baru diberlakukan kemudian setelah UNCLOS 1982.

AP/AFP/OKI, --Kompas, 8-4-2006
Tension builds over Ashmore Reef: Is it Indonesia's or Australia's?

Opinion and Editorial - December 19, 2005
I Made Andi Arsana, Sydney
Ashmore reef (a.k.a. Pulau Pasir) is currently being disputed by Indonesia and Australia.
If we talk about an island/reef/islet, we are talking about sovereignty. In dealing with sovereignty we do not consider distance.
If we talk about a state authority in the sea territory, we are dealing with sovereign rights, not sovereignty. Distance becomes the key issue as it depends on the distance measured from the baseline, commonly the coastline depicting the low water line. With regards to this, it is true that we need to consider maritime zones and boundary issues.

Whose reef is Pulau Pasir (Ashmore anyway)?

The sovereignty over a reef should be carefully decided. It does not depend on its distance to a state's mainland. It is a legal issue.
A website in the Netherlands reveals that Pulau Pasir (Ashmore Reef) was annexed by Britain in 1878. Together with Cartier Island, Pulau Pasir (Ashmore) was transferred to Australia on July 23, 1931 and is then part of the Northern Territory of Australia (1938-1978). A CIA website, one of the resources people may trust, reveals similar facts. CIA's World Fact Book confirms that Ashmore reef is under Australian sovereignty. Further support also comes from GEsource, an academic website in the UK.
By plotting the coordinates of Pulau Pasir (Ashmore Reef) (120 13.98' S, 1230 4.98' E) in the Indonesia-Australia EEZ boundary map, it is clear that Pulau Pasir (Ashmore Reef) lies within the Australian EEZ. This, implicitly, implies that Indonesia has acknowledged Australian sovereignty over the reef.

From a historic point of view, it is true that the ancestors of the Timorese people had been coming to Pulau Pasir (Ashmore Reef) since the 1630s. However, Rais and Tamtomo (Kompas, April 11, 2005) assert that the Netherlands never secured the reef in its colonial territory and the government administering the reef was Britain. Indonesia cannot claim Ashmore Reef (Pulau Pasir)  just because its ancestors came there, conducted economic activities and died on the reef provided that the government administering the reef was not the colonial administration in Indonesia (the Netherlands)?
It is indeed ironic that Indonesians (Timorese and others) who have been visiting and carrying out activities on Pulau Pasir (Ashmore Reef) for hundreds of years are not entitled to own the reef, while Britain (Australia), who "discovered" Pulau Pasir (Ashmore) in the nineteenth century, secures stronger rights.
It is worth noting that modern law emphasizes a legal claim rather than visits and activities. If it is true that Britain legally claimed and administered Pulau Pasir (Ashmore Reef) and the Netherlands did not protest, its sovereignty would obviously be Australia's.

By contrast, Tanoni states that there is strong evidence that Pulau Pasir (Ashmore Reef) was part of the Netherlands during the colonial era, (see Nederlands Map—resources - Insklopedi Indonesia  Edisi Khusus, yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects 2 Uitrgeverij W.van Hoeve B.V. Buku 4 halaman 2402)—Peta Hindia Belanda dibawah ini.

He asserts that the implementation of a regulation regarding sea cucumber and other marine biota collection around Pulau Pasir (Ashmore Reef) is convincing evidence for its claim over the reef. Unfortunately he did not specify the document he referred to. However, if this is true, it could possibly invalidate Britain's claim over the reef in the eighteenth century.
Agreements between Indonesia and Australia
In 1971/1972, Indonesia and Australia agreed on a seabed boundary. Some experts opined that it was not an equitable boundary, as the line lies closer to Indonesia. The Australian argument emphasizes the principle of natural prolongation (seabed geomorphology). It suggested that the natural break of the Australian Indonesian continents exists close to Timor Island, so that the seabed boundary lies far from the median line favoring Australia.
This practice was supported by legal developments at that time. The International Court of Justice's decision on Feb. 20, 1969 regarding The North Sea seabed case between Germany and Denmark, for instance, gave the principle of natural prolongation considerable significance. In other words, Australia's argument was supported by jurisprudence. However, the post-UNCLOS (1982) development tends to give less consideration to seabed geomorphology. In the case of Libya and Malta (1985), for example, the ICJ decided that within 200 nautical miles, seabed geomorphology is irrelevant and the court's judgment was based on the distance principle.

It might be true that the seabed boundary between Indonesia and Australia is inequitable. However, it is worth noting that the decision was with regards to the positive law applicable at that time. If necessary, Indonesia may renegotiate the boundary, provided that Australia agrees to do so. However, it is unlikely that Australia would want renegotiation. Another agreement requiring attention is the 1997 EEZ boundary. Unlike the seabed boundary, this is much more equitable as the border lies in the median line between the two states. Unfortunately, Indonesia has not ratified the agreement in its internal law. Regarding Pulau Pasir (Ashmore Reef), there is an MOU in 1974/75 allowing Indonesian traditional fishermen to fish around (Pulau Pasir (Ashmore Reef). Surprisingly, there were reports that Australia restricted Indonesian fishermen from fishing in the area due to environmental reasons. This must have caught the attention of the Indonesian government and it should clarify this as it deals with the lives of Indonesian fishermen.
Undoubtedly, it is Indonesia's obligation to keep the archipelago intact and united. However, clear understanding regarding the legal, technical and scientific aspects are essential. Everybody should carefully analyze and be more critical of every single issue regarding border conflict.
A wrong decision may lead Indonesia to huge material losses as well as a decline in its reputation as it might be considered as an emotional and irrational society.
The available legal evidence, so far, suggests that Pulau Pasir (Ashmore Reef) is under Australian sovereignty. However opinions and arguments suggesting the opposite are seriously worth considering. Let's do our part and let the governments do their best to achieve an equitable solution.
The writer is a lecturer in the Department of Geodetic Engineering, University of Gadjah Mada and is currently studying the technical aspects of maritime boundaries at the University of New South Wales, Australia The (Jakarta Post)


















AUSTRALIA
Dibawah ini beberapa judul tentang Pulau Pasir (Ashmore Reef)  hubungannya dengan Australia

Pulau Pasir (Ashmore Reef) Masuk Wilayah Hindia Belanda
Berdasarkan Peta Asli Hindia Belanda Dan Peta Asli Amerika Serikat
Oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Faktor Jarak

Berdasarkan data-data yang ada memperlihatkan, bahwa jarak Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan Indonesia  - Australia dapat dikethui sebagai berikut :
1). Jarak Pulau Pasir (Ashmore Reef) dengan Darwin di wilayah Australia utara adalah 840 km.
2).Jarak antara Pulau Pasir dengan Pantai Utara Australia Barat  (Broome) adalah 610 Km, sedang,
3). Jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote adalah 170 Km. 
Luas Pulau Pasir 583 km2.

Orang Barat Pertama Yang Menemuka Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur
Orang Barat Pertama yang menemukan Pulau Rote/Roti, di Provinsi Nusa Tenggara Timur  pada tahun 1522, adalah Pelaut Portugis, Antonio Pigafetta, salah seorang rombongan Magelhans Pengeliling Dunia, Dialah yang menamakan Pulau itu dengan sebutan Rotty, sesuai nama seorang nelayan tradisional yang ditemuinya  di Pelabuhan Papela Rote Timur, Nusa Tenggara Timur.
Pada tahun 1778, atau 256 tahun kemudian dari tahun 1522, Kapten Cook baru menemukan Pantai Timur Australia. Sedang Kapten Ashmore pada tahun 1811 atau  289 tahun kemudian dari tahun 1522 baru menemukan Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef).  Namun Masyarakat Adat Suku Rote, Nusa Tenggara Timur  telah lebih dahulu menemukan Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) jauh sebelum tahun 1522 oleh  seorang Tokoh Masyarakat Rote bernama Dato, yang kemudian pulau-pulau tersebut diberi nama sesuai namanya, yaitu Pulau Dato I, Pulau Dato II, dan Pulau Dato III. Tetapi kemudian pulau-pulau tersebut lebih dikenal dengan sebutan Solokaek dan terakhir bernama Pulau Pasir.

Gugusan pulau-pulau itu dijadikan sebagai ladang perikanan mereka sepanjang tahun secara turun temurun, dan bukan sebagai pulau hunian, melainkan sebagai tempat beristirahat dan tempat berlindung jika terjadi badai. Bahwa Pulau Pasir ini sudah sejak dulukala  telah dilayari oleh hampir semua nelayan tradisional di Indonesia Bagian  Timur, khususnya, para nelayan yang berasal dari Pulau Rote, Bugis- Makassar, Madura, dan Buton, Alor, dan Flores secara turun-temurun hingga masuknya Penjajah Belanda di Nusantara ini.
Dalam Atlas Semesta Dunia “Jambatan – Jakarta, 1952 : 150.  terdapat uraian penjelasannya dalam peta (Atlas) tersebut menyebutkan dengan  ejaan lama  dikutip sebagai berikut :

”Bahwa sebeloem kedatangan orang-orang Barat ke Benua Australia, sudah banjak kali dikundjungi pedagang--pedagan Indonesia.
Pelajar-pelajar/pelaut Bugis menamakan benua (pulau) ini, dengan sebutan “MARAGE” = (hitam pekat).

Dengan demikian menurut sejarah, sebenarnya yang menemukan Benua Australia pertama kali, adalah orang atau para nelayan tradisional Bangsa Indonesia, dan bukan orang atau Bangsa Barat. Jika Ingris atau sekarang Australia menyatakan pertama kali menemukan Australia dan Gugusan Pulau Pasir sehingga mengklaim sebagai miliknya, adalah tidak benar, apabila kita bandingkan dengan tahun-tahun penemuan pertama seperti yang disebutkan di atas. Perlu diketahui pula bahwa VOC pada tahun 1613, telah menguasai  wilayah Nusa Tenggara Timur, termasuk Pulau Rote.
Adapun Perjanjian Dagang antara VOC dengan Raja-raja Pulau Rote sudah berlangsung sejak tahun 1662, 1690, 1700, dan tahun 1756 khusus dalam perdagangan kopra. Oleh karena kerjasama yang baik antara VOC dengan Raja-raja di Pulau Rote, maka, salah seorang raja dari kerajaan Tie, bernama  Poura Messa dianugrahi sebuah Tongkat kebesaran tanda jasanya, yang bertuliskan VOC bertahun 1720 (lihat Gambar di bawah ini).
Pada tahun-tahun tersebut Pemerintah Hindia Belanda sudah menguasai Gugusan Pulau Pasir.
Foto : Raja kerajaan Tie-Rote, NTT, yang buta Jerimias Mesakh, sedang memegang tongkat Jabatan yang bertuliskan nama Raja Poura Messa – bertahun 1720 dengan lambang VOC sebagai tanda kebesaran–yang diberikan VOC--Hindia Belanda, ,  kepada leluhur Raja Poura Messa. Pada tahun-tahun sebelum 1720 Nelayan tradisional asal Pulau Rote telah menguasai Pulau Pasir dan merupakan wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1720, Kapten Cook belum menemukan Australia  dan baru tahun 1788.
Sumber : “TIMOR BOOK” 1744 hal.96-103  yang dikutip oleh  Geoffrey Parker dalam bukunya The World an Illustrated History, hal.148, seperti terlihat pada foto. Ia adalah Raja Rote pertama yang dibabtis menjadi Kristen di Betawi  (sekarang Jakarta) l743.
 Repro : Drs.Simon Arnold Julian Jacob.(Penulis).


Sejak tahun-tahun tersebut di atas, setiap nelayan tradisional yang hendak mencari biota laut di Pulau Pasir, diberikan Surat Izin Berlayar oleh Pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang oleh nelayan setempat lebih dikenal dengan sebutan “Surat Pas Berlayar”. Tujuannya adalah, bila terjadi badai atau  angin topan, sehingga terdampar hingga Australia, maka diharapkan mendapat bantuan seperlunya dari pihak Keamanan Pantai Australia dan bukan sebagai pelanggar batas ilegal.  Ijin berlayar ke Pulau Pasir (Ashmore Reef) tersebut masih dijalankan hingga tahun 1950-an. Sebelum tahun 1950-an, pencarian ikan, teripang oleh para nelayan tradisional Indonesia di sekitar Pulau Pasir tidak pernah dipermasalahkan oleh pihak Australia. Itu membuktikan bahwa Pulau Pasir adalah milik Pemerintah Hindia Belanda dan sekarang setelah Indonesia Merdeka adalah milik Indonesia. (berdasarkan “Sejarah Perolehannhya”)  Pulau Pasir adalah wilayah Kabupaten Rote Ndao paling Selatan yang berbatasan langsung dengan Australia. Oleh karena itu Batas Perairan Indonesia Paling Selatan, bukan di Pulau  Ndana seperti tertera di Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2002, melainkan di Pulau Pasir (Ashmore Reef) perlu ditinjau kembali.

PETA ZAMAN HINDIA BELANDA DAN PETA AMERIKA SERIKAT

Berikut ini kami memuat Peta-peta zaman Hindia Belanda doeloe dan Peta-peta buatan Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah milik Hindia Belanda, seperti pernyataan Ferdi Tanoni  sbb :
Tanoni states, that there is strong evidence that Pulau Pasir (Ashmore Reef) was part of the Netherlands during the colonial era (see Nederlands Map—sources - Insklopedi Indonesia  Edisi Khusus, yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects 2 Uitrgeverij W.van Hoeve B.V. Buku 4 halaman 2402 ) sebagai berikut :











Peta 2. (Peta Kabupaten Kupang dan Kabupaten Rote Ndao).

Perhatikan Garis Pembatas territorial Indonesia dan Australia berwarna MERAH, menunjukkan Pulau Pasir (Ashmore Reef) terletak jauh di Utara garis Merah, masuk wilayah Kabupaten Rote Ndao, NTT (Indonesia). Peta ini sebelum Indonesia Merdeka 17 – 8 -1945, adalah wilayah Kolonial Hindia Belanda. Jadi semua argumentasi Australia, yang mengatakan milik Inggris yang kemudian diserahkan kepada Australia  adalah tidak benar Jarak Pulau Rote dengan Pulau Pasir hanya 140 Km.
Dengan adanya Peta Asli ini sekaligus menggugurkan semua argumentasi Australia yang mengatakan adalah milik Inggris yang kemudian diserahkan kepada Australia. Dengan adanya Peta-peta Asli  ini merupakan  bukti Austentik  yang lebih dipercaya keabsahannya, hingga ke Mahkamah Internasional sekalipun. 
(Sumber Peta : Insklopesi Khusus Buku 4 hal.2403)




Peta 3. Peta Provinsi NTT, dan sebagian Australia Utara, memperlihatkan  Gugusan Pulau Pasir (Ashmote Reef) milik Indonesia.  Lihat Garis Pembatas Berwarna Merah Letaknya di Selatan Pulau Pasir.
(Sumber Peta  :  Insklopedi Indonesia  Edisi Khusus, yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects 2 Uitrgeverij W.van Hoeve B.V. Buku 4 halaman 2402 ).




Peta 4

Peta 4. Peta Gugusan Pulau Ashmore Reef (P.Pasir) dan P.Cartier di Selatan P.Roti (Rote)  adalah cuplikan dari peta-peta tersebut diatas dan dibuat lebih besar agar nampak lebih jelas Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef, adalah Wilayah Kabupaten Rote Ndao, NTT (Indonesia) yang terletak di Atas/Utara  Garis Batas   Warna Merah (sebagai pembatas perairan teritorial Indonesia – Australia)  seperti pada peta 2 dan Peta 3,
 (Sumber Peta  :  Insklopedi Indonesia  Edisi Khusus, yang diterbitkan oleh Ichtiar Baru – Van Hoeve dan Elsevier Publishing Projects 2 Uitrgeverij W.van Hoeve B.V. Buku 4 halaman 2402 ).


Pulau Pasir (Ashmore Reef)

(Lihat dalam Lingkaran Hitam (Gugusan Pulau Pasir) adalah wilayah Hindia Belanda dulu (Peta 3)
Letak Pulau Pasir 140 Km di Selatan Pulau Rote, NTT.

Pulau Pasir (Ashmore Reef) is located in the Timor Sea about 840 kilometres west of Darwin and 610 kilometres north of Broome. It is part of the Australian External Territory of Ashmore and Cartier Islands and comprises a shelf-edge reef system of approximately 583 square kilometres, rising from the westward limit of the Sahul Shelf. Three small islands and a number of shifting sand cays lie within the reef rim. The combined area of the islands is 112 hectares, the largest being about one kilometre long. The plant communities are mainly shrubland and herbland, and the luxuriant growth of the wet season is in sharp contrast to the dry season when there is a layer of dead plant material over much of the islands.
The Ashmore islands and the sand cay on Cartier reef are the only permanently dry land areas in the north-eastern Indian Ocean.
Its location and range of habitats makes Ashmore Reef of great conservation significance, lying as it does in the path of the Indonesian Throughflow. This is a westerly current transporting an immense volume of water from the Pacific Ocean, which passes along the northern coast of New Guinea and then moves down through the Indonesian archipelago and into the Indian Ocean. Ashmore materially benefits from these low-salinity waters bathing the reef, through larval recruitment from reef systems to the north contributing to the maintenance of gene diversity. The reefal waters are also enriched by the South-east Trade winds, which generate a surface current from the Arafura and Timor Seas, thereby transporting marine organisms to Ashmore from eastern waters.

Common Noddy in flight over Middle Island beach and Lesser Frigate birds nesting in the bushes. Click for larger image.
These influences have brought about an unusually high species diversity in and around the reef. Of these, perhaps most interesting is the presence of fourteen varieties of sea snake in the waters of Ashmore, two of which may be endemic to the Ashmore/Scott Reef area. This is the greatest number of species ever recorded for any one area. Over 255 varieties of coral, 433 species of mollusc and 70 fish species have been identified, and further research is expected to increase these figures. The islands are significant marine turtle nesting areas, while dugong, various cetacions and whale sharks are sighted regularly around the reef.
It is not surprising that the Australian Government sought to protect this significant reef by declaring it to be a National Nature Reserve in 1983.
Ashmore's extensive tidal sand flats provide a major staging and feeding habitat for migratory birds, and the three islands provide sites for a high concentration of nesting seabirds. A total of 88 bird species have been recorded from the Ashmore Reef, including a number of Indonesian species not found elsewhere in Australia. A total of twenty bird species breed on the islands, an unusually high figure in comparison with other off-shore seabird nesting islands.
Many Indonesian fishermen from islands to the immediate north, call in at Ashmore each year under the provisions of a Memorandum of Understanding signed by the Australian and Indonesian Governments. This agreement allows the fishermen to utilise areas of the sea which they have accessed traditionally for centuries, although there are now restrictions placed on all fishing and access by the general public within the Nature Reserve. These are aimed at the protection and preservation of the wide range of wildlife resident on this outstanding reef.

Much of the reef including East and Middle Islands has been closed to visitors, in order to protect the seabird breeding colonies and the environment within the reef rim. Visiting vessels may access the West Island lagoon for shelter, and may go ashore on West Island in order to obtain water, but it is not considered to be potable and may become brackish towards the end of the dry season. The access restrictions apply to Indonesian fishermen and all other visitors.

Views

Ashmore and Cartier Islands


Ashmore and Cartier Islands
Hibernia Reef (NASA satellite image

Hibernia Reef (NASA satellite image
The Territory of Ashmore and Cartier Islands are two groups of small low-lying uninhabited tropical islands in the Indian Ocean situated on the edge of the continental shelf north-west of Australia and south of the Indonesian island of Roti at 12°14′S 123°5′E / -12.233, 123.083.
[edit] Geography

Ashmore Reef in satellite-image (NASA)

Ashmore Reef in satellite-image (NASA)
The territory includes Ashmore Reef (West, Middle, and East Islets) and Cartier Island (70 km east) with, a total area of 199.45 km² within the reefs and including the lagoons, and 114,400 m² of dry land. While they have a total of 74.1 km of shoreline, measured along the outer edge of the reef, there are no ports or harbors, only offshore anchorage. Nearby Hibernia Reef, 42 km Northeast of Pulau Pasir (Ashmore Reef), is not part of the territory. It has no permanently dry land area, although large parts of the reef become exposed during low tide.
Ashmore Reef 155.40 km² area within reef (including lagoon)
West Islet, 51,200 m² land area;
Middle Islet, 21,200 m² land area;
East Islet, 25,000 m² land area;
Cartier Reef (44.03 km² area within reef (including lagoon)
Cartier Island, 17,000 m² land area;
There is an automatic weather station on West Islet.(Sumber : Google – Internet).
Catatan Penulis : Australia menjadikan Pulau Pasir (Ashmore Reef)  sebagai National Nature Reserve in 1983, setelah ditandatanganinya MOU 1974. antara Indonesia dan Australia, padahal Nelayan Indonesia telah menguasai Pulau Pasir jauh sebelum tahun 1522. ketika Antonio Pigafetta menemukan Pulau Rote, di Nusa Tenggara Timur. Dalam pelayarannya dari Pulau Rote kembali ke Eropa, melalui Tangjung Harapan di Afrika Selatan.
(Lihat Peta, Rute Pelayarannya pada halaman lainnya).


Peta 5. Peta Asli Australia dizaman Hindia Belanda, Tidak Termasuk Pulau Pasir yang letaknya jauh di Utara dan Tidak Tampak Dalam Peta ini.


Peta Asli Auistralia dalam Peta Dunia Buatan Hindia Belanda.
Dalam Peta ini, Perabatasan Australia paling Uatara,  tidak termasuk Pulau Pasir (Ashmore Reef). Pulau-pulau kecil paling Utara  milik Australia, adalah hanya beberapa gugusan pulau-pulau kecil yang letaknya disekitar : Tanjung Bougainville, di Tanjung Londonderrry, dan  Pulau Melville 
(Sumber Peta Dunia ini, yang dibuat oleh Belanda pada zaman Hindia Belanda yaitu oleh:  NV.Cartografisch Instituut Bootsma—Falkplan di ‘s-
Gravenhage---N.V.Boek–En Kunstdrukkerij V/H Mouton & Co di
‘sGravenhage—Belanda, yang di kutip oleh (Atlas Semesta Dunia
“Jambatan-Jakarta, 1952 :150).
 Dengan peta ini, Australia tidak dapat menyatakan lagi bahwa Pulau Pasir adalah masuk wilayah Inggris sejak tahun 1878 yang diwariskan ke Australia adalah tidak benar. Dan lihat pula Peta Dunia buatan AS, di bawah ini, yang berjudul :
Coral Sea Islands Territory, tidak terdapat nama Pulau Pasir (Ashmoro Reef). Dengan demikian jelas Pulau Pasir adalah wilayah Hindia Belanda, sekarang Indonesia adalah wilayah Pulau Rote paling Selatan berbatasan langsung dengan Australia.

Penjelasan Peta :

Pulau-pulau kecil milik Australia paling utara dalam peta asli tersebut diatas, adalah hanya beberapa gugusan pulau-pulau kecil yang letaknya disekitar : Tanjung Bougainville, di Tanjung Londonderry, dan  Pulau Melville (lihat peta) Peta Asli Australia ini harus tetap dipegang  sebagai bukti autentik oleh Pemerintah Indonesia, dalam memperjuangkan kembali Pulau Pasir ke Wilayah Indonesia. Apakah Menlu RI dan Instansi terkait lainnya memiliki Peta ini atau tidak, sebagai dasar pembuatan Perjanjian MOU 1974? Saat itu Mantan Menlu RI Ali Alatas membuat MOU 1974 hanya dari Belakang Meja saja, atau karena mendapat tekanan dan di dikte oleh Australia? Perlu dipertanyakan.

Mengapa hingga saat ini Pemerintah Pusat cq Menteri Luar Negeri RI diam saja? Inilah kesalahan fatal yang dilakukan oleh Mantan Menlu RI Ali Alatas sehingga akhirnya Pulau Pasir beralih menjadi milik Australia.Namun sekarang Pemerintah Pusat  harus segera mengambil inisiatif berdasarkan data Peta-peta   Lama ini, sebagai dasar membuka kembali perundingan RI – Australia membicarakan kembali kepemilikan Indonesia atas Pulau Pasir (Ashmore Reef). Di peta ini  Pulau Pasir (Ashmore Reef)  tidak nampak, oleh karena masih sangat jauh jaraknya dari  Australia Utara, oleh karena pada saat itu memang  Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah wilayah Kabupaten Rote Ndao, NTT, Indonesia, dan  tidak termasuk wilayah Australia.

Coral Sea Islands Territory Coral Sea Islands Territory

Pulau Pasir (Ashmore Reef) Dalam Peta Dunia (Amerika Serikat),
Terletak Diluar Teritorial  Australia. Pulau-pulau pulau karang milik Australia, di Peta dengan Judul : “Coral See Islands Territory”(Lihat Peta 8)

Kalau kita memperhatikan Peta Australia, dalam Peta Dunia, khususnya Australia Barat (Western Australia, Luasnya = 975.920 sq.ml) dan,  Australia Utara (Northen Terittory, Luasnya = 520.280 sq ml), pada Peta Dunia terbitan  “HAMMOND Standard World Attalas, Copyright  MCMLXXIX By Hammond Incoporated Maplewood, New Jersey, Printed In USA”, ternyata, Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak termasuk  wilayah teritorial Australia.
Pulau-pulau karang (Reef) paling Utara yang masuk wilayah Australia, disebutkan dengan sangat jelas pada peta tersebut  dihalaman 88 secara terperinci, dibawah   judul :

“Coral Sea Islands Territory :
Bougainvile (reef),…H3
Cato (isl.)……………K4
Coral (sea)…………..H2
Coringa (islets)…     H3
Great Barrier (reef)   H3
Holmes (reef)……   ..H3
Lihou (reef andcay ).J3
Magdelaine (cays)     J3
Saumares (reef)… .   J4
Willis (islets)……  ...  H3
Demikian pula pada peta Australia Barat (Westen Australia, hal.92 )  maupun Northen Territory, hal.93), ternyata Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak termasuk dalam daftar  peta (atau terletak diluar batas teritorial Australia). Ini berarti, memang benar Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef)  dan Cartier Island (Reef),Scot Reef,  termasuk Ex wilayah Jajahan Hindia Belanda, yaitu bagian dari   wilayah Pulau Rote, Provinsi NTT ( Indonesia).

Peta 6. Australia Dalam Peta Dunia, Terbitan Amerika Serikat . (Peta Lama).





Peta 7












Peta 8. Peta Pulau-Pulau Karang  milik  Australia, berjudul : “Coral See Islands Territory” tidak tercantum Pulau Pasir (Ashmore Reef). Lihat Panah.
(Sumber Peta : “HAMMOND Standard World Attalas, Copyright  MCMLXXIX By Hammond Incoporated Maplewood, New Jersey, Printed In USA).
Pulau-pulau karang milik Australia  dengan judul : “Coral Sea Islands Territory”,  tidak ternapat nama Pulau Pasir (Ashmore Reef).
Dengan demikian benar sejak Hindia Belnada Pulau Pasir milik Hindia Benlda dan bukan milik Australia.





Peta 9. Peta Rekayasa Australia
Ini adalah Peta Rekayasa Australia secara sepihak  setelah MOU 1974 Yang  bertentangan dengan Garis Batas Perairan RI – Australia seperti pada Peta-peta Asli Hindia Belanda dan AS di atas dianggap Tidak Syah.
Garis Batas Perairannya Tidak Lurus  ketika sampai di Pulau Pasir (Ashmore Reef) dibuat setengah lingkaran kearah Utara untuk memblok Pulau Pasir menjadi milik Australia dan  bertentangan dengan UNCLOS 1982 Tentang Garis Batas Perairan antarnegara. Lihat Peta Terbaru Rekayasa Australia Sepihak seperti tertera dibawah ini.
Peta Baru hasil rekayasa sepihak oleh Australia, yaitu Peta 9 setelah 1974 (sangat berbeda jauh dengan  Peta Asli  Buatan Hindia Belanda yaitu  (Peta 2 -  5 dan Peta Dunia buatan Amerika Serikat yaitu peta  6 – 7 -8). Apabila garis merah putus-putus tersebut ditarik lurus dan menyatu, maka jelas Gugusan Pulau Pasir tetap masuk Indonesia, tetapi karena garis tersebut dibuat setengah lingkaran ke utara, untuk memblok pulau Pasir supaya masuk wilayah Australia dan hal tidak syah perlu diperjuangkan kembali oleh Indonesia. Harus menerapkan Batas sesuai UNCLOS 1982.
Sumber Peta : MOU BOX . Dalam membuat peta Perbatasan RI – Asustralia yang baru, maka Peta Rekayasa Australia ini TIDAK BERLAKU. (Penulis).

Dalam Peta baru (1974) Rekayasa Australi  secara sepihak, terdapat  3 jenis Petunjuk Garis Pembastasan masing-masing adalah :
1). Garis-garis Miring dalam Kotak (Area of fishing);
2). Garis-garis merah putus-putus (Provisional Fisheries Line);
3). Gais Merah horizontal  (Indonesia/Australia Seabed Boundary.

 Penjelasan
1).Garis-garis miring merah dalam kotak, menunjukkan  zona yang memperbolehkan nelayan tradisinal Indonesia mencari ikan dan biota laut.
2). Garis-garis putus merah  ketika sampai di pulau Pasir (Ashmore Reef), dibuat setengah lingkaran ke Utara, guna memblokir Pulau Pasir menjadi milik Australia.. Jika garis-garis merah tersebut  dibuat Lurus, maka Pulau Pasir masuk Indonesia. Pembuatan garis setengah lingkaran ini bertentangan dengan UNCLOS 1982.
3). Gais Merah sebagai garis pembatas perairan Indonesia – Australia  bertentangan dengan Garis merah pembatas Indonesia – Australia pada peta Hindia Belanda dan Peta AS seperti tertera di Peta 2 - peta 8 tersebut di atas.
Peta buatan sepihak Australia ini dianggap tidak syah  perlu dibicarakan kembali batas-batas Indonesia – Australia dikembalikan seperti pada Peta Hindia Belanda dan Peta AS

Tujuan rekayasa peta buatan Australia ini  adalah karena ingin  mencaplok dan menguasai sendiri secara paksa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dan Laut serta Celah Timor yang kaya cadangan MIGAS Sedang pada peta Hindia Belanda dan AS Pulau Pasir adalah jelas-jelas masuk wilayah Kabupaten Rore Ndao, NTT (Indonesia) lihat Batas Garis Merah di Peta Belanda dan Garis Batas Warna Merah  di Peta Australia yang telah digeser makin ke Utara memasuki Laut Timor dan Laut Arafuru sehingga Indonesia kehilangan wilayah laut seluas 85 persen. Oleh karena itu dari peta-peta  2 – 8, ini menjadi bukti asli dan autentik  sebagai Dasar Perjuangan Indonesia mengembalikan Gugusan Pulau Pasir ke Indonesia.
Peta Lama  Asli Belanda dan AS tersebut di atas, mungkin tidak dimiliki oleh Departemen Luar Negeri RI, sehingga saat pembuatan MOU 1974, hanya berdasarkan keterangan dan argumentasi sepihak dari Australia saja.
Ini adalah kesalahan besar dari Mantan Menlu RI, Ali Alatas dalam pembuatan MOU 1974 hanya dari belakang meja saja, tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan Pemerintah Provinsi NTT maupun dengan Masyarakat Adat Suku Rote tentang Status Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang sebenarnya.
(Sumber Peta : MOU BOX). 
Dengan demikian Persoalan Pulau Pasir  “BELUM TUTUP BUKU”.
Dari MOU BOX dikutip sebuah kalimat sbb : From a historic point of view, it is true that the ancestors of the Timorese people had been coming to Pulau Pasir (Ashmore Reef) since the 1630s.
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Alamat : Jln.Jambon I No.414J, RT/RW :10/03 – Kricak – Jatimulyo – Jogjakarta. Telp. 0274.588160 – HP. 082135680644  - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id

Penjelasan :
Di Pulau Pasir (Ashmoro Reef)  ini, terdapat :
1). 2 sumur yang digali oleh Nelayan Tradisional  asal Pulau Rote, untuk sumber air minum mereka,dan hingga saat ini sumur tersebut masih ada, bukan buatan Australia.
2). juga terdapat pohon kelapa  dan pohon asam yang ditanam disana oleh nelayan tradisional asal Indonesia, bukan ditanam oleh Australia
3).Terdapat pula sekitar 600 kuburan nenek moyang mereka sudah sejak berabat-abat yang lalu, yang mati selama pencarian hasil laut, oleh karena terkena angin topan menyebabkan perahunya tenggelam dan meninggal di perairan Pulau Pasir.
4). Juga terdapa Harak, yaitu semacam ladang perikanan di sekitar pantai.
5). Terdapat pula berbagai hasil peninggalan sejarah  berupa pecahan gerabah, tungku, dll, yaitu hasil suatu penelitian oleh seorang antropolog asal Australia, yang mengidentifikasi sebagai hasil peninggalan nelayan asal Indonesia.

Semua data-data ini membuktikan bahwa sebelum Kapten Cook menemukan Benua Australia pada Tahun 1778 dan sebelum Kapten Ashmoro menemukan Gugusan Pulau Pasir pada Tahun 1811, para nelayan tradisional  asal Indonesia telah menguasai Pulau Pasir (Ashmore Reef), bahkan sebelum  Pelaut Portugis Antonio Pigafetta menemukan Pulau Rote pada Tahun 1522 dan sebelum VOC menguasai Pulau Rote pada Tahun 1613 dan tahun-tahun sesudahnya.
Dengan demikian diharapkan semua data-data ini  perlu diangkat ke Forum-forum Resmi dalam berbagai Seminar Nasional baik oleh Lembaga DPR RI, pakar-pakar  politik , Universitas, maupun dibahas oleh berbagai Media Massa dalam memperjuangkan kembalinya Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) ke Indonesia.Namun saat ini terkesan seolah-oleh Presiden SBY dan Menlu RI, maupun pakar lainnya,  tidak bersemangat lagi membicarakan Status Pulau Pasir dengan Australia. Mantan Menlu RI, Hassan Wirayudha, pernah menyatakan bahwa Persoalan Pulau Pasir sudah “TUTUP BUKU?”.

Karena Takut PERANG?
Kalau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bisa diperkarakan hingga ke Mahkamah Internasional, mengapa persoalan Pulau Pasir Tidak Bisa? 
Nyali dan keberanian Diplomasi Polilitik Luar Negeri  dari Presiden SBY dan Menlu RI, diuji keseriusannya dalam penyelesaian SENGKETA Pulau Pasir.
Istilah Hukum dalam kata-kata, Indonesia, “Menyerahkan Pulau Pasir” kepada Australia, mengandung pengertian bahwa benar Gugusan Pulau Pasir adalah semula  milik Indonesia. Suatu penyerahan wilayah Indonesia kepada negara manapun adalah bertentangan dengan kedaulatan Indonesia dan UUD 1945. Soeharto dan Ali Alatas yang paling bertanggung jawab atas penyerahan Gugusan Pulau Pasir ke Australia, merupakan suatu penghianatan kenegaraan  yang tidak dapat ditolirir oleh hukum dan undang-undang yang berlaku di Indonesia.  Penyerahan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) kepada Australia semula bukan karena berdasarkan Landas Kontinen melainkan  sebagai Konpensasi Politik  Timor Timur. Penyerahan Pulau Pasir ke Australia, tidak lain sebagai suatu konpensasi politik atas pengakuan Australia terhadap integrasinya Timor-Timur kedalam wilayah Indonesia. Tetapi justru akhirnya Australia juga merupakan salah satu bidan yang melahirkan dan membantu Timor Timur memperoleh kemerdekaannya. Timur Timur saat ini telah memperoleh kemerdekaannya, maka telah terjadi suatu perubahan politik, yang mengharuskan segala MOU yang ditandatangi RI—Australia, sudah saatnya ditinjau kembali dan MOU tersebut batal dengan sendirinya.  Sayangnya Deplu RI dianggap sangat lemah dalam politik luar negeri sehubungan dengan masalah perbatasan, terutama menyangkut Pulau Pasir. Malahan berkeras membela kepentingan Australia terhadap Pulau Pasir. Mungkin karena tidak mengetahui sejarah dan Peta Pulau Pasir?

Lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan merupakan Tragedi Politik Luar Negari RI dalam hal perbatasan. Jika seandainya saat itu  Indonesia berkeyakinan bahwa pulau Ligitan dan Pulau Sipadan milik Indonesia maka, seharusnya segera menerjunkan pasukan TNI  kelokasi tersebut dan mempertahankannya dari tuntutan Malaysia. Namun Presiden Soeharto diam saja dan tidak berbuat sesuatu tindakan keamanan atas kedua pulau tersebut dan hanya mengandalkan meja perundingan yang hasil akhirnya Indonesia dikalahkan oleh Mahkamah Internasional.

Oleh karena penyerahan gugusan Pulau Pasir tidak memiliki dasar hukum yang syah menurut UUD 1945, maka semua MOU yang telah ditandatangani harus batal dengan sendirinya dan kembali ke Indonesia secara otomatis tanpa bersyarat apapun.Penyerahan gugusan Pulau Pasir kepada Australia adalah suatu bentuk “Penghianatan Bangsa” dari pemerintahan Orde Baru, pimpinan Soeharto melalui Menteri Luar Negeri Ali Alatas tanpa persetujuan dan ratifikasi DPR/MPR. MOU 1974, hanya ditandatangani Pegawai Rendahan Australia dan bukan oleh Pejabat Tinggi Australia yang berwewenang, sehingga dianggap Tidak Syah  dan belum berlaku dan mengikat bagi RI – Australia dan juga belum diratufikasi kedua Negara.

Kini 250 juta rakyat menuntut Australia segera mengembalikan Gugusan Pulau Pasir ke Indonesia secara damai, dengan berpatokan pada berbagai sejarah kepemilikan Pulau Pasir oleh masyarakat Adat Suku Rote yang kami jelaskan di atas, maupun peta Auastralia di zaman Hindia Belanda. Jika tidak, maka seluruh rakyat Indonesia akan menempuh langkah-langkah lain dengan resiko apapun dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia dan amat UUD 1945. Keabsahan pemilikan Indonesia atas Pulau Pasir, berdasarkan sejarah dan Hukum Adat masyarakat suku Rote dan pulau-pulaunya perlu dicermati dengan sungguh-sungguh yang disajikan dalam buku ini serta meneliti peta Asli Australia tersebut di atas, tidak akan membohongi siapapun.
Jika,-Pemerintahan SBY-YK—Menlu RI,  tidak memperjuangkan kembalinya gugusan Pulau Pasir, maka mereka dapat di tuntut dimuka Pengadilan karena menyerahkan sebagian dari wilayah Indonesia kepada negara lain (Australia)  yang  bertentangan dengan UUD 1945. Hukum Laut PBB 1982, juga tidak berhak merubah Wilayah suatu Negara yang diperolehnya berdasarkan “SEJARAH  PEROLEHANNYA” yaitu meliputi seluruh wilayah  Ex Jajahan Hindia Belanda yang didalamnya mencakup Pulau Pasir (Ashmoro Reef)..
Apalagi seperti kami utarakan diatas tentang gugusan Pulau Pasir,, adalah  masalah politik, dimana Indonesia didorong untuk memasuki Timor Timur, dan sebaliknya Indonesia menukarnya dengan gugusan Pulau Pasir  kepada Australia. Namun Timor Timur kini telah menjadi Negara merdeka yang notabene didukung Australia, maka semua MOU yang ditandatangani gugur secara otomais. Oleh karena itu perlu dilakukan perjanjian baru Indonesia – Australia guna membicarakan kembali cadangan minyak dan gas bumi di Laut dan Celah Timor, serta status Pulau Pasir.

Jadi sejarah perpindahan hak pemilikan Pulau Pasir, dari Indonesia kepada Australian pada awalnya bukannya  karena alasan dasar kontinen semata, melainkan  sebagai hasil konpensasi politik agar Australia secara de fakto dan de jure mengakui integrasi Timor Timur ke Indonesia.
Tidak ada satu negara di dunia yang dengan begitu mudahnya  menghadiahkan sebagian wilayahnya ke negara tetangganya. Apabila pemerintah Indonesia cq Menteri Luar Negeri Indonesia, tetap tidak memperjuangkan kembalinya gugusan Pulau Pasir ke Indonesia, maka membuka peluang untuk memperkarakannya ke depan Pengadilan dengan alasan  tanpa hak
menghadiakan gugusan Pulau Pasir ke Australia. DPR RI perlu mempergunakan Hak Angketnya untuk mempertanyakan mengapa lepasnya Gugusan Pulau Pasir ke Australia?
Mengapa Menlu RI sekarang ini enggan memperjuangkan kembali Pulau Pasir, karena kemungkinan takut kehilangan muka, oleh kesalahan atasnya dulu yaitu Menlu Ali Alatas yang buru-buru menanda tangani MOU 1974 tanpa dasar hukum yang kuat. Hingga kinipun Perjanjian tersebut belum dirativikasi oleh DPR RI maupun Australia sedang MOU 1974 itu hanya ditandatangani oleh seorang pegawai rendahan sehingga belum memiliki dasar hukum yang kuat.
(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob—Asal Pulau Rote-NTT,
Tinggal di Jln.Jambon I, No.414 J, RT/RW.10/03-Kricak, Jogjakarta-
Telp.0274.588160—HP.082135680644.
E-Mail  :  saj_jacob1940@yahoo.co.id







(9.6). Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) Adalah Pulau  Sengketa
di Selatan NKRI Antara  Indonesia - Australia

Di Indonesia hanya terdapat 1 (satu)  Gugusan Pulau Sengketa  dibelahan Selatan Indonesia, yaitu Pulau Pasir (Ashmore Reef) milik Indonesia yang dicaplok oleh Australia secara sepihak, sedang pulau-pulau dibelahan Utara Indonesia Bebas dari Sengketa oleh karena pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar  tersebut telah memiliki status hukum yang kuat yang telah diatur dalam berbagai PP, Keppres, dan Ketentuan dan telah ditanda tangani oleh Presiden RI. .
Mengapa Pulau Pasir  sebagai Pulau Sengketa, karena menurut sejarah dan Peta Dunia zaman Hindia Belanda dan Peta Dunia zaman dulu buatan Amerika Serikat   memperlihatkan bahwa Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) terletak di Utara Garis Batas berwarna Merah,  Perairan Indonesia dan Australia.

Penulis dapat membuktikan peta-peta tersebut seperti tertera dihalaman-halaman di atas, dan Peta-peta tersebut dapat dipakai guna perjuangan kembalinya Gugusan Pulau Pasir ke Indonesia.
Adapun peta rekayasa Australia secara sepihak sesudah tahun 1974, menunjukkan bahwa Garis Batas Indonesia – Australia digeser makin ke Utara dan ketika sampai di Gugusan Pulau Pasir, Garis Batas itu dibuat setengah lingkaran ke Utara, guna memblok Pulau Pasir sebagai milik Australia. 
Demikianlah sekelumit pendapat dan pikiran penulis tentang nasib pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar yang  hingga kini masih terkatung-katung…  
Semoga menjadi bahan Pertimbangan untuk para pengambil keputusan di Perintah Pusat,  jalan mana yang terbaik.”SEMOGA”

Menurut Pasal 47, Ayat (1) UNCLOS,-Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah perairannya  dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya.
Penarikan garis tersebut mencakup,
Lebar (batas) Laut teritorial,
Zona Tambahan,
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan
Landas Kontinen.
Garis pangkal kepulauan merupakan. garis pangkal lurus yang ditarik,
menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau dan karang-karang terluar, yang digunakan untuk menutup seluruh atau sebagian dari negara kepulauan Penarikan garis pangkal lurus kepulauan dilakukan dengan memperhatikan, tatanan letak kepulauan atau kelompok pulau-pulau yang letaknya berurutan dan bersambungan secara beraturan. Maka, penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat dilakukan menyimpang dari arah konfigurasi umum kepulauan.  Pengertian konfigurasi umum kepulauan merupakan pengertian yang tujuannya identik dengan pengertian arah umum pantai dan dimaksudkan untuk mencegah perluasan laut teritorial suatu negara dengan cara yang tidak sewajarnya.  Citra satelit Landsat-ETM (Enhanced Thematic Mapper) yang direkam pada 2 April 2002 digunakan untuk menentukan batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura. Patut disyukuri ketika keluar Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang adanya upaya pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau terluar. Terjalin sinergi antar berbagai departemen dan lembaga non departemen yang bahu membahu memperhatikan dan mengelola terutama PPKT. Tentu saja dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing sesuai dengan kapasitasnya. Beberapa program pembangunan harus dicanangkan dan berkelanjutan terhadap PPKT. Untuk PPKT yang berpenghuni dapat dilakukan pengembangan pariwisata, eksplorasi sumber daya perikanan, peningkatan aktifitas perdagangan, pembangunan infrastruktur, dan penguatan kelembagaan.  Sedangkan untuk pulau yang tidak berpenghuni lebih diarahkan pada pengembangan konservasi dan taman nasional laut, laboratorium alam, wisata bahari, dan menjadikan pulau sebagai wilayah persinggahan Lepasnya dua PPKT yakni Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Walaupun menurut perjanjian Inggris dan Belanda, kedua pulau tersebut masuk wilayah Indonesia, tetapi Mahkamah Internasional lebih menitikberatkan pada bukti peranan Malaysia di Sipadan-Ligitan.
Tiga aspek utama yang dijadikan alasan Mahkamah
Internasionalmemenangkan Malaysia yakni :

1.keberadaan secara terus menerus (continuous presence),
2.penguasaan efektif (effective occupation),
3.dan pelestarian ekologis (ecology preservation).

Indonesia lemah dalam ketiga hal tersebut dibanding Malaysia.

Kekhawatiran terhadap keberadaan pulau kecil terluar tidak terbatas pada lepasnya pulau ke negara lain. Letaknya yang berhadapan langsung dengan 10 negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand, India, Vietnam, Palau, Papua Nugini, Australia, Philipina, dan Timor Leste) berpotensi rawan terhadap pengaruh ideologi, ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan.
Lingkungan alam juga dapat terancam karena sebagian besar pulau berhadapan langsung dengan lautan bebas, contohnya abrasi yang dapat menghilangkan titik dasar. Dari 92 PPKT yang tersebar di 20 Provinsi, terdapat 12 pulau yang menjadi perhatian khusus yakni Pulau Rondo, Sekatung, Nipa, Berhala, Marore, Miangas, Marampit, Batek, NDana, Fani, Fanildo, dan Pulau Bras.

Contoh kasus, proyek reklamasi pantai Singapura yang berlangsung sejak Tahun 1960 dikawatirkan berdampak negatif terhadap lingkungan dan sumberdaya perikanan. Kekhawatiran dari sejumlah pihak akan terusiknya kedaulatan negara akibat reklamasi juga patut dicermati. Persoalan semakin kompleks ketika pasir untuk keperluan reklamasi Singapura diambil dari wilayah perairan Kepulauan Riau. Beberapa pulau di kawasan ini dikhawatirkan tenggelam.

Di sisi lain, luas daratan Singapura meningkat dalam kurun waktu tertentu.

Tercatat pada tahun 1960 luas asli Singapura sebesar 580 km2.
Bertambah menjadi 660 km2 sampai tahun 1999,
Bahkan peningkatan drastis terjadi pada tahun 2002 menjadi 680 km2.
Diperkirakan luas Singapura di penghujung 2006 sampai 760 km2.

Apakah dengan bertambahnya daratan Singapura berpengaruh pada masalah perbatasan?
Bagaimana nasib pulau kecil di wilayah perbatasan di Kepulauan Riau terkait ekspor pasir?
Siapa yang dapat menjamin keutuhan wilayah kedaulatan?
Dibutuhkan kajian detil untuk menjawabnya.
Kalau dahulu pasir Pulau Nipah dijual ke Singapura  mengakibatkan pulau ini hampir tenggelam, dan untuk menyelamatkan pulau ini terpaksa pemerintah harus mengeluarkan miliar rupiah untuk menanaminya dengan  pohon bakau. Sebuah bisnis yang merugikan. Ini salah siapa?

Ada juga kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pengaturan demikian, telah dan akan melahirkan “ketidakpastian” hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir. Berdasarkan hasil review terhadap perundang-undangan  dan konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka dijumpai tiga permasalahan hukum yang krusial, yaitu:

---Konflik antar Undang-Undang;
---Konflik antara UU dengan Hukum Adat;
---Kekosongan Hukum; dan
---Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut.

Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota. Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).

Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Ketidakpastian hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar Pokokpokok  Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang, ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam UU ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
---Ketiga masalah krusial tersebut, bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik kewenangan, dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumberdaya pesisir.
---Ketiga masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya pun harus terpadu melalui undang-undang baru yang mengintegrasi pengelolaan wilayah pesisir. Saat ini, Pemerintah dalam proses menyusun RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan akan mengusulkannya ke DPR RI tahun 2003 ini. 

(9.7). Pulau Pasir (Ashmoro Reef) dicaplok Australia. Pulau Jemur, Mangudu, Dana Rote, Batek dalam incaran.

Sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di berbagai tempat merupakan peringatan bagi wilayah perbatasan lainnya di Indonesia. Perlu ada keseriusan pemerintah dalam menyikapi persoalan tsb, jangan sepelekan persoalan klaim beberapa pulau oleh Malaysia, dengan dalih sedang ada perundingan atau diplomasi. Karena ketidaktegasan ini akan berdampak pada perbatasan lain di Indonesia. Dalam konteks wilayah perbatasan, beberapa pulau di perbatasan sangat rentan terhadap gangguan keamanan dan rawan dicaplok negara lain. Misalnya posisi NTT cukup rawan karena sejumlah pulau terluarnya juga berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia yang tidak tertutup kemungkinan diklaim sebagai bagian teritori negara tetangga.
Lalu, Pulau Pasir yang merupakan ladang kehidupan para nelayan tradisional Indonesia, akhirnya jatuh ke tangan Australia karena lemahnya diplomasi Indonesia dalam mengklaim wilayah teritorinya. Lepasnya Pulau Pasir ini luput dari perhatian publik. Selain itu, Pulau Batek di wilayah Amfoang Utara, kabupaten Kupang yang berbatasan langsung dengan wilayah kantong Timor Leste, Oecusse, juga sempat diklaim oleh Timor Leste sebagai teritorinya karena jaraknya cukup dekat dengan Oecusse. Gugusan pulau kecil itu sedang dalam pengamanan aparat TNI dari Yonif 744/ Satya Yudha Bhakti ( SYB ), pasukan organik milik Korem 161/ Wirasakti, Kupang.
Pulau Batek yang sempat diklaim Timor Leste

Pulau Batek, kabupaten Kupang, yg sempat diklaim Timor Leste. Tidak hanya Malaysia saja yg tergiur mencaplok wilayah Indonesia, Australia dan Timor Leste juga.Pengamanan yang sama juga dilakukan TNI atas Pulau Mangudu di Sumba timur, serta Pulau NDana Rote di kabupaten Rote Ndao yang sempat dikelola menjadi pulau wisata oleh pengusaha pariwisata dari Australia. Kabar terbaru adalah klaim Malaysia atau Pulau Jemur di kawasan Rokan Hilir, Riau.Mengapa negara tetangga begitu gemar mencaplok wilayah kita ? Karena kita tidak mau mengurus dan mengelola dengan baik maka pulau2 yang berpotensi kekayaan alam dan obyek wisata tsb akan tetap menjadi incaran negara tetangga. Untuk itu, jangan sampai kita terlena dan cukup menerima permintaan maaf dari negara tetangga yang telah menginjak-injak martabat dan kedaulatan bangsa. Jadikanlah ini peringatan dan introspeksi bangsa bahwa sesungguhnya ketidakmampuan kitalah yang membuat negara tetangga selalu merongrong dan melecehkan kita. ( Slamet Subagyo/ PR, 7/9/2009 )

Komen A.Savitri :
Tiga (3) tulisan di atas ( penjualan pulau di internet, tidak/ kurang enak hidup di luar kota, dan klaim pulau oleh negara tetangga ) berkaitan erat. Sumarni mengeluhkan dianaktirikan warga luar kota. Bayangkan jika ia di luar pulau Jawa atau bahkan pulau-pulau  yang jauh, berbatasan dengan negara tetangga. Ketimpangan perhatian akan kian terasa. Saya melihat tayangan di televisi, warga pesisir di utara Sulawesi lebih intens berhubungan dengan koleganya di Filipina. Keluar masuk perbatasan bukan hal yang aneh. Mereka pun merasa hajat hidupnya lebih terurus di negeri seberang daripada negeri sendiri.
Anda bisa bayangkan hal itu juga terjadi pada warga Sipadan Ligitan sebelum akhirnya mereka direngkuh Malaysia, nyaris tanpa hambatan psikologis sebagai bangsa Indonesia yang berkewajiban menjaga keutuhan NKRI. Toh, tak ada manfaat yang mereka peroleh dari negeri sendiri selama ini, pikir mereka pragmatis. Perut lapar, ngurus KTP susah.

Bagaimana otak bisa diisi dengan ilmu kebangsaan dan ketrampilan hidup ? Sekolah juga susah, jauh, mahal, tak terjangkau. Lembaga pelatihan dan lapangan kerja tidak ada. Simbol negara dan perhatian pemerintah juga sangat kurang di daerah mereka. So ? Good bye. Pemerintah Australia, seingat saya, pernah mendorong warganya juga para migran untuk tinggal di wilayah-wilayah yang selama ini tak berpenghuni. Mereka menyediakan infrastruktur dan sarana standar yang diperlukan untuk hidup di wilayah-wilayah terpencil itu. Mereka ingin menjaga keamanan wilayahnya dari susupan asing, baik itu teroris, perompak, pelintas batas/ imigran gelap, dsb. Saya pikir, pemerintah Indonesia bisa melakukan hal semacam itu.

Kirim lulusan pertanian, perhotelan, arsitektur, perguruan, broadcasting, agama, militer, kedokteran, dsb, ke pulau2 terluar Indonesia itu untuk magang selama 5 tahun, sepertihalnya dokter muda magang di puskesmas2 sebelum diijinkan membuka praktek sendiri. Sediakan infrastruktur dan sarana standar di sana.
Para eks tapol Pulau Buru ( tahun 1969-1976 ), seperti Soekiman ( mantan pendeta ), Hersri Setiawan ( pengarang ), A.Solihin ( petani ), Dariun ( aktivis buruh ), yang telah berjasa mengubah rawa menjadi lahan pertanian yang subur, gudang beras bagi Maluku, akan senang bisa membantu generasi muda, sekaligus direhabilitasi nama baiknya. Menurut mereka, sampai sekarang tidak ada ucapan terima kasih dari negara yang telah salah menangkap mereka. Banyak rekan mereka tewas dalam kelaparan, penembakan dan penyiksaan. 
( “Cerita Kelabu Pulau Buru”, Metro Files, MetroTV, 6/9/2009 )
ik terluar














(9.8). Persoalkan Perlakuan Australia terhadap Nelayan RI
color_boat1

Perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia dipersoalkan oleh Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni. Menurut dia, hal itu patut dibahas dalam agenda pertemuan trilateral antara Menlu Indonesia, Australia dan Timor Leste di New York. “Masalah kemanusiaan ini patut dibicarakan dalam agenda pertemuan trilateral tersebut, karena persoalannya tidak jauh beda dengan “Balibo Five” 1975 yang diungkit Australia,” katanya.

Menlu Australia, Stephen Smith dalam pernyataan persnya di Brisbane, Australia, Senin (21/9) mengatakan, pertemuan trilateral antara dirinya dengan Menlu Indonesia Hassan Wirajudha dan Menlu Timor Leste Zacarias da Costa akan berlangsung di sela pertemuan sesi ke-64 Majelis Umum PBB di New York, pekan ini. Smith mengatakan, berbagai isu regional yang menjadi kepentingan bersama ketiga negara akan dibahas dalam pertemuan trilateral yang merupakan bagian dari agenda kegiatannya selama di New York dari 19-26 September.

Selain perlakuan tidak manusiawi yang ditunjukkan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia yang mencari nafkah di Laut Timor, kata Tanoni, masalah batas maritim antara Indonesia-Australia-Timor Leste juga perlu dibahas oleh ketiga Menteri Luar Negeri tersebut. “Masalah batas maritim juga merupakan isu regional yang patut dibahas, selain perlakuan tidak manusiawi terhadap nelayan tradisional Indonesia oleh Australia,” kata penulis buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta” itu.
Tanoni mengatakan, nelayan tradisional Indonesia yang melakukan aktivitas di Laut Timor dengan mencari ikan dan biota laut lainnya, sudah sejak 450 tahun yang lalu secara turun-temurun. Sementara, batas maritim setelah Timor Timur lepas dari pangkauan NKRI melalui referendum pada 30 Agustus 1999, hingga kini tidak pernah jelas, namun secara ekonomis hanya menguntungkan Australian dan Timor Leste, karena adanya migas di Celah Timor. “Ini persoalan krusial dan merupakan isu regional yang menjadi kepentingan bersama ketiga negara bertetangga itu. Karena itu, masalah tersebut patut dibahas, bukan `Balibo Five` yang digelindingkan Polisi Federal Australia (AFP) saat ini untuk mengusut kematian lima orang wartawan Australia di Balibo pada 1975,” katanya menegaskan. Sehubungan dengan rencana pertemuan trilateral tersebut, Tanoni mengharapkan Menlu Hassan Wirajudha dapat memberanikan diri memasukkan agenda batas maritim RI-Australia-Timor Timur di Laut Timor dan perlakuan tidak manusiawi Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor. 

“Hal ini sangat penting untuk dibicarakan, karena sudah merupakan sebuah pelecehan terhadap harga diri, martabat dan kedaulatan NKRI,” katanya dan menambahkan, seluruh perjanjian bilateral tentang batas maritim antara RI-Australia di Laut Timor yang dibuat sejak 1971-1997 harus dibatalkan. Menurut mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini, perundingan kembali tersebut, karena Timor Leste telah berdiri menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat di tepian Laut Timor, setelah 23 tahun berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi.

“Semua perjanjian bilateral yang dibuat oleh Indonesia dan Australia sejak 1971-1997, harus dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral oleh ketiga negara dengan menggunakan prinsip garis tengah (median line) sesuai dengan hukum internasional yang berlaku,” katanya. “Masalah-masalah ini, kita harapkan dapat disampaikan oleh Menlu Hassan Wirajudha dalam pertemuan trilateral bersama sahabatnya Stephen Smith dari Australia dan Zacarias da Costa dari Timor Leste di New York dalam pekan ini,”kata Ferdi Tanoni.* Popularity: 2% [?]

















3 posts • Page 1 of 1

by ouwehoer at ... » Wed Apr 07, 2004 6:47 Pm Khusus untuk Dirty (mind) Harry A. yang menganggap  "Ostrali warga dunia yang terhormat"
Kamis, 8 April 2004 
SUARA PEMBARUAN DAILY 

Seorang Nelayan Indonesia Tewas Setelah Ditahan di Australia Pemerintah Indonesia Harus Membentuk Tim Khusus untuk Menyelesaikannya

JAKARTA - Seorang nelayan asal Indonesia yang diketahui bernama Mansur La Ibu, pekan lalu, tewas saat dalam tahanan pihak ke- amanan Australia. Mansur ditahan bersama sejumlah nelayan Indonesia lainnya karena kapal yang digunakannya terdampar di Perairan Australia bagian Utara. 
Kematian nelayan asal Indonesia tersebut diungkapkan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dalam keterangan tertulisnya kepada Pembaruan di Jakarta, Selasa (6/4). Berkaitan dengan hal itu, YPTB mengutuk perlakuan
sewenang-wenang dan tindak kekerasan yang dilakukan pihak keamanan
Australia terhadap nelayan Indonesia yang terdampar di wilayahnya.

YPTB juga mendesak Pemerintah Indonesia segera membentuk tim khusus untuk menyelesaikan klaim sepihak Australia, dan membantu para nelayan RI yang  saat ini ditahan. 
Dalam keterangan tertulisnya, Ketua YPTB, Ferdi Tanoni mengungkapkan, pihak keamanan Australia te-lah bertindak sewenang-wenang terhadap para nelayan Indonesia yang ditahan di Pelabuhan Darwin, Australia Utara. YPTB
melaporkan, petugas Imigrasi Pemerintah Federal Australia telah bertindak di luar batas kewajaran kemanusiaan, dengan menyekap tujuh nelayan Indonesia selama beberapa minggu, dalam sebuah perahu nelayan kecil tanpa dilengkapi fasilitas yang layak. 
YPTB juga memastikan seorang nelayan Indonesia, Mansur La Ibu, pekan lalu
tewas akibat perlakuan tersebut. 
"Tindakan tidak manusiawi tersebut seperti tidak adanya perlindungan dan
fasilitas layak bagi nelayan dan tidak boleh meninggalkan kapal kecil mereka yang berukuran 13,5 meter selama berminggu-minggu. Sementara cuaca buruk dan badai tropis sering melanda kawasan Australia Utara. Laporan yang kami terima dipastikan satu orang nelayan telah tewas," tegasnya. 
Tinjau Ulang Ferdi Tanoni menjelaskan, kepastian kematian Mansur La Ibu diperoleh dari salah seorang petugas pemeriksa mayat Australia Utara di Darwin, Greg Cavanagh. Ferdi, mengutip pernyataan Greg, mengatakan, Otorita Manajemen Perikanan Australia harus meninjau kembali tentang penahanan nelayan-nelayan ilegal, termasuk dari Indonesia. Berkaitan dengan itu, Greg juga mengimbau Departemen Imigrasi Australia bersama Konsulat Republik Indonesia di Darwin, untuk mencari sebuah solusi terbaik terhadap nasib nelayan Indonesia yang ditahan Australia Seperti diketahui, para nelayan dikenai tuduhan memasuki dan menangkap ikan di perairan Australia secara ilegal. Mereka yang terdampar dan ditahan pihak Australia tersebut tidak diperkenankan meninggalkan kapal kecil miliknya. Proses hukum ataupun upaya pemulangan ke Indonesia juga tidak dilakukan oleh pemerintah setempat. 

Sementara itu Menteri Perikanan Australia Ian Macdonald, Senin (5/4) di
Sydney, mengatakan, kapal-kapal ilegal tersebut ditahan karena memasuki
perairan Australia Utara secara ilegal. Jumlah kapal yang ditangkap tersebut mencapai 131 buah pada 2003 atau meningkat 10 kapal dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, pihaknya telah memulangkan sebagian nelayan dan beberapa nelayan masih ditahan dan sedang diproses hukum YPTB mendesak Departemen Luar  Negeri RI untuk segera membentuk sebuah tim independen dengan mengikut sertakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan berbagai pihak independen terkait, baik dari Indonesia maupun Australia untuk menginvestigasi kasus tersebut. (H-12)

(9.10). Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia

Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia
Oleh : Akhmad Solihin
Sebagai negara yang tambahan jika nelayan Indonesia yang sudah pernah ditangkap kembali tertangkap karena perbuatan yang sama," ujar Anakaka. (*/lpk)  berbatasan langsung dengan Australia di Laut Timor, hubungan Pemerintah Indonesia dengan negara kangguru tersebut senantiasa dihadapkan pada pelanggaran kedaulatan baik oleh warga negaranya maupun oleh institusi yang mewakili negaranya itu sendiri. Pelanggaran kedaulatan tersebut kerap berujung pada terciptanya ketegangan hubungan diplomatik kedua negara.

Ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh kedua negara dalam hal realisasi kedaulatan bukanlah faktor utama penyebab ketegangan, akan tetapi rambu-rambu hubungan internasional yang pernah berlangsung tidak bisa diabaikan. Salah satu pelanggaran kedaulatan yang kerap dilakukan oleh warga negara indonesia di wilayah kedaulatan Australia adalah aktivitas illegal yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, seperti melakukan tindakan penangkapan satwa-satwa atau binatang yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan Australia (Thontowi, 2002). Adapun nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang sering berkunjung ke wilayah perairan Australia, khususnya Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah berasal dari daerah Pulau Rote, Flores, Buton, Sabu, Timor, Alor, Sulawesi dan Maluku (YPTB, 2005). Dengan demikian, adanya kebiasaan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia sejak berabad-abad tahun yang lalu ini merupakan peluang yang besar bagi terjadinya konflik antara Indonesia dan Australia, sebagai negara-negara yang masing-masing memiliki kedaulatan.

Selanjutnya Thontowi menjelaskan bahwa, bagi Pemerintah Australia, pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional indonesia tersebut menimbulkan tingginya beban ekonomi bagi Pemerintah Australia. Hal ini dikarenakan, Pemerintah Australia bertanggung jawab dalam penyediaan tempat tinggal sewaktu ditahan serta pemulangan nelayan tradisional Indonesia yang tertangkap. Oleh karena itu, kasus pelanggaran kedaulatan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia harus menjadi perhatian bersama untuk segera dituntaskan.

Mengingat, kasus ini bukan hanya merugikan Pemerintah Australia secara finansial, akan tetapi juga mengganggu kelancaran hubungan baik kedua negara. Contoh kasus terganggunya hubungan baik kedua negara adalah pada tahun 2005, dimana pada operasi pemberantasan illegal fishing di perairan Australia yang dinamakan “Clean Water Operation” yang berlangsung pada tanggal 12-21 April 2005, aparat keamanan Australia berhasil menangkap sekitar 30 kapal nelayan Indonesia dengan 272 ABK. Masalah semakin mencuat ketika Muhammad Heri (Kapten kapal KM Gunung Mas Baru) meninggal dunia dalam masa penahanan di Darwin, Australia pada tanggal 28 April 2005.

Perjanjian Bilateral
Pentingnya penuntasan masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia ini mendorong Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia untuk duduk bersama dalam mengatur kegiatan nelayan tradisional Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan Australia. Pengaturan tersebut bertujuan agar dapat menjamin kelangsungan hak-hak perikanan tradisional (traditional fishing rights) di satu sisi dan dapat melindungi kepentingan-kepentingan Australia di sisi lain.

Kesepakatan atau perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia untuk menutaskan masalah ini telah dilakukan tiga kali, yaitu:
(1) pada tahun 1974 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” atau yang dikenal dengan istilah MOU BOX 1974;
(2) pada tahun 1981 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Republic of Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement Arrangement”; dan
(3) pada tahun 1989 yang menghasilkan “Agreed Minutes of Meeting Between officials of Indonesian and Australia on Fisheries”.
Salah satu substansi yang dimuat dalam ketiga perjanjian tersebut di atas, adalah tentang jaminan bagi adanya hak-hak perikanan tradisional Indonesia.

Dalam konteks hukum perjanjian internasional, MOU BOX 1974 merupakan perjanjian pertama dan semata-mata mengatur tentang hak perikanan tradisional. Oleh karena itu, maka baik MOU 1981 maupun Agreed Minutes 1989 hanyalah merupakan penegasan kembali disertai petunjuk pelaksana terhadap MOU BOX 1974.
Memorandum of Understanding (MOU) biasanya dipakai dalam perjanjian internasional untuk memberi nama kepada catatan mengenai pengertian yang telah disepakati para pihak, yang kemudian digunakan sebagai dasar persetujuan yang akan dibuat atau sebagai dasar persetujuan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari perjanjian induk. Sedangkan Agreed Minutes (notulen yang disetujui) digunakan untuk menyebut hal-hal yang disetrujui dalam konferensi, tetapi baru akan menjadi perjanjian internasional kalau syarat-syarat yang ditentukan terwujud, termasuk kemauan para pihak untuk terikat (Tsani 1990).

Ketiga perjanjian tersebut di atas juga merupakan hal yang diamanatkan oleh Pasal 51 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), bahwa sebagai negara kepulauan yang berbatasan dengan negara lain, setiap negara harus mengakui hak-hak perikanan tradisional suatu negara yang telah berlangsung lama. Namun, syarat untuk melaksanakan hak-hak perikanan tradisional tersebut adalah perundingan dengan negara-negara tetangga yang bersangkutan.

Adapun bunyi Pasal 51 secara lengkapnya adalah “Tanpa mengurangi arti pasal 49, negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan.

Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya”.

Pelanggaran Kedaulatan
Meski Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah melakukan perjanjian bilateral untuk mengatasi masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan nelayan-nelayan tradisional Indonesia, namun di lapang ternyata masih saja terjadi pelanggaran. Hal ini tercermin dari data tertangkapnya nelayan-nelayan Indonesia, baik tradisional maupun modern oleh aparat Pemerintah Australia. Menurut Adhuri (2005), paling tidak ada beberapa isu utama yang harus kita pahami untuk mengerti konflik atau pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu:

1.Conflicting Claims
Meskipun Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah melakukan perjanjian-perjanjian, namun masyarakat nelayan, khususnya masyarakat nelayan dari Nusa Tenggara Timur menganggap bahwa fishing ground tertentu, khususnya Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah wilayah mereka. Adapun berbagai perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua negara diantaranya yaitu: (1) perjanjian mengenai batas Landas Kontinen yang ditandatangani pada tanggal 18 Mei 1971 dan 9 Oktober 1972;
(2) perjanjian mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif yang ditandatangani tanggal 14 Maret 1997; dan
(3) perjanjian mengenai traditional fishing rights sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya (tahun 1974, tahun 1981, dan tahun 1989).
Usaha klaim masyarakat nelayan dari Nusa Tengara Timur tidak hanya ditunjukan dengan aktivitas penangkapan ikan di Pulau pasir, akan tetapi juga telah dilakukan secara politis, dimana Dewan Raja-raja di daratan Timor, Rote, Sabu dan Alor pada bulan April 2003 telah memberikan mandat kepada Kelompok Kerja (Pokja) Celah Timor dan Pulau Pasir untuk memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka di Laut Timor, termasuk Celah Timor dan Pulau Pasir.

Klaim mereka terhadap Pulau Pasir didasarkan pada sejarah panjang aktivitas nelayan-nelayan Nusa Tenggara di pulau ini. Menurut sejarah, jauh sebelum Kapten Ashmore menemukan Pulau Pasir dan Inggris mengklaimnya pada tahun 1878, sejak tahun 1609 masyarakat nelayan Indonesia secara de facto menguasai Pulau Pasir, karena pulau ini tempat mencari nafkah sekaligus tempat perisitirahatan.

Selain itu, kepemilikan Indonesia atas Pulau Pasir diperkuat juga oleh hasil kajian YPTB yang menemukan studi Mcknight (1976), bahwa menurut arsip Belanda diberitakan sesorang saudagar Tionghoa diberi izin pada tahun 1751 untuk mencari kulit penyu dari gugusan Pulau Pasir yang ada di selatan Pulau Timor. Dengan demikian, jelas sudah bahwa kegiatan-kegiatan perekonomian masyarakat Indonesia jauh lebih dulu dibandingkan dengan kedatangan Kapten Ashmore.

2. Pasar Internasional Sumberdaya Laut

Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor keberadaan pasar internasional ikut andil dalam mendorong aktivitas nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia. Mengingat, sumberdaya yang ditangkap seperti teripang, trochus, dan sirip hiu bukan lah komoditas yang dikonsumsi secara langsung oleh mereka, melainkan untuk dijual ke luar negeri, yaitu pasar Cina.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia tersebut diantaranya, yaitu (Songa, 2000):

1. Pelanggaran terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MOU BOX 1974 dan Agreed minutes 1989. Pelanggaran ini merupakan pelanggaran terbanyak yang dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia. Hal ini dikarenakan, sebagai akibat dari berubahnya peta wilayah kegiatan para nelayan tradisional Indonesia yang semula tunduk pada MOU BOX 1974 Pulau Pasir (Ashmore Reef), Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet) berubah sesuai dengan Agreed Minutes 1989 (Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet). Dengan kata lain, Ashmore Reef dan Cartier Islet dilarang untuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam hayati.

2. Pelanggaran terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam hayati sesuai dengan kesepakatan, baik sesuai MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989. Salah satu jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia adalah pengambilan jenis-jenis biota laut tertentu sebagai bagian dari sumberdaya alam hayati yang dilarang, seperti pengambilan penyu dan burung beserta telurnya.

3. Pelanggaran terhadap penggunaan fasilitas yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan, dimana fasilitas tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan melalui MOU BOX 1974 dan Agreed Minutes 1989. Dalam kenyataan pelanggaran seperti ini terlihat dalam bentuk: melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan perahu yang digerakkan oleh mesin (motor), menggunakan alat-alat penangkapan yang tergolong modern, bahkan menangkap ikan hiu dengan menggunakan gillnet.

4. Pelanggaran yang dilakukan berhubungan dengan masalah lingkungan hidup. Hal ini dapat terlihat antara lain dari tindakan para nelayan yang dapat menimbulkan kebakaran karena lalai memadamkan api setelah memasak atau membuang puntung rokok tanpa dimatikan terlebih dahulu apinya, ataupun kegiatan lain yang menyebabkan terkontaminasinya sumber-sumber air minum pada tempat-tempat dimana para nelayan diperbolehkan untuk mengambil air minum.

5. Pelanggaran lain yang juga sering dilakukan adalah pemanfaatan kegiatan penangkapan ikan ini sebagai sarana untuk mengantar dan memasukan imigran gelap ke Australia.

Adapun faktor-faktor terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu (Songa, 2000):

1.Pengertian nelayan terhadap MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 masih kurang. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan mereka yang masih relatif rendah, sehingga sangat besar kemungkinan mereka tidak dapat membaca peta dan karenanya tidak dapat mengenali dengan tepat wilayah operasinya.

2. Nama pulau dan daerah yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989, mungkin saja berbeda dengan nama yang dikenal sehari-hari oleh nelayan tradisional Indonesia. Seperti Pulau Pasir yang dinamakan Australia sebagai Ashmore Reef, Pulau Baru dinamakan Cartier Islet, dan Pulau datu dinamakan Seringapatam Reef.

3. Para nelayan tradisional Indonesia kurang mengetahui batas wilayah yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 secara pasti. Hal ini terjadi karena, selain para nelayan tradisional tidak dapat mengerti/membaca peta tetapi juga karena tidak terdapat tanda-tanda yang jelas yang menunjukan batas-batas sebagaimana yang dimaksudkan oleh MOU 1974 maupun Agreed Minutes 1989. Sementara para nelayan tradisional pada umumnya tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi yang memadai.

4. Hasil yang diperoleh dari usaha penangkapan cukup banyak atau cukup memuaskan sehingga para nelayan tidak ingin untuk melakukan kegiatan di bidang usaha lain.

5. Pengaruh faktor sosial dan budaya, dimana keluarga-keluarga tertentu dari masyarakat nelayan tradisional Indonesia asal Papela – Rote, setiap tahunnya mengadakan kunjungan ke makam leluhurnya yang meninggal dan dikuburkan di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Saat mengunjungi makam ini biasanya dilakukan bersama-sama dengan mencari hasil-hasil laut sebagaimana dilakukan oleh nenek moyangnya sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Konsekuensinya dari kegiatan ini adalah bahwa mereka (para nelayan tradisional Indonesia) pasti memasuki wilayah konservasi alam Ashmore Reef, yang seyogyanya dilarang.

Tugas Pemerintah
Hingga saat ini, paling tidak ada dua cara yang dilakukan untuk mengatasi pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu penanganan secara hukum dan pendekatan persuasif (Adhuri, 2005). Penanganan secara hukum yang dilakukan berdasarkan hukum Australia kurang efektif, karena masih banyak nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang melakukan pelanggaran.

Sedangkan cara yang kedua adalah alternative livelihood atau pengalihan mata pencaharian yang dilakukan melalui gerakan dari Australian National University dengan disponsori beberapa lembaga negara maupun LSM dari Australia. Beberapa usaha alternatif yang dikembangkan adalah budidaya rumput laut, usaha pembesaran ikan kerapu, dan budidaya sponges. Tujuan dari program ini adalah menurunnya aktivitas pelanggaran kedaulatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan Australia.
Kritikan bagi cara-cara yang dilakukan selama ini sebagaimana yang disebutkan di atas adalah:

1. Penanganan secara Hukum
Penyelesaian hukum yang kerap mengusik rasa keadilaan yang menyebabkan ketersinggungan dan menyulut emosi kebangsaan, maka Pemerintah Indonesia dan Australia harus duduk bersama guna mendapatkan penyelesaian yang sifatnya win-win solution. Penyelesaian kasus nelayan tradisional Indonesia selama ini diselesaikan dengan proses peradilan telah menyebabkan pasang-surut hubungan Indonesia-Australia. Ada dua fenomena penting yang menarik mengenai penyelesaian persoalan nelayan Indonesia di perairan Australia, yaitu:

Pertama, bahwa putusan hakim Australia kurang efektif karena para nelayan Indonesia tidak jera untuk menghentikan kegiatannya dalam jurisdiksi teritorial Australia, dan

Kedua, Pemerintah Australia mengklaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan Indonesia telah merugikan Pemerintah Australia dan orang asli aborigin (Thontowi, 2002).

Oleh karena itu, untuk menuntaskan sengketa ini perlu mengedepankan penyelesaian secara damai guna menciptakan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, yaitu negosiasi, penyelidikan, dengan peraturan, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilihnya sendiri. Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan Indonesia, Jawahir Thontowi menyarankan alternatif penyelesaiannya melalui non-peradilan yang dalam hal ini adalah komisi arbitrase yang diharapkan mampu mengambil tanggung jawab bersama, sehingga baik secara moral maupun secara hukum internasional, kedua negara harus berusaha untuk menegakkan ketertiban dunia. Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam penyelesaian pelanggaran diyakini dapat menciptakan rasa keadilan dan menjauhkan ketersinggungan, mengingat kedua negara diwakili oleh masing-masing wasit.

Meskipun bukan satu-satunya solusi alternatif, namun penyelesaian non-peradilan melalui komisi arbitrase Indonesia – Australia akan lebih akomodatif dan relevan serta mencerminkan kepentingan dua negara. Hal ini dikarenakan, komisi arbitrase dapat berperan dalam mengeliminir tumpang tindih ketentuan hukum laut yang selama ini belum dapat dirumuskan.

Tumpang tindih ketentuan hukum tersebut, yaitu perjanjian batas Landas Kontinen Indonesia Australia yang berdasarkan pada Konvensi Jenewa Tahun 1958 sedangkan perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif yang berdasarkan pada UNCLOS 1982. Perbedaan penggunaan dasar aturan inilah yang menimbulkan tumpang tindih zona sehingga dikhawatirkan menimbulkan konflik dikemudian hari. Memang, dalam UNCLOS 1982 wilayah ZEE dan Landas Kontinen tunduk pada aturan yang berbeda sesuai dengan rezim hukumnya masing-masing. Namun, dalam perkembangan yang baru, penyelesaian batas maritim antara ZEE dan Landas Kontinen cenderung satu garis.

2. Alternative Livelihood
Mengenai kebijakan alternative livelihood yang ditawarkan Australia perlu disikapi secara seksama, mengingat pengalihan mata pencaharian nelayan-nelayan tradisional dari status sebagai nelayan menjadi pembudidaya ikan dapat melemahkan eksistensi hak-hak perikanan tradisional. Padahal, status hak-hak perikanan tradisional sudah diakui dalam hukum internasional.

Oleh karenanya, yang harus dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam hal menjalin kerjasama, bukanlah bertujuan mengalihkan kegiatan para nelayan, melainkan memelihara dan melestarikannya sebagai suatu hak yang telah diakui oleh hukum internasional. Untuk itu, agar tidak terjadi pelanggaran, maka kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Australia adalah pengadaan fasilitas berupa alat navigasi dan fasilitas lain yang dapat membantu kegiatan para nelayan tradisional.

Apabila ini tidak dibangun, dan Pemerintah Australia hanya memfokuskan pada pengalihan mata pencaharian, berarti Pemerintah Australia bermaksud menghilangkan hak-hak perikanan tradisional nelayan-nelayan Indonesia.
Dengan demikian, di samping menuntut dibentuknya Komisi Arbitrasi untuk menyelesaikan kasus hukum pelanggaran kedaulatan, Pemerintah Indonesia harus menuntut pembangunan fasilitas navigasi agar tidak terjadi pelanggaran nelayan-nelayan tradisional Indonesia dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah yang diperjanjikan. Hal lain yang juga diperhatikan Pemerintah Indonesia adalah pembahasan ulang perjanjian mengenai hak perikanan tradisional. Pada perjanjian MOU 1981 dan Agreed Minutes 1989,
Pemerintah Australia secara sepihak merubah sebagian isi perjanjian MOU 1974, yaitu perubahan status Ashmore Reef sebagai kawasan pelestarian taman nasional sejak tahun 1983 serta pembatasan tangkapan biota laut. Hal ini dikarenakan, para ahli hukum dan Konvensi Wina tahun 1969 mengisyaratkan harus ada kesekapatan para pihak dalam melakukan perubahan terhadap isi perjanjian yang telah disepakati.

Selain itu, dalam pembahasan ulang perjanjian tersebut harus menuntaskan pengertian nelayan tradisional, karena ketidakjelasan pengertian ini menyebabkan perbedaan penafsiran. Bruce dan Wilson dalam Thontowi (2002) menyatakan bahwa rumusan nelayan
tradisional itu tidak tepat oleh karena mengandung kelemahan konseptual.

Menurut pengertian hak perikanan tradisional, ada empat yang harus diperhatikan, yaitu:

nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap
ikan di suatu perairan tertentu;

(2) nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara tradisional;

(3) hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu; dan

(4) nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut (Djalal, 1988).

Namun, ternyata kriteria di atas juga menyimpan masalah yang menimbulkan ketidakjelasan, misalnya perbedaan istilah nelayan tradisional di Indonesiaa dengan di Australia. Apakah yang dikategorikan nelayan tradisional itu sama dengan nelayan kecil yang kapal penangkap ikannya harus bermesin dalam (inboard) berukuran 5 GT ke bawah atau perahu bercadik yang hanya menggunakan angin untuk pergerakannya. Ironisnya, ketidakjelasan istilah ini pun terjadi dalam peraturan perundang-undangan kita, misalnya pada Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Disebutkan, bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sungguh pengertian yang sangat tidak jelas, sehingga sangat wajar muncul gerakan ketidakpuasan yang berujung penuntutan agar UU No. 31 Tahun 2004 segera diamandemen.
Dengan tidak jelasnya istilah nelayan tradisional tersebut, maka setiap saat nelayan tradisional Indonesia selalu ditangkapi oleh aparat keamanan Australia.

Sehingga istilah “sudah jatuh tertimpa tangga” lebih tepat bagi nelayan tradisional, karena di satu sisi, mereka tidak terperhatikan oleh Pemerintah Indonesia yang terlalu berkonsentrasi pada kapal asing yang lebih menggiurkan. Sementara di sisi lain, nelayan tradisional diposisikan sama dengan pencuri oleh Pemerintah Australia.

Tinjauan Pustaka
Adhuri, Dedi S (Ed). 2005. Fishing In, Fishing Out: Memahami Konflik-konflik Kenelayanan di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Lipi Press. Jakarta.
Djalal, Hasjim. 1988. Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut Internasional. Makalah Terbatas Lemhanas.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
Songa, Wilhelmus Wetan. 2000. Pelaksanaan Perjanjian Antara Indonesia dan Australia tentang hak Perikanan Tradisional Dikaitkan dengan Nelayan Asal Nusa Tenggara Timur (Tidak Dipublikasikan). [Tesis]. Bandung. Program Studi Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Tsani, Muhamad Burhan. 1990. Hukum dan Hubungan Internasional. Liberty. Yogyakarta.Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Nasional

(9.11). Menteri Luar Negeri: Tak Ada Pulau Lain yang Berstatus Sengketa

15 Januari 2003
TEMPO Interaktif, Jakarta:
Menteri Luar Negeri Hasan Wirajudha menyatakan, tidak ada lagi pulau-pulau lain di nusantara yang berstatus sengketa dengan negara lain. Pernyataan ini dikeluarkan dalam konferensi pers usai mengadakan pertemuan dengan Dewan Maritim Indonesia di Departemen Luar Negeri, Rabu (15/1), menanggapi keprihatinan beberapa kalangan masyarakat tentang masalah perbatasan wilayah laut Indonesia dengan beberapa negara tetangga di pulau-pulau jauh dan terpencil. 
Menurut Wirajudha, yang perlu diperhatikan adalah bahwa permasalahan pulau-pulau di Indonesia bukan menyangkut kepemilikan atas pulau tersebut tetapi hanya masalah perbatasan yang belum jelas. Masalah ini akan dibicarakan lebih lanjut dengan negara yang bersangkutan. Mengenai berapa jumlah pulau yang masih belum jelas batas-batasnya, Wirajudha belum bisa memperkirakan karena banyaknya pulau yang dimiliki Indonesia. Tetapi pada dasarnya ada lima pulau terluar yang sudah jelas mempunyai masalah perbatasan. 

Pertama, Pulau Nipah. Pulau yang terletak di Barat Laut Pulau Batam ini berbatasan langsung dengan Singapura. Masalah yang dihadapi adalah risiko tenggelam karena abrasi akibat penambangan pasir di pulau tersebut. Namun, tenggelamnya Pulau Nipah tidak akan mempengaruhi perjanjian batas wilayah RI-Singapura tahun 1973 yang telah disepakati bersama antara kedua negara. 

Kedua adalah Pulau Miangas, yang terletak di utara Pulau Kalimantan. Sengketa kepemilikan atas pulau Miangas antara AS dengan Belanda telah diselesaikan oleh Mahkamah Abritase pada 1928. Putusannya, Pulau Miangas adalah wilayah dari Belanda yang berarti milik Indonesia, dan Filipina sudah mengetahui kepemilikan Indonesia atas pulau tersebut. Hal itu juga tertuang dalam protokol persetujuan ekstradisi RI-Filipina 1976. Kedua negara akan melakukan pertemuan pada Februari 2003 untuk membahas masalah ini. 

Ketiga adalah Pulau Mapia, yang terletak di perairan sebelah utara Papua. Wirajudha menjelaskan, menurut PP No.38 tahun 2002, Pulau Mapia bukan pulau terluar, karena di sebelah utara pulau itu masih terdapat Pulau Bras. Tetapi, menurut dia, telah ada kesepakatan mengenai batas laut antara Indonesia dengan Papua Nugini. “Sehingga sudah jelas, pulau Mapia milik kita,” kata dia. 

Keempat adalah Pulau Batek, yang terletak di Pulau Timor. Berdasarkan Peta Laut Hindia Belanda No.117, Nusa Tenggara (kleinae soenda einlenden enaangrenzende vaarwaters blad V) terbitan tahun 1925 menggambarkan kepemilikan pulau-pulau di wilayah sekitar pulau Timor. “Dan peta tersebut tidak mencantumkan Pulau Batek sebagai milik Portugis,” kata dia. Peta menggambarkan wilayah milik Portugis adalah Oikoesi, Timor Portuguese, Pulau Jako, dan Pulau Kambing. Selain itu, lanjut Wirajudha, pada Januari 2002, Direktoran Navigasi dari Ditjen Perhubunga Laut Departemen Perhubungan RI, telah membangun Menara Suar di Pulau tersebut dan sampai sekarang masih berlangsung pelaksanaannya. Mercusuar ini baru akan beroperasi awal tahun ini. Untuk masalah ini, pada November tahun lalu telah diadakan pertemuan join venture comission antara RI-Timor Leste dan Australia. “Sudah jelas masalah Timor Gap bukan masalah Indonesia lagi. Jadi, kita hanya berkonsentrasi pada perbatasan antar Indonesia dengan Timor Leste,” katanya. 

Kelima, Pulau asir (ashmore reef).
Pulau ini terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 170 km di sebelah selatan pulau Rote. Kepemilikan pulau ini dimiliki Australia karena diwarisi dari Inggris yang menetapkan wilayah itu sebagai koloninya pada 1878.*) Menurut Wirajudha, terdapat tiga kesepekatan antara RI Australia menyangkut ashmore reef, yaitu MOU operasi nelayan tradisional Indonesia di wilayah perikanan dan landas kontinen Indonesia 7 November 1974, yang intinya memberikan hak kepada nelayan tradisional Indonesia untuk menangkap ikan di wilayah marimtim, termasuk di ashmore reef. Yang kedua MOU tentang provisional fishseries surveilance dan enforceline, Oktober 1981 yang berisi ketentuan tentang tidak terpengaruhnya hak tradisional Indonesia di pulau karang tersebut. Yang ketiga, persetujuan tentang petunjuk teknis bagi implementasi MOU 1974 di atas Mei 1989. 

Menlu juga menambahkan, masih ada beberapa masalah perbatasan di beberapa wilayah pulau Indonesia, seperti di Pulau Rondo, Aceh. “Pulai Rondo itu milik kita, tetapi, hanya perlu dibicarakan mengenai batas-batas lautnya lebih lanjut dengan Malaysia," ujarnya. Kemudian, pulau terluar Indonesia lain, yaitu Pulau Natuna, yang terletak diantara Indonesia dan Malaysia telah menjadi milik Indonesia sepenuhnya. Pada 1984 antara Indonesia dan Malaysia telah ada pembicaraan mengenai batas laut dan udara di atas pulau tersebut. (D.A. Chandraningrum-Tempo News Room)

*) Catatan Penulis
(Suatu Tanggapan)

Keterangan Menlu RI tersebut  menyatakan bahwa kepemilikan Asutralia  atas Pulau Pasir (Ashmoro Reef)  yang diwariskan oleh Inggris tahun 1878  itu hanya suatu rekaysa saja dan tidak benar. Jika kita melihat Peta Australia di zaman Kolonial Belnada, wilayah Australia tidak termassuk Pulau Pasir karena pulau itu milik Hindia Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan Peta Asli Australia yang  seperti dimuat oleh Penulis dalam halaman-halaman sebelumnya di atas.

Peta inilah menjadi saksi autentik yang akurat dan tidak bisa dibantah oleh Austyralia sekalipun. Demikian dalam Peta buatan AS, juga Pulau Pasir (Ashmore Reef) tidak terdaftar dalam Peta Asli Australia tersebut. Jika Inggris mengakui Pulau Pasir masuk wilayahnya maka harus dibuktikan dengan Dokumen tertulis bertahun 1878, dimana terdapat tulisan yang mencantumkan nama Pulau Pasir (Ashmore Reef)  sebagai wilayah Inggris sekarang Australia. Jika hal ini tidak dapat dibuktikan, maka semua keterangan hanya berupa rekayasa saja, maka siapapun tidak dapat mengatakan bahwa Pulau Pasir itu milik Australia.
Perlu ditambahkan bahwa Kapten Cook  tahun 1778 baru menemukan Pantai Timur Benua Australia, dan status dari Kapten Cook adalah seorang pelaut biasa  dan bukan sebagai seorang wakil Pemerintah Inggris saat itu yang berhak menyatakan bahwa Pulau Pasir (Ashmoro Reef) adalah milik Inggris. Yang menemukan Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah Kapten Asmore  pada tahun 1811. Saat itu Benua Australia masih milik Suku Aborigin dan belum berstatus sebagai koloni Inggris. Dengan demikian pemerintah Australia telah merekayasa sejarah untuk membenarkan argumentasinya dalam mencaplok Pulau Pasir secara sepihak.. Sedang jauh sebelum pelaut Portugis Antonio Pigafetta menemukan pulau Rote tahun 1522, Pulau Pasir sudah dikuasai  para Pelaut atau nelayan tradisional asal Pulau Rote. Para nelayan tradisinal   asal Indonesia jauh sebelum 1522, telah berlayar hingga Australia dan mereka menakan Benua itu  „Pulau Marege“ karena penduduknya kulitnya Hitam Pekat. Marege = Hitam Pekat. (Sumber : Peta Dunia Jermbatan Jakarta 1952)-Penulis.

Jadi dasar hukum yang kuat ialah berdasarkan Peta Australia yang yang tertera dihalaman di atas adalah milik Hindia Belanda. Di Peta baru buatan Australia setelah tahun 1974, sebenarnya Pulau Pasir tetap masuk Indonesia apabila Garis Perbatasan Laut Indonesia – Australia DI TARIK LURUS,  dan bukan  dibuat Garis Setengah Lingkaran yang mrmblokir Pulau Pasir. Kemudian guna menguasai Pulau Pasir, Australia sengaja menjadikan Taman Suaka Australia yang katanya untuk tidak dirusak oleh para nelayan tradisional asal Indonesia.

Tetapi kenyataannya lingkungan laut tercemar oleh perusahan Minyak yang tumpah di Laut Timor. dan merugikan  para nelayan di Nisa Tenggara Timur.  Jadi menjadikan Taman Suaka, itu hanya sebagai kedok saja dalam menguasai Pulau Pasir karena dilokasi tersebut terdapat  sumber cadangan migas yang melimpah untuk dikuasainya sendiri. Jadi jelasnya Menlu RI jangan terlena hanya percaya dengan keterangan sepihak dari Asutralia saja dan jangan menjadi trompet yang membela kepentingan Australia di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Kita masih banyak menyimpan data dari berbagai sumber  berupa sejarah, peta dan kepustakaan lainnya untuk menyanggah argumentasi Australia yang berat sebelah.

Ke-dua : Menlu RI mengatakan : Timor Gap bukan masalah Indonesia lagi. Jadi, kita hanya berkonsentrasi pada perbatasan antar Indonesia dengan Timor Leste,” katanya.  Sesungguhnya luasnya Laut Timor mulai dari  batas Laiut Arafuru hingga Auastralia. Dengan demikian yang memiliki Laut Timor, bukan saja Timor Leste dan Australia saja tetapi juga masyarakat Nusa Tenggara Timur (Indonesia).

Pertanyaannya : Atas dasar argumentasi apa  dan dasar hukum mana yang meniadakan hak masyarakat NTT atas Laut Timor dan Celah Timor atas sumber Migas yang terkandung didalamnya, dan yang menikmati hasilnya hanya Timor Leste dan Australia saja? Indonesia NOL BESAR?
Ini jelas Lemahnya Diplomasi Luar Negeri  yang konyol dan menyerahkan 100 %  hasil migas di Laut dan Celah Timor kepada Timor Leste dan Australia, tanpa merasa Bertdosa pada Bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu dibuka kembali masalah Laut Timor dan Celah Timor  dengan Timor Leste dan Australia, karena tidak adil.  Seperti apa yang dijelaskan pada Bab-bab sebelumnya tentang Perjuangan Pulau-pulau perbatasan dan pulau-pulau terluar NKRI,  ternyata Indonesia selalu dipihak yang KALAH atau MENGALAH  dalam diplomasi  Luar Negeri.  ANEH TAPI NYATA.
(Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Telp.0274.588160 – HP.082135680644.






































You are here: Home » Aktivitas » Coastal » Konflik Batas Laut: Pertaruhan Harga Diri Bangsa
 www.muchrojimahmad.blogspot.com

Blog Entri

Aug 26, '10 11:08 PM
untuk semuanya

(9.12). Sengketa Perbatasan
Aug 26, '10 11:08 PM  Alex Retraubun
Satellite view of Ashmore Reef and islands. Click for larger image.
Location of Ashmore Reef. Click for larger image.
Di saat bangsa Indonesia dalam suasana memperingati HUT ke-65 RI, kita dikejutkan lagi dengan kasus perbatasan dengan Malaysia di mana tiga aparatur pengawas sumber daya kelautan dan perikanan disandera.
Kasus ini merupakan kasus perbatasan yang kesebelas. Reaksi heroik publik pun muncul dengan seruan-seruan untuk mengganyang negara tetangga tersebut. Tulisan ini mengulas kasus-kasus perbatasan selama ini secara singkat dan apa yang harus pemerintah lakukan ke depan.
Kasus-kasus perbatasan
Menurut catatan penulis selama delapan tahun terakhir, telah terjadi sembilan kasus di perbatasan, baik laut maupun darat.

Pertama, kasus Pulau Sipadan dan Ligitan (dua pulau terluar kita sebelumnya) di mana oleh Mahkamah Internasional telah diputuskan menjadi milik Malaysia sejak tahun 2002.

Kedua, kasus Ambalat yang merupakan upaya Malaysia mengklaim wilayah perairan yang disebut Blok Ambalat karena pada landas kontinen kawasan tersebut terdapat tambang mineral strategis. Kasus ini berkaitan dengan kasus pertama karena pada saat kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia terjadi kekaburan batas maritim di kawasan itu sehingga negara tetangga ini mencoba memanfaatkan kekaburan itu sampai akhirnya Indonesia menetapkan titik dasar (base point) baru di Karang Ungaran (suatu elevasi pasang surut (drying reef). Perundingan pun sampai sekarang belum selesai.

Ketiga, Kasus Pulau Mangudu dan Bidadari, pulau terluar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhubungan dengan investor asing yang berinvestasi secara ilegal di sana.
Keempat, Kasus Gosong Niger, suatu wilayah konservasi yang coba diklaim sebagai wilayah Malaysia dalam hal tanda-tanda batas kita jelas sekali di kawasan tersebut.

Kelima, Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim oleh masyarakat NTT sebagai miliknya walaupun secara yuridis telah menjadi milik Australia sejak masa pemerintahan Soeharto.

Keenam, kasus Pulau Miangas yang dikhawatirkan diklaim Filipina, tapi ternyata kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan.

Ketujuh, kasus Laskar Watania di mana Malaysia melakukan rekrutmen masyarakat perbatasan di Kalimantan menjadi laskar mereka karena kepentingan survival ekonomi mereka di kawasan ini.
Kedelapan, kasus pergeseran batas darat kita secara fisik sekitar hampir satu kilometer masuk ke wilayah kita alias memperluas wilayah Malaysia.

Kesembilan, Kasus Pulau Makaroni, Siloinak, dan Kandui (pulau-pulau perbatasan) di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, yang dibeli oleh investor asing.

Kesepuluh, Pulau Jemur di Provinsi Riau yang tahun lalu dicoba diklaim oleh Malaysia, padahal pulau tersebut berada di belakang pulau terluar kita di kawasan tersebut.

Kesebelas, kasus terakhir yang masih segar dalam ingatan kita, yaitu penyanderaan aparatur pengawas sumber daya kelautan dan perikanan perbatasan kita oleh Malaysia sebagai balasan terhadap penangkapan nelayan Malaysia yang memasuki wilayah perairan kita secara ilegal.

Fakta-fakta tersebut mengindikasikan hampir setiap tahun terjadi minimal satu kasus di perbatasan di mana kasus dengan Malaysia terjadi dengan frekuensi cukup tinggi, yaitu enam kasus. Dengan frekuensi seperti ini kita patut mengkritisi mengapa ada kecenderungan Malaysia melakukan hal seperti ini. Yang pasti kita sepertinya dianggap sepele karena yang bersangkutan tahu betul kelemahan kita. Dengan kata lain, posisi tawar kita sangat lemah di mata negara ini.
Ambil contoh sederhana saja, isu-isu tentang tenaga kerja kita yang mencari hidup di sana, baik yang legal maupun ilegal.
Jika ditelaah, maka belahan utara NKRI relatif memiliki tingkat kerawanan lebih tinggi dibandingkan belahan selatan. Mengapa? Karena di belahan utara kita berhadapan dengan lebih banyak negara di samping relatif berdekatan sehingga aktivitas ilegal banyak terjadi. Walaupun kedekatan itu sendiri dapat dilihat sebagai peluang ekonomi kawasan.
Negara-negara tersebut (8 dari 10 negara yang berhubungan dengan perbatasan laut) antara lain India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, dan Papua Niugini. Sementara di selatan kita hanya berhubungan dengan Timor Leste dan Australia. Karena itu, fokus pengawasan kita seharusnya pada belahan utara. Motivasi kasus-kasus ini semuanya bersumber dari kepentingan potensi sumber daya alam yang kita sendiri tidak mampu mengelolanya sehingga dimanfaatkan oleh pihak lain secara ilegal.

Pekerjaan rumah

Banyak kritikan di media seolah-olah selama ini pemerintah tidak melakukan apa-apa di wilayah perbatasan. Apakah memang benar demikian? Rasanya tidak benar kalau dikatakan pemerintah belum berbuat sama sekali. Bahwa yang dibuat belum optimal, itu ada benarnya.
Isu perbatasan sebenarnya mulai mencuat bersamaan dengan lahirnya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2000. Lima tahun sesudahnya, barulah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla merespons dengan melahirkan kebijakan pertama perbatasan lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Keluaran dari perpres ini berupa simbol-simbol negara, seperti disebarkannya marinir-marinir di pulau terluar, munculnya puskesmas-puskesmas, dibangunnya gudang sembako, dibukanya jalur transportasi, dibangunnya sarana bantu navigasi, pemekaran kecamatan perbatasan, kunjungan pejabat untuk upacara HUT kemerdekaan seperti dilakukan di Pulau Kisar beberapa hari lalu, sampai tersedianya data dan informasi kawasan ini yang lengkap.
Walaupun demikian, harus diakui apa yang telah dilakukan tidak konsisten, bahkan menurun menurut waktu. Ini menjadi tren umum di negara kita.
Selanjutnya, dari 11 kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama perbatasan, yaitu delimitasi/demarkasi (kepastian batas secara fisik), penegakan hukum, dan kesenjangan
pembangunan. Tugas pemerintah mengurusi ketiga isu tersebut.

Tentu dengan adanya pembangunan di perbatasan sebagai prioritas KIB II sampai tahun 2014, semua isu itu dapat diformulasikan secara terukur melalui program dan kegiatan setiap instansi, baik pusat maupun daerah, dengan pengawasan yang konsisten sehingga dampaknya benar-benar terasa. Sekarang tidak perlu lagi seminar dan workshop tentang isu-isu ini karena semua permasalahan sudah jelas. Aksilah yang urgen dilakukan.

Aksi yang penting dilakukan semestinya memfungsikan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan yang telah dilegalkan sebagai perintah UU No 43/2008 tentang Wilayah Negara sesuai Perpres No 12/2010 yang diketuai oleh Mendagri. Dengan difungsikannya kelembagaan ini, maka perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian kawasan ini dapat lebih fokus di bawah kendali Menko Polhukam termasuk di dalamnya agenda penamaan pulau yang sampai sekarang belum tuntas. Semoga.
Sumber :Alex Retraubun Alumnus PPRA 42 Lemhanas RI; Mantan Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan; kini Wakil Menteri Perindustrian
Aug 26, '10 11:08 PM  Alex Retraubun

(.9.13). Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia dengan Australia Atas Kepemilikan Gugusan Pulau Pasir di Laut Timor

Bibliografi
Bahasa:  (ID )    
Penerbit: Fakultas Hukum Unika Atma Jaya     Tempat Terbit: Jakarta    Tahun Terbit: 2006    
Jenis: Theses - Undergraduate Theses
Ketersediaan
Perpustakaan Pusat
Nomor Panggil: FH-1845
Non-tandon: tidak ada
Tandon: 1
Abstract

Ashmore Reef ( gugusan Pulau Pasir di Laut Timor ), terletak sejauh 320 km dari pantai barat-utara Australia, dan hanya 170 km di sebelah selatan Pulau Rote. Menurut sejarah, jauh sebelum zaman kolonial, Ashmore Reef merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia. Nelayan-nelayan tradisional Indonesia sudak sejak lama beroperasi di sekitar gugusan Pulau Pasir sampai ke daratan Broome, Australia. Pulau Pasir ini biasa digunakan sebagai semacam tempat transit bagi para nelayan Indonesia yang berlayar jauh ke selatan. Hal ini terbukti dengan ditemukannya kuburan-kuburan para leluhur Rote dan bermacam artefak lain.

Kini Ashmore Reef berada di bawah kedaulatan Australia, hal ini mengacu pada ditandatanganinya sebuah MOU oleh kedua belah pihak pada tahun 1974, yang pengaturannya sangat merugikan Indonesia. Oleh karena itu Indonesia harus melakukan sesuatu untuk memperoleh kembal haknya atas gugusan Pulau Pasir. Penyelesaian kasus ini dapat dilakukan, baik melalui pengadilan maupun diluar pengadilan.

Hal ini juga sesuai dengan apa yang tercantum dalam UNCLOS 1982. Kasus Sipadan-Ligitan dapat dijadikan dasar sebagai pedoman agar Indonesia dapat memenangkan kasus ini. Media yang terbaik untuk menyelesaikan kasus ini menurut penulis ialah arbitrase, karena selain untuk menghemat biaya, proses arbitrase tidak memakan waktu yang terlalu lama, dan memiliki kaputusan yang bersifat mutlak dan mengikat.
14/07/2008 21:03
(9.14). Skandal Laut Timor Diluncurkan

Buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta” diluncurkan di Kupang, Senin (14/07-2008).
Buku yang ditulis oleh Ketua Pokja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir, Ferdi Tanoni ini diluncurkan di kediaman resmi Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang, ditandai dengan penyerahan secara simbolis kepada Pemerintah Indonesia melalui Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Piet Alexander Tallo,SH dan kepada bangsa Indonesia melalui Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Timur Drs.Melkianus Adoe.
Dalam kata pengantarnya Ferdi Tanoni menyampaikan bahwa 80 % isi dari Buku Skandal Laut Timor adalah merupakan fakta dan data tentang berbagai kejanggalan dalam perjanjian RI-Australia di Laut Timor yang sangat menguntungkan Australia,sementara 20 % dari isi buku tersebut adalah improvisasi dari penulis tentang harapan-harapan yang ingin dicapai.

Buku yang berisi 173 halaman tersebut berisi 8 bab dengan prolognya oleh Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kata Pengantarnya dari K.H.Abdurrachman Wahid (Gus Dur). Sementara epilognya dari DR.Chandra Motik Yusuf. Acara peluncuran buku tersebut dihadiri oleh pejabat terkait tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur yakni Ketua Sekretaris Daerah Provinsi, Bappeda, Kepala Dinas Pertambangan, Kakanwil Depkum dan HAM, Kepala Biro Sarana Perekonomian Daerah, Bapedalda, Asisten I Setda NTT, Kepala Biro Hukum dan Kepala Biro Humas Setda NTT serta tokoh masyarakat.

Dalam sambutannya Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur menyampaikan harapannya agar sekiranya Buku Skandal Laut Timor ini bisa dijadikan sebagai salah satu referensi Pemerintah dan menyampaikan terima kasih kepada Ferdi Tanoni dan teman-temannya yang telah memberikan nilai yang positif bagi bangsa dan Negara khususnya masyarakat dan Pemerintah Nusa TenggaraTimur. Sementara Ketua DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur Melkianus Adoe dalam sambutannya juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Pokja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir Ferdi Tanoni atas kekonsistenan dan keteguhan tanpa mengenal lelah dalam memperjuangkan berbagai hak dan kepentingan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang terabaikan di Laut Timor.

Secara kelembagaan kata Melkianus Adoe,DPRD Provinsi NTT akan menggunakan buku tersebut sebagai referensi untuk melakukan kajian yang lebih dalam lagi tentang berbagai hak dan kepentingan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang terabaikan di Laut Timor untuk kemudian disampaikan kepada Pemerintah.

Menurut Ferdi Tanoni bahwa Buku Skandal Laut Timor ini akan segera dikirimkan kepada,
---Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Ban Kie Moon,
---Perdana Menteri Australia Kevin Rudd dan
---Presiden Timor Timur Jose Ramos Horta untuk menggugah mereka agar mau meninjau kembali seluruh perjanjian RI-Australia di Laut Timor yang sangat merugikan interes nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Buku Skandal Laut Timor ini baru akan beredar di Toko Buku pada akhir bulan Juli 2008.
YAYASAN PEDULI TIMOR BARAT
(West Timor Care Foundation)
Jalan Perwira 33
Kupang-Timor Barat
Phone/Fax: +62380830191
Westti
 HYPERLINK "mailto:morcarefoundation@yahoo.com.au"
morcarefoundation@yahoo.com.au
-Internet.
24/07/2008
Penulis : Drs.Simon arnold Julian Jacob







9.15). Perjanjian Timor Gap  Digugat Ke Pengadilan

Canberra, Kamis

Kewenangan Australia menandatangani Perjanjian Celah Timor (Timor Gab) tahun l989 bakal digugat, menyusul keputusan pengadilan tinggi Australia hari Kamis (9/l2) yang mengizinkan kasus ini diajukan ke pengadilan. Masalah ini menjadi hangat setelah digugat warga Timor-Timur yang kini mengasingkan diri ke Australia.  Jubir pengadilan mengemukakan, tanggal menghimpun keterangan soal kasus ini telah ditetapkan bulan Agustus l994, dan diperkirakan berlangsung tiga hari. Kasus ini terutama menggugat kewenangan Australia menyepakati dan, menandatangani Perjanjian Celah Timor dengan Indonesia,” ujarnya.

Perjanjian Timor Gap yang ditandatangani Menlu Ali Alatas dan Menlu Australia Garreth Evans pada dasarnya, mengeksploitasi secara bersama kandungan minyak bumi di dasar laut yang terletak di Laut Timor, yang membelah Pulau  Timor dan Australia.Alatas kepada pers beberapa saat seusai penandatanganan Perjanjian CelahTimor mengemukakan, : Indonesia puas dengan tercapainya kesepakatan tentang zona kerja sama Celah Timor, yang merupakan “pengakuan de jure” terhadap “integrasi Timor-Timur”  ke Indonesia (Kompas, 28/l0/l989).

Namun pengakuan” de jure Australia” ini justru yang membuat kasus ini menghangat.  “Tindakan Australia dan Indonesia menyetujui suatu perjanjian eksploitasi mineral di Celah Timor adalah, iligal, karena berdasarkan hukum internasional, tidak ada suatu negara pun berdaulat atas kawasan itu, Ujar jubir warga Timor-Timur di Australia

(9.16). Pemerintah Didesak Selesaikan Batas Wilayah Laut Timor

Jakarta, Sinar Harapan Timor Gap and Pulau Pasir (Ashmore Reef Task Force) mendesak Pemerintah untuk segera menyelesaikan tiga masalah utama di Laut Timor yang dinilai sangat merugikan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Belum selesainya batas wilayah Laut Timor ini membuat nelayan Pulau Rote menghadapi kendala karena ditangkap Angkatan Laut Australia. Demikian dikatakan Ketua Pelaksana Timor Gap and Ashmore Reef Task Force Ferdi Tanoni kepada SH, Kamis (12/6).

Tiga masalah yang dimaksud Ferdi adalah :
1). Penyelesaian garis batas wilayah Laut Timor yang resmi antara RI, Australia, dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).
2). Masalah kedua, penetapan batas-batas dasar laut antara RI dan Australia pada tahun 1971 dan 1972 di Laut Timor dan Laut Arafura yang sangat merugikan masyarakat NTT, yaitu perjanjian kerja sama RI dan Australia tentang Celah Timor tahun 1989, penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batas-batas dasar laut tertentu 1997.
3). Masalah ketiga adalah adanya pertukaran nota diplomatik antara Departemen Luar Negeri RI dan Australia pada tanggal 1 Juni 2000 yang menggugurkan seluruh hak, termasuk hak tradisional (hak adat) dan kepentingan masyarakat NTT di Laut Timor.

Ferdi menegaskan batas wilayah Laut Timor dan Australia harus dirundingkan kembali. Penguasaan Australia atas potensi minyak atas gas bumi di Laut Timor yang mencakup Celah Timor dan Gugus Pulau Pasir adalah tidak sah karena penarikan garis latar antara Laut Timor dan Australia pada tahun 1972 tidak pernah diratifikasi oleh Republik Indonesia, ujarnya.

Ferdi Tanoni menjelaskan untuk menentukan kedaulatan masing-masing negara dengan menggunakan argumen landas kontinental berdasarkan konvensi hukum laut PBB 1958 adalah cacat hukum.  RI tidak pernah meratifikasinya penarikan garis latar kontinental itu, katanya. ”Walau tidak ada bukti otentik, namun Deplu RI menerima alasan yang mengatakan bahwa Australia mempunyai wilayah bawah laut yang dekat dengan wilayah Timor. Hal ini antara lain yang telah mengakibatkan Republik Indonesia harus kehilangan 85% dari wilayah Laut Timor pada Australia,” lanjutnya.

Kapal Dibakar  (Lihat Gambar pada bagian lainnya)
Menurut petugas perikanan Pulau Rote, Paul Dae Pane, sudah semenjak tahun 2000, nelayan Indonesia dari Pulau Rote yang mencari ikan di Celah Timor (Timor Gap) menghadapi kesulitan karena ditangkap oleh angkatan Laut Austalia. Ia menjelaskan bahwa pada bulan November 2000, beberapa orang nelayan ditangkap di antara. Pulau Datu dan Pulau Bersland, setelah terombang-ambing selama tiga hari di sekitar kepulauan Gugus Pasir karena gangguan navigasi.

Sebuah kapal Perang Australia menangkap mereka karena menganggap para nelayan melanggar batas perairan Australia dan lewat dari batas 20 mil dari tepi pantai. Menurut kesaksian salah seorang nelayan, Sadli H. Ardani, kapal mereka diberondong senjata kemudian dibakar dan diledakkan di tengah laut. Enam orang nelayan dibawa ke Broome, Australia Barat. Di sana mereka diadili dan dipenjara selama 2 tahun. Mereka adalah Sadli, Sudarmin, Idris, Rinto, Adrianus dan Baba, nelayan yang berasal dari Pepela, Rote Timur.
Ferdi Tanoni menjelaskan bahwa sampai sekarang tidak ada kejelasan soal batas wilayah NKRI di sekitar Timor Gap itu.

”Sampai sekarang kalau ada nelayan yang ditangkap dan di bawa ke Australia, pemerintahan RI tidak pernah mengurus mereka,” katanya. Ia melanjutkan bahwa pihaknya sudah menyurati pihak RI, Australia, dan Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) untuk duduk bersama membahas kembali masalah batas ini, tapi tidak ada tanggapan dari pemerintahn RI dan Australia.

”Justru Presiden Timor Leste Xanana Gusmao yang merespon secara posistif. Ia bersedia duduk bersama membicarakan hal ini,” jelas Ferdi Tanoni. Pemerintah RI menurut Ferdi Tanoni seharusnya mengurus semua dampak yang disebabkan ketidakjelasan batas di Celah Timor ini. Nelayan yang hidupnya sudah susah seharusnya dilindungi, bukannya dibiarkan. Sudah waktunya Pemerintah RI duduk berunding lagi dengan pemerintahan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dan Pemerintahan Australia. (we b)Internet.

(9.17). Deklarasi PBB Dukung Hak Adat Indonesia Atas Laut Timor

Kupang, CyberNews.
Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) menyatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan deklarasi yang isinya mengukuhkan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan laut tempat mereka tinggal.
Deklarasi ini membuka peluang besar bagi masyarakat adat Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengambil kembali kepemilikan Laut Timor dari tangan Australia.
"Masyarakat adat pemilik Laut Timor yang di dalamnya tercakup Gugusan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) dan Celah Timor sekarang berhak untuk melakukan klaim atas kawasan tersebut sehubungan dengan telah diadopsinya Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang hak-hak masyarakat adat (United Nations Declaration on the Rights Of Indigenous Peoples)," tegas Ketua Pokja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir Ferdi Tanoni, Sabtu (31/05/08). Perjuangan Pokja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir serta Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) pimpinan Ferdi Tanoni yang selama ini secara lantang dan konsisten meyuarakan tentang berbagai hak dan kepentingan masyarakat adat di Laut Timor yang telah dirampas oleh Australia sepertinya mendapat pengukuhan langsung dari PBB.

Sebuah draft (konsep) Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat yang pernah diajukan untuk diadopsi dua puluh (20) tahun silam, secara resmi telah diadopsi dalam Sidang Umum (SU) PBB pada sesi ke 61 pada hari Kamis, 13 September 2007,dengan dukungan 144 suara, 4 suara menentang dan 11 suara abstain. "Deklarasi ini merupakan langkah baru dalam sejarah kehidupan manusia semesta dan langkah bersejarah bagi masyarakat adat sedunia khususnya di Laut Timor," kata Tanoni, yang sejak tahun 2003 silam dikukuhkan masyarakat adat Timor Barat, Rote Ndao, Sabu dan Alor sebagai pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor.

Dengan Deklarasi PBB ini, Tanoni mendesak DPR RI untuk segera meratifikasinya agar perjuangan tentang berbagai hak dan kepentingan masayarakat Indonesia di Laut Timor yang telah dirampas oleh Australia selama ini dapat segera dikembalikan demi kesejahteraan Bangsa dan keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia."Perjuangan yang kami lakukan selama ini cukup panjang, berat dan sangat melelahkan. Namun dasar perjuangan dan tuntutan kami selama ini dan seterusnya dilakukan dengan hati yang jernih, tulus dan ikhlas hingga kami meraih tuntutan kebenaran yang disuarakan selama ini demi kesejahteraan seluruh masyarakat yang mendiami Pulau Timor, Alor, Rote, Sabu dan Australia Utara," katanya.

"Makanya kami sangat yakin bahwa perjuangan yang besar ini senantiasa dituntun oleh Tuhan Yang Maha Kuasa," ucap Ferdi Tanoni dengan nada gemetar dan mata berkaca-kaca. Mulai saat ini, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia diharapkan tidak lagi menghalang-halangi berbagai upaya masyarakat Indonesia yang sejak 500 tahun silam merupakan bagian dari Laut Timor untuk memperjuangkan berbagai hak dan kepentingan mereka yang telah dirampas Australia  (MH Habib Shaleh /CN08) –Internet.

24/07/2008 12:13 wib - Nasional Aktual
(9.18). YPTB Usulkan Australia-Indonesia Joint Fishing Zone

Kupang, CyberNews. Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni mengecam pasukan keamanan Australia yang menangkap dan memperlakukan para nelayan tradisional Indonesia yang beroperasi di Laut Timor secara sewenang-wenang. Untuk itu, Ferdi Tanoni menyurati Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung Australia Utara Dr Christopher Bruce Burns, MLA. “Sebagai sahabat lama atas nama rekan-rekan yang tergabung dalam YPTB dan Pokja Celah Timor dan Gugusan Pulau Pasir kami menyampaikan salam kepada Pemerintah Australia Utara, dan atas nama pribadi menyampaikan salam hangat untuk Christopher Bruce Burns dan keluarganya,” tulis Ferdi mengawali suratnya. Alasan ia menulis surat ini sehubungan dengan meningkatnya kejadian penangkapan nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor oleh aparat keamanan Australia.

“Kita semua sadar bahwa ada Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Australia yang dibuat pada tahun 1974 tentang aktifitas nelayan tradisional Indonesia yang beroperasi di wilayah yang diklaim Australia sebagai Zona Perikanan Australia,” kata mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia ini. Ferdi dengan tegas menolak berbagai bentuk intimidasi aparat keamanan Australia, dengan alasan apapun, terhadap nelayan tradisional Indonesia yang mencari nafkah di Laut Timor. "Saya percaya bahwa kita semua sepakat untuk mengutuk dengan keras bahkan melakukan perlawanan terhadap berbagai aktivitas nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor yang berkaitan dengan kegiatan kejahatan transnasional," katanya.

"Tapi tindakan intimidasi, seperti memaksa menggiring para nelayan Indonesia yang sedang beroperasi di perairan Nusantara masuk jauh ke dalam wilayah 12 mil Australia, kemudian dituduh sebagai pelaku illegal fishing, dijatuhi hukuman dan hingga memusnahkan perahu mereka, adalah sebuah tindakan tidak terpuji dan melanggar hukum," kritik Tanoni.
Tanoni kemudian memberi solusi dengan usul pembentukan sebuah Zona Perikanan Bersama yang disebut dengan "Australia-Indonesia Joint Fishing Zone".

"Ini usul lama dan berulang kali saya menyampaikan proposal ini kepada Pemerintah Indonesia dan Australia," katanya. Menurut Ferdi Tanoni, secara geografis letak wilayah Indonesia sangat berdekatan, antara satu dengan lainnya. "Sedang secara histories, berabad lalu nenek moyang kita bisa bekerjasama dan saling saling melengkapi satu dengan lainnya tanpa menghancurkan kepentingan masing-masing," tandas Tanoni. (MH Habib Shaleh /CN08)-Internet.

(9.19). *SBY Tiba ada di Selandia Baru
Disesalkan, Tidak Singgung Celah Timor

Senin 06/04/2005 13:21:55
 HYPERLINK "http://www.surabayapost.info/detail.php?cat=1&id=8182"
Kupang – Surabaya Post

Hari ini, Rabu (6/4), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan rombongan disambut dengan upacara kenegaraan dan penyambutan tradisional suku Maori (suku asli Selandia Baru) di Wellington. Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Helen Clark, Sekjen Deplu dan Perdagangan Simon Mudoch, dan Dubes Selandia Baru untuk Indonesia, Christopher John Elder menyambutnya.
Di hari pertama kunjungannya ke Selandia Baru ini SBY antara lain akan melakukan kunjungan kehormatan kepada Gubernur Jenderal Selandia Baru Dame Silvia Cartwright dan melakukan pertemuan bilateral dengan PM Helen Clark. Keesokan harinya, setelah mengunjungi Museum Nasional Te Papa, siang harinya SBY bertemu masyarakat Indonesiadi sana. Namun, di antara kunjungan yang tampak mulus ini, ada “cacat” yang ditinggalkan SBY dalam kunjungannya ke Australia. “Cacat” itu adalah kealpaan SBY mengangkat masalah kepemilikan Celah Timor untuk dibicarakan secara trilateral antara Indonesia, Timor Leste, dan Australia. "Seharusnya SBY berani mempersoalkan masalah Celah Timor karena secara de jure, sebagian besar kandungan minyak di sana berada di perairan Indonesia," kata Direktur Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni.

"Yang patut disayangkan juga adalah mengapa nelayan Indonesia sudah berulang kali ditangkap di Laut Timor, disiksa, dan perahu mereka dihancurkan, namun SBY tidak mempersoalkan masalah ini," kata Tanoni. Menurut Tanoni, mestinya Indonesia mendesak dilakukannya peninjauan semua perjanjian menyangkut kepemilikan Celah Timor dan mengatur kembali median line sehingga Indonesia mendapat bagian dalam eksplorasi minyak yang ada di sana. “Ketiga negara perlu memberlakukan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 yang isinya mengatur tentang batas maritime,” lanjutnya.

"Jangan hanya Ambalat yang dipersoalkan. Laut Timor juga harus diperjuangkan karena Indonesia juga memiliki hak untuk mendapat sebagian kekayaan minyak dan gas di wilayah itu."Selain itu, menurut Tanoni, Pulau Pasir juga harus diperjuangkan meski secara de jure Australia telah mengklaimnya. "Pulau itu secara de facto milik Indonesia karena ada kuburan nenek moyang orang Indonesia di sana," tandasnya. Dipuji Namun, di Australia pula SBY mendapat pujian atas sikapnya. Redaktur senior The Australian, Greg Sheridan memuji SBY sebagai sosok yang tulus dan berempati. Hal itu terlihat kala SBY bertemu satu persatu dengan anggota keluarga prajurit Australia yang meninggal dalam kecelakaan helicopter saat membantu korban gempa di Nias, beberapa hari lalu.
"Ketika saya bertanya bagaimana perasaannya saat bertemu sanak famili para prajurit yang gugur itu, beliau mencoba menjawab namun tak kuasa. Kemudian ia terdiam sebelum berupaya mengontrol perasaannya," kata Sheridan. Lantas, Presiden Yudhoyono menjawab: "Itu merupakan pertemuan yang teramat menyedihkan. Sejak waktu musibah itu terjadi, saya terus mengikuti keadaan secara seksama.

Saya putuskan saat itu, kalau ada konfirmasi bahwa sembilan serdadu Australia yang baik ini gugur dalam misi kemanusiannya, (maka) Pemerintah Indonesia wajib menganugrahi mereka medali kehormatan." SBY lalu melanjutkan, “Betapa kami sangat berduka atas gugurnya prajurit-prajurit itu, dan saya harus menghormati dan menghargai semua prajurit yang gugur dan telah memperlihatkan keberanian luar biasa, perngorbanan, dan dedikasi yang tinggi untuk menolong saudara-saudari mereka di Nias, Indonesia." Sheridan mengatakan, "Jarang ada Presiden Indonesia yang memanggil orang-orang Australia sebagai saudara dan saudari (brothers and sisters), namun panggilan itu datang dari Presiden Yudhoyono. (Ntr, INS) Internet.

(9.20). Laut Timor  Penguasaan Oleh Australia
Harus Terus Dipersoalkan

Dominasi Australia di perairan Laut Timor, baik melalui batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) maupun landas kontinen---harus dipersoalkan, tak saja oleh Timor Leste dan Indonesia, tetapi juga oleh dunia internasional. Penguasaan wilayah perairan itu selama ini oleh Australia telah merugikan kedua negara tersebut. Itu diungkap, pakar hukum internasional Universitas Nusa Cendana, Kupang NTT, Wilhem Wetan Songa dan, Ketua Kelompok Kerja Laut Timor di Kupang, Ferdi Tanoni, Senin (7/11-2005).

Wilhem Wetan mengkaji secara khusus hak perikanan tradisional Laut Timor melalui tesis magisternya “Perjanjian antara Indonesia-Australia tentang Hak Perikanan Tradisional.”Keduanya berkomentar, bukan saja menanggapi  terus berlanjutnya penangkapan nelayan Indonesia di Laut Timor oleh Pemerintah Australia, tetapi juga pengeboran migas yang  belakangan ini berdampak pada kerusakan lingkungan laut. 

Ferdi menegaskan, pencemaran Laut Timor akibat kebocoran pipa gas metana sudah mengkhawatirkan, yang mengherankan, sampai kini Australia masih terus mengembangkan dan, mempertahankan pendangannya bahwa Pulau Timor dan Australia berada dalam dua landas kontinen berbeda.  Sejak awal tahun l970-an, Australia menegaskan, Terusan Timor (Timor Through) merupakan representasi fisik bagian utara dari landas kontinen Australia.

“Dengan openi itu, yang kemudian dipertegas pembagian wilayah berdasarkan landas kontinen dan, juga Zona Economi Eksklusif (ZEE), Australia menguasai sekitar 85 persen wilayah perairan Laut Timor. Dampaknya, Indonesia (dan kemudian juga Timor Leste) kehilangan lebih separuh wilayah perairan,” kata Ferdi. Contoh nyata, dari dampak “kehilangan wilayah perairan itu ujar Ferdi, masih terjadinya penangkapan nelayan tradisional Indonesia oleh Australia. Negara itu juga meraup sebagian besar migas, yakni 70-80 persen, dan Timor Leste  malah hanya mendapat 20-30 persen. Sementara Indonesia nol persen.

Wilhem membenarkan bahwa, dominasi Australia atas perairan Laut Timor harus dipersoalkan dan dibahas lagi, tidak saja oleh Indonesia dan, Timor Leste, tetapi perlu dukungan dunia internasional. Dari berbagai analisis, dan penelitian geologis terakhir, Pulau Timor dan Australia justru berada dalam satu landas kontinen yang sama, bukan dua landasan kontinen terpisah.  Artinya kata Wilhem dan Fredi, batas wilayah maritim harus ditentukan berdasarkan median line (garis tengah) seperti diatur Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982. Terutama untuk negara yang pantainya berhadapan seperti Indonesia-Australia,”ujarnya. Setelah Timor Leste menjadi negara merdeka, sebenarnya ada peluang baru bagi Indonesia untuk membahas kembali soal batas wilayah Laut Timor,  Kata Ferdi, Australia berhak dapat 20-25 persen saja (bukan 70-80 persen), Indonesia 40-45 persen, dan Timor Leste 25-30 persen) dari total produksi migas Laut Timor. Persoalan itu, ujar Wilhem, baru dari aspek hukum.  Dari aspek sejarah secara sistematis Australia diduga akan menghilangkan jejak sejarah nenek moyang pelaut Indonesia di perairan itu. Indonesia harus berjuang supaya batas...
 SHAPE  \* MERGEFORMAT

Gambar dibawah ini : Perahu-perahu Nelayan Indonesia  yang berasal dari
Pelabuhan Papela Rote Timur-NTT, di bakar oleh petugas keamanan
penjaga Pantai di Darwin, karena dianggap melanggar perairan Australia.
(Sumber :Internet).: Location of permitted areas of access for Indonesian
fishermen in the Australian Fishing Zone under the 1974 Memorandum of
Understanding.

Plate 5-2: Navy officers inspecting the catch of the Wisma Jaya, 1990. Plate 5-2: Navy officers inspecting the catch of the Wisma Jaya, 1990.
Source: Western Australian Fisheries Department. Internet

Map 5-1: Location of permitted areas of access for Indonesian fishermen in the Australian Fishing Zone under the 1974 Memorandum of Understanding.
Traditional fishermen were defined in the MOU as ‘fishermen who
have traditionally.

Plate 5-3: Bajo crew confined to their perahu lambo in Darwin Harbour. Plate 5-3: Bajo crew confined to their perahu lambo in Darwin Harbour.
 Plate 5-4: Confiscated perahu lambo driven into the embankment in Darwin

Plate 5-4: Confiscated perahu lambo driven into the embankment in Darwin.
Darwin.  Perahu para nelayan Indonesia ditangkap oleh Keamanan Australia di Darwin yang kemudian di baker.
Plate 5-5: Boats dragged out of the water onto the
Plate 5-5: Boats dragged out of the water onto the land.l
and.
 Plate 5-6: Boats destroyed by
burning.Plate 5-6: Boats destroyed by burning.
Policy Reviews in the Mid-1990s Intrernet
Perahu nelayan tradisional asal Pulau Rote di bakar oleh petugas Keamanan Laut Australia di Darwin.

(9.21). The Village of Pepela, Roti Island,  East Tenggara Timur

(HOW TO GET) can be reached within two hours with the daily inter-island fast ferry from Kupang on West Timor. From Ba'A it is another two hours by public transport to Nemberala village.
A passenger ferry operates daily between Kupang and Pantai Baru, a small mangrove fringed bay on the northwestern side of Roti. A motor boat also travels twice a week between Pepela and the village of Namosain in Kupang. The trip takes around six hours depending on the weather conditions


Gambar : Pelabuhan Nelayan Tradisional “Papela” – Kecamatan Rote Timur—NTT merupakan  pangkalan utama para nelayan tradisional asal Pulau Rote, Sulawesi Setan, Bajo, Boton, Madura, dan Jawa Timur lainnya,  mencari biota laut ke Pulau Pasir =Ashmore Reef (Tanah Hak Ulayat Masyarakat Suku Rote) sepanjang tahun sejak ratusan tahun silam sebelum tahun 1522.
Di Pelabuhan ini, Antonio Pigafetta, asal Portugis rombongan Magelhaens dengan kapalnya “Victory”nya berlabuh dan bertemu dengan sorang nelayan tradisional bernama “Rotte” pada tanggal 30-04-1522, yang berlayar dari Filipina, dan meneruskan pelayarannya menuju Tanjung Harapan di Afrika Selatan, balik ke Eropa. Perahu para nelayan Papela, selalu ke Pulau Pasir (Ashmore Reef) Tanah Adat Hak Ulayat Masyarakat Suku Rote jauh sebelum kedatangan Antoni Pegafitta  pada tahun 1522, dan jauh sebelum, Inggris menemukan Benua Australia pada tahun 1788. Walaupun Keamanan Australia menagkap para nelayan tradisonal Indonesia khususnya asal Pulau Rote, namun tetap saja mereka mencari biota laut di Pulau Pasir, oleh karena mereka masih tetap merasa Pulau Pasir (Ashmore Reef)  adalah milik Masyarakat Suku Rote berabad-abat  hingga saat ini. (Sumber Gambar : Internet).
The island of Roti (Rote)  is located in the Timor Sea, southwest of Kupang, the capital of West Timor. It is the southernmost inhabited island of Indonesia. Administratively it is part of the province of Nusa Tenggara Timor (East Nusa Tenggara). The capital of Roti is Ba'a, which is located on the western side of the island. The village of Pepela is located on the northeastern end of Roti and on the southern side of a large sheltered bay (see Map 2-3). The bay is fringed by sandy beaches and mangroves, while coral reefs are located in its centre. At the settlement of Pepela, the sandy beach drops away steeply providing a deep-water anchorage close inshore. The bay is very attractive and provides year round shelter from the strong easterly and westerly monsoonal winds.
Dusun Pepela is officially part of Desa Londalusi, within Kecamatan Rote Timur, whose capital is Eahun (about 9 km inland from Pepela). In 1994, the total population of Londalusi was 2765 and the population of Pepela was approximately 800. The ethnic composition of Pepela is mixed, comprising native Christian Rotinese, descendants of Muslim Butonese immigrants from other islands (Fox 1998: 127), Bugis from Southeast Sulawesi, and Bajo from the Tukang Besi Islands. The economy of the inhabitants of Pepela is based on fishing in the Timor Sea and associated trade in marine products. Most land is owned by the native Rotinese, so the Muslim inhabitants are dependent on the sea for their income.
The native Christian population engages in agricultural activity, local strand collecting, and inshore fishing in small boats. They are ‘not noted for their open sea sailing traditions’ (Fox 1998: 126). The history of the settlement of Muslim maritime people at Pepela has not been documented, but Pepela was traditionally a port for the eastern part of Roti (ibid.: 127).

Roti was important in the maritime trading network in the nineteenth century because the Rotinese produced cloth sails made from the gewang fan leaf palm (Corypha elata) for their own small boats and for sale (ibid.: 126). A sketch of a Macassan perahu off Raffles Bay in north Australia that was drawn by Le Breton in 1839 illustrates the traditional sails produced and traded by the Rotinese (see Macknight 1976, Plate 33). The Rotinese were also renowned for their cakes of crystallised sugar made from the juice of the lontar palm (Borassus sp.) (Fox 1977b). Bajo and Pepela residents state that, in the past, Binongko sailors from the Tukang Besi Islands regularly visited Pepela to purchase lontar palm sugar, which was then traded throughout the Indonesian archipelago. This trade continues to the present day, but vessels from Roti also sail to the Tukang Besi Islands to sell palm sugar directly to the Bajo.
This kind of maritime trading activity would account for some Muslim settlement in Pepela, possibly commencing in the early twentieth century but most probably after the 1920s. Subsequent settlement by other Muslim groups appears to be the result of fishing activity undertaken in the Timor Sea. Today the fishing population of Pepela is largely made up of migrants from other islands or their descendants, though many have intermarried with the local Rotinese population. The islands of origin most commonly mentioned by Pepela residents are Sulawesi, Buton, Binongko, Alor, Pantar, Flores and Java. [9]
The settlement of Pepela stretches inland from the coast for approximately one kilometre. A pier dominates the harbour and from here a road leads through the centre of the village up the hill. Most of the settlement is on the western side, but to the east of the main residential area is an area called Kampung Baru (New Village), which is a cluster of Bajo houses. Further to the east, and situated at the base of a ridge, is a coconut plantation and cemetery. The main Bajo settlement is located away from the main part of the village on Tanjung Pasir (Sand Spit/Point), called Tanjung for short. There is a handful of small shops along the main road. There are one or two wells in the village, but most water is collected in jerry cans from a small lake and well to the west (about 1 km from the pier) and then transported in wooden carts. Houses are mainly of brick construction although a few are made from thatched palm leaf panels.
On the other side of the bay is the Christian settlement of Suoi (Dusun Suoi, Desa Dai Ama). In recent years some of the males from Suoi have joined Pepela perahu in fishing activities in the Timor Sea. To the east of Pepela is a small Rotinese settlement, Dusun Haroe (Desa Hundi Hopo), the last point that boats pass by before sailing into the Timor Sea.
A passenger ferry operates daily between Kupang and Pantai Baru, a small mangrove fringed bay on the northwestern side of Roti. A motor boat also travels twice a week between Pepela and the village of Namosain in Kupang. The trip takes around six hours depending on the weather conditions. By Jess Halliday-Internet.

(9.22). Map of the islands of East Nusa Tenggara, including Rote.

Rote Island (Indonesian: Pulau Rote, also spelled Roti) is an island of Indonesia, part of the East Nusa Tenggara province of the Lesser Sunda Islands. It has an area of 1200 km². It lies 500 km northeast of the Australian coast and 170 km northeast of the Pulau Pasir (Ashmore and Cartier Islands). The island is situated to the southwest of the larger island of Timor. To the north is the Savu Sea, and to the south is the Timor Sea. To the west is Savu and Sumba. The uninhabited Dana Island (also called Ndana), just south of Rote, with an area of 14 km², is the southernmost island of Indonesia. Along with some other nearby small islands, such as Ndao, it forms the kabupaten (regency) of Roti Ndao, which in 2005 held an estimated population of 108,615.
The main town, called Ba'a, is located in the north of the island. It has a good surf area in the south around the village of Nembralla. There is a daily ferry to the island from Kupang, the provincial capital on West Timor, which brings tourists. Rote has many historical relies including fine antique Chinese porcelains, as well as ancient arts and traditions. Many prominent Indonesia nationalist leaders were born here. A popular music instrument Sasando, which is made of palm leaves.
According to legend, this island got its name accidentally when a lost Portuguese (Antonio Pigafetta) (1522) sailor arrived and asked a farmer where he was. The surprised farmer, who could not speaking Portuguese, introduced himself, "Rote".
Rote just off the southern tip of Timor Island consists of rolling hills, terraced plantations, and acacia palm, savanna and some forests. The Rotinese depend, like the Savunese, on lontar palm for basic survival, but also as the supplement their income with fishing and jewelry making.
Agriculture is the main form of employment. Fishing is also important, especially in the eastern village of Papela, which has led to disputes with Australia over the water between them.[1] (MOU BOX-Internet)

(9.23). Sejarah dan Peta  Jalur Pelayaran Bahari
Bangsa-Bangsa  Barat Mengelilingi Dunia

Jalur Pelayaran Antonio Pigafetta (Pelaut Portugis-rombongan Magelhan) mengambil Rute pelayaran terakhir dari Asia melewati Pelabuhan nelayan Papela Rote Timur Di NTT menuju Tanjung Harapan di Afrika Selatan balik ke Eropa (30 -04 – 1522). Inilah Peta Pelayarannya, Sumber : Geoffrey Parker, World IIIustrated History,
Peta 1,

Rote/Roti Island.
Rute Antonio Pigafetta
30-04-1522 From Pepela,
Roti Island-NTT, To South  Africa
 
 


Gambar. Jenis Kapal rombongan Magelhans (Antonio Pigafetta) yang menyinggahi Pelabuhan Papela Rote Timur – NTT,  30 – 4 -  l522 menuju Tanjung Harapan, balik ke Eropa. Daftar Tahun-tahun Pelayaran Pelaut-pelaut (Eropa)  mengelilinggi Dunia. Lihat daftar pelayaran Nomor Urut 14 rombongan Magelhan tahun l519 – 1522. (Sumber : Geoffrey Parker, World Illustrated History, hal.188).
Daftar Nama-nama orang Barat Pengeliling Dunia sejak Abad ke 15 – Lihat Nomor 14 adalah salah satu rombongan Magelhan yaitu Antonio Pigafetta, tiba di Papela Pulau Rote  1522 setelah dari Filipina akan melanjutkan pelayarannya dari Pulau Rote ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan (lihat peta ditandai dengan jalur merah Peta di atas). (Sumber, Geoffrey Parker, The World An Illustrated History, :1 88).



Gambar : Buku “The World An Illustrated History oleh Geoffrey Parker, antara lain memuat sejarah berbagai rute pelayaran dunia, dan salah satu Rombongan Magelhaans, pengeliling dunia  yaitu Antonio Pigafetta yang pada  30-4-l522 menyinggahi Pulau Roti dan Pulau Ndao (NTT) untuk melanjutkan pelayarannya ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan balik ke Eropah.  Lihat jalurnya pada peta di halaman sebelumnya dan jenis kapal yang dipergunakan.
Dalam buku  ini dimuat pula sejarah “Perjanjian Kontrak Dagang VOC dengan raja-raja di Pulau Rote pada tahun 1662, 1690, 1700, 1756,.
(Sumber: Buku milik Benyamin  Messakh, Oebatu – TiE – Kabupaten Rote Ndao NTT.27-7-2006) Foto : Repro oleh : Drs.Simon Arnold Julian Jacob (penulis).


Foto : Raja kerajaan Tie-Rote, NTT, yang buta Jerimias Mesakh, sedang memegang tongkat Jabatan yang bertuliskan nama Raja Poura Messa – bertahun 1720 dengan lambang VOC sebagai tanda kebesaran –  yang diberikan VOC--Hindia Belanda, ,  kepada leluhur Raja Poura Messa.
Sumber : “TIMOR BOOK” 1744 hal.96-103  yang dikutip oleh  Geoffrey Parker dalam bukunya The World an Illustrated History, hal.148, seperti terlihat pada foto. Ia adalah Raja Rote pertama yang dibabtis menjadi Kristen di Betawi  (sekarang Jakarta) l743.
Repro : Drs.Simon Arnold Julian Jacob.(Penulis).


Let's kill the boredom and share ideas!!! -FJM-

(9.24). KELAUTAN INDONESIA: SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN

Posted on September 15, 2009 by FJM
 6 Votes
sea!!

Undang Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (“UU Wilayah Negara”) pasal 1 ayat 1 mengatakan “wilayah negara…merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang udara diatasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya”, sementara Undang Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”) pasal 2 ayat 2 mengatakan “segala perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau atau bagian pulau pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia…merupakan bagian integral dari wilayah daratan
sehingga…berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.
Nyatalah sudah betapa pentingnya arti kelautan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Tonggak penting rezim hukum laut bagi Indonesia itu sendiri sesungguhnya terdiri 2 (dua) hal utama, yaitu: Deklarasi Juanda tertanggal 13 Desember 1957 yang melahirkan konsepsi wawasan nusantara dan lahirnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai rezim internasional hukum laut.
Indonesia merupakan Negara Kepulauan berdasarkan Deklarasi Juanda dan pasal 2 ayat 1 UU Perairan Indonesia, yang berbatasan secara darat maupun maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste, dimana ketidakjelasan batas darat dan maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga tersebut dapat mengakibatkan konflik yang sepatutnya bisa kita hindari. Artikel inipun dibuat secara sederhana untuk sedikitnya memahami 2 (dua) isu utama dalam konteks maritim yang sering menjadi wacana dalam kehidupan kita dengan negara tetangga yaitu isu Kedaulatan – Hak Berdaulat dan Isu Landas Kontinen.

Kedaulatan vs. Hak Berdaulat

Kedaulatan (Sovereignty) merupakan suatu wewenang tertinggi yang dapat dilakukan suatu negara untuk melaksanakan kekuasaanya terhadap suatu wilayah dan/atau masyarakatnya. Dalam hal pelaksanaan kedaulatan, suatu negara tidak perlu meminta ‘izin’ terhadap negara lain untuk menjalankan kekuasaannya. Kedaulatan ini jika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia meliputi daratan, perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), dan laut territorial (territorial sea).
Sedangkan Hak berdaulat merupakan kewenangan suatu negara terhadap suatu wilayah tertentu dimana pelaksanaannya haruslah tunduk pada aturan hukum yang berlaku bagi masyarakat internasional. Yang artinya adalah, hak berdaulat suatu negara haruslah merupakan konsensus dan mendapat persetujuan dari negara lain. Hak berdaulat umumnya mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam dan/atau laut pada kawasan tertentu yang tidak tercakup dalam wilayah Kedaulatan negara sebagaimana tersebut diatas.

Untuk dapat lebih memahami perbedaan diantara keduanya, perlu kiranya untuk mencermati beberapa contoh berikut:

a. Sengketa Pulau Pasir (Ashmore Reef) merupakan isu Kedaulatan yang diperdebatkan sebagai pulau Indonesia dengan alasan pulau tersebut berada lebih dekat dengan Indonesia. Kecil kemungkinan pulau ini sebagai pulau Indonesia dengan alasan ‘kedekatan’ tersebut, hal ini dipatahkan pihak Australia dengan alasan batas maritim dan historis dimana Australia memiliki bukti bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau kepemilikan Inggris yang diserahkan kepada Australia ketika merdeka.
Namun berkembang wacana lain bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau jajahan Belanda dimana Belanda memberlakukan peraturan mengenai pengumpulan teripang di atas pulau ini. Hal ini merupakan suatu kajian menarik yang ‘bisa’ diperdebatkan Indonesia terhadap klaim kedaulatan Australia atas pulau ini.
b. Kewenangan untuk mengelola dan menguasai kekayaan alam dan/atau laut yang terdapat dalam Pulau Miangas dan perairan Indonesia di sekitarnya (laut territorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman – lihat pasal 1 ayat 4 UU Perairan Indonesia) merupakan isu kedaulatan. Hal ini dikarenakan karena klaim kedaulatan atas pulau Miangas secara hukum internasional adalah mutlak milik Indonesia yang bersumber pada putusan Mahkamah Arbitrase pada tanggal 14 April 1928 oleh hakim Max Huber dalam sengketa antara United States dan Belanda (sebagai predecessor state dari Indonesia dan Filipina) yang memutuskan Pulau Miangas berada dalam jurisdiksi pemerintah kolonial Belanda. Indonesia dalam hal ini dapat menggunakan asas Uti Possideti Juris bahwa wilayah kolonial menjadi wilayah berdaulat Negara tersebut ketika Negara tersebut merdeka dari Negara kolonial/penjajahnya.
c.Namun, untuk kekayaan alam dan/atau laut di selatan Pulau Jawa yang terletak lebih dari 12 mil laut dari garis pangkal merupakan hak berdaulat bagi Indonesia. Untuk memanfaatkannya, Indonesia tidak dapat melaksanakan hukum nasional dan hak kedaulatannya disini tanpa mematuhi dan bekerja sama dengan negara lain sesuai dengan rezim UNCLOS yang berlaku.
Jadi, jika terjadi perebutan kepemilikan atas pulau dan /atau klaim penguasaan sumber daya alam dan/atau laut dalam wilayah 12 mil laut dari garis pangkal, maka ini adalah konflik kedaulatan dan apabila terjadi konflik atas pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan/atau laut di luar 12 mil laut dari garis pangkal, maka hal itu merupakan konflik hak berdaulat antar negara.

Untuk kasus sipadan ligitan (dimana pendekatan historis dan rantai hak (chain of title) dipatahkan dengan asas penguasaan effective) merupakan isu kedaulatan yang berujung kepada hak berdaulat. Apa maksudnya? Indonesia sempat menggunakan kedua pulau ini sebagai titik pangkal dalam penarikan garis pangkalnya, dimana ketika Mahkamah Internasional menjatuhkan kepemilikan pulau ini kepada Malaysia maka berubahlah penetapan titik pangkal dan garis pangkal wilayah Indonesia (‘isu Kedaulatan’) yang tentunya berakibat pula pada berubahnya batas maritim kedua negara tersebut atas Laut Sulawesi.

Penentuan batas maritim ini hingga sekarang masih dalam proses negosiasi antara Indonesia dan Malaysia. Nah, belum selesainya penentuan batas maritim inilah yang mempunyai implikasi langsung terhadap sengketa Blok Ambalat yang merupakan kawasan dasar laut (sea bed) yang kaya akan sumber daya alam dan/atau laut yang berada diluar wilayah 12 mil laut dari masing masing garis pangkal Indonesia dan Malaysia (‘ isu Hak Berdaulat’ dimana Ambalat terletak ± 60 mil laut kearah timur dari garis pangkal pulau Kalimantan). Jadi secara singkat, isu Sipadan Ligitan yang merupakan isu Kedaulatan bersinggungan dengan isu Ambalat yang merupakan isu Hak Berdaulat, sehingga, kuranglah tepat apabila kita mengkampanyekan ‘Perang’ terhadap Malaysia karena isu Ambalat BUKANLAH KEDAULATAN Indonesia.
Isu Kedaulatan dan Hak Berdaulat lain yang patut menjadi perhatian kita adalah isu penentuan batas darat Indonesia-Timor Leste yang belum selesai dan isu Celah Timor antara Timor Leste- Australia dimana untuk isu yang terakhir (Celah Timor), adalah baik kiranya untuk kita beri sedikit perhatian ekstra agar ‘saudara’ kita, Timor Leste, tidak ‘terlalu’ terzalimi oleh Australia).

Landas Kontinen
Pasal 1 ayat 9 UU Wilayah Negara kurang lebih mengatakan landas kontinen adalah wilayah dasar laut dan tanah dibawahnya dengan jarak 200 mil laut dari garis pangkal atau paling jauh 350 mil laut dari garis pangkal.
Perlu dicermati lebih lanjut, di dalam Pasal 76 UNCLOS ditegaskan bahwa landas kontinen adalah ‘hanya’ berjarak 200 mil laut dari garis pangkal, sedangkan 350 mil laut dari garis pangkal adalah batas terluar landas kontinen (Extended Continental Shelf atau “ECS”). Mengapa ini menarik? Hal ini menarik karena 350 mil laut merupakan hak yang dapat di klaim oleh negara atas landas kontinennya sepanjang memenuhi beberapa kriteria tertentu.

Kriteria tersebut terbagi atas criteria yang membolehkan (formulae) dan criteria yang membatasi (constrainst).
Kriteria yang membolehkan adalah:
a. batas terluar ECS adalah titik terluar landas kontinen dengan ketebalan batu sedimen 1% dari ketebalan sedimen kaki lereng kontinen yang merupakan titik kelanjutan garis landas kontinen 200 mil laut dari garis pangkal. Garis ini biasa disebut dengan Gardiner Line.
b. Batas terluar ECS dapat ditentukan dengan menarik garis berjarak 60 mil laut dari kaki lereng kontinen (hedberg line) ke laut lepas (high sea),
sedangkan criteria yang membatasi adalah:
a. Batas terluar ECS tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal.
b. Batas terluar ECS tidak melebihi
100 mil laut dari kedalaman 2500 meter isobaths.

Kemudian, untuk mengajukan hak atas ECS ini dapat dilakukan dengan mengajukan klaim yang telah memenuhi criteria tersebut diatas kepada Commission on the Limits of Continental Shelf (“CLCS”) malalui Sekretaris Jenderal PBB dengan deadline untuk claim submission tersebut adalah paling lambat 13 Mei 2009.
Masalah ECS ini menjadi menarik karena Indonesia memiliki 3 (tiga) potensi landas kontinen yang bisa kita ajukan batas terluarnya dari 200 mil laut menjadi 350 mil laut dari garis pangkal, yaitu di sebelah barat sumatera, di sebelah selatan pulau jawa, dan di sebelah utara Papua. Dalam hal ini, Indonesia sudah mengajukan claim ECS tersebut pada tahun 2008 dan kini tengah menunggu review CLCS. Catatan kaki yang juga menjadi perhatian kita adalah, selain Indonesia, ada beberapa negara lain yang turut mengajukan ECS yaitu: Rusia, Perancis, Brazilia, Australia, Irlandia, Selandia Baru, Norwegia

Kisah Klasik Untuk Masa Depan?

Isu isu tersebut diatas adalah sebenarnya merupakan kisah klasik perjuangan diplomasi Indonesia yang harus terus menerus menjadi perhatian kita. Terdapat 2 (dua) kesimpulan sederhana atas hal tersebut yaitu:
a. Negara kepulauan, maritim, maupun negara pantai dengan interaksi hubungan internasional dan politik luar negerinya dengan negara lain sangatlah penting untuk memiliki batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas dan baik. Hal ini akan membantu dalam memudahkan isu isu sensitive seperti isu keamanan, akses dan pengelolaan sumber daya laut, keseimbangan antara hak dan kewajiban antar negara yang bersangkutan.
b. Delimitasi/kejelasan batas maritim dapat menghilangkan potensi konflik antar negara negara bertetangga, sehingga, dalam hal ini, Indonesia sebagai motor penggerak dalam pembentukan ASEAN Community harus memberi perhatian lebih untuk menciptaan kejelasan batas maritim dengan negara tetangga sebagai suatu ‘situasi prakondisi’ demi terwujudnya ASEAN Community yang damai, sejahtera, bersatu, dan saling menghormati kedaulatan, hak berdaulat, dan batas “maksimal” landas kontinen antar negara anggotanya sebagai suatu kesatuan komunitas yang selaras dan harmoni.
Sungguh, kelautan Indonesia adalah kisah klasik untuk masa depan…yang lebih baik…
PS: Kritik dan masukan dibuka untuk pemahaman Hukum Laut yang lebih baik…..untuk Indonesia!!
-FJM-












MONDAY, SEPTEMBER 6, 2010
(9.25). Celah Timor: Apakah Itu Mimpi di Siang Bolong

Oleh P Gregor Neonbasu SVD, Ph.D
Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah NTT

Christine Mason, seorang penasehat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Bond di wilayah Robina, Gold Coast - Queensland (Brisbane) memberi apresiasi yang sangat manusiawi terhadap melodi nyanyian sunyi di Laut Timor. Dia yang alumni The Australian National University (ANU) Canberra ini siap berjalan bersama anggota koor di Timor Barat untuk secara cerdas mendengar, tidak saja desiran ombak Laut Timor yang semakin mengganas, melainkan terlebih melerai dendang sunyi senyap nasib para penyanyi yang dengan isak-tangis berteriak dari hempasan dan amukan Laut Timor.

Di Mana Jendela Persoalan Bilakah persoalan sekitar Celah Timor akan berakhir? Ia bagai benang kusut, oleh karena argumentasi politik kita yang tidak terkoordinir secara baik. Koordinasi kita tidak saja sebatas data, melainkan komitmen yang murni dan perhatian jujur bagi penderitaan masyarakat kecil. Kapankah Gugusan Pulau Pasir kembali ke pemilik aseli?

Pertanyaan ini kini dibedah dalam perspektif yang multi-dimensi. Untuk kita Indonesia, tidak saja dibutuhkan keberanian berpolitik, melainkan secara perkasa meyakinkan lawan bicara untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan dengan itu mereka memiliki respek yang tulus akan hak-hak dasar orang lain untuk hidup secara lebih beradab. Informasi yang lengkap mengenai di mana dan siapa pemilik sah Gugusan Pulau Pasir dan seperti apakah persoalan Laut Timor dan celah Timor, anda bisa menemukan informasi lengkap pada terbitan-terbitan yang disebut dalam tulisan-tulisan sebelumnya.

Dua terbitan dalam bahasa Indonesia: Skandal Laut Timor (STL 2008) dan Perairan Sengketa, Batas Tapal Batas dan Hak Milik Laut Timor (2005).
Buku yang kedua merupakan terjemahan dari Troubled Waters, Bonders, boundaries and possession in the Timor Sea karya Ruth Balint dari University of Sydney. Karya yang sangat menyentuh persoalan laut Timor ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Prof. M. A. Noach dan Dr Y. L. Henuk. Berbagai rahasia dari nyanyian sunyi yang didendang selama ini, akarnya dapat ditemukan dalam karya-karya ini. Dua karya akademik ini mengambil saripati dari beberapa penulis luar negeri mengenai harta karun di laur Timor. Mari kita berlangkah ke depan untuk melihat kandungan Gugusan Pulau Pasir, yang ternyata milik Indonesia.

Secara tradisional para nelayan Indonesia telah menempati pulau karang ini semenjak abad-abad awal temuan kawasan timur Indonesia ke arah selatan dan tenggara. Dan inilah ladang laut bagipara nelayan tradisional Nusantara. Gugusan Pulau Pasir disebut Ashmore Reef – Karang Ashmore – sesuai nama penemu pulau itu Kapten Samuel Ashmore dari Divisi Hibernia (Inggeris) pada tahun 1811, yang pada tahun 1938 dimasukkan dalam wilayah hukum administrasi Australia Utara (Northern Territory, NT), dan selanjutnya tahun 1978 NT diberi kuasa penuh untuk memiliki kawasan tersebut.

Kemudian dibentuk Territory External bagi gugusan pulau-pulau itu menjadi Territory Ashmore dan Territory Cartier Island yang langsung dikontrol oleh Pemerintahan Federal Australia (Campbell and Wilson 1993:119, Balint 2005).
Seawalnya sesuai catatan yang diabadikan Crawford (1969) dan Stacey (1999), pulau-pulau karang itu belum merupakan milik Australia. Baru mulai 1 Januari 1901 ketika Australia membentuk Negara Federal maka secara faktual semua pulau karang yang terpencar di Laut Timor menjadi milik Australia.

Prof Mia Noach mengutip Marston (1987), ketika mengatakan bahwa peran Inggeris mulai nampak di pulau-pulau karang ini saat ia mulai merasa tertantang oleh Perancis di Vietnam Selatan, terhadap Spratly atau Storm Island di Laut Cina Selatan, dan Jepang yang ingin memperluas wilayahnya ke arah yang sama. Peristiwa ini mendorong Inggeris untuk segera mendata semua hasil koleksi pulau-pulaunya di seluruh dunia termasuk Gugusan Pulau Pasir yang dimasukkan ke dalam Persemakmuran Inggeris.

Seperti Belanda yang menjajah Indonesia, Inggeris yang menjajah Australia dan New Zealand tak pernah peduli dengan penduduk Aseli Aborigin (Australia) dan Maori (Selandia Baru). Inggeris dan Australia tidak pernah perduli akan Orang Indonesia yang sudah ratusan tahun menetap di Gugusan Pulau Pasir dan mencari nafkah di sana (bdk tulisan kami sebelumnya “Gugusan Pulau Pasir: Riwayatmu Doeloe” (2/9).

Memang sedari doeloe kala semenjak abad akhir abad 13, lalu abad 14-15 sampai tahun 1972 dan 1974 kawasan itu ditempati nelayan tradisional Indonesia. Baru kemudian nelayan Indonesia (Rote) mulai diterjang keluar dari Laut Timor dan dicap penangkap ikan liar (illegal fishing) hanya karena Agreed Seabed Boundary yang telah ditanda-tangani Australia dan Indonesia pada tahun 1972 dan tahun 1974.
Banyak nelayan yang sudah gugur sebagai pahlawan di Laut Timor oleh karena mereka ditangkap, diadili dan bahkan dibunuh. Yang lain tewas oleh karena dilarang menggunakan alat penangkap ikan modern dan mereka hanya mengandalkan alat penangkap ikan tradisional.

Tidak ada orang yang rela memperhatikan nasib para nelayan tradisional, kecuali membiarkan penjajahan nilai-nilai kemanusiaan terus berlangsung hanya karena mentaati sebuah perjanjian–yang penuh rekayasa politis–dan jelas-jelas salah.
Akankah suatu waktu yang baik bakal terbit di ufuk kehidupan, setelah sebuah sejarah dibengkokkan untuk memenuhi rasa haus politik untuk merampas hak orang lain yang tidak berdaya? Kita tunggu sejarah baru, namanya sejarah kemanusiaan!

Timor Gap (Celah Timor)
Perjanjian Celah Timor yang dibuat secara bilateral antara Indonesia dan Australia serta ditanda tangani 11 Desember 1989 itu merupakan sebuah kesepakatan mengenai potensi minyak dan gas di Laut Timor. Wilayah minyak itu disebut Timor Gap yang dibagi atas tiga Zona yang dinamakan Zona A (tengah), Zona B dekat pantai utara Australia, dan Zona C dekat pantai selatan Pulau Timor.

Menurut beberapa pakar, antara lain Prof Herman Johannes (alm.) yang mantan Rektor UGM, pembagian zona-zona itu tidak arif, jauh dari realitas dan kondisi di laut Timor berkenaan dengan aturan, baik internasional, regional, nasional dan lokal. Pembagian tersebut justeru lebih menguntungkan Australia, dan itu semata karena kelalaian politik dari pihak Indonesia, atau tersebab oleh karena Indonesia meremehkan potensi laut. Padahal berkali-kali Indonesia selalu mengumandangkan ambisinya untuk mengarahkan dinamika pembangunan ke arah laut dengan kata-kata pilihan “negara kepulauan”.

Indonesia kebobolan dengan Agreed Seabed Boundary (1972) di mana garis batas mestinya mengikuti Median Line (garis tengah) dan bukan mengikuti batas yang dihitung mulai dari Gugusan Pulau Pasir (GPP) dan selatan Pulau Rote. Mengapa harus digunakan garis tengah, oleh karena menurut Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) bagi dua Negara yang terletak di atas pelana satu kontinental maka garis tengah itulah yang harus digunakan.

Kecerdikan Australia untuk mengatakan bahwa Laut Timor dan Australia tidak terlatak di atas sebuah kontinental oleh karena dipisahkan oleh Palung Timor. Sikap Australia menyalahi fakta-fakta geologis, geomorfologis di Laut Timor serta prinsip-prinsip Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) yang terakhir tahun 1982.
Antara lain data geologi justeru menggarisbawahi Pulau Timor dan benua Australia berada dalam satu landas kontinen yang disebut landas Kontinen Australia, yang tidak saja meliputi Pulau Timor melainkan seluruh kawasan Papua dan sekitarnya.

Nampaknya ada perbedaan perspektif yang sangat tajam antara pihak Indonesia dan Australia dalam soal ini. Australia tetap pada posisi bahwa Palung Timor inilah yang memisahkan Pulau Timor dan Benua Australia sehingga keduanya berada pada lempeng (kontinen) berbeda. Bahkan Palung Timor dilihat sebagai sebuah parit yang seakan memisahkan Pulau Timor pada lempeng yang satu dan benua Australia pada lempeng yang lainnya.

Pasal 6.1 Konvensi Jenewa 1958 mengenai Landas Kontinen berbunyi: Penentuan batas-batas internasional, wilayah dari dua atau lebih negara yang berdekatan berada di Landas Kontinen yang sama, pesisirnya berhadapan satu sama lain, maka batas-batas pada Landas Kontinen yang menjadi bagian dari Negara-negara itu ditentukan melalui persetujuan antara mereka.

Jika tidak ada persetujuan maka kecuali kalau batas lain bisa dijustifikasi atau keadaan-keadaan tertentu, garis perbatasan adalah garis median, setiap titik pada garis itu sama jauhnya dari titik terdekat pada garis dasar dari mana lebar laut wilayah dari setiap Negara diukur. (SLT 2008: 29-33).
Karena itu sudah seharusnya perjanjian RI-Australia yang dibuat pada tahun 1972 itu dikaji ulang. Sekali lagi, identitas geologis Palung Timor (Timor Through) sebagai garis pemisah kontinen Timor dan kontinen Australia tidak dapat dibuktikan secara tekhnis, yang menurut mantan Menlu RI Dr Mochtar Kusumaatmadja, Australia tidak jujur mengatakan hal yang sebenarnya (STL:41).

Perlu Perjanjian Trilateral dan Koordinasi

Secara hukum, ketika diterbitkannya TAP MPR V/MPR 1999 yang isinya menerima hasil jajak Pendapat di Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, sekaligus mencabut TAP MPR VI/MPR/1978 tentang Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian berdasarkan Resolusi Dewan kemanan PBB No 1272 tanggal 25 Oktober 1999, maka Timor Timur berada di bawah administrasi PBB (United Nations Transitional Administration on East Timor – UNTAET).

Oleh karena itu secara iuridis kedaulatan dan kewenangan Republik Indonesia atas Timor Timur dianggap telah berakhir.
Semenjak saat itu, hilanglah segala-gala termasuk harapan untuk melobi secara bilateral terhadap kekayaan di Laut Timor. Ternyata masih ada celah, dan masih terbuka lorong sangat luas bagi Indonesia. Posisi Laut Timor berdasarkan kajian kontinental akan harus dimajukan lagi dalam meja perundingan, dan kali ini tidak saja antar dua Negara, melainkan tiga Negara: Indonesia, Timor Leste dan Australia.

Bagai pokok sebuah pohon yang memiliki ranting, atau sebuah sumber air yang memberi air ke parit-parit yang meneruskan aliran air tersebut, maka potensi minyak yang berada di Laut Timor juga memiliki jejaringnya yang sangat istimewa: yang satu ke Masin Lulik (Belu Selatan) dan Niola (TTU) dan yang lainnya ke Laclubar dan Ailiambata di Viqueque (Timor Leste). Ada beberapa palungan di sekitar Timor Barat yang sedang dieksplorasi. Kita tunggu saja, waktu akan terpenuhi, dan sumber minyak itu akan kembali mengalir ke kawasan penduduk yang secara alamiah adalah pemiliknya.

Jika tidak sampai ada kesepakatan, dalam arti tidak ada titik temu untuk merevisi kembali perjanjian-perjanjian tahun 1972, 1974, 1999, maka secara hukum Indonesia yang dirugikan itu dapat mengambil inisiatif untuk memprakarsai agar diadakannya pertemuan trilateral. Pertemuan ini dapat diadakan dibawah pengawasan PBB untuk mencari kebenaran. Sesuai sumber yang dipublikasi selama ini – baik luar maupun dalam negeri – maka yang berhak mengolah kandungan Laut Timor adalah Indonesia dan Timor Leste. Itu pun kalau dua hal berikut disepakati:

(1) posisi Gugusan Pulau Pasir, itu harus menjadi milik Indonesia, dan

(2) keberadaan laut Timor dan Australia hanya pada satu lempeng.

Pertama, usaha untuk mengklaim kepemilikan Gugusan Pulau Pasir hanya bisa berangkat dari pembuktian sejarah, kebiasaan leluhur nenek moyang, dan mencari dokumentasi Belanda (Indonesia) dan Inggeris (Australia dan New Zealand). Beberapa penulis dan peneliti Australia sendiri sudah dengan jujur dan teruka membuktikannya bahwa pulau itu sudah didiami oleh para nelayan dari Nusantara, yang kemudian diikuti dengan bukti-bukti ekologi di kawasan itu.

Kedua, argumentasi Australia terpusat pada analisis mengenai identifikasi yang keliru mengenai keberadaan Palung Timor yang bukan sebuah parit raksasa yang memisahkan lempeng Laut Timor dan lempeng Benua Australia secara terpisah. Palung Timor merupakan sebuah belahan biasa –bagai kubangan– yang berada di atas lempengan besar, yang itulah kontinen Australia yang di atasnya terletak Pulau Timor dan Benua Australia.
Dari kecenderungan aliran minyak yang ada di atas daratan, dan berdasarkan bukti-bukti di Timor Barat (Masin Lulik, Niola, Kolbano) dan Timor Timur (Laclubar, Ailiambata) maka hampir pasti bahwa Australia tidak mempunyai kepentingan dalam proses ekspolitasi potensi minyak di Celah Timor. Tergantung sekarang pembuktian ilmiah dari proses penelitian-penelitian geologik yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mestinya sementara menjadi ajang diskusi dan perdebatan seperti ini, maka sangat bagus apabila pelbagai kegiatan di sekitar Laut Timor dihentikan sementara, sampai tercapainya bukti-bukti yang dapat diterima oleh pelbagai pihak secara luas. Para peneliti yang terlibat di dalam proses pembuktian itu juga harus memiliki komitmen untuk mencintai ilmu dan setia menjunjung tinggi kebenaran.

Dua tokoh terkemuka yang sangat kesal dengan berbagai pertemuan bilateral mengenai Laut Timor adalah Prof Herman Johannes dan mantan Menlu RI Dr Mochtar Kusumaatmadja. Tentu ada jutaan protes mengenai kebenaran yang diutak-atik bertepatan dengan mengidentifikasi kepemilikan harta karun di Celah Timor.
George J. Aditjondro, yang tidak saja berkecimpung di bidang politik, melainkan pemerhati masyarakat kecil pernah menulis dengan sikap kritis mengenai Laut Timor ketika ia menulis Tangan-Tangan Berlumuran Minyak. Ia berhasil membagi sejarah eksplorasi minyak di Laut Timor (darat dan laut sekaligus) dengan membuka tabir harta karun yang tidak tertandingi di peringkat dunia.

Pertama, sekitar tahun 1861 Alfred Russel Wallace bertemu seorang insinyur pertambangan berkebangsaan Inggeris yang melakukan eksplorasi di Timor Portugis. Selain itu Dr Sellhorst yang menulis tentang laporan ekspedisi geologi di Pulau Timor, yang kemudian disambung dengan W.A. Duff yang memimpin pengeboran minyak di Laclubar dan Viqueque di Timor Leste. Tahapan awal ini beakhir pada masa sebelum Perang Dunia II, di mana terjadi silat politik dengan mengatas-namai potensi minyak dan gas bumi (akan dilanjutlan dalam tulisan-tulisan mendatang pada media ini).

Kedua, masa setelah Perang Dunia II sampai Perjanjian Celah Timor yang masih meninggalkan persoalan hingga hari ini. Catatan menarik yang diberi Aditjondro adalah hubungan negosiasi minyak dan gas bumi dengan kepentingan politik di peringkat nasional. Secara sangat cerdik, Australia menghadang itikad politis Jepang yang sesungguhnya merasa tertarik di kawasan Timor, di mana kebijakan Negara Matahari Terbit itu atas Pasifik Barat dimasukan ke dalam Tai Nan’yo Hosaku Kenkyu Iinkai (Komite Studi Kebijakan untuk daerah Laut Selatan) semenjak tahun 1935.

Komentar yang dapat dipetik dari berbagai catatan mengenai Celah Timor, betapa Palung Timor menyimpan banyak potensi minyak dan gas bumi. Jarak waktu antara PD I dan PD II, dan terlebih setelah PD II, banyak perusahaan minyak dari berbagai Negara yang berebutan mengadu nasib untuk mencari minyak dan gas bumi di kawasan tersebut.

Sekarang, pertanyaan masih tertinggal di benak kita: masih mungkinkah kita meng-klaim kembali Gugusan Pulau Pasir dan merevisi kembali Perjanjian Celah Timor dengan mendobrak kapling ladang minyak di Celah Timor atas Zona A, B dan C? Memang usaha tersebut bukan suatu mimpi di siang bolong, jika kita memahami struktur persoalan Celah Timor semenjak awal. Memang, tentang Celah Timor, itu bukanya mimpi hampa, tapi usaha yang cukup beralasan. Persoalan kita adalah membangun komitmen untuk menyamakan persepsi.
Sumber: Timor Expres, 7 September 2010
POSTED BY ANSEL DERI, JURNALIS DAN PENULIS LEPAS AT 3:40 AM 




(9.26). DASAR PERJUANGAN “CELAH TIMOR (TIMOR GAP) & PULAU PASIR (ASHMORE REEF)”  SETELAH TIMOR TIMUR LEPAS DARI RI

A.Mengenai Traktat Celah Timor (Timor Gap), sesuai dengan norma hukum internasional dan hukum nasional (Pasal 24 UU 24/2000 tentang Perjanjian
Internasional), apabila obyek dari suatu perjanjian berubah, maka
perubahan tersebut dapat dijadikan dasar oleh kedua pihak, untuk
menghentikan perjanjian melalui prosedur yang disepakati, sesuai praktek dan kelaziman yang berlaku dalam penghentian sebuah perjanjian
internasional.

Dalam hubungannya dengan Celah Timor, obyek perjanjiannya bahkan telah tidak ada lagi sehingga berakhirnya Traktat Celah Timor yang ditandatangani pada tahun 1989 merupakan konsekuensi yuridis atas perubahan status Timor-Timur (Timtim) yang tidak lagi menjadi bagian dari wilayah NKRI menyusul hasil jajak pendapat 31 Agustus 1999.

Sebagai konsekuensi yuridis, MPR-RI telah melakukan tindak lanjut hukum, guna mengakhiri kedaulatan NKRI atas Timtim serta kewenangan pengelolaan Pemerintah RI terhadap Celah Timor, yaitu dengan TAP MPR No.V/MPR/1999 yang menerima hasil jajak pendapat dan sekaligus mencabut TAP MPR No.VI/MPR/1976 tentang integrasi Timtim ke dalam wilayah RI. Atas dasar itu, Pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri telah melakukan pertukaran surat (exchange of letters) dengan Menteri Luar Negeri Australia tentang pengakhiran Traktat Celah Timor, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2000. Sementara itu Dewan Keamanan PBB pada tanggal 25 Oktober 1999 juga telah mengeluarkan resolusi No.1272 yang menetapkan Timtim sebagai wilayah di bawah administrasi PBB.
Berdasarkan ini maka, semua MOU RI-Australia dalam bentuk  apapun yang pernah disetujui sebelumnya,  “Batal Dengan Sendirinya” dan memulai perundingan baru lagi.

B. Faktor lainnya yang dapat menjadi celah untuk mempermasalahkan kembali Pulau Pasir adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia dan menjadi sebuah negara berdiri sendiri. Dalam hukum internasional berlaku asas rebus sic stantibus yang berarti, jika ada perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri salah satu pihak yang menandatangani perjanjian, maka pihak tersebut dapat menarik diri dari ikatan perjanjian tersebut.  "Lepasnya Timor Timur dari Indonesia merupakan kenyataan adanya perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri dari salah satu pihak." Dengan adanya berbagai fakta historis dan fakta hukum tersebut, menurut Chandra Motik, sudah selayaknya jika perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Pulau Pasir, patut segera dibatalkan.

Sebutan Wilayah Perbatasan NKRI Yang Paling Lengkap

Dari “PULAU  RONDO” Di Pulau We Propinsi Nanggro Aceh, Sampai  ke “MERAUKE” Di Papua Barat Dan Dari  “PULAU MIANGAS” Di Provinsi Sulawesi Utara, Sampai “PULAU PASIR  (Kabupaten Rote Ndao)”  di Provinsi NTT
ATAU DARI  PULAU RONDO  SAMPAI MARAUKE DAN DARI PULAU MIANGAS SAMPAI ke  PULAU PASIR DI KABUPATEN ROTE NDAO

Sedangkan pada umumnya hingga saat ini, masyarakat Indonesia termasuk Pimpinan-Pimpinan Negara baik di Pusat maupun di Daerah hanya mengenal Batas bagian “Barat” dan bagian “Timur” Wilayah Indonesia dengan sebutan : Dari “SABANG” sampai “MERAUKE” saja dan Batas Utara dan Selatan Tidak Pernah disebut, karena tidak pernah diketahui.

Jika sebutannya hanya Dari SABANG  sampai MERAUKE saja, maka pulau perbatasan  paling Utara NKRI   yaitu Pulau Miangas dapat diklaim oleh Fhilipina,  sebagai miliknya, sedang pulau perbatasan paling Selatan yaitu  Pulau Pasir di Kabupaten Rote Ndao, diklaim  Australia sebagai
teritorialnmya.
Karena hingga kini kurang dipopulerkan batas Utara dan batas Selatannya,  maka Filipina hingga saat ini tetap mengklain Pulau Miangas sebagai miliknya, sedang Pulau Pasir di klaim Australia  sebagai teritorialnya.
Ini membuktikan bahwa bukan saja rakyat awam buta peta NKRI tetapi juga para pejabat negarapun Buta Peta dan Buta Sejarah Perbatasan Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Kalau dari dulu setelah Kemerdekaan RI sebutan  perbatasan .lengkap seperti yang kami sebutkan di atas, maka hingga kini tidak ada masalah perbatasan Pulau Pasir  dengan Australia.

.Pada saat kampanye Pilpres dan Wapres, 2009-2014,  Sebutan Batas Wilayah Indonesia dalam sebuah nyanyian kampanye SBY, untuk pertama kalinya menyebut Batas Wilayah Indonesia yaitu : Dari “”SABANG” sampai “MERAUKE” dan dari “PULAU MIANGGAS” sampai “PULAU ROTE”.

Namun sebutan batas Selatannyapun masih keliru, karena masih ada wilayah/pulau Kabupaten Rote Ndao paling selatannya,  masih ada pulau-puilau kecil, selain Pulau Ndana terdapat satu gugusan pulau paling selatan adalah “PULAU PASIR /Ashmore Reef” yang hingga kini masih sedang giat-giatnya diperjuangkan untuk pengembaliannya dari Australia, dan statusnya sebagai “PULAU SENGKETA.
Tetapi sebutan yang paling benar adalah seperti yang tertera di atas perlu disosioalisasikan kepada semua anak Bangsa.. (Penulis).
(9.27). Nusa Tenggara Timur,
Celah Timor dan Pulau Pasir  (Ashmoro Reef) Juga Rawan Sengketa

Pemerintah pusat diminta serius menangani masalah garis batas maritim di Celah Timor dan Pulau Pasir karena akan kawasan tersebut rawan timbulkan sengketa. Karena itu perlu ada pembicaraan trilateral antara Indonesia, Australia dan Timor Leste di perairan Celah Timor serta meratifikasi perjanjian kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi di tiga zona eksplorasi di wilayah itu.
Desakan ini disampaikan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni, melalui siaran pers, Selasa (8/3). Yayasan ini, tidak ingin masalah Celah Timor dan Pulau Pasir menjadi sengketa seperti Ambalat, atau bahkan berhasil diklaim negara lain, seperti Sipadan-Ligitan.
Menurut Yayasan, pemerintah pusat terkesan tidak memperdulikan wilayah maritim laut di Celah Timor yang kaya akan sumber daya alam dan seolah-olah menyerah kepada Australia dan Timor Leste untuk mengambil alih sebagian dari wilayah laut Indonesia itu. "Mengapa dalam kasus Ambalat pemerintah mengerahkan pasukan, tapi Celah Timor yang sudah lama dibicarakan, didiamkan dan seolah-olah tidak ada persoalan disana," katanya. 

Karena itu, Komisi I DPR RI dan pemerintah harus segera melakukan berbagai upaya diplomasi maupun jalur hukum untuk mendapatkan kembali hak bangsa yang telah dicaplok oleh Australia dan Timor Leste. 
Klaim atas Celah Timor dan gugusan Pulau Pasir serta sikap diam Indonesia, lanjut Tanoni, bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention on the Law in Sea atau UNCLOS 1982). Akibatnya, 85 persen wilayah laut Timor Indonesia menjadi bagian Australia.

 "Penetapan hak kepemilikan atas Celah Timor yang berlaku saat ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum karena dalam UNCLOS 1982 dikatakan bila jarak dua negara kurang dari 400 mil laut maka yang digunakan adalah median line. Dalam kenyataanya jarak antara Australia, Timor Leste dan Indonesia kurang dari 400 mil sehingga sepatutnya Indonesia harus mendapat hak yang sama di Laut Timor," lanjutnya. Jems de Fortuna  Selasa, 08 Maret 2005 | 15:36 WIB
TEMPO Interaktif, Kupang:
SENGKETA PULAU PASIR
RABU, 17 SEP 2008, | 602 
(9.28). Tuntutan Kepemilikan Pulau Pasir (Ashmoro Reef)

Oleh : Yanto M.P. Ekon, SH, M.Hum
Akhir-akhir ini Pemerintah Australia sering melakukan penangkapan terhadap para nelayan Indonesia karena mereka dituduh melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir yang merupakan...Pulau Pasir yang oleh orang Rote disebut ”Nusa Solokaek“ merupakan salah satu pulau yang terletak di sebelah Selatan Pulau Rote dengan jarak kurang lebih 78 mil laut. Pulau ini telah dijadikan tempat untuk mencari nafkah oleh nelayan Indonesia, khususnya asal Rote kurang lebih sejak 500-an tahun yang lalu, bahkan terdapat pula orang Rote yang meninggal dan dikuburkan di pulau tersebut.  Namun akhir-akhir ini Pemerintah Australia sering melakukan penangkapan terhadap para nelayan Indonesia karena mereka dituduh melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Australia. 

Harian Timor Express 12 Juli 2006 memberitakan bahwa nelayan Indonesia khususnya yang berasal dari NTT yang tertangkap melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan laut Australia dan telah dideportasi dari Darwin, melalui Bandara El Tari Kupang selama tahun 2006 telah berjumlah 1414 orang.  Jumlah ini bukanlah jumlah yang sedikit bahkan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, nelayan Indonesia yang ditangkap oleh Pemerintah Australia menunjukkan angka yang cenderung meningkat.

Kondisi ini telah mendorong tokoh-tokoh intelektual NTT untuk memperjuangkan hak-hak nelayan Indonesia dalam hal ini melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir. 
Salah satu tokoh intelektual tersebut tidak lain adalah Dr. Yusuf Leonard Henuk yang memperjuangkan hak nelayan Indonesia dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir dengan cara menerbitkan semua tulisannya di media cetak dan media internet terkait Pulau Pasir dalam buku berjudul: ”Pulau Pasir: Nusa Impian Orang Rote – Pasir Island: Dream Island of Rotenese People“ (ISBN: 978-979-16445-7-0). 

Penulis ditunjuk untuk membedah buku ini dari aspek hukum internasional dalam acara bedah buku ini yang telah dilaksanakan di Badan Perpustakaan Provinsi NTT pada tanggal 15 September 2008 (Yusuf L. Henuk: “Tesis, Buku, Laut Timor dan Pulau Pasir“, Timor Express, 5 Agustus 2008: 4; “Ada Bukti Historis di Pulau Pasir – Bedah Buku: “Pulau Pasir: Nusa Impian Orang Rote”,
Timor Express, Selasa, 16 September 2008: 1 & 7).
Penerapan kedaulatan Australia atas Pulau Pasir sampai dengan sekarang ini tidak pernah dipermasalahkan oleh Pemerintah RI, bahkan RI secara terang-terangan mengakui Pulau Pasir berada dalam kedaulatan atau milik Australia melalui pembentukan dan pelaksanaan MoU 1974 tentang penangkapan ikan oleh nelayan tradisional Indonesia di zona perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia.  Pihak yang selalu mempermasalahkkedaulatan/kepemilikan Australia atas Pulau Pasir antara lain Komite Nasional Pulau Pasir (KNPP) dan Kelompok Kerja (Pokja) Celah Timor dan Pulau Pasir, termasuk di dalamnya adalah seorang pakar ilmu peternakan dari Universitas Nusa Cendana, Dr. Yusuf Leonard Henuk (penulis buku yang dibedah ini). Dasar tuntutan kepemilikan Pulau Pasir oleh KNPP dan Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir sesuai yang dipaparkan dalam buku yang dibedah ini, antara lain:
(1) Surat Register Gubernur Jenderal VOC tahun 1751 yang membuktikan bahwa Gugusan Pulau Pasir sudah 400 tahun lampau dikelola oleh orang Rote, NTT,

(2) Nelayan Indonesia telah ratusan tahun mencari ikan, tripang dan biota laut lainnya di sekitar Pulau Pasir,

3) Kuburan orang Rote yang berada di Pulau Pasir sebanyak 161 buah,

(4) Pulau Pasir milik Kerajaan Rote dan sejak abad 15 sudah berada dibawah pengelolaan Hindia Belanda. Hal ini dapat dibuktikan melalui prasasti Raja Thie ke-5 (FoE Mbura: 1729-1746) di Pulau Pasir yang dibuat pada saat raja ini terdampar di pulau tersebut pada tahun 1729,

(5) Kedekatan wilayah Pulau Pasir dengan Rote, Indonesia (78 mil laut), sedang jarak dari Pantai Barat Australia sejauh 190 mil,

(6) Keputusan Mahkamah Internasional tentang sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan yang memenangkan Malaysia, karena penduduk Malaysia terbukti melakukan aktivitas secara berkelanjutan di kedua pulau tersebut. 
Pada umumnya, arah perjuangan masyarakat NTT atas Pulau Pasir sebagaimana yang terbaca dalam buku ini tidak tepat dan saya berada pada posisi yang berseberangan jauh dengan mereka (termasuk dengan penulis buku ini) jika diarahkan pada perjuangan untuk memiliki kedaulatan atas Pulau Pasir oleh Indonesia sebab Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengklaim pulau tersebut. 

Catatan Penulis :
Dasar Hukumnya adalah Hukum Adat Hak Ulayat  Masyarakat Suku Rote, atas Pulau Pasir jauh sebelum Pelaut Portugis Antonio Pigafetta rombongan Magelhans menemukan pulau Rote tahun 1522, (Sejarah NTT)………
Wujud perjuangan atau tuntutan yang paling tepat adalah tuntutan untuk melakukan amandemen terhadap Memorandum of Understanding (MoU) 1974 antara Pemerintah Indonesia dan Australia mengenai penangkapan ikan oleh nelayan tradisional Indonesia di zona perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia. Penulis buku ini telah melakukan suatu terobosan yang baik sekali dalam salah satu tulisan bersama kelompoknya (Kelompok Pencari Keadilan bagi Orang Timor dan Orang Rote di Laut Timor) yang telah
dipresentasikan di Konferensi Warisan Otoritarianisme Demokrasi dan Tirani Modal di FISIP UI, 5 – 7 Agustus 2008, berjudul: “MoU 1974
(Indonesia – Australia): Warisan Otoritarianisme Indonesia di Laut Timor yang Merugikan Orang Timor dan Orang Rote di Provinsi Nusa Tenggara Timur“. Ketentuan MoU tersebut yang perlu diamandemen adalah ketentuan yang menetapkan larangan bagi nelayan tradisional Indonesia untuk mengambil air tawar, melakukan penangkapan penyu dan telur-telurnya serta larangan penangkapan burung dan telur-telurnya disekitar perairan laut atau pantai Pulau Pasir (Ashmore Reef).  Ketentuan mengenai semua larangan tersebut justru bertentangan dengan hak tradisional nelayan Indonesia yang menurut hukum kebiasaan internasional yang kemudian dikodifikasi dalam Pasal 51 Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 wajib memperoleh penghormatan dan perlindungan dari Pemerintah Australia meskipun wilayah Pulau Pasir dan sekitarnya tunduk di bawah kedaulatan Australia.

(Artikel yang lengkap -- Tambahan dari Penulis).

Article51
Existing agreements, traditional fishing rights
and existing submarine cables
1. Without prejudice to article 49, an archipelagic State shall respect existing agreements with other States and shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighbouring States in certain areas falling within archipelagic waters. The terms and conditions for the exercise of such rights and activities, including the nature, the extent and the areas to which they apply, shall, at the request of any of the States concerned, be regulated by bilateral agreements between them. Such rights shall not be transferred to or shared with third States or their nationals.
2. An archipelagic State shall respect existing submarine cables laid by other States and passing through its waters without making a landfall. An archipelagic State shall permit the maintenance and replacement of such cables upon receiving due notice of their location and the intention to repair or replace them (Penulis).

Apalagi penulis buku ini telah mengangkat adanya ketentuan universal baru dalam bukunya juga bahwa kini telah berlaku Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007 yang menjamin hampir semua masyarakat adat di dunia untuk dapat mengklaim wilayah daratan dan wilayah kelautan yang telah lama mereka diami jauh sebelum para penjajah datang menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah mereka. 

Apabila Australia menolak untuk melakukan amandemen terhadap MoU 1974, maka terdapat dua kemungkinan yang harus ditempuh oleh Pemerintah Indonesia, yakni :
---Menarik kembali MoU RI-Australia 1974 atau
---Mengajukan persoalan tersebut kepada Mahkamah Internasional (International Court of Justice) atau Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal For The Law Of The Sea). 

Jika pengakhiran MoU yang ditempuh Indonesia, maka akibat hukumnya, MoU 1974 ini menjadi berakhir dan hak nelayan Indonesia dikembalikan kepada kedudukan sebelumnya yakni seperti yang dilakukan nenek moyang Indonesia sejak ratusan tahun yang silam.  Sebaliknya jika persoalan ini di bawah ke salah satu peradilan internasional, maka hak nelayan Indonesia di sekitar Pulau Pasir memiliki peluang untuk dipulihkan kembali sebab kewajiban penghormatan terhadap hak nelayan tradsional secara turun-temurun telah memperoleh pengakuan secara yuridis dalam UNCLOS 1982 maupun Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang telah berlaku sejak 13 September 2007. 

Selamat kepada Dr. Yusuf Leonard Henuk yang membidangi ilmu peternakan di Unversitas Nusa Cendana, tetapi telah berhasil menerbitkan buku ini di luar bidang ilmunya untuk dipresembahkan khusus kepada masyarakat nelayan tradisional Rote Ndao untuk mereka gunakan dalam merebut hak adat mereka di Gugusan Pulau Pasir yang telah lama dicaplok oleh Australia. 
Penulis : Dosen Hukum Internasional, FH UKAW, Kupang

PULAU SENGKETA  DI NTT
(9.29). Pulau Pasir (Ashmoro Reef) Belum Sah Milik Australia

Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Universitas Nusa Cendana Kupang, Yusuf Leonard Henuk, mengatakan, Indonesia masih bisa memperdebatkan status Pulau Pasir di tingkat Mahkamah Internasional, karena gugusan pulau tersebut belum sah menjadi milik Australia. Dari segi hukum internasional, kata Henuk di Kupang, Senin (18/12), kepemilikan Australia atas pulau seluas 583 km2 itu diwariskan oleh Inggris yang melakukan "klaim sepihak oleh Kapten Semuel Ashmore pada 1878" dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. "Namun, perlu dicatat bahwa nelayan tradisional Indonesia asal Pulau Rote dan wilayah lainnya di negeri ini telah mengolah dan melakukan aktivitas secara terus-menerus di Pulau Pasir hingga saat ini sejak 500 tahun yang lampau sebelum kedatangan para penjajah di Bumi Nusantara," tegas Yusuf. Ia mengemukakan hal ini berkaitan dengan "surat protes" dari Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, Eddy Pratomo atas pernyataannya di media massa beberapa waktu lalu yang menyebut Pulau Pasir adalah milik sah orang Rote. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan di sebagian kecil kalangan masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut jika dilihat dari kedekatan geografis (geographical proximity) maupun klaim historis. Henuk menjelaskan, dari segi hukum internasional, kepemilikan Australia atas Pulau Pasir itu masih bisa diperdebatkan Indonesia di tingkat Mahkamah Internasional, karena Inggris memasukan pulau itu ke dalam wilayah otorita "Commonwealth of Australia" melalui "Ashmore and Charter Acceptance Act 1933". Pada 1942, jelasnya, wilayah tersebut berada di bawah administrasi Negara Bagian Australia Barat yang kemudian menjadi Northern Territory hingga 1978. Setelah 1978, wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal Australia.

Ia menambahkan, nelayan tradisional Indonesia sendiri baru mulai mengenai Pulau Pasir pada pertengahan abad ke-18, sekitar 1742 dan 1750, yang menurut arsip pemerintah Belanda, penduduk lokal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur secara tidak sengaja menemukan Pulau Pasir (Ashmoro Reef) pada 1729 yang digunakan sebagai tempat bersandar untuk mengambil air tawar atau pada saat keadaan darurat. Nelayan tradisional Indonesia sendiri, kata Henuk, diperkirakan telah mengenal Pulau Pasir itu pada zaman Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) ketika tiba di Pulau Timor pada 1602. Menurut catatan arsip Belanda, pada akhir 1750-an pengumpulan teripang dan biota laut lainnya dari gugusan Pulau Pasir telah diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif. Banyak perahu dari Makassar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa serta kelengkapan surat-surat izin resmi dari Belanda yang memperbolehkan mereka mengumpulkan teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di gugusan Pulau Pasir.

"Kenyataan ini juga membuktikan bahwa gugusan Pulau Pasir merupakan wilayah jajahan Belanda yang seharusnya diwariskan kepada Indonesia," katanya dan menambahkan, Belanda sendiri tidak pernah mempermasalahkan kegiatan Inggris di Pulau Pasir sejak abad ke-18 atau mempersengketakan status kepemilikan Pulau Pasir. Oleh karena itu, Indonesia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Belanda, dan Australia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Inggris juga tidak pernah mempunyai sengketa kedaulatan atas Pulau Pasir. "Di sinilah titik temu kita bahwa sudah seharusnya kita Bangsa Indonesia berhak untuk mempertanyakan kepada Belanda, Inggris dan Australia tentang fakta-fakta sejarah tersebut, jika perlu di bawa ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan," katanya. Ia menambahkan, sudah sangat jelas bahwa gugusan Pulau Pasir pernah diregulasi oleh penjajah Belanda sehingga sama artinya bahwa wilayah tersebut harus diwariskan kepada Indonesia, bukan kepada Inggris apalagi Australia. [TMA, Ant] Kupang, 18 Desember 2006 11:58
Penulis : Bahwa Peta Pulau Pasir (Ashmoro Reef)  buatan Hindia Belanda dan Peta Lama AS yang disebutkan di atas  telah terbukti bahwa Pulau Pasir adalah wilayah Hindia Belanda dan karena itu  Australia tidak memiliki dasar apapun  untuk mencapliok Pulau Pasir dari Indonesia.



(9.30). Dasar Hukum atas Pemilikan Suku Rote terhadap
Gugusan Pulau Pasir.

Sekarang ini banyak pejabat pemerintah, termasuk Staf Angkatan Laut, Menteri Luar Negeri RI dan pejabat-pejabat lainnya, melihat status Pulau Pasir (Ashmore Reef)  hanya berdasarkan data dari Pemerintah Australia saja  tentang  dasar-dasar hukum yang disodorkan Australia sehingga ikut mendukung bahwa Gugusan pulau Pasir adalah benar milik Australia. Ada lagi yang menyatakan bahwa pulau Pasir tidak pernah diklaim Indonesia.

Akan tetapi, para pejabat pusat lupa, bahwa  sebelum bangsa Barat menjajah Indonesia maupun Benua Australia, di Nusatara ini telah memiliki Hukum Adat sendiri yang dikenal dengan Hukum Adat atas Tanah, (Hak Tanah Ulayat) yang berlaku dimasing-masing di seluruh Nusantara.
Hukum Adat ini sama kekuatannya dengan Hukum Tertulis Bangsa Barat. Hukum Agraria kita juga berdasarkan dasar-dasar Hukum Adat Atas Tanah.
(Pada bagian lain akan diperlihatkan  3 (tiga) buah Peta zaman Belanda yang memperlihatkan bahwa Pulau Pasir (Ashmoro Reef) tidak termasuk territorial Australia).
Hukum di Indonesia ditinjau dari bentuknya, maka hukum dapat dibagi
dalam :

a.Hukum Tertulis : a). yang dikodifikasikan dan b) yang tidak
dikodifikasikan

b.Hukum Tak Tertulis (Hukum Kebiasaan);
Di Indonesia Hukum Kebiasaan (Common Law) disebut Hukum Adat (Adat Law).  (Sumber :Drs.C.S.T.Kansil,SH, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980, hal.79-80).

Penguasaan Suku Rote terhadap gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef)  berdasarkan Hukum Adatnya, paling tidak sebagai patokan data tahun tertulis, adalah jauh sebelum tahun 1522, ketika Antonio Pigafetta, Pelaut Portugis (Rombongan Magelhan  sebagai orang Barat pertama yang menemukan Pulau Rote (1522), yang berlayar dari Filipina menuju Tanjung Harapan di Afrika selatan, balik ke Eropa.
Pada tahun 1778 bukan seorang Administrator Pemerintah Inggris yang menemukan Benua Australia, melainkan oleh seorang pelaut Inggris biasa yang bernama Kapten COOK dalam pelayaran keliling dunianya.
Perlu diketahui bahwa pada tahun itu status Benua Australia masih milik bangsa pribumi yaitu Suku Aborigin. Jadi tidak benar pada tahun 1778 Benua Australia telah dikuasai Inggris. Demikian pula Kapten Ahsmore (bangsa Inggris) dalam pelayarannya menemukan Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1811, bukan juga berstatus sebagai mewakili Pemerintah Inggris yang secara otomatis menjadikan Gugusan Pulau Pasir itu sebagai koloni Ingris. Kapten Ashmore hanya pelaut biasa saja sebagai pengeliling dunia. Sebelum tahun-tahun 1778 dan tahun 1811, Gugusan Pulau Pasir sudah dikuasai secara Adat  oleh Masyarakat Adat Suku Rote  dan telah diberi nama dengan sebutan  Pulau Dato I, Pulau Dato II dan Pulau Dato III, sesuai nama seorang tokoh masyarakat Rote yang  pertama menemukan Gugusan Pulau Pasir jauh sebelum, Pelaut Portugis Antonio Pegafetta menemukan pulau Rote/Roti pada tahun 1522.

Namun gugusan Pulau Pasir itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan SOLOKAEK.  Dengan demikian menurut sejarah, pada tahun-tahun 1788 dan tahun 1811, Inggris belum menguasai Benua Asutralia seperti yang digembar-geborkan Australia selama ini. Kapten Ashmore  kemudian memberi nama baru untuk Gugusan Pulau Pasir dengan sebutan Ashmore Reef  oleh karena pada saat itu  Kapten Ashmore tidak mengetahui bahwa Gugusan pulau itu sudah ada pemiliknya  (Masyarakat Pulau Rote) dan juga sudah memiliki nama Solokaek.

Bahwa penguasaan bangsa  Inggris atas Benua Australia itu adalah setalah Benua itu dijadikan sebagai daerah pengasingan atau pembuangan  para penjahat Inggris pada tahun-tahun setelah tahun 1811.
Apabila dilihat dari tahun-tahun tersebut di atas maka, Benua Australia baru diketemukan oleh (Kapten Cook) pada tahun 1778 atau 256 tahun kemudian setelah Antonio Pigafetta menemukan  pulau Rote. (1522). Demikian pula Kapten Ahsmore  menemukan Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1811 atau 289 tahun kemudian ketika Antonio Pigaffeta menemukuan Pulau Rote pada tahun 1552. Pada hal Masyarakat Adat Suku Rote  sebelum tahun 1522, telah menjadikan Gugusan Pulau Pasir sebagai ladang perikanan mereka. 
Itu berarti Masyarakat suku Rote telah memanfaatkan Gugusan Pulau Pasir lebih dari 500 tahun  sebelum kedua pelaut Inggris itu menemukan Benua Australia. Bahwa jarak Inggris dengan Benua Australia lebih dari  ribuan mil laut jauhnya, dapat ditemukan oleh Kapten Cook,  maka adalah tidak mustahil bahwa Suku Rote telah memanfaatkan Pulau Pasir   yang jaraknya  hanya 60 mil laut dari Pulau Rote.

Jika dilihat dari hubungan perdagangan Raja-raja Rote dengan VOC  pada tahun 1613, atau  165 tahun kemudian, baru Inggris menemukan Benua Australia (1788),  dan sejak itu Pulau Pasir telah menjadi Tanah Hak Ulayat Suku Rote. Dari berbagai perbedaan tahun-tahun tersebut di atas telah membuktikan bahwa sebelum Inggris menemukan Benua Australia, Gugusan Pulau Pasir sudah dikuasai oleh masyarakat Adat Rote.

Didalam sejarah para pelaut pengeliling dunia Bangsa Eropa sekitar tahun 1400-an  dan sesudahnya, tidak pernah tercatat bahwa setiap mereka menemukan sesuatu daerah, atau pulau  akan langsung diakui atau lansung dijadikan sebagai wilayah koloni dari Negara asalnya.
Contoh Colombus menemukan Benua Amerika, namun tidak diklaim sebagai daerah koloni bangsanya. Dengan demikian pula  ketika Cook menemukan pantai Timur Australia tahun 1788 dan Ashmore menemukan Gugusan Pulau Pasir pada tahun 1811, tidak otomatis Inggris mengklaim  sebagai wilayah koloninya. Para penemu pulau-pulau tersebut adalah pelaut biasa dan mereka bukan pula sebagai seorang Administrator Pemerintah Inggris yang langsung menetapkan bahwa setiap daerah baru  temuannya  adalah kolononinya. Memang diakui bahwa setelah sekian puluh tahun kemudian  setelah tahun 1811 baru Benua Australia dijadikan koloni Inggris. Pernyataan Australia itu adalah hanya suatu rekayasa sejarah dan menyesatkan dan menyatakan seolah-olah pada tahun 1778 dan tahun 1811 Inggris telah menguasai Australia termasuk Pulau Pasir (Ashmoro Reef).

Dengan demikian, jangan ada dari sementara pihak-pihak tertentu, yang menganggap bahwa pemelikan oleh suku Rote itu tidak tertulis, sehingga kurang memiliki dasar hukum yang kuat. Karena seperti disebutkan di atas Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, yang   telah dianut secara turun temurun. Hukum Adat itu ada dan berlaku, ketika sekelompok orang atau masyarakat  menempati sesuatu wilayah, yang disebut wilayah Adat baik sebagai daerah hunian meupun bukan sebagai tempat hunian. Hukum Adat ini berlaku turun temurun dari nenek moyangnya hingga generasi sekarang dan tidak akan terputus-putus masa berlakunya.

Hal yang sama berlaku untuk seluruh wilayah Nusantara secara tradisional, sebelum Penjajah Barat datang ke negeri ini dengan mebudayakan Hukum Tertulis.

Memang diakui, bahwa sebelum ada penjajah Belanda menguasai Nusantara, belum mengenal budaya tulis-menulis, untuk
mendokumentasikan secara tertulis Hukum Adat masing-masing Daerah. Namun secara tradisional  Hukum Adat telah dianut dan dijalankan secara ketat, oleh masyarat adatnya sejak dulu kala. Dengan mengungkapkan tahun-tahun tersebut di atas maka menurut Hukum Adat Suku Rote telah lebih dahulu menguasai dan memanfaatkan dan diberlakukan secara syah  atas Gugusan Pulau Pasir(Ashmore Reef)

Selain itu, jauh sebelum Inggris menemukan Benua Australia, Nelayan tradisional Suku Rote dan para nelayan tradisional suku bangsa Bugis  telah menemukan Benua itu dengan di beri nama Pulau MAREGE, karena penduduknya berkulit marege (hitam pekat). Dengan dasar hukum kepemilikan secara Hukum Adat adalah syah dan kekuatan hukumnya sama dengan Hukum Tertulis.

Oleh karena itu para pejabat Negara maupun oleh pihak lain, bukan saja hanya mau menuruti Tahun berdasarkan Hukum Tertulis yang dimiki pihak Australia, tetapi juga harus melihat Tahun Kepemilikan oleh Suku Rote sesuai Hukum Adat yang disebutkan di atas. 

Hukum Adat atas Tanah di Indonesia dikenal dengan beberapa sebutan adat misalnya,
---Tanah Hak Ulayat,
---Tuan Tanah,
---Tuo adat, 
---deo tanah,
---nusak, dll. 

Perlu ditambahkan pula bahwa  kegiatan nelayan tradisional suku Rote, dan suku Bugis dan Bajo  (Sulawesi), di gugusan Pulau Pasir sampai tahun-tahun sebelum tahun 1974, tidak pernah  dipermasalahkan oleh pihak Australia, karena  memang diketahui bahwa gugusan pulau Pasir adalah milik  Indonesia (atau sebelumnya adalah milik Hindia Belanda). Para nelayan tradisional Indonesia baru menjadi masalah bagi Australia setelah MOU 1974 ditandatangani Indonesia-Australia.

Selain itu, ada hubungannya dengan masalah Timor-Timur waktu itu, dimana   Indonesia didorong oleh Australia untuk masuk dan memiliki Timor-Timur.  Dan setelah berhasil Timor-Timur integrasi dengan Indonesia, maka sebagai konpensasi politik Indonesia menyerahkan Pulau Pasir kepada Australia pada masa Pemerintahan Soeharto. Sebagai bukti, adalah setelah penandatanganan Perjanjian Celah Timor, Menteri Luar Negeri Ali Alatas  menyampaikan kepada pers, bahwa Indonesia (Ali Alatas) menyatakan “merasa puas, bahwa  secara de facto dan de jure Australia  mengakui Intergrasi Timur-Timur ke dalam wilayah Indonesia”.
Jadi sebagai kompensasi politik, dimana Indonesia memiliki Timor-Timur dan Pulau Pasir di serahkan kepada Australia. Inilah sebenarnya inti permasalahannya, mengapa Pulau Pasir jatuh ketangan Australia.

Tetapi penyerahan itu cacat hukum, karena tidak pernah diratifikasi dan tidak pernah minta persetujuan DPR RI dan MPR RI dan melanggar UUD 1945. Maka  dalam menentukan batas antara Indonesia dan Australia bukan dengan Pulau Ndana di selatan pulau Rote akan tetapi adalah di Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang masih wilayah Kabupaten Rote Ndao.  Jika pemerintah SBY, dan Presiden sesudah Pemilu 2014 tidak menyelesaikan persoalan  Pulau Pasir, maka Masyarakat Rote dan Masyarakat NTT maupun seluruh bangsa Indonesia akan menggugat pemerintah (Presiden) ke muka Pengadilan, sebagai menggelapkan atau menjual/menyerahkan tanpa hak pulau Pasir ke Australia.

---Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef) hingga sekarang masih sedang diperjuangkan oleh berbagai lembaga untuk kembali ke Indonesia. (Lihat  uraian dan pendapat berbagai pihak dan para pakar tentang Gugusan Pulau Pasir pada Bagian  tersendiri di buku i
---Oleh karena itu Peraturan Presiden No.78 Tahun 2005 yang ditanda tangani tanggal 29 Desember 2005, perlu ditinjau kembali. Hal ini dikarenakan penyerahan Gugusan Pulau Pasir kepada Australia,  bertentangan dengan UUD 1945 tanpa persetujuan DPR RI dan MPR. Ini adalah kesalahan besar diplomasi Menteri Luar Negeri Ali Alatas yang konyol,  ketika membuat MOU RI-Australia.

Paling tidak Gugusan Pulau Pasir sementara dinyatakan sebagai Pulau Sengketa RI--Australia yang diajukan ke Mahkamah Internasional di Den Haag-Belanda. Nampaknya Presiden SBY-Boediono, begitu saja menyerah atas tekanan Australia sehingga seolah-olah tidak berdaya untuk merundingkan lagi Gugusan Pulau Pasir yang kaya dengan sumber daya alam (minyak dan gas bumi),  Bagi Masyarakat NTT, pulau paling selatan Indonesia bukan pulau Ndana (dalam daftar no.20) melainkan Pulau Pasir).


Pertanyaannya :
1.Mengapa Pemerintah Indonesia begitu gampang menyerahkan Pulau Pasir (Ashmore Reef)  kepada Australia?
Karena Takut Perang…..?  Indonesia cukup bukti untuk memperjuangkan kembali Gugusan Pulau Pasir (Ashmore Reef)  tersebut. Bacalah  buku ini, banyak bukti yang dapat diketemukan. Mengapa persoalan Pulau Sipadan dan Lenggitan dapat diajukan ke Mahkamah Internasional, tetapi Pulau Pasir (Ashmore Reef ) pemerintah Indonesia tidak berani? 

2. Pertanyaan ke-2 :

Mengapa Pihak Menteri Luar Negeri Indonesia ogah memperjuangkan kembali Pulau Pasir?
Jawabnya : adalah karena takut kehilangan muka, karena bekas pimpinan mereka sebelumnya  yaitu Menlu Ali Alatas telah terlanjur salah langkah dalam pembuatan MOU 1974 yang telah mengorbankan/menyerahkan  Pulau Pasir tanpa dasar hukum yang kuat disamping mendapat tekanan dari pihak Australia, sehingga pelaksanaannya secara terburu-buru dari belakang merja saja tanpa suatu studi lapangan yang cermat, dan  tanpa   berkonsultasi lebih dahulu dengan Pemerintah Provinsi NTT atau dengan Masyarakat Pulau Rote yang memiliki weiayah hingga Pulau Pasir tersebut.

Bahwa penyerahan Pulau Pasir kepada Australia merupakan dosa besar dari Presiden Soeharto dan Menlu Ali Alatas, inilah salah satu alasan mengapa Menlu RI saat ini enggan merundingkan kembali Pulau Pasir, Celah Timor dan Laut Timor dengan Asutralia.
 (Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob).
Alamat : Jln.Jambon I, No.414J, Rt.10-Rw.03
Kricak-Jatimulyo Jogjakarta-Telp.0274.588160 – HP.082135680644.
Blog : ROTE PINTAR  Klik :  sajjacob.blogspot.com

SENGKETA PULAU PASIR
(9.31). Ketika Bangsa Bahari  Tak Peduli  Laut

HARI Kamis (7-4-2005),
Ahmad Pelo (29), nelayan asal Papela, Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, melaut bersama lima awak kapal layar Titian II di Laut Timor. Akan tetapi, baru saja berlayar l mil meninggalkan Pulau Pasir menuju Borselan (9/4), datanglah kapal perang Angkatan Laut Australia.
Mereka ditangkap karena dituduh memasuki perairan zona ekonomi eksklusif Australia. Perahu mereka ditarik kedekat Darwin Australia Utara, dan disana sudah ada dua perahu dengan l8 awak. Menurut Pelo ketiga perahu itu dibakar oleh petugas perikanan Australia (Australian Fisheries Managemen Outhority/AFMA), yang menyebabkan Hok Soen Heng, salah seorang pemilik kapal yang saat itu berada didalam kapal, menderita luka bakar. 

Namun, tiap AFMA ketika dimintai klarifikasi oleh Kedutaan Besar RI di Canbera menyangkal semua itu. Menurut pihak AFMA, aparat Australia tidak terlibat dalam kegiatan pembakaran atas tiga kapal itu. Malah kapal Sundi Jaya yang dinakodai Hok Soen Heng hingga kini masih berlabu dipelabuhan Darwin. Konsulat RI di Darwin telah melakukan verifikasi dipelabuhan Darwin dan menyaksikan kapal Sundi Jaya masih dalam keadaan baik serta tidak memiliki tanda-tanda kebakaran.
Demikian siaran pers Kedutaan Besa RI di Canbera, Australia hari kamis (26/5). Pelo bersama nelayan lainnya dideportasi, kembali ke kampungnya melalui Denpasar dan Kupang, ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pengalaman ditangkap petugas Australia saat mencari ikan di Laut Timor itu merupakan pengalaman yang ketiga kalinya.
Pertama, terjadi pada tahun 2002 dan kedua tahun 2003. “Tetapi pengalaman paling tragis bagi saya justru terjadi pada penangkapan yang ketiga ini”, operasi penangkapan nelayan tradisional Indonesia di laut Timor oleh Australia atas tuduhan memasuki zone ekonomi eksklusif (ZEE)” negara itu sebenarnya sudah memasuki usia 31 tahun. Penangkapan besar-besaran yang dimulai l974 itu masih terus berlangsung hingga hari ini. Diperkirakan sudah ribuan nelayan ditahan, disekap, dan dipenjara, lalu dideportasi.

Masalah penangkapan nelayan oleh patroli Australia, menurut kajian pemerintah bisa disebabkan 3 faktor.

Pertama, ada persoalan ekonomi dibalik kegiatan nelayan Indonesia yang memasuki wilayah negara itu, serta ada cukong-cukong yang membiayai dengan iming-iming pendapatan yang besar.

Kedua, nelayan-nelayan itu memang tidak tahu dimana batas-batas wilayah laut Indonesia karena umumnya kapal-kapal nelayan tradisional tidak dilengkapi perangkat petunjuk posisi atau Global Positioning System (GPS), Sonar, dan sebagainya.

Ketiga, kemungkinan karena bencana alam, seperti badai sehingga mereka terbawa kewilayah perairan Australia.
Dari ketiga faktor itu, menurut juru bicara Luar Negeri Yuri Thamrin, kebanyakan kapal yang ditangkap bukan kapal nelayan tradisional meski kapal mereka tidak dilengkapi GPS seperti umumnya kapal nelayan tradisional.  Setelah ditelusuri lebih jauh, diduga kuat ada motif-motif ekonomi yang membuat beberapa nelayan, “ memasuki wilayah laut Australia”. Umumnya ikan yang menjadi buruan nelayan-nelayan itu adalah ikan hiu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Ikan jenis-jenis ini memang lebih banyak terdapat diwilayah perairan Australia. “Pulau Pasir atau Ashmore Reef itu dalam catatan kita sejak zaman Belanda pun adalah milik Inggris, tidak pernah menjadi milik kita”, tutur Yuri menjelaskan.

Komentar Penulis, (Sdr:  Yuri : Anda hanya punya pengetahuan
berdasarkan data sepihak  dari pihak Australia saja, tetapi supaya
pemberitaannya seimbang , maka telusuri juga sejarah orang Rote dengan Pulau Pasir baru bicara—jangan menjadi terompet Australia dong).

Katanya penjelasan mengenai batas-batas wilayah itu sudah dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dengan dukukngan dari Depatemen Luar Negeri. Namun, diduga kuat atas sejumlah cukong yang “memperalat” para nelayan, membiayai mereka untuk berburu hiu hingga keselatan laut Timor. Dalam beberapa pertemuan awal, pihak Australia sudah menghasilkan suatu kegiatan bersama RI-Australia dalam penyebarluasan informasi mengenai wilayah-wilayah kedua negara dan menyediakan mata pencaharian alternatif bagi nelayan, sehingga tidak “berjudi” mencari hiu hingga ke wilayah Australia. Namun, hingga kini belum ada upaya perlindungan terhadap nelayan tersebut.

“Penangkapan para nelayan itu sekaligus juga mengesankan kita tidak serius menangani persoalan perbatasan”, kata Bernando Seran, putra kelahiran Timor Barat, Kandidat Doktor pada program studi Ilmu Hukum Internasional di Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Hal yang sama diungkapkan Dhey Wego Tadeus, Master Ilmu Hukum Internasional di Universitas Nusa Cendana Kupang.

Dilihat dari Konvensi Hukum Laut Internasional, sebenarnya tidak ada larangan bagi nelayan tradisional mencari ikan di laut lepas, termasuk dilaut Timor. BATAS wilayah negara sebenarnya sudah ditetapkan saat kita memperjuangkan Wawasan Nusantara pada l957-l982.Setelah Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Covention on The Law of The Sea/ UNCLOS) berlaku karena jumlah negara yang meratifikasi sudah mencapai 60 negara pada tahun l994, Indonesia justru kendur.

“Yang sekarang kerap menjadi masalah bukan batas wilayah, kecuali dengan Timor Leste, batas-batas laut wilayah/teritorial kita sudah jelas, tetapi batas hak-hak berdaulat “, ungkap ahli Hukum Laut Internasional, Prof.DR.Hasyim Djalal. Dengan Australia ada masalah-masalah batas-batas atas hak berdaulat atas kekayaan alam dan pemeliharaan lingkungan laut.

Terdapat dua aspek yang terkait dengan hak-hak tersebut, yakni,
---batas dasar laut dan
---batas zona ekonomi eksklusif.
Penentuan batas dasar laut dengan Australia sudah diselesaikan tahun l970-an dan sudah diratifikasi. Batas laut ini lebih menjorok kewilayah pantai Indonesia karena keadaan topografi, geologi, dan geomorfologi dasar laut yang memang lebih menguntungkan Australia.

Setelah Timor-Timur berintegrasi ke Indonesia, batas Australia dengan Timor-Timur yang ketika itu menjadi bagian dari Indonesia sempat dipersengketakan, kemudian dijadikan zona pengembangan bersama. Setelah Timor-Timur berdiri sebagai negara, sampai saat ini kawasan di Celah Timor itu masih dipersengketakan Australia dengan Timor-Timur.

Ketika batas dasar laut Indonesia dengan Australia ditetapkan, ZEE belum dikenal dalam hukum internasional. ZEE baru ada setelah konvensi PBB tentang Hukum Laut l982 diratifikasi.  Masalahnya sampai saat ini  belum ada batas-batas ZEE bilateral Indonesia dengan negara-negara tetangga yang diratifikasi. Satu-satunya batas ZEE yang sudah selesai dirundingkan adalah dengan Australia. Ironisnya, meski batas ZEE dengan Australia sudah disepakati tahun l974, Indonesia belum meratifikasi kesepakan itu dengan aturan didalam negeri sahingga berketetapan hukum. Dengan Malaysia, Thailand dan negara-negara tetangga lainnya, ZEE bahkan belum dirundingkan.” Batas ZEE menyangkut kewenangan atas kekayaan alam, bukan wilayah, sehingga seharusnya bisa diratifikasi tanpa perlu dibawa ke DPR. Misalnya cukup dengan Keputusan Presiden atau Peraturan Pemerintah”, ujar Hasyim Djalal. 

Kesepakatan PBB tentang Perikanan di laut bebas tahun l995 juga sudah ditanda tangani, tertapi juga belum diratifikasi. Akibatnya secara legal teknis, juridis, mestinya kesepakatan itu belum berlaku namun, secara poletis dalam konteks hubungan baik bertetangga, diharapkan kesepakatan itu tentu menjadi pertimbangan dan diperhatikan. “ Ibarat pasangan yang sudah bertunangan tetapi belum meresmikan hubungan melalui pernikahan, sehingga belum diikat secara legal. 

Saya prihatin. Kenapa belum diratifikasi walaupun sudah bertahun-tahun ditandatangani”, katanya. Kenapa perundingan batas ZEE dan ratifikasi yang merupakan kelanjutan dari kesepakatan hasil perundingan tak kunjung dilakukan Indonesia ? Hambatan prosedur admisitratif sering jadi alasan siapa yang harus mengurus dan memulai proses ratifikasi?
---Sekretariat Negara,
---Departemen Luar Negeri, Atau
---Departemen Teknis yang terkait ?
Bagaimana prosesnya, apakah cukup pemerintah saja atau harus  dibawa ke DPR.

Sekarang ada UU tentang Perjanjian Internasional No.24 tahun 2000. Negara ini dikelilingi oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, tetapi negeri ini tidak ikut aktif dalam konvensi regional yang merupakan pengejawantahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun l982. Dalam Komisi Tuna di Samudra Hindia, Malaysia, China, Korea Selatan, Thailand, bahkan Uni Eropa menjadi anggota, sementara Indonesia hanya jadi peninjau.

Konvensi Regional di Samudra Pasifik yang tidak diikuti Indonesia, sementara negara-negara lain berusaha keras ikut mengatur laut orang lain, kita bahkan tidak mengurus laut kita sendiri”.
Negeri ini pernah sangat gigih memperjuangkan Wawasan Nusantara agar diakui dunia internasional. Namun, begitu didapat, kita tidak gigih lagi untuk memelihara dan memanfaatkannya. Memang menyakitkan kalau dikatakan begitulah kerakter bangsa ini. (CAL/OKI/DAY?DMU-Kompas, 28-05-2005)

(9.32). DPD-RI Masih Persoalkan Status Pulau Pasir

Kupang, 1 Desember 2005 14:00
Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) menyoal status Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim Australia sebagai bagian dari teritorinya.
"Kami masih mengumpulkan bukti-bukti tentang sejarah Pulau Pasir, sehingga klaim Australia atas pulau itu kami belum terima sepenuhnya," kata ketua tim PAH I DPD-RI, Harun Al Rasyid di Kupang, Kamis. Ia menegaskan, pihak-pihak yang menandatangani dokumen tentang kepemilikan Pulau Pasir itu bukan pejabat negara yang memiliki otoritas untuk itu, tetapi pegawai rendahan di Departemen Luar Negeri Indonesia dan Australia.

Mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menegaskan, Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani oleh pegawai rendahan kedua negara pada 1974 itu, belum cukup kuat dijadikan sebagai bukti hukum atas kepemilikan Pulau Pasir oleh Australia.
"Saya tetap yakin bahwa Pulau Pasir adalah bagian dari wilayah Nusantara, karena para nelayan kita lebih dahulu melakukan aktivitas di pulau itu, jauh sebelum penandatanganan MoU pada 1974," tegasnya.

Dalam hubungan dengan itu, pihaknya akan meminta pertanggungjawaban Jakarta dan Canberra untuk meratifikasi kembali MoU 1974 yang secara implisit menyerahkan Pulau Pasir ke dalam teritori Australia. "Kami menghendaki adanya peninjauan kembali atas MoU tersebut, karena hal itu tidak bisa dijadikan landasan hukum untuk menyerahkan Pulau Pasir ke tangan Australia. Australia punya kepentingan atas pulau itu karena kawasan di sekitarnya banyak terdapat sumur minyak," katanya. "Perjuangan untuk mendapatkan kembali Pulau Pasir belum berakhir. Jangan biarkan Australia dengan mudah memiliki Pulau Pasir yang lebih dahulu diduduki rakyat Indonesia melalui aktivitas para nelayan tradisional," tambahnya.

Tak sependapat
Harun Al Rasyid menegaskan, DPD-RI tidak sependapat dengan pandangan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Slamet Subijanto yang menyatakan bahwa Pulau Pasir sudah menjadi milik Australia.
KSAL merujuk pada pengakuan Departemen Luar Negeri (Deplu) RI yang menyatakan bahwa Pulau Pasir itu merupakan milik Australia dimana secara historis ditemukan oleh Kapten Samuel Ashmore pada tahun 1811.
Kemudian pada tahun 1968 Pemerintah Australia telah menetapkan batas garis perikanan (Australia Fishing Zone) selebar 12 mil dari garis dasar.
Meskipun secara geografis jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya 80 mil sedangkan ke wilayah Australia Utara (North Queensland) 400 mil.
Hal itu mempengaruhi kegiatan nelayan tradisional Indonesia sehingga pada tahun 1974 disepakati nota kesepaham atau Memorandum of Understanding (MoU) yang intinya mengizinkan nelayan Indonesia untuk menangkap ikan dengan alat/perahu tradisional.
Selanjutnya pada tahun 1983, Australia mengumumkan "Ashmore Reff" sebagai cagar alam nasional dan sejalan dengan itu telah dibuatkan pengaturan untuk membatasi kegiatan nelayan Indonesia di wilayah perairan sekitar Pulau Pasir. Pada tahun 1986, Australia kembali mengusulkan sebuah rancangan kesepakatan yang baru untuk menggantikan MoU tahun 1974, namun usul tersebut ditolak Pemerintah Indonesia.Sebaliknya Indonesia mengusulkan agar dilakukan perundingan untuk menentukan cara-cara terbaik dalam melaksanakan MoU 1974 (Practical Guidelines for Implementing 1974 MoU).

Australia merespons usulan Indonesia sehingga pada tahun 1989 terjadi kesepakatan antara Indonesia dan Australia menyangkut MoU 1974 yang dituangkan dalam "Agreed Minutes" yakni tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia menangkap dan mengambil hasil laut di wilayah tersebut. [TMA, Ant] Sumber ; Arsip Politik Nasional 01-12-2005

(9.33). DPD-RI Perjuangkan Lembaga Otorita Perbatasan NTT

Kamis, 01 Desember 2005 13:00:00
Kapanlagi.com - Panitia Ad Hoc (PAH) I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) sedang memperjuangkan adanya lembaga otorita perbatasan yang bekerja khusus menangani kawasan perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Timur dan Australia. "Kami sudah berkoordinasi dengan pimpinan instansi terkait di bidang keamanan tentang prospek pengembangan kawasan perbatasan NTT.

Untuk menggapai harapan itu, memang perlu adanya lembaga otorita perbatasan," kata Wakil Ketua PAH I DPD-RI, Drs Jonatan Nubatonis, di Kupang, Kamis, usai mengadakan pertemuan dengan Wakil Gubernur NTT, Drs Frans Lebu Raya.
Pertemuan antara PAH I DPD-RI dengan Wagub Lebu Raya yang juga Ketua Komisi Bersama Perbatasan (Boorder Leasion Commite (BLC) NTT itu khusus membahas masalah-masalah aktual di perbatasan NTT dengan Timtim dan Australia. Hadir dalam pertemuan itu para pimpinan TNI dan Polri serta empat bupati di daratan Timor bagian barat NTT yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Timtim.Nubatonis mengatakan, DPD sedang menyusun konsep otorita perbatasan NTT berdasarkan masukan dari berbagai pihak dan hasil tinjauan lapangan yang melibatkan lima orang anggota DPD dari sejumlah daerah perbatasan.

Tim PAH I DPD-RI ini dipimpin anggota DPD asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang juga mantan Gubernur NTB, Harun Al Rasyid. "Setelah kunjungan ini, kami akan bahas lebih mendalam tentang konsep otorita perbatasan NTT. Diperkirakan dua pekan lagi atau pada pertengahan Desember mendatang sudah dapat disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat rutin dengan DPD," katanya. Dia mengakui, PAH I DPD gencar  memperjuangkan pembangunan kawasan perbatasan termasuk NTT setelah mendapat dukungan langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Saat pertemuan DPD dengan Presiden Yudhoyono pada 16 Agustus lalu, Presdien menghendaki DPD harus terlibat aktif dalam penanganan masalah-masalah perbatasan. Apalagi telah dialokasikan anggaran sebesar Rp2 triliun untuk pembangunan seluruh kawasan perbatasan dalam wilayah NKRI," katanya. Ia menjelaskan, otorita perbatasan NTT hanya boleh dikelola secara terpadu unsur pimpinan instansi terkait seperti Komandan Korem (Danrem) 161/Wirasakti, Komandan Pangkalan Utama (Danlantamal) IX/Kupang, Kapolda NTT dan Gubernur NTT selaku kepala wilayah.
Maksudnya agar pola pembangunan kawasan perbatasan NTT yang selalu disertai aspek pertahanan dan keamanan wilayah dapat 
diterapkan secara baik tanpa memunculkan permasalahan baru, katanya. (*/rit) 
Sumber ; Arsip Politik Nasional 01-12-2005



(9.34). History of Cartier Island  Versi Australia

The Territory of Pulau Pasir (Ashmore) and Cartier Islands comprises the West, Middle and East Islands of Pulau Pasir (Ashmore Reef), Cartier Island and the 12 nautical mile territorial sea generated by those islands. These areas are indicated on the lower map by the two enclosing boundary lines. The islands are uninhabited, small, low and composed of coral and sand, with some grass cover.
The Territory is located on the outer edge of the continental shelf in the Indian Ocean approximately 320 km off Australia's north-west coast and 170 kilometers south of the Island of Roti, East Nusa Tenggara, Indonesia   (123°33' East, 12°31' South). The Jabiru and Challis oil fields are adjacent to the Territory.
The proximity of the Territory to Indonesia has been the subject of joint official discussions in recent years. In 1997, a Treaty aimed at settling a number of maritime boundaries between the two countries was signed.

Ashmore Reef (Pulau Pasir) is located in the Timor Sea about 840 kilometres west of Darwin and 610 kilometres north of Broome. It is part of the Australian External Territory of Ashmore and Cartier Islands and comprises a shelf-edge reef system of approximately 583 square kilometres, rising from the westward limit of the Sahul Shelf. Three small islands and a number of shifting sand cays lie within the reef rim. The combined area of the islands is 112 hectares, the largest being about one kilometre long.



….(9.35). Pulau Pasir (Ashmore Reef) Belongs to Indonesia:
Timor Gap Teamwork Chairman;

Received from Joyo Indonesia News
KUPANG, E Nusa Tenggara, Jan 6 Asia Pulse/Antara - Chairman of Timor Gap Teamwork Ferdi Tanoni has insisted that Pulau Pasir ( Ashmore Reef), 60 miles south of Rote island, belongs to Indonesia. Tanoni made the statement written by the Indonesian Foreign Affairs Ministry's political and security official, Donnilo Anwar, at a press briefing at the weekend. He said the fact that the island was handed over to Australia by the United Kingdom in 1878 was something unreliable. In the press briefing, Donnilo, accompanied by Foreign Affairs Ministry spokesman Marty Natalegawa, said Ashmore Reef (Pulau Pasir)  had been dominated by the United Kingdom until it was handed over to Australia in 1878.
"The question is that which source of history did the foreign ministry official find the information about the status of Ashmore Reef," Tanoni asked.
Tanoni said the Timor Gap Teamwork and West Timor Care Foundation [YPTB] had reliable evidence indicating that Ashmore Reef, located 60 miles south of Indonesia's Rote island and 500 miles west of Darwin, belongs to Indonesia.
"Thus, the Indonesian Foreign Affairs Ministry has no reason to recklessly give the island up to Australia," Tanoni said. According to Australian literature, the Australians discovered Ashmore Reef in  1826 and in 1855 Australia conducted research on the island where they later built a satellite city. According to Tanoni, the United Kingdom handed over the Ashmore Reef  (Pulau Pasir) administration to Australia in 1933.
Quoting Dr Damian Kingbury, a senior lecturer of International Relations Development at Deakin University in Melbourne, Tanoni said Australia started controlling the island in 1931. Meanwhile, the traditional history of Rote islanders from generation to generation proved that Ashmore Reef, originally known as "Pulau Pasir" (Sand Island) is part of Indonesian territory, Tanoni said.
The traditional history suggested that Ashmore Reef, consisting of three small islands, was for the first time discovered by Rotemen of the Dato family in 1700.
"
That is why following the discovery the three islands were named after Dato I, Dato II and Dato III. That is the historical fact that nobody can deny," Tanoni said. He said Rote island's forerunners had long roamed the three tiny islands before the signing of a memorandum of understanding in 1974 between Indonesia and Australia to allow Indonesian fishermen to fish there.
"Based on these historical facts, Indonesia has the right to the island but because of our weak diplomacy in the international forum, we handed it over to Australia through the Exclusive Economic Zone [EEZ] agreement on March 1977," Tanoni lamented. "We will continue to urge Jakarta to discuss again the status of Pulau Pasir (Ashmore Reef) with Canberra," he added.Tanoni said the inconsiderate submission of Pulau Pasir (Ashmore Reef) to Australia without any diplomatic strive in the international forum would adversely affect the people of East Nusa Tenggara.(Internet)

23 Maret 2003  8:48:00
(9.36). Sengketa Soal Celah Timor dan Pulau Pasir,
Australia jangan Kekanak-kanakan

Kupang-RoL--Ketua Pokja Celah Timor dan Pulau Pasir (Ashmore Reef), Ferdi Tanoni mengharapkan Australia tidak bertindak "kekanak-kanakan" dengan mengeluarkan kebijaksanaan sepihak untuk melindungi kepentingannya di Celah Timor. Sebab, awal tahun 2003 ini, Australia seperti "dikejar setan" dalam mengeluarkan kebijaksanaan, baik persetujuan bagi hasil di Celah Timor dengan Negara Timor-Timur maupun kebijaksanaan menutup kawasan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dari semua kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia. 

Hal itu dikemukakan Ferdi Tanoni, di Kupang, Minggu, menanggapi berbagai kebijaksanaan Australia terhadap kawasan Celah Timor hingga ke Pulau Pasir yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan negara yang berbatasan, terutama Indonesia. Pemerintah Australia, kata Tanoni telah mengumumkan kebijaksanaannya bahwa mulai 3 Juli 2003 menutup kawasan gugusan Pulau Pasir dari semua kegiatan penangkapan ikan nelayan tradisional Indonesia dengan alasan pelestarian lingkungan.  Kebijaksanaan itu sepihak sehingga menimbulkan reaksi protes dari Indonesia sebab negara tetangga yang sangat berkepentingan dengan nasib para nelayan tradisional yakni Indonesia tidak diajak berunding. Gugusan Pulau Pasir terletak di Samudera India dengan jarak hanya 60 mil laut dari Pulau Rote, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur. 

Sedangkan jarak terdekat dengan Australia yakni Darwin mencapai 500 mil laut. Dari berbagai ketentuan internasional yang ada, tidak satupun yang dapat mendukung Australia yang mengklaim bahwa Pulau Pasir itu adalah miliknya. Mengacu pada ketentuan internasional tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut, Pulau Pasir masuk dalam wilayah Indonesia. Namun, bila Australia tetap ngotot mengklaim pulau tersebut sebagai miliknya, maka Pulau Pasir masuk dalam wilayah tumpang tindih dua negara Australia dan Indonesia. 
Bila itu yang terjadi, maka Australia tidak boleh secara sepihak menerapkan kebijaksanaan di kawasan gugusan Pulau Pasir, melainkan seluruh kebijaksanaannya harus melalui pembicaraan dua negara Australia-Indonesia, karena wilayah itu harus dikelola secara bersama.  Sebab, selama ini kawasan gugusan Pulau Pasir merupakan tempat nelayan tradisional Indonesia menangkap ikan, teripang dan biota laut bernilai ekonomi tinggi lainnya. 
Menurut Tanoni, Australia sangat melindungi Pulau Pasir dengan
menetapkannya sebagai Taman Nasional kemudian Juli mendatang menutup kawasan tersebut, bukan karena kawasan itu adalah wilayah konservasi dan harus melindungi biota laut dan darat dari kepunahan.  Itu hanya alasan yang dicari-cari untuk pembenaran dari kebijaksanaan mereka, namun yang utama sebenarnya adalah berusaha mempertahankan Pulau Pasir sebagai miliknya untuk melindungi "keserakahan" mereka memiliki dan menguasai potensi minyak bumi di kawasan Celah Timor, termasuk kawasan perairan di gugusan Pulau Pasir. Jadi merupakan kebohongan besar mengatasnamakan konservasi atau pelestarian lingkungan lalu menutup kawasan Pulau Pasir, sebab dibalik itu semua sebenarnya adalah keserakahan menguasai minyak bumi, kata Tanoni.

Agar Celah Timor dan Pulau Pasir tidak berkembang menjadi
permasalahan internasional yang rumit, maka sangat layak bila Australia membuka diri untuk meninjau kembali perjanjian Celah Timor dan menentukan batas melalui cara yang paling adil yakni pola garis tengah (middle line).  Setelah itu, perjanjian bagi hasil atas kekayaan di Celah Timor dibicarakan kembali dengan negara berbatasan Australia-Indonesia-Timtim, sebab di Celah Timor ada hak dan kepentingan masyarakat Timor bagain barat NTT yang juga secara adat adalah pemilik Laut Timor, sebab menyentuh langsung kawasan Pulau Timor secara umum. Ferdi Tanoni mengingatkan Australia, bahwa Pulau Pasir bila nanti berkembang menjadi pulau yang diperebutkan antara Australia dan Indonesia, maka hal itu tidak akan sama kasusnya dengan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia-Malaysia. Sebab, bukti apapun yang dimajukan ke Mahkamah Internasional nanti, Indonesia memiliki peluang besar memenangkan, sebab bila menggunkan ketentuan ZEE atau garis tengah maka Pulau tersebut masuk dalam wilayah Indonesia, serta didukung fakta sejarah dan bukti-bukti yang ada di Pulau Pasir serta peta Hindia Belanda.

(9.36A). PULAU PASIR BELUM SAH MENJADI MILIK AUSTRALIA

Tanggal: Senin, 18 Desember 2006
Topik: Berita Umum
Kupang, 18/12 (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Ir Yusuf Leonard Henuk, M.Rur.Sc.Ph.D mengatakan, Indonesia masih bisa memperdebatkan status Pulau Pasir di tingkat Mahkamah Internasional, karena gugusan pulau tersebut belum sah menjadi milik Australia.  Dari segi hukum internasional, kata Henuk di Kupang, Senin, kepemilikan Australia atas pulau seluas 583 km2 itu diwariskan oleh Inggris yang melakukan "klaim sepihak oleh Kapten Semuel Ashmore pada 1878" dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. "Namun, perlu dicatat bahwa nelayan tradisional Indonesia asal Pulau Rote dan wilayah lainnya di negeri ini telah mengolah dan melakukan aktivitas secara terus-menerus di Pulau Pasir hingga saat ini sejak 500 tahun yang lampau sebelum kedatangan para penjajah di Bumi Nusantara," katanya menegaskan. 


Ia mengemukakan hal ini berkaitan dengan "surat protes" dari Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri, Eddy Pratomo atas pernyataannya di media massa beberapa waktu lalu yang menyebut Pulau Pasir adalah milik sah orang Rote. Pulau Pasir yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di sebelah selatan Pulau Rote, kerap memunculkan anggapan di sebagian kecil kalangan masyarakat bahwa Indonesia lebih berhak atas pulau tersebut jika dilihat dari kedekatan geografis (geographical proximity) maupun klaim historis. Henuk menjelaskan, dari segi hukum internasional, kepemilikan Australia atas Pulau Pasir itu masih bisa diperdebatkan Indonesia di tingkat Mahkamah Internasional, karena Inggris memasukan pulau itu ke dalam wilayah otorita "Commonwelath of Australia" melalui "Ashmore and Charter Acceptance Act 1933". 

Pada 1942, jelasnya, wilayah tersebut berada di bawah administrasi Negara Bagian Australia Barat yang kemudian menjadi Northern Territory hingga 1978. Setelah 1978, wilayah tersebut dinyatakan sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal Australia.  Ia menambahkan, nelayan tradisional Indonesia sendiri baru mulai mengenai Pulau Pasir pada pertengahan abad ke-18, sekitar 1742 dan 1750, yang menurut arsip pemerintah Belanda, penduduk lokal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) secara tidak sengaja menemukan Pulau Pasir pada 1729 yang digunakan sebagai tempat bersandar untuk mengambil air tawar atau pada saat keadaan darurat. 

Nelayan tradisional Indonesia sendiri, kata Henuk, diperkirakan telah mengenal Pulau Pasir itu pada zaman "Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)" ketika tiba di Pulau Timor pada 1602. Menurut catatan arsip Belanda, pada akhir 1750-an pengumpulan teripang dan biota laut lainnya dari gugusan Pulau Pasir telah diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif. Banyak perahu dari Makassar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa serta kelengkapan surat-surat izin resmi dari Belanda yang memperbolehkan mereka mengumpulkan teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di gugusan Pulau Pasir. "Kenyataan ini juga membuktikan bahwa gugusan Pulau Pasir merupakan wilayah jajahan Belanda yang seharusnya diwariskan kepada Indonesia," katanya dan menambahkan, Belanda sendiri tidak pernah mempermasalahkan kegiatan Inggris di Pulau Pasir sejak abad ke-18 atau mempersengketakan status kepemilikan Pulau Pasir. 
Oleh karena itu, Indonesia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Belanda,
dan Australia yang mewarisi wilayah yang dulu dikuasai Inggris juga tidak pernah
mempunyai sengketa kedaulatan atas Pulau Pasir. 
"Di sinilah titik temu kita bahwa sudah seharusnya kita Bangsa Indonesia berhak
untuk mempertanyakan kepada Belanda, Inggris dan Australia tentang fakta-fakta sejarah tersebut, jika perlu di bawa ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan," katanya. Ia menambahkan, sudah sangat jelas bahwa gugusa Pulau Pasir pernah diregulasi oleh penjajah Belanda sehingga sama artinya bahwa wilayah tersebut harus diwariskan kepada Indonesia, bukan kepada Inggris apalagi Australia. 
Sumber : Antara



Let's kill the boredom and share ideas!!! -FJM-

KELAUTAN INDONESIA: SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN

Posted on September 15, 2009 by FJM
 sea!!
Undang Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (“UU Wilayah Negara”) pasal 1 ayat 1 mengatakan “wilayah negara…merupakan satu
kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang udara diatasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya”, sementara Undang Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (“UU Perairan Indonesia”) pasal 2 ayat 2 mengatakan “segala perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan pulau atau bagian pulau pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia…merupakan bagian integral dari wilayah daratan
sehingga…berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.
Nyatalah sudah betapa pentingnya arti kelautan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan. Tonggak penting rezim hukum laut bagi Indonesia itu sendiri sesungguhnya terdiri 2 (dua) hal utama, yaitu: Deklarasi Juanda tertanggal 13 Desember 1957 yang melahirkan konsepsi wawasan nusantara dan lahirnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai rezim internasional hukum laut.
Indonesia merupakan Negara Kepulauan berdasarkan Deklarasi Juanda dan pasal 2 ayat 1 UU Perairan Indonesia, yang berbatasan secara darat maupun maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste, dimana ketidakjelasan batas darat dan maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga tersebut dapat mengakibatkan konflik yang sepatutnya bisa kita hindari. Artikel inipun dibuat secara sederhana untuk sedikitnya memahami 2 (dua) isu utama dalam konteks maritim yang sering menjadi wacana dalam kehidupan kita dengan negara tetangga yaitu isu Kedaulatan – Hak Berdaulat dan Isu Landas Kontinen.

Kedaulatan vs. Hak Berdaulat
Kedaulatan (Sovereignty) merupakan suatu wewenang tertinggi yang
dapat dilakukan suatu negara untuk melaksanakan kekuasaanya terhadap suatu wilayah dan/atau masyarakatnya. Dalam hal pelaksanaan kedaulatan, suatu negara tidak perlu meminta ‘izin’ terhadap negara lain untuk menjalankan kekuasaannya. Kedaulatan ini jika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia meliputi daratan, perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), dan laut territorial (territorial sea).
Sedangkan Hak berdaulat merupakan kewenangan suatu negara terhadap suatu wilayah tertentu dimana pelaksanaannya haruslah tunduk pada aturan hukum yang berlaku bagi masyarakat internasional. Yang artinya adalah, hak berdaulat suatu negara haruslah merupakan konsensus dan mendapat persetujuan dari negara lain. Hak berdaulat umumnya mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam dan/atau laut pada kawasan tertentu yang tidak tercakup dalam wilayah Kedaulatan negara sebagaimana tersebut diatas. Untuk dapat lebih memahami perbedaan diantara keduanya, perlu kiranya untuk mencermati beberapa contoh berikut:

a. Sengketa Pulau Pasir (Ashmore Reef) merupakan isu Kedaulatan yang diperdebatkan sebagai pulau Indonesia dengan alasan pulau tersebut berada lebih dekat dengan Indonesia. Kecil kemungkinan pulau ini sebagai pulau Indonesia dengan alasan ‘kedekatan’ tersebut, hal ini dipatahkan pihak Australia dengan alasan batas maritim dan historis dimana Australia memiliki bukti bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau kepemilikan Inggris yang diserahkan kepada Australia ketika merdeka. Namun berkembang wacana lain bahwa pulau ini dahulunya merupakan pulau jajahan Belanda dimana Belanda memberlakukan peraturan mengenai pengumpulan teripang di atas pulau ini. Hal ini merupakan suatu kajian menarik yang ‘bisa’ diperdebatkan Indonesia terhadap klaim kedaulatan Australia atas pulau ini.

b. Kewenangan untuk mengelola dan menguasai kekayaan alam dan/atau laut yang terdapat dalam Pulau Miangas dan perairan Indonesia di sekitarnya (laut territorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman – lihat pasal 1 ayat 4 UU Perairan Indonesia) merupakan isu kedaulatan. Hal ini dikarenakan karena klaim kedaulatan atas pulau Miangas secara hukum internasional adalah mutlak milik Indonesia yang bersumber pada putusan Mahkamah Arbitrase pada tanggal 14 April 1928 oleh hakim Max Huber dalam sengketa antara United States dan Belanda (sebagai predecessor state dari Indonesia dan Filipina) yang memutuskan Pulau Miangas berada dalam jurisdiksi pemerintah kolonial Belanda. Indonesia dalam hal ini dapat menggunakan asas Uti Possideti Juris bahwa wilayah kolonial menjadi wilayah berdaulat Negara tersebut ketika Negara tersebut merdeka dari Negara kolonial/penjajahnya.

c.Namun, untuk kekayaan alam dan/atau laut di selatan Pulau Jawa yang terletak lebih dari 12 mil laut dari garis pangkal merupakan hak berdaulat bagi Indonesia. Untuk memanfaatkannya, Indonesia tidak dapat
melaksanakan hukum nasional dan hak kedaulatannya disini tanpa mematuhi dan bekerja sama dengan negara lain sesuai dengan rezim
UNCLOS yang berlaku.
Jadi, jika terjadi perebutan kepemilikan atas pulau dan /atau klaim penguasaan sumber daya alam dan/atau laut dalam wilayah 12 mil laut dari garis pangkal, maka ini adalah konflik kedaulatan dan apabila terjadi konflik atas pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan/atau laut di luar 12 mil laut dari garis pangkal, maka hal itu merupakan konflik hak berdaulat antar negara.

Untuk kasus sipadan ligitan (dimana pendekatan historis dan rantai hak (chain of title) dipatahkan dengan asas penguasaan effective) merupakan isu kedaulatan yang berujung kepada hak berdaulat. Apa maksudnya? Indonesia sempat menggunakan kedua pulau ini sebagai titik pangkal dalam penarikan garis pangkalnya, dimana ketika Mahkamah Internasional menjatuhkan kepemilikan pulau ini kepada Malaysia maka berubahlah penetapan titik pangkal dan garis pangkal wilayah Indonesia (‘isu Kedaulatan’) yang tentunya berakibat pula pada berubahnya batas maritim kedua negara tersebut atas Laut Sulawesi. Penentuan batas maritim ini hingga sekarang masih dalam proses negosiasi antara Indonesia dan Malaysia.

Nah, belum selesainya penentuan batas maritim inilah yang mempunyai implikasi langsung terhadap sengketa Blok Ambalat yang merupakan kawasan dasar laut (sea bed) yang kaya akan sumber daya alam dan/atau laut yang berada diluar wilayah 12 mil laut dari masing masing garis pangkal Indonesia dan Malaysia (‘ isu Hak Berdaulat’ dimana Ambalat terletak ± 60 mil laut kearah timur dari garis pangkal pulau Kalimantan). Jadi secara singkat, isu Sipadan Ligitan yang merupakan isu Kedaulatan bersinggungan dengan isu Ambalat yang merupakan isu Hak Berdaulat, sehingga, kuranglah tepat apabila kita mengkampanyekan ‘Perang’ terhadap Malaysia karena isu Ambalat BUKANLAH KEDAULATAN Indonesia.
Isu Kedaulatan dan Hak Berdaulat lain yang patut menjadi perhatian kita adalah isu penentuan batas darat Indonesia-Timor Leste yang belum selesai dan isu Celah Timor antara Timor Leste- Australia dimana untuk isu yang terakhir (Celah Timor), adalah baik kiranya untuk kita beri sedikit perhatian ekstra


Landas Kontinen
Pasal 1 ayat 9 UU Wilayah Negara kurang lebih mengatakan landas kontinen adalah wilayah dasar laut dan tanah dibawahnya dengan jarak 200 mil laut dari garis pangkal atau paling jauh 350 mil laut dari garis pangkal.
Perlu dicermati lebih lanjut, di dalam Pasal 76 UNCLOS *) ditegaskan bahwa landas kontinen adalah ‘hanya’ berjarak 200 mil laut dari garis pangkal, sedangkan 350 mil laut dari garis pangkal adalah batas terluar landas kontinen (Extended Continental Shelf atau “ECS”). Mengapa ini menarik? Hal ini menarik karena 350 mil laut merupakan hak yang dapat di klaim oleh negara atas landas kontinennya sepanjang memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria tersebut terbagi atas criteria yang membolehkan (formulae) dan criteria yang membatasi (constrainst). Kriteria yang membolehkan adalah:
batas terluar ECS adalah titik terluar landas kontinen dengan ketebalan batu sedimen 1% dari ketebalan sedimen kaki lereng kontinen yang merupakan titik kelanjutan garis landas kontinen 200 mil laut dari garis pangkal.Garis ini biasa disebut dengan Gardiner Line.
a. Batas terluar ECS dapat ditentukan dengan menarik garis berjarak 60
b.mil laut dari kaki lereng kontinen (hedberg line) ke laut lepas (high sea),
sedangkan criteria yang membatasi adalah:
a. Batas terluar ECS tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal.
b. Batas terluar ECS tidak melebihi
100 mil laut dari kedalaman 2500
meter isobaths.
Kemudian, untuk mengajukan hak atas ECS ini dapat dilakukan dengan mengajukan klaim yang telah memenuhi criteria tersebut diatas kepada Commission on the Limits of Continental Shelf (“CLCS”) malalui Sekretaris Jenderal PBB dengan deadline untuk claim submission tersebut adalah paling lambat 13 Mei 2009.
Masalah ECS ini menjadi menarik karena Indonesia memiliki 3 (tiga) potensi landas kontinen yang bisa kita ajukan batas terluarnya dari 200 mil laut menjadi 350 mil laut dari garis pangkal, yaitu di sebelah barat sumatera, di sebelah selatan pulau jawa, dan di sebelah utara Papua. Dalam hal ini, Indonesia sudah mengajukan claim ECS tersebut pada tahun 2008 dan kini tengah menunggu review CLCS. Catatan kaki yang juga menjadi perhatian kita adalah, selain Indonesia, ada beberapa negara lain yang turut mengajukan ECS yaitu: Rusia, Perancis, Brazilia, Australia, Irlandia, Selandia Baru, Norwegia

Kisah Klasik Untuk Masa Depan?

Isu isu tersebut diatas adalah sebenarnya merupakan kisah klasik perjuangan diplomasi Indonesia yang harus terus menerus menjadi perhatian kita. Terdapat 2 (dua) kesimpulan sederhana atas hal tersebut yaitu:
a. Negara kepulauan, maritim, maupun negara pantai dengan interaksi hubungan internasional dan politik luar negerinya dengan negara lain sangatlah penting untuk memiliki batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas dan baik. Hal ini akan membantu dalam memudahkan isu isu sensitive seperti isu keamanan, akses dan pengelolaan sumber daya laut, keseimbangan antara hak dan kewajiban antar negara yang bersangkutan.
b. Delimitasi/kejelasan batas maritim dapat menghilangkan potensi konflik antar negara negara bertetangga, sehingga, dalam hal ini, Indonesia sebagai motor penggerak dalam pembentukan ASEAN Community harus memberi perhatian lebih untuk menciptaan kejelasan batas maritim dengan negara tetangga sebagai suatu ‘situasi prakondisi’ demi terwujudnya ASEAN Community yang damai, sejahtera, bersatu, dan saling menghormati kedaulatan, hak berdaulat, dan batas “maksimal” landas kontinen antar negara anggotanya sebagai suatu kesatuan komunitas yang selaras dan harmoni. Sungguh, kelautan Indonesia adalah kisah klasik untuk masa depan…yang lebih baik…
PS: Kritik dan masukan dibuka untuk pemahaman Hukum Laut yang lebih baik…..untuk Indonesia!!
-FJM-

*) UNCLOS 1982 ( Penulis Melengkapi dasar hukum yang disebutkan dalam artikel di atas agar lebih jelas sbb) :

CONTINENTAL SHELF
Article76
Definition of the continental shelf
1. The continental shelf of a coastal State comprises the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to that distance.
2. The continental shelf of a coastal State shall not extend beyond the limits provided for in paragraphs 4 to 6.
3. The continental margin comprises the submerged prolongation of the land mass of the coastal State, and consists of the seabed and subsoil of the shelf, the slope and the rise. It does not include the deep ocean floor with its oceanic ridges or the subsoil thereof.
4. (a) For the purposes of this Convention, the coastal State shall establish the outer edge of the continental margin wherever the margin extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by either:
(i) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to the outermost fixed points at each of which the thickness of sedimentary rocks is at least 1 per cent of the shortest distance from such point to the foot of the continental slope; or
(ii) a line delineated in accordance with paragraph 7 by reference to fixed points not more than 60 nautical miles from the foot of the continental slope.
(b) In the absence of evidence to the contrary, the foot of the continental slope shall be determined as the point of maximum change in the gradient at its base.
5. The fixed points comprising the line of the outer limits of the continental shelf on the seabed, drawn in accordance with paragraph 4 (a)(i) and (ii), either shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured or shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 metre isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 metres.
6. Notwithstanding the provisions of paragraph 5, on submarine ridges, the outer limit of the continental shelf shall not exceed 350 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured. This paragraph does not apply to submarine elevations that are natural components of the continental margin, such as its plateaux, rises, caps, banks and spurs.
7. The coastal State shall delineate the outer limits of its continental shelf, where that shelf extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured, by straight lines not exceeding 60 nautical miles in length, connecting fixed points, defined by coordinates of latitude and longitude.
8. Information on the limits of the continental shelf beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured shall be submitted by the coastal State to the Commission on the Limits of the Continental Shelf set up under Annex II on the basis of equitable geographical representation. The Commission shall make recommendations to coastal States on matters related to the establishment of the outer limits of their continental shelf. The limits of the shelf established by a coastal State on the basis of these recommendations shall be final and binding.
9. The coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United Nations charts and relevant information, including geodetic data, permanently describing the outer limits of its continental shelf. The Secretary-General shall give due publicity thereto.
10. The provisions of this article are without prejudice to the question of delimitation of the continental shelf between States with opposite or adjacent coasts. (Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.